MEMAKMURKAN TAHUN BARU HIJRIAH

MEMAKMURKAN TAHUN BARU HIJRIAH
Jabrohim*
Pada awal abad ke-20 lalu, para aktivis SI kabarnya pernah mencetuskan perlawanan
budaya terhadap gejala gencarnya budaya Nasrani yang dikampanyekan oleh
pemerintah kolonial Belanda. Salah satunya adalah dengan memperingati Tahun
Hijriyah. Karena pada waktu itu istilah Hijriyah belum dikenal meluas, maka mereka
menggunakan strategi tidak langsung. Yaitu, memanfaatkan kalender Sultan Agung,
yang menyatukan kalender Jawa dengan kalender Islam Hijriyah).
Karena tahun baru Hijriyah diawali dengan bulan Muharam (Suro), maka mereka
yang tengah melakukan perlawanan budaya itu kemudian mengkampanyekan
peringatan tahun baru 1 Suro. Itulah yang kita kenal sekarang, lengkap dengan
berbagai ritualnya yang menyimpang di sana-sini, lengkap dengan berbagai mitos
yang tidak rasional menyebar ke tengah masyarakat. Spirit perlawanan budaya yang
semula dikandung telah pelan-pelan memudar dan melenyap.
Baru tahun 1970an, bersamaan dengan munculnya semangat untuk menjadikan abad
ke-15 Hijriyah sebagai abad kebangkitan Islam, maka upaya untuk memperingati
Tahun Baru Hijriyah dilakukan secara besar-besaran di mana-mana. Waktu itu muncul
berbagai ide kreatif anak-anak muda Islam di berbagai kota. Anak-anak muda
Yogyakarta misalnya, menyelenggarakan Pawai Hijrah dari Kridosono menuju Alunalun Utara. Prosesi menyambut Tahun Baru Hijriyah itu cukup sukses. Anak-anak
muda Jakarta melakukan kegiatan yang melambangkan spirit Hijrah, yaitu dengan
menyelenggarakan lomba gerak jalan jarak jauh yang diberi nama Gerak Jalan Hijrah.

Dan Pak AR Fakhruddin (Allahuyarham) malah mengkampanyekan cara
memperingati Tahun Baru Hijriyah dengan cara yang popular. Yaitu dengan saling
mengirim kartu Selamat Tahun Baru Hijrah. Lalu penggunaan kalender Hijrah dalam
surat-surat resmi pun dikampanyekan. Waktu itu Pak Natsir (Allahuyarham) yang
baru pulang dari menyaksikan Festival Islam di London kemudian menulis laporan
yang isinya bahwa peradaban Islam di masa lalu memang pernah hebat dan pernah
menjadi penanda besar sebuah zaman.
Yang jelas hiruk-pikuk menyambut datangnya abad ke-15 Hijrah terjadi di manamana. Diskusi, seminar, tulisan sambung-menyambung dan sebagainya. Harapan
mekar. Masa depan dapat diterobos dengan penuh optimisme.
Nah sekarang abad ke-15 Hijriyah sudah berjalan seperempatnya. Apa yang terjadi
dengan dunia Islam dan apa yang terjadi dengan perikehidupan umat Islam? Macammacam. Secara politik dan ekonomi dunia Islam masih kelihatan memble. Hanya dua
atau tiga negara Islam yang relatif memiliki karakter dan mampu memakmurkan
rakyatnya. Misalnya, Malaysia, Iran dan Lybia. Yang lain sedang dalam proses untuk
memantapkan karakternya dan memakmurkan rakyatnya.
Secara budaya justru terjadi lompatan besar selama 25 tahun ini. Islamisasi budaya
terus bergerak ke segenap pelosok dunia. Dan di Indonesia terus tumbuh saling
berganti wacana kebudayaan yang memiliki akar pada agama Islam. Bahkan aksi-aksi
berupa gerakan kebudayaan pun melaju lewat dua jalur. Perkotaan dan pedesaan
sekaligus. Anak muda Muslim kota sudah pandai menentukan pilihan budayanya yang
jelas, lewat berbagai eksperimen yang cukup alot. Musik, sastra, senirupa, film, dan

bahasa gaul mereka sudah mulai tampak jelas karakternya. Demikian juga anak muda
Muslim pedesaan, lewat jalur pesantren mereka mengembangkan nilai-nilai luhur
pesantren. Antara lain, kemudian mereka ekspresikan lewat sastra pesantren dan
musik pesantren.

Dan berkaitan dengan datangnya Tahun Baru Hijriyah pun anak-anak muda Muslim
kota dan pedesaan sudah pandai untuk melakukan Hijrah Budaya. Dari budaya
konsumtif sebagaimana dikampanyekan oleh budaya Barat menuju pada udaya
produktif sebagaimana diperintahkan oleh ajaran Islam. Mereka berhijrah dari budaya
mengumbar aurat menuju budaya menutup aurat. Mereka berhijrah dari budaya
sekuler menuju ke budaya yang lebih relijius. Kampus-kampus, trmasuk kampus
Muhammadiyah pun upaya memakmurkan Tahun Baru Hijriyah dengan cara
melakukan Hjrah Budaya juga kelihatan.
Yang berkurang, atau malahan lirih terdengar adalah bagaimana kita memakmurkan
Tahun Baru Hijriyah lewat penyegaran wacana, lewat proses penyuburan gagasan
baru yang lebih memiliki perspektif ke depan, juga lewat gerakan-gerakan
pendampingan budaya, bahkan gerakan advokasi budaya bagi masyarakat Muslim
pinggiran.
Padahal gerakan wacana dan gerakan aksi budaya yang seperti itu jelas kita butuhkan.
Muhammadiyah yang jelas-jelas mengaku memiliki konsep dakwah kultrual pun

sepertinya belum juga punya agenda yang jelas dalam kaitan memakmurkan Tahun
Baru Hijriyah ini. Dan daripada saling menunggu, lebih baik ada yang langsung
memulai. Mari kita mulai dari diri sendiri.
*) Dekan FKIP Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, dan penggagas PASS (Pusat
Aktivitas dan Studi Seni Budaya) UAD.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 1 2004