KEMANA PROGRESIVITAS MUHAMMADIYAH

KEMANA PROGRESIVITAS MUHAMMADIYAH ?
Irawan Argo Widodo
Seorang pemuda aktivis Muhammadiyah di akar rumput dengan geram bercerita. Ketika kaum
muda Muhammadiyah ingin beraksi memberantas perjudian totor di kampungnya, Ketua
Pimpinan Cabang Muhammadiyah setempat malah melarang. Alasannya adalah agar tidak terjadi
benturan konflik. Lebih celaka lagi, ketika polisi, yang seharusnya berdasarkan undang-undang
menindak perjudian itu, menanyakan permasalahan itu kepada Sang Ketua Muhammadiyah,
Beliau tidak membela warganya dan menasehati polisi untuk memberantas, tetapi malah mengaku
tidak tahu-menahu dan tidak bertanggungjawab.
Lalu ada cerita lain lagi. Majelis Dikdasmen di sebuah cabang melakukan inovasi didalam
pengelolaan pendidikan Muhammadiyah. Mereka dengan susah payah berusaha menghidupkan
kembali sebuah SD yang hampir mati dengan berimprovisasi dalam kurikulum. Kurikulum
nasional dan Muhammadiyah (konvensional) yang selama ini telah ada di sekolah-sekolah
Muhammadiyah mereka perkaya dengan muatan-muatan yang lebih mendidik, mencerdaskan dan
membuat terampil. Tetapi respon apa yang mereka dapatkan dari Majelis Dikdasrnen Daerah?
Bukannya mendukung, tetapi yang ditunjukkan adalah sikap acuh, bahkan terkadang apriori
terhadap kegiatan mereka.
Kedua contoh di atas mungkin bukan merupakan gambaran Muhammadiyah di seluruh tanah air.
Di daerah-daerah tertcntu masih tcrdapat banyak Pimpinan Muhammadiyah yang progresif serta
peka dan tanggap terhadap tantangan masyarakat. Tetapi untuk banyak Daerah, Muhammadiyah
telah menjadi sebuah birokrasi besar yang lamban merespon keadaan dan terpaku pada aktivitasaktivitas konvensional yang selama ini telah ada.

Contoh pertama di atas menunjukkan tidak-tanggapnya Pimpinan struktural Muhammadiyah
terhadap persoalan riil kemasyarakatan. Kepedulian kalangan yang tidak berada di struktur
kepemimpinan Muhammadiyah, sebut saja kalangan kultural, terhadap masalah tersebut
bukannya didukung tetapi malah ditanggapi dengan sikap negatif. Kalangan struktural yang
biasanya diisi oleh mubaligh ataupun aktivis organisasi yang tua-tua, dalam menghadapi
persoalan-persoalan nyata, selalu takut mengambil aksi

yang berisiko. Padahal banyak

permasalahan-permasalahan kemasyarakatan tidak bisa hanya diatasi dengan aktivitas-aktivitas
konvensional. Pada kasus-kasus tersebut diperlukan tindakan berani, meski tetap harus terukur.
Ketidaktanggapan kalangan struktural Muhammadiyah tersebut seringkali menimbulkan
kekecewaan, bahkan kegeraman, dikalangan kultural. Mereka yang mempunyai kepedulian
terhadap

perjuangan

dakwah

Muhammadiyah,


tetapi

tidak

berada

dalam

struktur

Muhammadiyah, seringkali hanya bisa menggerutu terhadap realitas semacam ini. Meski bisa
saja mereka melakukan aksi tanpa melibatkan struktur Muhammadiyah, tetapi tetap saja mereka
tidak rela jika Muhammadiyah dicap sebagai gerakan yang tidak tanggap terhadap persoalan riil
masyarakat. 0leh karenanya mereka akan selalu berusaha "menarik" struktur Muhammadiyah
agar peduli.
Sementara itu contoh yang kedua menunjukkan bagaimana sebuah kegiatan, terutama amal usaha,
dijalankan oleh kalangan konservatif Muhammadiyah. Apabila aktivitas tersebut telah berjalan
mapan, maka dianggap tidak perlu lagi ada upaya-upaya untuk mengubahnya. Kepedulian mereka
terhadap efektifitas aktifitas tersebut terhadap tujuan Persyarikatan sangat kurang. Pokoknya yang

penting adalah kegiatan tersebut jalan. Setiap ada improvisasi dari kalangan Muhammadiyah
ditanggapi dengan sinis. Buang-buang energi dan reka-reka. Mereka telah puas apabila sekolah
mereka itu sudah mendapat murid yang banyak, yang bisa memberi masukan untuk membangun
gedungnya menjadi lebih megah. Tidak peduli apakah kebijakan mereka itu menyebabkan
kalangan dhuafa' tidak bisa menikmati program pendidikan mereka. Juga apakah materi
pendidikan mereka telah efektif mendukung tujuan Persyarikatan.
Memang, Muhammadiyah yang di awal pendiriannya merupakan gerakan yang progresif, di
banyak tempat telah berubah menjadi organisasi yang konservatif. Banyak masalah
kemasyarakatan tidak bisa direspon, kecuali hanya dengan program-program konvensionalnya.
Beberapa hal bisa kita lihat menjadi penyebab gejala ini. Di antaranya adalah karena para aktivis,
terutama aktivis struktural, telah kehilangan "ruh" gerakan Muhammadiyah. Semangat tajdid
yang seharusnya menjadi suasana batin para penggerak Muhammadiyah telah dilunturkan oleh
aktivitas-aktivitas rutin birokratis, yang sepertinya sekarang sudah menjadi "trademark"
Muhammadiyah. Ghirrah untuk melakukan inovasi, improvisasi dan aktivitas-aktivitas kreatif
lainnya telah melemah. Juga, karena lemahnya visi mereka didalam membaca tantangan zaman.
Kelemahan visi ini karena para aktivis Muhammadiyah tidak terlatih menghadapi tantangan yang
beragam dan complicated. Mungkin karena latar belakang aktivis semacam itu yang berasal dari
birokrat pemerintah, yang dalam lingkungan kerjanya terbiasa dengan menunggu petunjuk alasan
Sehingga kemampuan untuk melepaskan diri dari belenggu tradisionalisme aktivitas tidak ada.
Yang ada hanyalah peniruan-peniruan terhadap aktivitas para pendahulu mereka yang seringkali

telah out of date.
Menghadapi tantangan semacam ini, kalangan progresif di Muhammadiyah tidak boleh berputus
asa. Tindakan untuk "tinggal gelanggang, colong playu" adalah tindakan yang tidak bijaksana.
Upaya-upaya untuk menghimpun kekuatan kalangan progresif serta penyadaran kepada kalangan

konservatif perlu terus-menerus dilakukan. Sekali-sekali perlu dilakukan tindakan shock therapy,
agar mereka tersentak.
Apabila upaya-upaya penyadaran semacam itu tetap tidak menghasilkan, maka perlu dipikirkan
upaya untuk melakukan penyegaran kepemimpinan struktural. Melalui cara-cara yang elegan,
kalangan progresif harus dapat mendesakkan aktivisnya untuk duduk didalam kepemimpinan
struktural. Tetapi yang harus diingat adalah bahwa apabila aktivis tersebut telah berhasil
dimasukkan kedalam struktur kepemimpinan, maka ia harus terus-menerus dikawal dan
diingatkan terhadap cita-cita awalnya. Sebab kalau tidak, jangan-jangan dia menjadi tertular
oleh virus konservatif. Wallaahu a’lam. .
Penulis adalah aktivis Pemuda Muhammadiyah Kota Jogjakarta

Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 17-02