DINAMIKA PEMANTAUAN PEMILU : STUDI TENTANG KINERJA KIPP GRESIK DALAM MELAKUKAN PEMANTAUAN DI PILKADA GRESIK 2015.

DINAMIKA PEMANTAUAN PEMILU
(Studi tentang Kinerja KIPP Gresik dalam Melakukan Pemantauan di Pilkada
Gresik 2015)
Skripsi :
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar
Strata Satu (S-1) dalamPrgramStudi Filsafat Politik Islam

Oleh:
AHMAD ‘ALIYUL FIKRI
NIM: E34212043

PROGRAM STUDI FILSAFATPOLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2016

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul“Dinamika Pemantauan Pemilu” Studi tentang
Kinerja KIPP Gresik dalam melakukan pemantauan di Pilkada Gresik

2015.Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu, bagaimanakah partisipasi
politik mayarakat dalam praktik pemantauan pemilu yang independen?
Bagaimana bentuk hambatan-hambatan KIPP Gresik dalam melakukan Pilkada
Gresik 2015? Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan atau
menggambarkan partisipasi politik masyarakat dalam praktik pemantauan pemilu
yang independen serta mengungkap bentuk hambatan – hambatan KIPP Gresik
dalam memantau pemilihan umum di Kabupaten Gresik tahun 2015.
Metodeyang digunakan oleh penulis adalah metode kualitatifkarena
penelitian inimendeskripsikan hambatan-hambatan dan independensi KIPP Gresik
dalam memantau Pilkada Gresik tahun 2015. Data dikumpulkan oleh penulis dari
anggota KIPP dan mereka yang wilayah kerjanya dipantau oleh KIPP Gresik.
Data dianalisis menggunakan kerangka konsep partisipasi politik, konsep
pengawasan dan pemantauan pemilu, dan konsep civil society
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pemantauan pemilu dapat
dikategorikan sebagai kegiatan partisipasi politik karena melekatnya kriteria
konsep partisipasi politik dalam pemantauan pemilu. KIPP juga dapat dianggap
sebagai aktor yang mendorong peningkatan partisipasi politik masyarakat. Terkait
sumber finansial, KIPP Gresik memperolehnya dari swadaya anggota. Kaderkader KIPP Gresik pun terbukti tetap menjaga independensi.Sementara itu,
beberapa hambatan dalam memantau pemilu yang dihadapi KIPP Gresik, yaitu
terdapatnyaaturan yang membatasi ruang gerak pemantau dalam melakukan

pemantauan sertatidak berjalannya program-program di internal KIPP Gresik.
Kata Kunci: Pilkada Gresik 2015, KIPP Gresik, Pemantauan Pemilu.

vii

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

ABTRACT
The title of this research is “Dinamika Pemantauan Pemilu” Studi
tentang Kinerja KIPP Gresik dalam melakukan pemantauan di Pilkada Gresik
2015. This research attemptsto observehow the political participation of societyin
monitoring theindependent general election? What are the difficulties faced by
KIPP Gresik during monitoring of Gresik in 2015? Meanwhile, the purpose of
this study isnamelydescribing the political participation of societyin the
independent elections as well as to reveal the difficulties which are faced by KIPP
Gresik within monitoring the elections in the district of Gresik in 2015.
On this research, i use qualitative method todescribe the difficulties or
obstructions and the independence of KIPP Gresik in monitoring pilkada(regent
election)inGresik 2015. The data is collected from the members of KIPP and those
whom the workplace is monitored by KIPP Gresik, then it is analyzed by using

the framework of political participation concept, the concept of monitoring and
supervising the election, and civil society concept.
The result of this research shows that the political monitoring could be
categorized as the activity of political participation because it contains political
participation concept monitoring the election. KIPP also could be regarded as an
actor increasing political participationin society. Anda the source official its
financial comes from contribution official themembers. On The other band the
members,in fact, also capable of establishing well their independence. Meanwhile,
several difficulties in observingthe general elections which isfaced by KIPP
Gresik namely is a rule that limit the observer to do observation toward the
elections and also the internal programs of KIPP Gresik which didn’t relize well.
Keywords: Regional leader election in Gresik 2015, Gresik’s KIPP, General
elections monitoring.

viii

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL .............................................................................................

i

PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................

ii

PENGESAHAN SKRIPSI ....................................................................................

iii

MOTTO ..............................................................................................................

iv

PERSEMBAHAN..................................................................................................

v


PERNYATAAN KEASLIAN...............................................................................

vi

ABSTRAK .............................................................................................................

vii

KATA PENGANTAR...........................................................................................

viii

DAFTAR ISI..........................................................................................................

x

BAB I

BAB II


BAB III

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................

1

B. Rumusan Masalah ........................................................................

7

C. Tujuan Penelitian .........................................................................

7

D. Manfaat Penelitian .......................................................................

7

E. Telaah Pustaka ..............................................................................


8

F. Metode Penelitian..........................................................................

11

G. Sistematika Pembahasan ..............................................................

16

KERANGKA TEORI
A. Konsep Partisipasi Politik ...............................................................

17

B. Konsep Civil Society…....................................................................

22


C. Konsep Pemantauan dan Pengawasan Pemilu.................................

32

SETTING PENELITIAN
A. Profil Komite Independen Pemantau Pemilu ..................................

39

B. Kondisi Sosial Politik Kabupaten Gresik.........................................

41

x

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB IV

PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

A. Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemantauan Pemilu Yang
Independen.......................................................................................

48

B. Problem Pemantauan KIPP dalam Pilkada Kabupaten Gresik
2015..................................................................................................

BAB V

58

PENUTUP
A. KESIMPULAN...............................................................................

68

B. SARAN............................................................................................

70


DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Guide Interview
2. Foto-foto

xi

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah
Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) serentak yang dilangsungkan
pada tanggal 9 Desember tahun 2015 menjadi catatan penting dalam sejarah
praktik demokrasi Bangsa Indonesia. Untuk pertama kalinya, pemerintah
Indonesia menggelar pilkada secara langsung dan serentak yang diikuti oleh 8

Propinsi dan 256 Kabupaten/Kota di Indonesia. Jumlah pasangan calon kepala
daerah yang berlaga pada pilkada kali ini mencapai 810 pasangan calon. Mereka
memperebutkan jabatan sebagai pimpinan di daerahnya masing-masing untuk
periode 2016-2021. Berbagai media internasional pun turut menyoroti pesta
demokrasi lokal terbesar yang melibatkan 96.869.7391 pemilih tersebut.
Dalam sejarah, Pemilihan Umum di Indonesia telah berlangsung mulai
tahun 1955. Terhitung sejak saat itu, hingga kini Bangsa Indonesia telah 11 kali
melakukan Pemilu anggota Legislatif, 3 kali Pemilu Presiden, dan ratusan Pemilu
di Daerah tingkat 1 dan 2. Dalam kurun waktu 60 tahun sejak dilakukannya
pemilu pertama, telah berulangkali terjadi modifikasi dalam sistem pemilu di

1

Release KPU, “Jumlah DPT Pilkada Serentak 2015 per-12 Oktober 2015”,
http://kpu.go.id (Sabtu, 2 Januari 2016, 19:00)..
1

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

2

Indonesia. Berbagai regulasi baru dibuat pemerintah untuk meningkatkan kualitas
pemilu dan mengembangkan demokrasi.
Salah satu persoalan mendasar yang menyertai setiap moment pemilu di
negara-negara berkembang termasuk di Indonesia hari ini adalah masih cukup
tingginya angka pelanggaran dalam pemilu. Bisa kita lihat misalnya pasca
penyelenggaraan pilkada serentak 9 Desember 2015, hasil dari 264 daerah yang
mengikuti pilkada serentak, terdapat 147 permohonan perkara yang telah diterima
oleh Mahkamah Konstitusi. Itu artinya, lebih dari 50 persen daerah peserta
pilkada serentak mengalami sengketa hasil pilkada. Setiap permohonan yang
diajukan oleh pihak pemohon tentunya disertai bukti-bukti adanya kecurangan
yang membuat mereka tidak bisa menerima hasil pilkada. Ketika pembuktian
pemohon berhasil menunjukkan adanya kecurangan dalam pilkada, hanya
masalah skala kecurangan dan selisih perolehan suara yang kemudian menjadi
penentu putusan dikabulkan atau tidaknya permohonan dari pihak pemohon.
Maraknya pelanggaran dalam pemilu menunjukkan bahwa masih ada
yang kurang optimal dalam mekanisme penyelenggaraan, pengawasan ataupun
pemantauan pemilu. Realisasi punishment yang dapat menimbulkan efek jera bagi
pelaku tindak pelanggaran dalam pemilu juga masih terus dipertanyakan. Peran
pengawas dan pemantau independen yang telah aktif sejak pemilu tahun 1999
seakan tak memberikan pengaruh yang berarti.
Pemantauan pemilu sendiri adalah suatu kegiatan dalam pemilu yang
telah dijamin dalam Undang-undang nomor 12 Tahun 2003 tentang pemilihan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3

umum anggota DPR, DPD, dan DPRD yang kemudian diganti dengan Undangundang nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilihan umum.2 Dalam 15 aspek yang
menjadi standar internasional pemilu yang demokratis, transparansi pada suatu
penyelenggaraan pemilu menjadi poin penting untuk mengukur kualitas pemilu.
Kehadiran para pemantau pemilu dari dalam maupun luar negeri di negara-negara
yang demokrasinya sedang berkembang cenderung menambah kredibilitas dan
legitimasi terhadap proses pemilu yang dipantau. Pemantauan ini juga berguna
untuk mencegah kecurangan dalam pemilu, khususnya pada saat pemungutan
suara.3
Di Indonesia, gerakan pemantauan pemilu muncul menjelang pemilu
tahun 1997 di mana pemilu tersebut merupakan pemilu terakhir pada masa orde
baru. Belum maksimalnya kinerja Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu
(Panwaslak Pemilu)4 serta ketidakpuasan sebagian besar masyarakat terhadap
kepemimpinan Presiden Soeharto berimbas pada tingginya ketidakpercayaan pada
proses pemilu yang diselenggarakan oleh pemerintah pada waktu itu.Publik
mengindikasi besarnya kecurangan dan ketidakadilan dalam enam kali pemilu
yang selalu memenangkan partai penguasa di era orde baru.
Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) adalah lembaga swasta
yang pertama kali tampil menginisiasi gerakan pemantauan pemilu. Ditengah
2

Undang-undang Republik Indonesia nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilihan umum,
bab XVIII, pemantauan pemilu, pasal 231-243.
3
International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA),
Standar-standar Internasional untuk Pemilihan Umum, Pedoman Peninjauan Kembali
Kerangka Hukum Pemilu, (Sdtockholm, International IDEA, 2001), 98.
4
Pasca reformasi, Panwaslak mengalami perubahan nonmenklatur menjadi
Panwaslu/Panwaslih.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

4

desas-desus adanya reformasi dan menjelang penyelenggaraan pemilu 1997, tepat
pada tanggal 15 Maret 1996 di Jakarta, KIPP resmi didirikan.5 Nurcholis Madjid,
Goenawan Mohamad, dan Mulyana W. Kusumah menjadi beberapa tokoh di balik
dideklarasikannya KIPP. Melalui semangat Independensi dan mencita-citakan
pemilu yang “jurdil” (jujur dan adil) membuat KIPP disambut hangat oleh
masyarakat dan para pegiat demokrasi pada waktu itu.
Namun, sambutan postif yang diberikan masyarakat tersebut tidak diikuti
oleh pemerintah yang pada waktu itu memandang sebelah mata kehadiran KIPP.
Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh salah seorang pengurus KIPP pada tahun
1999 diceritakan.
“Sayangnya, gagasan yang tumbuh dari bawah ini ditolak oleh pemerintah.
Kepala Staf Sosial Politik ABRI pada waktu itu, Letjen TNI Syarwan Hamid, serta
asistennya di bidang sosial politik, Mayjen TNI Suwarno Adiwidjojo, menegaskan
keberadaan KIPP tidak diperlukan.Sementara Menteri Pertahanan Keamanan waktu
itu, Jenderal TNI Edy Sudradjat menyebutnya sebagai tidak konstitusional”.6

Intervensi pemerintah orde baru tersebut berlanjut dengan tindakan
pelarangan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh KIPP,
“Tidak cukup dengan serangan melalui media massa, aparat keamanan juga
menganggu sejumlah kegiatan KIPP, termasuk pembentukan cabang serta pelatihan
di daerah-daerah.Sejumlah aktifisnya ditangkap dan dimintai keterangan oleh polisi.
Namun demikian, KIPP berhasil merekrut 12 ribu relawan dan mendirikan cabang di
47 kota di 16 propinsi dan dua cabang di luar negeri, yaitu di Kuala Lumpur,
Malaysia, dan Berlin, Jerman”.7

Jalan terjal untuk memperjuangkan pemantauan pemilu yang dilalui oleh
KIPP baru menemui titik terang pasca peristiwa reformasi Bangsa Indonesia.
5

Koran Tempo, Edisi 03/01 - 16/Mar/1996, http://tempo.co.id/ang/min/01/03/utama.htm
(Minggu, 3 Januari 2016, 20.30).
6
(Sejarah KIPP Indonesia), sebuah artikel yang ditulis pada pada tahun 1999,
http://forum-democracy.blogspot.co.id, (Minggu, 3 Januari 2016, 21.00).
7
Ibid.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

5

Legalnya kebebasan berpendapat setelah runtuhnya kekuasaan orde baru menjadi
stimulus bagi realisasi gagasan pemantauan pemilu oleh masyarakat atau lembaga
independen yang menjadi hal baru di Indonesia kala itu. Selain KIPP, akhirnya
beberapa lembaga yang turut berpartisipasi dalam pemantauan pemilu mulai
bermunculan dalam perhelatan pemilu tahun 1999. Beberapa lembaga tersebut
diantaranya adalah Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR),
(University Network for Free and Fair Election/UNFREL), dan Aliansi Pemantau
Pemilu Independen (APPI). Relawan pemantau pemilu pada tahun 1997 pun
akhirnya dapat tersebar ke sebagian besar wilayah Indonesia.
Dalam pilkada di Kabupaten Gresik tahun 2015, KIPP Gresik adalah
satu-satunya lembaga pemantau yang mendapatkan akreditasi dari KPUD
Kabupaten Gresik untuk melakukan pemantauan dalam Pilkada di Kabupaten
Gresik

Tahun

2015.

Melalui

sertifikat

Nomor:

613/KPU-Gresik-

014.329707/XI/2015 yang diterbitkan oleh KPU Kabupaten Gresik, menyatakan
bahwa KIPP Gresik telah memenuhi ketentuan Pasal 125 Undang-Undang nomor
8 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Menurut penuturan Maslukhin selaku sekretaris KIPP Gresik mengatakan
bahwa pada Pilkada Tahun 2015 di Kabupaten Gresik, KIPP Gresik merekrut 70
orang simpatisan untuk berpartisipasi dalam pemantauan Pilkada 2015. Lebih
lanjut dituturkan bahwa 70 Pemantau tersebut menjangkau di beberapa kecamatan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

6

yang ada di Kabupaten Gresik.8 Menjadi suatu realita yang cukup menarik dalam
fenomena partisipasi politik karena simpatisan KIPP bersedia secara sukarela
melakukan kegiatan-kegiatan pemantauan pemilu tanpa menerima imbalan
kecuali hanya untuk sekedar biaya transportasi. Artinya, mereka lebih
mengedepankan untuk mencari keuntungan dalam politik secara substansial
berupa terciptanya pemilu yang berkualitas daripada sekedar mengambil
keuntungan politik yang bersifat materi berbentuk fresh money.
“KIPP Gresik menyasar pelajar-pelajar di SMA yang ada di Gresik sebagai fokus
utama untuk diajak bergabung sebagai simpatisan pemantau dalam Pilkada 2015 ini,
terlebih dahulu kita undang mereka untuk mengikuti forum yang di dalamnya kita
sampaikan materi tentang pemilu secara umum dan secara khusus tentang pemantau
pemilu”, kata Habiburrohman yang merupakan ketua KIPP Gresik.9

Dengan kondisi tersebut, benarkah KIPP Gresik bisa melakukan
pemantauan pemilu secara profesional dan berkualitas? Bagaimanakah kinerja
KIPP Gresik? Apa sumbangsih KIPP Gresik dalam konstelasi Politik di
Kabupaten Gresik? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi kegelisahan yang
wajar, mengingat fakta menunjukkan bahwa pada Pilkada Kabupaten Gresik 2015
terdapat pasangan calon yang mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi
RI terkait hasil Pilkada yang dianggap tidak sah karena banyaknya kecurangan
yang terjadi pada proses penyelenggaraannya. Indikasi terkait masifnya praktek
money politik yang berimbas pada penyangsian terhadap kinerja penyelenggara
dan pengawas pemilu masih menjadi catatan dalam Pilkada kali ini.

8
9

Maslukhin Musda, Wawancara, Gresik, 10 Januari 2016.
Habiburrohman, Wawancara, Gresik, 10 Januari 2016.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

7

Berangkat dari kondisi dan kegelisahan di atas, peneliti menganggap
bahwa akan sangat menarik ketika dilakukan sebuah penelitian tentang dinamika
pemantauan pemilu yang dirujukkan pada kajian mendalam mengenai kinerja
pemantauan pemilu yang dilakukan oleh KIPP Gresik sebagai representasi
organisasi pemantau pemilu yang dianggap cukup aktif dalam event-event politik
di Kabupaten Gresik.

B.

Perumusan Masalah
1. Bagaimana partisipasi politik KIPP Gresik dalam praktik pemantauan pemilu
yang independen?
2. Bagaimana bentuk hambatan yang dialami KIPP Gresik dalam melakukan
pemantauan di Pilkada Kabupaten Gresik tahun 2015?

C.

Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan partisipasi politik KIPP Gresik dalam melakukan pemantauan
pemilu yang independen.
2. Mengidentifikasi problematika yang dihadapi KIPP Gresik dalam melakukan
pemantauan pilkada Kabupaten Gresik tahun 2015.

D.

Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis;
1. Memberikan tambahan kajian tentang bangunan konsep pemantauan pemilu di
Indonesia.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

8

2. Memberikan rekomendasi untuk pengembangan konsep pemantauan pemilu di
Indonesia.
Manfaat Praktis;
1. Mendeskripsikan praktik pemantauan pemilu di Indonesia.
2. Memberikan evaluasi terkait pemantauan pemilu yang dilakukan oleh lembagalembaga pemantau pemilu.
3. Merefleksikan peluang partisipasi politik yang bisa dilakukan oleh civil society
dalam dinamika pemilu di Indonesia.

E.

Telaah Pustaka
Sebuah penelitian lazimnya disertai dengan data penelusuran karya-karya
ilmiah terdahulu yang digunakan untuk menguji orisinilitas penelitian tersebut.
Berikut ini adalah karya ilmiah terdahulu yang berdekatan dengan topik penelitian
ini;
1. Sumber Buku
a. International

Institute

for

Democracy and

Electoral

Assistance

(International IDEA), Standar-standar Internasional untuk Pemilihan
Umum, Pedoman Peninjauan Kembali Kerangka Hukum Pemilu.
Buku ini membahas tentang syarat-syarat pemilu yang demokratis. Salah
satu poin penting yang menjadi syarat tersebut adalah tentang transparansi
pemilu. Untuk menjamin transparansi dan meningkatkan kredibilitas,
kerangka hukum harus menetapkan bahwa para pemantau pemilu dapat
memantau semua tahapan dari proses pemilu. Proses pemilu yang

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

9

transparan merupakan standar internasional yang diperlukan untuk
memastikan pemilu yang demokratis. Kehadiran para pemantau pemilu dari
dalam maupun luar negeri di negara-negara yang demokrasinya sedang
berkembang cenderung menambah kredibilitas dan legitimasi terhadap
proses pemilu yang dipantau. Pemantauan ini juga berguna untuk mencegah
kecurangan dalam pemilu, khususnya pada saat pemungutan suara. Akan
tetapi, beberapa negara yang demokrasinya telah maju, di mana masayarakat
percaya akan keadilan dan ketidakberpihakan penyelenggara pemilu,
pemantauan pemilu mungkin tidak diadakan. Banyak kerangka hukum
mengatur keberadaan para pemantau, baik dari dalam negeri maupun luar
negeri, selain perwakilan dari media, partai politik, dan para kandidat. Pada
dasarnya, pemantauan pemilu berarti pengumpulan informasi tentang proses
pemilu, dan pemberian penilaian-penilaian yang beralasan tentang
pelaksanaan proses tersebut berdasarkan informasi yang telah dikumpulkan,
oleh orang-orang yang sebenarnya tidak berwenang untuk mencampuri
proses tersebut. Keterlibatannya dalam kegiatan-kegiatan mediasi atau
bantuan teknis tidak boleh merusak tugas utama mereka untuk melakukan
pemantauan.10
2. Jurnal dan Penelitian
a. Veri Junaidi, Fadli Ramadhanil, Ibrohim, Desain Partisipasi Masyarakat
Dalam Pemantauan Pemilu.

10

IDEA, Standar-standar Internasional untuk Pemilihan Umum, 98.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

10

Berangkat dari kajian yang dilakukan oleh para pemerhati politik yang
tergabung dalam Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem),
poin-poin penting dalam buku ini diantaranya tentang rencana strategis
pelibatan partisipasi masyarakat serta faktor-faktor yang mempengaruhi
dalam pemantauan pemilu. Disebutkan bahwa Unsur-unsur masyarakat
yang bisa terlibat dalam pemantauan dan pengawasan di antaranya adalah
pemilih, peserta pemilu, lembaga pemantau pemilu, media massa, lembaga
swadaya masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan. Undang-Undang
Pemilu menyatakan tiga pihak yang dapat menyampaikan laporan tentang
penyimpangan pemilu, yaitu pemilih, lembaga pemantau pemilu, dan
peserta

pemilu.

Perubahan

angka

partisipasi

pemilih

dengan

kecenderungan menurun ternyata juga diiringi oleh penurunan angka
partisipasi pemilih dalam melakukan pemantauan pemilu. Setidaknya hal
ini terlihat dari kecenderungan menurunnya jumlah lembaga pemilu. Jika
dilihat dari partisipasi pemilih dalam melakukan pemantauan sejak Pemilu
1999, jumlah pemantau selalu menurun. Penurunan angka pemantau juga
dapat dilihat dari penyelenggaraan pilkada. Dua lembaga pemantau yang
berkonsentrasi pada aktivitas pemantauan pemilu dengan mengandalkan
relawan seperti Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) dan
Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), mengonfirmasi bahwa
terjadi penurunan angka pemantau pemilu dari tahun ke tahun.11

11

Veri Junaidi, Fadli Ramadhanil, Ibrohim, Desain Partisipasi Masyarakat Dalam
Pemantauan Pemilu (Jakarta: Kemitraan Partnership, 2015), 26.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

11

Dari penelusuran yang ada, belum ditemukan penelitian dan buku tentang
dinamika pemantauan pemilu yang secara spesifik mengambil studi kasus
pemantauan pemilu di sebuah daerah. Secara umum, buku Desain Partisipasi
Masyarakat Dalam Pemantauan Pemilu yang diterbitkan oleh Kemitraan dan
Perludem telah menjawab sebagian dari kegelisahan tentang dinamika dalam
pemantauan pemilu. Dari penggalian data yang dilakukan oleh Perludem terbukti
bahwa memang terjadi penurunan pada angka partisipasi pemilih serta partisipasi
pemilih dalam melakukan pemantauan pemilu. Hal tersebut tentunya menjadi
permasalahan yang mengancam trend positif perkembangan demokrasi di
Indonesia. Maka, penelitian ini menjadi penting dilakukan untuk melihat
dinamika dalam pemantuan pemilu secara lebih mendalam. Tidak berhenti pada
kajian partisipasi, dalam penelitian ini disertakan pembahasan mengenai kualitas
pemantauan pemilu yang dapat terlihat melalui produk berupa catatan temuan
pelanggaran maupun rekomendasi sebagai hasil dari praktik pemantauan pemilu
yang telah dilakukan.
F.

Metode Penelitian
1. Pendekatan & Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan
Fenomenologis. Melalui pendekatan ini peneliti mencoba memahami dinamika
yang terjadi dalam proses pemantauan pemilu dengan cara melakukan
penafsiran data yang telah digali dari lapangan. Metode yang diterapkan adalah
metode deskriptif analitik. Dalam hali ini, kegiatan pemantauan pemilu
dianggap sebagai bagian yang ada dalam kehidupan sosial. Artinya, pemantau

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

12

pemilu secara organisasi ataupun individu tidak akan bisa terlepas dari
lingkungan sosial di mana ia hidup, berada dan beraktivitas. Dunia sosial yang
begitu dinamis membuat terciptanya keterkaitan erat antara masalah ini dengan
kondisi atau sesuatu hal yang sedang terjadi di lapangan.
Jenis penelitian ini dipilih dengan pertimbangan; pertama untuk
memperoleh data berupa deskripsi informasi secara holistik (utuh) dari suatu
kegiatan

atau

program

diperlukan

ketetapan

penelitian

yang

mempertimbangkan aspek tempat (place), pelaku (actor) dan aktivitas
(activity) yang berinteraksi secara sinergis.12 Kedua, dibutuhkan wawancara
mendalam

untuk

menemukan

gejala/lambang

yang

dapat

membuka

pemahaman tentang perspektif organisasi secara umum atau aktor secara
khusus. Ketiga, Pembatasan penelitian kualitatif lebih didasarkan pada tingkat
kepentingan, urgensi dan feasebilitas (keterbatasan) masalah.13
2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Pada pilkada
serentak 2015, penyelenggaraan pilkada di Kabupaten Gresik dipantau oleh
Komite Independen Pemantau Pemilu Gresik.
3. Alasan Pemilihan Subyek Penelitian

KIPP Gresik dipilih sebagai subyek dalam penelitian ini dikarenakan
pertimbangan bahwa;

12

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung : Alfabeta,
2014), 207.
13
Ibid.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

13

a. KIPP Gresik telah aktif melakukan pemantauan pemilu di Kabupaten
Gresik dalam beberapa tahun terakhir
b. KIPP Gresik adalah satu-satunya organisasi yang mendapatkan
akreditasi pemantauan pemilu dari KPUD Kabupaten Gresik tahun
2015.
c. KIPP Gresik aktif melakukan kegiatan sosialisasi pilkada Gresik 2015.
4. Sumber Data

a. Sumber Data Primer; Data Primer dalam penelitian ini berasal dari
informan di lapangan. Melalui wawancara, pemilihan informan
ditentukan dengan menggunakan teknik “Purposive Sampling”. Yakni,
pengambilan sampel berdasarkan penilaian bahwa para para informan
termasuk dalam klasifikasi sebagai berikut,
1) Pengurus dan Anggota KIPP Gresik: Ali Mahmud, Khoirun Ni’am,
Maslukhin Musda, Habiburrohman
2) Panitia Pengawas Lapangan (PPL) pada Pilkada Gresik 2015: M.
Kholil dan Taufiq Ardath
3) Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) pada Pilkada
Gresik 2015: M. Yusron
4) Pengurus Ranting Partai Politik: Ahmad Zilham.
b. Sumber Data Sekunder; Data sekunder dalam penelitian ini berupa
dokumen kegiatan-kegiatan KIPP Gresik yang terdapat di sekretariat
KIPP Gresik dan KPUD Kabupaten Gresik (Sebagai lembaga yang
berwenang mengeluarkan akreditasi untuk pemantau pemilu).

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

14

5. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan teknik;
a. Observasi post-facto.
Observasi dengan mengikuti alur observasi post-facto diartikan
sebagai observasi yang dilakukan setelah suatu peristiwa itu terjadi.
Pengamatan dan penelusuran terkonsentrasi pada faktor-faktor yang
menjadi pemicu terjadinya peristiwa tersebut, terhadap program dan
kegiatan KIPP Gresik selama masa pilkada di Kabupaten Gresik tahun
2015.
b. Wawancara In Depth Interview
Tahapan wawancara dilakukan secara mendalam mendalam (in
depth interview). Selain pertemuan tatap muka, wawancara juga
dilakukan melalui telepon untuk kelancaran proses pengumpulan data
serta menyesuaikan ketersediaan waktu subyek penelitian.
c. Dokumentasi
Proses dokumentasi dalam penelitian ini menghasilkan transkrip
wawancara peneliti dengan informan, foto-foto, dan dokumen laporan
laporan pemantauan KIPP Gresik dalam Pilkada Gresik 2015.
6. Metode Analisa Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti pola
Miles dan Huberman dengan model interaktif. Analisis data dilakukan secara
bersamaan dengan proses pengumpulan data. Bentuk aktivitasnya yaitu,
pengumpulan data lapangan, reduksi data (data reduction), penyajian (data

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

15

display),

penarikan

kesimpulan

atau

verifikasi

data

(conclusion

drawing/verification).
DATA LAPANGAN

REDUKSI DATA
PRAKTIK PEMANTAUAN
PEMILU

HAMBATAN PEMANTAUAN
PEMILU

DISPLAY DATA
DINAMIKA PEMANTAUAN
PEMILU

PRAKTIK PEMANTAUAN
PEMILU

HAMBATAN
PEMANTAUAN PEMILU

KESIMPULAN/VERIFIKASI
KINERJA KOMITE INDEPENDEN PEMANTAU PEMILU

Gambar 2. Aktifitas analisa data

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

16

G.

Sistematika Pembahasan
Untuk memberikan uraian secara jelas dalam penelitian ini, penulis
menyusun sitematika pembahasan yang terdiri lima bab yakni,
1. Pada bab I (Pendahuluan): berisi deskripsi latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, definisi konseptual, kerangka teori,
metode penelitian dan teknik analisa data
2. Pada bab II (Kerangka Teori): memuat konsep partisipasi politik, konsep
pemantauan pemilu, konsep pengawasan pemilu serta konsep civil society
3. Pada bab III (Setting Penelitian): menjabarkan aspek sosial politik (Pilkada
Gresik) dan profil KIPP Gresik
4. Pada bab IV (Pembahasan): membahas tentang bagaimana partisipasi politik
KIPP Gresik dalam praktik pemantauan pemilu yang independen serta bentuk
hambatan yang dialami KIPP Gresik dalam melakukan pemantauan Pilkada
Kabupaten Gresik 2015
5. Pada bab V (Kesimpulan): berisi kesimpulan dan saran.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB II
KERANGKA TEORI

A.

Konsep Partisipasi Politik
The term political participation will refer to those voluntary activities by
which members of society share in the selection of rulers and, directly or
indirectly, in the formation of public policy. Herbet McClosky mendefinisikan
partisipasi politik sebagai kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat
melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan
secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum.1
Masyarakat memiliki andil dalam proses politik melalui partisipasi yang
dilakukannya sebagai perwujudan atas hak-hak politik yang dimilikinya.
Miriam Budiarjo menjelaskan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan
seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik
yaitu dengan cara jalan memilih pimpinan negara secara langsung atau tidak
langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah. Kegiatan ini mencakup tindakan
seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum,
menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan
dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen.2

1

Herbert Mc.Closky, “International Encyclopedia of the Social Sciences”, dalam Miriam
Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008), 367.
2
Miriam Budhiardjo, Partisipasi dan Partai Politik, (Jakarta: Gramedia,1982), 12.


digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

✂8

Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam Political Participation
in Developing Countries3 memberi penafsiran yang lebih luas dengan
memasukkan secara eksplisit tindakan ilegal dan kekerasan. Partisipasi politik
adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud
untuk

mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa

bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis,
secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.
“By political participation we mean activity by private citizens designed to
influence government decision making. Participation may be individual or collective,
organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or
illegal, effective or ineffectwive”.4

1. Kriteria Partisipasi Politik
Penentuan sebuah fakta tindakan atau kegiatan apakah termasuk ke
dalam konsep partisipasi politik atau tidak dapat didasarkan dengan beberapa
kriteria yang dikemukakan oleh Ramlan Surbakti sebagai “rambu-rambu”
partisipasi politik. Poin-poinnya, yaitu;
a. Partisipasi politik yang dimaksudkan berupa kegiatan atau perilaku
luar indvidu warga negara biasa yang dapat diamati, bukan perilaku
dalam yang berupa sikap dan orientasi. Hal ini perlu ditegaskan
karena sikap dan orientasi individu tidak selalu termanifestasikan
dalam perilakunya.
b. Kegiatan yang dilakukan tersebut diarahkan untuk mempengaruhi
pemerintah selaku pembuat dan pelaksana keputusan politik.

3

Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik , 368.

4

Ibid.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

19

Termasuk ke dalam pengertan ini, seperti kegiatan mengajukan
alternatif kebijakan umum, alternatif pembuat dan pelaksana
keputusan politik, dan kegiatan mendukung ataupun menentang
keputusan politik yang dibuat pemerintah.
c. Baik

kegiatan

yang

berhasil

(efektif)

maupun

yang

gagal

mempengaruhi pemerintah termasuk dalam konsep partisipasi politik.
d. Kegiatan mempengaruhi pemerintah tanpa menggunakan perantara
individu dapat dilakukan secara langsung atau pun secara tidak
langsung.5
Kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam partisipasi politik tersebut
tentunya dapat dijalankan secara individu maupun kolektif. Sumber tindakan
juga tidak selalu berasal dari inisiatif sang aktor, bisa juga disebabkan oleh
reaksi terhadap sistem politik yang sedang berlangsung.
2. Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik
Milbrath dan Goel, mengungkapkan bahwa partispasi politik dibedakan
dalam tiga tingkatan;
a. Pemain (Gladiators), yaitu orang-orang yang selalu aktif terlibat
dalam proses politik.
b. Penonton (Spectators), yaitu berupa orang-orang yang setidaknya
pernah ikut dalam pemilu.

5

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Grasindo, 2010), 180-181.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

20

c. Apatis (Apathetic), adalah orang-orang yang menarik diri dari proses
politik.6
Sementara

menurut

Ramlan

Surbakti,

beberapa

faktor

yang

mempengaruhi tinggi-rendahnya partisipasi politik seseorang ialah kesadaran
politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem politik). Yang dimaksud
dengan kesadaran politik ialah kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai
warga negara. Hal ini menyangkut pengetahuan seseorang tentang lngkungan
masyarakat dan politik, dan menyangkut minat dan perhatian seseorang
terhadap lingkungan masyarakat dan politik tempat dia hidup. Yang dimaksud
dengan sikap dan kepercayaan kepada pemerintah ialah penilaian seseorang
terhadap pemerintah: apakah ia menilai pemerintah dapat dipercaya dan dapat
dipengaruhi atau tidak.7
Dua faktor tersebut yang membuat Paige membagi partisipasi politik
dalam empat tipe, yaitu apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan
kepercayaan kepada pemerintah yang tinggi, partisipasi politiknya cenderung
aktif. Sebaliknya, apabila kesadaran politik dan kepercayaan kepada
pemerintah rendah maka cenderung pasif-tertekan (apatis). Tipe partisipasi
ketiga berupa militan radikal, yakni apabila kesadaran politik tinggi tetapi
kepercayaan kepada pemerintah sangat rendah. Selanjutnya, apabila kesadaran

6
7

Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik , 372.
Surbakti, Memahami Ilmu Politik, 184.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

21

politik sangat rendah tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat tinggi,
partisipasi ini disebut tidak aktif (pasif).8
3. Bentuk Partisipasi Politik
Bentuk partisipasi politik diantaranya melalui pemberian suara (voting
behavior), diskusi politik, kegiatan kampanye, ikut dalam partai politik dan
lain sebagainya. Perilaku politik masyarakat itu sendiri dapat dilihat ketika
masyarakat tersebut ikut berpartisipasi, misalnya dalam pemilu. Rakyat
membuat kontrak sosial dengan para pemimpin melalui pemilu. Pada saat
pemilu rakyat dapat memilih figur yang dapat dipercaya untuk mengisi jabatan
legislatif dan eksekutif. Di dalam pemilu, rakyat yang telah memenuhi syarat
untuk memilih, secara bebas, dan rahasia, menjatuhkan pilihannya pada figur
yang dinilai sesuai dengan aspirasinya.9
Sedangkan, Afan Gafar mengemukakan lima bentuk umum terkait peran
serta atau partisipasi politik masyarakat. Lima bentuk tersebut yakni,
a. Electoral activity, yaitu segala bentuk kegiatan yang secara langsung atau
tidak langsung berkaitan dengan pemilihan. Termasuk dalam kategori ini
adalah ikut serta dalam memberikan sumbangan untuk kampanye, menjadi
sukarelawan dalam kegiatan kampanye atau rally politik sebuah partai,
mengajak seseorang untuk mendukung dan memilih sebuah partai atau
8

Jeffry M. Paige, Political Orientation and Riot Participation, American Sociological
Review, (tk., tp., 1971), 810-820, dalam Surbakti, Memahami Ilmu Politik, 184-185.
9
Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, (Bandung: Fokusmedia,
2007), 173-174.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

22

calon pemimpin, memberikan suara dalam pemilihan, mengawasi
pemberian dan penghitungan suara, menilai calon-calon yang diajukan dan
lain-lainnya.
b. Lobbying, yaitu tindakan dari seseorang atau kelompok orang untuk
menghubungi pejabat pemerintah ataupun tokoh politik dengan tujuan
untuk mempengaruhinya menyangkut masalah tertentu.
c. Organizational activity, yaitu keterlibatan warga masyarakat ke dalam
organisasi sosial dan politik, apakah ia sebagai pemimpin, aktivis atau
sebagai anggota biasa.
d. Contacting, yaitu partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat dengan
secara langsung pejabat pemerintah atau tokoh politik, baik dilakukan
secara individu maupun kelompok orang yang kecil jumlahnya. Biasanya,
dengan bentuk partisipasi seperti ini akan mendatangkan manfaat bagi
orang yang melakukannya.
e. Violence, yaitu mempengaruhi pemerintah dengan cara-cara kekerasan,
pengacauan, dan pengerusakan (by doing physical damage) terhadap
barang atau individu.10

10

Afan Gafar, Merangsang Partisipasi Politik, dalam Syahrifin Arbab, ed., Demitologi
Politik Indonesia: Mengususng Elitisme dalam Orde Baru, Jakarta: Pustaka Cesindo,
1998), 221.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

23

B.

Konsep Civil Society
Banyak penjabaran dapat kita temukan tentang wujud ideal sebuah Civil
Society. Hal tersebut dikarenakan pembahasan mengenai civil society telah
mengemuka sejak masa Aristoteles dan terus berkembang hingga hari ini. Jika
pada fase yang pertama civil society masih dilekatkan pada negara dan masih ragu
untuk ditetapkan bentuknya maka dewasa ini civil society telah memiliki kekuatan
serta tampil sejajar dengan komponen-komponen lain di dalam negara.
Thomas Hobbes dan John Locke mempunyai pandangan yang sama
dengan Aristoteles tentang pemaknaan civil socity yang diidentikkan dengan
negara. Civil society dianggap sebagai tahapan lebih lanjut dari evolusi natural
society. Menurut Hobbes, civil society harus memiliki kekuasaan absolut agar
mampu meredam konflik dalam masyarakat dan sepenuhnya mengontrol pola
interaksi warga.11 Pendapat ini sangat ekstrim menempatkan civil society sebagai
kekuatan yang lebih tinggi daripada semua entitas yang ada dalam tatanan sosial.
Sedikit berbeda dengan Hobbes, John Locke mengatakan bahwa
kemunculan civil society ditujukan untuk melindungi kebebasan dan hak milik
warga negara. Karenanya, civil society tidak boleh absolut, dan harus dibatasi
perannya pada wilayah yang tidak bisa dikelola masyarakat, serta memberi ruang
yang wajar bagi negara untuk memperoleh haknya secara wajar pula. 12 Ada pola
keseimbangan yang coba diungkapkan oleh Locke dalam pendapatnya mengenai

11
12

Asrori S. Karni, Civil Society & Ummah, (Jakarta: Logos, 1999), 21.
Ibid, 12.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

24

civil society. Kesesuaian peran akan mendorong civil society berada pada suatu
unsur yang memiliki nilai penting dan memiliki tautan kepada negara dan warga
negara.
Dikutip dari A.S. Hikam, Henningsen mengungkapkan bahwa civil
society secara institusional bisa diartikan sebagai pengelompokan anggotaanggota masyarakat sebagai warga negara mandiri yang dapat dengan bebas dan
egaliter bertindak aktif dalam wacana praksis mengenai segala hal yang berkaitan
dengan masalah kemasyarakatan pada umumnya.13 Lebih lanjut dijabarkan oleh
AS. Hikam bahwa pengelompokan tersebut termasuk di dalamnya adalah
jaringan-jaringan pengelompokan-pengelompokan sosial yang mencakup mulai
dari rumah tangga (household), organisasi-organisasi sukarela (termasuk partai
politik, sampai dengan organisasi-organisasi yang mungkin pada awalnya
dibentuk oleh negara, tetapi melayani kepentingan masyarakat yaitu sebagai
perantara dari negara di satu pihak dan indvidu dan masyarakat di pihak lain.14
1. Prinsip-prinsip Civil Society
Pemahaman yang menarik dikemukakan oleh Eisenstadt yang melakukan
breakdown terhadap konsep civil society. Dikemukakan oleh Eisenstadt, jadi,
civil society adalah sebuah masyarakat, baik secara individual maupun secara
kelompok dalam negara yang mampu berinteraksi dengan negara secara

13
14

AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, (Jakarta: LP3ES, 1996), 88.
Ibid.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

25

independen.15 Tentu saja, masyarakat tersebut bukanlah masyarakat yang
secara mudah kita artikan. Tetapi masyarakat yang memiliki komponen
tertentu sebagai syarat adanya civil society itu. Komponen tersebut meliputi
empat hal :
a. Otonomi : Dengan otonomi dimaksudkan bahwa sebuah civil society
haruslah sebuah masyarakat yang terlepas sama sekali dari pengaruh negara,
apakah itu dalam bidang ekonomi, politik ataupun bidang sosial. Dalam
masyarakat seperti itu, segala bentuk kegiatannya sepenuhnya bersumber
dari masyarakat itu sendiri, tanpa ada campur tangan dari negara. Negara
hanya merupakan fasilitator, misalnya melakukan regulasi yang diperlukan
dalam mengatur kompetisi dan melindungi kepentingan publik.
b. Akses masyarakat terhadap lembaga negara: Komponen yang kedua dari
civil society adalah akses masyarakat terhadap lembaga negara. Dalam
konteks hubungan antara negara dan masyarakat, setiap warga negara, baik
sendiri-sendiri maupun kelompok, harus mempunyai akses terhadap
agencies of the state. Artinya, individu dapat melakukan partisipasi politik
dengan berbagai bentuknya
c. Arena publik yang otonom : Komponen yang ketiga dari civil society
terletak pada tumbuh dan berkembangnya arena publik yang bersifat
otonom, di mana berbagai macam organisasi sosial dan politik mengatur diri
15

Eisenstadt, Lipset (tk., tp., 1995), 240; Suharko, Merajut Demokrasi: Hubungan NGOPemerintah dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2005), 30.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

26

mereka sendiri. Arena publik adalah suatu ruang tempat warga negara
mengembangkan dirinya secara maksimal dalam segala aspek kehidupan.,
bidang ekonomi atau bidang lainnya. Arena publik ini pada prinsipnya
terlepas dari campur tangan negara, apalagi elemen yang bersifat koersif.
Sekalipun demikian, kalangan masyarakat yang bersifat independen ini
harus mampu membuka kesempatan kepada negara agar bisa memiliki akses
terhadap mereka. Artinya, antara negara dan masyarakat harus saling
memberikan pengakuan atas otoritas masing-masing.
d. Arena publik yang terbuka : Komponen yang keempat dari civil society
adalah yang menyangkut arena publik tersebut, yaitu arena publik yang
terbuka bagi semua lapisan masyarakat, tidak dijalankan dengan cara yang
bersifat rahasia, eksklusif, dan setting yang bersifat korporatif. Masyarakat
dapat mengetahui apa saja yang terjadi di sekitar lingkungan kehidupannya,
bahkan ikut terlibat di dalamnya. Diskusi yang bersifat terbuka, yang
menyangkut masalah publik, merupakan suatu keharusan. Sehingga,
kebijakan publik tidak hanya melibatkan sekelompok kecil orang saja.16
2. Civil Society dan Masyarakat Madani
Perspektif lain dikemukakan oleh Nurcholis Madjid yang menganggap
civil society relevan dengan konsep masyarakat madani. Konsep tersebut
dikaitkan dengan masyarakat kota Madinah pada jaman Rasulullah SAW.
Menurut Madjid, piagam Madinah merupakan dokumen politik pertama dalam
16

Ibid., 34-35.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

27

sejarah umat manusia yang meletakkan dasar-dasar pluralisme dan toleransi,
sementara toleransi di Eropa (Inggris) baru dimulai dengan The Toleration Act
of 1689.17 Pendapat ini cukup populer dikalangan umat para akademisi muslim
yang seringkali menjadikannya kiblat dalam pengembangan-pengembangan
gagasan civil society dalam bentuk praktik maupun sistem di era kekinian.
Cendikiawan muslim lainnya, Abdurrahman Wahid menyandarkan
gagasan civil society pada nilai-nilai Humanisme. Istilah “pemberdayaan civil
socety” yang dikembangkannya didasarkan pada visi transformasi sosial dan
penyadaran hak –hak rakyat dalam kehidupan bernegara. Abdurrahman Wahid
mendasarkan pengembangan pluralisme, demokrasi, HAM dan civil society
dalam basis humanisme sebagai media untuk mewujudkan masyarakat
Indonesia yang mandiri.18
Terdapat beberapa persamaan dan perbedaan antara wacana civil society
dan konsep ummah yang diterapkan oleh Rasulullah SAW., yaitu;
a. Dari segi watak dasar, kedua konsep tersebut mempunyai kesamaan
sifat, yakni terbuka, dinamis dan berorientasi non-utopis. Bedanya,
sifat keterbuakaan dan dinamika makna ummah jauh lebih luas
ketimbang civil society, sementara watak non-utopis civil society lebih
menonjol karena umumnya ia terbentuk dari realitas empirik karena
17

Nurcholis Madjid. “Pengantar” Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi:
Tantangan dan Kemungkinan, dalam Ahmad Baso, Civil Society versus Masyarakat
Madani: Arkeologi Pemikiran “Civil Society” dalam Islam Indonesia, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1999), 22-25.
18
Mibtadin, Humanisme Dalam Pemikiran Abdurrahman Wahid, (Tesis ini tidak
diterbitkan, Program studi Agama dan Filsafat, UIN Sunan Kalijaga, 2010), 384.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

28

mengandung muatan-muatan normatif yang terderivasi dari ajaran
agama
b. Dilihat dari latar belakang munculnya konsep, civil society muncul
dari latar belakang yang beragam dan tajamnya benturan kepentingan.
Sementara ummah, situasi konflik yang terjadi antar suku Madinah,
krisis moral dan spiritual masa itu sangat melatar belakangi
munculnya konsep ummah. Ini merupakan kesamaan antara kedua
konsep tersebut yang sama-sama berakar dari konflik masyarakat.
Perbedaannya pada keberadaan dan fungsi negara. Dalam konsep
ummah, institusi negara yang dibentuk masih sederhana, dan kinerja
masyarakat dinilai lebih penting daripada knerja negara. Sementara
negara menurut Hobbes, keberadaannya dipandang sebagai suatu
keharusan yang mempunyai kekuasaan absolut dan memegang
peranan penting dalam mengelola masyarakat
c. Hubungannya dengan agama, civil society merupakan konsep sekuler
yang dalam perjalanannya me