KEMANA ARAH PENDIDIKAN INDONESIA. docx
KEMANA ARAH PENDIDIKAN INDONESIA?
Zamroni
Sejak awal berdirinya republik yang kita cintai bersama ini, para
pendiri bangsa telah menetapakan bahwa pendidikan dan kebudayaan
merupakan
satu
kesatuan,
dalam
label
pendidikan,
sebagaimana
termaktub pada Undang Undang Dasar Republik Indonesia Bab XIII pasal
31 dan pasal 32. Pasal 31 menegaskan bahwa pendidikan merupakan hak
setiap warga negera, dan pemerintah berkuajiban menguasahakan dan
m,enyenelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional, dan pasal 32
mengamanatkan bahwa pemerintah memajukan kebudayaan nasional.
Amanat Undang Undan Dasar 1945 telah dijabarkan ke dalam
berbagai Undang-Undang sistem pendidikan, terakhir adalah UndangUdang Sistem Pendidikan Nasional
th 2003, yang menegaskan bahwa
“Pendidikan adalah usaha sadar
dan terencanauntuk mewuwjudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan
potensi
dinya
untuk
memiliki
kekuatan
spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdaan, akhlak mulia,
serta ketrampilan yang dierlukan dirinya, masyarakat, bangsa
negara”. Pada BAB II
dan
pasal 2 ditegaskan”Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa
yang
bermartabat
dalam rangka
mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Pada Bab III
secara rinci telah dirumuskan prinsip penyelenggaraan pendidikan,
sebagai berikut:
(1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia,
nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
(2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuanyang sistemik
dengan sistem terbuka dan multimakna.
1
(3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan
dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
(4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan,
membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik
dalam proses pembelajaran.
(5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya
membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
(6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua
komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan
pengendalian mutu layanan pendidikan.
Berdasarkan kutipan dari Undang Undang Dasar Republik
Indonesia dan Sistem Pendidikan Nasional sudah amat gamblang kemana
arah
pendidikan
nasional
Indonesia.
Sehingga
menarik
untuk
dipertanyakan mengapa Round Table Discussion ini mengangkat satu sub
tema “Kemana Arah Pendidikan Indonesia?”
PROSES PENDANGKALAN
Arah pendidikan yang telah diamanatkan dalam Undang Dasar
Republik Indonesia dan Sistem Pendidkan Nasional cenderung tetap
sebagai suatu dokumen. Kebijakan dan penyelenggaaan pendidikan jauh
dari apa yang telah
diamanatkan. Pendidikan yang diharapkan sebagai
suatu proses pembudayaan yang berlangsung tiada pernah henti, telah
berubah arah sekedar alat untuk memersiapkan siswa untuk bisa memiliki
kemampuan guna memasuki dunia kerja. Mempersiapakan siswa untuk
bisa bekerja itu penting, namun tugas pendidikan tidak hanya itu. Paling
tidak tugas pendidikan mencakup, antara lain:
1. Mengembangkan kemampuan kritis (daya pikir), pengetahuan
dan ketrampilan;
2. Mengembangkan
kesadaran
dan
semangat
berbangsa
sehingga dapat melahirkan warga negara yang baik;
3. Mempersiapkan generasi memasuki masyarakat dan mampu
menghilangkan problem dan berbagai penyakit masyarakat,
seperti kemiskinan dan pengangguran;
2
4. Mempersiapakan kemampuan dan ketrampilan seseorang
untuk memasuki pasar tenaga kerja yanmg diperlukan dunia
industri
Sekolah
yang
didesain
untuk
mengembangkan
kemampuan dan perilaku pada diri siswa selama ini
karakter,
telah bergeser
sekedar menjadi instrumen untuk mengembangkan kemampuan kognitif
bagaimana yang telah disiapkan lewat ujian akhir. Karena begitu linier dan
langsung kaitan antara sekolah dna ujian akhir, yang kebetulan Ujian
Nasional,
menyebabkan
sekolah
merupakann
instrumen
untuk
mempersiapkan siswa menghadapi UN. Segala kehidupan sekolah adalah
untuk UN, telah muncul berhala baru yakni UN. Sudah barang tentu bukan
UN yang salah, tetapi mereka yang bergerak dalam dunia pendidikan,
khususnya pendidik dan pejabat pendidikan yang salah dalam mensikapi
dan memperlakukan ujian nasional. Jadi pendidikan yang memiliki makna
mendalam dan penuh makna telah didangkalkan oleh para pejabat
birokrat pendidikan lewat pendidik menjadi sekedar ujian nasional.
Pendangkalan makna pendidikan menjadi sekedar sekedar ujian
nasional memiliki implikasi panjang. Semua kebijakan dan praktik
pendidikan mesti menuju ke ujian nasional. Artinya, kebijakan dna praktik
pendidikan yang diputuskan oelh birokrasi pendidikan hanya akan
berjalan selama sejalan dna menopang keberhasilan ujian nasional.
Sebaliknya,
apapun
kebijakan
dan
betapapun
bagusnya
praktik
pendidikan kalau tidak menjamin pencapaian hasil ujian nasional tidak
akan berjalan dengan baik.
Berbagai upaya
untuk menyempurnakan
sistem UN, khususnya sistem penentuan kelulusannya, tidak akan pernah
berhasil memuaskan, sebaliknya semua upaya itu justru akan melahirkan
suatu sirkus pendidikan.
Muncul sebersit pertanyaan kalau begitu apakah tidak
sebaiknya ujian akhir kembali ke ujian sekolah? Sama saja, kalau kembali
ke ujian sekolah dalam kondisi sebagaimana saat ini juga akan muncul
sirkus yang tidak kalah menariknya.
Dari perspektif ini, sesungguhnya
3
parapedagog dan pemerhati pendidikan selama ini telah membuang
waktu secara mubazir memperdebatkan Ujian Nasional dan minta diganti
dengan ujian sekolah. Suatu bentuk ujian akhir: UN atau Ujian Sekolah,
adalah sama saja dan tidak berpengaruh langsung pada peningkatan
mutu sekolah. Perdebatan panjang berkaitan dengan ini telah berlangsung
ber abad-abad, tidak menemukan jalan keluar atai sintesa diantara
keduanya. Sistem ujian akhir sekolah akan bisa mempengaruhi kualitas,
manakala fungsi ujian akhir dilaksanakan . Yakni, hasil ujian akhir, apakah
UN atau US bisa dijaidkan uimpan balik bagi para guru dan sekolah.
Termasuk mubazir pula, UN dijadikan topic simposium nasional. Mestinya,
kalau untuk ambil kebijakan pelaksanaan UN dievaluasi, seperti yang
dilakukan oleh jiran kita, Malaysia.
BANGSA YANG TENGAH SAKIT
Pendangkalan pendidikan yang telah berlangsung amat lama ini
menyebabkan
bangsa
sakit
berat.
Yakni
penyakit
yang
telah
menempatkan uang sebagai tujuan hidup. Semua sependapat bahwa
hidup butuh uang,
tetapi akan menimbulkan masalah apabila tujuan
hidup adalah untuk mendapatkan uang. Uang menjadi indikator dan
ukuran
keberhasilan
dalamkehidupan.
Para
siswa
dan
mahasiswa
mengikuti pendidikan dengan tujuan mendapatkan uang. Cita-cita yang
dikembangkan
adalah
bisa
memperoleh
pekerjaan
yang
bisa
menghasilkan banyak uang.
Penyakit
hidup untuk mendapatkan uang menimbulkan
komplikasi lain, yakni hidup tidak memiliki malu lagi. Semua diterabas
tidak malu-malu asal bisa memperoleh uang. Dengan dua penyakit
masyarakat ini maka korupsi tidak lagi perilaku individu, melainkan sudah
perilaku berjamaah.
Tidak malu-malu lagi rapat dan diskusi untuk
merancang melakukan korupsi, termasuk rancangan menghiolangkan
jejak tindak korupsi, apabila korupsi terbongkar.
Penyakit masyarakat ini menjadikan kehidupan masyarakat
tiada lagi memiliki kejujuran, akibat lebih lanjut diantara kita tidak ada
4
lagi slaing percaya mempercayai. Etika kehidupan sudah banyak tidak lagi
digapai. Dampaknya, kehidupan menjadi sulit, rumit dna kompleks.
Sudah barang tentu, untuk mengobati bangsa yang tengah sakit
adalah memerlukan penanganan yang serius. Para penguasa dan
pejabatharus menyadari hal ini, dna kemudian melakuiakn perubahan
dalam cara pandang, sikap dan tindak kepemimpinanya. Para penguasa
dan pejabat mesti memiliki sensitivitas atas penynpangan yang terjadi di
masyarakat
betapapun
mengatasinay
ringan
sebelum
penyimpangan
penyimpangan
itu,
meluas
dan
dan
segera
membesar.
Penegakaan etika, kedisplinan dalam kehidupan dan hukum merupakan
obat utama untuk mengatasi penyakit amsyarakat. Sudah barang tentu,
dunia
pendidikan
juga
dituntut
untuk
melakuakn
perubahan
dan
pembenahan diri guna mengobati penyakit bansga ini dan membereikan
arah kedepan kemana bansga mesti menuju.
CUKUP SEKIAN SISTEM PINJAMAN
Sistem pendidikan suatubansga mesti bertumpu ndna berakar
dari budaya bansga sendirti. Budaya bangsa mengandung bagaimana
sistem pikir dan sistem perilaku. Sistem pendidikan damn praktik
pendidikan harus nsesuai dengan sistem mpikri dna sistem perilaku
tersebut. Suatu bansga akan mendapatkan amsalah besdar manakala
meminjam sistem pendidiakna bansa lain, tanpa melakukan proses
‘cleaning and integrating”.
Bangsa
bagaimana
Jepang
merupakan
meminjam
msistem
nsuatu
model
pendidikan
barat
yang
patut
untuk
ditiru
kemudian
dibersihkan unsut-unsur barat yangbtidak sesuai dengan pola pikir dna
pola periolakju jepang, dna kemudian dapatb diintegrasikan ke dalam
sistem pendidikan Jepang.
Pendidikan yang datang dari Barat merupakan sistem pendidikan
yang tumbuh bertkembang dari pola pikir danpola perilaku banga Barat,
yakni rasional sekuleristik. Sebagai
contoh, ketika bangsa Amerika
menghadapi problem bangsa yakni berupa banyaknya teenegers mother,
5
unwanted
births,
menghadapi
bansga
masalah
Amerika
tersebut.
Dunia
menuntut
pendidikan
peran
pendidikan
Amerika
Serikat
memberikan jawaban: “Laksnakan “Sex Educaiion”, para siswa diajari
bagaimana melakukan hubungan seksual tetapi tidak berujung kehamilan.
Kebijakan itu rasional, karena menurut para ahli, tuntutan seksual itu
secara alami bekembang sssuai dengan perkembangan kedewasaan. Ini
madalah biologis yang tidak mungkin dihindari. Oleh karena itu, biarlah
tuntutan biologis tersalurkan. Biarlah siswa yang sudah boleh pacaran
melakukan hubungan seksual. Tapi beritahu bagaimana supaya tidak
hamil. Oleh karena itu, merupakan suatu hal yang tidak lagi aneh, kalau
nsiswa yang sudah membawa kondom dalam tasnya. Sekuler, karena
kehidupan dunia ini tidak perlu dikaitkan dengan agama. Ketika pola pikir
dna pola periolaku di tiru di Indonwesia dengan “Minggu Kondom”
gegerlah bangsa kita. Mengapa? karen pola pikir dan pola perilaku bangsa
Indonesia tidak rasional sekuleristik. Dalam kaitan dengan budaya, salah
seorang pemikir besar pendidikan,Bruner (1996), menegaskan pentingnya
budaya bangsa bagi pendidikan dengan ucapanya: “A system of education
must help those growing up in a culture find an identity within that
culture” (p. 42). Perlu dicatat, tokoh yang selama ini senantiasa
memikirkan kebudayaan, Sultan Hameng Buwono X (2012, 203-204),
dengan lugas memperingatkan: ”Pendidikan yang tidak didasari oleh
kebudayaan akan menghasilkan generasi yang tercabut dari kehidupan
masyarakatnya sendiri. Menjadikan pendidikan steril dari kekayaan
budayanya sendiri, dan berpotensi untuk menghasilkan enclave dalam
masyarakat”.
Bangsa Indonesia harus berani untuk mengkaji kembali sistem
dan praktik pendidikan dengan perspektif budaya bangsa. Sistem yang
datang dari Barat yang telah dipakai selama ini bukan berarti harus
dibuang dan ditinggalkan begitu saja melainkan perlu dibersihkan, mana
yang sesuai dengan budaya bangsa dan mana yang perlu ditinggalkan.
MEMANTAPKAN FONDASI, MELURUSKAN KIBLAT.
6
Dalam suatu seminar pendidikan di Bangkok yang diorganisir
oleh UNESCO, salah satu penyaji menyampaikan pernyataan “Alangkah
bahagianya dunia pendidikan Indonesia memiliki Pancasila”. Pernyataan
yang diucapkan secara tulus dan rasional sebagbvai suatu bentuk pujian
ndna penghargaan atas Pancasila sebagai dasar negara, yang secara
otomatis juga dasar pendidikan Indonesia.
Pendidikan yang berdasarkan Pancasila adalah: Ketuhanan Yang Maha
Esa memiliki makna bahwa
pendidika bersifat Theo-centris, bukannya
Anthropo-centris. Dengan pendidikan bersifat Theo-centris kegiatan dalam
pendidikan merupakan rangkaian ibadah kepada Allah Yang Maha Esa.
Ibadah mengandung makna, ibadah langsung sebagai ritual ke agamaan
kepadaNYA dan ibadah kemanusian, berbuat baik kepada sesamanya.
Dengan demikian tujuan pendidikan bukanlah
sekedar mempersiapkan
pesertadidik dengan seperangkat pengetahuan dan ketrampilan agar bisa
bekerja
memenuhi
kebutuhan
dunia
ekonomi,
melainkan
memiliki
pengetahuan dan ketrampilan sehingga bermanfaat bagi diri dan orang
lain, sesama dan
masyarakatnya. Pengetahuan dan ketrampilan saja
tidak cukup, tetapi setiap pesertadidik memerlukan spiritual, moral dan
karakter untuk bisa hidup bersama dan bekerjasama. Spiritual harus
menjadi landasan pendidikan. Pendidikan spiritual menamkan pengertian
dan kesadaran untuk apa sekolah? Harus bagaimana sekolah itu? Apa
yang mau dicapai dengan sekolah?. Fondasi ini akan mewarnai seluruh
aktivitas pesertadidik dalam menjalani proses pendidikan. Aktivitas yang
tumbuh dari dorongan kesadaran diri sendiri, bukannya dipaksa oleh
kekuatan luar. Pendidikan spiritual ini yang tidak terkandung dalam
pendidikan nasional, karena pada hakekatnya nasional Indonesia “ber
ruh” sekuler.
Kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab memilki makna bahwa
pendidikan mesti beridiologi humanist. Pendidikan yang memperlakukan
pesertadidik sebagai mahluk Tuhan yang paling sempurna, dengan segala
martabat dan kasih sayang. Seperti disampaikan oleh KH Dewantara
sebagaiamana telah dikutip diatas, pendidikan yang bersifat mengancam
7
dan menakut-nakuti dengan hukuman semata, tidak baik bagi kehidupan
dan perkembangan pesertadidik, tidak baik bagi kemanusiaan.
Ketiga, Persatuan Indonesia, dalam pendidikan memiliki arti
mengembangkan kebersamaan untuk bersama-sama maju. Kerjasama
dalam pendidikan perlu dikembangkan dan ditekankan kepada seluruh
guru maupun pesertadidik. Prinsip pemberian tugas
pesertadidik,
kepada para
mendorong setiap pesertadidik kerja keras, semua kerja
keras dengan ciri “sama-sama bekerja”, perlu diubah dengan tugas
kepada para pesertadidik yang memiliki ciri “bekerja sama”. Bekerjasama,
kebersamaan dan gotong royong mesti ditumbuhkembangkan di dunia
pendidikan untuk mewujudkan ekslensi bagi semua pesertadidik.
Keempat,
Kerakyatan
yang
dipimpin
oleh
hikmah
kebijakan/permusyawaratan dalam dunia pendidikan diujudkan dalam
bentuk kehidupan sekolah yang demokratis. Kehidupan sekolah yang
demokratis akan mengundang partisipasi aktif seluruh warga sekolah
khususnya pesertadidik, yang dengan partisipasi aktif ini akan melahirkan
pesertadidik yang memahami tugas, peran dan tanggung selaku warga
sekolah dan warga masyarakat. Dalam sekolah yang demokratis setiap
warga memiliki hak dan tanggung jawab masing-masing. Setiap warga
sekolah,
termasuk
pesertadidik
memiliki
hak-hak
yang
setara.
Keberadaan sekolah yang demokratis merupakan kondisi multak yang
dibutuhkan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang demokratis.
Sekolah yang demokratis ini akan melahirkan interaksi antar individu
sebagaimana interaksi dalam keluarga besar. Interaksi yang berlandaskan
saling memahami, saling menghormati dan saling menyayangi.
Kelima, Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia, di dunia
pendidikan memiliki makna bahwa sekolah harus mewujudkan prestasi
ekslensi. Prestasi ekslens tersebut tidak hanya untuk atau dimiliki oleh
segelintir pesertadidik, melainkan untuk seluruh pesertadidik, apapun
latar
belakangnya.
Keadilan
sosial
dalam
pendidikan
menekankan
terujudnya pendidikan yang ekselens, berkeadilan dan berkesetaraan.
8
Kalau
sistem
pendidikan
yang
berdasarkan
Pancasila
dikajai
berdasarkan pendidikan kdern maka akan diketemukan titik singgng
dengan pendidikan Wholistic.
berawal
dari
suatu
prinsip
Sitem dan praktik pendidikan holistic,
bahwa
setiap
pesertadidik
membawa
kemampuan yang khas, yang berkaitan erat dengan bakat, minat dan
ketertarikan pada sesuatu hal tertentu. Pendidik, memiliki tugas untuk
membantu para pesertadidik mengembangkan bakat dan potensi secara
optimal. Dr Ramon Gallegos Nava (2000) menjabarkan model pendidikan
holistic memiliki potensi multidimensi, mencakup intelektual, sosial,
emosional,
pisik, aestetika dan spiritual. Keenam aspek tersebut akan
menyatu menjadi semangat kemanusiaan. Jadi pendidikan tidak sekedar
mengembangkan intelektual yang pada hakekatnya berintikan logika.
Semakin tinggi derajat intelektual berartti semakin kuat logika yang
dimiliki. Proses pendidikan tidak berlangsung dalam ruang dan kondisi
vakum, melainkan pendidikan berproses dalam suatu lingkungan sosial.
Lingkungan sosial ini akan mengembangkan kemampuan pesertadidik
untuk
memberikan
makna
disekitarnya.
Pemahaman
menciptakan
kehidupan
bersama
akan
menjadi
atas
makna
serasi
apa
yang
bersama
dan
yang
inilah
terjadi
yang
harmonis.
akan
Disamping
lingkungan sosial, proses pendidikan juga melibatkan emosi pesertadidik
dan juga emosi pendidik. Kematangan emosional pesertadidik akan
seiring
sejalan
dengan
kekuatan
perkembanagan intelektual dan
ketimpangan
dalam
diri
intelektual.
Ketidak
sesuaian
emosional pesertadidik menimbulkan
pesertadidik
yang
akan
berdampak
pada
kehidupan masyarakatnya. Proses pembelajaran juga erat berkaitan
dengan
fisik
pesertadidik.
Kekuatan
fisik
yang
dimiliki
akan
mempengaruhi kemampuan intelektual. Proses pendidikan memerlukan
kekuatan fisik yang prima. Antara otak dan tubuh harus serasi. Aestetika
atau keindahan merupakan salah satu kunci dalam eksistensi kehidupan
kemanusiaan,
yang
akan
mewujudkan
kehidupan
yang
bahagia.
Pendidikan pada akhirnya akan mengantarkan pesertadidik
menuju
kehidupan yang bahagia lahir dan bathin. Pencapaian kehidupan yang
bahagia lahir
dan bathin, memerlukan kesadaran untuk apa hidup dan
9
bagaimana seharusnya hidup itu. Dalam kaitan dengan pendidikan,
pesertadidik harus memiliki pemahaman dan kesadaran untuk apa belajar
dan harus bagaimana belajar itu. Pemahaman dan kesadaran tersebut
merupakan inti dari spiritualitas. Pesertadidik yang memiliki kedalaman
spiritualitas akan melaksanakan proses pendidikan dengan baik dam
benar yang akan mengantarkan kearah keberhasilan. Sebaliknya tanpa
spiritualitas, proses pembelajaran akan menjadi hampa, karena tanpa
arah dan tujuan yang disadari sepenuhnya. Puncak dari spiritualitas dan
merupakan kesatuan dari enam aspek pesertadidik akan terujud dalam
bentuk semangat kemanusiaan. Menjadi seseorang yang senantiasa bisa
bermanfaat bagi manusia lain.
Kehidupan pesertadidik dalam proses pendidikan dapat dianalisis
berdasarkan kesatuan pengetahuan dari ilmu psikologi, filsafat dan
agama, yang akan terujud pada kemampuan dan kapasitas pesertadidik
yang mencakup kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan, keindahan
cinta kasih dan kemauan atau nafsu. Kesemuanya itu akan terujud dalam,
tiga aspek kehidupan: tubuh, pikiran dan jiwa.
Dengan kata lain, hakekat hidup manusia itu memiliki tiga
dimensi: tubuh, pikiran dan jiwa. Tubuh merupakan cermin semua mahluk
hidup. Apapun mahluk hidup pasti memiliki tubuh, dan semua tubuh
memiliki kesamaan. Jadi antara binatang dan manusia, berdasarkan
perspektif tubuh adalah sama. Pikiran juga dimiliki oleh sebagian mahluk
hidup,
tidak
hanya
manusia.
Hanya
apabila
dilihat
dari
potensi
keberadaan pikiran, manusia menempati derajat paling tinggi, baik dalam
arti kondisi maupun dalam potensi untuk berkembang. Sedangkan jiwa
hanya dimiliki oleh mahluk manusia. Oleh karena itu, jiwalah yang akan
bisa membedakan hakekat manusia dengan mahluk bukan manusia.
Pendidikan harus menyentuh dan mengembangkan ketiga aspek manusia
tersebut
secara
serasi
dan
harmonis.
Pendidikan
yang
bisa
mengembangkan secara serasi dan harmonis ketiga dimensi kehidupan:
tubuh, pikiran dan jiwa, akan bisa mengembangkan secara optimal
potensi yang dimiliki manusia: pengetahuan, cintakasih dan kemauan
atau nafsu.
10
Dalam konteks proses pendidikan, sekali lagi, ketiga dimensi
tersebut bisa diujudkan dalam tubuh, otak dan hati. Setiap manusia
memilikii tiga aspek tersebut. Pendidikan harus mengembangkan ketiga
aspek yang dimiliki oleh pesertadidik. Kesatuan
dari tiga aspek kalau
berhasil dikembangkan secara serasi dan harmonis akan melahirkan
manusia yang utuh, manusia yang memiliki semangat kenusiaan.
Tumbuhnya semangat kemanusiaan akan mendorong sosok
tubuh yang prima yang setiap saat bisa berkontribusi bagi kehidupan
bersama
umat
manusia.
Tumbuhnya
semangat
kemanusiaan
akan
mendorong otak untuk menghasilkan kerja yang lebih otentik, mandiri,
visioner dan ketajaman intuisi. Hasilnya, akan lahir pesertadidik yang
memiliki kekuatan berpikir, kelenturan tubuh dan keindahan kepribadian.
Dengan demikian, apabila membicarakan sistem dan praktik
pendidikan holistik, berarti memandang pendidikan sebagai suatu proses
pembudayaan pesertadidik yang bersifat multilevel. Proses pembudayaan
multilevel
ini
akan
berlangsung
dengan
baik
manakala
terdapat
kebersamaan diantara pendidik dan pesertadidik, sebagai seseorang yang
tengah melakukan pembelajaran
Proses pembudayaan yang memiliki multilevel memerlukan
pemahaman dan makna baik
di kalangan pesertadidik maupun di
kalangan pendidik. Proses pembudayaan harus difahami dan dimaknai
sebagai yang memiliki tujuan untuk mengembangkan otak yang cerdas,
tubuh yang sehat, pribadi yang memiliki keinginantahuan dengan belajar
apapun yang diinginkan dengan berbagai
konteks yang ada. Dengan
memperkenalkan para pesertadidik dengan cara pandang yang holistic
atau utuh atas alam seisinya, kehidupan yang ada dan kebutuhan umat
manusia, akan memungkinkan pesertadidik menangkap, memahami dan
memaknai
berbagai
konteks
yang
mempengaruhi
kehidupan
dan
memberikan makna atas kehidupaan itu.
Sistem dan praktik pendidikan holistic memerlukan
pembelajaran yang holistic. Asumsi pembelajaran holistik adalah bahwa
setiap didik pesertadidik memiliki potensi untuk berkembang memperkuat
11
kemampuan intelektual, kreativitas dan berpikir sistemik. Pembelajaran
holistic memiliki prinsip bahwa proses pembelajaran harus diorganisir
dengan
titik
pusat
lingkungan
kehidupan
pesertadidik
itu
sendiri.
Lingkungan yang ada harus dikaitkan dnegan proses pembelajaran.
Pembelajaran
holistic
senantriasa
akan
mengembangkan
hubungan
diantara pesertadidik dan antara pesertadidik dengan lingkunganya, yang
bertujuan
memberdayakan
pesertadidik
untuk
mampu
hidup
dan
menjalani kehidupan masa kini, dan merencanakan kehidupan di masa
depan. Dengan kata lain, pembelajaran holistic menekankan pada
perkembangan keseluruhan potensi
diri pesertadidik yang mencakup:
intellectual, emotional, sosial, pisik, artistik, kreativitas dan spiritual, yang
mungkin
terujud
manakala
proses
pembelajaran
bisa
melibatkan
pesertadidik secara dinamis, mendorong partisipasi baik secara individu
maupun berkolaborasi. Pembelajaran holistic semacam itu memerlukan
keterbukaan pikiran, hati dan spiritual.
Praktik pembelajaran pendidikan Holistik senantiasa berpusar
sekitar keterkaitan atau hubungan, keutuhan, dan aktualisasi. Keterkaitan
atau hubungan merupakan suatu prinsip bahwa kehidupan itu memiliki
karakteristik yang terangkai dalam sebab akibat. Suatu hasil pasti ada
penyebabnya. Dan setiap penyebab bisa direkayasa untuk mempengaruhi
hasil tertentu. Sebab akibat tidak mesti hasil rekanan manusia, melainkan
ada sebab akibat yang terkait dengan alam sekitarnya. Prinsip ini sudah
lama muncul dalam berbagai teori ilmu alam.
Praktik pembelajaran pendidikan holistik antara lain mencakup:
Interdependence,
Interrelationship,
Participatory,
dan
Non-linearity.
Interdependence memiliki arti bahwa setiap bagian memiliki keterkaiatan
dengan dengan fungsi bagian yang lain, sehingga membentuk suatu
sistem yang utuh dan menyeluruh. Interrelationship memiliki arti sistem
yang ada merupakan suatu jejaring yang kompleks, dan terjadi hubungan
diantara berbagai bagian dalam sistem dan hubungan dengan sistem
eksternal. Participatory memiliki arti bahwa siapapun yang terlibat dalam
pembelajaran akan memiliki hubungan yang amat dekat lingkungan
12
pembelajaran yang ada. Non-linearity memiliki arti sistem pembelajaran
holistik bersifat terbuka, dengan pola interaksi yang kompleks, terdapat
sistem umpan balik yang dinamis, muncul; sistem yang mengorganisir diri
sendiri secara otomatis, dan sifat hubungan tidak linier langsung
melainkan bersifat dialetik .
Pendidikan
holistic
transformative
(The
Holictic
Tranformative
education) merupakan alternative. Karakteristik pendidikan ini antara lain:
a)memberikan
bagi
peserta
untuk
berkembang
secara
utuh,
b)keterpaduan antara ilmu umum dan ilmu agama, c)keterpaduan proses
formal, non formal dan keluarga, d)keterpaduan antara teori, praktik dan
apa yang ada masyarakat, e)menekankan pengembangan secara optimal
dalam diri individu dan kelompok, f)menekankan proses
pembelajaran
yang dinamis dengan perilaku partisipatif dari semua pesertadidik, dan,
g)menekankan proses pembelajaran berorientasi pada output.
PENUTUP
Pendidikan bukanlah sekedar menabung ilmu pengetahuan untuk
kemudian pada saatnya ditarik; melainkan, pendidikan sebagai proses
pembudayaan untuk mengembangkan keseluruhan aspek yang ada pada
diri individu, sehingga dapat berkembang seluruh potensi yang dimiliki
secara utuh. Bahkan, konstitusi menyatakan bahwa pendidikan adalah
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Secara gramatik filosofis, dalam
pendidikan terminologi “to know” mula aslinya adalah “to be able”.
Knowing dan doing dua konsep yang memiliki keterkaitan yang amat kuat.
Tidak bisa berbuat sesuatu tanpa pengetahuan, dan kita tidak akan
memiliki pengetahuan yang hakiki tanpa perbuatan.
Namun, dalam perjalanan sejarah pendidikan, hanya diperlakukan
sebagai sesuatu yang amat sempit lagi praktis: mempersiapkan individu
untuk memiliki kemampuan agar bisa memenuhi kebutuhan tenaga kerja
yang diperlukan oleh dunia industri dan ekonomi. Konskwensi dari
pandangan ini maka pendidikan menetapkan suatu standard tentu sesuai
13
dengan kebutuhan dan tuntutan dunia industri. Lahirlah kebijakan dan
konsep standarisasi. Hakekat pendidikan semakin sempit, kalau semula
kalau semula education is a preparation for life menjadi education is
preparation for examination.
a
Jadi tujuan utama pendidikan yang
diujudkan oleh semua sekolah lewat proses pembelajaran adalah untuk
mempersiapkan siswa lulus ujian nasional.
Sudah barang tentu praktik pendidikan dewasa ini merupakan
refleksi
dari
pandangan
kebijakan
neo-liberal.
pendidikan,
Pendidikan
yang
terlalu
merupakan
didominasi
sarana
untuk
oleh
bisa
mengantarkan bangsa memasuki era globalisasi yang sangat kompetitif.
Maka “jiwa” dan “semangat” kompetisi ini perlu ditanamkan dalam dunia
pendidikan. Bahkan kompetititf menjadi salah satu konsep dalam visi
pendidikan Indonesia.
Kebijakan dan praktik pendidikan dewasa ini di banyak negara,
termasuk di Indonesia cenderung mengembangkan pengajaran
tanpa
pendidikan. Artinya mengembangkan kemampuan intelektual tanpa
diiringi dengan pengembangan moral. Kondisi ini amat berbahaya, karena
akan melahirkan ketimpangan, orang senantiasa membuat kalkulasi
material-finansial,
mengembangkan egoisme, dan menyatukan antara
ketidakadilan dan keserakahan, dan menyatukan doktrin kebenaran dan
kebatilan. Kondisi yang sedemikian inilah yang dalam tingkat-tingkat
tertentu melahirkan berbagai tindak dan perilaku yang merugikan orang
lain, bangsa dan negaranya.
Sejarah telah menunjukan, manakala suatu bangsa memnghadapi
persoalan yang besar, pasti bangsa itu akan menengok ke dunia
pendidikan, sembari meratap: “Wahai dunia pendidikan, apakah yang
dapat engkau lakukan untuk kebaikan bangsa ini”? Dunia pendidikan
Indonesia kali ini harus tegas menjawab: “Hanya ada satu cara untuk
mengembalikan bangsa ke jalur dan kiblat yang benar, yakni laksanakan
Sistem dan Praktik Pendidikan Holistik”.
14
--------------- Malang 12 Desember 2013
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Bruner, J. (1996) The Culture of Education. Cambridge, Mass.: Harvard
University Press. 224 + xvi pages.
Nava, Ramon, Gallegos (2003) Conscious Evolution through Holistic
Education. An Integrated Model of Holistic Education. A Paper.
Sri-Edi Swasono (2012) “Budaya Pancasila: Doktribn kebangsaan dan
doktrin kerakyatan dalam perspektif ekonomi dan kesejahteraan
social”, dalam Kebudayaan mendesain masa depan, diedit oleh
Sri-Edi Swasono dan Sudartomo Macaryus. Yogyakarta: UST-Press.
Sultan Hameng Buwono X (2012) “Menggagas renaisans pendidikan
berbasis budaya” dalam Kebudayaan mendesain masa depan,
diedit oleh Sri-Edi Swasono dan Sudartomo Macaryus. Yogyakarta:
UST-Press.
15
Zamroni
Sejak awal berdirinya republik yang kita cintai bersama ini, para
pendiri bangsa telah menetapakan bahwa pendidikan dan kebudayaan
merupakan
satu
kesatuan,
dalam
label
pendidikan,
sebagaimana
termaktub pada Undang Undang Dasar Republik Indonesia Bab XIII pasal
31 dan pasal 32. Pasal 31 menegaskan bahwa pendidikan merupakan hak
setiap warga negera, dan pemerintah berkuajiban menguasahakan dan
m,enyenelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional, dan pasal 32
mengamanatkan bahwa pemerintah memajukan kebudayaan nasional.
Amanat Undang Undan Dasar 1945 telah dijabarkan ke dalam
berbagai Undang-Undang sistem pendidikan, terakhir adalah UndangUdang Sistem Pendidikan Nasional
th 2003, yang menegaskan bahwa
“Pendidikan adalah usaha sadar
dan terencanauntuk mewuwjudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan
potensi
dinya
untuk
memiliki
kekuatan
spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdaan, akhlak mulia,
serta ketrampilan yang dierlukan dirinya, masyarakat, bangsa
negara”. Pada BAB II
dan
pasal 2 ditegaskan”Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa
yang
bermartabat
dalam rangka
mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Pada Bab III
secara rinci telah dirumuskan prinsip penyelenggaraan pendidikan,
sebagai berikut:
(1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia,
nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
(2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuanyang sistemik
dengan sistem terbuka dan multimakna.
1
(3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan
dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
(4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan,
membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik
dalam proses pembelajaran.
(5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya
membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
(6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua
komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan
pengendalian mutu layanan pendidikan.
Berdasarkan kutipan dari Undang Undang Dasar Republik
Indonesia dan Sistem Pendidikan Nasional sudah amat gamblang kemana
arah
pendidikan
nasional
Indonesia.
Sehingga
menarik
untuk
dipertanyakan mengapa Round Table Discussion ini mengangkat satu sub
tema “Kemana Arah Pendidikan Indonesia?”
PROSES PENDANGKALAN
Arah pendidikan yang telah diamanatkan dalam Undang Dasar
Republik Indonesia dan Sistem Pendidkan Nasional cenderung tetap
sebagai suatu dokumen. Kebijakan dan penyelenggaaan pendidikan jauh
dari apa yang telah
diamanatkan. Pendidikan yang diharapkan sebagai
suatu proses pembudayaan yang berlangsung tiada pernah henti, telah
berubah arah sekedar alat untuk memersiapkan siswa untuk bisa memiliki
kemampuan guna memasuki dunia kerja. Mempersiapakan siswa untuk
bisa bekerja itu penting, namun tugas pendidikan tidak hanya itu. Paling
tidak tugas pendidikan mencakup, antara lain:
1. Mengembangkan kemampuan kritis (daya pikir), pengetahuan
dan ketrampilan;
2. Mengembangkan
kesadaran
dan
semangat
berbangsa
sehingga dapat melahirkan warga negara yang baik;
3. Mempersiapkan generasi memasuki masyarakat dan mampu
menghilangkan problem dan berbagai penyakit masyarakat,
seperti kemiskinan dan pengangguran;
2
4. Mempersiapakan kemampuan dan ketrampilan seseorang
untuk memasuki pasar tenaga kerja yanmg diperlukan dunia
industri
Sekolah
yang
didesain
untuk
mengembangkan
kemampuan dan perilaku pada diri siswa selama ini
karakter,
telah bergeser
sekedar menjadi instrumen untuk mengembangkan kemampuan kognitif
bagaimana yang telah disiapkan lewat ujian akhir. Karena begitu linier dan
langsung kaitan antara sekolah dna ujian akhir, yang kebetulan Ujian
Nasional,
menyebabkan
sekolah
merupakann
instrumen
untuk
mempersiapkan siswa menghadapi UN. Segala kehidupan sekolah adalah
untuk UN, telah muncul berhala baru yakni UN. Sudah barang tentu bukan
UN yang salah, tetapi mereka yang bergerak dalam dunia pendidikan,
khususnya pendidik dan pejabat pendidikan yang salah dalam mensikapi
dan memperlakukan ujian nasional. Jadi pendidikan yang memiliki makna
mendalam dan penuh makna telah didangkalkan oleh para pejabat
birokrat pendidikan lewat pendidik menjadi sekedar ujian nasional.
Pendangkalan makna pendidikan menjadi sekedar sekedar ujian
nasional memiliki implikasi panjang. Semua kebijakan dan praktik
pendidikan mesti menuju ke ujian nasional. Artinya, kebijakan dna praktik
pendidikan yang diputuskan oelh birokrasi pendidikan hanya akan
berjalan selama sejalan dna menopang keberhasilan ujian nasional.
Sebaliknya,
apapun
kebijakan
dan
betapapun
bagusnya
praktik
pendidikan kalau tidak menjamin pencapaian hasil ujian nasional tidak
akan berjalan dengan baik.
Berbagai upaya
untuk menyempurnakan
sistem UN, khususnya sistem penentuan kelulusannya, tidak akan pernah
berhasil memuaskan, sebaliknya semua upaya itu justru akan melahirkan
suatu sirkus pendidikan.
Muncul sebersit pertanyaan kalau begitu apakah tidak
sebaiknya ujian akhir kembali ke ujian sekolah? Sama saja, kalau kembali
ke ujian sekolah dalam kondisi sebagaimana saat ini juga akan muncul
sirkus yang tidak kalah menariknya.
Dari perspektif ini, sesungguhnya
3
parapedagog dan pemerhati pendidikan selama ini telah membuang
waktu secara mubazir memperdebatkan Ujian Nasional dan minta diganti
dengan ujian sekolah. Suatu bentuk ujian akhir: UN atau Ujian Sekolah,
adalah sama saja dan tidak berpengaruh langsung pada peningkatan
mutu sekolah. Perdebatan panjang berkaitan dengan ini telah berlangsung
ber abad-abad, tidak menemukan jalan keluar atai sintesa diantara
keduanya. Sistem ujian akhir sekolah akan bisa mempengaruhi kualitas,
manakala fungsi ujian akhir dilaksanakan . Yakni, hasil ujian akhir, apakah
UN atau US bisa dijaidkan uimpan balik bagi para guru dan sekolah.
Termasuk mubazir pula, UN dijadikan topic simposium nasional. Mestinya,
kalau untuk ambil kebijakan pelaksanaan UN dievaluasi, seperti yang
dilakukan oleh jiran kita, Malaysia.
BANGSA YANG TENGAH SAKIT
Pendangkalan pendidikan yang telah berlangsung amat lama ini
menyebabkan
bangsa
sakit
berat.
Yakni
penyakit
yang
telah
menempatkan uang sebagai tujuan hidup. Semua sependapat bahwa
hidup butuh uang,
tetapi akan menimbulkan masalah apabila tujuan
hidup adalah untuk mendapatkan uang. Uang menjadi indikator dan
ukuran
keberhasilan
dalamkehidupan.
Para
siswa
dan
mahasiswa
mengikuti pendidikan dengan tujuan mendapatkan uang. Cita-cita yang
dikembangkan
adalah
bisa
memperoleh
pekerjaan
yang
bisa
menghasilkan banyak uang.
Penyakit
hidup untuk mendapatkan uang menimbulkan
komplikasi lain, yakni hidup tidak memiliki malu lagi. Semua diterabas
tidak malu-malu asal bisa memperoleh uang. Dengan dua penyakit
masyarakat ini maka korupsi tidak lagi perilaku individu, melainkan sudah
perilaku berjamaah.
Tidak malu-malu lagi rapat dan diskusi untuk
merancang melakukan korupsi, termasuk rancangan menghiolangkan
jejak tindak korupsi, apabila korupsi terbongkar.
Penyakit masyarakat ini menjadikan kehidupan masyarakat
tiada lagi memiliki kejujuran, akibat lebih lanjut diantara kita tidak ada
4
lagi slaing percaya mempercayai. Etika kehidupan sudah banyak tidak lagi
digapai. Dampaknya, kehidupan menjadi sulit, rumit dna kompleks.
Sudah barang tentu, untuk mengobati bangsa yang tengah sakit
adalah memerlukan penanganan yang serius. Para penguasa dan
pejabatharus menyadari hal ini, dna kemudian melakuiakn perubahan
dalam cara pandang, sikap dan tindak kepemimpinanya. Para penguasa
dan pejabat mesti memiliki sensitivitas atas penynpangan yang terjadi di
masyarakat
betapapun
mengatasinay
ringan
sebelum
penyimpangan
penyimpangan
itu,
meluas
dan
dan
segera
membesar.
Penegakaan etika, kedisplinan dalam kehidupan dan hukum merupakan
obat utama untuk mengatasi penyakit amsyarakat. Sudah barang tentu,
dunia
pendidikan
juga
dituntut
untuk
melakuakn
perubahan
dan
pembenahan diri guna mengobati penyakit bansga ini dan membereikan
arah kedepan kemana bansga mesti menuju.
CUKUP SEKIAN SISTEM PINJAMAN
Sistem pendidikan suatubansga mesti bertumpu ndna berakar
dari budaya bansga sendirti. Budaya bangsa mengandung bagaimana
sistem pikir dan sistem perilaku. Sistem pendidikan damn praktik
pendidikan harus nsesuai dengan sistem mpikri dna sistem perilaku
tersebut. Suatu bansga akan mendapatkan amsalah besdar manakala
meminjam sistem pendidiakna bansa lain, tanpa melakukan proses
‘cleaning and integrating”.
Bangsa
bagaimana
Jepang
merupakan
meminjam
msistem
nsuatu
model
pendidikan
barat
yang
patut
untuk
ditiru
kemudian
dibersihkan unsut-unsur barat yangbtidak sesuai dengan pola pikir dna
pola periolakju jepang, dna kemudian dapatb diintegrasikan ke dalam
sistem pendidikan Jepang.
Pendidikan yang datang dari Barat merupakan sistem pendidikan
yang tumbuh bertkembang dari pola pikir danpola perilaku banga Barat,
yakni rasional sekuleristik. Sebagai
contoh, ketika bangsa Amerika
menghadapi problem bangsa yakni berupa banyaknya teenegers mother,
5
unwanted
births,
menghadapi
bansga
masalah
Amerika
tersebut.
Dunia
menuntut
pendidikan
peran
pendidikan
Amerika
Serikat
memberikan jawaban: “Laksnakan “Sex Educaiion”, para siswa diajari
bagaimana melakukan hubungan seksual tetapi tidak berujung kehamilan.
Kebijakan itu rasional, karena menurut para ahli, tuntutan seksual itu
secara alami bekembang sssuai dengan perkembangan kedewasaan. Ini
madalah biologis yang tidak mungkin dihindari. Oleh karena itu, biarlah
tuntutan biologis tersalurkan. Biarlah siswa yang sudah boleh pacaran
melakukan hubungan seksual. Tapi beritahu bagaimana supaya tidak
hamil. Oleh karena itu, merupakan suatu hal yang tidak lagi aneh, kalau
nsiswa yang sudah membawa kondom dalam tasnya. Sekuler, karena
kehidupan dunia ini tidak perlu dikaitkan dengan agama. Ketika pola pikir
dna pola periolaku di tiru di Indonwesia dengan “Minggu Kondom”
gegerlah bangsa kita. Mengapa? karen pola pikir dan pola perilaku bangsa
Indonesia tidak rasional sekuleristik. Dalam kaitan dengan budaya, salah
seorang pemikir besar pendidikan,Bruner (1996), menegaskan pentingnya
budaya bangsa bagi pendidikan dengan ucapanya: “A system of education
must help those growing up in a culture find an identity within that
culture” (p. 42). Perlu dicatat, tokoh yang selama ini senantiasa
memikirkan kebudayaan, Sultan Hameng Buwono X (2012, 203-204),
dengan lugas memperingatkan: ”Pendidikan yang tidak didasari oleh
kebudayaan akan menghasilkan generasi yang tercabut dari kehidupan
masyarakatnya sendiri. Menjadikan pendidikan steril dari kekayaan
budayanya sendiri, dan berpotensi untuk menghasilkan enclave dalam
masyarakat”.
Bangsa Indonesia harus berani untuk mengkaji kembali sistem
dan praktik pendidikan dengan perspektif budaya bangsa. Sistem yang
datang dari Barat yang telah dipakai selama ini bukan berarti harus
dibuang dan ditinggalkan begitu saja melainkan perlu dibersihkan, mana
yang sesuai dengan budaya bangsa dan mana yang perlu ditinggalkan.
MEMANTAPKAN FONDASI, MELURUSKAN KIBLAT.
6
Dalam suatu seminar pendidikan di Bangkok yang diorganisir
oleh UNESCO, salah satu penyaji menyampaikan pernyataan “Alangkah
bahagianya dunia pendidikan Indonesia memiliki Pancasila”. Pernyataan
yang diucapkan secara tulus dan rasional sebagbvai suatu bentuk pujian
ndna penghargaan atas Pancasila sebagai dasar negara, yang secara
otomatis juga dasar pendidikan Indonesia.
Pendidikan yang berdasarkan Pancasila adalah: Ketuhanan Yang Maha
Esa memiliki makna bahwa
pendidika bersifat Theo-centris, bukannya
Anthropo-centris. Dengan pendidikan bersifat Theo-centris kegiatan dalam
pendidikan merupakan rangkaian ibadah kepada Allah Yang Maha Esa.
Ibadah mengandung makna, ibadah langsung sebagai ritual ke agamaan
kepadaNYA dan ibadah kemanusian, berbuat baik kepada sesamanya.
Dengan demikian tujuan pendidikan bukanlah
sekedar mempersiapkan
pesertadidik dengan seperangkat pengetahuan dan ketrampilan agar bisa
bekerja
memenuhi
kebutuhan
dunia
ekonomi,
melainkan
memiliki
pengetahuan dan ketrampilan sehingga bermanfaat bagi diri dan orang
lain, sesama dan
masyarakatnya. Pengetahuan dan ketrampilan saja
tidak cukup, tetapi setiap pesertadidik memerlukan spiritual, moral dan
karakter untuk bisa hidup bersama dan bekerjasama. Spiritual harus
menjadi landasan pendidikan. Pendidikan spiritual menamkan pengertian
dan kesadaran untuk apa sekolah? Harus bagaimana sekolah itu? Apa
yang mau dicapai dengan sekolah?. Fondasi ini akan mewarnai seluruh
aktivitas pesertadidik dalam menjalani proses pendidikan. Aktivitas yang
tumbuh dari dorongan kesadaran diri sendiri, bukannya dipaksa oleh
kekuatan luar. Pendidikan spiritual ini yang tidak terkandung dalam
pendidikan nasional, karena pada hakekatnya nasional Indonesia “ber
ruh” sekuler.
Kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab memilki makna bahwa
pendidikan mesti beridiologi humanist. Pendidikan yang memperlakukan
pesertadidik sebagai mahluk Tuhan yang paling sempurna, dengan segala
martabat dan kasih sayang. Seperti disampaikan oleh KH Dewantara
sebagaiamana telah dikutip diatas, pendidikan yang bersifat mengancam
7
dan menakut-nakuti dengan hukuman semata, tidak baik bagi kehidupan
dan perkembangan pesertadidik, tidak baik bagi kemanusiaan.
Ketiga, Persatuan Indonesia, dalam pendidikan memiliki arti
mengembangkan kebersamaan untuk bersama-sama maju. Kerjasama
dalam pendidikan perlu dikembangkan dan ditekankan kepada seluruh
guru maupun pesertadidik. Prinsip pemberian tugas
pesertadidik,
kepada para
mendorong setiap pesertadidik kerja keras, semua kerja
keras dengan ciri “sama-sama bekerja”, perlu diubah dengan tugas
kepada para pesertadidik yang memiliki ciri “bekerja sama”. Bekerjasama,
kebersamaan dan gotong royong mesti ditumbuhkembangkan di dunia
pendidikan untuk mewujudkan ekslensi bagi semua pesertadidik.
Keempat,
Kerakyatan
yang
dipimpin
oleh
hikmah
kebijakan/permusyawaratan dalam dunia pendidikan diujudkan dalam
bentuk kehidupan sekolah yang demokratis. Kehidupan sekolah yang
demokratis akan mengundang partisipasi aktif seluruh warga sekolah
khususnya pesertadidik, yang dengan partisipasi aktif ini akan melahirkan
pesertadidik yang memahami tugas, peran dan tanggung selaku warga
sekolah dan warga masyarakat. Dalam sekolah yang demokratis setiap
warga memiliki hak dan tanggung jawab masing-masing. Setiap warga
sekolah,
termasuk
pesertadidik
memiliki
hak-hak
yang
setara.
Keberadaan sekolah yang demokratis merupakan kondisi multak yang
dibutuhkan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang demokratis.
Sekolah yang demokratis ini akan melahirkan interaksi antar individu
sebagaimana interaksi dalam keluarga besar. Interaksi yang berlandaskan
saling memahami, saling menghormati dan saling menyayangi.
Kelima, Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia, di dunia
pendidikan memiliki makna bahwa sekolah harus mewujudkan prestasi
ekslensi. Prestasi ekslens tersebut tidak hanya untuk atau dimiliki oleh
segelintir pesertadidik, melainkan untuk seluruh pesertadidik, apapun
latar
belakangnya.
Keadilan
sosial
dalam
pendidikan
menekankan
terujudnya pendidikan yang ekselens, berkeadilan dan berkesetaraan.
8
Kalau
sistem
pendidikan
yang
berdasarkan
Pancasila
dikajai
berdasarkan pendidikan kdern maka akan diketemukan titik singgng
dengan pendidikan Wholistic.
berawal
dari
suatu
prinsip
Sitem dan praktik pendidikan holistic,
bahwa
setiap
pesertadidik
membawa
kemampuan yang khas, yang berkaitan erat dengan bakat, minat dan
ketertarikan pada sesuatu hal tertentu. Pendidik, memiliki tugas untuk
membantu para pesertadidik mengembangkan bakat dan potensi secara
optimal. Dr Ramon Gallegos Nava (2000) menjabarkan model pendidikan
holistic memiliki potensi multidimensi, mencakup intelektual, sosial,
emosional,
pisik, aestetika dan spiritual. Keenam aspek tersebut akan
menyatu menjadi semangat kemanusiaan. Jadi pendidikan tidak sekedar
mengembangkan intelektual yang pada hakekatnya berintikan logika.
Semakin tinggi derajat intelektual berartti semakin kuat logika yang
dimiliki. Proses pendidikan tidak berlangsung dalam ruang dan kondisi
vakum, melainkan pendidikan berproses dalam suatu lingkungan sosial.
Lingkungan sosial ini akan mengembangkan kemampuan pesertadidik
untuk
memberikan
makna
disekitarnya.
Pemahaman
menciptakan
kehidupan
bersama
akan
menjadi
atas
makna
serasi
apa
yang
bersama
dan
yang
inilah
terjadi
yang
harmonis.
akan
Disamping
lingkungan sosial, proses pendidikan juga melibatkan emosi pesertadidik
dan juga emosi pendidik. Kematangan emosional pesertadidik akan
seiring
sejalan
dengan
kekuatan
perkembanagan intelektual dan
ketimpangan
dalam
diri
intelektual.
Ketidak
sesuaian
emosional pesertadidik menimbulkan
pesertadidik
yang
akan
berdampak
pada
kehidupan masyarakatnya. Proses pembelajaran juga erat berkaitan
dengan
fisik
pesertadidik.
Kekuatan
fisik
yang
dimiliki
akan
mempengaruhi kemampuan intelektual. Proses pendidikan memerlukan
kekuatan fisik yang prima. Antara otak dan tubuh harus serasi. Aestetika
atau keindahan merupakan salah satu kunci dalam eksistensi kehidupan
kemanusiaan,
yang
akan
mewujudkan
kehidupan
yang
bahagia.
Pendidikan pada akhirnya akan mengantarkan pesertadidik
menuju
kehidupan yang bahagia lahir dan bathin. Pencapaian kehidupan yang
bahagia lahir
dan bathin, memerlukan kesadaran untuk apa hidup dan
9
bagaimana seharusnya hidup itu. Dalam kaitan dengan pendidikan,
pesertadidik harus memiliki pemahaman dan kesadaran untuk apa belajar
dan harus bagaimana belajar itu. Pemahaman dan kesadaran tersebut
merupakan inti dari spiritualitas. Pesertadidik yang memiliki kedalaman
spiritualitas akan melaksanakan proses pendidikan dengan baik dam
benar yang akan mengantarkan kearah keberhasilan. Sebaliknya tanpa
spiritualitas, proses pembelajaran akan menjadi hampa, karena tanpa
arah dan tujuan yang disadari sepenuhnya. Puncak dari spiritualitas dan
merupakan kesatuan dari enam aspek pesertadidik akan terujud dalam
bentuk semangat kemanusiaan. Menjadi seseorang yang senantiasa bisa
bermanfaat bagi manusia lain.
Kehidupan pesertadidik dalam proses pendidikan dapat dianalisis
berdasarkan kesatuan pengetahuan dari ilmu psikologi, filsafat dan
agama, yang akan terujud pada kemampuan dan kapasitas pesertadidik
yang mencakup kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan, keindahan
cinta kasih dan kemauan atau nafsu. Kesemuanya itu akan terujud dalam,
tiga aspek kehidupan: tubuh, pikiran dan jiwa.
Dengan kata lain, hakekat hidup manusia itu memiliki tiga
dimensi: tubuh, pikiran dan jiwa. Tubuh merupakan cermin semua mahluk
hidup. Apapun mahluk hidup pasti memiliki tubuh, dan semua tubuh
memiliki kesamaan. Jadi antara binatang dan manusia, berdasarkan
perspektif tubuh adalah sama. Pikiran juga dimiliki oleh sebagian mahluk
hidup,
tidak
hanya
manusia.
Hanya
apabila
dilihat
dari
potensi
keberadaan pikiran, manusia menempati derajat paling tinggi, baik dalam
arti kondisi maupun dalam potensi untuk berkembang. Sedangkan jiwa
hanya dimiliki oleh mahluk manusia. Oleh karena itu, jiwalah yang akan
bisa membedakan hakekat manusia dengan mahluk bukan manusia.
Pendidikan harus menyentuh dan mengembangkan ketiga aspek manusia
tersebut
secara
serasi
dan
harmonis.
Pendidikan
yang
bisa
mengembangkan secara serasi dan harmonis ketiga dimensi kehidupan:
tubuh, pikiran dan jiwa, akan bisa mengembangkan secara optimal
potensi yang dimiliki manusia: pengetahuan, cintakasih dan kemauan
atau nafsu.
10
Dalam konteks proses pendidikan, sekali lagi, ketiga dimensi
tersebut bisa diujudkan dalam tubuh, otak dan hati. Setiap manusia
memilikii tiga aspek tersebut. Pendidikan harus mengembangkan ketiga
aspek yang dimiliki oleh pesertadidik. Kesatuan
dari tiga aspek kalau
berhasil dikembangkan secara serasi dan harmonis akan melahirkan
manusia yang utuh, manusia yang memiliki semangat kenusiaan.
Tumbuhnya semangat kemanusiaan akan mendorong sosok
tubuh yang prima yang setiap saat bisa berkontribusi bagi kehidupan
bersama
umat
manusia.
Tumbuhnya
semangat
kemanusiaan
akan
mendorong otak untuk menghasilkan kerja yang lebih otentik, mandiri,
visioner dan ketajaman intuisi. Hasilnya, akan lahir pesertadidik yang
memiliki kekuatan berpikir, kelenturan tubuh dan keindahan kepribadian.
Dengan demikian, apabila membicarakan sistem dan praktik
pendidikan holistik, berarti memandang pendidikan sebagai suatu proses
pembudayaan pesertadidik yang bersifat multilevel. Proses pembudayaan
multilevel
ini
akan
berlangsung
dengan
baik
manakala
terdapat
kebersamaan diantara pendidik dan pesertadidik, sebagai seseorang yang
tengah melakukan pembelajaran
Proses pembudayaan yang memiliki multilevel memerlukan
pemahaman dan makna baik
di kalangan pesertadidik maupun di
kalangan pendidik. Proses pembudayaan harus difahami dan dimaknai
sebagai yang memiliki tujuan untuk mengembangkan otak yang cerdas,
tubuh yang sehat, pribadi yang memiliki keinginantahuan dengan belajar
apapun yang diinginkan dengan berbagai
konteks yang ada. Dengan
memperkenalkan para pesertadidik dengan cara pandang yang holistic
atau utuh atas alam seisinya, kehidupan yang ada dan kebutuhan umat
manusia, akan memungkinkan pesertadidik menangkap, memahami dan
memaknai
berbagai
konteks
yang
mempengaruhi
kehidupan
dan
memberikan makna atas kehidupaan itu.
Sistem dan praktik pendidikan holistic memerlukan
pembelajaran yang holistic. Asumsi pembelajaran holistik adalah bahwa
setiap didik pesertadidik memiliki potensi untuk berkembang memperkuat
11
kemampuan intelektual, kreativitas dan berpikir sistemik. Pembelajaran
holistic memiliki prinsip bahwa proses pembelajaran harus diorganisir
dengan
titik
pusat
lingkungan
kehidupan
pesertadidik
itu
sendiri.
Lingkungan yang ada harus dikaitkan dnegan proses pembelajaran.
Pembelajaran
holistic
senantriasa
akan
mengembangkan
hubungan
diantara pesertadidik dan antara pesertadidik dengan lingkunganya, yang
bertujuan
memberdayakan
pesertadidik
untuk
mampu
hidup
dan
menjalani kehidupan masa kini, dan merencanakan kehidupan di masa
depan. Dengan kata lain, pembelajaran holistic menekankan pada
perkembangan keseluruhan potensi
diri pesertadidik yang mencakup:
intellectual, emotional, sosial, pisik, artistik, kreativitas dan spiritual, yang
mungkin
terujud
manakala
proses
pembelajaran
bisa
melibatkan
pesertadidik secara dinamis, mendorong partisipasi baik secara individu
maupun berkolaborasi. Pembelajaran holistic semacam itu memerlukan
keterbukaan pikiran, hati dan spiritual.
Praktik pembelajaran pendidikan Holistik senantiasa berpusar
sekitar keterkaitan atau hubungan, keutuhan, dan aktualisasi. Keterkaitan
atau hubungan merupakan suatu prinsip bahwa kehidupan itu memiliki
karakteristik yang terangkai dalam sebab akibat. Suatu hasil pasti ada
penyebabnya. Dan setiap penyebab bisa direkayasa untuk mempengaruhi
hasil tertentu. Sebab akibat tidak mesti hasil rekanan manusia, melainkan
ada sebab akibat yang terkait dengan alam sekitarnya. Prinsip ini sudah
lama muncul dalam berbagai teori ilmu alam.
Praktik pembelajaran pendidikan holistik antara lain mencakup:
Interdependence,
Interrelationship,
Participatory,
dan
Non-linearity.
Interdependence memiliki arti bahwa setiap bagian memiliki keterkaiatan
dengan dengan fungsi bagian yang lain, sehingga membentuk suatu
sistem yang utuh dan menyeluruh. Interrelationship memiliki arti sistem
yang ada merupakan suatu jejaring yang kompleks, dan terjadi hubungan
diantara berbagai bagian dalam sistem dan hubungan dengan sistem
eksternal. Participatory memiliki arti bahwa siapapun yang terlibat dalam
pembelajaran akan memiliki hubungan yang amat dekat lingkungan
12
pembelajaran yang ada. Non-linearity memiliki arti sistem pembelajaran
holistik bersifat terbuka, dengan pola interaksi yang kompleks, terdapat
sistem umpan balik yang dinamis, muncul; sistem yang mengorganisir diri
sendiri secara otomatis, dan sifat hubungan tidak linier langsung
melainkan bersifat dialetik .
Pendidikan
holistic
transformative
(The
Holictic
Tranformative
education) merupakan alternative. Karakteristik pendidikan ini antara lain:
a)memberikan
bagi
peserta
untuk
berkembang
secara
utuh,
b)keterpaduan antara ilmu umum dan ilmu agama, c)keterpaduan proses
formal, non formal dan keluarga, d)keterpaduan antara teori, praktik dan
apa yang ada masyarakat, e)menekankan pengembangan secara optimal
dalam diri individu dan kelompok, f)menekankan proses
pembelajaran
yang dinamis dengan perilaku partisipatif dari semua pesertadidik, dan,
g)menekankan proses pembelajaran berorientasi pada output.
PENUTUP
Pendidikan bukanlah sekedar menabung ilmu pengetahuan untuk
kemudian pada saatnya ditarik; melainkan, pendidikan sebagai proses
pembudayaan untuk mengembangkan keseluruhan aspek yang ada pada
diri individu, sehingga dapat berkembang seluruh potensi yang dimiliki
secara utuh. Bahkan, konstitusi menyatakan bahwa pendidikan adalah
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Secara gramatik filosofis, dalam
pendidikan terminologi “to know” mula aslinya adalah “to be able”.
Knowing dan doing dua konsep yang memiliki keterkaitan yang amat kuat.
Tidak bisa berbuat sesuatu tanpa pengetahuan, dan kita tidak akan
memiliki pengetahuan yang hakiki tanpa perbuatan.
Namun, dalam perjalanan sejarah pendidikan, hanya diperlakukan
sebagai sesuatu yang amat sempit lagi praktis: mempersiapkan individu
untuk memiliki kemampuan agar bisa memenuhi kebutuhan tenaga kerja
yang diperlukan oleh dunia industri dan ekonomi. Konskwensi dari
pandangan ini maka pendidikan menetapkan suatu standard tentu sesuai
13
dengan kebutuhan dan tuntutan dunia industri. Lahirlah kebijakan dan
konsep standarisasi. Hakekat pendidikan semakin sempit, kalau semula
kalau semula education is a preparation for life menjadi education is
preparation for examination.
a
Jadi tujuan utama pendidikan yang
diujudkan oleh semua sekolah lewat proses pembelajaran adalah untuk
mempersiapkan siswa lulus ujian nasional.
Sudah barang tentu praktik pendidikan dewasa ini merupakan
refleksi
dari
pandangan
kebijakan
neo-liberal.
pendidikan,
Pendidikan
yang
terlalu
merupakan
didominasi
sarana
untuk
oleh
bisa
mengantarkan bangsa memasuki era globalisasi yang sangat kompetitif.
Maka “jiwa” dan “semangat” kompetisi ini perlu ditanamkan dalam dunia
pendidikan. Bahkan kompetititf menjadi salah satu konsep dalam visi
pendidikan Indonesia.
Kebijakan dan praktik pendidikan dewasa ini di banyak negara,
termasuk di Indonesia cenderung mengembangkan pengajaran
tanpa
pendidikan. Artinya mengembangkan kemampuan intelektual tanpa
diiringi dengan pengembangan moral. Kondisi ini amat berbahaya, karena
akan melahirkan ketimpangan, orang senantiasa membuat kalkulasi
material-finansial,
mengembangkan egoisme, dan menyatukan antara
ketidakadilan dan keserakahan, dan menyatukan doktrin kebenaran dan
kebatilan. Kondisi yang sedemikian inilah yang dalam tingkat-tingkat
tertentu melahirkan berbagai tindak dan perilaku yang merugikan orang
lain, bangsa dan negaranya.
Sejarah telah menunjukan, manakala suatu bangsa memnghadapi
persoalan yang besar, pasti bangsa itu akan menengok ke dunia
pendidikan, sembari meratap: “Wahai dunia pendidikan, apakah yang
dapat engkau lakukan untuk kebaikan bangsa ini”? Dunia pendidikan
Indonesia kali ini harus tegas menjawab: “Hanya ada satu cara untuk
mengembalikan bangsa ke jalur dan kiblat yang benar, yakni laksanakan
Sistem dan Praktik Pendidikan Holistik”.
14
--------------- Malang 12 Desember 2013
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Bruner, J. (1996) The Culture of Education. Cambridge, Mass.: Harvard
University Press. 224 + xvi pages.
Nava, Ramon, Gallegos (2003) Conscious Evolution through Holistic
Education. An Integrated Model of Holistic Education. A Paper.
Sri-Edi Swasono (2012) “Budaya Pancasila: Doktribn kebangsaan dan
doktrin kerakyatan dalam perspektif ekonomi dan kesejahteraan
social”, dalam Kebudayaan mendesain masa depan, diedit oleh
Sri-Edi Swasono dan Sudartomo Macaryus. Yogyakarta: UST-Press.
Sultan Hameng Buwono X (2012) “Menggagas renaisans pendidikan
berbasis budaya” dalam Kebudayaan mendesain masa depan,
diedit oleh Sri-Edi Swasono dan Sudartomo Macaryus. Yogyakarta:
UST-Press.
15