GANGGUAN SISTEM SALURAN PERNAFASAN

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 17:10:55 2017 / +0000 GMT

GANGGUAN SISTEM SALURAN PERNAFASAN
LINK DOWNLOAD [184.00 KB]
BAB XXVII
GANGGUAN SISTEM SALURAN PERNAFASAN
TUJUAN BELAJAR
TUJUAN KOGNITIF
Setelah membaca bab ini dengan seksama, maka anda sudah akan dapat :
1. Mengetahui patogenesis penyakit saluran pernafasan
1.1. Menceritakan kembali perubahan anatomik fisiologik sistem pernafasan
1.2. Menyebutkan faktor-faktor yang memperburuk fungsi paru
2. Mengetahui penyakit paru-paru pada lanjut usia
2.1. Menyebutkan berbagai penyebab penyakit paru pada lanjut usia
2.2. Menyebutkan berbagai gejala klinik penyakit paru pada lanjut usia
2.3. Menyebutkan berbagai pengobatan penyakit paru pada lanjut usia
TUJUAN AFEKTIF
Setelah membaca ini dengan penuh perhatian, maka penulis mengharapkan anda sudah akan dapat :
1. Mendeteksi secara dini penyakit paru pada lanjut usia
1.1. Mengenal gejala klinik penyakit paru pada lanjut usia

1.2. Membuat diagnosa penyakit paru pada lanjut usia dengan cepat dan tepat
2. Memberikan penanganan terbaik terhadap penyakit paru pada lanjut usia
2.1. Memberikan terapi yang efektif terhadap penyakit paru pada lanjut usia
2.2. Mencegah perburukan penyakit paru pada lanjut usia
I. Pendahuluan
Penyakit pada paru-paru semakin sering dijumpai pada lanjut usia. Hal ini berhubungan dengan perubahan fisiologis paru,
kurangnya kemampuan tubuh dalam melawan infeksi, dan lingkungan yang berpolusi. Penyakit paru merupakan penyebab utama
kematian pada lanjut usia, dimana hal ini membutuhkan para tenaga medis yang mempunyai kemampuan mengatasi masalah ini.
Dengan bertambahnya umur, terjadi kemunduran dari fungsi paru, ditambah dengan faktor-faktor lingkungan, serta faktor kekebalan
tubuh yang menurun; membuat perubahan homeostasis normal, kemudian dapat menjadi homeostasis abnormal sampai dengan
kematian sel. Salah satu yang terkena pada manusia adalah sistem pernapasan.
Pada lanjut usia, perubahan-perubahan itu dapat timbul menjadi gangguan atau penyakit pada sistem pernapasan. Penyakit tersebut
bisa diakibatkan dari: kelanjutan penyakit yang diderita sejak usia muda; akibat gejala sisa penyakit yang pernah diderita; penyakit
akibat kebiasaan buruk di masa lalu (merokok); dan penyakit yang mudah menyerang lanjut usia. Pada referat ini akan dikemukakan
mengenai gangguan sistem pernapasan pada lanjut usia, meliputi aspek fisiologik, aspek epidemiologik, dan aspek klinik.
II. Patogenesis Penyakit Paru-Paru Pada Lanjut Usia
Timbulnya penyakit yang menyertai lanjut usia dapat dijelaskan dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada lanjut usia, yaitu :
1. Perubahan anatomik fisiologik
Dengan adanya perubahan anatomik-fisiologik sistem pernapasan, ditambah adanya faktor-faktor lainnya, dapat memudahkan
timbulnya beberapa macam penyakit paru: bronkitis kronis, emfisema paru, PPOK, Tuberkulosis paru, kanker paru, dan lain-lain.

2. Perubahan daya tahan tubuh
Pada lanjut usia penurunan daya tahan tubuh terjadi karena melemahnya fungsi limfosit B dan T, sehingga penderita rentan terhadap
kuman-kuman patogen, virus, protozoa, bakteri, atau jamur.
3. Perubahan metabolik tubuh
Perubahan metabolik tubuh, juga dapat mempengaruhi paru-paru. Penyebab tersering adalah penyakit sistemik: diabetes mellitus,
uremia, rheumatoid artritis, dan sebagainya. Faktor usia peranannya tidak jelas, tetapi lamanya menderita penyakit sistemik
mempunyai andil untuk timbulnya kelainan paru.
4. Perubahan respons terhadap obat
Penggunaan obat-obat tertentu akan memberikan respon atau perubahan pada paru dan saluran napas, yang mungkin tidak terdapat
pada usia muda. Contoh: penyakit paru akibat idiosinkrasi terhadap obat yang sedang digunakan dalam pengobatan penyakit yang
sedang dideritanya, dimana kejadian ini jarang terjadi pada usia muda.

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 1/13 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 17:10:55 2017 / +0000 GMT

5. Perubahan degeneratif

Perubahan ini tidak dapat dihindari pada individu yang mengalami proses proses menua. Penyakit paru yang timbul akibat proses
degeneratif tersebut adalah: bronkitis kronis, emfisema paru, PPOK, karsinoma paru, dan sebagainya.
6. Perubahan atau kejadian lainnya
Pengaruh-pengaruh yang memudahkan timbulnya penyakit paru-paru tertentu pada lanjut usia, misalnya:
a. Kebiasaan merokok di masa lalu dan sekarang
Kebiasaan merokok yang berlangsung lama dapat menimbulkan perubahan-perubahan struktur pada saluran napas, juga dapat
menurunkan fungsi sistem pertahanan tubuh yang diperankan oleh paru-paru dan saluran napas, sehingga memudahkan timbulnya
infeksi pada paru dan saluran napas. Merokok, dapat pula menimbulkan keganasan paru, PPOK, bronkitis kronis, dan sebagainya.
b. Pengaruh karena kekurangan gizi
Penurunan daya tahan tubuh pada lanjut usia terutama pada respons imun seluler. Ini merupakan konsekuensi lanjut atas terjadinya
involusi kelenjar timus pada lanjut usia. Proses involusi kelenjar timus menyebabkan jumlah hormon timus yang beredar dalam
peredaran darah menurun, berakibat proses pematangan limfosit T berkurang. Imunitas humoral pada lanjut usia juga mengalami
perubahan, yaitu peninggian kadar Ig A dan Ig G, sedangkan Ig M menurun.
III. Perubahan Anatomik Fisiologik Sistem Pernafasan Lanjut Usia
Perubahan fisiologik sistem pernapasan pada lanjut usia, merupakan suatu bagian dari proses menua yang normal. Hal ini
merupakan suatu proses kehidupan yang ditandai dengan menurunnya kemampuan tubuh untuk beradaptasi terhadap stress atau
pengaruh lingkungan.
Untuk dapat mengatakan suatu kemunduran fungsi tubuh disebabkan suatu penyakit yang menyertai proses menua, ada 4 kriteria
yang harus dipenuhi :
1. Kemunduran fungsi dan kemampuan tubuh tadi harus bersifat universal, artinya umum terjadi pada setiap orang.

2. Proses menua disebabkan oleh faktor intrinsik, yang berarti perubahan fungsi sel dan jaringan disebabkan oleh penyimpangan
yang terjadi di dalam sel dan bukan oleh faktor dari luar.
3. Proses menua terjadi secara progresif, berkelanjutan, berangsur lambat dan tidak dapat kembali seperti semula.
4. Proses menua bersifat proses kerusakan atau kemunduran.
Pada lanjut usia terjadi perubahan anatomik yang mengenai hampir seluruh susunan anatomik tubuh, dan perubahan fungsi sel,
jaringan atau organ yang bersangkutan.
Perubahan fungsi fisiologik paru selama proses menua kemungkinan disebabkan oleh perubahan gaya hidup daripada perubahan
fungsi berbagai organ. Inhalasi asap rokok atau polusi industri yang berlangsung dalam jangka waktu lama dapat mempercepat
perubahan jaringan yang berhubungan dengan fungsi paru pada lanjut usia :
1. Perubahan anatomik sistem pernapasan
a. Dinding dada: tulang-tulang mengalami osteoporosis, tulang-tulang rawan mengalami osifikasi, terjadi perubahan bentuk dan
ukuran dada. Sudut epigastrik relatif mengecil dan volume rongga dada mengecil.
b. Otot-otot pernapasan: mengalami kelemahan akibat atrofi, sehingga menurunkan inspirasi maksimal dan ekspirasi maksimal.
c. Saluran napas: akibat kelemahan otot, berkurangnya jaringan elastis bronkus dan alveoli menyebabkan lumen bronkus mengecil.
Cincin-cincin tulang rawan bronkus mengalami pengapuran.
d. Struktur jaringan parenkim paru: bronkiolus, duktus alveolaris dan alveolus membesar secara progresif, terjadi emfisema senilis.
Struktur kolagen dan elastin dinding saluran napas perifer kualitasnya berkurang sehingga menyebabkan elastisitas jaringan
parenkim paru berkurang. Penurunan elastisitas jaringan parenkim paru pada lanjut usia dapat karena menurunnya tegangan
permukaan akibat pengurangan daerah permukaan alveolus.
2. Perubahan fisiologik sistem pernapasan

a. Gerak pernapasan: adanya perubahan bentuk, ukuran dada, maupun volume rongga dada akan merubah mekanika pernapasan,
amplitudo pernapasan menjadi dangkal, dan timbul keluhan sesak napas. Kelemahan otot pernapasan menimbulkan penurunan
gerakan paru-paru untuk bernapas, apalagi jika terdapat deformitas rangka dada akibat proses menua.
b. Distribusi gas: perubahan struktur anatomik saluran napas akan menimbulkan penumpukan udara dalam alveolus (air-trapping)
ataupun gangguan distribusi udara dalam cabang-cabang bronkus. Aliran udara intra-parenkim berkurang, dan pertukaran udara
alveolus berkurang sehingga tekanan saturasi oksigen berkurang.
c. Volume dan kapasitas paru menurun: hal ini disebabkan karena beberapa faktor yaitu kelemahan otot napas, elastisitas jaringan
parenkim paru menurun, resistensi saluran napas yang menurun sedikit. Secara umum dikatakan bahwa pada lanjut usia terdapat
pengurangan ventilasi paru.

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 2/13 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 17:10:55 2017 / +0000 GMT

d. Gangguan transpor gas: pada lanjut usia terjadi penurunan PaO2 secara bertahap, yang disebabkan oleh adanya
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Selain itu diketahui bahwa pengambilan O2 oleh darah dari alveoli dan transpor O2 ke jaringan
berkurang, terutama terjadi pada saat melakukan olahraga. Penurunan pengambilan O2 maksimal disebabkan antara lain oleh

berbagai perubahan pada jaringan paru yang menghambat difusi gas dan karena berkurangnya aliran darah ke paru akibat turunnya
curah jantung.
Tes fungsi paru-paru standar menunjukkan perubahan sebagai berikut :
a. Volume ekspirasi paksa dalam detik pertama (FEV1/FVC) menurun seiring bertambahnya usia (pada usia diatas 70 tahun
FEV1/FVC 65% dari normal).
b. Ventilasi maksimal, menurun sekitar 1% per tahun antara usia 30 dan 70 tahun
c. Kapasitas difusi CO2 berkurang 0,20 ? 0,30 ml/menit/mmHg/tahun; perubahan ini mungkin berkaitan dengan hubungan antara
usia dengan penurunan luas permukaan kapiler paru
d. Penurunan FEV1 pada orang yang tidak merokok ±30 ml/tahun dan penurunan FVC ±20 ml/tahun dimulai pada usia 30 tahun
e. Kapasitas paru total tidak dipengaruhi oleh usia.
Tabel : Perubahan fungsi paru berhubungan dengan usia
Fungsi Perubahan Akibatnya
Komplians rongga toraks menurun Peningkatan kerja pernapasan, peningkatan volume residual, peningkatan diameter
anteroposterior dinding toraks
Volume akhir meningkat penurunan rasio ventilasi-perfusi pada paru yang terlibat, pelebaran gradien O2 alveolar-arterial
FEV1 menurun menurunnya rasio FEV1/FVC
Ventilasi volunter maksimum menurun penurunan respon yang nyata terhadap hipoksia dan hiperkapnia
Kapasitas difusi CO2 menurun peningkatan transport O2 dan CO2 yang nyata
Respon pusat pernapasan terhadap hipoksia dan hiperkapnia menurun peningkatan sensitivitas terhadap hipoksia dan hiperkapnia
? Kontrol pernapasan dan tidur

Terjadi penurunan respon ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapnia ± 50% pada usia di atas 65 tahun dibandingkan dengan usia
20 tahun. Kemampuan untuk mengetahui peningkatan elastisitas dan muatan restriktif juga menurun. Efisiensi tidur pada lanjut usia
menurun. Hal ini mungkin berhubungan dengan peningkatan obstruksi pusat apnea, umumnya pada fase I dan II tidur (sekunder
terhadap penurunan respon ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapnia), yang menyebabkan peningkatan periode terjaga di malam
hari. Jumlah waktu yang dihabiskan dalam satu gelombang tidur juga menurun dengan bertambahnya usia.
? Olahraga dan kondisi tubuh
Konsumsi oksigen maksimum menurun sejajar dengan usia ± 0,4 ml/kg/menit/tahun. Hal ini terutama berhubungan dengan
perubahan kondisi tubuh dan perubahan pada sistem kardiovaskuler (penurunan detak jantung dan stroke volume). Konsumsi
oksigen dapat ditingkatkan dengan melakukan olahraga atau latihan fisik yang teratur.
? Sleep Apnea
Sleep apnea atau sering disebut dengan obstructive sleep apnea syndrome (OSAS), merupakan gangguan tidur yang banyak diderita
oleh masyarakat. Ciri khasnya adalah adanya obstruksi berulang saluran napas bagian atas yang mengarah pada desaturasi
oksihemoglobin, rangsangan berulang dan gangguan tidur. Sleep apnea berhubungan dengan adanya penurunan aktivitas otot
dilatator saluran napas bagian atas dan daerah sekitar faring.
Gejala sleep apnea berupa: mengorok kuat dan tidak teratur, seringkali megap-megap karena kehabisan napas; denyut jantung
menjadi tidak teratur; adanya gerakan tubuh yang tiba-tiba sebelum penderita bisa bernapas kembali; dan banyak berkeringat ketika
tidur.
Sedangkan sewaktu tidak tidur gejalanya adalah: mengantuk dan lelah yang berlebihan di siang hari; insomnia; berat badan
bertambah dengan cepat, bahkan sampai mengalami obesitas; ketika bangun tidur, penderita merasa bingung atau ingatannya hilang
sebentar; sakit kepala yang tidak jelas sebabnya pada pagi hari; tekanan darah tinggi; impotensi; dan perubahan tingkah laku.

Untuk mendiagnosis OSAS biasanya dilakukan di laboratorium tidur, menggunakan metode retrospektif dengan Polysomnogram
yang meliputi monitoring aliran dan usaha pernapasan, saturasi oksihemoglobin, EEG, EMG, ECG dan posisi tubuh yang dilakukan
semalam penuh.
Terapi yang sekarang digunakan adalah dengan menggunakan tekanan positif pada saluran napas yang terus menerus (CPAP:
Continuous Positive Airway Pressure) dengan memasang masker melalui hidung untuk mencegah kolapsnya saluran napas bagian
atas. Jumlah tekanan yang diberikan ditentukan setelah didiagnosis dalam laboratorium tidur dan dipertahankan tetap sepanjang
malam.

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 3/13 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 17:10:55 2017 / +0000 GMT

Perkembangan sarana terapi (auto-CPAP) yang diadaptasi dari level CPAP saluran napas bagian atas, memerlukan deteksi terhadap
tanda awal adanya obstruksi saluran napas. Contoh: prediksi obstruksi apnea, umumnya sarana auto CPAP yang tersedia cenderung
menunjukkan adanya obstruksi faring yang berbahaya, yang ditandai dengan mendengkur, perubahan kurva aliran inspirasi atau
perubahan modulus dari accustical respiratory input impedance.
IV. Faktor-Faktor yang Memperburuk Fungsi Paru-Paru

Selain penurunan fungsi paru akibat proses proses menua, terdapat beberapa faktor yang dapat memperburuk fungsi paru (Silverman
dan Speizer, 1996; Tim Pneumobil Indonesia, 1994). Faktor-faktor tersebut adalah :
1. Merokok
Merokok akan memperburuk fungsi paru karena mengakibatkan penyempitan saluran napas. Pada tingkat awal, saluran napas akan
mengalami obstruksi dan terjadi penurunan nilai VEP1 yang besarnya tergantung pada beratnya penyakit paru tadi. Pada tingkat
lanjut, dapat terjadi obstruksi yang irreversibel, timbul penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
2. Obesitas
Pada obesitas, biasanya terjadi penimbunan lemak pada leher, dada, dan dinding perut, akan dapat mengganggu komplians dinding
dada, berakibat penurunan volume paru atau terjadi keterbatasan gerakan pernapasan dan timbul gangguan fungsi paru tipe restriktif.
3. Imobilitas
Imobilitas akan menimbulkan kekakuan atau keterbatasan gerak saat otot-otot berkontraksi, sehingga kapasitas vital paksa atau
volume paru akan relatif berkurang. Imobilitas karena kelelahan otot-otot pernapasan pada lanjut usia dapat memperburuk fungsi
paru-paru. Faktor lain yang menimbulkan imobilitas paru-paru misalnya efusi pleura, pneumotoraks, tumor paru, dan lain-lain.
4. Operasi
Tidak semua pembedahan mempengaruhi faal paru. Tindakan pembedahan yang dapat mempengaruhi adalah: pembedahan toraks
(jantung dan paru); pembedahan abdomen bagian atas; dan anestesi atau jenis obat anestesi tertentu. Perubahan fungsi paru yang
timbul meliputi perubahan proses ventilasi, distribusi gas, difusi gas, serta perfusi darah kapiler paru. Adanya perubahan
patofisiologik paru pasca bedah mudah menimbulkan komplikasi paru: atelektasis, infeksi, atau sepsis, sampai dengan kematian
karena gagal napas.
V. Penyakit Paru-Paru Yang Sering Pada Lanjut Usia

Beberapa penyakit paru yang menyertai orang lanjut usia, terdapat 5 macam yang penting, yaitu: pneumonia, tuberkulosis paru,
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), asma (sudah tidak digolongkan dalam PPOK), dan karsinoma paru.
A. PNEUMONIA
Insidens
Timbulnya infeksi saluran napas khususnya pneumonia cukup banyak pada lanjut usia. Kejadian pneumonia pada lanjut usia
tergantung pada: daya tahan tubuh penderita yang melemah, lingkungan dimana mereka berada, dan virulensi kuman penyebabnya.
Secara epidemiologi, pneumonia pada lanjut usia dibedakan menjadi pneumonia komunitas dan pneumonia nosokomial. Insidensi
pneumonia komunitas pada lanjut usia sekitar 6,8-11,4%.
Angka kematian lanjut usia karena pneumonia cukup tinggi ± 40%. Penyebabnya karena pneumonianya sendiri; disertai penyakit
lain, atau pada kenyataannya penderita pada usia lanjut lebih sulit diobati. Penyakit yang sering menyertai pneumonia sehingga lebih
sering menyebabkan kematian, misalnya diabetes mellitus, gagal jantung kronik, penyakit-penyakit vaskuler, PPOK, dan lain-lain.
Etiologi
Etiologi pneumonia pada lanjut usia bermacam-macam, yang paling sering penyebabnya adalah kombinasi beberapa kuman.
Pneumonia komunitas tersering disebabkan oleh kuman Streptococcus pneumoniae. Pneumonia nosokomial sering disebabkan
melalui pemasangan alat-alat, seperti endotracheal tube, mencapai 10-70%, terutama disebabkan oleh kuman gram negatif.
Pneumonia aspriasi juga sering terjadi pada lanjut usia, terjadi pada penderita yang mengalami bed rest atau penurunan kesadaran.
Kuman penyebab pneumonia aspirasi sukar diketahui, tetapi 87% kasus yang terdeteksi adalah kuman aerob pada aspirasinya.
Gejala Klinik
Gejala klinik penderita pneumonia pada lanjut usia sering tidak menunjukkan gambaran yang nyata. Pada lanjut usia, apabila
menderita infeksi akut awitan, berlangsung pelan-pelan, tidak mendadak seperti pada usia muda. Keluhan utamanya adalah demam

ringan, batuk dengan produksi sputum pada 60% kasus. Pada 30% kasus, keluhan permulaan penyakit hanya berupa kelemahan dan
anoreksia, tanpa demam yang nyata. Hal itu disebabkan oleh menurunnya reaktivitas fisik lanjut usia dan biasanya karena adanya
dehidrasi. Umumnya, penderita waktu masuk rumah sakit demam ringan, sesudah mendapat rehidrasi di rumah sakit, tekanan
darahnya menjadi normal, baru muncul demam. Penurunan kesadaran dilaporkan terjadi pada 20% kasus, distensi abdomen 5%
kasus, tanda dehidrasi pada 50% kasus. Penurunan kesadaran tersebut tidak ada korelasi dengan perubahan tekanan darah, tetapi

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 4/13 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 17:10:55 2017 / +0000 GMT

dikorelasikan dengan kondisi dehidrasi yang ada.
Kelainan fisik yang lazim ditemukan pada penderita pneumonia, misalnya perkusi redup/pekak pada daerah paru yang terkena, ronki
basah, suara napas bronkial, whispered pectoriloquy jarang ditemukan, hal ini mungkin berkaitan dengan adanya pemanjangan
diameter antero-posterior dada pada lanjut usia. Frekuensi pernapasan ? 24 kali/ menit merupakan hal yang bermakna bagi adanya
pneumonia pada lanjut usia. Pneumonia pada lanjut usia dapat disertai syok septik dengan gejala kelelahan, anoreksia, dan
penurunan kesadaran.
Pemeriksaan laboratorium pada sebagian besar kasus menunjukkan jumlah leukosit normal atau sedikit meninggi, kadang
leukositosis. Pada hitung jenis terdapat tanda ?shift to the left? dan dapat dipakai sebagai petunjuk diagnostik adanya infeksi akut
yang penting. Kelainan lain yang ditemukan adalah peningkatan ureum darah (pada 30% kasus), peningkatan ringan serum
transaminase (20% kasus), peningkatan kreatinin dan dapat ditemukan hiponatremia dan hipofosfatemia. Pada pneumonia lanjut
usia, penurunan PaO2 lebih besar dibanding pada pneumonia usia muda. Hal ini terjadi karena proses proses menua, terdapat
penambahan perfusi darah ke lobus paru, sehingga memudahkan terjadinya gagal napas.
Gambaran radiologik pneumonia lanjut usia, bila jelas akan tampak gambaran infiltrat paru. Kadang sulit menilai gambaran foto
toraks pada pneumonia lanjut usia, terutama apabila terdapat dehidrasi, sehingga infiltrat belum terlihat dalam waktu 24-48 jam
pertama perawatan. Pada pneumonia yang dini atau oleh gram negatif, foto toraks kadang tampak normal.
Komplikasi
- Efusi pleura dan empiema, terjadi pada sekitar 45% kasus
- Komplikasi sistemik, dapat terjadi karena invasi kuman atau bakteriemia. Dapat juga terjadi dehidrasi dan hiponatremi, anemia
pada infeksi kronik.
- Hipoksemia akibat gangguan difusi.
- Pneumonia kronik dapat terjadi bila pneumonia berlangsung lebih dari 4-6minggu
- Bronkiektasis, biasanya terjadi karena pneumonia pada masa anak-anak atau karena infeksi berulang di lokasi bronkus distal.
Diagnosis
Diagnosis pneumonia pada lanjut usia ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Kadang sulit
dilakukan karena gambaran klinik dan pemeriksan penunjang hasilnya memberi gambaran tidak khas. Adanya frekuensi pernapasan
? 24 x/ menit, terutama apabila disertai demam, kelemahan atau anoreksia pada seseorang lanjut usia merupakan petunjuk cukup
bermakna dalam mendiagnosis pneumonia pada usia lanjut.
Diagnosis banding pneumonia yang perlu dipikirkan adalah: gagal jantung, emboli paru, sindroma kegawatan napas orang dewasa,
pneumonia aspirasi cairan lambung, keganasan paru, pneumonitis radiasi dan reaksi hipersensitivitas terhadap obat.
Pengobatan
Pengobatan pneumonia dilakukan dengan pemberian kemoterapi dan pengobatan umum (terapi oksigen, terapi cairan, dan
fisioterapi). Tujuan pemberian kemoterapi adalah untuk membasmi kuman penyebab pneumonia. Pemberian kemoterapi adalah
untuk mematikan kuman penyebab pneumonia. Jika penyakit penderita sangat serius, pemberian antibiotik dilakukan secara empirik,
didasarkan atas diagnosis mikrobiologi empirik. Dengan cara ini dapat dipilih antibiotik yang tepat dan rasional. Bila penyakit
ringan atau sedang, antibiotik diberikan secara oral, sedangkan bila berat, diberikan secara parenteral. Pengobatan umumnya
diberikan selama 7-10 hari pada kasus tanpa komplikasi, atau antibiotik diteruskan sampai 3 hari bebas panas. Apabila terdapat
penurunan fungsi ginjal, maka diperlukan penyesuaian dosis antibiotik.
Hidrasi penderita harus diperhatikan. Pada penyakit ringan, rehidrasi dilakukan secara oral, sedangkan pada penyakit berat, rehidrasi
dilakukan secara parenteral dengan larutan elektrolit.
Pemberian fisioterapi perlu diberikan pada penderita pneumonia lanjut usia. Penderita perlu tirah baring dan posisi penderita perlu
diubah-ubah untuk menghindari timbulnya pneumonia hipostatik, kelemahan dan dekubitus.
Prognosis
Prognosis penderita pneumonia umumnya baik. Faktor penentu prognosis penderita bergantung pada hal-hal di luar paru, terutama
tingginya derajat dehidrasi dan gangguan faal ginjal. Prognosis jelek bila didapat adanya komplikasi kardio pulmonal, gangguan
kesadaran, peninggian kadar ureum darah, gambaran abnormal pada foto thoraks.
B. TUBERKULOSIS PARU
Tuberkulosis paru pada lanjut usia sering tidak diperhatikan karena keluhan, gejala klinik, maupun gambaran radiologik tidak khas.
Insidens
Insidensi penyakit tuberkulosis paru-paru pada lanjut usia cukup tinggi, sekitar 25,2 %.
Etiologi

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 5/13 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 17:10:55 2017 / +0000 GMT

Penyebab infeksi tuberkulosis ialah kuman tahan asam, Mycobacterium tuberculosis. Umumnya infeksinya merupakan reaktivasi
fokus dormant yang terjadi puluhan tahun sebelumnya.
Gambaran Klinik
Gambaran klinik tuberkulosis paru pada lanjut usia sering memberikan gambaran tidak khas. Penderita mungkin tampak menderita
pneumonia atau bronkitis kronik dengan respons yang kurang baik terhadap antibiotika.
Gejala tersering yang dikeluhkan penderita tuberkulosis lanjut usia adalah: sesak napas, penurunan berat badan dan gangguan
mental. Penderita tuberkulosis paru lanjut usia jarang datang dengan keluhan hemoptisis, ataupun gejala klasik lainnya seperti pada
penderita usia muda, seperti demam, batuk-batuk produktif, dan keringat malam.
Jika tuberkulosis yang timbul berasal dari reaktivasi dari fokus infeksi sebelumnya, daerah paru-paru yang paling sering terserang
adalah daerah apeks paru, atau dengan penyebaran ke daerah lain. Pada tuberkulosis lanjut usia ini, sering terdengar ronki basah di
daerah basal paru, terutama lobus kanan bawah.
Gambaran radiologik klasik yang ditemui adalah gambaran infiltrat, fibrosis, kalsifikasi, kavitas, efusi pleura, pneumotoraks, atau
bercak-bercak milier. Kadang tuberkulosis paru pada usia lanjut menyerupai karsinoma paru, terutama apabila timbul infiltrat di
hilus atau parahiler, sehingga tampak seperti massa.
Penegakan diagnosis sering mengalami kesulitan karena keluhan dan kelainan fisik yang sering tidak jelas. Diagnosis pasti dengan
ditemukannya kuman BTA pada sputum, dengan pulasan langsung atau kultur, hal ini sulit dipenuhi karena sputum pada lanjut usia
sangat sedikit atau sulit mengeluarkan sputum. Maka dapat dilakukan perangsangan dengan pemberian NaCl lewat nebulizer atau
cara lainnya.
Klasifikasi Diagnostik TB
1. TB paru
- BTA mikroskopis langsung (+) atau biakan (+), kelainan foto toraks menyokong TB, dan gejala klinis sesuai TB.
- BTA mikroskopis langsung atau biakan (-), tetapi kelainan rongent dan klinis sesuai TB dan memberikan perbaikan pada
pengobatan awal TB (initial Therapy). Pasien ini memerlukan pengobatan yang adekuat.
2. TB paru tersangka
Diagnosis pada tahap ini bersifat sementara sampai hasil pemeriksaan BTA didapat (paling lambat 3 bulan ). Pasien dengan BTA
mikroskopis (-) atau belum ada hasil pemeriksaan atau pemeriksaan belum lengkap, tetapi kelainan rongent dan klinis sesuai TB
paru. Pengobatan dengan anti TB sudah dapat dimulai.
3. Bekas TB (tidak sakit )
Ada riwayat TB pada pasien di masa lalu dengan atau tanpa pengobatan gambaran rongent normal atau abnormal tetapi stabil pada
foto serial dan sputum BTA (-). Kelompok ini tidak perlu diobati.
Cara lain untuk menentukan diagnosis :
- Laboratorium darah rutin ( LED normal atau meningkat , limfositosis )
- Foto toraks PA dan leteral.
- Pemeriksaan sputum BTA
- Test PAP ( peroksidase anti peroksidase )
Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen imunoperoksidase staining untuk menentukan adanya IgG spesifik
terhadap basil TB.
- Tes Mantoux / Tuberkulin
- Teknik Polymerase Chain Reaction
Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam berbagai tahap sehingga dapat mendeteksi meskipun hanya ada 1
mikroorganisme dalam spesimen. Juga dapat mendeteksi adanya resistensi.
- Becton Dickinson Diagnostic Instrument System ( BACTEC )
Deteksi growth index berdasarkan CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam lemak oleh M.Tuberculosis.
- Enzyme Linked Immunosorbent Assay
Deteksi respons humoral, berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Pelaksanaannya rumit dan antibodi dapat menetap dalam
waktu lama sehingga menimbulkan masalah.
- MYCODOT
Deteksi antibodi memakai antigen lipoarabinomannan yang direkatkan pada suatu alat berbentuk seperti sisir plastik, kemudian
dicelupkan dalam serum pasien. Bila terdapat antibodi spesifik dalam jumlah memadai maka warna sisir akan berubah.
Pengobatan

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 6/13 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 17:10:55 2017 / +0000 GMT

Pada penderita lanjut usia, penyakit cenderung mengenai banyak organ, maka pengobatan sebaiknya secara holistik. Hal ini untuk
menghindari adanya efek samping obat, keracunan obat karena adanya interaksi obat yang diberikan bersama-sama.
Obat anti tuberkulosis yang biasa diberikan pada penderita lanjut usia adalah INH, rifampicin, dan etambutol. Streptomisin hanya
dipakai apabila ada halangan menggunakan obat-obatan lain, karena efek sampingnya ototoksik dan nefrotoksik.
Tindakan rehabilitasi perlu diberikan pada penderita mengingat gangguan fungsi paru pada penderita. Latihan fisik juga diperlukan
untuk menguatkan otot-otot pernapasan, melatih cara batuk yang efektif dan sebagainya perlu dijelaskan pada penderita.
Terapi tuberkulosis menurut WHO tahun 2003 :
? Kategori 1: BTA (+) kasus baru atau BTA (-) lesi luas/ extra pulmo
- isoniazid + rifampicin + ethambutol (or streptomycin) 2 bulan
- isoniazid + rifampicin 4 bulan, (isoniazid+ethambutol) 6 bulan
? Kategori 2: BTA (+), relaps, putus obat, gagal obat
- isoniazid + rifampicin + pirazinamid + ethambutol + streptomycin 2 bulan
- isoniazid + rifampicin + pirazinamid + ethambutol 1 bulan
- isoniazid + rifampicin + ethambutol 5 bulan
? Kategori 3: BTA (-), lesi minimal
- isoniazid + rifampicin + pirazinamid + ethambutol 2 bulan
- isoniazid + rifampicin 4 bulan (isoniazid + ethambutol) 6 bulan
? Kategori 4: kronik BTA (+)
- setelah mendapat pengobatan adekuat dan resisten terhadap multi drug treatment
- beri obat yang sensitif atau individual (isoniazid saja bila keuangan tidak memungkinkan
C. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Definisi PPOK adalah suatu kelainan paru dengan adanya perlambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, yang bersifat
progresif dan berkaitan dengan respons inflamasi yang abnormal terhadap partikel gas atau iritan. Yang termasuk dalam kelompok
PPOK adalah bronkitis kronis, emfisema paru dan penyakit saluran napas perifer.
Insidens
Belum banyak dijumpai insidens PPOK pada lanjut usia.
Etiologi
Etiologi penyakit ini belum diketahui. Timbulnya dikaitkan dengan faktor resiko yang terdapat pada penderita, antara lain merokok
yang berlangsung lama, polusi udara, infeksi paru berulang, umur, jenis kelamin, ras, dan lain sebagainya. Pengaruh dari
masing-masing faktor resiko terhadap terjadinya PPOK saling memperkuat, dan faktor merokok dianggap paling dominan.
Patofisiologi
PPOK ditandai suatu inflamasi kronis pada saluran napas, parenkim paru dan jaringan vaskular paru. Tingkat inflamasi ini bervariasi
sehubungan dengan progresivitas penyakit. Akibat kerusakan yang timbul, akan terjadi obstruksi bronkus kecil (bronkiolus
terminal), yang mengalami penutupan atau obstruksi awal fase ekspirasi. Udara pada saat inspirasi mudah masuk ke dalam alveoli,
saat ekspirasi banyak yang terjebak dalam alveolus dan terjadilah penumpukan udara (air trapping). Hal ini menyebabkan keluhan
sesak napas. Adanya obstruksi dini saat awal ekspirasi akan menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-fungsi paru: ventilasi,
distribusi gas, maupun perfusi darah akan mengalami gangguan.
Gambaran Klinik
Gambaran klinik yang ditemukan adalah gambaran penyakit paru yang mendasari tanda-tanda klinik akibat terjadinya obstruksi
bronkus. Bila diamati dengan cermat akan mengarah pada dua tipe: (1) mempunyai gambaran klinik dominan ke arah bronkitis
kronik (Blue bloater type); dan (2) gambaran klinik dominan ke arah emfisema (Pink puffer type).
Tabel : Perbedaan Pink puffer dan Blue bloaters
Gambaran Pink puffer
( emfisematous ) Blue Bloaters
( bronkitis )
Awitan 30-40 tahun 20 tahunan akibat merokok
Usia saat di diagnosis > 60 th > 50 th
Sebab Tak diketahui
Predisposisi genetik
Merokok/polusi udara Tak diketahui

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 7/13 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 17:10:55 2017 / +0000 GMT

Cuaca
Merokok/polusi udara
Sputum Sedikit Banyak sekali
Dispneu Relatif dini Relatif lambat
Bentuk tubuh Kurus dan ramping Gizi cukup
Diameter AP dada Sering bentuk tong Tidak bertambah
Patologi anatomi paru Emfisema panlobar Emfisema sentrilobar
Pola pernapasan Hiperventilasi dan dispneu yang jelas dapat timbul sewaktu istirahat Hilangnya dorongan pernapasan. Sering terjadi
hipoventilasi, berakibat hipoksia dan hiperkapnea.
Pa CO2 35-40 mmHg 50-60 mmHg
Pa O2 65-75 mmHg 45-60 mmHg
Hematokrit 35-45% 50-55%
Polisitemia Hb dan Ht normal Hb dan Ht meningkat
Sianosis Jarang Sering
Kor pulmonale Jarang,kecuali tahap akhir Sering, disertai banyak serangan
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis ditemukan keluhan
kelemahan badan, batuk, sesak napas, napas berbunyi, mengi atau wheezing. Anamnesa dilakukan secara teliti, karena perjalanan
penyakitnya lambat. Pada pemeriksaan fisik, penderita dengan tingkat penyakit masih awal tidak menunjukkan kelainan. Tanda yang
perlu diperhatikan adalah ekspirasi memanjang, bentuk dada seperti tong, penggunaan otot-otot untuk membantu bernapas, kadang
ditemukan pernapasan paradoksal. Dapat juga ditemukan edema kaki, asites, dan jari tabuh.
Pemeriksaan faal paru merupakan pemeriksaan penunjang penting. Pasien yang mempunyai gejala batuk kronik dengan sputum
produktif serta adanya riwayat terpapar faktor resiko, hendaknya dilakukan pemeriksaan dengan spirometer, uji hambatan aliran
udara pernapasan. Untuk diagnosis dan penilaian PPOK, pada spirometri dengan rasio FEV1/FVC