BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Kadar Malondialdehid (MDA) Pada Kejadian Dismenore Primer

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dismenore Primer Nyeri haid adalah keluhan ginekologis yang sering terjadi pada wanita.

  Nyeri saat haid menyebabkan ketidaknyamanan dalam aktifitas fisik sehari-hari. Keluhan ini berhubungan dengan ketidakhadiran berulang di sekolah ataupun di tempat kerja, sehingga dapat mengganggu produktivitas. Empat puluh hingga tujuh puluh persen wanita pada masa reproduksi mengalami nyeri haid dan sebesar 10 persen mengalaminya hingga mengganggu aktifitas sehari-hari.

  Sekitar 70-90% kasus nyeri haid terjadi saat usia remaja dan remaja yang mengalami nyeri haid akan terpengaruh aktifitas akademisnya, sosial, dan olahraga. Di Amerika Serikat, nyeri haid dilaporkan sebagai penyebab utama ketidakhadiran berulang pada siswa wanita di sekolah, sedangkan di Indonesia

  7,8,9,10,11 belum ada angka yang pasti untuk kejadian nyeri haid.

  Nyeri haid dapat dibagi menjadi 2 yaitu nyeri haid primer dan nyeri haid sekunder. Nyeri haid primer didefinisikan sebagai nyeri kram yang berulang yang terjadi saat menstruasi tanpa ada kelainan patologik pada pelvis. Nyeri haid sekunder adalah nyeri saat haid yang didasari oleh adanya kelainan patologik pada pelvis, contohnya endometriosis. Nyeri haid primer mulai saat usia remaja, saat dimana siklus ovulasi mulai teratur. Penyebab nyeri haid primer sampai saat ini masih belum jelas, tetapi beberapa teori menyebutkan bahwa kontraksi miometrium akan menyebabkan iskemia pada uterus sehingga menyebabkan rasa nyeri. Kontraksi miometrium tersebut disebabkan oleh sintesis prostaglandin. Prostaglandin disebut dapat mengurangi atau menghambat sementara suplai darah ke uterus yang menyebabkan uterus mengalami kekurangan oksigen

  5,8,9,10,11 sehingga menyebabkan kontraksi miometrium dan terasa nyeri.

  Gejala dari nyeri haid primer berupa rasa nyeri di perut bagian bawah, menjalar ke daerah pinggang dan paha. Kadang-kadang disertai mual, muntah, diare, sakit kepala dan emosi yang labil. Nyeri timbul sebelum haid dan berangsur hilang setelah darah haid keluar. Penanganan awal pada penderita nyeri haid pimer adalah dengan memberikan obat-obatan penghilang rasa nyeri dan sebesar 80% penderita mengalami penurunan rasa nyeri haid setelah minum obat penghambat prostaglandin. Obat-obatan anti inflamasi golongan non-steroid seperti ibuprofen, naproksen, asam mefenamat dan aspirin banyak digunakan sebagai terapi awal untuk nyeri haid. Tetapi obat-obatan tersebut memiliki efek samping gangguan gastrointestinal seperti nausea, dispepsia dan muntah-

  5,8,9,10,11 muntah.

  Nyeri haid dalam istilah medis dinamai dismenore sebenarnya merupakan suatu kondisi yang umum dialami oleh wanita yang sudah mendapatkan menstruasi. Sesungguhnya saat menstruasi, di dalam tubuh setiap wanita terjadi peningkatan kadar Prostaglandin (suatu zat yang berkaitan dengan proses

  4,5,6,7,8 inflamasi pada tubuh manusia).

  Dismenore adalah nyeri selama menstruasi yang disebabkan kejang otot uterus. Menstruasi yang sangat menyakitkan, terutama terjadi pada perut bagian bawah dan punggung serta biasanya terasa seperti kram, dikenal sebagai

  8,12,13 dismenore.

  Walaupun frekuensi dismenore cukup tinggi dan penyakit ini sudah lama dikenal, namun sampai sekarang patogenesisnya belum dapat dipecahkan dengan

  14,15 memuaskan.

  5,6,8,16,17

  Adapun dismenore dibagi atas:

  1. Dismenore Primer (esensial, intrinsik, idiopatik), Tidak terdapat hubungan dengan kelainan ginekologi.

  2. Dismenore Sekunder (ekstrinsik, yang diperoleh/acquired), Disebabkan oleh kelainan ginekologi (PID, endometriosis, adenomiosis dan lain-lain). Secara umum, nyeri haid timbul akibat kontraksi disritmik miometrium yang menampilkan satu gejala atau lebih, mulai dari nyeri yang ringan sampai berat di perut bagian bawah, bokong, dan nyeri spasmodik di sisi medial

  18,19,20,21 paha.

  Selama menstruasi, sel-sel endometrium yang terkelupas (sloughing endometrial cells) melepaskan prostaglandin, yang menyebabkan iskemia uterus melalui kontraksi miometrium dan vasokonstriksi. Peningkatan kadar prostaglandin telah terbukti ditemukan pada cairan haid (menstrual fluid) pada wanita dengan dismenore berat (severe dysmenorrhea). Kadar ini memang meningkat terutama

  4,5,6,7,18,19,20,21 selama dua hari pertama menstruasi.

  Dismenore primer didefinisikan sebagai rasa sakit berupa kram mentruasi tanpa ada bukti patologis. Bila kita merujuk dari persentase nyeri selama menstruasi maka persentasenya adalah 5

  • –10% dari remaja akhir atau usia 20 tahun yang menderita dismenore primer dalam waktu singkat setiap bulannya. Nyerinya bisa rendah, menengah, berturut-turut, kram pelviks, dan nyerinya menjalar ke belakang atau sebelah dalam paha. Kram dapat terjadi dalam satu atau beberapa hari disertai mual, diare, sakit kepala dan kemerahan pada wajah. Uterus mengalami vasokontriksi, anoreksia kontraksi terus menerus karena prostaglandin “PGF2 dan PGF2α”. Pada sebagian wanita dengan dismenore primer, terjadi peningkatan sekresi endometrial dari menstruasi dari prostaglandin F2 (PGF2) selama fase menstruasi. Pelepasan prostaglandin ke cairan menstruasi tejadi secara berkesinambungan ataupun tidak berkesinambungan sehingga jumlah cairan menstruasi ataupun prostaglandin bervariasi. Intensitas kram dan

  9,10,18,19,21,22,23 gejala dismenore sebanding dengan jumlah dilepaskannya PGF2.

  Radikal bebas oksigen dan terbentuknya dismenorea primer sangat berkaitan dengan kontraksi arteri dari otot polos uterus ketika uterus terkompresi, iskemik otot sehingga menghasilkan lebih banyak radikal bebas oksigen mencari

  6,7,8,22 klorin superoxid dismutase.

  Dismenorea primer hampir selalu terjadi saat siklus ovulasi (ovulatory cycles) dan biasanya muncul dalam 6-12 bulan setelah menarche (haid pertama). Pada dismenorea primer klasik, nyeri dimulai bersamaan dengan onset haid (atau hanya sesaat sebelum haid) dan bertahan/menetap selama 1-2 hari. Nyeri dideskripsikan sebagai spasmodik pada perut bagian bawah yang menyebar ke

  7,8,10,24,25 bagian belakang (punggung) atau anterior dan/atau medial paha.

  

8,12,14,24

  Faktor resiko dismenore primer:  Obesitas  Merokok  Konsumsi alkohol  Gaya hidup yang buruk

2.2. Patofisiologi Nyeri Haid Primer

  Nyeri haid adalah nyeri saat haid yang sedemikian beratnya sehingga memaksa penderita untuk istirahat dan meninggalkan pekerjaan atau cara hidup sehari-hari untuk beberapa jam atau beberapa hari. Nyeri haid primer disebut sebagai nyeri haid sejati, intrinsik, esensial, fungsional, timbul sejak menarche, biasanya pada bulan-bulan atau tahun-tahun pertama haid. Terjadi pada usia antara 15 sampai 25 tahun dan kemudian hilang pada usia akhir 20-an atau awal 30-an dan tidak dijumpai kelainan alat kandungan. Nyeri haid sekunder, dimulai pada usia dewasa, menyerang wanita yang semula bebas dari nyeri haid. Disebabkan oleh adanya kelainan alat-alat kandungan, misalnya endometriosis,

  9,10,11,21 peradangan di daerah panggul, tumor kandungan dan sebagainya.

  Etiologi nyeri haid primer belum jelas tetapi umumnya berhubungan dengan siklus ovulatorik. Beberapa faktor yang berperan dalam timbulnya nyeri haid primer, yaitu :

  A. Prostaglandin Prostaglandin adalah komponen mirip hormon yang berfungsi sebagai mediator dari berbagai respon fisiologis seperti inflamasi, kontraksi otot, dilatasi pembuluh darah, dan agregasi platelet. Prostaglandin terbentuk dari asam lemak tak jenuh yang disintesis oleh seluruh sel yang ada dalam tubuh. Setelah ovulasi terjadi penumpukan asam lemak pada bagian fosfolipid dalam sel membran. Tingginya asupan asam lemak omega 6 pada diet menyebabkan meningkatnya kadar asam lemak omega 6 pada bagian fosfolipid dinding sel. Pada saat kadar progesteron menurun sebelum haid, asam lemak omega 6 tersebut yaitu asam arakhidonat dilepaskan dan mengalami reaksi berantai menjadi prostaglandin dan leukotrien, yang diawali di uterus. Prostaglandin dan leukotrien menyebabkan respon inflamasi, yang akan menimbulkan spasme otot uterus dan keluhan sistemik seperti mual, muntah, perut kembung dan sakit kepala. PGF2

  α merupakan hasil metabolisme dari asam arakhidonat oleh enzim siklooksigenase, menyebabkan vasokontriksi dan kontraksi dari miometrium, yang menyebabkan

  9,10,11,21 iskemik dan rasa nyeri.

  Sebuah studi menunjukkan berbagai variasi kadar prostaglandin pada saluran reproduksi wanita mempengaruhi regresi korpus luteum dan peluruhan

  9,10,11,21 endometrium. prostaglandin juga mempengaruhi efek LH saat ovulasi.

  Ditemukan ada hubungan antara keluhan nyeri haid dan produksi prostaglandin serta adanya substansi dalam darah menstruasi yang menstimulasi kontraksi otot polos uterus. Substansi tersebut mengandung PGF2 α dan PGE2, dimana rasio PGF2

  α /PGE2 lebih tinggi dalam endometrium dan darah menstruasi wanita yang mengalami nyeri haid primer. PGF2 α dan PGE2 memiliki efek vaskuler yang berlawanan, yang menyebabkan vasokontriksi dan vasodilatasi.

  Pemberian PGF2 α merangsang kontraksi uterus selama seluruh fase siklus haid, sedangkan PGE2 menghambat kontraktilitas miometrium selama haid dan

  9,10,11,21 merangsangnya saat fase proliferatif dan fase luteal.

  Wanita dengan nyeri haid menunjukkan peningkatan konsentrasi PGF2 α dan metabolitnya dalam darah menstruasi dan sirkulasi perifer. Hal ini semakin memperkuat hipotesis bahwa nyeri haid berhubungan dengan hipertonisitas dari miometrium yang disertai dengan iskemi uteri yang disebabkan pelepasan lokal

  9,10,11,21,26 prostaglandin.

  Lepasnya prostaglandin dari uterus ke sirkulasi sistemik mengakibatkan efek sistemik seperti gangguan gastrointestinal, lesu, pusing dan sakit kepala. Teori tersebut didukung oleh beberapa penemuan yaitu :

  • Tingginya kadar prostaglandin terutama PGF2

  α selama fase sekresi dibandingkan fase proliferasi pada siklus menstruasi.

  • Tingginya kadar prostaglandin dan rasio PGF2

  α / PGE2 yang ditemukan dalam endometrium dan darah menstruasi wanita dengan nyeri haid.

  • Pemberian prostaglandin menimbulkan keluhan yang sama dengan nyeri haid.
  • Pemberian penghambat prostaglandin dapat mengurangi keluhan nyeri

  21 haid.

  Sejak ovulasi dianggap mengawali kejadian nyeri haid primer, hormon- hormon ovarium dianggap terlibat dalam produksi prostaglandin dalam jumlah besar. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa aksi prostaglandin dalam uterus tergantung pada kadar hormon progesteron, dimana tingginya kadar progesteron menyebabkan uterus resisten terhadap stimulasi prostaglandin dan saat awal menstruasi kadar progesteron yang rendah menyebabkan uterus tidak resisten

  9,10,11,21,26 terhadap kadar prostaglandin sehingga menyebabkan nyeri haid.

  Salah satu produk sampingan metabolisme dari prostaglandin adalah malondialdehid yang juga disangkakan mengalami peningkatan kadarnya dalam

  9,10,11,21,26 kejadian dismenore primer.

  B. Hormon steroid seks Nyeri haid primer hanya terjadi pada siklus ovulatorik. Nyeri haid hanya timbul bila uterus berada dibawah pengaruh progesteron. Sedangkan sintesis prostaglandin berhubungan dengan fungsi ovarium. Kadar progesteron yang rendah akan menyebabkan terbentuknya prostaglandin dalam jumlah yang banyak. Kadar progesteron yang rendah akibat regresi korpus luteum menyebabkan terganggunya stabilitas membran lisosom dan juga meningkatkan pelepasan enzim fosfolipase A2 yang berperan sebagai katalisator dalam sintesis prostaglandin melalui perubahan fosfolipid menjadi asam arakhidonat. Kadar estradiol wanita yang menderita dismenore lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Peningkatan kadar estradiol dalam darah vena uterina dan vena ovarika disertai juga dengan peningkatan kadar PGF2

  α yang tinggi dalam

  9,10,11,21 endometrium. C. Sistem saraf Uterus dipersarafi oleh sistem saraf otonom ( SSO ) yang terdiri dari sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Nyeri haid ditimbulkan oleh ketidakseimbangan pengendalian SSO terhadap miometrium. Pada keadaan ini terjadi perangsangan yang berlebihan oleh saraf simpatik sehingga serabut-

  9,10,11,21 serabut sirkuler pada ismus dan ostium uteri internum menjadi hipertonik.

  D. Psikis Semua nyeri tergantung pada hubungan susunan saraf pusat, khususnya talamus dan korteks. Derajat penderitaan yang dialami akibat rangsang nyeri tergantung pada latar belakang pendidikan penderita. Pada nyeri haid, faktor pendidikan dan faktor psikis sangat berpengaruh, nyeri dapat dibangkitkan atau diperberat oleh keadaan psikis penderita. Seringkali nyeri haid hilang segera setelah perkawinan dan melahirkan. Mungkin kedua keadaan tersebut (perkawinan dan melahirkan ) membawa perubahan fisiologik pada genitalia

  9,10,11,21 maupun perubahan psikik.

2.3. Pengaruh Radikal Bebas terhadap Lipid

  Radikal bebas bersifat sangat reaktif, dapat menimbulkan perubahan kimiawi dan merusak berbagai komponen sel hidup seperti protein, gugus tiol non- protein, lipid, karbohidrat, nukleotida terhadap protein, radikal bebas dapat menyebabkan fragmentasi dan cross-linking, sehingga mempercepat terjadinya proteolisis. Pengaruh radikal bebas pada gugus tiol enzim akan menyebabkan antara lain perubahan dalam aktifitas enzim tersebut. Terhadap lipid menyebabkan reaksi peroksidasi yang akan mencetuskan proses auto-katalitik yang akan menjalar sampai jauh dari tempat asal reaksi semula. Terhadap nukleotida radikal bebas akan menyebabkan terjadinya perubahan struktur (DNA atau RNA) yang menyebabkan terjadinya mutasi atau sitotoksisitas. Kerusakan sel oleh radikal

  9,10,11,12,25 bebas reaktif didahului oleh kerusakan membran sel.

  Adapun terjadi rangkaian proses tersebut meliputi reaksi peroksidasi lipid dan kolesterol membran yang mengandung asam lemak tidak jenuh majemuk PUFA. Hasil peroksidasi lipid membran oleh radikal bebas berefek langsung terhadap kerusakan membran sel, antara lain dengan mengubah fluiditas, cross-linking, struktur dan fungsi membran dalam keadaan yang lebih ekstrim akhirnya akan menyebabkan kerusakan sel. Efek biologi dari peroksidasi lipid membran bergantung antara lain pada populasi sel yang bersangkutan dan profil asam lemak pada membran fosfolipid. Contoh, membran mitokondria dan mikrosom sensitif terhadap peroksidasi lipid karena kandungan PUFA pada fosfolipid membran cukup tinggi. Umumnya semua membran peka terhadap reaksi peroksidasi lipid dalam derajat yang berbeda-beda. Kerusakan struktur sub-seluler secara langsung mempengaruhi pengaturan metabolisme. Sebagai contoh adalah: disrupsi membran lisosom menyebabkan pelepasan enzim-enzim hidrolitik lisosom yang selanjutnya mampu memperantarai kerusakan intraseluler, dan memperkuat

  9,10,11,22,27 kemampuan radikal bebas dalam menginduksi kerusakan sel.

  Dalam keadaan normal tubuh kita memiliki mekanisme pertahanan terhadap pengrusakan oleh radikal bebas yang beragam, efisien dan tersebar di berbagai tempat dalam sel. Menurut konsep radikal bebas, kerusakan sel akibat molekul radikal baru dapat terjadi bila kemampuan mekanisme pertahanan tubuh sudah

  9,10,24,28,29 dilampaui atau menurun.

  Radikal bebas adalah atom atau molekul yang memiliki sebuah elektron yang tidak berpasangan di orbit luarnya ( unpaired electron ). Zat ini sangat reaktif dan struktur yang demikian membuat radikal bebas cenderung mengambil atau mengekstraksi satu elektron dari molekul lain didekatnya untuk melengkapi dan selanjutnya mencetuskan reaksi berantai yang dapat mengakibatkan cedera

  27,28,30 sel.

  Oksidan adalah senyawa penerima elektron ( electron acceptor ), yaitu senyawa yang dapat menarik elektron. Sering dibaurkan pengertian antara radikal bebas dan oksidan, karena keduanya memiliki sifat-sifat yang sama yaitu kecenderungan untuk menarik elektron ( penerima elektron ). Aktifitas keduanya menghasilkan akibat yang sama walaupun prosesnya berbeda, oleh karena itu radikal bebas digolongkan dalam oksidan, namun tidak setiap oksidan adalah radikal bebas. Radikal bebas lebih berbahaya dibandingkan dengan oksidan yang bukan radikal bebas, dikarenakan sifat radikal bebas memiliki reaktifitas tinggi dan kecenderungan membentuk radikal yang baru sehingga terjadi reaksi rantai ( chain reaction ) dan akan berhenti apabila dapat diredam 9 quenched oleh

  31,32 antioksidan.

  Selama proses metabolisme dalam eritrosit maupun sel tubuh lainnya dihasilkan berbagai oksidan kuat. Metabolit oksigen utama yang dihasilkan melalui reduksi satu elektron adalah Species Oxygen Reactive ( SOR ) yang terdiri dari Superoksida, radikal bebas hidroksil, hidrogen peroksida serta radikal peroksil. SOR terus menerus dibentuk dalam jumlah besar di dalam sel melalui jalur metabolik tubuh yang merupakan proses biologis normal karena berbagai rangsangan, misalnya radiasi, tekanan parsial oksigen ( pO2 ) tinggi, paparan zat- zat kimia tertentu, infeksi maupun inflamasi. Semua SOR merupakan oksidan kuat dengan derajat berbeda-beda. Radikal hidroksil merupakan molekul yang paling reaktif dan dapat merubah struktur serta menimbulkan kerusakan jaringan, Anti oksidan merupakan senyawa pemberi elektron untuk meredam dampak negatif dari SOR. Alam menyediakan senyawa-senyawa anti oksidan yang merupakan senyawa pemberi elektron termasuk enzim-enzim dan protein-protein pengikat

  31,32 logam.

  Strategi yang digunakan anti oksidan dalam meredam oksidan adalah strategi 2 tahap, yaitu :

  1. Mencegah terhimpunnya senyawa-senyawa oksidan secara berlebihan

  31,32 2. Mencegah reaksi rantai lanjut.

  Stress oksidatif akan terjadi apabila SOR yang dihasilkan lebih besar dibanding yang dapat diredam oleh mekanisme pertahanan sel. Apabila senyawa-senyawa tersebut tidak diredam, maka oksigen akan berbalik menjadi racun bagi tubuh. Anti oksidan merupakan senyawa pemberi elektron untuk meredam dampak negatif

  31,32 SOR.

2.4. Proses Peroksidasi Lipid dan Malondialdehid (MDA)

Gambar 2.1. Kaskade pemecahan lipid melalui jalur siklooksigenase sehingga

  6 menghasilkan PGF2α yang berperan sebagai mediator nyeri

  Proses patofisiologi yang melibatkan pembentukan radikal bebas menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan, dan hal ini banyak dipelajari terutama pada penyakit degeneratif dan terjadinya proses inflamasi. Salah satu pengaruh radikal bebas adalah pada asam lemak tidak jenuh. Efek biologis dari proses peroksidasi lipid membran bergantung pada profil asam lemak tidak jenuh pada membran fosfolipid sel. Asam lemak tidak jenuh (PUFA) dapat mengalami proses peroksidasi menjadi peroksida lipid. PUFA pada manusia disintesis dari MUFA,

  9

  melalui penambahan ikatan rangkap antara ikatan rangkap yang sudah ada (D )

  10,19,20,29 dan gugus karboksil yang menghasilkan asam lemak.

Gambar 2.2. Proses peroksidasi melalui jalur siklooksigenase arakidonat menjadi

  11 PGF2α dengan hasil sampingan Malondialdehid

  Peroksidasi lipid adalah reaksi penyerangan radikal bebas terhadap asam lemak tidak jenuh jamak (PUFA) yang mengandung sedikitnya tiga ikatan rangkap. Reaksi ini dapat terjadi secara alami di dalam tubuh yang diakibatkan oleh pembentukan radikal bebas secara endogen dari proses metabolisme di dalam tubuh. Peroksidasi lipid diinisiasi oleh radikal bebas seperti radikal anion berkesinambungan dapat dibuat oleh tubuh kita. Setiap radikal bebas yang terbentuk oleh tubuh dapat memulai suatu reaksi berantai yang akan terus berlanjut sampai radikal bebas ini dihilangkan oleh radikal bebas lain dan oleh sistem antioksidan tubuh. Radikal bebas dapat menyerang hampir semua

  21,27,28 biomolekul termasuk membran lipid.

  11 Gambar 2.3. Struktur Kimia malondialdehid

  Asam lemak polyunsaturated teroksidase secara invivo oleh radikal bebas dan spesies reaktif lainnya. Produk lanjutan dari degradasi molekul lipid yang teroksidase itu menyebabkan pembentukan beberapa metabolit spesifik yang termasuk didalamnya adalah aldehid dengan panjang rantai yang bervariasi misalnya malondialdehid dan hexanal. MDA, sebuah produk peroksidase lipid

  33 yang larut air, separuhnya tereksresi lewat urin dibawah kondisi normal.

  Malondialdehid adalah rincian produk peroksidasi asam lemak rantai panjang yang meningkat ketika terjadi proses peroksidasi lipid. Peroksida lipid selanjutnya mengalami dekomposisi menjadi MDA. Sehingga MDA yang merupakan produk akhir proses peroksidasi lipid dan yang paling sering digunakan

  8,29,30,34 untuk mengukur proses peroksidasi lipid.

  Malondialdehid adalah suatu struktur solid, cukup stabil dalam kondisi netral, tetapi tidak dalam kondisi asam. Biasanya zat ini diproduksi dan dipakai dalam jumlah yang kecil untuk tujuan penelitian. Secara alamiah, malondialdehid dijumpai pada jaringan manusia dan hewan sebagai produk akhir dari peroksidase lemak. Zat ini juga merupakan produk sampingan dari biosintesis prostaglandin dan tromboksan. Malondialdehid ini dijumpai pada trombosit darah dan juga

  35 serum. Beberapa penelitian telah melihat hubungan antara MDA sebagai salah satu indikator peroksidase lipid. Penelitian yang dilakukan oleh Flemming di Kanada, pada Tahun 1997 pada 213 individu, terbagi atas 107 pria dan 106 wanita dengan rentang umur 20-29 tahun. Dari penelitian tersebut, tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dan umur dengan kadar MDA. Pada kelompok sampel yang merupakan perokok berat didapati kadar MDA lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak merokok, demikian juga dengan kelompok yang mengkonsumsi alkohol. Hasil penelitian tersebut mendukung plasma MDA

  36 sebagai biomarker potensial terhadap suatu stress oksidatif.

  Peninggian stress oksidatif telah mengimplikasi patogenesis dari banyak sekali penyakit. Sebagai konsekuensi dari stress oksidatif, protein, lemak dan DNA dapat mengalami kerusakan, dan menyebabkan perubahan struktural. Ketika membran fosfolipid mengalami peroksidase lipid, MDA dan produk turunan lainnya diproduksi. Selanjutnya akan terjadi modifikasi molekul endogen spesifik seperti sejumlah epitop yang akan melekat pada permukaan sel dan akhirnya mengalami apoptosis. MDA dan produk kondensasi lainnya merupakan marker yang cukup baik untuk stress oksidatif dan berhubungan dengan banyak keadaan misalnya

  37 atherosklerosis sampai degenerasi makula pada retina.

  Sebuah penelitian yang dilakukan di Thailand oleh Chavalit di Tahun 2007 menunjukkan adanya hubungan peningkatan penanda stress oksidatif terhadap kejadian tumor kandung kemih, dimana didapati perbedaan yang bermakna dan peningkatan signifikan kadar MDA pada urin 48 pasien dengan kanker kandung kemih dibandingkan dengan 30 orang normal. Dari penelitian ini juga ditemukan korelasi yang bermakna antara kadar MDA urin tersebut dengan derajat

  38 keparahan kanker.

  Selain itu, peningkatan MDA juga dijumpai pada keadaan gagal ginjal kronik yang mengalami keadaan stress oksidatif yang dieksaserbasi oleh hemodialisis. Dikatakan bahwa sel darah sebenarnya memiliki jalur proteksi yang lengkap terhadap kemungkinan trauma oksidatif, baik pada darah sendiri maupun pada sistem intravaskuler. Pada keadaan gagal ginjal kronik, dimana sel darah sangat sedikit diproduksi, maka mekanisme pertahanan terhadap keadaan ini tidak

  33 terpenuhi.

  Radikal bebas dan peroksidase lipid juga dianggap bertanggung jawab terhadap keadaan trauma serebro-vaskuler. Seperti penelitian yang dilakukan oleh pada 50 pasien dengan stroke dibandingkan dengan 25 kontrol didapatkan kenaikan dan perbedaan yang signifikan antara kadar MDA serum pada kelompok dengan gangguan serebrovaskuler dengan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa stress oksidatif juga merupakan suatu mekanisme yang terkait dengan kerusakan neuronal yang disebabkan oleh iskemia dan reperfusi mungkin oleh

  39 karena peroksidase lipid.

  Walaupun stress oksidatif dicetuskan oleh suatu ketidakseimbangan antara produk oksidan dengan anti oksidan, sebuah penelitian membuktikan bahwa kenaikan kadar dari MDA hanya sedikit dipengaruhi oleh kadar antioksidan yang rendah. Pada penelitian yang dilakukan oleh Lykkesfeldt di Denmark, Tahun 2004, dengan desain kohort pada sekelompok besar perokok dan non perokok dengan status antioksidan yang sama didapati kenaikan kadar plasma MDA pada

  40,41 kelompok perokok.

  Beberapa penelitian telah menunjukkan peningkatan kadar MDA pada kejadian dismenore primer. Turhan, dkk di Turki pada Tahun 2012 mendapatkan peningkatan kadar MDA pada kelompok dismenore dibanding dengan kelompok kontrol yang ditelitinya. Rerata kadar MDA pada kelompok dismenore adalah sebesar 1,32 + 0,46 nmol/ml sedang pada kelompok kontrol didapati sebesar 0,91

  • 0,26 nmol/ml. Dari penelitian ini tidak dijumpai korelasi antara tingkat keparahan

  42 dismenore dengan level marker stress oksidatif tersebut.

  Hal senada juga dikemukakan oleh Rao, dkk di India pada tahun 2011 dimana pada penelitiannya didapati peningkatan kadar MDA pada kelompok dismenore primer dibanding pada kelompok kontrol yang diteliti, dimana rerata pada kelompok dismenore primer adalah sebesar 4,31 ± 0,48 nmol/ml dan 1,94 +

  22 0,22 nmol/ml pada kelompok kontrol.

2.5. Pengukuran Radikal Bebas

  Radikal bebas memiliki waktu paruh yang sangat pendek sehingga sulit diukur dalam laboratorium. Kerusakan jaringan lipid akibat SOR dapat diperiksa dengan mengukur senyawa MDA yang merupakan produk peroksidase lipid.

  33 Produksi SOR secara tidak langsung dinilai dengan kadar peroksida lipid.

  Pengukuran kadar MDA serum dapat dilakukan melalui beberapa cara, sebagai berikut :

  1. Tes thiobarbituric acid reactive substance ( TBARS ) Dasar pemeriksaan adalah reaksi spektrofotometrik sederhana, dimana satu molekul MDA akan terpecah menjadi 2 molekul 2-asam thiobarbiturat. Reaksi ini berjalan pada pH 2-3. TBA akan memberikan warna pink-chromogen yang dapat diperiksa secara spektrofotometrik. Tes TBA selain mengukur kadar MDA yang terbentuk karena proses peroksidase lipid juga mengukur produk aldehid lainnya termasuk produk non volatil yang terjadi akibat panas yang ditimbulkan pada saat pengukuran kadar MDA serum yang sebenarnya. Kadar

  31,43 MDA dapat diperiksa baik di plasma, jaringan maupun urin.

  Beberapa metode pengukuran TBA adalah sebagai berikut :

  a. Pengukuran reaksi TBA a.1 Pengukuran reaksi TBA dengan metode kalorimetri Pengukuran reaksi TBA dengan metode kalorimetri dengan spektrofotometer merupakan kadar MDA yang paling sering dilakukan.

  Metode yang digunakan adalah metode Yagi. Metode ini mudah dilakukan akan tetapi bersifat tidak spesifik oleh karena mengukur

  31,43 produk aldehid lainnya.

  a.2 Pengukuran reaksi TBA dengan metode fluorosensi Metode ini memiliki keunggulan dibanding metode kalorimetri oleh karena tidak terganggu oleh beberapa substansi produk reaksi TBA yang larut air. Pemeriksaan dilakukan dengan metode

  31,43 spektrofluorometri.

  b. Pengukuran MDA-TBA dengan HPLC ( High Performance Liquid Chromatography )

  Metode ini secara spesifik dapat mengukur kompleks MDA-TBA, sehingga pengukuran kadar MDA lebih akurat. Namun demikian metode ini membutuhkan kondisi asam dengan suhu tinggi sehingga tetap ada

  31,43 kemungkinan terbentuknya MDA yang bukan karena peroksidasi lipid.

  2. Pengukuran kadar MDA serum bebas dengan metode HPLC Merupakan metode pengukuran kadar MDA serum yang paling sensitif dan spesifik. MDA bukan produk yang spesifik dari proses peroksidase lipid sehingga dapat menimbulkan positif palsu yang berakibat nilai duga positif yang rendah, dan telah dilaporkan dapat meningkatkan spesifisitas pada

  31,43 pemeriksaan kadar MDA serum.

2.6. Persepsi nyeri

  Nyeri adalah sensasi penting bagi tubuh. Sensasi penglihatan, pendengaran, bau, rasa, sentuhan dan nyeri merupakan hasil stimulasi reseptor sensorik. Provokasi saraf-saraf sensorik nyeri menghasilkan reaksi

  44 ketidaknyamanan, distress, atau menderita.

  Kontrol nyeri tetap merupakan problem signifikan pada pelayanan kesehatan diseluruh dunia. Masalah-masalah yang berkaitan dengan profesional kesehatan, pasien dan sistem pelayanan kesehatan secara keseluruhan diketahui sebagai salah satu penghambat dalam penatalaksanaan nyeri yang tepat. Teknik pemeriksaan/penilaian oleh para profesional kesehatan dan keengganan pasien untuk melaporkan nyeri

  44 merupakan dua masalah utama.

  Informasi yang subjektif, spesifik oleh pasien ( atau inform asi yang dilaporkan sendiri ) merupakan cara utama pada evaluasi nyeri. Namun, informasi laporan sendiri ( self-reported ) ini dipengaruhi oleh usia, status kognitif, disabilitas fisik, penggunaan obat pasien dan harapan pasien dan

  

44

profesional kesehatan terhadap terapi.

2.7. Cara Penilaian Nyeri

  Informasi laporan sendiri juga dapat diperoleh dengan menggunakan berbagai cara penilaian nyeri. Perlu diingat, bahwa kedalaman dan kompleksitas cara-cara untuk penilaian nyeri ini bervariasi. Idealnya, cara- cara untuk penilaian ini mudah digunakan, mudah dimengerti oleh pasien, dan valid, sensitif dan dapat dipercaya. Tindakan untuk menentukan lokasi fisik dan tingkat keparahan nyeri adalah yang paling sering dilakukan. Pada beberapa kasus, 5 dimensi tambahan yang berkaitan dengan informasi diperlukan untuk mengetahui tingkat nyeri pasien dan efeknya terhadap kehidupan pasien :

  1. Ketidakmampuan fisik yang disebabkan oleh nyeri, misalnya perubahan aktivitas kehidupan sehari-hari atau kemampuan merawat diri sendiri.

  2. Aspek perilaku kognitif nyeri, misalnya jumlah obat yang diperlukan, jumlah kunjungan ke dokter, penilaian perilaku non verbal, dan identifikasi gejala neurotik.

  3. Respon emosional nyeri, misalnya depresi dan keganasan, yang dapat menurunkan ambang nyeri dan membuat pasien melaporkan tingkat nyeri yang lebih tinggi.

  4. Akibat ekonomi nyeri, misalnya kemampuan bekerja untuk membayar pengobatan nyeri.

  5. Informasi sosial budaya yang berkaitan dengan masalah litigasi, kemandirian pasien, kualitas hidup, dinamika keluarga dan tujuan-

  44 tujuan pasien.

  Ada beberapa cara untuk membantu mengetahui akibat nyeri dengan

  44 menggunakan cara dimensi tunggal atau multidimensi.

  Skala Analog Visual ( Visual Analogue Scale = VAS ) adalah cara yang paling banyak digunakan untuk menilai nyeri. Skala linier ini menggambarkan secara visual gradasi tingkat nyeri yang mungkin dialami seorang pasien. Rentang nyeri diwakili sebagai garis sepanjang 10 cm, dengan atau tanpa tanda pasa tiap sentimeter. Tanda pada kedua ujung garis ini dapat berupa angka atau pernyataan deskriptif. Ujung yang satu mewakili tidak ada nyeri, sedangkan ujung yang lain mewakili rasa nyeri terparah yang mungkin terjadi. Skala dapat dibuat vertikal atau horizontal. Manfaat utama dari skala ini adalah penggunaannya yang sangat mudah dan sederhana. Namun, pada periode pasca bedah, VAS tidak banyak bermanfaat karena pada VAS diperlukan koordinasi visual dan motorik serta kemampuan konsentrasi. VAS

  44 juga dapat diadaptasi menjadi skala hilangnya/reda rasa nyeri.

  Alternatif cara lain, selain VAS, adalah skala numerik verbal. Skala ini menggunakan angka-angka 0 sampai 10 untuk menggambarkan tingkat nyeri. Dua ujung ekstrim juga digunakan pada skala ini, sama seperti pada VAS atau skala reda nyeri. Skala numerik verbal ini lebih bermanfaat pada periode pasca bedah, karena secara alami verbal/kata-kata tidak terlalu mengandalkan koordinasi visual dan motorik, skala verbal menggunakan kata-kata dan bukan garis atau angka untuk menggambarkan tingkat nyeri. Skala yang digunakan dapat berupa tidak ada nyeri, sedang, parah. Hilangnya/redanya nyeri dapat dinyatakan sebagai sama sekali tidak hilang, sedikit berkurang, cukup berkurang, baik/nyeri hilang sama sekali. Karena skala ini membatasi pilihan kata pasien, skala ini tidak dapat membedaka n

  44 berbagai tipe nyeri.

  44 Gambar 2.4. Skala Analog Visual

  Nyeri adalah sensori tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang diasosiasikan dengan kerusakan jaringan potensial atau dideskripsikan dalam terminologi kerusakan jaringan. Nyeri yang dideskripsikan oleh wanita yang mengalami dismenore direpresentasikan ke dalam skala VAS. Partisipan diminta untuk menandai garis pada VAS sesuai dengan derajat nyeri yang dirasakan. Nyeri pada dismenore diklasifikasikan ringan pada point 1 sampai 3, nyeri sedang pada point 4 sampai 7 dan berat pada point 8

  44,45 sampai 10.

2.8. Kerangka Konsep Remaja usia menarche Peningkatan Kadar MDA yang mengalami Dismenore Primer Variabel Independen Variabel Dependen Usia Menarche

  IMT Siklus Haid Lama Haid Variabel Confounding