MENGGERAKKAN SENI DI DESA

MENGGERAKKAN SENI DI DESA
Oleh: Jabrohim*
Mengapa para pemudik yang datang ke desa kelahiran, setelah membagi-bagi oleholeh dari kota, usai shalat Idul Fitri, usai silaturahmi dengan keluarga dan tetangga,
makan-makan dan minum sepuasnya, kemudian sepertinya tidak betah lagi di
desanya? Mengapa baru sehari dua hari mereka berada di desa kelahirannya, mereka
segera ingin keluar desa, rekreasi ke kebun binatang, ke pantai atau ke tempat wisata
lain? Mengapa desa yang mereka rindukan dan mereka harus berani berjejal-jejal di
kendaraan untuk menempuh jalan mudik itu tiba-tiba kelihatan membosankan?
Mungkin jawabnya sederhana. Banyak desa yang sekarang ini sepi dari kegiatan seni
budaya. Banyak desa yang miskin kegiatan seni budaya dan potensi seni budaya yang
dimiliki desa banyak yang keropos. Demikian juga desa-desa Muslim yang jumlahnya
diperkirakan lebih dari lima ribu di seluruh Indonesia.
Karena sepi dari kegiatan seni budaya yang diselenggarakan secara mandiri oleh
warga desa sendiri maka para pemudik itu seperti menemukan kehampaan budaya.
Mereka memang merindukan desanya, merindukan sanak saudara. Tetapi kerinduan
itu telah dapat mereka sembuhkan dengan bertemu dan ngobrol, atau makan-makan
selama sehari dua hari. Setelah itu desa terasa sebagai sesuatu yang sepi, tidak
menarik dan tidak menghibur mereka lagi. Dengan demikian, mereka segera
melarikan diri dari desa, kemudian berwisata atau melakukan kegiatan rekreasi ke luar
desanya. Apalagi ketika mudik mereka membawa cukup uang.
Gejala seperti ini dapat disaksikan ketika musim mudik tiba. Dan bagi desa-desa yang

masih mampu menggeliatkan potensi seni budaya, keadaannya masih lumayan. Untuk
mengisi acara Syawalan, Halal Bihalal, pertemuan Bani atau pertemuan Trah
(Keluarga besar) biasanya penduduk setempat dan pemudik dapat bekerja sama dan
melakukan latihan bersama agar ketika pentas di acara tersebut mereka tidak
mengecawakan penonton. Apalagi kalau banyak di antara pemudik itu dulu dikenal
sebagai aktivis kesenian dan selama di rantau mereka tidak kehilangan spirit dan
kemampuannya berkesenian. Akan sangat senang sekali kalau mereka dilibatkan
untuk ikut tampil dalam kesempatan tersebut. Kegiatan ini dapat menambah gairah
mereka untuk menikmati hidup di desa kelahiran.
Dalam kaitan ini, upaya untuk menggerakkan kegiatan kesenian di desa-desa ternyata
sangat penting dan strategis. Oleh karena itu selama bertahun-tahun penulis ikut
merancang, mengelola dan mensupervisi kegiatan Kuliah Kerja Nyata di desa-desa,
penulis dengan dibantu teman-teman seniman, sastrawan dan pemusik, kami sengaja
memasukkan agenda upaya menggerakkan potensi seni di desa. Untuk ini penulis
sangat berterima kasih kepada Emha Ainun Nadjib, Ahmadun Y Herfanda, Wees Ibnu
Say, Andrik Purwasita dan teman-teman lain yang bertahun-tahun menemani kegiatan
menggerakkan potensi seni budaya di desa-desa tempat berlangsungnya Kuliah Kerja
Nyata.
Bahkan kemudian secara resmi, kami memasukkan agenda menggerakkan potensi
seni budaya di desa, sebagai salah satu dari 4 agenda kegiatan Kuliah Kerja Nyata.

Hasilnya alhamdulillah, menggembirakan. Meski secara sederhana dan kecil-kecilan,
banyak potensi seni budaya dapat dibangkitkan kembali. Kemudian desa-desa itu
menjadi desa binaan untuk pengembangan potensi seni budaya.
Hanya saja kemudian muncul masalah yang cukup menantang. Setelah potensi seni
budaya tersebut dapat dibangkitkan, dapat digerakkan dan dapat dikembangkan,
lantas dimana dan dalam kesempatan apa mereka tampil? Di manakah dan kapankah
mereka mendapat kesempatan untuk unjuk potensi?

Ini jelas merupakan tantangan yang perlu dijawab. Sebab menurut berbagai
percakapan dengan para aktivis seni budaya di desa, ternyata salah satu penyebab
memudarnya kegiatan dan potensi seni budaya di desa, adalah langkanya kesempatan
untuk tampil, di samping juga masalah regenerasi yang sering kurang berhasil.
Dengan demikian para pendukung seni budaya di desa yang tersisa tinggal para
pemain tua. Yang muda masih jarang dan tidak selalu mau untuk terlibat dalam
kegiatan seni budaya.
Untuk menjawab tantangan ini, menurut hemat penulis, sesungguhnya kampuskampus dapat berperan. Khususnya kampus Muhammadiyah (PTM). Selain
menjadikan upaya menggerakkan potensi seni budaya sebagai salah satu kegatan
penting dalam Kuliah Kerja Nyata (dan ini memungkinkan terjadinya proses lintas
budaya yang sangat bagus bagi masa depan keutuhan Indonesia), maka sungguh
sangat mulia dan sangat bagus jika kampus-kampus Muhammadiyah membuat

program dialog budaya konkret dalam bentuk memberi kesempatan bagi potensi seni
budaya di desa untuk tampil di kampus-kampus Muhammadiyah. Selain para
mahasiswa dan masyarakat sekitar mendapat hiburan, warga desa dapat tampil dan ini
akan memperbesar semangat mereka dalam memelihara dan mengembangkan potensi
seni budaya yang mereka miliki. Ayo, kampus Muhammadiyah mana yang akan
memulai?
*) Penulis adalah Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Ahmad Dahlan Yogyakarta.
Sumber: SM-23-2002