Penentuan Awal Bulan Baru Penanggalan Hijriah Berdasarkan Pendekatan Ethnooceanography Dan Ethnoastronomy
PENENTUAN AWAL BULAN BARU PENANGGALAN
HIJRIAH BERDASARKAN PENDEKATAN
ETHNOOCEANOGRAPHY DAN ETHNOASTRONOMY
S A L N U D D I N
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
(2)
(3)
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Penentuan awal bulan baru penanggalan Hijriah berdasarkan pendekatan Ethnooceanography dan Ethnoastronomy” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2016
S a l n u d d i n C.56112002.1
(4)
RINGKASAN
SALNUDDIN. Penentuan Awal Bulan Baru Penanggalan Hijriah Berdasarkan Pendekatan Ethnooceanography dan Ethnoastronomy.Dibimbing oleh I WAYAN NURJAYA, INDRA JAYA dan NYOMAN. M. N. NATIH.
Pergerakan matahari dan bulan terhadap rotasi bumi menjadi rujukan sistem waktu di bumi, dimana pergerakan bulan menjadi dasar sistem penanggalan Hijriah (lunar system). Pemaknaan penanggalan Hijriah melalui proyeksi posisi bulan (Ethnoastronomy) dan pergerakan pasang surut (Ethnooceanography) sebagai nilai-nilai kearifan lokal telah lama diketahui dan diaplikasikan oleh masyarakat Indonesia timur. Suku Sama menerapkannya pada konstruksi rumah dan bagan tancap, Suku Muna/Buton dan Bugis dalam manajemen pelayaran, sedangkan masyarakat di Pulau Tidore mengaplikasikannya pada penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal. Bentuk aplikasi mereka tersebut belum pernah dilakukan kajian ilmiah, sehingga perlu untuk dikaji melalui suatu penelitian. Penelitian ini memiliki empat tujuan utama yaitu; 1) Menentukan variasi tunggang air melalui nilai amplitudo konstituen harmonik pergerakan pasang surut dari pengelompokkan data berdasarkan sistem penanggalan Masehi dan Hijriah; 2).Membuktikan karakteristik pasang surut berdasarkan Ethnooceanography dan Ethnoastronomy dari masyarakat Tidore dan Suku Pelaut; 3) Mencari dasar secara ilmiah (oseanografi) bagian dari karakteristik pergerakan vertical pasang surut dari Suku Sama dlam menentukan tunggang air dan cara Joguru Kesultanan Tidore menentukan awal bulan baru Hijriah dan 4). Membangun solusi penentuan awal bulan Hijriah bagi masyarakat di Indonesia berdasarkan karakteristik pergerakan pasang surut.
Perhitungan konstituen harmonik pasang surut, data sebaiknya tersusun berdasarkan penanggalan Hijriah. Susunan data awal yang dimulai dengan fase bulan baru (penanggalan Hijriah) menghasilkan deviasi amplitudo relatif stabil dan membentuk pola yang sama sepanjang tahun. Perhitungan tunggang pasang surut dengan Metode Suku Sama (MSS) sangat effektif, hanya menggunakan dua data pengukuran yang hasilnya sama dengan perhitungan menggunakan nilai konstituen harmonik; Tunggang air atau Likkas Silapas (LS) selain bulan Sya’ban berada di bawah nilai tunggang air rata-rata atau Mean Highest Water Level (MHWL) dan pengukuran tunggang air dengan MSS tidak dapat diterapkan untuk pengukuran pasang surut di fase bulan baru.
Selisih tinggi air atau Likas boe (LB) bulan Sya’ban relatif lebih tinggi dibandingkan dengan bulan lainnya; adanya kesamaan penggunaan nilai 1/3 (33 %) dari persamaan perhitungan tunggang air dengan menggunakan MSS dan dengan menggunakan selisih rasio amplitudo; Tunggang air rata-rata atau Mean Hightest Water Level (MHWL) tidak memberi pengaruh nyata tiap bulan Hijriah (Fhit < 0.5),
sedangkan tunggang air tinggi tertinggi (Hight Hightest Water Level) atau HHWL memberi pengaruh yang nyata (Fhit > 0.5); Tunggang air HHWL di Bulan Sya’ban,
Dzulhijjah dan Djumadil awal lebih berpengaruh nyata pada nilai tunggang air dibandingkan bulan lainnya.
Cara suku pelaut (Metode Manzillah) effektif dalam mengidentifikasi waktu dalam penanggalan Hijriah dan variasi tingi air (peak) melalui penentuan posisi bulan terhadap “Rasi bintang 7 (RB7). Metode Manzillah mempunyai dasar ilmiah
(5)
iii
untuk menentukan variasi tinggi pergerakan pasang surut dalam periode bulan dan tahun Hijriah, makin jauh bulan dari ekuator langit (RB7) dengan deklinasi negatif (Dec -) maka tinggi air pasang surut peak I < peak II (siklus harian) pergerakan pasang surut dan sebaliknya jika deklinasi positif (Dec +) maka peak I > peak II dan posisi bulan di sekitar ekuator langit (peak I peak II).
Penentuan awal bulan baru dengan Metode Joguru (MJ) merupakan hasil “Ijtihad” akibat bulan sabit tipis (Hilal) di awal bulan baru Ramadhan dan Syawal tidak pernah terlihat di wilayah Tidore dan sekitarnya. Ada korelasi yang kuat (R2
= 0.87 – 0.85) antara variasi tinggi air tiap peak I dan II terhadap awal masuknya bulan baru Hijriah; Koefesien determinasi (R2) untuk parameter Gaussian dan
slackwater memberi karakter hari masuknya bulan baru Hijriah, dengan makin bergesernya hari menuju bulan baru, maka makin kecil nilai koefesien determinasinya; Waktu terjadinya slackwater (tsw) dan median menjadi indikator
penentu masuknya awal bulan baru Hijriah (Ramadhan dan Syawal).
Menggantikan indikator awal bulan Hijriah dari Hilal (first new cresent) yang tidak nampak di Tidore ke slackwater merupakan pendekatan ilmiah untuk menentukan awal bulan baru Hijriah dengan memindahkan waktu pemantauan sebesar 3 jam (45o) sebelum matahari tenggelam; Waktu pemantauan dengan
Metode Joguru (slackwater) harus dilakukan setelah shalat Ashar dengan waktu kritis sebesar 54 menit; Perbandingkan waktu masuknya bulan Ramdhan dan Syawal dari Metode Joguru dengan data referensi mempunyai kesesuaian (akurasinya 100 %); Ada indikasi wilayah Indonesia menjadi batas penanggalan Hijriah.
Metode Joguru memberi solusi penentuan awal bulan baru hijriah di Indonesia yaitu; Metode Joguru dijadikan metode baku (referensi baru) dalam penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal untuk wilayah yang tidak pernah menyaksikan hilal sekaligus dapat melakukan sidang isbat secara terpisah dengan sidang isbat untuk wilayah Indonesia barat; Metode Joguru segera diaplikasikan kembali penggunaannya oleh Kesultanan Tidore, dimana informasi lain yang dihasilkan dapat menentukan lokasi optimum pemantauan Hilal diwilayah barat Indonesia dengan merujuk titik ikat waktu ijtimak dengan indikator waktu slackwater (tsw) terhadap waktu shalat Ashar; Lokasi pemantuan Hilal optimum
yang merujuk dari Metode Joguru harus menjadi dasar referensi lokasi dan waktu terlihatnya Hilal guna mengambil keputusan saat sidang isbat penentuan awal bulan baru Ramadhan dan Syawal di wilayah Indonesia barat; Pendekatan referesi waktu pengukuran jam matahari yang merujuk pada waktu shalat fardhu dapat diaplikasikan untuk kriteria ketampakan Hilal (tinggi bulan) dari pemantauan Hilal di lokasi lain.
Kata kunci : Metode Suku Sama, Likkas Silapas , Likkas Boe; Metode Manzillah, Rasi Bintang 7; peak; Metode Joguru; Ijtihad’; slackwater; waktu kritis, ketampakan Hilal
(6)
SUMMARY
SALNUDDIN. Determination of initial new month of Hijri Calendar based on Ethnooceanography and Ethnoastronomy Approaches. Mentored by I WAYAN NURJAYA, INDRA JAYA and NYOMAN. M. N. NATIH.
It has been widely known that current number reference time systems were developed based on the movement of the sun and the moon relative to the rotation of the earth, including the Hijri calendar that was established according to the movement of the moon. The understanding of Hijri calendar and tidal fluctuations system particularly, have long been known and practiced by the people in eastern Indonesia. For example, Sama Tribe has been applying the system for constructing house and developing step chart, Muna/Buton and Bugis Tribes are using it for shipping management, whereas people in Tidore Island has been using it for determining the beginning and the end of Ramadan and Shawwal. These different kind of practices have never been studied thoroughly. Therefore, this study has four main objectives :1) To determine variation of stall water through harmonic constituent amplitude values of tidal movements of grouping data based on AD and Hijri calendar systems; 2) To verify tidal characteristics based on Ethnooceanography and Ethnoastronomy of Tidore People and “Suku pelaut” (Sailors Tribe); 3) To discover scientific basis (oceanography) part of tidal movement characteristics used by Sama Tribe in determining stall water and the Joguru of Sultanate Tidore technique to define new month of Hijri calendar, and 4). To develop a novel solution for determining a new month of Hijri calendar for the people of Indonesia.
The calculation of tidal harmonic constituents suggested that data should be sorted according to the Hijri calendar to generate a relatively stable amplitude deviation and to form the same pattern throughout the year. The calculation of tidal stalls using Suku Sama Method by using only two measurements data is very effective, the results are comparable to the calculation of using constituent harmonic values. Stalls water or Likkas Silapas (LS) excluding Sha’ban month is found to be below the average value of stalls water or Mean Hight Water Level (MHWL) and stable measurement of the stalls water using MSS method cannot be conducted during tides of the new moon phase.
Difference in water level or Likas boe (LB) month of Sha'ban is relatively higher than the water levels found in other months. There is a similarity of using value of 1/3 (33 %) derived from stalls water equation calculation using MSS and by using the difference in amplitude ratio. Stables water average or Mean Hight Water Level (MHWL) does not given significant real influence during each months of the Hijri ( Fcal < 0.5 ), whereas water stalls HHWL provides a real effect ( Fcal >
0.5 ). Stables highest water or Height Highest Water Level ( HHWL ) in the month of Sha'ban, Dzulhijjah and Djumadil Awal provide more significant effect on the value of stable water compared to other months.
The Sailor Tribe Method (Manzillah Method) is effective to identify time in Hijri calendar and height water variation (peak) through determination of moon position relative to the seven star constellation (RB7). Manzillah method has a scientific basis determining the movement of tidal height variations within the period of month and Hijri year. The further moon position relatives to the celestial
(7)
v
equator (RB7) with negative declination (Dec - ), then peak I < peak II ( daily cycle) of the movement of tides and vice versa if the declination is positive (Dec +), the peak I > peak II and moon position around equator sky (peak I peak II ).
The determination of new month with Joguru Method is solely based on “Ijtihad” due to the fact that the thin crescent moon shape at the beginning of Ramadan and Syawal has never been seen in Tidore and its surrounding areas. There is a strong correlation (R2 = 0.87 - 0.85) between variation in water height of each peak I and II to the early arrival of the new Hijri months. Coefficient of determination (R2) for Gaussian parameter and slackwater characterize the entry of new Hijri month, with increasingly shifting day towards the new moon, then the value of coefficient of determination become smaller, The time when the slackwater occurred and the median, both becomes the indicators of an early entry into determining the beginning of the new moon of Ramadan and Syawal.
Replacing an early indicator of Hijri months from sighting first new crescent which in fact does not appear in Tidore to slackwater is a scientific approach to define the beginning of Hijri months by moving in advance 3 hours (45o ) the
monitoring time before sunset. Time monitoring using Joguru method (slackwater) should be performed after Asr with critical time of 54 minutes. In comparing the time entry of beginning of Ramadan and Shawwal with Joguru method versus reference data have shown relevance result (accuracy 100 %). There are indications that Indonesian territory as reference limit for determining Hijri calendar .
Joguru method provides solution to establish the beginning of the new month on Hijra calendar in Indonesia. Joguru method can be used as a standard (new reference) to establish the beginning of Ramadhan and Syawal especially for the region that could not witnessed the Hilal (the first new cresent) as well as to conduct isbat (the official confirmation hearings for new month of Hijra) separately from the western region of Indonesia. Joguru method can be applied immediately by the Sultanate of Tidore where other information from this method also can determine the optimum location for Hilal monitoring in the western region of Indonesia by referring to the bundling point of “ijtimak time” with slackwater time of Asr prayer time as indicator. The optimum monitoring location for Hilal which refered from Joguru method should become the standard reference for location and time of the Hilal sighting to establish the beginning of Ramadhan and Syawal for the western region of Indonesia in Isbat Hearings. The reference approachment for sundial time measurement which refers to the fardhu/obligatory praying times can be applied for Hilal visibility criteria (the height of the moon) from the Hilal monitoring in other locations.
Keywords: Sama Tribe Method, Likkas Silapas, Likkas Boe; Manzil Method, Peak; Joguru method; slackwater; critical time, Visibility Hilal
(8)
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
(9)
PENENTUAN AWAL BULAN BARU PENANGGALAN
HIJRIAH BERDASARKAN PENDEKATAN
ETHNOOCEANOGRAPHY DAN ETHNOASTRONOMY
S A L N U D D I N
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
(10)
Penguji pada Ujian Tertutup :
Prof. Dr. Ir. Thomas Djamaluddin, M.Sc (Kepala LAPAN) Dr. Ir. Agus Saleh Atmadipoera, DESS (FPIK – IPB)
Penguji pada Ujian Terbuka :
Prof. Dr. Ir. Thomas Djamaluddin, M.Sc (Kepala LAPAN) Dr. Ir. Agus Saleh Atmadipoera, DESS (FPIK – IPB)
(11)
(12)
(13)
PRAKATA
Puji syukur penulis sampaikan kepada kehadirat Allah SWT atas keridahanNya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Salawat dan salam ditujukan kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah memberikan suritauladan serta tuntunannya guna mengetahui kebenaran yang dibawanya.
Disertasi ini merupakan akumalasi pencarian ide yang dilakukan sejak tahun 1989, sekaligus menjadi topik dari diskusi lepas dengan beberapa narasumber. Diskusi kelompok maupun pribadi dengan rekan-rekan (majelis) di Ternate, masyarakat di Pulau Tidore dan Pulau Muna tentang laut dan kearifan lokal mereka. Salah satu bentuk pengetahuan “Astronomy praktis” yang sangat menarik dari Suku Sama (Orang Bajo) adalah penentuan tanggal sistem Hijriah dengan pengamatan bagian bulan yang bercahaya. Aplikasi “Astronomy praktis” tersebut juga mampu menerjemahkan dinamika pasang surut yang berkembang. Pemaknaan kondisi pasang surut yang berkembang oleh Orang Bajo memiliki arti tersendiri dan pemaknaan tersebut masih berlangsung hingga saat ini.
Masyarakat di Maluku Utara juga memiliki pemahaman dan pemaknaan dinamika pasang surut dan penanggalan Hijriah yang sama dengan masyarakat Suku Bajo. Beberapa masukan dari para imam masjid besar Tidore (Joguru) dan sesepuh di Ternate dan Tidore sangat membantu dalam pengembangan alur pikir komprehensif dalam menerjemahkan fenomena alam. Kebiasan pemantauan bulan oleh para imam masjid besar Kesultanan Tidore terdahulu selalu disertai dengan pembacaan tanda alam lainnya termasuk pasang surut, selanjutnya hasil pengamatan disesuaikan dengan penanggalan Hijriah. Pengetahuan lokal masyarakat tersebut memberi informasi waktu sekaligus menjadi ide dasar dari penelitian ini. Kesulitan dalam menjelaskan secara ilmiah dari nilai-nilai kearifan lokal mereka menjadi tantangan tersendiri, dimana “rana berfikir” cenderung memasuki “ruang keyakinan/Hikmah/Iman”. Salah satu pemikiran dasar pola pikir mereka adalah “segala sesuatu mengenai waktu mempunyai tanda alam yang spesifik” dengan makna “waktu adalah bayangan” yang menyertai obyek.
Penelitian ilmiah pasang surut merupakan topik pernelitian yang sudah lama dilakukan. Penelitian difokuskan pada perubahan angka-angka tinggi air dari pergerakan pasang dan surut maupun tipe pasang surut yang dihasilkan dari pola harmoniknya di suatu wilayah. Perubahan posisi benda angkasa pada siklusnya masing-masing (bulan dan matahari) memberikan variasi sistem waktu di bumi sekaligus variasi pergerakan pasang surut. Disertasi ini memberi penjelasan ilmiah dalam menerjemahkan pergerakan pasang surut dan penanggalan Hijriah. Secara spesifik bagian disertasi ini menguraikan dua hal utama yakni :
1. Penjelasan ilmiah dari kearifan lokal (ethnooceanography) dari masyarakat Suku Sama dan masyarakat Tidore serta masyarakat Muna, Buton dan Bugis, terhadap pergerakan bulan dan pasang surut sebagai Ethnoastronomy.
2. Pengembangan aplikasi kearifan lokal masyarakat dalam mengindentifikasi karakter pasang surut dan penanggalan Hijriah, yang selanjutnya digunakan dalam mempredikasi awal bulan baru penanggalan Hijriah.
Penelitian ini mendapat masukan dari berbagai pihak. Ide positif maupun saran “kehati-hatian” dalam pengembangan/aplikasi hasil penelitian dan antisipasi kendala yang dihadapi. Dorongan semangat (emosional ilmiah) yang sangat berharga berasal dari imam mesjid besar Tidore dan sesepuh di Maluku Utara serta
(14)
dari dosen komisi pempimbing. Doa dan dorongan semangat dan perhatian yang sangat berarti selama ini, berasal orang tua penulis Bapak (Alm) L. Salesy dan ibu Waode Onu dan juga berasal dari kedua mertua (Hi. Hadi Is Malaka dan Ibu Ummy Fabanyo) dengan penuh Doa dan keikhlasan mereka. Hal yang sama juga berasal dari istri (Halima Malaka) dan keluarga besar di tanah Muna dan Tidore.
Selama penelitian hingga penulisan disertasi mendapat banyak masukan dan bantuan yang berasal dari berbagai pihak dengan tujuan untuk mewujudkan ide penelitian ini. Oleh karena itu ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Civitas akademika Universitas Khairun dan IPB atas isin dan kesempatan untuk
melanjutkan pendidikan program doktor, juga kepada Pihak DIKTI yang memberikan bantuan biaya pendidikan melaui BPP-DN- 2012.
2. Komisi pembimbing Bapak Dr. Ir. Iwayan Nurjaya, M.Sc; Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc dan Dr. Ir. Nyoman M.N Natih, M.Si maupun komisi penguji luar komisi saat ujian prakualifikasi maupun staf dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan atas masukan dalam penyempurnaan topik desertasi ini. Kepada Bapak Dr. Ir. Agus Soleh Atmadipoera, DESS, Dr. Ir. Jhon Pariwono dan Bapak Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc atas masukan dalam penyempurnaan penulisan disertasi ini saat mata kuliah Topik Khusus.
3. Penguji luar komisi ujian tertutup dan terbuka, Bapak Prof. Thomas Djamaluddin, M,Sc dan Dr. Agus Saleh Atmadipoera, DESS dan pihak Program studi Ilmu Kelautan dan Pimpinan FPIK-IPB atas masukan dalam penyempurnaan penulisan disertasi serta prospektif untuk penilitian lanjutan. 4. Para hakim sara “Joguru” masjid Baitul Makmur Kelurahan Toloa, Keluarga
besar Bapak (Alm) Imam Habib Fabanyo, Hasanuddin Abbas Malagapi, Bapak Jafar Limatahu, Bapak (Alm) Jailani Suaib (Syarifudin/Suwohi Cina) atas informasi dan diskusi-diskusinya selama ini.
5. Terima kasih yang setinggi tingginya untuk Sultan Tidore yang mulia Jou Sultan Husain Syah atas isin penggunaan nama Kesultanan Tidore dan juga kepada Perdana Menteri (Ja Jou) Hi Masmin Faruk atas diskusi-diskusinya. 6. “Khalifah Jafar” dan om Ade sekeluarga atas informasi dan uraian “ilmu
hikmah/ilmu Insan” dalam mengantar penulis untuk mendefenisikan fenomena alam (pengetahuan lokal) dalam bingkai ibadah dan science.
7. Keluarga besar Bapak (Alm) Silapas dan Drs. Hi. Muhsin Hafel serta responden lainnya atas pengetahuan dan diskusi praktis dalam memahami fenomena alam. 8. Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Progaam Studi IKL dan TEK
Departemen ITK-FPIK IPB atas kebersamaannya selama ini.
Tidak ada kata yang indah dan kemampuan untuk membalas semua jeripayah mereka, kecuali dengan ucapan terima kasih banyak dan doa semoga apa yang diberikan selama ini, dijadikan amal jariah oleh Allah SWT. Dengan mengembalikan segala ilmu dan kebenaran pengetahuan hanya milikNya, semoga disertasi ini dapat memenuhi fungsinya.
Bogor, September 2016
(15)
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iv
DAFTAR LAMPIRAN vi
DAFTAR ISTILAH viii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Ruang Lingkup Penelitian 3
Kerangka Pemikiran 4
Tujuan Penelitian 5
Manfaat Penelitian 6
Novelty/kebaharuan 6
2 METODE UMUM 7
Lokasi dan Waktu Penelitian 7
Informasi dan Narasumber (Responden) 7
Data Pasang Surut 8
Alat Penelitian 9
Pra-Pengolahan data pasang surut 9
Pendekatan dan Kerangka Analisis 10
Analisis Data 13
3 VARIASI AMPLITUDO KONSTITUEN HARMONIK PASANG SURUT UTAMA BERDASARKAN PENANGGALAN MASEHI
DAN HIJRIAH 17
Pendahuluan 18
Metode Penelitian 19
Hasil dan Pembahasan 20
Simpulan 29
4 ETHNOOCEANOGRAPHY SUKU SAMA DALAM
PERHITUNGAN TUNGGANG AIR PASANG SURUT 30
Pendahuluan 31
Metode Penelitian 33
Hasil dan Pembahasan 34
Simpulan 46
5 PERSAMAAN LIKKAS SILAPAS TERHADAP RASIO
AMPLITUDO KONSTITUEN HARMONIK PASANG SURUT
DAN VARIASI TUNGGANG AIR 47
Pendahuluan 48
(16)
Hasil dan Pembahasan 50
Simpulan 58
6 KARAKTER PERGERAKAN PASANG SURUT TERHADAP
POSISI BULAN DENGAN METODE MANZILAH 59
Pendahuluan 59
Metode penelitian 62
Hasil dan Pembahasan 62
Simpulan 74
7 FORMULASI PENENTUAN AWAL BULAN BARU HIJRIAH
OLEH JOGURU KESULTANAN TIDORE 75
Pendahuluan 76
Metode Penelitian 77
Hasil dan Pembahasan 79
Simpulan 88
8 PARAMETER PASANG SURUT PENENTU AWAL BULAN BARU RAMADHAN DAN SYAWAL BERDASARKAN
METODE JOGURU 89
Pendahuluan 90
Metode Penelitian 90
Hasil dan Pembahasan 93
Simpulan 106
9 WAKTU KRITIS PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIAH
BERDASARKAN METODE JOGURU 107
Pendahuluan 107
Metodologi penelitian 108
Hasil dan Pembahasan 109
Simpulan 119
10 PEMBAHASAN UMUM 120
Variasi amplitudo dan rekonstruksi pergerakan pasang surut 120 Metode Suku Sama dan Metode Manzillah. 122
Metode manzillah dan Metode Joguru 123
Ijtimak dan indikator awal bulan baru Hijriah dengan Metode
Joguru 125
Solusi penentuan awal bulan baru Hijriah di Indonesia 130
11 SIMPULAN DAN SARAN 132
Simpulan 132
Saran 133
DAFTAR PUSTAKA 134
LAMPIRAN 141
RESPONDEN/NARASUMBER 165
(17)
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Parameter dan diskripsi dari Ephimeris Time (ET) 10 Tabel 2.2 Persamaan perhitungan parameter grafik distribusi normal
(Gaussian) 16
Tabel 3.1 Tabulasi penyesuaian waktu penanggalan Masehi dan
Hijriah 20
Tabel 3.2 Nilai ANOVA untuk 10 konstituen harmonik terhadap fase
bulan dari data awal penanggalan Masehi. 28 Tabel 3.3 Nilai Least Mean Square amplitudo konstituen harmonik
dengan susunan data awal berdasarkan fase bulan. 28 Tabel 4.1 Nilai amplitudo konstituen harmonik pasang surut dan
tunggang airnya pada bulan Sya’ban di Stasiun Bitung. 36 Tabel 4.2 Nilai korelasi (R2) antara jarak (rata-rata) matahari dan bulan
dengan stasiun data terhadap nilai LB di siang dan malam
hari. 40
Tabel 4.3 Selisih LS terhadap MHWL Stasiun Bitung pada fase bulan
purnama di bulan Sya’ban 42
Tabel 5.1 Rekapitulasi amplitudo konstituen harmonik pasang surut. 51 Tabel 5.2. Nilai tunggang air MHWL dan HHWL di Stasiun Bitung 52 Tabel 5.3 Rata-rata dan selisih amplitudo konstutien harmonik pasang
surut perbulan Hijriah di Stasiun Bitung 54 Tabel 5.4 Selisih amplitudo konstituen harmonik bulan Sya’ban 55 Tabel 5.5 Anova untuk Variabel MHWL dan HHWL 57 Tabel 6.1 Periode revolusi bulan (siklus jangka panjang) 66 Tabel 6.2 Beda tinggi air (LB) pada peak I dan II di awal bulan
Hijriah 70
Tabel 6.3 Variasi waktu terjadinya slackwater berdasarkan fasa bulan
di bulan Ramadhan di Stasiun Bitung 72
Tabel 6.4 Anova pengaruh posisi bulan (Dec/RA) terhadap nilai LB
pada peak I dan II 74
Tabel 6.5 Anova deklinasi bulan terhadap LB peak I dan peak II 74 Tabel 7.1 Rekapitulasi selisih waktu moonset dan sunset pada H-1 di
Tidore (1400 – 1434 H) 80
Tabel 8.1 Waktu masuknya bulan Ramadhan dan Syawal untuk jenis
kalender yang berbeda 93
Tabel 8.2 Jumlah hari dalam bulan Ramadhan berdasarkan
perhitungan dan kalender yang berbeda. 94 Tabel 8.3 Parameter distribusi normal pergerakan pasang surut peak II
di Stasiun Bitung 96
Tabel 8.4 Nilai Least Square pengaruh variasi tinggi pada kondisi A
dan kondisi B. 100
Tabel 8.5 Nilai Least Square mean parameter Gaussian sebagai
indikator awal bulan baru terhadap tinggi air 100 Tabel 8.6 NIlai koefisien determinasi parameter Gaussian dan
(18)
Tabel 8.7 Nilai LS means untuk indikator penentu awal bulan baru
Ramadhan dan Syawal 102
Tabel 8.8 Log determinants dan uji kesamaan Box’s M hari pemantuan terhadap kelompok penciri masuknya bulan
ramadhan dan Syawal 103
Tabel 8.9 Wilks' Lambda kelompok 1 dan 2 pada bulan Ramadhan dan
Syawal 104
Tabel 8.10 Stepwise statistic untuk nilai variable kelompok 1 dan 2 104 Tabel 8.11 Analisis antar kelompok (1 dan 2) untuk bulan Ramadhan
dan Syawal 105
Tabel 8.12 Eigen values kelompok variable dengan indikator nilai median dan slackwater sebagai penciri awal bulan baru
Hijriah. 106
Tabel 9.1 Selisih waktu slackwater terhadap waktu moonset 111 Tabel 9.2 Selisih waktu slackwater terhadap waktu shalat Ashar 112 Tabel 9.3 Penyesuaian tanggal masuknya bulan Sya’ban, Ramadhan
dan Syawal indikator waktu slackwater (tsw). 117
Tabel 10.1 Perbandingan nilai residu hasil rekonstruksi pasang surut 121
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Diagram alir perumusan masalah 4
Gambar 1.2 Diagram alir kerangka penelitian 5 Gambar 2.1 Peta Lokasi penelitian Stasiun Bitung 7 Gambar 2.2 Rasi bintang 7 [A] dan grafik pola distribusi normal
pergerakan pasang surut [B] 12
Gambar 2.3 Bagan alir analisis data penelitian 13 Gambar 3.1 Amplitudo rata-rata 10 konstituen harmonik utama [A]
dan berdasarkan data awal pasang surut penanggalan
Masehi terhadap fase bulan [B] 21
Gambar 3.2 Amplitudo rata-rata dan deviasi amplitudo konstituen
harmonik utama komponen ganda M2, S2, K2 dan N2. 22
Gambar 3.3 Amplitudo rata-rata dan deviasi konstituen harmonik
utama komponen tunggal O1, P1, K1 dan Q1. 24
Gambar 3.4 Variasi bulanan amplitudo dan deviasinya untuk
konstituen harmonik utama komponen lokal 25 Gambar 3.5 Variasi tunggang air berdasarkan penanggalan Masehi
dan Hijriah di Stasiun Bitung. 27
Gambar 4.1 Illustrasi pengukuran tunggang air pasang surut dengan
MSS 33
Gambar 4.2 Profil pergerakan pasang surut di Stasiun Bitung pada
tanggal 14, 15 dan 16 Sya’ban. 35
Gambar 4.3 Variasi nilai konstituen harmonik pasang surut (O1 + K1
(19)
v
Gambar 4.4 Variasi rata-rata minimum [A] dan rata-rata maksimum [B] tinggi air terhadap mean sea level (MSL) saat fase
bulan baru dan bulan purnama 37
Gambar 4.5 Variasi nilai LB untuk fase bulan baru [A] dan bulan
purnama [B] 39
Gambar 4.6 Kecendrungan garis nilai LB dan Trajectory dari jarak matahari dan bulan di Stasiun Bitung pada tanggal 14,
15 dan 16 Sya’ban. 39
Gambar 4.7 Korelasi jarak matahari dan bulan terhadap nilai LB-s
pada tanggal 15 Sya’ban 41
Gambar 4.8 Variasi tinggi air dan nilai LS di stasiun Bitung pada fase bulan baru (baris atas) dan bulan purnama (baris bawah).
43
Gambar 4.9 Nilai deviasi LS di Stasiun Bitung pada fase bulan baru
(baris atas) dan fase purnama (baris bawah). 43 Gambar 4.10 Korelasi LS terhadap rasio beda tinggi air pasang surut
(LB) 44
Gambar 4.11 Variasi nilai LS diwaktu pengukuran siang (LS-s) dan
malam (LS-m) tiap bulan Hijriah di Stasiun Bitung. 45 Gambar 5.1 Distribusi nilai amplitudo rata-rata konstituen harmonik
utama berdasarkan penanggalan Hijriah [A] dan Masehi
[B] untuk perhitungan tunggang air di Stasiun Bitung. 52 Gambar 5.2 Variasi tinggi pada 15 Sya’ban terhadap nilai tunggang
air (HHWL). 53
Gambar 5.3 Sebaran nilai tungang air (A) MHHWL dan (B) HHWL 56 Gambar 5.4 Sebaran nilai least square mean dari nilai MHHWL dan
HHWL Stasiun Bitung. 57
Gambar 6.1 Posisi bintang penyusun Rasi Bintang 7 (RB7) 61 Gambar 6.2 Pemaknaan RB7 dan sudut antar bintang 63 Gambar 6.3 Variasi perubahan posisi (RA/DE) rata-rata perbulan
dan pertahun (1400 H -1434 H). 64
Gambar 6.4 Pola Deklinasi (Dec) bulan [A] dan Right Ascension (RA) bulan [B] serta posisi bulan Muharram [C] pada
periode 1400 H – 1434 H. 65
Gambar 6.5 Posisi bulan selama 1/4 siklus jangka panjang untuk
bulan Muhararam [A] pada posisi RA/Dec Bumi [B] 67 Gambar 6.6 Illustrasi posisi bulan dan bumi terhadap RB7 dan
penanggalan Hijriah 67
Gambar 6.7 Variasi harian dan fase bulan pergerakan pasag surut 71 Gambar 6.8 Sebaran Tingi air LB I/LB II terhadap posisi bulan
(RA/Dec) 73
Gambar 7.1 Illustrasi teknik pemantauan awal bulan Ramadhan dan
Syawal oleh Joguru di Kesultanan Tidore 77 Gambar 7.2 Peta lokasi Ethnooceanography Kesultanan Tidore. 78 Gambar 7.3 Variasi waktu terbenamnya matahari (sunset) dan
terbitnya bulan (moonset) di wilayah Tidore dan
(20)
Gambar 7.4 Illustrasi penentuan tinggi bulan (sudut) untuk jam pengamatan tertentu terhadap referensi waktu tertentu
(Waktu Lokal). 82
Gambar 7.5 Illustrasi penentuan kondisi dan waktu konjungsi
(ijtimak) dari Metode Joguru 83
Gambar 8.1 Variasi waktu terbenamnya matahari (sunset) dan terbitnya bulan (moonset) di wilayah Bitung dan
sekitarnya 91
Gambar 8.2 Tahapan analisis dan interpolasi bilinear waktu
slackwater. 92
Gambar 8.3 Waktu terbaik pemantauan Hilal terhadap waktu shalat Magrib untuk wilayah Tidore [A] dan [B], Bitung dan sekitarnya [C] serta selisih antara waktu terbaik
pemantauan terhadap waktu shalat Magrib [D] 95 Gambar 8.4 Fluktuasi waktu terjadinya slackwater sebelum
masuknya bulan Ramadhan dan bulan Syawal di wilayah
Bitung 97
Gambar 8.5 Variasi delta tsw berdasarkan referensi penanggalan yang
berbeda 99
Gambar 8.6 Analisis Komponen Utama (PCA) hubungan parameter Gaussian dan Slackwater dengan bulan baru Ramadhan
dan Syawal 102
Gambar 9.1 Skema penentuan waktu kritis dari Metode Joguru 109 Gambar 9.2 Sebaran waktu slackwater I (atas) dan waktu slackwater
II (bawah) terhadap waktu Shalat fardhu dan tanggal
dalam bulan Hijriah di Bitung dan sekitarnya 110 Gambar 9.3 Illustrasi waktu kritis penentuan awal bulan baru Hijriah
dengan Metode Joguru 113
Gambar 9.4 Geometrik dasar indikator untuk prediksi awal bulan
baru. 114
Gambar 9.5 Crescent visibility pada tanggal 1 Februari 1995 118 Gambar 10.1 Model pergantian hari dalam penanggalan Hijriah
berdasarkan pergerakan pasang surut 123 Gambar 10.2 Proyeksi lokasi abu-abu (gray area) ketampakan Hilal 125 Gambar 10.3 Illustrasi kondisi ijtimak dan karakteristik pasang surut 126 Gambar 10.4 Mekanisme penentuan lokasi dan waktu optimum
pemantauan Hilal berdasarkan referensi waktu
terjadinya slackwater dari pergerakan pasang surut. 129
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Jumlah hari sistem penanggalan Hijriah dan Masehi 141 Lampiran 2 Rekapitulasi data pasang surut Stasiun Bitung 141 Lampiran 3 Ketersediaan data dan distribusinya berdasarkan tahun
(21)
vii
Lampiran 4. Periode dan frekuensi 10 komponen harmonik pasang
surut utama 142
Lampiran 5 Amplitudo rata-rata 10 konstituen utama pasang surut
(Stasiun Bitung) 142
Lampiran 6. Fase 10 konstituen utama pasang surut berdasarkan
penanggalan Hijriah 143
Lampiran 7. Amplitudo 10 konstituen utama berdasarkan
penanggalan Masehi 144
Lampiran 8 Fase 10 konstituen utama berdasarkan penanggalan
Masehi 144
Lampiran 9 Posisi bintang penyususn RB7 dan sudut masing-masing
bintang terhadap bintang monoceros 145 Lampiran 10 Profil nilai Likkas Boe (LB) untuk data time series 146 Lampiran 11 Profil deklinasi bulan periode 1400 H – 1434 H 146 Lampiran 12 Pola perubahan hari dan profil pasang surut pada tanggal
1 dan 15 dari kedua sistem penanggalan. 147 Lampiran 13 Selisih tsw I dan moonset pada bulan Ramadhan 1407 H 147
Lampiran 14 Variasi tinggi air pasang surut berdasarkan bulan dan
tahun Hijriah 148
Lampiran 15 ANOVA posisi bulan terhada beda tinggi air data series
(LB) pada peak I dan II awal bulan Hijriah. 149 Lampiran 16 Analisis statistic penentuan penciri awal bulan baru
Hijriah dari Metode Joguru 150
Lampiran 17 Dalil yang terkait dengan penentuan awal bulan Hijriah
(Hilal) 151
Lampiran 18 Tafsir Jalalain terhadap QS Al-Baqarah (02):189 152 Lampiran 19 Kondisi lokasi penerapan Metode Joguru. 153 Lampiran 20 Fluktuasi tinggi air pasang surut awal bulan Ramadhan
[A] dan pada awal bulan Syawal [B] di Stasiun Bitung 154 Lampiran 21 Variasi tinggi air pasang surut pada bulan Ramadhan dan
Syawal di Stasiun Bitung. 155
Lampiran 22 Variasi waktu moonset dan sunset di Stasiun Bitung. 155 Lampiran 23 Grafik pola distribusi normal pada analisis metode
Joguru 156
Lampiran 24 Rekapitulasi waktu slackwater di bulan Ramadhan dan
Syawal. 158
Lampiran 25 Waktu terjadinya slackwater (tsw), moonset serta waktu
shalat Ashar dan Magrib untuk 3 bulan Hijriah 159 Lampiran 26 Waktu masuknya bulan baru Ramadhan dan Syawal
serta metode penentuannya 160
Lampiran 27 Rekonstruksi pasang surut dengan 5 konstituen
harmonik (O1, K1, N2, M2 dan S2) 161
Lampiran 28 Sebaran nilai residu hasil rekonstruksi pasang surut dari
5 konstituen harmonik (O1, K1, N2, M2 dan S2) 162
Lampiran 29 Sebagian dari hasil perhitungan T_Tide untuk nilai
(22)
Akebai : Bahasa Tidore (Ake = air, dan Bai = gali); Sumber air tawar yang terdapat di pantai, umumnya dibuat dalam bentuk sumur (kolam) yang digali untuk menampung air tawar.
Aspek Hilal : Merujuk pada maksud Djamaluddin (2009); yang selanjutnya didefenisikan sebagai indikator dari fenomena yang dapat menjadi penciri masuknya bulan baru Hijriah. Dalam pendekatan astronomy aspek Hilal adalah bulan sabit tipis pertama (first new cresent) sedangkan pada Metode Joguru waktu terjadinya slackwater.
Bulan baru Hijriah : Tanggal 1 bulan Hijriah berjalan
Bulge : Bahasa Inggris yaitu tonjolan dipermukaan bumi akibat gaya tarik bulan dan matahari sebagai gaya gravitasional dan rotasi bumi dengan gaya centripetal dalam membangkitkan pasang surut (Pugh 1996).
Doelamo : Bahasa Tidore (Doe = tanjung, dan lamo = besar); Nama tempat pemantaun awal bulan baru Hijriah dengan Metode Joguru. Lokasi Doelamo berada pada kelurahan Toloa kec. Tidore Selatan - Kota Tidore Kepulauan (Maluku Utara)
Ethnoastronomy : Baity et al. (1973) mendefeniskan sebagai istilah yang mengkaji aspek astronomy dari kebiasaan masyarakat, interpretasi benda-benda kuno bidang astromony dengan tujuan merekonstruksi peradaban, teknik astronomi dan penentuan waktu ritual/ibadah. Secara sederhana Ethnoastronomy adalah Pengetahuan lokal masyarakat tentang perbintangan (astronomy) dan maknanya untuk membaca fenomena alam guna perencanaan aktifitas keseharian (Ruggles 2015).
Ethnooceanography : Gasalla & Diegues (2011) mendefenikannya, sebagai suatu kajian kemasyarakatan (ethno) tentang fenomena lingkungan dan interaksi masyarakat dengan kehidupan makhluk hidup atau cara masyarakat berinteraksi dengan lingkungan laut
Fase Bulan baru : Periode waktu (tanggal) bulan berada pada fase bulan baru/bulan mati yang waktunya 3 hari sebelum dan sesudah konjungsi/ijtimak dari bulan, bumi dan matahari.
Fitting data : Suatu proses pencocokan data sehingga penggambaran visual dari data hasil observasi mendekati kesesuaian (Thomson & Emery 2014).
Gimalaha : Bahasa Tidore (Gi = Orang atau kelompok orang; Malaha = lurus dan “besar”) adalah kelompok masyarakat yang merupakan bagian dari Kelembagaan Kesultanan Tidore (12 Gimalaha), mereka mempunyai hak mengusulkan calon Sultan di Kesultanan Tidore.
Harmonik pasang surut : Respon dari perairan laut terhadap pergerakan benda langit sangat dipengaruhi oleh gaya-gaya gravitasi yang bekerja sehingga ketepatan model harmonik yang dikembangkan akan
(23)
ix
dipengaruhi oleh frekuensi astronomisnya serta gaya gravitasi benda langit (Boon 2006).
Hisab : Bahasa arab (Hisab = perhitungan); dalam disertasi ini hisab terkait dengan penentuan awal bulan baru Hijriah. Hisab adalah kegiatan perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan awal bulan pada kalender Hijriyah (DEPAG 2013).
Ijtihad : Upaya menyelesaikan persolan yang tidak dibahas secara jelas dalam dalil-dalil (Al-quran dan Hadits) terhadap suatu hokum (Nuruddin & bin Khattab 1987). Ijtihad pada bagian ini adalah tentang penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal oleh Joguru Tidore dengan tidak menggunakan indikator ketampakan Hilal hari awal bulan baru Hijriah.
Ijtimak : Bahasa arab (ijtimak = konjungsi) posisi bulan-bumi-matahari berada pada pada kedudukan/bujur astronomi yang sama ((Ilyas 1994)
Ilmu Falak : Bahasa arab (Falak = orbit atau lintasan benda-benda langit). adalah ilmu yang mempelajari lintasan benda-benda langit-khususnya bumi, bulan, dan matahari-pada orbitnya masing-masing dengan tujuan untuk diketahui posisi benda langit antara satu dengan lainnya, agar dapat diketahui waktu-waktu di permukaan bumi (DEPAG 2013).
Imkanur rukyat : Batas minimal Hilal memungkinkan dilihat dengan pengamatan mata. Di Indonesia, batas tersebut yang semetara ini adalah 20
(dua derajat). Bila masih di bawah ketinggian 20 (dua derajat)
ini, berarti secara teoritis Hilal mustahil diamati dengan mata. Sebaliknya bila lebih, maka secara teoritis Hilal sudah memungkinkan untuk diamati dengan mata (Azhari 2005). Istikmal : Bahasa arab yang menurut DEPAG (2013)berarti pembulatan
atau disempurnakan jumlah hari. Sistem ini adalah usaha melihat Hilal dengan mata biasa dan dilakukan secara langsung atau dengan menggunakan alat yang dilakukan setiap akhir bulan atau tanggal 29 di ufuk barat saat matahari terbenam. Jika Hilal berhasil dilihat, sejak malam itu dihitung tanggal satu bulan baru, tetapi jika tidak berhasil di ru'yat maka malam dan esok harinya masih bulan yang sedang berjalan, sehingga umur bulan disempurnakan (istikmal) 30 hari.
Kearifan lokal : Kematangan masyarakat ditingkat komunitas lokal yang tercermin dalam sikap, perilaku dan cara pandang masyarakat yang kondusif didalam mengembangkan potensi dan sumber lokal (material dan non material) yang dapat dijadikan sebagai kekuatan didalam mewujudkan perubahan kearah yang lebih baik atau positif. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kebenaran : didefeniskan oleh Suriasumantri (1984), Kebenaran adalah satu
nilai utama (landasan) dalam kehidupan manusia untyuk bertindak dan berfikir sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu
(24)
kebenaran.dibatasi pada kekhususan makna "kebenaran keilmuan (ilmiah)". Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau konsistensi atau bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan suatu pendekatan.
Kebenaran agamis : Kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan seseorang. Makna kata kebenaran agamis dalam disertasi ini mengikuti makna yang dimaksud oleh Djamaluddin (2009) sebagai kesesuaian aspek syarii, yaitu kebenaran yang didasarkan pada dalil Firman dan Hadits. Kebenaran filosofi,: Secara sederhana dapat diartikan sebagai kebenaran yang
diperoleh melalui berpikir logis, sistematis sebagai bagian dari hikmah dari sesuatu yang dipikirkan (Anshari 2009).
Kebenaran matematis: Kebenaran yang harus dapat dijelaskan secara matematis/perhitungan (Anshari 2009).
Konstituen harmonik pasang surut : Setiap konstanta mewakili suatu nilai osilasi yang dikenal dengan frekuensi astronomis (frequency of astronomical origin). Masing-masing frekuensi tersebut mewakili satu osilasi pergerakan benda langit sebagai suatu gaya gravitasi yang membangkitkan massa air (Thomson & Emery 2014).
Konstituen harmonik utama : didefenisikan sebagai konstituen yang memberi pengaruh terbesar terhadap tinggi air pasang surut dari pengaruh frekuensi astronomy . Frekuensi astronomy sebagai suatu osilasi dari pengaruh benda langit dan menghasilkan gaya gravitasi. (Thomson & Emery 2014).
Kurtosis : Derajat kepuncakan/keruncingan suatu distribusi dari distribusi normal nya (Hadi 1998). ukuran keruncinga adalah suatu besaran yang digunakan untuk menentukan apakah sekumpulan data derajat kepuncakan leptokutik (lancip), normal atau platikurtik (tumpul) Tingkat keruncingan suatu kurva (kurtosis) memiliki 3 jenis, yaitu : leptokurtis (puncak relatif tinggi); mesokurtis (puncak normal) dan platikurtis (puncak relatif rendah)
Least Square : Suatu metode perhitungan kuadrat terkecil yang akan menghasilkan suatu nilai minimum dari selisih jumlah kuadrat dari suatu nilai observasi, perhitungan untuk menghasilkan nilai deviasi yang kecil antara hasil perhitungan dan model yang dibangun.
Least square fit: merupakan salah satu metode Least square dengan melakukan.fiting data yang digunakan dalam analisis harmonik komponen pasang surut.
Likkas boe (LB) :Bahasa Suku Sama/Bahasa Bajo (likkas boe = batas air) yang dinotasilan sebagai delta (LB) yang berarti selisih tinggi air maksimum dan minimum (LBp – LBn).
Likkas Boe pangngiri (LBn): Bahasa Suku Sama/Bahasa Bajo (likkas boe = batas air; Pangngiri = terendah), yang diartikan sebagai tinggi air
(25)
xi
minimum pada peak II yang terukur pada tanggal 15 Sya’ban. Likkas Boe pangngiri dinotasikan dengan LBn.
Likkas Boe pasolon (LBp) : Bahasa Suku Sama/Bahasa Bajo (likkas boe = batas air; Pasolon = tertinggi), yang diartikan sebagai tinggi air maksimum pada peak II yang terukur pada tanggal 15 Sya’ban. Likkas Boe pasolon dinotasikan dengan (LBp)
Likkas Silapas (LS) : Bahasa Suku Sama/Bahasa Bajo (likkas = batas air dan Silapas = nama orang), yang menjelaskan batas tinggi air maksimum (tunggang air) dengan perhitungan sederhana dari tinggi air terukur pada siang hari di tanggal 15 Sya’ban. Persamaan perhitungan tunggang air dengan Metode Suku Sama [LS = LBp +. (LB/3)].
LS-m dan LS-s : Nilai Likkkas Silapas (LS) yang dibangun dari nilai beda tinggi air (LB) pada peak I (malam hari) dengan notasi LS-m dan untuk peak II (siang hari) dinotasikan dengan LS-s
Mean : sebuah rata-rata dari data yang diperoleh berupa angka. Mean adalah "Jumlah nilai-nilai dibagi dengan jumlah individu" (Hadi 1998).
Median : sebagai sebuah pembatas yang membatasi suatu nilai menjadi dua bagian 50 persen. Secara sederhananya median adalah nilai tengah dari data-data yang terurut (Hadi 1998).
Memformulasikan : Setiawan (2012) mengartikannya dengan arti merumuskan atau menyusun dalam bentuk yang tepat.
Metode Joguru : Cara Joguru Kesultanan Tidore menentukan awal masuknya bulan baru Hijriah melalui pemantauan pergerakan air di akebai. Metode Joguru disingkat dengan MJ
Metode Manzillah (MM) : Metode yang digunakan oleh “Suku Pelaut” menentukan bulan dan tahun Hijriah melalui proyeksi perubahan posisi bumi dan bulan (RA/Dec) terhadap Rasi Bintang 7 (RB7).
Metode Suku Sama (MSS):Metode perhitungan tunggang air pasang surut yang dilakukan oleh Suku Sama (Orang Bajo) dengan pengukuran dilakukan saat 15 Sya’ban.
MHWL dan HHWL :Mean Highest Water Level (MHWL) dan High Highest Water Level (HHWL) yaitu nilai tunggang air yang ditentukan dengan nilai amplitudo konstituen harmonik pasang surut. Model harmonik : Pergerakan pasang surut dapat direpresentasikan oleh
penjumlahan dari konstituen harmoniknya, setiap konstanta mewakili suatu nilai osilasi yang dikenal dengan frequency of astronomical origin. Respon dari perairan laut terhadap pergerakan benda langit sangat dipengaruhi oleh gaya-gaya gravitasi yang bekerja sehingga ketepatan model harmonik yang dikembangkan dipengaruhi oleh frekuensi astronomisnya serta gaya gravitasi benda langit (Boon 2006).
Peak : Grafik pergerakan pasang surut membentuk pola distribusi normal (Gaussian) pada periode tertentu, untuk tipe pasang surut semi diurnal terjadi dua kali pasang dan dua kali surut yang membentuk 2 grafik pola Gaussian. Pola pertama (peak I) terjadi dimalam hari dan peak II disiang hari.
(26)
Pele : (Bahasa Muna) yang artinya Rasi Bintang 7 (RB7)
Perigee dan Aperigee : titik terdekat bumi terhadap bulan akibat lintasan orbit Bulan pada Bumi berbentuk elips, sedangkan jarak terjauh disebut dengan Aperigee (Pugh 1996)
Periode Kritis : Lamanya waktu pengamatan pergerakan titik balik pasang surut air (slackwater) yang mencirikan masuknya bulan baru Hijriah. Phase lag : didefinisikan sebagai nilai relatif dari fase harmonik dengan fase pasut setimbangdimana kedua berada dalam kecepatan angular yang sama (Pugh 1996).
Rasi Bintang 7 (RB7) : Bagian dari Rasi bintang Monoceros (Rasi Unicornis) yang terdiri dari 7 bintang yakni bintang α monocerotis; monocerotis; monocerotis; ζ monocerotis; monocerotis; monocerotis dan bintang HIP 29151A. bintang ini dijadikan rujukan oleh “suku pelaut” untuk menentukan bulan dan tahun dalam penanggalan Hijriah dan tinggi air pasang surut.
Rasio Silapas (LB/3): Nilai spesifik dari perhitungan Likkas Sipas (LS), pembagian tiga bagian dari selisih tinggia air (LB) yang ditambahkan pada nilai tinggi air maksimu/Likkas Boe pasolon (LBp). Rasio ini mempunyai kesamaan selisih amplitudo konstituen harmonil bulan Sya’ban terhadap bulan lainnya. Rukyat : Bahasa Arab (adalah aktifitas mengamati visibilitas Hilal, yakni
penampakan bulan sabit yang nampak pertama kali (first new cresent) setelah terjadinya ijtimak/konjungsi (Azhari 2005). Sidang Isbat : Bahasa arab (isbat = penetapan dan penentuan) adalah sidang
penetapan dalil syar'i di hadapan hakim dalam suatu majelis untuk menetapkan suatu kebenaran atau peristiwa yang terjadi (Azhari 2005). Pada bagian ini Isbat dilakukan untuk penetapan tanggal 1 bulan Ramadhan dan Syawal.
Skwenness : Tingkat kemiringan suatu kurva merupakan ukuran kecenderungan mencengnya suatu kurva dari pemusatan data terhadap nilai rata-rata, modus dan mediannya
Slackwater : Illahude (1999) menyebutnya dengan istilah Pekala kelas, yaitu fenomena pergerakan balik pasang surut (pekala), dari surut ke pasang (posisi lembah) maupun dari pasang kesurut (posisi puncak). Untuk penelitian ini slackwater dimaksud adalah saat surut, dari surut ke pasang pada peak II (siang hari).
Suku Pelaut : adalah suku yang mengaplikasikan pergerakan pasang surut dalam menentukan waktu penanggalan hijriah maupun sebaliknya, yaitu Suku Muna/Buton, Suku Sama Suku Bugis dan Suku di Maluku Utara.
Tunggang air (tidal range) : Amplitudo maksimum yang diperoleh dari selisih nilai maksimum (tertinggi) dan minimum (terendah) pergerakan pasang surut yang terbentuk dalam satu siklus jangka panjang 18.6 tahun (IHO 2005)
Waktu kritis : Waktu pengamatan slackwater setelah Shalat Ashar, lamanya waktu kritis berlangsung antara 21 – 54 menit.
Waktu Slackwater : Waktu terjadinya titik balik pergerakan pasang surut dari kondsi surut bergerak pasang pada akhir peak II.
(27)
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hilal atau first new cresent merupakan fenomena alam yang sangat penting bagi umat Islam di seluruh dunia karena sangat berkaitan dengan waktu ibadah seperti Sholat, Puasa, dan Haji. Hilal merupakan kajian Astronomy (Falak) yang sangat disyaratkan ketampakannya di suatu wilayah. Ketampakan Hilal dari pemantauan Hilal (rukyatul Hilal) merupakan keputusan final penentuan awal masuknya bulan Hijriah terutama pada bulan Muharram, Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. Persoalan klasik yang sering terjadi dalam menentukan awal bulan Hijriah adalah mengutamakan hasil perhitungan (hisab) sebelum rukyatul Hilal dilakukan. Persoalan tersebut semakin rumit, jika Hilal tidak nampak, baik akibat posisi bulan dan matahari atau akibat gangguan cuaca yang tidak memungkinkan untuk melihatnya, selanjutnya dilakukan perhitungan (hisab) dan dibahas pada sidang Isbat. Pada sidang tersebut sering terjadi perdebatan panjang akibat tidak adanya titik temu kriteria ketampakan Hilal (tinggi/sudut bulan) dari metode hisab yang dibangun dalam masing-masing ormas Islam (DEPAG 2013). Terkait dengan metode hisab (Azhari 2010) menyebutkan terdapat 28 referensi dalam kajian ilmu Falak berdasarkan pendekatan astronomy yang berkembang di Indonesia dan Malaysia dalam menjelaskan tentang Hilal.
Ketampakan Hilal merupakan indikator masuknya hari pertama dalam bulan Hijriah, Hilal akan nampak setelah terjadinya konjungsi atau Ijtimak, yaitu posisi bulan bumi dan matahari berada pada satu garis lurus. Penanggalan Hijriah sering juga disebut dengan penanggalan Qomariah, namun dalam disertasi ini menggunakan nama penanggalan Hijriah. Penanggalan ini mengikuti pergerakan bulan (lunar system), sedangkan penanggalan Masehi atau goegorian didasarkan pada pergerakan matahari (solar system). Kedua penanggalan tersebut merupakan kalender Astronomy yang didasarkan pada pengamatan yang berkelanjutan dan dapat dilakukan perhitungan secara Astronomy. Kedua Penanggalan tersebut mempunyai jumlah bulan yang sama, namun berbeda dalam jumlah hari dalam setahun (Lampiran 1). Perbedaan utama keduanya pada waktu (jam) awal masuknya hari, pada penanggalan Masehi dimulai pada jam 00: 00 (jam 12 malam) waktu local (LT) sedangkan penanggalan Hijriah dimulai pada jam 18.00 LT (sebelum Shalat Magrib). Pergantian bulan pada penanggalan Hijriah ditentukan oleh penampakan Hilal (bulan sabit tipis), sedangkan pada penanggalan masehi tidak diketahui fenomena alam yang menunjukkan pergantian bulan.
Terkait dengan pergerakan bulan dan penanggalan Hijriah, Suku Sama (Orang Bajo) di Indonesia timur mempunyai cara tersendiri (kearifan lokal/local wisdom) dalam memahami pergerakan pasang surut dan penanggalan Hijriah. Pemahaman mereka diperlihatkan pada kegiatan konstruksi rumah tinggal dan alat tangkap pasif (sero tancap/Fish trap) terhadap perubahan tinggi air pasang surut (tunggang air/tidal range). Suku Sama adalah masyarakat nelayan, bermukim pada daerah pesisir maupun pulau-pulau kecil dengan kondisi perairan relatif tenang, disekitar daerah terumbu karang dan sedekat mungkin dengan sumber air tawar. Hal tersebut merupakan dari pola adaptasi mereka dengan lingkungan perairan laut untuk memenuhi kebutuhan hidup.
(28)
Selain Suku Sama, kearifan lokal tentang pergerakan pasang surut dan penanggalan Hijriah dijumpai juga pada masyarakat di Pulau Tidore. Masyarakat Tidore yang tidak terpisahkan dengan keberadaan dan kebesaran Kesultanan Tidore mempunyai pendekatan lain dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal. Mereka melakukan pengamatan pada sumur pantau (Akebai) dan bukan pada kehadiran bulan sabit tipis (first new cresent) atau Hilal. Kearifan lokal lainnya dilakukan pula oleh suku Bugis dan Muna/Buton yang selanjutnya dalam desertasi ini disebut dengan Suku Pelaut, menentukan waktu dalam penanggalan Hijriah dengan melakukan pengamatan posisi bulan terhadap bintang tertentu. Pengamatan tersebut diaplikasikan pada navigasi laut dan manajemen pelayaran.
Peredaran bulan terhadap bumi yang searah sangat diperhatikan dalam sistem penanggalan Hijriah (Suwarno (2007) dan Azhari (2005)). Selanjutnya, kearifan lokal suku di Indonesia timur dalam pemahamannya pada penanggalan Hijriah senantiasa dikaitkan dengan pergerakan pasang surut. Keterkaitan tersebut sangat beralasan akibat pergerakan pasang surut sangat dikontrol oleh pergerakan bulan dan matahari. Pugh (1996) mendefenisikan pasang surut sebagai pergerakan periodik yang berhubungan dengan amplitudo dan fase dari gaya geo-fisik dari pergerakan secara reguler dari sistem bulan (lunar system) dan sistem matahari (solar system) terhadap variasi gravitasional dipermukaan bumi. Variasi gravitasional berupa resultan gaya gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda angkasa terutama matahari dan bulan terhadap massa air dibumi berdasarkan perubahan waktu. Pergerakan periodik dari muka laut tersebut dominan dipengaruhi oleh gravitasi bulan mengelilingi bumi dan secara bersamaan dengan bumi mengelilingi matahari pada bidang edarnya masing-masing sebagai gaya pembangkit pasang (Bursa (1987); Lambeck (1975); Zahel (1997) dan Souchay et al. (2012)). Penelitian terbaru tentang tunggang air dengan menggunakan data minimal selama 25 jam melalui pendekatan model (hybrid) dilakukan oleh Byun & Hart (2015). Penelitian tersebut menunjukan adanya pengaruh yang kuat peredaran bulan dalam membentuk pola/ritmik pergerakan pasang surut dan dominan terfokus pada pada variasi tinggi air (amplitudo) dari pola harmonik pasang surut.
Ekuator merupakan daerah dipermukaan bumi yang menjadi bidang lintasan bulan dan matahari terhadap rotasi dan revolusi bumi. Gaya pembangkit pasang surut yang bekerja pada wilayah ekuator didominasi oleh pengaruh Astronomy (Vaniček (1973); Yoder et al. (1981) dan Souchay et al. (2012)) yang menyebabkan tinggi permukaan air di wilayah ekuator relatif lebih tinggi dibandingkan pada wilayah lintang tinggi (Rana & Mitra (1991) dan Wilson (2012). Kondisi pasang surut di wilayah ekuator juga memberi makna bahwa faktor non tidal di ekuator lebih kecil dibandingkan pada lintang tinggi.
Kearifan lokal dari Suku Sama dalam penentuan tunggang air, penentuan awal bulan baru Hijriah (Ramadhan dan Syawal) oleh para Juguru di Tidore serta dari “suku pelaut” merupakan sebuah nilai pengetahuan dalam memahami fenomena alam. Pemahaman mereka sangat erat kaitanya dengan pergerakan bulan (penanggalan Hijriah). Penjabaran aspek Astronomy (Falak), penanggalan Hijriah dan fenomena alam yang terjadi sangat mereka pahami sebagai bagian dari nilai-nilai keagamaan (religi). Nilai dari kearifan lokal tersebut berarti merupakan suatu pengetahuan yang “tinggi” dan memerlukan pembuktian dan pengkajian lebih jauh untuk pengembangannya ilmu pengetahuan serta menyelaraskan nilai sains dan Syarii (keagamaan).
(29)
3
Kearifan lokal masyarakat yang berkaitan dengan aspek kelautan disebut Ethnooceanography (Gasalla & Diegues 2011), sedangkan yang berkaitan dengan perbintangan disebut Ethnoastronomy (Ruggles 2015). Ethnooceanography dan Ethnoastronomy) yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia timur merupakan suatu pengetahuan yang sudah lama diaplikasikan. Penelusuran pada Joguru Tidore menjelaskan bahwa pendekatan yang diterapkan tersebut sebelum Kesultanan Tidore dipimpin oleh Sultan Nuku. Lamanya penerapan tersebut juga dijumpai pada kearifan lokal masyarakat Suku Sama, dimana tidak diketahui secara pasti kapan mereka mendiami/menetap di wilayah pesisir pulau di Indonesia Timur. Keberadaan Suku Sama beberapa narasumber menjelaskan keberadaan mereka bersamaan dengan berdirinya kerajaan-kerajaan di Indonesia Timur. Aplikasi posisi bulan dan bintang dalam manajemen pelayaran bagi “Suku Pelaut” menujukkan hal yang sama dengan Suku Sama, tidak diketahui dengan pasti kapan cara tersebut pertama kali digunakan. Uraian tersebut memberi arah bahwa terdapat karateristik pergerakan pasang surut diwaktu tertentu dalam penanggalan Hijriah, sehingga perlu dilakukan penelitian berdasarkan Ethnooceanography dan Ethnoastronomy masyarakat di Indonesia Timur untuk menentukan awal masuknya bulan baru penanggalan Hijriah melalui karakteristik pergerakan pasang surut.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah mengkaji dan mengidentifikasi karakteristik pergerakan pasang surut berdasarkan kearifan lokal (Ethnooceanography) masyarakat di Indonesia timur. Ethnooceanography mereka tersebut merujuk pada penanggalan Hijriah atau peredaran bulan yang selanjutnya diartikan sebagai ritmik pasang surut (Gambar 1.1). Ritmik tersebut memberi karakter pergerakan pasang surut sebagai fenomena alam dari pengaruh peredaran bumi dan bulan terhadap matahari yang digunakan sebagai referensi aktifitas mereka maupun peruntukan lain (Ethnoastronomy). Aktifitas tersebut oleh Suku Sama berupa pengukuran tunggang air maupun waktu kegiatan konstruksi rumah maupun alat tangkap, sedangkan aktifitas yang dilakukan oleh Joguru Kesultanan Tidore adalah “kemungkinan” mengamati pergerakan air (pasang surut) sebagai salah satu cara (metode) dalam menentukan awal masuknya bulan Ramadhan dan Syawal dalam penanggalan Hijriah. Dari dua aplikasi tersebut, secara umum terkait dengan posisi bulan atau periode pergerakan bulan dalam kurun waktu tertentu. Adapun aktifitas dari suku pelaut di Indonesia timur mempunyai cara mengidentifikasi karakter pasang surut sebagai bagian dari manajemen pelayaran.
Pemikiran yang mendasari mereka dalam menerjemahkan pergerakan pasang surut sebagai fungsi waktu, merupakan kajian oceanography (pasang surut) yang belum pernah dilakukan penelitian. Cara mereka tersebut perlu untuk diketahui prinsip atau dasar pemikiran mereka sekaligus mengidentifikasi penciri utama dan turunannya terhadap pergerakan pasang surut sebagai karakteristik penciri fungsi waktu. Cara mereka tersebut perlu dibandingkan dengan metode analisis pergerakan pasang surut yang umum digunakan saat ini dengan menggunakan data pasang surut terukur pada Stasiun Bitung, dimana lokasi tersebut representatif dekat dengan sumber informasi Ethnooceanography dan Ethnoastronomy serta berada disekitar daerah ekuator.
(30)
Gambar 1.1 Diagram alir perumusan masalah Kerangka Pemikiran
Ethnooceanography dan Ethnoastronomy dari masyarakat di Indonesia timur merupakan produk pemikiran yang sudah lama diaplikasikan, hal tersebut menggambarkan adanya nilai kebenaran dari cara mereka tersebut. Makin lama aplikasi dari suatu produk pemikiran maka pemikiran tersebut mempunyai nilai kebenaran. Kajian Ethnooceanography dalam penelitian ini, pada dasarnya dibangun dari pendekatan Syarii, sehingga memerlukan kajian komprehensif dengan metode analisis yang telah ada saat ini.
Beberapa penelitian pasang surut memerlukan data series dalam jumlah besar untuk menentukan tunggang air pasang surut. Penelitian terbaru dalam analisis tinggi air pergerakan pasang surut dilakukan oleh Byun & Hart (2015). Penelitian pasang surut yang telah dilakukan umumnya belum memperoleh variasi spesifik dari tunggang air dalam kurun waktu tertentu (bulanan), sedangkan Suku Sama menjadikan bulan Sya’ban sebagai waktu ideal melakukan pengukuran tunggang air pasang surut. Hal yang sama dilakukan oleh Joguru di Tidore dengan mengamati perubahan air pada sumur pantau (Akebai) untuk menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal, sedangkan suku pelaut (Bugis dan Buton/Muna)
(31)
5
mengaplikasikan pemahaman Ethnoastronomy dalam manajemen pelayaran. Ethnooceanography maupun Ethnoastronomy tersebut secara keseluruhan merujuk pada peredaran bulan atau sistem penanggalan Hijriah (Gambar 1.2) terhadap pergerakan pasang surut. Dari hal tersebut, maka variasi sudut/bidang edar bulan dan matahari terhadap bumi yang menjadi karakter/penciri dari waktu sekaligus penciri dari pergerakan pasang surut. Tahap akhir dari penelitian ini adalah teridentifikasi karakter pergerakan pasang surut berdasarkan peredaran bulan yang menjadi penciri dalam menentukan awal bulan baru Hijriah.
Gambar 1.2 Diagram alir kerangka penelitian Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini yakni :
1. Menginformasikan keutamaan analisis data serta prosedur penentuan karakteristik pasang surut dengan referensi waktu berdasarkan penanggalan Hijriah, selain itu mendiskripsikan secara umum dasar pemikiran yang membangun hubungan karakter pasang surut dari Ethnooseanography dan Ethnoastronomy masyarakat Indonesia Timur.
2. Membuktikan secara ilmiah kearifan lokal (Ethnooceanography dan Ethnoastronomy) masyarakat di Indionesia timur kaitannya dengan karakteristik pergerakan pasang surut.
(32)
3. Mendeterminasi karakteristik pergerakan pasang surut berdasarkan dari Ethnooceanography dan Ethnoastronomy serta kesesuaiannya dengan metode pengukuran dan analisis pergerakan pasang surut saat ini.
4. Mengidentifikasi parameter penciri dari karakteristik pasang surut dalam penentuan awal bulan baru Hijriah dan kesesuainnya dengan parameter ketampakan Hilal.
Adapun Tujuan khusus dari penelitian ini :
1. Menentukan variasi amplitudo konstituen harmonik pergerakan pasang surut dari pengelompokkan data berdasarkan penanggalan Masehi dan Hijriah. 2. Mencari dasar ilmiah (oseanografi) karakteristik pergerakan pasang surut yang
digunakan Suku Sama dalam menentukan tunggang air (datum elevasi).
3. Membuktikan karakter pasang surut berdasarkan Ethnooceanography dan Ethnoastronomy dari masyarakat Suku Pelaut dan Tidore.
4. Memformulasikan cara Joguru Kesultanan Tidore menentukan awal bulan baru Ramadhan dan Syawal.
5. Membangun solusi penentuan awal bulan Hijriah bagi masyarakat di Indonesia. Manfaat Penelitian
Penelitian diharapkan memberikan manfaat :
1. Menjadi “jembatan ilmiah” dalam menerjemahkan pengetahuan masyarakat (kearifan lokal/local wisdom) tentang fenomena pasang surut.
2. Memudahkan bagi peneliti untuk mengenal karakteristik pasang surut dan dinamikanya berdasarkan nilai-nilai yang tertuang dalam Ethnooceanography maupun Ethnoastromony masyarakat Indonesia timur, untuk pengembangan ilmu kelautan (oseanografi).
3. Pengembangan aplikasi penggunaan data pasang surut bagi kegiatan keteknikan serta penerapannya pada bidang lain dengan memanfaatkan karakter pasang surut dari penanggalan Hijriah.
4. Pengembangan metode dalam penentuan awal bulan baru Hijriah. Novelty/kebaharuan
Kebaharuan penelitian ini adalah pengembangan metode penelitian kelautan berdasarkan kearifan lokal masyarakat Indonesia timur (ethnooceanography dan Ethnoastronomy) dalam penentuan awal bulan baru penanggalan Hijriah serta penentuan tunggang air yang lebih praktis, selain itu diperoleh juga :
1). Penentuaan puncam tinggi air pada (peak) berdasarkan posisi bulan terhadap Rasi Bintang 7 (RB7).
2). Karakter penciri (indikator) dan waktu kritis terjadinya pekala kelas (slackwater) dari pergerakan pasang surut dalam penentuan awal bulan baru penanggalan Hijriah,
3). Waktu terjadinya slackwater terhadap waktu shalat fardhu dalam penanggalan hijriah serta
4). Peta zonasi wilayah ketampakan Hilal di Indonesia serta penentuan lokasi optimum pemantauan Hilal secara astronomy berdasarkan karakteristik pasang surut.
(33)
2
METODE UMUM
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi dan waktu penelitian ini dikelompokkan kedalam dua bagian, pertama, lokasi dan waktu pengumpulan informasi pengetahuan lokal masyarakat (Ethnooceanography dan Ethnoastronomy) di Indonesia Timur (Gambar 2.1), dan bagian kedua merupakan lokasi dan waktu pengambilan data pasang surut.
Gambar 2.1 Peta Lokasi penelitian Stasiun Bitung Informasi dan Narasumber (Responden)
Penelitian ini merupakan akumulasi serangkaian aktifitas penulis dalam berinteraksi dengan masyarakat di Indonesia Timur sejak tahun 1988, informasi awal Ethnoastronomy berasal dari keluarga besar peneliti yang berdiam Kabupaten Muna dan Kabupaten Buton - Provinsi Sulawesi Tenggara. Sumber Informasi (lampiran Responden) tentang Ethnooceanography Suku Sama diperoleh dari masyarakat Desa Bahari (Perkampungan Suku Sama), Kecamatan Duruka,
(34)
Kabupaten Muna (Sulawesi Tenggara). Informasi tersebut berasal dari seorang tokoh masyarakat Desa Bahari (Responden 2). Informasi Ethnooceanography dan Ethnoastronomy masyarakat Tidore diperoleh dari keluarga besar peneliti yang berdiam di Kelurahan Toloa, Kecamatan Tidore Selatan, Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara. Informasi Ethnoastronomy, diperoleh dari kakek penulis (Responden 1) dan juga dari beberapa nakhoda kapal Phinisi yang bersandar di Pelabuhan Raha (Kab. Muna). Pengumpulan informasi Ethnooceanography dan Ethno Astronomy dilakukan sejak tahun 1999 – 2002.
Informasi tersebut selanjutnya diklarifikasi/bandingkan dengan pengetahuan Suku Sama yang berdiam di Pulau Banggai dan sekitarnya (Sulawesi Tengah) dan juga pada masyarakat Pulau Kayoa, Pulau Bacan serta Pulau Mangole dan Pulau Taliabu (Kabupaten Kepulauan Sula - Maluku Utara). Kegiatan penyamaan pemikiran terhadap Ethnooceanography dan Ethnoastronomy tersebut hampir setiap saat dilakukan selama penulis melakukan perjalanan di beberapa tempat di Indonesia Timur (Gambar 2.1) maupun pada diskusi kecil di majelis/kelompok masyarakat maupun secara pribadi pada tokoh masyarakat (responden) di Maluku Utara dengan beragam latar belakang profesi.
Pengumpulan informasi Ethnooceanography dan Ethnoastronomy yang bersifat intensif dilakukan pada bulan Maret – Desember 2014. Informasi dikumpulkan dari Joguru yang berdiam di Kelurahan Toloa, dengan melakukan wawancara/diskusi (kondisional) untuk menggali prinsip dan fenomena alam (indikator) dari pemahaman mereka tentang Ethnooceanography dan Ethnoastronomy dalam penentuan awal bulan baru Hijriah (Ramadhan dan Syawal). Hal yang sama juga dilakukan dalam bentuk diskusi dengan para tokoh masyarakat di Kecamatan Loloda-Halmahera Utara dan juga pada para tokoh masyarakat (individu) dari Kesultanan Tidore dan Ternate (Balakusu Sekano-kano). Para responden kunci diperlihatkan pada bagian lampiran (Biodata Responden).
Data Pasang Surut
Data pasang surut diperoleh melalui proxy dari University of Hawaii Sea Level Center (UHSLC) pada http://uhslc.soest.hawaii.edu/data/download/rq, untuk data dalam kelompok Research Quality (rq) atau data hasil pembacaan tide gauge (bukan data prediksi/model). Stasiun data pasang surut yang digunakan terpusat pada Stasiun Bitung (Sulawesi Utara), yang terletak pada posisi geografis 01o 26.4`
LU dan 125o 11.6` BT (Gambar 2.1). Stasiun data tersebut mempunyai nomor
stasiun oleh Joint Archive for Sea Level (JASL # : 033A); Global Sea Level Observing System (GLOSS # : 069) dan National Oceanographic Data Center (NODC # : 10121501). Penentuan stasiun data didasarkan dekatnya stasiun data dengan ekuator bumi (khatulistiwa), relatif dekat dengan sumber informasi Ethnooceanography dan Ethnoastronomy masyarakat Indonesia Timur dan juga ketersediaan data yang representatif. Data dikumpulkan sejak bulan Maret 2013 hingga Juni 2014. Bentuk data yang diperoleh dari Stasiun Bitung berupa data tinggi air pasang surut perjam beserta metadatanya. Jumlah data series pasang surut yang dibutuhkan semaksimal mungkin mendekati rentang data selama 18,6 tahun.
(35)
9
Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa seperangkat komputer yang dilengkapi dengan fasilitas internet, sedangkan kebutuhan pendukung penelitian dan analisis data memerlukan berbagai alat tulis menulis. Untuk kebutuhan analisis memerlukan seperangkat software analisis berupa MS.Excell 2013, Sofware Accurate Time ver 5.3.7 (Odeh 2013), Software Stelarium 0.12.3 (Chereau 2004) dan Sun Times v7.0 (Kay & Croz 2008). Untuk analisis data yang berukuran besar, perhitungan dan analisis data menggunakan Software Matlab dan untuk mengetahui sebaran (distribusi) nilai hasil analisis dalam bentuk distribusi dan kesamaan nilai menggunakan program aplikasi statistik (SPSS dan XLStat). Legalitas penggunaan software perhitungan dan analisis data didasarkan pada ketersediaan lisensi (open access) dari masing-masing software yang digunakan.
Pra-Pengolahan data pasang surut
Konversi sistem penanggalan dan penentuan hari awal bulan Hijriah
Konversi tanggal pada sistem penanggalan Masehi ke penanggalan Hijriah dilakukan dengan menggunakan Software Accurate Time ver 5.3.7. Untuk memudahkannya, konversi didasarkan pada penanggalan Hijriah yang ingin di ketahui dengan tidak merubah nilai pengukuran pasang surut. Mekanisme tersebut sekaligus menyelesaikan penentuan hari yang sebenarnya pada lokasi tertentu akibat selisih permulaan jam kedua sistem penanggalan yang berbeda dan juga akibat pembagian hari di bumi pada batas bujur 180o BT dari GMT.
Hasil konversi penanggalan merupakan hari berdasarkan Kalender Islam Ummul Quro yang berlaku di Arab (Odeh 2013), sehingga perlu penyesuaian dengan tanggal yang berlaku di Indonesia. Penyesuaian tanggal merujuk pada kalender yang dikeluarkan oleh Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) Gresik dan tanggal nasional. Penanggalan (LFNU) tersebut diperoleh pada http://www.must4in.net/2013/12/kalender-Masehi-hijriyah-1901-2100.html,
sedangkan kalender Indonesia diperoleh dari http://kalender-indonesia.com/. Posisi bulan dan matahari terhadap bumi
Posisi bulan dan matahari terhadap bumi dalam peredarannya masing-masing diketahui dengan menggunakan Ephimeris Time (ET) sebagai fungsi waktu untuk benda langit yang bergerak (Montenbruck & Armstrong 1989). Waktu Ephemeris atau Ephemeris Time (ET) telah didefinisikan sebagai ukuran waktu yang memberikan posisi objek angkasa yang terlihat sesuai dengan teori gerakan dinamis newton pada waktu acuan pergerakan (epoch). Epoch adalah momen waktu yang digunakan sebagai titik acuan (tahun 1900) untuk beberapa kuantitas Astronomy yang bervariasi waktu ketika terjadi partubasi (apogee atau aphelion).
Perhitungan ET pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Software Accurate Time ver 5.3.7 dengan posisi rujukan pada stasiun pasang surut (koordinat lintang - bujur). Hasil perhitungan ephimeris matahari dan bulan terdiri dari komponen yang diperlihatkan pada (Tabel 2.1). Penentuan posisi bulan dan matahari menggunakan nilai Right Ascension (R.A) dan Declination (Dec).
(36)
Tabel 2.1 Parameter dan diskripsi dari Ephimeris Time (ET)
Paremeter Diskripsi Time and Date
(Jam dan tanggal)
Waktu (jam) dan tanggal berdasarkan posisis stasiun data dan data jam dan tanggal masuknya tiap fase bulan (input data).
Right Ascension (R.A)
Jarak yang sebenarnya dari target atau dari posisi meredian bumi terhadap equinox dengan satuan (hh:mm:ss)
Declination (Dec) Jarak sudut pada bola langit antara benda langit dan ekuator langit, diukur pada meridian yang melalui benda langit itu (satuan dd:mm:ss).
Altitude and Azimuth Ketinggian dan ketinggian tertingi/maksimum dari target (bulan dan matahari). Perhitungan azimut dari arah utara (satuan unit dd:mm:ss).
Latitude and Longitude
Koordinat yang pasti (jelas) pada bidang datar dari target dengan satuan dd: mm:ss.
Distance Jarak geocentrik antara bumi dan target (bulan atau matahari) dalam satuan km
Semi-Diameter (SD) Sudut antara observer (stasiun data) dari garis ekuator terhadap target (bulan atau matahari) dengan satuan unit (dd:mm:ss).
Parallax Perbedaan posisi toposentrik dan geosentrik terhadap obyek, dimana obyek berada pada posisi horison Astronomy dengan satuan dd: mm:ss.
DT Selisih waktu dalam satuan detik (seconds). Pendekatan dan Kerangka Analisis
Pendekatan dan kerangka analisis dalam penelitian ini adalah uraian alur pemikiran untuk menjawab tujuan penelitian. Pendekatan analisis digunakan untuk menjelaskan sebab akibat dari suatu fenomena melalui identifikasi parameter fenomena tersebut, sedangkan kerangka analisis adalah uraian tentang alur pikir atau rancangan analisisnya yang digambarkan dalam skema (Gambar 2.3). Penelitian ini pendekatan dan kerangka analisis dibangun dengan mengaplikasikan kearifan lokal masyarakat di Indonesia Timur (Ethnooceanography) Suku Sama maupun masyarakat Pulau Tidore. Selain itu kedua Ethnooceanography dihubungkan dengan Ethnoastronomy masyarakat di Indonesia timur dalam penentuan awal bulan penanggalan Hijriah.
Pendekatan analisis data
Pendekatan analisis data dalam penelitian ini berdasarkan nilai-nilai pada Ethnooseanography dan Ethnoastronomy masyarakat sebagai berikut :
1. Grafik pola pergerakan pasang surut membentuk pola tertutup dari awal pergerakan hingga akhir pergerakan dalan satu satuan waktu tertentu.
a. Awal pergerakan pasang surut skala harian dimulai saat bulan mulai terbit (sekitar jam 18.00) dan berakhir sebelum terbit dihari berikutnya.
(1)
164
B. Jumadil awal 1407 H
tide freq amp amp_err pha pha_err snr MSF 0.002822 0.0123 0.018 345.04 83.52 0.47 *2Q1 0.035706 0.0087 0.002 175.07 12.66 16 *Q1 0.037219 0.0286 0.002 228.37 3.87 1.70E+02 *O1 0.038731 0.1409 0.002 258.78 0.78 4.10E+03 *NO1 0.040269 0.0036 0.002 86.68 22.19 2.7 *P1 0.041553 0.0708 0.002 145.36 1.79 1.00E+03 *K1 0.041781 0.2141 0.002 138.29 0.54 9.60E+03
*J1 0.043293 0.015 0.002 208.63 7.56 47
*OO1 0.044831 0.0029 0.002 349.59 25.16 1.7 UPS1 0.046343 0.0016 0.002 52.85 46.82 0.56
*N2 0.078999 0.0584 0.018 7.15 17.88 11
*M2 0.080511 0.3492 0.018 56.87 2.99 3.90E+02 *S2 0.083333 0.2941 0.018 322.02 3.45 2.70E+02
*K2 0.083562 0.08 0.018 344.42 10.32 20
ETA2 0.085074 0.0012 0.018 222.34 633.62 0.0044 *MO3 0.119242 0.0028 0.002 255.39 43.57 1.4 *M3 0.120767 0.0063 0.002 274.62 22.14 7.3 *MK3 0.122292 0.0034 0.002 82.13 37.1 2.1 SK3 0.125114 0.0023 0.002 305.67 52.62 1 MN4 0.159511 0.0016 0.002 62.33 91.72 0.43 *M4 0.161023 0.0084 0.002 119.14 17.51 12 *MS4 0.163845 0.0025 0.002 65.92 57.28 1.1 S4 0.166667 0.0007 0.002 38.51 192.88 0.088 *2MK5 0.202804 0.0028 0.002 131.61 35.83 2.4 2SK5 0.208447 0.0006 0.002 108.56 164.66 0.1 *2MN6 0.240022 0.0021 0.001 143.27 29.09 4.6 *M6 0.241534 0.0015 0.001 137.73 39.77 2.4 *2MS6 0.244356 0.0015 0.001 71.32 38.49 2.5 *2SM6 0.247178 0.0018 0.001 305.34 32.51 3.3 *3MK7 0.283315 0.001 0.001 144.41 56.5 1 M8 0.322046 0.0009 0.001 11.12 63.8 0.99 *M10 0.402557 0.0014 0.001 273.36 42.17 2.4 Keterangan *= signifikan level (95%)
(2)
Responden 1 La Maeka
Jabatan Posisi imam muda pada Masjid Quba Loghia (Masjid tertua di Pulau Muna) dengan gelar Mojimo Lele diemban saat masih berumur ± 18 tahun. Selama hidupnya, beliau berdiam di Desa Lasunapa Kecamatan Duruka – Kabupaten Muna. Komunikasi dengan beliau dilakukan pada tahun 1988 – 1997 dan periode 1999-2000. Sebagai Kakek, beliau memperkenalkan ilmu falak praktis (posisi matahari, bulan dan bintang) dalam menentukan waktu bulan Sya’ban dan nisfu Sya’ban, cara menentukan hari (umur bulan) secara sederhana melalui pengamatan luasan cakram bulan; posisi bulan dan kondisi pasang surut (awal, puncak dan akhir pergerakan pasang surut). Dari beliau juga mengantar penulis dalam mendudukan pijakan berfikir dalam memahami “ilmu Hikmah”. Sosok yang tegas, berwibawa serta menguasai Ilmu Silat Muna (guru) yang senang berpantun (kantola) ini sangat disegani dan dikenal oleh orang di Kabupaten Muna yang hidup di era 1950 – 2000. Beliau meninggal di tahun 2001.
Responden 2 Silapas Malangkai
Semasa hidupnya, beliau bekerja (PNS) pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Muna. Beliau juga sebagai tokoh masyarakat Suku Bajo di Desa Lagasa dan sebagai nelayan pasif. Menetap di Desa Lagasa, Lingkungan Bahari I kecamatan Duruka Kabupaten Muna (Sulawesi Tenggara). Sosok sederhana ini juga seorang “aktifis lingkungan” dan tidak jarang setiap kali pulang dari sero/bagan tancap (melaut), beliau membawa pulang botol kemasan minuman yang dijumpai dalam perjalanan. Menjelang pensiun beliau mendirikan masjid di sekitar rumahnya (akhir tahun 2001) dari uang pensiun yang didapatkan. Dari cara mendirikan Masjid tersebut penulis mendapatkan cara Suku Sama menentukan tinggi lantai bangunan diatas air yang selanjutnya disebut dengan Metode Suku Sama (MSS). Komunikasi dengan beliau berlangsung sejak tahun 1998 – 2004 dan beliau meninggal pada bulan Oktober 2011. Sosok humoris dan pekerja keras ini juga merupakan seorang peneliti, beliau melakukan uji coba budidaya rumput laut dengan berbagai metode. Selama dengannya, telah terkumpul ± 300 kata untuk istilah kelautan dalam bahasa Suku Sama (Bahasa Bajo) yang masih perlu dicari padanan katanya. Beberapa informasi penting yang belaiu telah informasikan dalam penelitian ini antara lain :
o Dasar Orang Bajo mendirikan rumah dan sistem konstruksi di atas air, o Pengetahuan pasang surut bedasarkan penanggalan bulan (Hijriah). o Pengenalan ekologi dan keberadaan sumberdaya.
(3)
166
Responden 3 Jailani Suaib (Syaefudin)
Beliau mendapat amanah sebagai Suwo Hi dari Kesultanan Tidore, yang sebelumnya dijabat oleh orang tuanya. Semasa Hidupnya beliau tinggal di sekitar pusat Kesultanan Tidore atau tepatnya di Keluarahan Gamtufkange (lingkungan Suwohi Cina), Kecamatan Tidore - Kota Tidore Kepulauan (Maluku Utara). Pertemuan dengan beliau saat dilangsungkan seminar Internasional merajut kebersamaan budaya dan Bahasa negeri serumpun (Malaysia-Indonesia) di Ternate pada tahun 2007. Pertemuan tersebut, berlanjut dengan pertemuan dan diskusi pada tanggal 18 dan 21 Maret 2007 serta tanggal 3 April 2007. Diskusi berlangsung di Fakultas Perikanan Universitas Khairun, beliau menjelaskan tentang Posisi Suwo Hi Kie Matubu dalam tata pemerintahan Kesultanan Tidore yang merupakan bagian dari aplikasi falak ummat, sistem pemerintahan Kesultanan Tidore hubungannya dengan kelembagaan (12 Gimalaha) dan prosesi pemilihan Sultan Tidore. Selain itu, beliau menjelaskan tentang rumpun marga besar di Kesultanan Tidore maupun mendefenisikan kata “negeri serumpun (Malaysia-Indonesia)” dengan julukan negeri Malaka, Maliki dan Maloku yang berasal dari satu rumpun yang sama. Penjelasan tersebut, menggambarkan bentuk penerapan/pemahaman pada manajemen tata pemerintahan dan struktur sosial masyarakat. Salah satu pesan penting yang beliau harapkan dari diskusi kami, untuk mengangkat nilai-nilai kelompok negeri dengan karakter dasar pendiri tatanan sosial masyarakat di negeri tersebut, salah satu tatanan dimaksud adalah pemahaman pada ilmu falak (falak umat dan falak alam).
Responden 4 Hi. Habibudin Fabanyo
Imam besar/Joguru Masjid Baitul Makmur, semasa hidupnya berdiam di Kelurahan Toloa-Kecamatan Tidore Selatan Kota Tidore kepulauan (Maluku Utara). Masjid Baitul Makmur merupakan masjid Kesultanan Tidore saat berpusat di Toloa. Responden adalah keturunan dari marga “qalam” yaitu salah satu dari empat imam di Kesultanan Tidore. Beliau memberikan informasi orientasi ilmu falak yang berkembang di Tidore. Terkait dengan tanggung jawab Joguru dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal, beliau memahami bahwa itu adalah tanggung jawab pemerintah (saat ini) dan untuk masa kesultanan adalah tanggung jawab para Joguru dari kesultanan Tidore. Beliau mengetahui bahwa lokasi pemantauan bulan (Doelamo) sejak dahulu (era kesultanan) merupakan tempat pemantauan Hilal (bulan), dan beliau tidak pernah melihat secara langsung para petugas Ruhyatul Hilal Kota Tidore Kepulauan (saat ini) melakukan pemantauan tersebut di Doelamo. Terkait dengan cara Joguru (era kesultanan) melakukan penentuan awal Ramadhan dan Syawal, beliau pernah mendengar (cerita kakek) bahwa Joguru melakukan penentuan waktu tersebut di Doelamo dan tidak mengetahui tata caranya. Beliau mengetahui pula bahwa di Doelamo terdapat 3 akebai dan tidak mengetahui fungsinya secara spesifik. Komunikasi dengan beliau berlangsung pada bulan April – Agustus 2014 dan meninggal dunia pada hari Senin tanggal 31 Agustus 2015 pada usia 74 tahun.
(4)
Responden 5 Hi. Hasanuddin Malagapi
Anak dari bapak Imam Abbas Malagapy (Gimalaha Banawa) ini berdiam di Kelurahan Toloa RT 17, Kecematan Tidore Selatan - Kota Tidore Kepulauan. Beliau adalah salah satu Sara Masjid Baitul Makmur yang memberikan informasi tentang tatacara Joguru melakukan pemantauan awal bulan baru Hijriah (Syawal dan Ramadhan). Beliau melihat untuk terakhir kalinya Joguru Imam besar Abd. Rahim Fabanyo beserta dewan Sara lainnya (9 orang) melakukan pemantauan awal bulan Ramadhan dan Syawal di tahun 1980an dengan metode yang saat ini disebut dengan Metode Joguru. Saat itu, beliau perkirakan umurnya berkisar 12 Tahun (sudah bersekolah) dan juga sudah membantu kakeknya menempa besi (hembusan). Beliau merupakan satu-satu sumber informasi dari metode penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal yang penulis menyebutnya dengan Metode Joguru.
Responden 6 Jafar Limatahu
Tokoh masyarakat Desa Salupa Kecamatan Loloda Utara Kabupaten Halmahera Utara ini, merupakan murid dari (Alm) Tuan Guru Sali (tokoh agama) di Kecamatan Malifut-Halmahera Utara yang belajar agama dari tuan guru Alatas. Tipe humoris yang tegas menjadi karakternya saat menjelaskan kepada penulis prinsip-prinsip waktu dalam penanggalan Hijriah dan penentuan arah “kiblat alam”. Dalam usia 56 tahun telah menguasai konsep dasar “ilmu ikhsan” dan menjadi guru seni bela diri “Tapak Suci”, beliau juga menjelaskan tentang rukun shalat dan fenomena di alam sekaligus pola aliran energi dalam fenomena alam yang disertai dengan dalil-dalilnya. Dari beliau penulis mendapat pencerahan dari konsep Rasi Bintang 7 (RB7) sebagaimana yang digunakan oleh suku pelaut dalam menentukan waktu dalam penanggalan Hijriah. Pertemuan dengan beliau terjadi sebanyak 3 kali pertemuan dan dua diantaranya terjadi di kediaman penulis.
Responden 7 Ade Don
Responden ini, lebih banyak orang memanggilnya dengan panggilan Om Ade (58 tahun), beliau merupakan salah satu orang kepercayaan Sultan Ternate (Alm. Jou Mudaffar Syah) sekaligus sebagai dewan adat di Kesultanan Ternate (Balakusu Sekano-kano). Beliau berdiam di Kelurahan Sangadji – Kecamatan Ternate Utara. Perkenalan dengan beliau melalui Hi. Mukhsin Hafel (kakek), karena sering mengantarnya pada pertemuan majelis mereka. Perkenalan tersebut, dilanjutkan dengan diskusi kecil dalam beberapa kali pertemuan. Sosok yang humoris yang senantiasa menjaga lafalz ini, juga menjadi tokoh masyarakat disekitar kediamannya. Informasi dari beliau menjelaskan tentang pemahaman dan hikmah komponen alam dalam diri manusia (ilmu Insan).
(5)
168
Responden 8 Hi. Mukhsin Hafel.
Mantan Kepala kantor agama Kota Ternate ini merupakan sosok pendiam dan tegas. Beliau dua kali menjadi penyelenggara negara terbaik tingkat nasional saat menjadi Kepala Urusan Agama dan saat menjadi Kepala Kantor Departemen Agama Kota Ternate. Beliau juga 2 kali menjadi Amirul Hajj Provinsi Maluku Utara. Saat ini beliau telah berumur 73 tahun yang masih bisa membaca al-Quran tanpa menggunakan alat bantu, sekaligus juga masih aktif sebagai Khatib di beberapa masjid disekitar kediaman beliau di Ternate. Selain itu, beliau juga selaku Sekretaris Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Maluku Utara dan sekretaris LDII Provinsi Maluku Utara. Disekitar kediaman beliau (kelurahan Santiong-Ternate), beliau menjadi tokoh masyarakat (Sara) dan sebagai petugas petugas poencatat Nikah. Hal yang sangat berkesan darinya, beliau sosok yang sabar, penyayang dan pelindung keluarga besar dengan sekian banyak kesibukan pada kegiatan keagamaan. Sosok yang menjaga lafalznya ini telah menunaikan ibadah haji (3 kali) yang semuanya dibiayai oleh negara melalui prestasi kerjanya.
Responden 9 Hi. Masmin Faroek
Beliau menetap di Kelurahan Gamtufkange Kecamatan Tidore - Kota Tidore Kepulauan. Mantan Kepala Kelurahan Gamtufkange, beliau juga selaku Joguru pada masjid Kesultanan Tidore (Sigi Kolano Tidore) sekaligus sebagai Syech (pimpinan) pada kegiatan ritual taji besi (Debus/tarekat). Tokoh budayawan dan sastrawan Tidore ini merupakan keturunan dari Joguru Tidore (Joguru Abdullah bin Qadi Abdusalam) yang diasingkan di Cape Town (Afrika Selatan), beliau merupakan salah seorang narasumber utama tentang sejarah dan budaya Tidore. Sebelum tahun 2015, beliau menjadi sekretaris Kesultanan Tidore dan pada tahun 2015 beliau menjadi perdana menteri Kesultanan Tidore (JoJou) yang dipimpin oleh Jou Sultan Tidore Husain Syah. Komunikasi dengan beliau berlangsung pada bulan Maret 2016.
Responden 10 Hasan Gorotomole
Jabatan Kepala kelurahan Toloa dijabat sejak tahun 2004 dan sebelumnya menjadi staf Kelurahan Toloa. Tahun 2008 – 2011 menjabat Kepala Kelurahan Bobo, Kecamatan Tidore Utara - Kota Tidore Kepulauan dan sejak tahun 2011 – saat ini (2016) kembali menjabat Kepala Kelurahan Toloa. Selain sebagai Kepala kelurahan yang saat ini berusia 55 Tahun, beliau merupakan warga masyarakat asli Toloa dari Gimalaha Tomaidi. Selama menjadi kepala kelurahan, banyak kegiatan masyarakat dan ormas Islam yang menyampaikan permohonan izin melakukan kegiatan di Doelamo. Pemantauan Hilal, selain dari Kantor Depag Kota Tidore Kepulauan dan Provinsi Maluku Utara, dilakukan pula oleh Posantren Khusnul Khairat (Ome); Kelompok profesi/pencinta ilmu falak maupun pencinta Sejarah Islam (Iinterview Juli 2014).
(6)
Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara, dilahirkan di Raha (Kabupaten Muna – Sulawesi Tenggara) pada tanggal 30 Nopember 1971 dari pasangan ayah L. Salesy (Almarhum) dan Ibu Waode Onu Kuasa. Pendidikan tinggi diawali pada tahun 1992 di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura-Ambon, pada program studi Ilmu Kelautan. Gelar sarjana diraih pada tahun 1998. Tahun 2002 melanjutkan pendidikan magister (S2) di program studi Ilmu Kelautan – IPB yang dirampungkan pada tahun 2005. Pendidikan program doktor (S3) dimulai pada tahun 2012 di IPB pada program studi yang sama, dengan biaya pendidikan dari beasiswa pendidikan pascasarjana dalam negeri (BPP-DN).
Sejak tahun 2006, penulis bekerja sebagai staf pengajar pada program studi Ilmu Kelautan - Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun - Ternate. Bidang studi yang menjadi tanggung jawab adalah mata kuliah yang terkait dengan oseanografi. Untuk pengembangan lingkup kajian oseanografi, sejak tahun 2008, penulis juga mempelajari sekaligus menganalisis pengetahuan lokal masyarakat di bagian Indonesia timur yang terkait dengan aspek kelautan (Ethnooceanography). Pada tahun 2007 menikah dengan Halima Malaka.
Sebagian dari disertasi ini telah dipublikasikan pada jurnal nasional dan internasional yaitu :
1. Perhitungan tunggang air pasang surut berdasarkan kearifan lokal masyarakat Suku Sama di wilayah timur Indonesiapada Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis (JITKT) Vol 7 (1) Juni 2015 oleh Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB.
2 Variasi Amplitudo Konstituen Harmonik Pasang Surut Utama di Stasiun Bitung. Dipublikasikan pada Jurnal Ilmu Kelautan Juni 2015 Vol 20(2):73-86. Indonesia Journal of Marine Science (IJMS). ISSN 0853-7291. ijms.undip.ac.id.
DOI: 10.14710/ik.ijms.20.2.73-86.
3. Variasi Tinggi Pergerakan Pasang Surut Berdasarkan Metode Manzillah; Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Ilmu Falak (SNIF) 2016 – Fakultas Syariah Universitas Islam Bandung (UNISBA), 30 Mei 2016. Presentasi dan nominator makalah terbaik.
4. Equation compliance of tidal range calculation of sama tribe method (MSS) on ratio of harmonic constituent pada Internasional Journal of Sciences: Basic and Applied Research (IJSBAR). Accepted
5. Perbandingan nilai Likkas Silapas (LS) dari metode MSS pada fase bulan baru dan purnama sebagai kajian tentang Ethnooceanography Suku Sama di Indonesia timur. Di publikasikan pada Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (OLDI) – LIPI. In press.
6. Variation of tidal range based on hijra calendar and its relation with ethnooceanography of the sama tribe in Eastern Indonesia. pada Indonesia Journal of Marine Science (IJMS) Undip. in press.