PEMBERLAKUAN KALENDER HIJRIAH INTERNASIO INDONESIA
PEMBERLAKUAN KALENDER HIJRIAH INTERNASIONAL
DI INDONESIA
(Antara Harapan dan Fakta)
Muh. Nashirudin
(Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Surakarta, [email protected].)
Abstract
This paper is going to look at some of the issues related to the international
unification of Hijra calendar and see how the possibility of its implementation in
Indonesia. There are three issues to be targeted in this paper to look at the possibility
of International Hijra calendar impementation in Indonesia. The First is the concept
of matla '. It is a necessity to adopt the unity of Matlak to unify the Hijrah Calendar
at international or national level. The second is the proposals of international Hijra
calendar. There are two kind of proposals of the International Hijra calendar can be
adopted and implemnted, i.e Zonal Calendar (Mohammad Ilyas and Universal Hijric
Calendar (ICOP), and non-zonal calendar (Abd al-Raziq Unified Hijric Calendar.)
The third is the Hijra calendar in Indonesia. There are two kinds of the calendar from
the criteria being used i.e Wujudul Hilal Calendar (Muhammadiyah) and Imkanur
Rukyah Calendars (Government, Almanak NU, Almanak Menara Kudus, PPMI
Assalam). There are several issues that must be looked for the agreement. First, the
Hijra calendar models will be used. This is certainly going to be a very crucial issue
in order to unify Hijra calendar, both at national and regional levels. Second, the
principle of Matla unification of Hijra calendar implementation must be adopted.
Third, the single criteria for determining the beginning of the month of Hijra must be
accepted.
Pendahuluan
Persoalan yang sering menjadi perdebatan dalam masalah penentuan awal
bulan kamariah di dunia Islam secara umum dan di Indonesia secara khusus adalah
perdebatan antara penganut metode hisab dan rukyah di satu sisi dan perdebatan
antara pengusung pemikiran unifikasi kalender hijriah global dan pengusung
pemikiran unifikasi kalender hijriah nasional dan regional di sisi yang lain.
Penganut metode hisab dan rukyah merasa bahwa metodenyalah yang paling
absah secara syar’i dan sesuai dengan prinsip-prinsip dalam astronomi. Pada tataran
tertentu, kedua metode tersebut masih tetap meninggalkan persoalan yang belum
1
terpecahkan dan sering menjadi kontroversi. Di Indonesia, metode hisab misalnya,
sampai saat ini masih terbagi dalam dua kutub besar; hisab wujudul hilal dan hisab
imkanurrukyah. Hisab wujudul hilal mensyaratkan masuknya bulan baru hijriah pada
dua hal, yakni terjadinya konjungsi sebelum terbenamnya Matahari (ijtima>’ qabl al-
ghuru>b), dan pada saat terbenam Matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk
(bulan baru telah wujud). Inilah yang dipakai oleh Muhammadiyah dalam sistem
hisabnya sebagaimana disebutkan dalam Pedoman Hisab Muhammadiyah.1
Sementara itu, hisab imkanurrukyah selain mensyaratkan ijtima>’ qabl al-ghuru>b,
masuknya bulan baru hijriah juga didasarkan pada posisi hilal yang mungkin untuk
dilihat. Artinya, awal bulan baru hijriah didasarkan pada kenampakan hilal yang
sebenarnya.2 Sistem hisab imkanurrukyah inilah yang kemudian melahirkan berbagai
kriteria visibilitas hilal. Beragamnya kriteria visibilitas hilal dan belum adanya
kesepakatan tentang kriteria visibilitas hilal yang akan dipakai di Indonesia inilah
yang menjadi salah satu alasan penganut hisab wujudul hilal untuk menolak hisab
imkanurrukyah. Di sisi lain, penganut hisab imkanurrukyah menganggap bahwa
kriteria wujudul hilal merupakan kriteria yang tidak dapat dibuktikan secara empiris
ilmiah.
Metode rukyah pada beberapa kasus juga menimbulkan kontroversi yang
tidak kalah serius di Indonesia. Kesaksian teramatinya hilal di Cakung pada awal
bulan Ramadan 1433 H merupakan kasus controversial terbaru yang terjadi dalam
permulaan bulan hijriah di Indonesia. Di satu sisi, kesaksian teramatinya hilal seperti
ini dianggap sebagai sesuatu yang absah dalam pandangan fikih karena dilaporkan
oleh seorang pengamat yang adil dan dialkukan di bawah sumpah. Artinya, secara
syar’i seolah tidak ada alasan untuk menolak kesaksian teramatinya hilal pada kondisi
tersebut. Akan tetapi, di sisi lain, kesaksian tersebut dianggap tidak memenuhi
1
Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP. Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah
(Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2009), hlm. 78
2
Susiknan Azhari, Ilmu Falak, Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, (Yogyakarta:
Suara Muhammadiyah, 2007), hlm. 110, Ichtijanto (ed.), Almanak Hisab Rukyat, (Jakarta: Proyek
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981), hlm. 99-100.
2
kriteria-kriteria ilmiah dalam ilmu falak modern. Kekurangakuratan sistem hisab
yang dipakai oleh pengamat, kesalahan dalam menentukan posisi hilal, posisi hilal
yang masih di bawah ambang batas teramatinya hilal dalam kriteria visibilitas hilal di
Indonesia dan di dunia Internasional dan tidak adanya bukti empiris teramatinya hilal
pada saat itu karena laporan menyebutkan bahwa hilal teramati dengan mata tanpa
alat menjadi beberapa alasan tidak diterimanya laporan termatinya hilal di Cakung.
Perdebatan tentang unifikasi kalender hijriah global dan nasional juga
menjadi wacana yang belum jelas pada titik mana kesepakatan akan dimulai.
Sebagian tokoh menawarkan pemberlakuan kalender hijriah global untuk bisa
menyatukan kalender regional dan global, sedangkan sebagian lain menawarkan
pemikiran untuk menyatukan kalender hijriah nasional sebelum menuju penyatuan
regional dan global.
Tulisan ini hendak melihat beberapa persoalan yang berkaitan dengan
penyatuan kalender hijriah internasional dan melihat bagaimana kemungkinan
pemberlakuannya di Indonesia. Ada tiga persoalan yang akan dibidik dalam tulisan
ini untuk melihat kemungkinan keberlakuan kalender hijiriah di Indonesia. Pertama,
konsep mat}la’, kedua, tawaran kalender hijriah internasional, dan ketiga, kalender
hijriah di Indonesia.
Konsep Mat}la’ dalam Fikih dan Astronomi
Perbedaan tentang penyatuan mat}la’ dalam sejarah pemikiran Islam paling
tidak dapat dilihat dari adanya perbedaan tentang keberlakuan hasil rukyah. Hal ini
bermula dari perbedaan apabila hilal berhasil dirukyah di suatu kawasan, maka
apakah hasil rukyah di kawasan tersebut berlaku untuk seluruh umat Islam yang ada
di seluruh dunia ataukah hanya diberlakukan untuk kaum muslim di kawasan tempat
keberhasilan rukyah tersebut saja.
3
Kata mat}la’ secara bahasa berasal dari t}a-la-‘a ( )طﻠﻊyang artinya terbit,
muncul, keluar.3 Kata ini kemudian dapat dibentuk menjadi mat}li’ ( )ﻣﻄﻠﻊdengan
huruf la>m yang dikasrah dan mat}la’ ( )ﻣﻄﻠﻊdengan huruf la>m yang difathah yang
memiliki makna yang berbeda. Kata bentukan pertama (mat}li’) bermakna tempat
munculnya bulan, bintang, atau matahari sedangkan kata bentukan kedua (mat}la’)
bermakna waktu atau zaman munculnya bulan, bintang, atau matahari. Makna ini
dapat dilihat dalam al-Qur’an surat al-Kahf ayat 90 dan al-Qadar ayat 5:
ْ ﺸ ْﻤ ِﺲ َو َﺟﺪَھَﺎ ﺗ
ْ َﺣﺘﱠﻰ ِإذَا ﺑَﻠَ َﻎ َﻣ
ﻄ ِﻠ َﻊ اﻟ ﱠ
(90 :ﻋﻠَﻰ ﻗَ ْﻮ ٍم ﻟَ ْﻢ ﻧَﺠْ ﻌَ ْﻞ ﻟَ ُﮭ ْﻢ ِﻣ ْﻦ دُوﻧِ َﮭﺎ ِﺳﺘْ ًﺮا )اﻟﻜﮭﻒ
َ َﻄﻠُ ُﻊ
ْ ِﻲ َﺣﺘﱠﻰ َﻣ
(5 :ﻄﻠَ ِﻊ ْاﻟﻔَﺠ ِْﺮ )اﻟﻘﺪر
َ
َ ﺳ َﻼ ٌم ھ
Mengenai keberlakuan mat}la’ ini para ulama, apabila dilacak pada literatur
klasik diantaranya Fath} al-Ba>ri>, Nail al-Aut}a>r, Tuh}fah al-Ahwaz}i >, terbagi dalam dua
pandangan.4 Pertama, pendapat Jumhur Ulama madzhab Hanafi, Maliki, dan
Hambali. Mereka berpendapat bahwa rukyah di suatu negeri berlaku untuk seluruh
kaum muslimin di negeri-negeri yang lain, sehingga adanya perbedaan mat}la’
(ikhtila>f al-mat}a>li’) tidak memiliki pengaruh apapun terhadap penentuan masuknya
bulan baru hijriah. Pendapat kedua adalah pendapat Imam asy-Syafi’i dan sejumlah
ulama
salaf
yang
berpendapat
bahwa
penentuan
awal
bulan
hijriyah
memperhitungkan perbedaan mat}la’ sehingga masing-masing negeri penetapan awal
bulan didasarkan kepada hasil pengamatan hilal di negerinya sendiri.5
Kelompok pertama yang menjadikan satu dunia dalam satu kesatuan dalam
penentuan awal bulan kamariah (kesatuan mat}la’ atau ittifa>q/ittih}a>d al-mat}a>li’)
mendasarkan pendapatnya pada keumuman hadis tentang perintah puasa. Hadis yang
memerintahkan untuk memulai puasa ditujukan untuk seluruh umat Islam di seluruh
penjuru dunia. Jika ada kesaksian hilal dapat dirukyah di satu tempat, maka kesaksian
3
A. W. Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984), hlm. 921.
al-‘Asqala>ni, Fath} al-Ba>ri,> (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1977), IV/123, asy-Syauka>ni, Nail alAut}a>r (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), IV/267, al-Muba>rakfu>ri, Tuh}fah al-Ahwaz}i >,(Beirut: Da>r al-Kutib alIlmiyyah, t.t.), III/308)
5
Wahbah az-Zuh}aili>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> wa Adillatuhu, (Damaskus: Da>r al- Fikr, 1996), II/605.
4
4
itu diberlakukan untuk seluruh umat Islam di dunia tanpa membedakan perbedaan
negara dan wilayah.6
Sedangkan kelompok kedua mendasarkan pendapatnya pada hadis Kuraib
tentang tidak dipakainya keberhasilan rukyah Mu’awiyah yang ada di Syam oleh Ibnu
‘Abbas yang saat itu berada di Madinah.
واﺳﺘُﮭ ﱠﻞ ﻋﻠﻲ، ﻓﻘﻀﯿﺖ ﺣﺎﺟﺘﮭﺎ، ﻓﻘﺪﻣﺖُ اﻟﺸﺎم: ﻓﻘﺎل،أن أم اﻟﻔﻀﻞ ﺑﻌﺜﺘﮫ إﻟﻰ ﻣﻌﺎوﯾﺔ ﺑﺎﻟﺸﺎم
ﻓﺴﺄﻟﻨﻲ ﻋﺒﺪ ﷲ، ﺛﻢ ﻗﺪﻣﺖُ اﻟﻤﺪﯾﻨﺔ ﻓﻲ آﺧﺮ اﻟﺸﮭﺮ، ﻓﺮأﯾﺖ اﻟﮭﻼل ﻟﯿﻠﺔ اﻟﺠﻤﻌﺔ،رﻣﻀﺎن ُ وأﻧﺎ ﺑﺎﻟﺸﺎم
أﻧﺖ رأﯾﺘ َﮫ؟: ﻓﻘﺎل، رأﯾﻨﺎه ﻟﯿﻠﺔ اﻟﺠﻤﻌﺔ: ﻣﺘﻰ رأﯾﺘﻢ اﻟﮭﻼل؟ ﻓﻘﻠﺖ: ﻓﻘﺎل، ﺛﻢ ذﻛﺮ اﻟﮭﻼل،ﺑﻦ ﻋﺒﺎس
ﻓﻼ ﻧﺰال ﻧﺼﻮم، ﻟﻜﻨﺎ رأﯾﻨﺎه ﻟﯿﻠﺔ اﻟﺴﺒﺖ: ﻓﻘﺎل، وﺻﺎم ﻣﻌﺎوﯾﺔ، ورآه اﻟﻨﺎس وﺻﺎﻣﻮا، ﻧﻌﻢ:ﻓﻘﻠﺖ
ھﻜﺬا أ َﻣ َﺮﻧﺎ رﺳﻮل، ﻻ: أﻻ ﻧﻜﺘﻔﻲ ﺑﺮؤﯾﺔ ﻣﻌﺎوﯾﺔ وﺻﯿﺎﻣﮫ؟ ﻓﻘﺎل: ﻓﻘﻠﺖ،ﺣﺘﻰ ﻧُ ْﻜ ِﻤﻞ ﺛﻼﺛﯿﻦ أو ﻧﺮاه
(ﷲ ﺻﻠّﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ )رواه اﻟﺠﻤﺎﻋﺔ اﻻ اﻟﺒﺨﺎري واﺑﻦ ﻣﺎﺟﮫ
Hadis ini memberikan pengertian bahwa Ibnu ‘Abbas yang berada di
Madinah, yang berbeda mat}la’ dengan Syam, tidak menerima hasil rukyah
Mu’awiyah karena perbedaan jarak yang jauh antara kedua tempat tersebut. Perkataan
Ibnu ‘Abbas “‘Tidak, demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kita” dalam hadis
tersebut menjadi dalil bahwa setiap negeri harus mengikuti hasil rukyatnya sendirisendiri, dan hasil rukyat suatu negeri tidak berlaku untuk negeri yang lain karena ada
perbedaan mat}la’ (li ikhtila>f mat}a>li’).7
Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa apabila wilayahnya saling
berdekatan, maka keberhasilan rukyah tersebut dapat ditransfer ke wilayah yang lain.
Sedangkan apabila berjauhan, maka sebagian ulama tetap membolehkan transfer
rukyah, sedangkan sebagian yang lain melarangnya.
Ukuran jauh dan dekatnya satu wilayah ke wilayah yang lain, para ulama
juga berbeda pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut; pendapat pertama,
dengan melihat perbedaan mat}la’. Apabila dua wilayah masih dalam satu mat}la’,
maka dianggap sebagai wilayah yang berdekatan. Dan dikatakan berjauhan apabila di
6
7
asy-Syauka>ni, Nail al-Aut}a>r, IV/267, Wahbah az-Zuh}aili>, Al-Fiqh Al-Isla>mi>, II/609
Al-Mubarakfu>ri>,Tuh}fah al-Ahwaz}i>, III/308
5
luar wilayah tersebut. Pendapat kedua, masa>fah al-qasr, jarak yang diperbolehkan
untuk melakukan salat qasar. Pendapat ketiga, perbedaan iqli>m, dan pendapat
keempat adalah berdasar pada perbedaan kedua wilayah dari sisi tinggi rendah
geografis, seperti antara wilayah pegunungan dan dataran rendah, yang menjadikan
satu wilayah lebih mudah dalam melihat hilal dibanding wilayah yang lain.
Keempat ukuran jarak diberlakukannya hasil rukyah tersebut memang masih
perlu diperdebatkan landasan normatifnya, masih menimbulkan berbagai penafsiran
dari sisi hakikatnya selain membutuhkan “penerjemahan” yang tepat ke dalam
perhitungan matematis kontemporer.
Mengenai batas satu mat}la’, Abd. Salam Nawawi berusaha melakukan
perhitungan sederhana (kira-kira/taqri>bi>) batas mat}la’ ke arah Timur dari pusat
observasi atau markaz rukyah dengan memperhitungkan kecepatan gerakan Bumi
pada porosnya, kecepatan gerakan Bulan mengelilingi Bumi, dan kecepatan gerakan
semu Matahari di sepanjang lingkaran ekliptika. Dari hasil perhitungan faktor-faktor
tersebut, ia mengatakan bahwa batas mat}la’ ke arah Timur dari markaz rukyat dapat
dihitung dengan salah satu dari dua rumus:
a.
Derajat irtifa>’ (ketinggian) hilal dikurangi derajat batas visibilitas hilal,
dibagi 0°30`28,6”, lalu dikalikan 15
b.
Derajat irtifa>’ (ketinggian) hilal dikurangi derajat batas visibilitas hilal,
lalu dikalikan 29°31`50,84”.8
Untuk pusat observasi hilal Jakarta, misalnya, jika diketahui bahwa
ketinggian hilalnya 3°6`, sedangkan batas visibilitas hilalnya –misalnya- 2°, maka
batas mat}la’ ke arah Timur dari markaz tersebut adalah (3°6`- 2°) : 0°30`28,6” x 15 =
32°29`1,92”. Jadi, batas mat}la’ di sebelah Timur markaz rukyah Jakarta (bujur
106°49`) adalah 139°18`1,92” yang hamper mencapai Merauke atau sekitar 3.585 km
(hasil dari 32°29`1,92” x (111 km x cosines 6°10` (lintang Jakarta))). Batas mat}la’ ini
8
Abd. Salam Nawawi, Rukyat Hisab di Kalangan NU Muhammadiyah, Meredam Konflik
dalam Menetapkan Hilal, (Surabaya: Diantama bekerjasama dengan LFNU Jatim, 2004), hlm. 106111.
6
akan lebih panjang apabila batas visibilitas hilal yang dijadikan patokan lebih kecil
dari 2° dan akan lebih pendek apabila batas visibilitas hilalnya lebih besar dari 2°.9
Wahbah az-Zuh}aili> mengatakan bahwa 1 mat}la’ setara dengan 24 farsakh. Jika 1
farsakh adalah 3 mil, maka 1 mat}la’ adalah 24 x 3 x 1,6093 km = 115,8696 km. Akan
tetapi jika 1 farsakh adalah 5544 m, maka 1 mat}la’ adalah 133,056 km.10
Jarak masa>fah al-qas}r menurut Wahbah az-Zuh}aili> adalah 4 bari>d atau 16
farsakh. Jika 1 farsakh 5544 m, maka jarak tersebut adalah 16 x 5544 = 88,704 km.
Akan tetapi, jika 1 farsakh adalah 3 mil, maka jarak tersebut menjadi 1,6093 km x 3 x
16 = 77,2464 km. Sedangkan Zubair ‘Umar al-Jailani mengatakan bahwa masa>fah al-
qas}r adalah 89,05920 km karena 1 mil dalam pandangannya adalah 1855,40 m.11
Dengan munculnya konsep negara bangsa (nation state) di masa ini, maka
ukuran-ukuran tersebut dapat memunculkan berbagai masalah. Jika ukuran
keberlakuan hasil rukyah diberlakukan sejauh mat}la’ sebagaimana definisi di atas,
maka sebuah negara yang memiliki wilayah yang luas seperti Indonesia akan
memiliki beberapa mat}la’. Begitu juga dengan ukuran-ukuran yang lain. Oleh karena
itulah kemudian muncul konsep mat}la’ fi> wila>yah al-h}ukm (wilayatul hukmi/wilayah
pemerintahan negara) yang memberlakukan keberhasilan rukyah pada sebuah
pemerintahan negara bangsa. Ukuran mat}la’ fi> wila>yah al-h}ukm (wilayatul hukmi)
inipun akhirnya bersifat sangat relatif, mengikuti sempit dan luasnya wilayah suatu
negara.
Saat berbicara tentang konsep perbedaan dan penyatuan mat}la’ dalam
pandangan para ulama fikih, harus dipahami bahwa perbedaan pendapat tersebut
ssangat tergantung pada tingkat pengetahuan dan pemahaman mereka dengan
persoalan ilmu falak. Argumentasi yang disampaikan untuk menguatkan pandangan
dan menolak pandangan ulama lain yang berbeda pendapat juga beragam sesuai
9
Ibid.
Wahbah az-Zuh}aili,> al-Fiqh al-Isla>mi>, II/ 607.
11
Zubair ‘Umar Al-Jailani, al-Khula>s}ah al-Wafiyyah fi al-Falak bi Jada>wil al-Lughari>tmiyyah,
(Kudus: Menara Kudus, t.t.), hlm. 203.
10
7
dengan kemampuan mereka dalam persoalan ilmu falak. Oleh karena itu, ada
beberapa argumentasi atas pendapat yang berkaitan dengan tema mat}la’ terkadang
tidak berkaitan sama sekali dengan persoalan astronomi dan ilmu falak.
Oleh karena itulah, menurut Odeh, pemahaman atas permasalahan astronomi
menjadi sangat penting agar pendapat fikih yang berkaitan dengan tema astronomi
seperti persoalan mat}la’ tidak terlalu jauh dengan kenyataan-kanyataan ilmiah
astronomis. Secara astronomis, menurut Odeh, tema perbedaan mat}la’, apabila
dikaitkan dengan observasi (rukyah) hilal, dapat dilihat dari tiga poin:12
a. Kondisi rukyah hilal berbeda sesuai perbedaan garis bujur (pergerakan ke arah
utara dan selatan).
Artinya, wilayah yang berada dalam satu garis bujur tidak bisa dikatakan
memiliki mat}la’ yang sama. Matahari dan hilal akan berada pada waktu terbenam
yang berbeda walaupun berada pada satu garis bujur. Oleh karena itu, hilal bisa saja
mustahil dilihat di satu wilayah, akan tetapi mudah dilihat di wilayah yang lain yang
memiliki garis lintang yang sama akan tetapi berbeda garis bujurnya.
b. Kondisi rukyah hilal berbeda sesuai perbedaan garis lintang (pergerakan ke
arah barat dan timur).
Hampir sama dengan point pertama, wilayah yang berada dalam satu garis
lintang juga tidak bisa dikatakan memiliki mat}la’ yang sama. Hilal bisa saja mustahil
dilihat di satu wilayah, akan tetapi mudah dilihat di wilayah yang lain yang memiliki
garis bujur yang sama akan tetapi berbeda garis lintangnya.
c. Ketinggian lokasi observasi dari permukaan air laut harus diperhatikan saat
rukyah
Ketika seseorang melakukan observasi, maka ketinggian tempat observasi
dari permukaan air laut sangat mempengaruhi keberhasilan rukyah. Oleh karena itu,
12
M. S. Odeh, Ikhtila>f al-Mat}a>li’, al-Mana>t}iq al-Musytarakah bi Mat}la’ Wa>h}id, makalah pada
al-Mu’tamar al-‘A li Is\ba>t asy-Syuhu>r al-Qamariyyah ‘inda ‘Ulama>’ asy-Syari’ah wa al-H{isa>b alFalaki> yang diadakan oleh Komite Fiqh Islam (al-Majma’ al-Fiqhi> al-Isla>mi) OKI (Ra>bit}ah al-‘Ami> di kantor OKI, Mekah, pada tanggal 19-21/03/1433 H/11-13/02/2012 M, hlm. 8-11.
8
keberhasilan rukyah tidak bisa disamakan antara satu wilayah dengan wilayah lain
dengan mengabaikan ketinggian tempat dari permukaan air laut.
Dalam perhitungan yang mengaitkan perbedaan dan kesatuan mat}la’ dengan
perhitungan ilmiah astronomis dan realitas empiris, prinsip kesatuan mat}la’ bisa
dibedakan dalam beberapa bentuk:13
1. Kesatuan mat}la’ secara mutlak
Pemikiran tentang kesatuan mat}la’ secara mutlak ini menjadikan satu dunia
dalam satu kesatuan mat}la’ dengan prinsip transfer rukyah (naql ar-ru’yah). Apabila
hilal bisa dirukyah baik dalam perhitungan (hisab) atau rukyah hakiki di daerah
manapun di dunia ini, maka hari berikutnya sudah masuk bulan baru hijriah untuk
seluruh dunia. Pemikiran satu mat}la’ untuk seluruh dunia ini memang memiliki
kelebihan dari sisi penyatuan kalender hijriah di seluruh dunia. Akan tetapi, prinsip
ini juga menyisakan persoalan yang sangat besar. Dalam beberapa kasus, bulan baru
hijriah dimulai, atas dasar prinsip kesatuan mat}la’ secara mutlak, ketika sebagian
besar wilayah di dunia masih belum terpenuhi syarat masuknya bulan baru hijriah
seperti terbenamnya Bulan sebelum Matahari.
2. Kesatuan mat}la’ dalam wilayah yang bersesuaian visibilitas hilalnya
Prinsip ini menjadikan setiap wilayah yang memiliki kesesuaian visibilitas
hilal dalam satu kesatuan mat}la’. Artinya, pembagian mat}la’ didasarkan pada
kemungkinan dilihat atau tidaknya hilal. Jika hilal mungkin untuk dilihat, maka
pembagian tetap dilakukan dengan melihat apakah kemungkinan tersebut dengan
memakai mata tanpa alat ataukah dengan alat.
13
Ibid. hlm. 15-18.
9
Peta Visibilitas Hilal
Pada gambar di atas wilayah-wilayah yang berada di warna hijau, wilayah
yang hilal mudah untuk dilihat dengan mata tanpa alat, dijadikan sebagai wialayah
dalam satu kesatuan mat}la’ terlepas dari dekat dan jauhnya wilayah-wilayah tersebut.
Begitu juga wilayah-wilayah yang berada di warna ungu (hilal mungkin dilihat
dengan mata tanpa alat jika kondisi mendukung), berada di warna biru (hilal hanya
dapat dilihat dengan alat optik) berada dalam satu kesatuan mat}la’.
Prinsip ini memiliki kelebihan karena menjadikan perhitungan astronomis
(visibilitas hilal) yang detail, sesuai dengan kemungkinan dilihatnya hilal, sebagai
dasar kesatuan mat}la’. Hanya saja, karena visibilitas hilal itu selalu berubah di setiap
bulan, maka wilayah-wilayah yang berada dalam satu kesatuan mat}la’ juga akan
mengalami perubahan setiap bulannya. Dua atau tiga negara bisa menjadi satu mat}la’
di bulan ini misalnya, akan tetapi bisa menjadi berbeda mat}la’ di bulan depan. Hal ini
tentu akan membuat kesulitan untuk pembentukan sebuah kalender.14
14
Ibid. hlm. 15.
10
3. Kesatuan mat}la’ dalam wilayah yang serupa visibilitas hilalnya
Prinsip ini menjadikan wilayah-wilayah yang serupa visibilitas hilalnya
dalam satu kesatuan mat}la’. Dalam gambar di atas, wilayah-wilayah yang berada
pada warna hijau, ungu, dan biru dijadikan satu mat}la’ karena semuanya merupakan
wilayah yang hilal mungkin untuk dirukyah baik dengan alat optik maupun dengan
mata tanpa alat. Sedangkan wilayah tanpa warna dan warna merah berada pada
mat}la’ yang lain, yaitu mat}la’ yang hilal tidak mungkin dan mustahil dirukyah.
Dengan demikian, pemikiran ini membagi dunia dalam dua mat}la’, yaitu wilayah
yang hilal mungkin dirukyah dan wilayah yang hilal tidak mungkin atau mustahil
dirukyah.
Pemikiran ini memiliki kelebihan dari sisi adanya wilayah yang lebih besar
dan luas yang berada dalam satu kesatuan mat}la’. Akan tetapi, pemikiran ini juga
tidak secermat pemikiran poin ke-2 karena tidak membedakan antara wilayah yang
hilal mudah dilihat dengan mata tanpa alat dengan wilayah yang hilal hanya dapat
dilihat dengan perangkat binokuler saja. Selain itu, seperti pemikiran sebelumnya,
wilayah yang berada dalam satu mat}la’ pun akan selalu berubah sesuai perubahan
visibilitas hilal.15
4. Kesatuan mat}la’ parsial/zonal (juz’i>)
Pemikiran ini membagi dunia dalam zona-zona tertentu, baik dua zona, tiga
zona maupun empat zona, dimana setiap zona adalah dalam satu kesatuan mat}la’.
Apabila perhitungan atau rukyah faktual menunjukkan bahwa hilal dapat dirukyah
pada satu zona, maka bulan baru hijriah akan dimulai di zona tersebut.
Pemikiran penyatuan parsial atau zonal ini memiliki kekurangan dari sisi
masih mungkin terjadinya perbedaan dalam memulai bulan baru hijriah walaupun
maksimal perbedaan yang terjadi dalam ini hanya satu hari. Artinya, walaupun
pembagian zona yang terjadi adalah tiga atau empat zona, perbedaan yang mungkin
15
Ibid., hlm. 16
11
terjadi tetap hanya satu hari. Semakin banyak zona yang ada, maka tingkat ketelitian
dalam memperhitungkan kemungkinan kenampakan hilal akan semakin tinggi. Akan
tetapi, terbaginya zona di dunia dalam tiga atau empat zona membawa dampak pada
kemungkinan tidak bersatunya dunia Islam dalam satu permulaan bulan baru hijriah,
sehingga tidak akan dapat menciptakan sebuah kesatuan dalam kalender hijriah.16
Dan hal inilah yang menjadi keunggulan pembagian dunia dalam dua zona.
Jika pada suatu saat hilal hanya dapat dilihat dari zona Barat dan tidak dapat dilihat
dari zona Timur yang menjadikan adanya perbedaan dalam memulai bulan baru
hijriah, sebagian besar dunia Islam yang berada di zona Timur tetap akan memulai
bulan baru hijriah secara bersamaan. Artinya, akan ada “kesatuan” di sebagian besar
dunia Islam yang menjadikan sebagian besar umat Islam akan memasuki bulan baru
hijriah secara bersamaan.
5. Kesatuan mat}la’ lokal (al-mah}alli>)
Kesatuan mat}la’ lokal inilah yang dipakai sebagian besar kalender hijriah di
dunia Islam, yakni menjadikan batas-batas negara secara politik sebagai batasan
dalam keberlakuan rukyah atau yang lebih dikenal dengan kesatuan dalam wilayah
hukum (mat}la’ fi> wila>yah al-h}ukm). Mat}la’ akan berbeda-beda dari sisi luas dan
sempitnya sesuai dengan luas dan sempitnya batasan sebuah negara. Dan kesatuan
mat}la’ hanya terbatas pada luas sebuah negara.17
Persoalan penyatuan awal bulan hijriah, oleh karena itu, harus melihat pada
penyatuan mat}la’ yang mana yang akan dianut. Jika penyatuan yang diinginkan
adalah pada tingkat nasional, wilayah dalam satu negara, maka mat}la’ yang dipakai
adalah mat}la’ fi> wila>yah al-hukmi, jika yang diinginkan adalah penyatuan di sebagian
besar dunia Islam, maka mat}la’ yang dipakai adalah mat}la’ juz’i> (zonal), dan jika
yang diinginkan adalah penyatuan awal bulan hijriah secara global, maka penyatuan
16
17
Ibid., hlm. 18
Ibid.
12
mat}la’ yang dianut adalah mat}la’ global. Dan masing-masing pemikiran memiliki
keunggulan dan kelebihannya sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Pemikiran tentang Penyatuan Mat}la’
N
o
1
2
3
4
5
6
Kesatuan Mat}la’
Keunggulan
Kelemahan
Mutlak (satu dunia Bersatunya
seluruh Dalam beberapa kasus
satu mat}la’)
dunia dalam satu mat}la’ bulan baru hijriah dimulai
ketika hilal tidak mungkin
atau
bahkan
mustahil
dirukyah
Yang bersesuaian Detail dalam melihat Wilayah dalam satu mat}la’
visibilitas hilalnya perbedaan
visibilitas yang selalu berubah sesuai
hilal sebagai batas perubahan visibilitas hilal
penyatuan mat}la’
Yang
serupa Hanya membagi dunia Wilayah dalam kesatuan
visibilitas hilalnya dalam dua zona sesuai mat}la’ yang selalu berubah
dengan mungkin dan
tidaknya terlihat hilal
perbedaan
Parsial (Juz’i>) tiga Kesatuan mat}la’ pada Kemungkinan
dalam memulai bulan baru
zona atau lebih
zona-zona yang tetap
hijriah di dunia Islam
perbedaan
Kesatuan mat}la’ Kemungkinan
Parsial (Juz’i>) dua dalam
memulai
bulan
baru
zona
pada zona-zona yang
hijriah antara zona Barat
tetap
dan Timur
Bersatunya
dunia Islam dalam
memulai bulan baru
hijriah
Hanya untuk dasar
Lokal (mahalli>), fi> Kekuatan secara politis kalender hijriah nasional
wila>yah al-h}ukm
Kemungkinan
perbedaan memulai bulan
baru hijriah dalam dua
hari atau lebih di seluruh
dunia
13
Tawaran Kalender Hijriah Internasional
Ada beberapa tawaran kalender hijriah internasional yang saat ini
berkembang. Tulisan ini hanya akan menyebutkan beberapa diantaranya, yaitu
kalender hijriah tawaran Mohammad Ilyas, Kalender Hijriah Universal, dan Kalender
Hijirah Unifikasi.
Kalender Hijriah tawaran Mohammad Ilyas merupakan hasil dari
penelitiannya melalui sebuah proyek yang dinamakan International Islamic Calendar
Programme (IICP) yang bermarkas di Universitas Sains Malaysia, Penang. Hasilhasil penelitian tersebut kemudian disebarkan ke negara-negara Islam yang tergabung
dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), kemudian didialogkan melalui pertemuanpertemuan regional dan internasional.
Kalender yang ditawarkan oleh Mohammad Ilyas ini merupakan salah satu
usaha pertama di masa modern bagi terbentuknya Kalender Hijriah yang bersifat
internasional18 Kalender Hijriah Ilyas didasarkan pada hisab imka>nurrukyah dengan
kriteria imka>nurrukyah yang diajukannya dan pada Garis Tanggal Kamariah
Internasional (ILDL/International Lunar Date Line) yang merupakan gagasan
orisinal Mohammad Ilyas. Garis Tanggal Kamariah merupakan garis yang didasarkan
pada perhitungan visibilitas hilal di seluruh permukaan bumi melalui titik-titik
wilayah yang ditentukan yang kemudian memisahkan bumi dalam dua wilayah, yaitu
wilayah sebelah barat garis yang merupakan wilayah hilal mungkin dirukyah dan
wilayah di sebelah timur garis yang merupakan wilayah hilal tidak mungkin
dirukyah. Garis Tanggal Kamariah inilah yang dijadikan sebagai acuan masuknya
bulan baru hijriah dalam Kalender Hijriah yang ditawarkan Mohammad Ilyas.
Wilayah sebelah barat garis merupakan wilayah yang telah memasuki bulan baru
hijriah karena hilal mungkin dirukyah, sedangkan wilayah sebelah timur garis
18
M. S. Odeh, al-Hila>l Bain H{isa>ba>t al-Falakiyyah wa ar-Ru’yah, Makalah dipresentasikan
pada seminar ahli Falak untuk menentukan awal bulan kamariah yang diadakan di Rabat, Maroko
pada tanggal 8-10 Nopember 2006, diakses tanggal 28 April 2009 dari www.icoproject.org., Nid}a>l
Qassu>m, t.t., Khut}uwa>t fi T{ari>q H{all Musykilah at-Taqwi>m al-Isla>mi> al-Muwah}h}ad, diakses dari
www.amastro.ma_articles_art-ng.pdf pada Desember 2009
14
merupakan wilayah yang belum memasuki bulan baru hijriah karena hilal yang tidak
mungkin dirukyah. Apabila garis ini melewati sebuah negara yang menjadikannya
terbelah dalam dua wilayah yang berbeda dalam visibilitas hilal, maka garis tersebut
ditarik ke arah timur sesuai batas negara tersebut sehingga negara tersebut dapat
memasuki bulan baru dalam waktu yang sama.19 Dan karena visibilitas hilal yang
tidak tetap, maka garis inipun bersifat tidak tetap dan berubah-ubah.
Kalender Hijriah Ilyas termasuk dalam kategori kalender zonal yang
membagi bumi ini dalam tiga zona tanggal, yaitu zona Asia Pasifik, zona Eropa, Asia
Barat dan Afrika, dan zona Amerika.
Hanya saja, sangat disayangkan sebagaimana dikatakan Qassu>m bahwa
usaha-usaha dan usulan-usulan Mohammad Ilyas ini tidak begitu terdengar di dunia
Arab pada khususnya karena tulisan-tulisannya disebarluaskan dengan bahasa
Melayu dan Inggris.20
Jama>l ad-Di>n ‘Abd ar-Ra>ziq merupakan salah seorang tokoh yang berasal
dari Maroko yang pertama kali menawarkan adanya Kalender Hijriah Unifikasi di
dunia modern ini. Ia menamakan kalender usulannya at-Taqwi>m al-Qamari> al-Isla>mi>
al-Muwah}h}ad (Kalender Kamariah Islam Unifikasi/Terpadu). Penelitian dan gagasangagasannya dituangkannya dalam beberapa artikel, diantaranya adalah at-Taqwi>m al-
Qamari> al-Isla>mi> al-Muwah}h}ad yang disampaikan dalam Ijtima>’ al-Khubara>’ li
Dira>sah Maudhu>’ Dhabt} Mat}a>li’ asy-Syuhu>r al-Qamariyyah ‘inda al-Muslimi>n di
Rabat pada tanggal 9 dan 10 Nopember 2006 dan at-Taqwi>m al-Isla>mi>: al-
Muqa>rabah asy-Syumu>liyah, makalah disampaikan dalam Simposium Internasional
“Toward A Unified International Islamic Calendar” yang diadakan oleh Majelis Tarjih
dan Tajdid PP Muhammadiyah pada tahun 2007.
Ada tiga prinsip dasar yang harus diterima untuk membuat sebuah kalender
kamariah yang bersifat Internasional dalam pandangan ‘Abd ar-Ra>ziq, yakni;
19
Mohammad Ilyas, 1999, Kalender Islam Antarbangsa, cet. 2, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka, hlm. 17-22.
20
Nid}a>l Qassu>m, t.t., Khut}uwa>t fi T{ari>q, hlm. 6.
15
pertama, dijadikannya hisab sebagai dasar. Hal ini karena sebuah kalender
dimaksudkan sebagai sistem perencanaan waktu ke depan dan dapat melihat waktu di
masa lampau, dan ini tidak akan bisa terjadi apabila tidak menggunakan hisab sebagai
dasarnya;
kedua,
prinsip
transfer
imka>nurrukyah,
yakni
memberlakukan
kemungkinan kenampakan hilal di bagian barat untuk wilayah di bagian timur dengan
ketentuan bahwa wilayah tersebut telah mengalami konjungsi pada jam 00:00 waktu
setempat, kecuali untuk kawasan GMT + 14 jam yang menggunakan konjungsi
sebelum waktu fajar; dan ketiga, dijadikannya waktu tengah malam di garis tanggal
internasional sebagai awal waktu dan tempat permulaan hari.
Berdasarkan pada kajian yang dilakukannya tentang gerak Bulan secara
global guna mendukung proyek kalender hijriah terpadunya, ar-Ra>ziq kemudian
mencetuskan apa yang disebutnya dengan “Hari Universal”. Hari Universal adalah
lama (durasi) waktu suatu hari dari pukul 00:00 hingga pukul 00:00 berikutnya di
seluruh dunia, tidak pada satu lokasi tertentu. Durasi waktu Hari Universal ini di
seluruh dunia adalah 48 jam. Hari Jum’at, misalnya, di seluruh dunia lamanya adalah
48 jam. Hari Jum’at tersebut mulai pada garis bujur 180° BT pada pukul 00:00 waktu
setempat dan berakhir pada garis bujur 180° BB pada pukul 00:00 waktu setempat
malam Sabtu. Lama waktu tersebut adalah 48 jam. Dari konsep tentang Hari
Universal itulah kemudian Jama>luddi>n ‘Abd Ar-Ra>ziq merumuskan kaidah hisab
untuk Kalender Hijriah Unifikasi yang diusulkannya, yaitu:
“Apabila waktu konjungsi sama atau lebih besar dari pukul 00:00 dan lebih
kecil dari pukul 24:00 dari suatu Hari Universal, maka awal bulan kamariah
baru jatuh pada Hari Universal berikutnya”.21
Apabila kaidah ini dibahasakan dengan konsep hari yang biasa dipahami,
maka artinya adalah apabila konjungsi terjadi pada pukul 00:00 WU hingga
21
Jama>luddi>n ‘Abd ar-Ra>ziq, at-Taqwi>m al-Qamari> al-Isla>mi> al-Muwah}h}ad, Makalah
disampaikan dalam Ijtima>’ al-Khubara>’ li Dira>sah Maudhu>’ Dhabt} Mat}a>li’ asy-Syuhu>r al-Qamariyyah
‘inda al-Muslimi>n di Rabat pda tanggal 9 dan 10 Nopember 2006. Diakses dari
www.amastro.ma/articles.htm pada tanggal 3 Nopember 2010.
16
menjelang 12:00 WU (periode pagi), maka bulan kamariah akan dimulai keesokan
hari konjungsi. Sedangkan bila konjungsi terjadi pada jam 12:00 WU hingga
menjelang jam 24:00 WU (periode petang), maka bulan kamariah akan mulai lusa
dari hari konjungsi.22
Kalender Hijriah Unifikasi usulan Jama>luddi>n ‘Abd Ar-Ra>ziq ini bisa
dikatakan sebagai sebuah proyek yang sangat ambisius karena menjadikan dunia ini
dalam satu kesatuan tanggal hihjriah. Artinya, bulan baru hijriah akan mulai dalam
hari yang sama di seluruh dunia. Dan hal ini merupakan salah satu kelebihan kalender
ini dibandingkan kalender lain yang membagi dunia dalam zona-zona tertentu.23
Hanya saja, bulan baru hijriah sering dimulai padahal hilal mustahil dirukyah
(karena posisi hilal yang masih di bawah ufuk) di beberapa negara Islam, bahkan
terkadang mustahil dirukyah di sebagian besar dunia Islam. Dalam banyak kasus,
awal bulan hijriah dalam kalender ini dimulai sedangkan hilal tidak mungkin
dirukyah (posisi hilal sudah di atas ufuk akan tetapi tidak mungkin dirukyah) di
seluruh dunia Islam. Dalam analisis perhitungan awal bulan hijriah Kalender Hijriah
Unifikasi yang dikemukakan oleh Odeh, prosentase dimulainya bulan baru hijriah
pada kasus pertama (hilal mustahil dirukyah) dalam kalender ini mencapai 17%
dalam 60 bulan, sedangkan pada kasus kedua (hilal tidak mungkin dirukyah)
mencapai 23% dalam 60 bulan.24 Selain itu, penggunaan waktu tengah malam (jam
00:00 WU) sebagai awal pergantian hari dan penggunaan Garis Tanggal Internasional
sebagai tempat dimulainya hari yang dipakai dalam kalender ini juga masih sulit
mendapatkan justifikasi normatifnya. Sebagian besar ulama yang menggunakan
waktu terbenamnya Matahari sebagai waktu pergantian hari dan bulan hijriah sulit
untuk dapat menerima pemikiran tentang konsep pergantian hari dan bulan yang ada
dalam kalender ini, sehingga akan sangat sulit, paling tidak untuk saat-saat ini, untuk
22
Syamsul Anwar, 2008, Hari Raya dan Problematika Hisab-Rukyat, Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, hlm. 141.
23
M. S. Odeh, al-Hila>l Bain H{isa>ba>t..ibid.
24
Ibid.
17
menjadikan kalender ini sebagai kalender hijriah yang dapat diterima oleh masyarakat
muslim, termasuk di Indonesia.
Selanjutnya adalah Kalender hijriah Universal. Kalender Hijriah Universal
dalam perjalanannya mengalami beberapa perkembangan. Saat pertama kali
diperkenalkan, kalender ini merupakan kalender dengan dua zona atau bizonal
dengan memakai kriteria visibilitas hilal Yallop. Setelah itu, kalender ini
dikembangkan menjadi trizonal (tiga zona) dan masih menggunakan kriteria Yallop.
Dengan adanya kriteria baru Odeh, kalender ini kemudian menjadikan kriteria Odeh
sebagai dasar menggantikan kriteria Yallop. Dan pada akhirnya, dengan adanya
berbagai diskusi dan perdebatan tentang kalender islam yang terpadu, dibuatlah
kalender bizonal dengan tetap menjadikan dunia Islam dalam satu zona yang tak
terbelah dan dengan menggunakan kriteria Odeh sebagai dasar penentuan awal
bulan.25
Kalender Hijriah Universal disebut sebagai sistem kalender bizonal karena
membagi dunia dalam dua zona; zona Timur dan zona Barat. Zona Timur meliputi
daerah antara 180° BT sampai dengan 20° BB yang terdiri dari benua Australia, Asia,
Afrika dan Eropa. Artinya, seluruh dunia Islam masuk dalam zona Timur. Apabila
perhitungan falak menunjukkan bahwa hilal mungkin dilihat dari wilayah daratan
manapun di wilayah ini, maka hari berikutnya dihitung sebagai permulaan bulan baru
hijriah untuk zona ini. Zona Barat meliputi daerah antara 20° BB sampai bagian
terbarat dari dua benua Amerika. Apabila perhitungan falak menunjukkan bahwa hilal
mungkin dilihat dari wilayah daratan manapun di wilayah ini, maka hari berikutnya
dihitung sebagai permulaan bulan baru hijriah untuk zona ini.26 Diantara kelemahan
kalender zonal, termasuk Kalender Hijriah Universal ini, adalah bahwa kesatuan
25
Ibid, juga dalam at-Taqwi>m al-Hijri> al-‘A, diakses dari www.icoproject.org pada tanggal
28 September 2009, Tat}bi>qa>t Tiknu>lu>jiyya> al-Ma’lu>ma>t li I’da>d Taqwi>m Hijriy ‘Anurrukyah. Diantara penanggalan yang didasarkan pada
kriteria wujudul hilal adalah kalender hijriah Muhammadiyah. Sedangkan kalender
yang didasarkan pada kriteria imka>nurrukyah adalah semisal Taqwim Standar
Indonesia, Almanak PBNU, Almanak Kudus, Kalender PPMI Assalam Surakarta, dan
lain-lain.
Kalender Hijriah Muhammadiyah disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid
Pengurus Pusat Muhammadiyah dan diterbitkan oleh Majlis Tabligh Pengurus
Wilayah Muhammadiyah D.I. Yogyakarta. Kalender ini dirintis oleh KH. Ahmad
Dahlan sejak tahun 1915.27 Kriteria wujudul hilal baru mulai dipakai oleh Kalender
Muhammadiyah sejak tahun 1938 M/1357 H. Sedangkan sebelum itu, Kalender
27
Oman Fathurrohman, “Penentuan Awal Bulan Qamariyah dalam Pandangan
Muhammadiyah”, makalah disampaikan pada Pelatihan Hisab Rukyat yang diselenggarakan oleh
Majelis Tarjih dan tajdid PP Muhammadiyah pada tanggal 25-29 Juli 2007 di Yogyakarta, hlm. 14.
19
Muhammadiyah menggunakan kriteria imka>nurrukyah, dan kemudian kriteria ijtima>’
qabla al-ghuru>b yang digunakan hingga tahun 1937 M.28
Taqwim
Standar
Indonesia
merupakan
penanggalan
yang
disusun
berdasarkan pada hasil musyawarah kerja Badan Hisab Rukyat (BHR) Kementerian
Agama RI. Edisi perdana kalender ini diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bimas
Islam dan Penyelenggaraan Haji, dan kemudian pada tahun 2007 kalender ini
diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag RI. Saat
ini, kalender ini sudah memuat hasil perhitungan waktu ijtima’ dan data-data hilal lain
setiap bulan yang menjadikannya dapat dianalisis akurasi perhitungannya.
Gambar: Taqwim Standar Indonesia, Sumber: Koleksi Pribadi
Almanak PBNU merupakan penanggalan yang disusun oleh Lajnah
Falakiyyah Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU). Pada awalnya, Almanak
PBNU sangat dipengaruhi oleh hasil hitungan atau hisab para pakar falak dari
kalangan NU seperti KH. Mahfudz Anwar, KH. Turaichan Ajhuri, dan KH. Noor
Ahmad SS. Namun, setelah terbentuknya Lajnah Falakiyyah PBNU sistem yang
digunakan adalah dengan menggabungkan hasil-hasil perhitungan dari aliran-aliran
hisab falak yang berkembang di NU. Kriteria yang dipakai oleh Almanak PBNU
untuk penetapan awal bulan hijriah adalah imka>nurrukyah 2 derajat. Kriteria ini
28
Susiknan Azhari, Ilmu Falak, hlm. 157.
20
dipakai untuk selain bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijjah karena penentuan awal
bulan untuk bulan-bulan tersebut adalah dengan menggunakan rukyah.29 Almanak
PBNU memuat empat penanggalan, yakni Kalender Hijriah, Miladiyah, Pranoto
Mongso dan Asapon. Bila hilal berada di atas ufuk, selain memuat data awal bulan,
konjungsi, dan ketinggian hilal, Almanak PBNU juga melengkapi data-data hilal yang
lain seperti letak hilal, kedudukan hilal, dan lama hilal di atas ufuk. Selain itu,
Almanak PBNU juga memuat data waktu Ras}d al-Qiblah, waktu salat, dan data
gerhana, baik gerhana Bulan maupun gerhana Matahari.
Almanak Menara Kudus merupakan almanak yang disusun oleh KH.
Turaichan Adjhuri asy-Syarofi. Kalender ini terbit pertama kali pada tahun 1942/1361
oleh percetakan Masykuri Kudus. Selanjutnya pada tahun 1950/1370 diterbitkan oleh
Percetakan Kitab Menara Kudus.30 Sepeninggal KH. Turaichan, Almanak Menara
Kudus disusun oleh putra dan murid Beliau, yakni Tajus Syaraf. Kriteria yang
digunakan untuk penentuan awal bulan hijriah adalah imka>nurrukyah 2 derajat,
kecuali bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijjah yang menunggu hasil sidang itsbat
Kemenag RI. Kriteria ini memang tidak begitu berbeda dengan kriteria yang dipakai
dalam Almanak PBNU karena keduanya disusun oleh tokoh-tokoh dari kalangan NU.
Sedangkan Kalender PPMI Assalam adalah kalender yang dikeluarkan
secara resmi oleh Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam, Pabelan Kartasura
Sukoharjo-Surakarta. Kalender PPMI Assalaam, yang pada mulanya merupakan
kalender yang memuat data tanggal saja, mulai memuat data-data astronomis
semenjak berdiri CASA (Club Astronomi Santri Assalaam) pada tahun 2005. Mulai
tahun 2007, Kalender PPMI Assalaam selain dicetak juga diupload ke Internet di
webblog A.R Sugeng Riyadi (http://pakarfisika.wordpress.com/) dalam bentuk file
foto dan PDF. Seluruh materi dalam Kalender PPMI Assalaam dirancang secara
khusus oleh team yang memuat data hisab konjungsi dan awal bulan, visibiltas hilal,
serta fenomena gerhana selama satu tahun. Untuk penentuan awal bulan hijriah,
29
30
Susiknan Azhari, Ilmu Falak, hlm. 159, Abd. Salam Nawawi, Rukyat Hisab, hlm. 19.
Susiknan Azhari, Ilmu Falak, ibid.
21
Kalender PPMI Assalaam menggunakan kriteria imka>nurrukyah MABIMS. Data
hisab Kalender PPMI Assalaam dihasilkan melalui perpaduan algoritma StarryNight
Pro Plus dan Accurates Times Odeh. Salah satu hal yang menarik dari Kalender
PPMI Assalam adalah bahwa kalender ini tidak hanya menampilkan data hilal awal
bulan (hilal muda), akan tetapi juga menampilkan data hilal akhir bulan (hilal tua),
baik posisi, kondisi, maupun ketinggiannya.
Gambar: Kalender PPMI Assalam, Sumber: (http://pakarfisika.wordpress.com/)
Penjelasan tersebut memberikan sedikit gambaran bahwa kalender hijriah di
Indonesia belum ada yang menjadikan kriteria imka>nurrukyah Internasional sebagai
dasar dalam penentuan awal bulan hijriah. Kriteria imka>nurrukyah yang dianut oleh
mayoritas kalender hijriah di Indonesia adalah kriteria ketinggian 2 derajat atau
kriteria MABIMS yang juga dipakai oleh pemerintah Indonesia.
Kalender hijriah di Indonesia yang menjadikan hisab sebagai faktor penentu
masuknya bulan baru hijriah seperti Taqwim Standar Indonesia, Kalender
Muhammadiyah atau Kalender PPMI Assalam memiliki keunggulan dari sisi adanya
kepastian dan kemapanan karena dapat merencanakan berbagai peristiwa di masa
datang dengan baik, termasuk pelaksanaan ibadah seperti puasa, Idul Fitri maupun
22
Idul Adha. Sedangkan Alamanak NU dan Almanak Kudus memiliki keunggulan dari
sisi minimnya kemungkinan terjadinya perbedaan dengan penetapan pemerintah
karena pada bulan-bulan hijriah yang berkaitan dengan ibadah seperti Ramadan,
Syawal dan Zulhijjah kalender ini melakukan rukyah untuk menetapkannya dan
menunggu adanya penetapan dari pemerintah. Hanya saja, kalender seperti ini bisa
dikatakan sebagai kalender yang bersifat sipil dan tidak dapat dipakai untuk
menetapkan pelaksanaan ibadah-ibadah tertentu sehingga selalu akan memungkinkan
terjadinya perbedaan.
Tabel
Kalender Hijriah di Indonesia
No
Kalender
Kriteria
Wilayah
1
Kalender Muhammadiyah
Wujudul Hilal
Indonesia
2
Taqwim Standar Indonesia
Imka>nurrukyah MABIMS
Indonesia
3
Almanak NU
Imka>nurrukyah 2°, rukyah
Indonesia
4
Almanak Menara Kudus
Imka>nurrukyah 2°, rukyah
Indonesia
5
Kalender PPMI Assalam
Imka>nurrukyah 2°
Indonesia
Perbedaan kriteria dalam berbagai kalender di atas menjadikan potensi
perbedaan dalam memulai bulan baru hijriah di Indonesia sangat terbuka. Ketika hilal
berada dalam posisi di atas ufuk dan di bawah batas visibilitas hilal, maka
kemungkinan terjadinya perbedaan sangat besar. Jika di akhir bulan hijriah hilal pada
posisi di atas ufuk dan di bawah batas visibilitas hilal, Kalender Muhammadiyah akan
menjadikan hari setelahnya sebagai hari baru dalam bulan baru hijriah. Sedangkan
kalender lain yang menjadikan visibilitas hilal sebagai faktor penentu masuknya
bulan baru hijriah akan menjadikan hari berikutnya sebagai awal bulan baru hijriah.
Pada posisi inipun, NU sesuai prinsip yang ada pada Almanak NU, akan menolak
23
setiap kesaksian rukyah apabila hilal berada di bawah batas visibilitas hilal yang
sudah ditentukan.
Penutup
Penyatuan kalender hijriah, baik di tingkat nasional (Indonesia) maupun
regional (MABIMS misalnya) tidak bisa dengan serta merta mengadopsi model
kalender hijriah internasional. Ada beberapa persoalan yang harus diperhatikan dan
dicarikan kesepakatannya dalam hal ini. Pertama, sampai saat ini belum ada
kesepakatan di tingkat internasional atau di antara negara-negara Islam tentang model
kalender hijriah yang akan digunakan. Hal ini tentunya akan menjadi persoalan yang
sangat krusial untuk bisa menyatukan kalender hijriah, baik di tingkat nasional
maupun regional. Kedua, prinsip penyatuan matla' untuk pemberlakuan kalender
hijriah sampai saat ini juga belum ada, sehingga akan sangat menyulitkan dalam
pemilihan model kalender yang akan diberlakukan. Ketiga, kriteria penentuan awal
bulan hijriahpun sampai saat ini belum dapat disatukan. Oleh karena itu, perlu
langkah-langkah yang dilakukan secara bertahap dan konkrit dalam mewujudkan
sebuah kalender hijriah yang dapat diberlakukan dalam skala nasional, regional
maupun internasional. Wallahu A'lam.
24
DAFTAR PUSTAKA
Al-Amin, M. Fuad Al-, Mohammad Odeh dan Upaya Penyatuan Kalender Islam,
diakses dari http://qamazaidun.blogspot.com/2008_03_01_archive.html tanggal 8 Maret
2009
Anwar, Syamsul, Hari Raya dan Problematika Hisab-Rukyat, (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2008)
‘Asqala>ni, Ibn Hajar, al-, Fath} al-Ba>ri,> (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1977)
Azhari, Susiknan, Ilmu Falak, Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern,
(Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007)
Fathurrohman, Oman, “Penentuan Awal Bulan Qamariyah dalam Pandangan
Muhammadiyah”, makalah disampaikan pada Pelatihan Hisab Rukyat yang
diselenggarakan oleh Majelis Tarjih dan tajdid PP Muhammadiyah pada
tanggal 25-29 Juli 2007 di Yogyakarta
Ichtijanto (ed.), Almanak Hisab Rukyat, (Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan
Agama Islam, 1981)
Ilyas, Mohammad, Kalender Islam Antarbangsa, cet. 2, (Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1999)
Jailani, Zubair ‘Umar Al-, al-Khula>s}ah al-Wafiyyah fi al-Falak bi Jada>wil alLughari>tmiyyah, (Kudus, Menara Kudus, t.t.)
Muba>rakfu>ri, al-, Tuh}fah al-Ahwaz}i >, (Beirut: Da>r al-Kutib al-Ilmiyyah, t.t.)
Munawwir, A. Warson, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984)
Nawawi, Abd. Salam, Rukyat Hisab di Kalangan NU Muhammadiyah, Meredam
Konflik dalam Menetapkan Hilal, (Surabaya: Diantama bekerjasama dengan
LFNU Jatim, 2004)
Odeh, Mohammad Shawkat, Taqwi>m Nasb al-Khat}a’ fi Tah}di>d Awa>il al-Asyhur alHijriyyah (fi al-Urdun) diakses dari www.icoproject.org tanggal 28 April 2009
----------,
al-Hila>l
Bain
H{isa>ba>t
al-Falakiyyah
wa
ar-Ru’yah,
Makalah
dipresentasikan pada seminar ahli Falak untuk menentukan awal bulan
25
kamariah yang diadakan di Rabat, Maroko pada tanggal 8-10 Nopember
2006, diakses tanggal 28 April 2009 dari www.icoproject.org.
-----------, at-Taqwi>m al-Hijri> al-‘A, diakses dari www.icoproject.org pada tanggal
28 September 2009
-----------, Tat}bi>qa>t Tiknu>lu>jiyya> al-Ma’lu>ma>t li I’da>d Taqwi>m Hijriy ‘Af al-Mat}a>li’, al-Mana>t}iq al-Musytarakah bi Mat}la’ Wa>h}id, makalah
pada al-Mu’tamar al-‘A li Is\ba>t asy-Syuhu>r al-Qamariyyah ‘inda ‘Ulama>’
asy-Syari’ah wa al-H{isa>b al-Falaki> yang diadakan oleh Komite Fiqh Islam
(al-Majma’ al-Fiqhi> al-Isla>mi) OKI (Ra>bit}ah al-‘Ami> di kantor
OKI, Mekah, pada tanggal 19-21/03/1433 H/11-13/02/2012 M.
Qassu>m, Nid}a>l, Khut}uwa>t fi T{ari>q H{all Musykilah at-Taqwi>m al-Isla>mi> alMuwah}h}ad, diakses dari
www.amastro.ma_articles_art-ng.pdf pada
Desember 2009 Syauka>ni, asy-, Nail al-Aut}a>r, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.)
Ra>ziq, Jama>luddi>n, ‘Abd ar-, at-Taqwi>m al-Qamari> al-Isla>mi> al-Muwah}h}ad, Makalah
disampaikan dalam Ijtima>’ al-Khubara>’ li Dira>sah Maudhu>’ Dhabt} Mat}a>li’
asy-Syuhu>r al-Qamariyyah ‘inda al-Muslimi>n di Rabat pda tanggal 9 dan 10
Nopember 2006. Diakses dari www.amastro.ma/articles.htm pada tanggal 3
Nopember 2010.
-------------, at-Taqwi>m al-Isla>mi>: al-Muqa>rabah asy-Syumu>liyah, makalah
disampaikan dalam Simposium Internasional “Toward A Unified
Interna
DI INDONESIA
(Antara Harapan dan Fakta)
Muh. Nashirudin
(Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Surakarta, [email protected].)
Abstract
This paper is going to look at some of the issues related to the international
unification of Hijra calendar and see how the possibility of its implementation in
Indonesia. There are three issues to be targeted in this paper to look at the possibility
of International Hijra calendar impementation in Indonesia. The First is the concept
of matla '. It is a necessity to adopt the unity of Matlak to unify the Hijrah Calendar
at international or national level. The second is the proposals of international Hijra
calendar. There are two kind of proposals of the International Hijra calendar can be
adopted and implemnted, i.e Zonal Calendar (Mohammad Ilyas and Universal Hijric
Calendar (ICOP), and non-zonal calendar (Abd al-Raziq Unified Hijric Calendar.)
The third is the Hijra calendar in Indonesia. There are two kinds of the calendar from
the criteria being used i.e Wujudul Hilal Calendar (Muhammadiyah) and Imkanur
Rukyah Calendars (Government, Almanak NU, Almanak Menara Kudus, PPMI
Assalam). There are several issues that must be looked for the agreement. First, the
Hijra calendar models will be used. This is certainly going to be a very crucial issue
in order to unify Hijra calendar, both at national and regional levels. Second, the
principle of Matla unification of Hijra calendar implementation must be adopted.
Third, the single criteria for determining the beginning of the month of Hijra must be
accepted.
Pendahuluan
Persoalan yang sering menjadi perdebatan dalam masalah penentuan awal
bulan kamariah di dunia Islam secara umum dan di Indonesia secara khusus adalah
perdebatan antara penganut metode hisab dan rukyah di satu sisi dan perdebatan
antara pengusung pemikiran unifikasi kalender hijriah global dan pengusung
pemikiran unifikasi kalender hijriah nasional dan regional di sisi yang lain.
Penganut metode hisab dan rukyah merasa bahwa metodenyalah yang paling
absah secara syar’i dan sesuai dengan prinsip-prinsip dalam astronomi. Pada tataran
tertentu, kedua metode tersebut masih tetap meninggalkan persoalan yang belum
1
terpecahkan dan sering menjadi kontroversi. Di Indonesia, metode hisab misalnya,
sampai saat ini masih terbagi dalam dua kutub besar; hisab wujudul hilal dan hisab
imkanurrukyah. Hisab wujudul hilal mensyaratkan masuknya bulan baru hijriah pada
dua hal, yakni terjadinya konjungsi sebelum terbenamnya Matahari (ijtima>’ qabl al-
ghuru>b), dan pada saat terbenam Matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk
(bulan baru telah wujud). Inilah yang dipakai oleh Muhammadiyah dalam sistem
hisabnya sebagaimana disebutkan dalam Pedoman Hisab Muhammadiyah.1
Sementara itu, hisab imkanurrukyah selain mensyaratkan ijtima>’ qabl al-ghuru>b,
masuknya bulan baru hijriah juga didasarkan pada posisi hilal yang mungkin untuk
dilihat. Artinya, awal bulan baru hijriah didasarkan pada kenampakan hilal yang
sebenarnya.2 Sistem hisab imkanurrukyah inilah yang kemudian melahirkan berbagai
kriteria visibilitas hilal. Beragamnya kriteria visibilitas hilal dan belum adanya
kesepakatan tentang kriteria visibilitas hilal yang akan dipakai di Indonesia inilah
yang menjadi salah satu alasan penganut hisab wujudul hilal untuk menolak hisab
imkanurrukyah. Di sisi lain, penganut hisab imkanurrukyah menganggap bahwa
kriteria wujudul hilal merupakan kriteria yang tidak dapat dibuktikan secara empiris
ilmiah.
Metode rukyah pada beberapa kasus juga menimbulkan kontroversi yang
tidak kalah serius di Indonesia. Kesaksian teramatinya hilal di Cakung pada awal
bulan Ramadan 1433 H merupakan kasus controversial terbaru yang terjadi dalam
permulaan bulan hijriah di Indonesia. Di satu sisi, kesaksian teramatinya hilal seperti
ini dianggap sebagai sesuatu yang absah dalam pandangan fikih karena dilaporkan
oleh seorang pengamat yang adil dan dialkukan di bawah sumpah. Artinya, secara
syar’i seolah tidak ada alasan untuk menolak kesaksian teramatinya hilal pada kondisi
tersebut. Akan tetapi, di sisi lain, kesaksian tersebut dianggap tidak memenuhi
1
Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP. Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah
(Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2009), hlm. 78
2
Susiknan Azhari, Ilmu Falak, Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, (Yogyakarta:
Suara Muhammadiyah, 2007), hlm. 110, Ichtijanto (ed.), Almanak Hisab Rukyat, (Jakarta: Proyek
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981), hlm. 99-100.
2
kriteria-kriteria ilmiah dalam ilmu falak modern. Kekurangakuratan sistem hisab
yang dipakai oleh pengamat, kesalahan dalam menentukan posisi hilal, posisi hilal
yang masih di bawah ambang batas teramatinya hilal dalam kriteria visibilitas hilal di
Indonesia dan di dunia Internasional dan tidak adanya bukti empiris teramatinya hilal
pada saat itu karena laporan menyebutkan bahwa hilal teramati dengan mata tanpa
alat menjadi beberapa alasan tidak diterimanya laporan termatinya hilal di Cakung.
Perdebatan tentang unifikasi kalender hijriah global dan nasional juga
menjadi wacana yang belum jelas pada titik mana kesepakatan akan dimulai.
Sebagian tokoh menawarkan pemberlakuan kalender hijriah global untuk bisa
menyatukan kalender regional dan global, sedangkan sebagian lain menawarkan
pemikiran untuk menyatukan kalender hijriah nasional sebelum menuju penyatuan
regional dan global.
Tulisan ini hendak melihat beberapa persoalan yang berkaitan dengan
penyatuan kalender hijriah internasional dan melihat bagaimana kemungkinan
pemberlakuannya di Indonesia. Ada tiga persoalan yang akan dibidik dalam tulisan
ini untuk melihat kemungkinan keberlakuan kalender hijiriah di Indonesia. Pertama,
konsep mat}la’, kedua, tawaran kalender hijriah internasional, dan ketiga, kalender
hijriah di Indonesia.
Konsep Mat}la’ dalam Fikih dan Astronomi
Perbedaan tentang penyatuan mat}la’ dalam sejarah pemikiran Islam paling
tidak dapat dilihat dari adanya perbedaan tentang keberlakuan hasil rukyah. Hal ini
bermula dari perbedaan apabila hilal berhasil dirukyah di suatu kawasan, maka
apakah hasil rukyah di kawasan tersebut berlaku untuk seluruh umat Islam yang ada
di seluruh dunia ataukah hanya diberlakukan untuk kaum muslim di kawasan tempat
keberhasilan rukyah tersebut saja.
3
Kata mat}la’ secara bahasa berasal dari t}a-la-‘a ( )طﻠﻊyang artinya terbit,
muncul, keluar.3 Kata ini kemudian dapat dibentuk menjadi mat}li’ ( )ﻣﻄﻠﻊdengan
huruf la>m yang dikasrah dan mat}la’ ( )ﻣﻄﻠﻊdengan huruf la>m yang difathah yang
memiliki makna yang berbeda. Kata bentukan pertama (mat}li’) bermakna tempat
munculnya bulan, bintang, atau matahari sedangkan kata bentukan kedua (mat}la’)
bermakna waktu atau zaman munculnya bulan, bintang, atau matahari. Makna ini
dapat dilihat dalam al-Qur’an surat al-Kahf ayat 90 dan al-Qadar ayat 5:
ْ ﺸ ْﻤ ِﺲ َو َﺟﺪَھَﺎ ﺗ
ْ َﺣﺘﱠﻰ ِإذَا ﺑَﻠَ َﻎ َﻣ
ﻄ ِﻠ َﻊ اﻟ ﱠ
(90 :ﻋﻠَﻰ ﻗَ ْﻮ ٍم ﻟَ ْﻢ ﻧَﺠْ ﻌَ ْﻞ ﻟَ ُﮭ ْﻢ ِﻣ ْﻦ دُوﻧِ َﮭﺎ ِﺳﺘْ ًﺮا )اﻟﻜﮭﻒ
َ َﻄﻠُ ُﻊ
ْ ِﻲ َﺣﺘﱠﻰ َﻣ
(5 :ﻄﻠَ ِﻊ ْاﻟﻔَﺠ ِْﺮ )اﻟﻘﺪر
َ
َ ﺳ َﻼ ٌم ھ
Mengenai keberlakuan mat}la’ ini para ulama, apabila dilacak pada literatur
klasik diantaranya Fath} al-Ba>ri>, Nail al-Aut}a>r, Tuh}fah al-Ahwaz}i >, terbagi dalam dua
pandangan.4 Pertama, pendapat Jumhur Ulama madzhab Hanafi, Maliki, dan
Hambali. Mereka berpendapat bahwa rukyah di suatu negeri berlaku untuk seluruh
kaum muslimin di negeri-negeri yang lain, sehingga adanya perbedaan mat}la’
(ikhtila>f al-mat}a>li’) tidak memiliki pengaruh apapun terhadap penentuan masuknya
bulan baru hijriah. Pendapat kedua adalah pendapat Imam asy-Syafi’i dan sejumlah
ulama
salaf
yang
berpendapat
bahwa
penentuan
awal
bulan
hijriyah
memperhitungkan perbedaan mat}la’ sehingga masing-masing negeri penetapan awal
bulan didasarkan kepada hasil pengamatan hilal di negerinya sendiri.5
Kelompok pertama yang menjadikan satu dunia dalam satu kesatuan dalam
penentuan awal bulan kamariah (kesatuan mat}la’ atau ittifa>q/ittih}a>d al-mat}a>li’)
mendasarkan pendapatnya pada keumuman hadis tentang perintah puasa. Hadis yang
memerintahkan untuk memulai puasa ditujukan untuk seluruh umat Islam di seluruh
penjuru dunia. Jika ada kesaksian hilal dapat dirukyah di satu tempat, maka kesaksian
3
A. W. Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984), hlm. 921.
al-‘Asqala>ni, Fath} al-Ba>ri,> (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1977), IV/123, asy-Syauka>ni, Nail alAut}a>r (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), IV/267, al-Muba>rakfu>ri, Tuh}fah al-Ahwaz}i >,(Beirut: Da>r al-Kutib alIlmiyyah, t.t.), III/308)
5
Wahbah az-Zuh}aili>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> wa Adillatuhu, (Damaskus: Da>r al- Fikr, 1996), II/605.
4
4
itu diberlakukan untuk seluruh umat Islam di dunia tanpa membedakan perbedaan
negara dan wilayah.6
Sedangkan kelompok kedua mendasarkan pendapatnya pada hadis Kuraib
tentang tidak dipakainya keberhasilan rukyah Mu’awiyah yang ada di Syam oleh Ibnu
‘Abbas yang saat itu berada di Madinah.
واﺳﺘُﮭ ﱠﻞ ﻋﻠﻲ، ﻓﻘﻀﯿﺖ ﺣﺎﺟﺘﮭﺎ، ﻓﻘﺪﻣﺖُ اﻟﺸﺎم: ﻓﻘﺎل،أن أم اﻟﻔﻀﻞ ﺑﻌﺜﺘﮫ إﻟﻰ ﻣﻌﺎوﯾﺔ ﺑﺎﻟﺸﺎم
ﻓﺴﺄﻟﻨﻲ ﻋﺒﺪ ﷲ، ﺛﻢ ﻗﺪﻣﺖُ اﻟﻤﺪﯾﻨﺔ ﻓﻲ آﺧﺮ اﻟﺸﮭﺮ، ﻓﺮأﯾﺖ اﻟﮭﻼل ﻟﯿﻠﺔ اﻟﺠﻤﻌﺔ،رﻣﻀﺎن ُ وأﻧﺎ ﺑﺎﻟﺸﺎم
أﻧﺖ رأﯾﺘ َﮫ؟: ﻓﻘﺎل، رأﯾﻨﺎه ﻟﯿﻠﺔ اﻟﺠﻤﻌﺔ: ﻣﺘﻰ رأﯾﺘﻢ اﻟﮭﻼل؟ ﻓﻘﻠﺖ: ﻓﻘﺎل، ﺛﻢ ذﻛﺮ اﻟﮭﻼل،ﺑﻦ ﻋﺒﺎس
ﻓﻼ ﻧﺰال ﻧﺼﻮم، ﻟﻜﻨﺎ رأﯾﻨﺎه ﻟﯿﻠﺔ اﻟﺴﺒﺖ: ﻓﻘﺎل، وﺻﺎم ﻣﻌﺎوﯾﺔ، ورآه اﻟﻨﺎس وﺻﺎﻣﻮا، ﻧﻌﻢ:ﻓﻘﻠﺖ
ھﻜﺬا أ َﻣ َﺮﻧﺎ رﺳﻮل، ﻻ: أﻻ ﻧﻜﺘﻔﻲ ﺑﺮؤﯾﺔ ﻣﻌﺎوﯾﺔ وﺻﯿﺎﻣﮫ؟ ﻓﻘﺎل: ﻓﻘﻠﺖ،ﺣﺘﻰ ﻧُ ْﻜ ِﻤﻞ ﺛﻼﺛﯿﻦ أو ﻧﺮاه
(ﷲ ﺻﻠّﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ )رواه اﻟﺠﻤﺎﻋﺔ اﻻ اﻟﺒﺨﺎري واﺑﻦ ﻣﺎﺟﮫ
Hadis ini memberikan pengertian bahwa Ibnu ‘Abbas yang berada di
Madinah, yang berbeda mat}la’ dengan Syam, tidak menerima hasil rukyah
Mu’awiyah karena perbedaan jarak yang jauh antara kedua tempat tersebut. Perkataan
Ibnu ‘Abbas “‘Tidak, demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kita” dalam hadis
tersebut menjadi dalil bahwa setiap negeri harus mengikuti hasil rukyatnya sendirisendiri, dan hasil rukyat suatu negeri tidak berlaku untuk negeri yang lain karena ada
perbedaan mat}la’ (li ikhtila>f mat}a>li’).7
Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa apabila wilayahnya saling
berdekatan, maka keberhasilan rukyah tersebut dapat ditransfer ke wilayah yang lain.
Sedangkan apabila berjauhan, maka sebagian ulama tetap membolehkan transfer
rukyah, sedangkan sebagian yang lain melarangnya.
Ukuran jauh dan dekatnya satu wilayah ke wilayah yang lain, para ulama
juga berbeda pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut; pendapat pertama,
dengan melihat perbedaan mat}la’. Apabila dua wilayah masih dalam satu mat}la’,
maka dianggap sebagai wilayah yang berdekatan. Dan dikatakan berjauhan apabila di
6
7
asy-Syauka>ni, Nail al-Aut}a>r, IV/267, Wahbah az-Zuh}aili>, Al-Fiqh Al-Isla>mi>, II/609
Al-Mubarakfu>ri>,Tuh}fah al-Ahwaz}i>, III/308
5
luar wilayah tersebut. Pendapat kedua, masa>fah al-qasr, jarak yang diperbolehkan
untuk melakukan salat qasar. Pendapat ketiga, perbedaan iqli>m, dan pendapat
keempat adalah berdasar pada perbedaan kedua wilayah dari sisi tinggi rendah
geografis, seperti antara wilayah pegunungan dan dataran rendah, yang menjadikan
satu wilayah lebih mudah dalam melihat hilal dibanding wilayah yang lain.
Keempat ukuran jarak diberlakukannya hasil rukyah tersebut memang masih
perlu diperdebatkan landasan normatifnya, masih menimbulkan berbagai penafsiran
dari sisi hakikatnya selain membutuhkan “penerjemahan” yang tepat ke dalam
perhitungan matematis kontemporer.
Mengenai batas satu mat}la’, Abd. Salam Nawawi berusaha melakukan
perhitungan sederhana (kira-kira/taqri>bi>) batas mat}la’ ke arah Timur dari pusat
observasi atau markaz rukyah dengan memperhitungkan kecepatan gerakan Bumi
pada porosnya, kecepatan gerakan Bulan mengelilingi Bumi, dan kecepatan gerakan
semu Matahari di sepanjang lingkaran ekliptika. Dari hasil perhitungan faktor-faktor
tersebut, ia mengatakan bahwa batas mat}la’ ke arah Timur dari markaz rukyat dapat
dihitung dengan salah satu dari dua rumus:
a.
Derajat irtifa>’ (ketinggian) hilal dikurangi derajat batas visibilitas hilal,
dibagi 0°30`28,6”, lalu dikalikan 15
b.
Derajat irtifa>’ (ketinggian) hilal dikurangi derajat batas visibilitas hilal,
lalu dikalikan 29°31`50,84”.8
Untuk pusat observasi hilal Jakarta, misalnya, jika diketahui bahwa
ketinggian hilalnya 3°6`, sedangkan batas visibilitas hilalnya –misalnya- 2°, maka
batas mat}la’ ke arah Timur dari markaz tersebut adalah (3°6`- 2°) : 0°30`28,6” x 15 =
32°29`1,92”. Jadi, batas mat}la’ di sebelah Timur markaz rukyah Jakarta (bujur
106°49`) adalah 139°18`1,92” yang hamper mencapai Merauke atau sekitar 3.585 km
(hasil dari 32°29`1,92” x (111 km x cosines 6°10` (lintang Jakarta))). Batas mat}la’ ini
8
Abd. Salam Nawawi, Rukyat Hisab di Kalangan NU Muhammadiyah, Meredam Konflik
dalam Menetapkan Hilal, (Surabaya: Diantama bekerjasama dengan LFNU Jatim, 2004), hlm. 106111.
6
akan lebih panjang apabila batas visibilitas hilal yang dijadikan patokan lebih kecil
dari 2° dan akan lebih pendek apabila batas visibilitas hilalnya lebih besar dari 2°.9
Wahbah az-Zuh}aili> mengatakan bahwa 1 mat}la’ setara dengan 24 farsakh. Jika 1
farsakh adalah 3 mil, maka 1 mat}la’ adalah 24 x 3 x 1,6093 km = 115,8696 km. Akan
tetapi jika 1 farsakh adalah 5544 m, maka 1 mat}la’ adalah 133,056 km.10
Jarak masa>fah al-qas}r menurut Wahbah az-Zuh}aili> adalah 4 bari>d atau 16
farsakh. Jika 1 farsakh 5544 m, maka jarak tersebut adalah 16 x 5544 = 88,704 km.
Akan tetapi, jika 1 farsakh adalah 3 mil, maka jarak tersebut menjadi 1,6093 km x 3 x
16 = 77,2464 km. Sedangkan Zubair ‘Umar al-Jailani mengatakan bahwa masa>fah al-
qas}r adalah 89,05920 km karena 1 mil dalam pandangannya adalah 1855,40 m.11
Dengan munculnya konsep negara bangsa (nation state) di masa ini, maka
ukuran-ukuran tersebut dapat memunculkan berbagai masalah. Jika ukuran
keberlakuan hasil rukyah diberlakukan sejauh mat}la’ sebagaimana definisi di atas,
maka sebuah negara yang memiliki wilayah yang luas seperti Indonesia akan
memiliki beberapa mat}la’. Begitu juga dengan ukuran-ukuran yang lain. Oleh karena
itulah kemudian muncul konsep mat}la’ fi> wila>yah al-h}ukm (wilayatul hukmi/wilayah
pemerintahan negara) yang memberlakukan keberhasilan rukyah pada sebuah
pemerintahan negara bangsa. Ukuran mat}la’ fi> wila>yah al-h}ukm (wilayatul hukmi)
inipun akhirnya bersifat sangat relatif, mengikuti sempit dan luasnya wilayah suatu
negara.
Saat berbicara tentang konsep perbedaan dan penyatuan mat}la’ dalam
pandangan para ulama fikih, harus dipahami bahwa perbedaan pendapat tersebut
ssangat tergantung pada tingkat pengetahuan dan pemahaman mereka dengan
persoalan ilmu falak. Argumentasi yang disampaikan untuk menguatkan pandangan
dan menolak pandangan ulama lain yang berbeda pendapat juga beragam sesuai
9
Ibid.
Wahbah az-Zuh}aili,> al-Fiqh al-Isla>mi>, II/ 607.
11
Zubair ‘Umar Al-Jailani, al-Khula>s}ah al-Wafiyyah fi al-Falak bi Jada>wil al-Lughari>tmiyyah,
(Kudus: Menara Kudus, t.t.), hlm. 203.
10
7
dengan kemampuan mereka dalam persoalan ilmu falak. Oleh karena itu, ada
beberapa argumentasi atas pendapat yang berkaitan dengan tema mat}la’ terkadang
tidak berkaitan sama sekali dengan persoalan astronomi dan ilmu falak.
Oleh karena itulah, menurut Odeh, pemahaman atas permasalahan astronomi
menjadi sangat penting agar pendapat fikih yang berkaitan dengan tema astronomi
seperti persoalan mat}la’ tidak terlalu jauh dengan kenyataan-kanyataan ilmiah
astronomis. Secara astronomis, menurut Odeh, tema perbedaan mat}la’, apabila
dikaitkan dengan observasi (rukyah) hilal, dapat dilihat dari tiga poin:12
a. Kondisi rukyah hilal berbeda sesuai perbedaan garis bujur (pergerakan ke arah
utara dan selatan).
Artinya, wilayah yang berada dalam satu garis bujur tidak bisa dikatakan
memiliki mat}la’ yang sama. Matahari dan hilal akan berada pada waktu terbenam
yang berbeda walaupun berada pada satu garis bujur. Oleh karena itu, hilal bisa saja
mustahil dilihat di satu wilayah, akan tetapi mudah dilihat di wilayah yang lain yang
memiliki garis lintang yang sama akan tetapi berbeda garis bujurnya.
b. Kondisi rukyah hilal berbeda sesuai perbedaan garis lintang (pergerakan ke
arah barat dan timur).
Hampir sama dengan point pertama, wilayah yang berada dalam satu garis
lintang juga tidak bisa dikatakan memiliki mat}la’ yang sama. Hilal bisa saja mustahil
dilihat di satu wilayah, akan tetapi mudah dilihat di wilayah yang lain yang memiliki
garis bujur yang sama akan tetapi berbeda garis lintangnya.
c. Ketinggian lokasi observasi dari permukaan air laut harus diperhatikan saat
rukyah
Ketika seseorang melakukan observasi, maka ketinggian tempat observasi
dari permukaan air laut sangat mempengaruhi keberhasilan rukyah. Oleh karena itu,
12
M. S. Odeh, Ikhtila>f al-Mat}a>li’, al-Mana>t}iq al-Musytarakah bi Mat}la’ Wa>h}id, makalah pada
al-Mu’tamar al-‘A li Is\ba>t asy-Syuhu>r al-Qamariyyah ‘inda ‘Ulama>’ asy-Syari’ah wa al-H{isa>b alFalaki> yang diadakan oleh Komite Fiqh Islam (al-Majma’ al-Fiqhi> al-Isla>mi) OKI (Ra>bit}ah al-‘Ami> di kantor OKI, Mekah, pada tanggal 19-21/03/1433 H/11-13/02/2012 M, hlm. 8-11.
8
keberhasilan rukyah tidak bisa disamakan antara satu wilayah dengan wilayah lain
dengan mengabaikan ketinggian tempat dari permukaan air laut.
Dalam perhitungan yang mengaitkan perbedaan dan kesatuan mat}la’ dengan
perhitungan ilmiah astronomis dan realitas empiris, prinsip kesatuan mat}la’ bisa
dibedakan dalam beberapa bentuk:13
1. Kesatuan mat}la’ secara mutlak
Pemikiran tentang kesatuan mat}la’ secara mutlak ini menjadikan satu dunia
dalam satu kesatuan mat}la’ dengan prinsip transfer rukyah (naql ar-ru’yah). Apabila
hilal bisa dirukyah baik dalam perhitungan (hisab) atau rukyah hakiki di daerah
manapun di dunia ini, maka hari berikutnya sudah masuk bulan baru hijriah untuk
seluruh dunia. Pemikiran satu mat}la’ untuk seluruh dunia ini memang memiliki
kelebihan dari sisi penyatuan kalender hijriah di seluruh dunia. Akan tetapi, prinsip
ini juga menyisakan persoalan yang sangat besar. Dalam beberapa kasus, bulan baru
hijriah dimulai, atas dasar prinsip kesatuan mat}la’ secara mutlak, ketika sebagian
besar wilayah di dunia masih belum terpenuhi syarat masuknya bulan baru hijriah
seperti terbenamnya Bulan sebelum Matahari.
2. Kesatuan mat}la’ dalam wilayah yang bersesuaian visibilitas hilalnya
Prinsip ini menjadikan setiap wilayah yang memiliki kesesuaian visibilitas
hilal dalam satu kesatuan mat}la’. Artinya, pembagian mat}la’ didasarkan pada
kemungkinan dilihat atau tidaknya hilal. Jika hilal mungkin untuk dilihat, maka
pembagian tetap dilakukan dengan melihat apakah kemungkinan tersebut dengan
memakai mata tanpa alat ataukah dengan alat.
13
Ibid. hlm. 15-18.
9
Peta Visibilitas Hilal
Pada gambar di atas wilayah-wilayah yang berada di warna hijau, wilayah
yang hilal mudah untuk dilihat dengan mata tanpa alat, dijadikan sebagai wialayah
dalam satu kesatuan mat}la’ terlepas dari dekat dan jauhnya wilayah-wilayah tersebut.
Begitu juga wilayah-wilayah yang berada di warna ungu (hilal mungkin dilihat
dengan mata tanpa alat jika kondisi mendukung), berada di warna biru (hilal hanya
dapat dilihat dengan alat optik) berada dalam satu kesatuan mat}la’.
Prinsip ini memiliki kelebihan karena menjadikan perhitungan astronomis
(visibilitas hilal) yang detail, sesuai dengan kemungkinan dilihatnya hilal, sebagai
dasar kesatuan mat}la’. Hanya saja, karena visibilitas hilal itu selalu berubah di setiap
bulan, maka wilayah-wilayah yang berada dalam satu kesatuan mat}la’ juga akan
mengalami perubahan setiap bulannya. Dua atau tiga negara bisa menjadi satu mat}la’
di bulan ini misalnya, akan tetapi bisa menjadi berbeda mat}la’ di bulan depan. Hal ini
tentu akan membuat kesulitan untuk pembentukan sebuah kalender.14
14
Ibid. hlm. 15.
10
3. Kesatuan mat}la’ dalam wilayah yang serupa visibilitas hilalnya
Prinsip ini menjadikan wilayah-wilayah yang serupa visibilitas hilalnya
dalam satu kesatuan mat}la’. Dalam gambar di atas, wilayah-wilayah yang berada
pada warna hijau, ungu, dan biru dijadikan satu mat}la’ karena semuanya merupakan
wilayah yang hilal mungkin untuk dirukyah baik dengan alat optik maupun dengan
mata tanpa alat. Sedangkan wilayah tanpa warna dan warna merah berada pada
mat}la’ yang lain, yaitu mat}la’ yang hilal tidak mungkin dan mustahil dirukyah.
Dengan demikian, pemikiran ini membagi dunia dalam dua mat}la’, yaitu wilayah
yang hilal mungkin dirukyah dan wilayah yang hilal tidak mungkin atau mustahil
dirukyah.
Pemikiran ini memiliki kelebihan dari sisi adanya wilayah yang lebih besar
dan luas yang berada dalam satu kesatuan mat}la’. Akan tetapi, pemikiran ini juga
tidak secermat pemikiran poin ke-2 karena tidak membedakan antara wilayah yang
hilal mudah dilihat dengan mata tanpa alat dengan wilayah yang hilal hanya dapat
dilihat dengan perangkat binokuler saja. Selain itu, seperti pemikiran sebelumnya,
wilayah yang berada dalam satu mat}la’ pun akan selalu berubah sesuai perubahan
visibilitas hilal.15
4. Kesatuan mat}la’ parsial/zonal (juz’i>)
Pemikiran ini membagi dunia dalam zona-zona tertentu, baik dua zona, tiga
zona maupun empat zona, dimana setiap zona adalah dalam satu kesatuan mat}la’.
Apabila perhitungan atau rukyah faktual menunjukkan bahwa hilal dapat dirukyah
pada satu zona, maka bulan baru hijriah akan dimulai di zona tersebut.
Pemikiran penyatuan parsial atau zonal ini memiliki kekurangan dari sisi
masih mungkin terjadinya perbedaan dalam memulai bulan baru hijriah walaupun
maksimal perbedaan yang terjadi dalam ini hanya satu hari. Artinya, walaupun
pembagian zona yang terjadi adalah tiga atau empat zona, perbedaan yang mungkin
15
Ibid., hlm. 16
11
terjadi tetap hanya satu hari. Semakin banyak zona yang ada, maka tingkat ketelitian
dalam memperhitungkan kemungkinan kenampakan hilal akan semakin tinggi. Akan
tetapi, terbaginya zona di dunia dalam tiga atau empat zona membawa dampak pada
kemungkinan tidak bersatunya dunia Islam dalam satu permulaan bulan baru hijriah,
sehingga tidak akan dapat menciptakan sebuah kesatuan dalam kalender hijriah.16
Dan hal inilah yang menjadi keunggulan pembagian dunia dalam dua zona.
Jika pada suatu saat hilal hanya dapat dilihat dari zona Barat dan tidak dapat dilihat
dari zona Timur yang menjadikan adanya perbedaan dalam memulai bulan baru
hijriah, sebagian besar dunia Islam yang berada di zona Timur tetap akan memulai
bulan baru hijriah secara bersamaan. Artinya, akan ada “kesatuan” di sebagian besar
dunia Islam yang menjadikan sebagian besar umat Islam akan memasuki bulan baru
hijriah secara bersamaan.
5. Kesatuan mat}la’ lokal (al-mah}alli>)
Kesatuan mat}la’ lokal inilah yang dipakai sebagian besar kalender hijriah di
dunia Islam, yakni menjadikan batas-batas negara secara politik sebagai batasan
dalam keberlakuan rukyah atau yang lebih dikenal dengan kesatuan dalam wilayah
hukum (mat}la’ fi> wila>yah al-h}ukm). Mat}la’ akan berbeda-beda dari sisi luas dan
sempitnya sesuai dengan luas dan sempitnya batasan sebuah negara. Dan kesatuan
mat}la’ hanya terbatas pada luas sebuah negara.17
Persoalan penyatuan awal bulan hijriah, oleh karena itu, harus melihat pada
penyatuan mat}la’ yang mana yang akan dianut. Jika penyatuan yang diinginkan
adalah pada tingkat nasional, wilayah dalam satu negara, maka mat}la’ yang dipakai
adalah mat}la’ fi> wila>yah al-hukmi, jika yang diinginkan adalah penyatuan di sebagian
besar dunia Islam, maka mat}la’ yang dipakai adalah mat}la’ juz’i> (zonal), dan jika
yang diinginkan adalah penyatuan awal bulan hijriah secara global, maka penyatuan
16
17
Ibid., hlm. 18
Ibid.
12
mat}la’ yang dianut adalah mat}la’ global. Dan masing-masing pemikiran memiliki
keunggulan dan kelebihannya sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Pemikiran tentang Penyatuan Mat}la’
N
o
1
2
3
4
5
6
Kesatuan Mat}la’
Keunggulan
Kelemahan
Mutlak (satu dunia Bersatunya
seluruh Dalam beberapa kasus
satu mat}la’)
dunia dalam satu mat}la’ bulan baru hijriah dimulai
ketika hilal tidak mungkin
atau
bahkan
mustahil
dirukyah
Yang bersesuaian Detail dalam melihat Wilayah dalam satu mat}la’
visibilitas hilalnya perbedaan
visibilitas yang selalu berubah sesuai
hilal sebagai batas perubahan visibilitas hilal
penyatuan mat}la’
Yang
serupa Hanya membagi dunia Wilayah dalam kesatuan
visibilitas hilalnya dalam dua zona sesuai mat}la’ yang selalu berubah
dengan mungkin dan
tidaknya terlihat hilal
perbedaan
Parsial (Juz’i>) tiga Kesatuan mat}la’ pada Kemungkinan
dalam memulai bulan baru
zona atau lebih
zona-zona yang tetap
hijriah di dunia Islam
perbedaan
Kesatuan mat}la’ Kemungkinan
Parsial (Juz’i>) dua dalam
memulai
bulan
baru
zona
pada zona-zona yang
hijriah antara zona Barat
tetap
dan Timur
Bersatunya
dunia Islam dalam
memulai bulan baru
hijriah
Hanya untuk dasar
Lokal (mahalli>), fi> Kekuatan secara politis kalender hijriah nasional
wila>yah al-h}ukm
Kemungkinan
perbedaan memulai bulan
baru hijriah dalam dua
hari atau lebih di seluruh
dunia
13
Tawaran Kalender Hijriah Internasional
Ada beberapa tawaran kalender hijriah internasional yang saat ini
berkembang. Tulisan ini hanya akan menyebutkan beberapa diantaranya, yaitu
kalender hijriah tawaran Mohammad Ilyas, Kalender Hijriah Universal, dan Kalender
Hijirah Unifikasi.
Kalender Hijriah tawaran Mohammad Ilyas merupakan hasil dari
penelitiannya melalui sebuah proyek yang dinamakan International Islamic Calendar
Programme (IICP) yang bermarkas di Universitas Sains Malaysia, Penang. Hasilhasil penelitian tersebut kemudian disebarkan ke negara-negara Islam yang tergabung
dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), kemudian didialogkan melalui pertemuanpertemuan regional dan internasional.
Kalender yang ditawarkan oleh Mohammad Ilyas ini merupakan salah satu
usaha pertama di masa modern bagi terbentuknya Kalender Hijriah yang bersifat
internasional18 Kalender Hijriah Ilyas didasarkan pada hisab imka>nurrukyah dengan
kriteria imka>nurrukyah yang diajukannya dan pada Garis Tanggal Kamariah
Internasional (ILDL/International Lunar Date Line) yang merupakan gagasan
orisinal Mohammad Ilyas. Garis Tanggal Kamariah merupakan garis yang didasarkan
pada perhitungan visibilitas hilal di seluruh permukaan bumi melalui titik-titik
wilayah yang ditentukan yang kemudian memisahkan bumi dalam dua wilayah, yaitu
wilayah sebelah barat garis yang merupakan wilayah hilal mungkin dirukyah dan
wilayah di sebelah timur garis yang merupakan wilayah hilal tidak mungkin
dirukyah. Garis Tanggal Kamariah inilah yang dijadikan sebagai acuan masuknya
bulan baru hijriah dalam Kalender Hijriah yang ditawarkan Mohammad Ilyas.
Wilayah sebelah barat garis merupakan wilayah yang telah memasuki bulan baru
hijriah karena hilal mungkin dirukyah, sedangkan wilayah sebelah timur garis
18
M. S. Odeh, al-Hila>l Bain H{isa>ba>t al-Falakiyyah wa ar-Ru’yah, Makalah dipresentasikan
pada seminar ahli Falak untuk menentukan awal bulan kamariah yang diadakan di Rabat, Maroko
pada tanggal 8-10 Nopember 2006, diakses tanggal 28 April 2009 dari www.icoproject.org., Nid}a>l
Qassu>m, t.t., Khut}uwa>t fi T{ari>q H{all Musykilah at-Taqwi>m al-Isla>mi> al-Muwah}h}ad, diakses dari
www.amastro.ma_articles_art-ng.pdf pada Desember 2009
14
merupakan wilayah yang belum memasuki bulan baru hijriah karena hilal yang tidak
mungkin dirukyah. Apabila garis ini melewati sebuah negara yang menjadikannya
terbelah dalam dua wilayah yang berbeda dalam visibilitas hilal, maka garis tersebut
ditarik ke arah timur sesuai batas negara tersebut sehingga negara tersebut dapat
memasuki bulan baru dalam waktu yang sama.19 Dan karena visibilitas hilal yang
tidak tetap, maka garis inipun bersifat tidak tetap dan berubah-ubah.
Kalender Hijriah Ilyas termasuk dalam kategori kalender zonal yang
membagi bumi ini dalam tiga zona tanggal, yaitu zona Asia Pasifik, zona Eropa, Asia
Barat dan Afrika, dan zona Amerika.
Hanya saja, sangat disayangkan sebagaimana dikatakan Qassu>m bahwa
usaha-usaha dan usulan-usulan Mohammad Ilyas ini tidak begitu terdengar di dunia
Arab pada khususnya karena tulisan-tulisannya disebarluaskan dengan bahasa
Melayu dan Inggris.20
Jama>l ad-Di>n ‘Abd ar-Ra>ziq merupakan salah seorang tokoh yang berasal
dari Maroko yang pertama kali menawarkan adanya Kalender Hijriah Unifikasi di
dunia modern ini. Ia menamakan kalender usulannya at-Taqwi>m al-Qamari> al-Isla>mi>
al-Muwah}h}ad (Kalender Kamariah Islam Unifikasi/Terpadu). Penelitian dan gagasangagasannya dituangkannya dalam beberapa artikel, diantaranya adalah at-Taqwi>m al-
Qamari> al-Isla>mi> al-Muwah}h}ad yang disampaikan dalam Ijtima>’ al-Khubara>’ li
Dira>sah Maudhu>’ Dhabt} Mat}a>li’ asy-Syuhu>r al-Qamariyyah ‘inda al-Muslimi>n di
Rabat pada tanggal 9 dan 10 Nopember 2006 dan at-Taqwi>m al-Isla>mi>: al-
Muqa>rabah asy-Syumu>liyah, makalah disampaikan dalam Simposium Internasional
“Toward A Unified International Islamic Calendar” yang diadakan oleh Majelis Tarjih
dan Tajdid PP Muhammadiyah pada tahun 2007.
Ada tiga prinsip dasar yang harus diterima untuk membuat sebuah kalender
kamariah yang bersifat Internasional dalam pandangan ‘Abd ar-Ra>ziq, yakni;
19
Mohammad Ilyas, 1999, Kalender Islam Antarbangsa, cet. 2, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka, hlm. 17-22.
20
Nid}a>l Qassu>m, t.t., Khut}uwa>t fi T{ari>q, hlm. 6.
15
pertama, dijadikannya hisab sebagai dasar. Hal ini karena sebuah kalender
dimaksudkan sebagai sistem perencanaan waktu ke depan dan dapat melihat waktu di
masa lampau, dan ini tidak akan bisa terjadi apabila tidak menggunakan hisab sebagai
dasarnya;
kedua,
prinsip
transfer
imka>nurrukyah,
yakni
memberlakukan
kemungkinan kenampakan hilal di bagian barat untuk wilayah di bagian timur dengan
ketentuan bahwa wilayah tersebut telah mengalami konjungsi pada jam 00:00 waktu
setempat, kecuali untuk kawasan GMT + 14 jam yang menggunakan konjungsi
sebelum waktu fajar; dan ketiga, dijadikannya waktu tengah malam di garis tanggal
internasional sebagai awal waktu dan tempat permulaan hari.
Berdasarkan pada kajian yang dilakukannya tentang gerak Bulan secara
global guna mendukung proyek kalender hijriah terpadunya, ar-Ra>ziq kemudian
mencetuskan apa yang disebutnya dengan “Hari Universal”. Hari Universal adalah
lama (durasi) waktu suatu hari dari pukul 00:00 hingga pukul 00:00 berikutnya di
seluruh dunia, tidak pada satu lokasi tertentu. Durasi waktu Hari Universal ini di
seluruh dunia adalah 48 jam. Hari Jum’at, misalnya, di seluruh dunia lamanya adalah
48 jam. Hari Jum’at tersebut mulai pada garis bujur 180° BT pada pukul 00:00 waktu
setempat dan berakhir pada garis bujur 180° BB pada pukul 00:00 waktu setempat
malam Sabtu. Lama waktu tersebut adalah 48 jam. Dari konsep tentang Hari
Universal itulah kemudian Jama>luddi>n ‘Abd Ar-Ra>ziq merumuskan kaidah hisab
untuk Kalender Hijriah Unifikasi yang diusulkannya, yaitu:
“Apabila waktu konjungsi sama atau lebih besar dari pukul 00:00 dan lebih
kecil dari pukul 24:00 dari suatu Hari Universal, maka awal bulan kamariah
baru jatuh pada Hari Universal berikutnya”.21
Apabila kaidah ini dibahasakan dengan konsep hari yang biasa dipahami,
maka artinya adalah apabila konjungsi terjadi pada pukul 00:00 WU hingga
21
Jama>luddi>n ‘Abd ar-Ra>ziq, at-Taqwi>m al-Qamari> al-Isla>mi> al-Muwah}h}ad, Makalah
disampaikan dalam Ijtima>’ al-Khubara>’ li Dira>sah Maudhu>’ Dhabt} Mat}a>li’ asy-Syuhu>r al-Qamariyyah
‘inda al-Muslimi>n di Rabat pda tanggal 9 dan 10 Nopember 2006. Diakses dari
www.amastro.ma/articles.htm pada tanggal 3 Nopember 2010.
16
menjelang 12:00 WU (periode pagi), maka bulan kamariah akan dimulai keesokan
hari konjungsi. Sedangkan bila konjungsi terjadi pada jam 12:00 WU hingga
menjelang jam 24:00 WU (periode petang), maka bulan kamariah akan mulai lusa
dari hari konjungsi.22
Kalender Hijriah Unifikasi usulan Jama>luddi>n ‘Abd Ar-Ra>ziq ini bisa
dikatakan sebagai sebuah proyek yang sangat ambisius karena menjadikan dunia ini
dalam satu kesatuan tanggal hihjriah. Artinya, bulan baru hijriah akan mulai dalam
hari yang sama di seluruh dunia. Dan hal ini merupakan salah satu kelebihan kalender
ini dibandingkan kalender lain yang membagi dunia dalam zona-zona tertentu.23
Hanya saja, bulan baru hijriah sering dimulai padahal hilal mustahil dirukyah
(karena posisi hilal yang masih di bawah ufuk) di beberapa negara Islam, bahkan
terkadang mustahil dirukyah di sebagian besar dunia Islam. Dalam banyak kasus,
awal bulan hijriah dalam kalender ini dimulai sedangkan hilal tidak mungkin
dirukyah (posisi hilal sudah di atas ufuk akan tetapi tidak mungkin dirukyah) di
seluruh dunia Islam. Dalam analisis perhitungan awal bulan hijriah Kalender Hijriah
Unifikasi yang dikemukakan oleh Odeh, prosentase dimulainya bulan baru hijriah
pada kasus pertama (hilal mustahil dirukyah) dalam kalender ini mencapai 17%
dalam 60 bulan, sedangkan pada kasus kedua (hilal tidak mungkin dirukyah)
mencapai 23% dalam 60 bulan.24 Selain itu, penggunaan waktu tengah malam (jam
00:00 WU) sebagai awal pergantian hari dan penggunaan Garis Tanggal Internasional
sebagai tempat dimulainya hari yang dipakai dalam kalender ini juga masih sulit
mendapatkan justifikasi normatifnya. Sebagian besar ulama yang menggunakan
waktu terbenamnya Matahari sebagai waktu pergantian hari dan bulan hijriah sulit
untuk dapat menerima pemikiran tentang konsep pergantian hari dan bulan yang ada
dalam kalender ini, sehingga akan sangat sulit, paling tidak untuk saat-saat ini, untuk
22
Syamsul Anwar, 2008, Hari Raya dan Problematika Hisab-Rukyat, Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, hlm. 141.
23
M. S. Odeh, al-Hila>l Bain H{isa>ba>t..ibid.
24
Ibid.
17
menjadikan kalender ini sebagai kalender hijriah yang dapat diterima oleh masyarakat
muslim, termasuk di Indonesia.
Selanjutnya adalah Kalender hijriah Universal. Kalender Hijriah Universal
dalam perjalanannya mengalami beberapa perkembangan. Saat pertama kali
diperkenalkan, kalender ini merupakan kalender dengan dua zona atau bizonal
dengan memakai kriteria visibilitas hilal Yallop. Setelah itu, kalender ini
dikembangkan menjadi trizonal (tiga zona) dan masih menggunakan kriteria Yallop.
Dengan adanya kriteria baru Odeh, kalender ini kemudian menjadikan kriteria Odeh
sebagai dasar menggantikan kriteria Yallop. Dan pada akhirnya, dengan adanya
berbagai diskusi dan perdebatan tentang kalender islam yang terpadu, dibuatlah
kalender bizonal dengan tetap menjadikan dunia Islam dalam satu zona yang tak
terbelah dan dengan menggunakan kriteria Odeh sebagai dasar penentuan awal
bulan.25
Kalender Hijriah Universal disebut sebagai sistem kalender bizonal karena
membagi dunia dalam dua zona; zona Timur dan zona Barat. Zona Timur meliputi
daerah antara 180° BT sampai dengan 20° BB yang terdiri dari benua Australia, Asia,
Afrika dan Eropa. Artinya, seluruh dunia Islam masuk dalam zona Timur. Apabila
perhitungan falak menunjukkan bahwa hilal mungkin dilihat dari wilayah daratan
manapun di wilayah ini, maka hari berikutnya dihitung sebagai permulaan bulan baru
hijriah untuk zona ini. Zona Barat meliputi daerah antara 20° BB sampai bagian
terbarat dari dua benua Amerika. Apabila perhitungan falak menunjukkan bahwa hilal
mungkin dilihat dari wilayah daratan manapun di wilayah ini, maka hari berikutnya
dihitung sebagai permulaan bulan baru hijriah untuk zona ini.26 Diantara kelemahan
kalender zonal, termasuk Kalender Hijriah Universal ini, adalah bahwa kesatuan
25
Ibid, juga dalam at-Taqwi>m al-Hijri> al-‘A, diakses dari www.icoproject.org pada tanggal
28 September 2009, Tat}bi>qa>t Tiknu>lu>jiyya> al-Ma’lu>ma>t li I’da>d Taqwi>m Hijriy ‘Anurrukyah. Diantara penanggalan yang didasarkan pada
kriteria wujudul hilal adalah kalender hijriah Muhammadiyah. Sedangkan kalender
yang didasarkan pada kriteria imka>nurrukyah adalah semisal Taqwim Standar
Indonesia, Almanak PBNU, Almanak Kudus, Kalender PPMI Assalam Surakarta, dan
lain-lain.
Kalender Hijriah Muhammadiyah disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid
Pengurus Pusat Muhammadiyah dan diterbitkan oleh Majlis Tabligh Pengurus
Wilayah Muhammadiyah D.I. Yogyakarta. Kalender ini dirintis oleh KH. Ahmad
Dahlan sejak tahun 1915.27 Kriteria wujudul hilal baru mulai dipakai oleh Kalender
Muhammadiyah sejak tahun 1938 M/1357 H. Sedangkan sebelum itu, Kalender
27
Oman Fathurrohman, “Penentuan Awal Bulan Qamariyah dalam Pandangan
Muhammadiyah”, makalah disampaikan pada Pelatihan Hisab Rukyat yang diselenggarakan oleh
Majelis Tarjih dan tajdid PP Muhammadiyah pada tanggal 25-29 Juli 2007 di Yogyakarta, hlm. 14.
19
Muhammadiyah menggunakan kriteria imka>nurrukyah, dan kemudian kriteria ijtima>’
qabla al-ghuru>b yang digunakan hingga tahun 1937 M.28
Taqwim
Standar
Indonesia
merupakan
penanggalan
yang
disusun
berdasarkan pada hasil musyawarah kerja Badan Hisab Rukyat (BHR) Kementerian
Agama RI. Edisi perdana kalender ini diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bimas
Islam dan Penyelenggaraan Haji, dan kemudian pada tahun 2007 kalender ini
diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag RI. Saat
ini, kalender ini sudah memuat hasil perhitungan waktu ijtima’ dan data-data hilal lain
setiap bulan yang menjadikannya dapat dianalisis akurasi perhitungannya.
Gambar: Taqwim Standar Indonesia, Sumber: Koleksi Pribadi
Almanak PBNU merupakan penanggalan yang disusun oleh Lajnah
Falakiyyah Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU). Pada awalnya, Almanak
PBNU sangat dipengaruhi oleh hasil hitungan atau hisab para pakar falak dari
kalangan NU seperti KH. Mahfudz Anwar, KH. Turaichan Ajhuri, dan KH. Noor
Ahmad SS. Namun, setelah terbentuknya Lajnah Falakiyyah PBNU sistem yang
digunakan adalah dengan menggabungkan hasil-hasil perhitungan dari aliran-aliran
hisab falak yang berkembang di NU. Kriteria yang dipakai oleh Almanak PBNU
untuk penetapan awal bulan hijriah adalah imka>nurrukyah 2 derajat. Kriteria ini
28
Susiknan Azhari, Ilmu Falak, hlm. 157.
20
dipakai untuk selain bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijjah karena penentuan awal
bulan untuk bulan-bulan tersebut adalah dengan menggunakan rukyah.29 Almanak
PBNU memuat empat penanggalan, yakni Kalender Hijriah, Miladiyah, Pranoto
Mongso dan Asapon. Bila hilal berada di atas ufuk, selain memuat data awal bulan,
konjungsi, dan ketinggian hilal, Almanak PBNU juga melengkapi data-data hilal yang
lain seperti letak hilal, kedudukan hilal, dan lama hilal di atas ufuk. Selain itu,
Almanak PBNU juga memuat data waktu Ras}d al-Qiblah, waktu salat, dan data
gerhana, baik gerhana Bulan maupun gerhana Matahari.
Almanak Menara Kudus merupakan almanak yang disusun oleh KH.
Turaichan Adjhuri asy-Syarofi. Kalender ini terbit pertama kali pada tahun 1942/1361
oleh percetakan Masykuri Kudus. Selanjutnya pada tahun 1950/1370 diterbitkan oleh
Percetakan Kitab Menara Kudus.30 Sepeninggal KH. Turaichan, Almanak Menara
Kudus disusun oleh putra dan murid Beliau, yakni Tajus Syaraf. Kriteria yang
digunakan untuk penentuan awal bulan hijriah adalah imka>nurrukyah 2 derajat,
kecuali bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijjah yang menunggu hasil sidang itsbat
Kemenag RI. Kriteria ini memang tidak begitu berbeda dengan kriteria yang dipakai
dalam Almanak PBNU karena keduanya disusun oleh tokoh-tokoh dari kalangan NU.
Sedangkan Kalender PPMI Assalam adalah kalender yang dikeluarkan
secara resmi oleh Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam, Pabelan Kartasura
Sukoharjo-Surakarta. Kalender PPMI Assalaam, yang pada mulanya merupakan
kalender yang memuat data tanggal saja, mulai memuat data-data astronomis
semenjak berdiri CASA (Club Astronomi Santri Assalaam) pada tahun 2005. Mulai
tahun 2007, Kalender PPMI Assalaam selain dicetak juga diupload ke Internet di
webblog A.R Sugeng Riyadi (http://pakarfisika.wordpress.com/) dalam bentuk file
foto dan PDF. Seluruh materi dalam Kalender PPMI Assalaam dirancang secara
khusus oleh team yang memuat data hisab konjungsi dan awal bulan, visibiltas hilal,
serta fenomena gerhana selama satu tahun. Untuk penentuan awal bulan hijriah,
29
30
Susiknan Azhari, Ilmu Falak, hlm. 159, Abd. Salam Nawawi, Rukyat Hisab, hlm. 19.
Susiknan Azhari, Ilmu Falak, ibid.
21
Kalender PPMI Assalaam menggunakan kriteria imka>nurrukyah MABIMS. Data
hisab Kalender PPMI Assalaam dihasilkan melalui perpaduan algoritma StarryNight
Pro Plus dan Accurates Times Odeh. Salah satu hal yang menarik dari Kalender
PPMI Assalam adalah bahwa kalender ini tidak hanya menampilkan data hilal awal
bulan (hilal muda), akan tetapi juga menampilkan data hilal akhir bulan (hilal tua),
baik posisi, kondisi, maupun ketinggiannya.
Gambar: Kalender PPMI Assalam, Sumber: (http://pakarfisika.wordpress.com/)
Penjelasan tersebut memberikan sedikit gambaran bahwa kalender hijriah di
Indonesia belum ada yang menjadikan kriteria imka>nurrukyah Internasional sebagai
dasar dalam penentuan awal bulan hijriah. Kriteria imka>nurrukyah yang dianut oleh
mayoritas kalender hijriah di Indonesia adalah kriteria ketinggian 2 derajat atau
kriteria MABIMS yang juga dipakai oleh pemerintah Indonesia.
Kalender hijriah di Indonesia yang menjadikan hisab sebagai faktor penentu
masuknya bulan baru hijriah seperti Taqwim Standar Indonesia, Kalender
Muhammadiyah atau Kalender PPMI Assalam memiliki keunggulan dari sisi adanya
kepastian dan kemapanan karena dapat merencanakan berbagai peristiwa di masa
datang dengan baik, termasuk pelaksanaan ibadah seperti puasa, Idul Fitri maupun
22
Idul Adha. Sedangkan Alamanak NU dan Almanak Kudus memiliki keunggulan dari
sisi minimnya kemungkinan terjadinya perbedaan dengan penetapan pemerintah
karena pada bulan-bulan hijriah yang berkaitan dengan ibadah seperti Ramadan,
Syawal dan Zulhijjah kalender ini melakukan rukyah untuk menetapkannya dan
menunggu adanya penetapan dari pemerintah. Hanya saja, kalender seperti ini bisa
dikatakan sebagai kalender yang bersifat sipil dan tidak dapat dipakai untuk
menetapkan pelaksanaan ibadah-ibadah tertentu sehingga selalu akan memungkinkan
terjadinya perbedaan.
Tabel
Kalender Hijriah di Indonesia
No
Kalender
Kriteria
Wilayah
1
Kalender Muhammadiyah
Wujudul Hilal
Indonesia
2
Taqwim Standar Indonesia
Imka>nurrukyah MABIMS
Indonesia
3
Almanak NU
Imka>nurrukyah 2°, rukyah
Indonesia
4
Almanak Menara Kudus
Imka>nurrukyah 2°, rukyah
Indonesia
5
Kalender PPMI Assalam
Imka>nurrukyah 2°
Indonesia
Perbedaan kriteria dalam berbagai kalender di atas menjadikan potensi
perbedaan dalam memulai bulan baru hijriah di Indonesia sangat terbuka. Ketika hilal
berada dalam posisi di atas ufuk dan di bawah batas visibilitas hilal, maka
kemungkinan terjadinya perbedaan sangat besar. Jika di akhir bulan hijriah hilal pada
posisi di atas ufuk dan di bawah batas visibilitas hilal, Kalender Muhammadiyah akan
menjadikan hari setelahnya sebagai hari baru dalam bulan baru hijriah. Sedangkan
kalender lain yang menjadikan visibilitas hilal sebagai faktor penentu masuknya
bulan baru hijriah akan menjadikan hari berikutnya sebagai awal bulan baru hijriah.
Pada posisi inipun, NU sesuai prinsip yang ada pada Almanak NU, akan menolak
23
setiap kesaksian rukyah apabila hilal berada di bawah batas visibilitas hilal yang
sudah ditentukan.
Penutup
Penyatuan kalender hijriah, baik di tingkat nasional (Indonesia) maupun
regional (MABIMS misalnya) tidak bisa dengan serta merta mengadopsi model
kalender hijriah internasional. Ada beberapa persoalan yang harus diperhatikan dan
dicarikan kesepakatannya dalam hal ini. Pertama, sampai saat ini belum ada
kesepakatan di tingkat internasional atau di antara negara-negara Islam tentang model
kalender hijriah yang akan digunakan. Hal ini tentunya akan menjadi persoalan yang
sangat krusial untuk bisa menyatukan kalender hijriah, baik di tingkat nasional
maupun regional. Kedua, prinsip penyatuan matla' untuk pemberlakuan kalender
hijriah sampai saat ini juga belum ada, sehingga akan sangat menyulitkan dalam
pemilihan model kalender yang akan diberlakukan. Ketiga, kriteria penentuan awal
bulan hijriahpun sampai saat ini belum dapat disatukan. Oleh karena itu, perlu
langkah-langkah yang dilakukan secara bertahap dan konkrit dalam mewujudkan
sebuah kalender hijriah yang dapat diberlakukan dalam skala nasional, regional
maupun internasional. Wallahu A'lam.
24
DAFTAR PUSTAKA
Al-Amin, M. Fuad Al-, Mohammad Odeh dan Upaya Penyatuan Kalender Islam,
diakses dari http://qamazaidun.blogspot.com/2008_03_01_archive.html tanggal 8 Maret
2009
Anwar, Syamsul, Hari Raya dan Problematika Hisab-Rukyat, (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2008)
‘Asqala>ni, Ibn Hajar, al-, Fath} al-Ba>ri,> (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1977)
Azhari, Susiknan, Ilmu Falak, Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern,
(Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007)
Fathurrohman, Oman, “Penentuan Awal Bulan Qamariyah dalam Pandangan
Muhammadiyah”, makalah disampaikan pada Pelatihan Hisab Rukyat yang
diselenggarakan oleh Majelis Tarjih dan tajdid PP Muhammadiyah pada
tanggal 25-29 Juli 2007 di Yogyakarta
Ichtijanto (ed.), Almanak Hisab Rukyat, (Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan
Agama Islam, 1981)
Ilyas, Mohammad, Kalender Islam Antarbangsa, cet. 2, (Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1999)
Jailani, Zubair ‘Umar Al-, al-Khula>s}ah al-Wafiyyah fi al-Falak bi Jada>wil alLughari>tmiyyah, (Kudus, Menara Kudus, t.t.)
Muba>rakfu>ri, al-, Tuh}fah al-Ahwaz}i >, (Beirut: Da>r al-Kutib al-Ilmiyyah, t.t.)
Munawwir, A. Warson, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984)
Nawawi, Abd. Salam, Rukyat Hisab di Kalangan NU Muhammadiyah, Meredam
Konflik dalam Menetapkan Hilal, (Surabaya: Diantama bekerjasama dengan
LFNU Jatim, 2004)
Odeh, Mohammad Shawkat, Taqwi>m Nasb al-Khat}a’ fi Tah}di>d Awa>il al-Asyhur alHijriyyah (fi al-Urdun) diakses dari www.icoproject.org tanggal 28 April 2009
----------,
al-Hila>l
Bain
H{isa>ba>t
al-Falakiyyah
wa
ar-Ru’yah,
Makalah
dipresentasikan pada seminar ahli Falak untuk menentukan awal bulan
25
kamariah yang diadakan di Rabat, Maroko pada tanggal 8-10 Nopember
2006, diakses tanggal 28 April 2009 dari www.icoproject.org.
-----------, at-Taqwi>m al-Hijri> al-‘A, diakses dari www.icoproject.org pada tanggal
28 September 2009
-----------, Tat}bi>qa>t Tiknu>lu>jiyya> al-Ma’lu>ma>t li I’da>d Taqwi>m Hijriy ‘Af al-Mat}a>li’, al-Mana>t}iq al-Musytarakah bi Mat}la’ Wa>h}id, makalah
pada al-Mu’tamar al-‘A li Is\ba>t asy-Syuhu>r al-Qamariyyah ‘inda ‘Ulama>’
asy-Syari’ah wa al-H{isa>b al-Falaki> yang diadakan oleh Komite Fiqh Islam
(al-Majma’ al-Fiqhi> al-Isla>mi) OKI (Ra>bit}ah al-‘Ami> di kantor
OKI, Mekah, pada tanggal 19-21/03/1433 H/11-13/02/2012 M.
Qassu>m, Nid}a>l, Khut}uwa>t fi T{ari>q H{all Musykilah at-Taqwi>m al-Isla>mi> alMuwah}h}ad, diakses dari
www.amastro.ma_articles_art-ng.pdf pada
Desember 2009 Syauka>ni, asy-, Nail al-Aut}a>r, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.)
Ra>ziq, Jama>luddi>n, ‘Abd ar-, at-Taqwi>m al-Qamari> al-Isla>mi> al-Muwah}h}ad, Makalah
disampaikan dalam Ijtima>’ al-Khubara>’ li Dira>sah Maudhu>’ Dhabt} Mat}a>li’
asy-Syuhu>r al-Qamariyyah ‘inda al-Muslimi>n di Rabat pda tanggal 9 dan 10
Nopember 2006. Diakses dari www.amastro.ma/articles.htm pada tanggal 3
Nopember 2010.
-------------, at-Taqwi>m al-Isla>mi>: al-Muqa>rabah asy-Syumu>liyah, makalah
disampaikan dalam Simposium Internasional “Toward A Unified
Interna