LAPORAN KEGIATAN MEMBERIKAN CERAMAH
LAPORAN KEGIATAN
MEMBERIKAN CERAMAH
“POTENSI PETERNAKAN MENINGKATKAN
KESEJAHTERAAN PETANI PEDESAAN”
Pada
”Pembinaan Guru-guru Sekolah Minggu” yang diadakan dalam rangka
Parheheon Sekolah Minggu HKBP se-Resort Partali Toruan
Di Gereja HKBP Partalitoruan Hutabarat Tarutung
Senin, 6 Juli 2009
Oleh:
Oleh: Mangonar Lumbantoruan
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
MEDAN
2009
POTENSI PETERNAKAN MENINGKATKAN
KESEJAHTERAAN PETANI PEDESAAN*)
Oleh: Mangonar Lumbantoruan**)
1. Pengantar
Bagi warga pedesaan, terutama petani, peternakan bukan merupakan hal asing karena sudah
menjadi bagian dari perjalanan hidupnya sejak masa kanak-kanak hingga masa tuanya. Hampir
seluruhnya keluarga petani pedesaan memiliki ternak, atau setidaknya pernah memiliki ternak,
walau mungkin hanya satu atau dua ekor saja. Bila kepada mereka ditanyakan apakah sudah pernah
menikmati manfaat yang disumbangkan oleh ternak tersebut, maka dapat dipastikan sebagian besar
dari mereka akan menjawab sudah pernah. Manfaat tersebut dapat berupa uang hasil penjualan
ternak atau produknya; daging, telur atau dadih yang dinikmati sebagai lauk; ternak untuk
membajak di sawah; pupuk kandang untuk menyuburkan tanaman; dan lain-lain. Namun seandainya
ditanyakan berapa orangkah di antara penduduk suatu desa yang setidaknya 30% dari penghasilan
keluarganya berasal usaha ternak, maka dapat diduga bahwa jumlahnya hanya segelintir.
Apa makna yang tersirat di balik informasi ini? Maknanya adalah betapa minimnya jumlah
penduduk/petani pedesaan kita yang berhasil menggali potensi yang ditawarkan oleh peternakan
sebagai sumber penghasilan, apalagi kesejahteraan.
Gambaran yang lebih konkrit tentang situasi seperti di atas, dapat kami paparkan dari hasil
satu penelitian di Kabupaten Dairi pada akhir tahun 2005 yang lalu. Dari 110 keluarga petani yang
disurvey, berasal dari 8 kecamatan dan 25 Kelompok CU Dampingan Lembaga Petrasa Sidikalang, 50
keluarga (45.05%) di antaranya ada memelihara ternak babi dan 81 keluarga (72.97%) memelihara
ayam kampung pada saat survey dilakukan.
Angka-angka di atas mungkin tergolong kecil dibanding pola pemilikan ternak oleh keluarga
petani di Bona Pasogit. Namun yang lebih memprihatinkan adalah minimnya kontribusi finansial
usaha ternak yang diperoleh keluarga petani. Dari 50 keluarga pemilik ternak babi ternyata hanya 25
keluarga (50%) di antaranya yang pernah menjual ternak dalam satu tahun terakhir, itupun
sebagian besar dengan nilai penjualan (bukan keuntungan) yang kecil yaitu ≤ Rp 500.000.
Kontribusi usaha ternak ayam lebih memprihatinkan lagi. Dari 81 keluarga pemilik ayam hanya 20
keluarga (25%) di antaranya yang mengaku pernah menjual ayam dan/atau telur dalam satu tahun
terakhir dengan nilai penjualan tertinggi Rp 400.000.
Apakah rendahnya kontribusi finansial usaha ternak seperti diatas terjadi karena ternak atau
produknya dikonsumsi sendiri? Ternyata tidak juga. Data pada Tabel 1 berikut membuktikan hal
tersebut. Baik daging, susu maupun telur masih merupakan barang mewah bagi sebagian besar
responden. Responden yang menyatakan bahwa di rumahnya tersaji susu atau telur setiap hari atau
setiap minggu adalah keluarga yang memiliki bayi atau balita. Saat item ini ditanyakan, banyak
reponden yang berkata : “Ai sungkun-sungkun aha do i amang!” (“Pertanyaan apa itu, pak!”), yang
kurang lebih dapat diterjemahkan : “Untuk apa ditanya, mestinya kalian sudah tau!”
Tabel 1. Proporsi Keluarga Petani Berdasarkan Keacapan Mengkonsumsi
Bahan Pangan Asal di Kabupaten Dairi (%)
No.
*)
*)
1.
Jenis bahan pangan
asal ternak
Daging babi
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Daging ayam kampung
Daging Sapi/Kerbau
Daging Kambing/Domba
Telur Ayam Kampung
Telur Itik
Telur Ayam Ras
Dadih
Susu
1
1.80
0.90
1.80
18.40
Proporsi berdasarkan keacapan mengkonsumsi
2
3
4
5
6
7
9.91 29.73 12.61
9.91 18.93
9.91
Total
100
2.70
18.20
1.80
11.71
6.31
100
100
100
100
100
100
100
100
30.63
37.84
4.54
13.51
6.31
16.22
2.70
8.11
2.70
0.90
1.80
7.21
18.02
5.70
0.90
1.80
1.80
0.90
1.80
3.60
32.43
32.43
5.40
5.40
4.54
2.70
24.31
59.46
95.49
27.03
83.78
80.18
93.69
34.23
Keterangan :
1. Setiap hari
5. Setiap enam bulan.
2. Setiap minggu
6. Setiap tahun
3. Setiap bulan
7. Tidak pernah
4. Setiap tiga bulan
Alih-alih mensejahterakan, bahkan untuk sekedar menambah penghasilanpun, kebanyakan
kegiatan peternakan di pedesaan kita belum dapat diandalkan. Pada hal selain menambah
penghasilan, peternakan menawarkan berbagai peluang yang potensil meningkatkan kesejahteraan
pengelolanya.
Melalui makalah ini, penulis mencoba menawarkan beberapa gagasan yang perlu dan dapat
dilakukan untuk mengekplorasi potensi atau peluang tersebut agar terwujud menjadi penopang
penghasilan dan kesejahteraan keluarga petani, baik secara individu maupun kelompok, secara
personal maupun institusional.
2. Pengertian Peternakan
Pada berbagai kesempatan diskusi dengan petani-peternak, penulis sering menanyakan
pemahaman mereka tentang peternakan. Ternyata sebagian besar dari mereka belum memahami
secara tepat apa yang dimaksud dengan peternakan. Pada hal pemahaman seperti itu sangat
diperlukan agar kita bisa merumuskan secara tepat langkah-langkah apa yang diperlukan agar
berhasil mengelola usaha peternakan.
Karena istilah “peternakan” akar katanya adalah “ternak” maka kite perlu terlebih dahulu
memahami makna istilah ternak.
Ternak pada dasarnya adalah hewan. Hewan adalah semua golongan binatang baik yang liar
maupun jinak atau dipelihara oleh manusia (Bahasa Batak : nasa na manggulmit di sisik ni tano
dohot di bagasan aek rodi na habang martonga-tonga langit). Namun bukan semua hewan
merupakan ternak, bahkan yang jinak sekalipun. Kucing, anjing atau perkutut misalnya, tidak lazim
disebut sebagai ternak melainkan hewan kesayangan (pets atau animals) yang dipelihara untuk
tujuan kesenangan atau hobi di mana pemeliharaannya tidak mempertimbangkan motif ekonomi.
Seorang pemilik burung perkutut misalnya rela mengeluarkan biaya yang besar guna merawat
burung kesayangannya tersebut tanpa mengharapkan imbalan atau keuntungan ekonomi. Yang
penting, sang burung sehat dan rajin mengeluarkan suara-suara indah. Imbalannya adalah
kepuasan mendengar suara indah tadi yang nilainya tidak bisa diukur dengan uang.
Sebaliknya, hewan ternak dipelihara untuk tujuan-tujuan produktif terutama tujuan ekonomi
atau keuntungan finansial. Antara biaya pemeliharaan dengan nilai jual selalu diperhitungkan. Bila
biaya lebih besar dari nilai jualnya maka pemeliharaan ternak tidak dilanjutkan; sekiranya tetap
dilanjutkan, itu namanya bukan beternak.
Agar tidak merugi maka pemeliharaan ternak harus dilakukan sedemikan rupa agar
produktivitas (pertumbuhan, perkembangbiakan dan/atau produksi)-nya tinggi. Untuk itu ternak
tidak lagi dibiarkan mengatur sendiri hidup dan kehidupannya, sebagaimana hewan liar, melainkan
manusialah yang mengendalikannya.
Dalam khasanah ilmu peternakan, semua aspek hidup dan kehidupan ternak menjadi objek
pengaturan manusia, yang secara garis besar dibagi menjadi tiga aspek yaitu perkembangbiakan,
pemakanan dan managemen. Aspek perkembangbiakan menyangkut pengaturan ternak betina dan
jantan mana yang layak dikawinkan dan kapan mereka dikawinkan agar berpeluang memperoleh
keturunan yang banyak dengan kualitas yang lebih baik, atau setidaknya sama dengan, tetuanya.
Aspek pemakanan menyangkut pengadaan dan pemberian bahan-bahan pakan yang murah dan
mudah diperoleh namun mampu menyediakan zat-zat gizi yang dibutuhkan oleh ternak untuk
bertumbuh, berproduksi dan/atau berreproduksi secara optimal sesuai kapasitas genetiknya.
Sedangkan aspek managemen menyangkut penyediaan lingkungan dan tempat tinggal yang
nyaman dan sehat bagi ternak sehingga mereka terhindar dari faktor-faktor stress (penyakit dan
stress lingkungan).
Penggunaan kata pengaturan atau pengendalian pada penjelasan di atas mengandung makna
bahwa hidup dan kehidupan ternak berada di tangan manusia. Implikasi praktisnya, pemenuhan
semua kebutuhan ternak tanpa terkecuali dipenuhi dan diatur oleh manusia, bukan tergantung
kepada kemurahan alam semata sebagaimana dialami oleh hewan liar. Sedangkan kata produktif
memberikan basatan bahwa tindakan pengaturan atau pengendalian tadi dilakukan secara efektif
(tepat guna) dan efisien (ekonomis).
Dari uraian diatas dapatlah kita simpulkan bahwa ternak adalah hewan yang hidup dan
kehidupannya dikendalikan oleh manusia untuk tujuan-tujuan produktif. Berkembang dari situ,
maka istilah peternakan dapat kita artikan sebagai semua daya upaya atau campur tangan
manusia terhadap ternak dan lingkungannya dengan tujuan meningkatkan dayaguna ternak
tersebut dalam rangka pemenuhan kebutuhan manusia. Selanjutnya, kata peternak dengan
mudah pula bisa kita pahami sebagai orang yang menjalankan kegiatan peternakan. Peternak
adalah mereka yang betul-betul memberi campur tangan bagi kehidupan ternak-ternaknya, jadi
bukan hanya sekedar memiliki ternak tanpa mempersoalkan apakah kebutuhan ternak tersebut
terpenuhi atau tidak.
3. Potensi Kontribusi Peternakan Bagi Manusia
Ternak menawarkan sejumlah potensi yang dapat memberi keuntungan bagi manusia.
Namun yang tidak boleh kita abaikan adalah bahwa ternak juga berpotensi menghadirkan sejumlah
dampak negatif bagi manusia. Tabel 2 berikut menginventarisasi sejumlah sisi positif dan sisi negatif
dari kontribusi ternak tersebut.
Tabel 2. Potensi Kontribusi Ternak Bagi Manusia
No
1.
2.
Sisi positif
Produksi bahan pangan hewani: daging, telur dan
susu.
Produksi kotoran ternak : bahan baku pupuk organik
(kompos) dan energi alternatif (biogas).
3.
Produksi tenaga kerja.
4.
Produksi bahan sandang: kulit, kuku, tanduk, tulang
dll.
Fungsi sosial-budaya: kesempatan kerja, ketahanan
pangan (food security), livelihood (sistim mata
pencaharian), status sosial, olahraga, hiburan dan
komponen sistim budaya.
5.
Sisi negatif
Persaingan
penggunaan
bahan
makanan.
Persaingan penggunaan sumberdaya lingkungan: lahan, hutan dan
air.
Polusi lingkungan: tanah, air dan
udara.
Transmisi (pemindahan) faktorfaktor penyebab penyakit (zoonosis).
Media terorisme biologis (bioterrorism)
Salah satu kontribusi ternak yang paling penting dan berlaku universal adalah produksi
bahan pangan. Dalam perjalanan waktu, di semua tempat di permukaan bumi ini, umat manusia
telah mengambil manfaat yang sangat berarti dari bahan pangan hewani (daging, telur dan susu)
yang disumbangkan oleh ternak. Dibanding bahan pangan nabati seperti beras, jagung, ubi dan
sayur-sayuran, pangan hewani memiliki berbagai keunggulan. Tiga diantaranya yang terpenting
adalah sebagai berikut ini.
Pertama, pangan hewani mengandung lebih banyak dan lebih lengkap zat-zat gizi
esensil khususnya PROTEIN, MINERAL dan VITAMIN. Protein adalah zat gizi utama yang sangat
penting bagi tubuh manusia. Hanya kalau memperoleh protein dalam jumlah cukup maka tubuh
kita bisa bertumbuh dan berkembang. Bila kekurangan protein, terutama pada masa bayi dan fase
pertumbuhan maka sulit bagi tubuh manusia untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan
optimal. Lebih daripada itu, kekurangan protein juga akan menyebabkan terhambatnya
pertumbuhan dan perkembangan otak. Dampaknya adalah kecerdasan yang rendah sehingga
kemampuan belajarnyapun terbatas. Bersamaan dengan itu, sistim kekebalan tubuh menjadi
lemah sehingga mudah terserang penyakit.
Jadi, kalau di antara kita - mudah-mudahan tidak - ada yang mempunyai anak kurang
cerdas dan/atau gampang sakit maka kesalahan ada pada kita orangtuanya. Kitalah mungkin yang
tidak mampu (atau mungkin tidak tau) memberi mereka gizi yang cukup. Mungkin saat
mengandung ibunya kekurangan asupan gizi sehingga tidak mampu menopang pertumbuhan si
janin. Mungkin pula sewaktu masa bayinya si anak tidak memperoleh ASI yang cukup. Dari
penjelasan ini kiranya kita bisa menerima kesimpulan para ahli yang menyebutkan bahwa tingkat
kecerdasan seorang anak sangat dipengaruhi oleh kecerdasan dan kesehatan ibunya. (Mudahmudahan para ayah tidak tersinggung membaca pernyataan ini, malah sebaliknya menyadari
kesalahannya selama ini. Mudah-mudahan juga di keluarga kita tidak berlaku lagi istilah “ikkan ni
bapa”).
Kembali ke topik protein tadi, tubuh manusia tidak mungkin memperoleh protein yang
cukup kalau hanya makan nasi, ubi, jagung, sayur dan bahan pangan nabati lainnya. Hanya kalau
di dalam menu sehari-hari kita terdapat pangan hewani, baik asal ternak maupun asal ikan,
tubuh kita berkesempatan memperoleh gizi yang cukup dan seimbang, sehingga tecipta tubuh
yang sehat, dan pada akhirnya, otak yang cerdas.
Negara maju dan makmur terbangun dari masyarakat sehat dan cerdas, yang hanya akan
tercapai bila konsumsi gizinya cukup, dan pada gilirannya dapat tercipta bila produksi ternak
melimpah (Bahasa Batak : Sinur pinahan). Selanjutnya, dengan merenungkan salah satu tona yang
diwariskan oleh Ompu i DR. I. L. Nommensen : “Dang tarpajongjong hamu harajaon ni Debata di
tonga-tonga ni haotoon”, semestinyalah kesadaran kita untuk mengembangkan peternakan
semakin tergugah.
Keunggulan kedua dari pangan hewani adalah nilai biologis yang tinggi. Nilai biologis
adalah jumlah zat gizi yang dapat dicerna dan diserap oleh saluran pencernaan dari suatu bahan
makanan. Tidak semua zat gizi yang kita konsumsi dapat diambil oleh saluran pencernaan.
Selalu ada yang tersisa dan akhirnya terbuang. Semakin tinggi nilai biologis suatu bahan makanan
maka semakin banyak zat gizi yang dapat diambil darinya.
Kenapa pangan hewani lebih unggul? Pangan hewani umumnya mengandung lebih sedikit
serat kasar dibanding pangan nabati. Kandungan serat kasar inilah yang menjadi biang keladinya.
Serat kasar akan menghambat aksi saluran pencernaan untuk memproses bahan makanan.
Semakin tinggi kandungan serat kasar semakin sulit bahan makanan dicerna. Namun perlu diingat
bahwa serat kasar itu tidak selamanya merugikan. Dalam jumlah tertentu serat harus ada dalam
menu kita sehari-hari agar proses pencernaan (terutama untuk pengeluaran sisa makanan)
berjalan lancar. Jadi pola makanan yang ideal adalah yang seimbang antara pangan nabati dan
pangan hewani. Ketidakmampuanlah, dan mungkin juga ketidaktahuan, yang membuat kita lebih
mengutamakan pangan nabati dibanding pangan hewani.
Keunggulan ketiga bahan pangan hewani adalah aroma dan citarasa yang enak
sehingga merangsang selera makan (Bahasa Batak : pa ro ijur), bahkan ketika kita sedang sakit.
Sewaktu masih kanak-kanak kami jarang makan daging, paling saat ada tamu, pesta atau ada
ternak yang mati. Tapi kalau sudah sakit maka bolak-baliklah orangtua kami menawarkan : "Boha!
Seatonta manuki asa lakku indahani allangonmu?”. (Mudah-mudahan tidak ada lagi di antara
kita yang baru menawari anak-anaknya makanan enak dan bergizi setelah mereka sakit).
Kemampuan pangan hewani membangkitkan selera makan terletak pada kandungan zat
flavor-nya yang tinggi dan citarasanya yang unik. Zat flavor adalah senyawa-senyawa penyebab
aroma, yang dapat ditangkap oleh indra penciuman sehingga kita mengetahui apakah sesuatu
itu harum, busuk atau tengik. Sedangkan citarasa adalah kesan yang ditangkap oleh indra
pengecap (lidah). Lidah manusia mengenal 4 rasa utama yaitu manis, pahit, asam dan asin.
Kombinasi antara aroma dan citarasalah yang membangkitkan, atau sebaliknya menghilangkan,
selera makan kita. Zat-zat pemberi aroma akan menguap bila dipanaskan. Itu sebabnya kita lebih
berselera melihat makanan hangat dibanding yang dingin. Itupula sebabnya kenapa sering kita
katakan : "Ta allangkon ba, binsan las!".
Potensi kontribusi ternak poin 2 – 5 pada Tabel 1 lebih bersifat fakultatif, karena bagi
sebagian peternak (terutama di negara-negara maju) kontribusi tersebut tidak begitu penting malah
lebih sering menjadi beban (terutama menyangkut limbah). Sementara itu, bagi peternak di negaranegara sedang berkembang yang notabene adalah petani, kontribusi tersebut (seharusnya) tidak
kalah pentingnya. Ketika harga pupuk kimia semakin mencekik dan dampak negatifnya terhadap
kualitas lingkungan semakin disadari maka pemanfaatan kotoran ternak sebagai bahan baku pupuk
organik dapat menjadi pilihan strategis, baik dari sisi ekonomi maupun kesehatan lingkungan.
Ketika kayu semakin langka serta harga BBM semakin mahal maka potensi pemanfaatan kotoran
ternak sebagai sumber energi alternatif (biogas) akan sangat menguntungkan bagi peternak.
Keuntungan yang sama akan diperoleh bila tenaga ternak dimanfaatkan mengganti traktor (jetor).
Secara teknis, ekonomis dan sosiologis, traktor sebenarnya kurang layak beroperasi di daerahdaerah pertanian dataran tinggi yang lahannya berbukit-bukit dan tingkat pemilikannya per
keluarga kecil (sempit). Kelatahan dan sikap serba instan-lah yang menyebabkan petani kita lebih
menggandrungi traktor daripada bajak atau luku. Modernisasi yang semu ini dipersubur pula oleh
mentalitas pejabat-pejabat kita yang gemar memburu rente atau komisi.
Bila pada uraian di atas telah dikemukakan berbagai potensi menguntungkan yang
ditawarkan oleh peternakan maka kita juga harus menyadari bahwa di baliknya ada sisi negatif yang
berpotensi menjadi ancaman bagi kesejahteraan manusia.
Potensi kontribusi negatif poin 1 dan 2 (Tabel 1) lebih merupakan konsekuensi logis dari
kegiatan pengembangan peternakan itu sendiri sehingga sulit dihindarkan. Poin 5, bioterorisme
yaitu pemanfaatan ternak atau produknya sebagai media penyebar senjata biologis, memerlukan
aplikasi teknologi canggih yang berada di luar jangkauan kaum awam sehingga lebih tepat menjadi
perhatian pihak karantina atau badan intelijen. Yang lebih penting menjadi perhatian kita adalah
poin 3 – 4 yaitu potensi peternakan sebagai pencemar lingkungan dan pemindah faktor penyebab
penyakit.
Kotoran ternak mengandung berbagai senyawa yang bersifat toksik (beracun) bagi mahluk
hidup. Yang paling penting di antaranya adalah karbon dioksida (CO2), amonia (NH4), asam sulfida
(H2S) dan residu obat-obatan. Bila senyawa-senyawa toksik ini mencemari air atau udara lalu
terminum atau terhirup oleh manusia, mereka dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Oleh sebab
itu seorang peternak yang bertanggungjawab tidak akan membiarkan kotoran ternaknya tersebar
atau membiarkan ternaknya menyebarkan kotorannya ke mana-mana. Sekiranyapun tidak
menyebabkan gangguan kesehatan, kotoran ternak yang berserakan tadi akan menimbulkan
ketidaknyamanan.
Karena kedekatan fisiologis, tubuh ternak beserta limbah yang dihasilkannya mengandung
berbagai jenis kuman yang bersifat pathogen (membahayakan) terhadap kesehatan manusia,
terutama dari golongan bakteri dan virus. Salmonella dan coli adalah dua jenis bakteri yang paling
sering mengkontaminasi air minum yang tercemar oleh limbah peternakan. Kalaupun tidak
mematikan, kedua golongan bakteri ini dapat menyebabkan diare hebat pada manusia, terlebih
anak-anak. Dari golongan virus yang sangat perlu menjadi perhatian peternak adalah penyebaran
virus flu (kasus flu burung dan flu babi), anthraks dan brucellosis. Penyakit TBC juga dapat menular
dari ternak ke manusia atau sebaliknya. Pada kondisi ternak dibiarkan bebas berkeliaran (khususnya
ayam dan babi), penyebaran cacing perlu diwaspadai.
Menyadari bahaya-bahaya tersebut di atas, peternak yang bertanggungjawab akan
mengelola usahanya sedemikian rupa sehingga dapat meminimalkan kontak antara ternak dengan
manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Peternak yang bertanggungjawab akan berupaya
agar setiap ternak atau produk ternak yang keluar dari usahanya bebas dari faktor-faktor penyebab
penyakit. Dia tidak akan menjual ternak yang sakit atau diduga sakit, tetapi akan menunggu sampai
yakin ternak tersebut telah sembuh. Peternak yang bertanggungjawab juga tidak akan membiarkan
hewan-hewan liar seperti burung, tikus, lalat atau serangga lainnya berkeliaran di sekitar usaha
ternaknya karena mereka dapat menjadi vektor (pemindah) bibit penyakit.
4. Profil Umum Peternakan di Pedesaan
Seperti telah disebut di atas, memelihara ternak adalah bagian yang tak terpisahkan dari
kehidupan petani pedesaan karena mereka umumnya mempraktekkan usaha tani campuran di
mana tanaman dan ternak, kadang-kadang juga ikan, diusahakan secara bersama-sama oleh
sekeluarga. Namun sekali lagi, sumbangan usaha ternak terhadap totalitas penghasilan mereka
sangat kecil.
Minimnya sumbangan usaha ternak terhadap penghasilan petani dapat disebabkan oleh
banyak faktor. Namun menurut hemat kami, tiga faktor berikut menjadi penyebab paling signifikan.
Pertama, posisi usaha ternak dalam sistim usaha tani. Hampir seluruhnya petani pedesaan kita
menempatkan atau memposisikan usaha ternak sebagai usaha sampingan, dengan budidaya
tanaman sebagai usaha utama. Dengan posisi seperti itu maka sumberdaya (lahan, modal, waktu,
dan pikiran) yang dicurahkan ke usaha ternak juga bersifat sampingan yaitu apa yang tersisa (Bhs
Batak : lobi-lobi manang eba-eba) dari usaha tani tanpa mempersoalkan apakah sisa-sisa tadi
dapat mencukupi kebutuhan ternak agar dia mampu berproduksi secara optimal. Dengan
demikian tidak mengherankan bila produktivitas dan reproduktivitas ternak-ternak yang mereka
miliki menjadi rendah. Bagaimana mungkin usaha yang dioperasikan dengan mengandalkan sisasisa mampu memberi keuntungan besar? Bagaimana mungkin usaha yang diurus asal-asalan
mencapai efisiensi yang tinggi?
Kedua, sistim beternak sederhana yang diwarisi secara turun temurun (tradisional). Karena
minimnya pendidikan (formal, informal maupun nonformal) peternak pedesaan kita umumnya
memiliki tingkat pengetahuan dan keterampilan yang minim sehingga hanya mampu mengelola
usaha ternak dengan sistim yang sama seperti yang diwarisi dari para pendahulu. Penerapan
inovasi baik di bidang teknis dan finansial maupun di bidang sosial dan kultural, hampir tidak ada.
Akibatnya produktivitas, efektivitas dan efisiensi usaha ternak bukannya meningkat malah
cenderung menurut dari waktu ke waktu.
Ketiga, peranan usaha ternak yang lebih dominan sebagai tabungan. Bagi mayoritas petani
pedesaan kita, usaha ternak memiliki peran utama sebagai sebagai tabungan yang sewaktu-waktu
dapat dicairkan bila ada keperluan mendadak. Dengan peranan seperti itu maka ternak baru
dijual ketika pemiliki memerlukan uang tunai, tanpa memperhitungkan untung-ruginya dan
tanpa mempersoalkan apakah ternak tersebut sudah terlalu tua atau sebaliknya masih terlalu
kecil. Pada hal, semakin tua usia ternak maka efisiensi produksinya akan menurun. Sebaliknya, bila
dijual terlalu muda potensi produksinya belum optimal.
5. Mengembangkan Peternakan yang Mensejahterakan
Menurut hemat kami, peternakan akan mensejahterakan semua pihak apabila sisi potensi
positifnya dieksplorasi secara optimal, sebaliknya ancaman kontribusi negatifnya diminimalkan. Bila
hanya menonjolkan sisi positifnya namun mengabaikan sisi negatifnya, peternakan mungkin saja
menguntungkan bagi pemiliknya namun akan menyengsarakan orang lain. Peternakan seperti itu
bukanlah peternakan yang mensejahterakan. Meraup untung untuk dari peternakan namun
membiarkan orang lain terkena dampak negatifnya - seperti pencemaran lingkungan, penyebaran
bibit penyakit atau perusakan hutan – bukanlah peternakan yang mensejahterakan, malah bisa
dikategorikan sebagai perbuatan yang tidak bermoral.
Sistim penggembalaan tak terkendali yang dipraktekkan oleh peternak kerbau di Samosir,
misalnya, tidak
memenuhi kategori
peternakan yang mensejahterakan karena hanya
menguntungkan bagi pemiliknya namun merugikan bagi kepentingan umum. Karena dibiarkan tak
terkendali, ternak-ternak kerbau tersebut merambah sampai ke kawasan hutan. Bukan hanya itu,
kerbau-kerbau tersebut mengokupasi lahan yang sangat luas per satuan ternak. Saat kunjungan
lapangan ke satu desa di Kecamatan Simanindo pada awal tahun 2009 ini, seorang Kepala Desa
setempat menginformasikan bahwa 1000-an ekor kerbau yang ada di desanya mengokupasi sekitar
23.000 ha areal penggembalaan alami; berarti tiap ekor mengokupasi lebih dari 20 ha lahan.
Mengorbankan lebih dari 20 ha lahan hanya untuk memelihara seekor kerbau dan pada akhirnya
hanya akan memberi keuntungan bagi pemiliknya, sungguh bukan merupakan sistim ekonomi yang
berkeadilan. Sekiranya dikelola dengan tepat, 1 ha padang penggembalaan alami dapat menampung
0.5 unit ternak pertahun sehingga seyogyanya kerbau sebanyak 1000-an ekor tadi memerlukan
hanya sekitar 2000-an ha lahan sehingga sisanya bisa digunakan untuk hutan atau kegiatan
produktif lain. Kendati mungkin keakuratan informasi tadi masih perlu dipertanyakan, namun kami
yakin hal itu bukanlah isapan jempol belaka.
Agar tidak menimbulkan dampak negatif yang terlalu besar seperti ilustrasi di atas, tapi
sebaliknya berhasil mengoptimalkan sisi positif peternakan, menurut hemat kami ada tiga aspek
yang perlu berubah dari peternakan pedesaan kita.
Pertama, meningkatkan posisi usaha ternak dari usaha sampingan menjadi setidaknya
cabang usaha. Dalam Ilmu Pembangunan Peternakan dikenal 4 (empat) skala usaha ternak yang
sekaligus menunjukkan posisi dan peranannya bagi usaha tani, yaitu :
Usaha Sampingan bila sumbangannya terhadap penghasilan total petani < 30%.
Cabang Usaha bila sumbangannya terhadap penghasilan total petani > 30% – 50%.
Usaha Pokok bila sumbangannya terhadap penghasilan total petani >50 - 70%.
Usaha Industri bila sumbangannya terhadap penghasilan total petani mencapai 100%.
Tentu saja agar mampu memberi sumbangan yang lebih besar maka pencurahan atau alokasi
sumberdaya yang dimiliki petani ke dalam usaha ternak juga harus ditingkatkan yaitu setara dengan
tingkat penghasilan yang diharapkan disumbangkannya. Seorang petani yang mengharapkan
penghasilannya 50% berasal dari usaha ternak, misalnya, seyogyanya harus mengalokasikan 50%
dari lahan, tenaga kerja, modal, waktu, pikiran, perhatian dan sumberdaya lain yang dimilikinya ke
usaha ternak.
Kedua, meningkatkan sistim beternak tradisonil menjadi sistim beternak yang progresif.
Yang kami maksud dengan sistim progresif adalah sistim yang mengalami perubahan, dalam arti
perbaikan, dari waktu ke waktu kendatipun secara bertahap. Jadi bukan sistim yang stagnan, yang
dari waktu ke waktu tanpa perbaikan.
Agar mampu mengembangkan sistim beternak yang progressif, seorang peternak perlu
mencari dan menerapkan inovasi di berbagai aspek. Untuk itu dia harus tetap belajar kendatipun
usianya sudah dewasa bahkan sudah tua. Kalaupun tidak memungkinkan lagi menempuh
pendidikan formal, sistim pendidikan informal (misalnya melalui penyuluhan, kursus, pelatihan,
magang dan yang sejenis) dan pendidikan nonformal (belajar mandiri, studi banding, diskusi
informal, mempelajari pengalaman orang lain dan yang sejenis), dapat menjadi kesempatan belajar
yang tepat bagi orang dewasa.
Belajar perlu dilakukan sepanjang hayat (long-life education) dengan ruang lingkup yang tak
terbatas. Dalam konteks pengembangan sistim beternak progressif, agar berpeluang
mengembangkannya maka menurut hemat kami seseorang perlu memiliki syarat-syarat dasar
berikut:
a. Budaya Beternak. Budaya manusia menyangkut banyak hal. Salah satu di antaranya adalah sistim
nilai yang dianut oleh seseorang atau sekelompok orang. Sistim nilai menyangkut apa kita
anggap lebih penting atau lebih bernilai. Sistim nilai ini akan mempengaruhi kita dalam
mengambil keputusan saat menentukan suatu pilihan. Mana yang akan kita dahulukan, misalnya,
antara membeli dedak untuk ternak atau minum segelas tuak? Mana yang akan kita pilih antara
markombur di kedai kopi atau membersihkan kandang ternak?
Pada masyarakat tradisional, termasuk pada kebanyakan keluarga Batak, terdapat sisitim
pembagian kerja yang sangat jelas antara kaum ibu dan kaum bapak. Pekerjaan-pekerjaan
domestik, yaitu pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan urusan rumah tangga termasuk
mengurus ternak, biasanya menjadi tanggungjawab kaum ibu atau anak-anak sementara kaum
bapak merasa bertanggungjawab hanya untuk pekerjaan-pekerjaan di luar rumah. Bahkan untuk
pekerjaan di luar rumahpun, kaum bapak Halak Hita masih merasa perlu memilih pekerjaanpekerjaan yang lebih bergengsi atau lebih maskulin. Karena alasan ini, kebanyakan ama-ama
Halak Hita akan merasa turun gengsinya untuk membantu istri menanam, mengurus atau
memanen ubi; terlebih-lebih lagi untuk membantu memasak, membersihkan rumah atau
pekarangan. Ironisnya, sistim pembagian kerja yang tidak adil ini diterapkan pula terhadap
pekerjaan mengurus ternak yang sebenarnya lebih membutuhkan kehadiran laki-laki karena
perlu tenaga fisik yang kuat.
Bila masih tetap terikat dengan sistim nilai atau budaya seperti di atas maka kita akan
kesulitan mengembangkan sistim beternak progressif. Agar sukses beternak kita harus mau
meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang sudah ketinggalan jaman, siap mengorbankan
kepentingan-kepentingan atau kesenangan-kesenangan personal dan menjauhkan gengsi semu
yang tidak membawa kebaikan bagi kesejahteraan keluarga kita.
b. Komitmen Beternak. Komitmen adalah tekad atau janji. Memiliki komitmen berarti bertekad
atau berjanji, terutama kepada diri sendiri, untuk melakukan atau menjalani suatu pekerjaan
hingga berhasil apapun tantangannya. Memiliki komitmen berarti tidak mudah menyerah apapun
kesulitan yang dihadapi. Memiliki komitmen berarti berani menghadapi kegagalan dan mau
belajar darinya. Memelihara ternak pada dasarnya adalah pekerjaan yang membosankan karena
harus dilakukan secara berulang-ulang dari hari ke hari. Memelihara ternak berarti harus bekerja
24 jam sehari, tujuh hari seminggu dan seterusnya. Hanya orang-orang yang memiliki komitmen
yang tinggilah yang mau menjalani rutinitas seperti itu. Dan merekalah yang biasanya berhasil
berternak.
Kata-kata bijak berikut kami harap
komitmen :
dapat menggugah kita untuk belajar memiliki
“Pangkulingi suan-suanan/pahan-pahanan mi, ai sian i do dalanmu dapot ngolu”
“Nunut do si raja ni ampuna”
“Di tangan ni jolma do napu ni tano”
c. Kompetensi Beternak. Kompetensi adalah kemampuan atau kecakapan melakukan sesuatu
pekerjaan sesuai dengan seharusnya; sesuai secara secara teori dan tepat secara praktek.
Ternak, apapun jenisnya, pada dasarnya bisa hidup sendiri kalaupun dibiarkan bebas
tanpa campur tangan manusia; malah kalau dilepas mungkin mereka akan lebih senang.
Malasahnya, masih adakah areal atau tempat yang cocok untuk beternak dengan cara seperti
itu? Atau, masih cocokkah kondisi kita yang sekarang beternak dengan cara demikian?
Menurut hemat kami sudah sulit, bila tidak mustahil. Jadi, kalau ingin beternak maka
seseorang
harus
benar-benar memeliharanya. Memelihara berarti menyediakan semua
kebutuhan ternak. Itulah makna dari kalimat “Beternak dengan kompetensi yang tinggi”.
Agar mampu menjalankan sistim beternak yang progresif, seseorang perlu menguasai
paling tidak 4 (empat) kompetensi dasar yaitu :
1) Kompetensi Teknis. Yang dimaksud dengan kompetensi teknis adalah penguasaan atau
kapasitas untuk melakukan sesuatu sesuai dengan tatacara atau prosedur yang dilandasi oleh
teori/konsep/prinsip yang tepat. Teknis atau cara memelihara ternak juga didasari oleh
banyak teori seperti nutrisi (ilmu tentang gizi), reproduksi (ilmu tentang perkembangbiakan),
etologi (ilmu tentang tingkahlaku), agrostologi (ilmu tentang budidaya tanaman pakan ternak)
dan sebagainya. Menguasai teori tapi tidak mampu mempraktekkannya menunjukkan
seseorang belum kompeten. Namun, terampil melakukan sesuatu tanpa menguasai teori yang
mendasarnya juga akan membuat seseorang kurang mampu melakukan pembaharuan atau
berimprovisasi. Penguasaan teori dan praktek harus sejalan agar seseorang disebut kompeten.
Secara lebih terperinci, teknis produksi ternak yang perlu dikuasai seorang agar sukses
beternak adalah:
(a) Pemililihan bibit dan pengembangbiakan ternak.
(b) Penyediaan dan pemberian pakan ternak.
(c) Penanganan kesehatan ternak.
(d) Tatalaksana pemeliharaan ternak.
(e) Penanganan dan pemanfaatan limbah ternak.
2) Kompetensi Pemasaran. Bila teknis produksi diterapkan secara tepat dan konsisten maka
dapatlah seseorang berharap bahwa usaha ternaknya akan berhasil. Persoalan berikutnya
adalah memikirkan pemasaran bagi ternak bla kelak sudah layak jual. Untuk itu peternak
harus kompeten di bidang pemasaran.
Yang dimaksud dengan
kompetensi pemasaran adalah
kemampuan untuk
menemukan secara tepat ke manakah ternak atau produk ternak akan laku dijual dengan
harga yang menguntungkan, bagaimana cara membawa ke sana dan bagaimana pula
cara menjualnya kepada para calon pembeli di pasar yang dituju. Hanya apabila memiliki
kompetensi seperti inilah maka seorang peternak mampu menjual hasil usaha ternaknya
secara menguntungkan. Kalau tidak, mereka akan menjadi korban atau bulan-bulanan
tengkulak. Adalah suatu kenyataan yang
memprihatinkan bahwa kondisi seperti itulah
yang dialami oleh sebagian besar petani kita; petani yang bersusah payah menanam tetapi
pedaganglah yang paling banyak menikmati untungnya.
Salah satu prinsip pemasaran yang menurut hemat kami sangat perlu kita renungkan
adalah prinsip yang berbunyi sebagai berikut : “Jangan menjual apa yang bisa Anda produksi,
tapi produksilah apa yang bisa Anda jual”. Artinya, jangan memproduksi sesuatu tanpa tanpa
memikirkan dan merencanakan terlebih dahulu pemasarannya. Aplikasinya, jangan
memelihara ternak sebelum kita yakin mampu menangani pemasarannya. Bila pemasaran
ternak atau produk ternak tersebut kita serahkan sepenuhnya kepada pedagang, maka
keuntungan terbesar dari usaha beternak tadi akan jatuh ke tangan mereka.
3) Kompetensi Finansial. Setelah sistim produksi dan sistim pemasaran dipersiapkan, maka
persoalan berikut adalah uangnya. Berapa yang diperlukan dan dari mana diperoleh?
Bagaimana mengelolanya agar modal tidak habis sebelum panen terjual? Itulah
persoalannya.
Bahwa uang sangat penting untuk berusaha itu tergambar dari ungkapan para
pebisnis berikut ini : Uang adalah bibit uang!. Halak hita mandok : "HMH" : Hepeng Mangalap
Hepeng! Agar dapat menerapkan prinsip di atas secara benar maka seseorang harus
memiliki kompetensi yang tinggi di bidang pengelolaan keuangan usaha.
Yang dimaksud dengan kompetensi finansial adalah menguasai bagaimana
merencanakan atau menghitung jumlah biaya yang diperlukan untuk memproduksi
suatu barang dan bagaimana cara untuk menyediakan dan mengelolanya. Jadi, misalnya,
jika seseorang berencana memelihara 3 ekor induk babi maka dia harus mengetahui secara
tepat apa jenis dan berapa jumlah sarana produksi yang diperlukan untuk memelihara
ketiga ekor induk babi tersebut. Selanjutnya dia harus tau berapa biaya yang diperlukan
untuk itu dan dari mana itu diperoleh serta bisa membuat rencana penggunaan dan
pengadaan uang tersebut sehingga tersedia pada waktu dibutuhkan. Kalau tidak demikian
maka usaha ternak tadi akan amburadul atau angin-anginan.
4) Kompetensi Sosial. Salah satu ciri manusia, yang sekaligus menjadi keunggulannya dibanding
mahluk hidup lain, adalah sifat sosial yaitu kemampuan menjalin hubungan atau relasi
dengan sesama manusia. Dari kemampuan menjalin relasi inilah lahir apa yang kita kenal
sebagai kelompok. Setiap individu manusia memiliki keinginan untuk mengikatkan diri kepada
suatu kelompok sesuai kebutuhannya.
Halak Hita dikenal sebagai orang-orang yang memiliki kecenderungan atau keinginan
yang kuat untuk berkelompok. Kecendrungan berkelompok ini sudah menjadi tradisi Halak
Hita sebagaimana dipesankan oleh para bleluhur melalui kata-kata bijak berikut:
“Tampak na do tajomna, Rim ni tahi do gogo na”
“Masiamin-aminan songon lampak ni gaol,
masitungkol-tungkolan songon suhat di robean”
“Mangangkat rap tu ginjang, mangimbung rap to toru”
Masalahnya, kecenderungan atau tujuan Halak Hita untuk berkelompok lebih
dominan di bidang sosial budaya yang cenderung konsumtif. Sementara di bidang sosialekonomi Halak Hita cenderung mengambil jalan sendiri-sendiri. Pada hal potensi
kecenderungan berkelompok yang tinggi tadi dapat juga kita arahkan untuk aktivitas-aktivitas
sosial ekonomi yang bersifat produktif. Sekiranya kita mau memberi hati dan pikiran yang
cukup untuk memupuk modal secara berkelompok, misalnya dengan mendirikan usaha
simpan pinjam yang saat ini populer dengan sebutan CU (credit Union), maka keluhan banyak
petani pedesaan kita tentang minimnya modal dapat teratasi.
Berkelompok bukan hanya berpotensi membantu kita memupuk modal tapi juga dalam
aspek pemasaran, baik dalam rangka menjual produk maupun membeli sarana produksi.
Berkelompok juga dapat memudahkan kita untuk memperoleh informasi dan belajar secara
bersama-sama.
Tentang pentingnya belajar, kita sudah diingatkan oleh para leluhur kita melalui
sipasingot atau perumpamaan (tudos-tudos) berikut:
“Oto dang haajaran, malo dang boi parsiajaran”
“Ijuk di para-para hotang di parlabian,
na bisuk nampuna hata na oto to panggadisan”
Agar kita dapat menikmati keuntungan dari berbagai manfaat berkelompok, kita perlu
mengasah kompetensi sosial dengan tidak menurutkan egoisme sebagaimana digambarkan
umpama berikut:
“Simbora pulguk, suksuk di tonga-tonga,
Mamora ma hita luhut, alai sumurung au otik”
6. Penutup
Peternak, dalam arti yang sebenarnya, bertindak secara adil. Meningkatnya kesejahteraan
dari memelihara ternak memang merupakan tujuannya, namun menyebabkan kerugian bagi orang
lain bukanlah gayanya. Baginya, peternakan yang mensejahterakan adalah peternakan yang
menguntungkan secara berkeadilan, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain sebagaimana
dipesankan leluhur orang Batak melalui kata-kata bijak:
Poltak bulan ama ni manggule,
deba pe dapotan uli alai sude maulae”
“
BAHAN BACAAN
Anonimous. 1985. Usaha Peternakan : Perencanaan Usaha, Analisa dan Pengelolaan. Diretorat Bina Usaha Tani
Ternak dan Pengolahan Hasil Peternakan, Dirjen Peternakan Deptan. Jakarta.
Cheeke, P. R. 1999. Contemporary Issues in Animal Agriculture. Interstate Publishers, Inc. Danville Illinois.
Chantalakhana, C. 1990. Small Farm Animal Production and Sustainable Asgriculture. Food and Fertilizer
Technology Centre (FFTC). Extension Bulletin. No, 309. 18p
Delgado, C., M. Rosegrant, H. Steinfeld, S. Ehui and C. Courbois. Livestock to 2020 The Next Food Revolution. Food,
Agriculture, and the Environment Discussion Paper 28
Edwards, P., R. S. V. Pullin and J. A. Gartner. 1988. Research and Education for the Development of Integrated
Crop-Livestock-Fish Farming System in the Tropics. Iclarm Studies and Review. Manila. Philippines.
Hazell, P., C. Poulton, S. Wiggins and A. Dorward. 2006. The Futufre of Small Farms: Synthesis Paper. Rimisp-Latin
American Center for Rural Development
Holmes, R., N. Jones and S. Wiggins. Understanding the impact of Food Prices on Children. How rising food prices
affect poor families. What can be done to protect children in the developing world. Plan UK, 5-6 Underhill
Street, London NW1 7HS
Lihgfoot, C. 1990. Integration of Agriculture : A Route to Sustainable Farming System. Naga. The ICLARM Quaterry.
January, 1990: 9–12.
Lumbantoruan, M. 1994. Posisi dan Peranan Peternakan di Pedesaan. Warta Nommensen. Edisi II Tahun XI : 44-47.
-----------------------. 1994. Pengembangan Peternakan Berwawasan Lingkungan di Tapanuli Utara. Makalah pada
Seminar Nasional Upaya Menuju Kesejahteraan Keluarga serta Mewujudkan Keselarasan, Keserasian dan
Keseimbangan antara Kuantitas dan Kualitas Persebaran Penduduk dan Lingkungan Hidup. Tanggal 6
Oktober 1994. Universitas HKBP Nommensen, Medan. (17 hlmn).
-----------------------. 2001. Meningkatkan Pandaraman Warga denngan Sistim Usaha Tani Terpadu. Surat Parsaoran
IMMANUEL. Vol. 111 (No. 11):54–57.
-----------------------. 2002. Mengubah Pola Bantuan ke Bona Pasogit Surat Parsaoran IMMANUEL. Vol. 112 (No.
01):57.
-----------------------. 2002. Pengembangan Sistim Usaha Tani Terpadu dengan Introduksi Usaha Ternak Berorientasi
Bisnis sebagai Starting Poinnya dalam Rangka Implementasi Konsep Pembangunan Berkelanjutan di
Kawasan Danau Toba. Di dalam : Strategi Pembangunan Berkelanjutan dan Pengelolaan Kawasan Danau
Toba. Prosiding Seminar Nasional. 6 April 2002. Partungkoan Batak Toba (Parbato) Medan, Yayasan Del
Jakarta dan Yayasan Perhimpunan Pencinta Danau Toba (YPPDT) Jakarta. (18 hlmn).
Obias, E. D. 1988. Integrated Farming System and Waste Recyling. FFTC. Ext. Bull. No. 220. Pp.7-11.
Rosegrant, M. W, M. S. Paisner, S. Meijer and J Witcover. 2001. 2020 Global Food Outlook: Trends, Alternatives,
and Choices. A 2020 Vision for Food,Agriculture, and the Environment Initiative International Food Policy
Research Institute Washington,D.C.
Samosir, O. 2002. Peluang dan Tantangan Pertanian di Dataran Tinggi Toba. Di dalam : Strategi Pembangunan
Berkelanjutan dan Pengelolaan Kawasan Danau Toba. Prosiding Seminar Nasional. 6 April 2002.
Partungkoan Batak Toba (Parbato) Medan, Yayasan Del Jakarta dan Yayasan Perhimpunan Pencinta Danau
Toba (YPPDT) Jakarta. (11 hlmn).
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------*)
Disampaikan pada ”Pembinaan Guru-guru Sekolah Minggu” yang diadakan dalam Rangka Parheheon
Sekolah Minggu HKBP se-Resort Partali Toruan di Tarutung pada hari Senin tanggal 6 Juli 2009.
**)
Dosen Fakultas Peternakan Universitas HKBP Nommensen Medan.
MEMBERIKAN CERAMAH
“POTENSI PETERNAKAN MENINGKATKAN
KESEJAHTERAAN PETANI PEDESAAN”
Pada
”Pembinaan Guru-guru Sekolah Minggu” yang diadakan dalam rangka
Parheheon Sekolah Minggu HKBP se-Resort Partali Toruan
Di Gereja HKBP Partalitoruan Hutabarat Tarutung
Senin, 6 Juli 2009
Oleh:
Oleh: Mangonar Lumbantoruan
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
MEDAN
2009
POTENSI PETERNAKAN MENINGKATKAN
KESEJAHTERAAN PETANI PEDESAAN*)
Oleh: Mangonar Lumbantoruan**)
1. Pengantar
Bagi warga pedesaan, terutama petani, peternakan bukan merupakan hal asing karena sudah
menjadi bagian dari perjalanan hidupnya sejak masa kanak-kanak hingga masa tuanya. Hampir
seluruhnya keluarga petani pedesaan memiliki ternak, atau setidaknya pernah memiliki ternak,
walau mungkin hanya satu atau dua ekor saja. Bila kepada mereka ditanyakan apakah sudah pernah
menikmati manfaat yang disumbangkan oleh ternak tersebut, maka dapat dipastikan sebagian besar
dari mereka akan menjawab sudah pernah. Manfaat tersebut dapat berupa uang hasil penjualan
ternak atau produknya; daging, telur atau dadih yang dinikmati sebagai lauk; ternak untuk
membajak di sawah; pupuk kandang untuk menyuburkan tanaman; dan lain-lain. Namun seandainya
ditanyakan berapa orangkah di antara penduduk suatu desa yang setidaknya 30% dari penghasilan
keluarganya berasal usaha ternak, maka dapat diduga bahwa jumlahnya hanya segelintir.
Apa makna yang tersirat di balik informasi ini? Maknanya adalah betapa minimnya jumlah
penduduk/petani pedesaan kita yang berhasil menggali potensi yang ditawarkan oleh peternakan
sebagai sumber penghasilan, apalagi kesejahteraan.
Gambaran yang lebih konkrit tentang situasi seperti di atas, dapat kami paparkan dari hasil
satu penelitian di Kabupaten Dairi pada akhir tahun 2005 yang lalu. Dari 110 keluarga petani yang
disurvey, berasal dari 8 kecamatan dan 25 Kelompok CU Dampingan Lembaga Petrasa Sidikalang, 50
keluarga (45.05%) di antaranya ada memelihara ternak babi dan 81 keluarga (72.97%) memelihara
ayam kampung pada saat survey dilakukan.
Angka-angka di atas mungkin tergolong kecil dibanding pola pemilikan ternak oleh keluarga
petani di Bona Pasogit. Namun yang lebih memprihatinkan adalah minimnya kontribusi finansial
usaha ternak yang diperoleh keluarga petani. Dari 50 keluarga pemilik ternak babi ternyata hanya 25
keluarga (50%) di antaranya yang pernah menjual ternak dalam satu tahun terakhir, itupun
sebagian besar dengan nilai penjualan (bukan keuntungan) yang kecil yaitu ≤ Rp 500.000.
Kontribusi usaha ternak ayam lebih memprihatinkan lagi. Dari 81 keluarga pemilik ayam hanya 20
keluarga (25%) di antaranya yang mengaku pernah menjual ayam dan/atau telur dalam satu tahun
terakhir dengan nilai penjualan tertinggi Rp 400.000.
Apakah rendahnya kontribusi finansial usaha ternak seperti diatas terjadi karena ternak atau
produknya dikonsumsi sendiri? Ternyata tidak juga. Data pada Tabel 1 berikut membuktikan hal
tersebut. Baik daging, susu maupun telur masih merupakan barang mewah bagi sebagian besar
responden. Responden yang menyatakan bahwa di rumahnya tersaji susu atau telur setiap hari atau
setiap minggu adalah keluarga yang memiliki bayi atau balita. Saat item ini ditanyakan, banyak
reponden yang berkata : “Ai sungkun-sungkun aha do i amang!” (“Pertanyaan apa itu, pak!”), yang
kurang lebih dapat diterjemahkan : “Untuk apa ditanya, mestinya kalian sudah tau!”
Tabel 1. Proporsi Keluarga Petani Berdasarkan Keacapan Mengkonsumsi
Bahan Pangan Asal di Kabupaten Dairi (%)
No.
*)
*)
1.
Jenis bahan pangan
asal ternak
Daging babi
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Daging ayam kampung
Daging Sapi/Kerbau
Daging Kambing/Domba
Telur Ayam Kampung
Telur Itik
Telur Ayam Ras
Dadih
Susu
1
1.80
0.90
1.80
18.40
Proporsi berdasarkan keacapan mengkonsumsi
2
3
4
5
6
7
9.91 29.73 12.61
9.91 18.93
9.91
Total
100
2.70
18.20
1.80
11.71
6.31
100
100
100
100
100
100
100
100
30.63
37.84
4.54
13.51
6.31
16.22
2.70
8.11
2.70
0.90
1.80
7.21
18.02
5.70
0.90
1.80
1.80
0.90
1.80
3.60
32.43
32.43
5.40
5.40
4.54
2.70
24.31
59.46
95.49
27.03
83.78
80.18
93.69
34.23
Keterangan :
1. Setiap hari
5. Setiap enam bulan.
2. Setiap minggu
6. Setiap tahun
3. Setiap bulan
7. Tidak pernah
4. Setiap tiga bulan
Alih-alih mensejahterakan, bahkan untuk sekedar menambah penghasilanpun, kebanyakan
kegiatan peternakan di pedesaan kita belum dapat diandalkan. Pada hal selain menambah
penghasilan, peternakan menawarkan berbagai peluang yang potensil meningkatkan kesejahteraan
pengelolanya.
Melalui makalah ini, penulis mencoba menawarkan beberapa gagasan yang perlu dan dapat
dilakukan untuk mengekplorasi potensi atau peluang tersebut agar terwujud menjadi penopang
penghasilan dan kesejahteraan keluarga petani, baik secara individu maupun kelompok, secara
personal maupun institusional.
2. Pengertian Peternakan
Pada berbagai kesempatan diskusi dengan petani-peternak, penulis sering menanyakan
pemahaman mereka tentang peternakan. Ternyata sebagian besar dari mereka belum memahami
secara tepat apa yang dimaksud dengan peternakan. Pada hal pemahaman seperti itu sangat
diperlukan agar kita bisa merumuskan secara tepat langkah-langkah apa yang diperlukan agar
berhasil mengelola usaha peternakan.
Karena istilah “peternakan” akar katanya adalah “ternak” maka kite perlu terlebih dahulu
memahami makna istilah ternak.
Ternak pada dasarnya adalah hewan. Hewan adalah semua golongan binatang baik yang liar
maupun jinak atau dipelihara oleh manusia (Bahasa Batak : nasa na manggulmit di sisik ni tano
dohot di bagasan aek rodi na habang martonga-tonga langit). Namun bukan semua hewan
merupakan ternak, bahkan yang jinak sekalipun. Kucing, anjing atau perkutut misalnya, tidak lazim
disebut sebagai ternak melainkan hewan kesayangan (pets atau animals) yang dipelihara untuk
tujuan kesenangan atau hobi di mana pemeliharaannya tidak mempertimbangkan motif ekonomi.
Seorang pemilik burung perkutut misalnya rela mengeluarkan biaya yang besar guna merawat
burung kesayangannya tersebut tanpa mengharapkan imbalan atau keuntungan ekonomi. Yang
penting, sang burung sehat dan rajin mengeluarkan suara-suara indah. Imbalannya adalah
kepuasan mendengar suara indah tadi yang nilainya tidak bisa diukur dengan uang.
Sebaliknya, hewan ternak dipelihara untuk tujuan-tujuan produktif terutama tujuan ekonomi
atau keuntungan finansial. Antara biaya pemeliharaan dengan nilai jual selalu diperhitungkan. Bila
biaya lebih besar dari nilai jualnya maka pemeliharaan ternak tidak dilanjutkan; sekiranya tetap
dilanjutkan, itu namanya bukan beternak.
Agar tidak merugi maka pemeliharaan ternak harus dilakukan sedemikan rupa agar
produktivitas (pertumbuhan, perkembangbiakan dan/atau produksi)-nya tinggi. Untuk itu ternak
tidak lagi dibiarkan mengatur sendiri hidup dan kehidupannya, sebagaimana hewan liar, melainkan
manusialah yang mengendalikannya.
Dalam khasanah ilmu peternakan, semua aspek hidup dan kehidupan ternak menjadi objek
pengaturan manusia, yang secara garis besar dibagi menjadi tiga aspek yaitu perkembangbiakan,
pemakanan dan managemen. Aspek perkembangbiakan menyangkut pengaturan ternak betina dan
jantan mana yang layak dikawinkan dan kapan mereka dikawinkan agar berpeluang memperoleh
keturunan yang banyak dengan kualitas yang lebih baik, atau setidaknya sama dengan, tetuanya.
Aspek pemakanan menyangkut pengadaan dan pemberian bahan-bahan pakan yang murah dan
mudah diperoleh namun mampu menyediakan zat-zat gizi yang dibutuhkan oleh ternak untuk
bertumbuh, berproduksi dan/atau berreproduksi secara optimal sesuai kapasitas genetiknya.
Sedangkan aspek managemen menyangkut penyediaan lingkungan dan tempat tinggal yang
nyaman dan sehat bagi ternak sehingga mereka terhindar dari faktor-faktor stress (penyakit dan
stress lingkungan).
Penggunaan kata pengaturan atau pengendalian pada penjelasan di atas mengandung makna
bahwa hidup dan kehidupan ternak berada di tangan manusia. Implikasi praktisnya, pemenuhan
semua kebutuhan ternak tanpa terkecuali dipenuhi dan diatur oleh manusia, bukan tergantung
kepada kemurahan alam semata sebagaimana dialami oleh hewan liar. Sedangkan kata produktif
memberikan basatan bahwa tindakan pengaturan atau pengendalian tadi dilakukan secara efektif
(tepat guna) dan efisien (ekonomis).
Dari uraian diatas dapatlah kita simpulkan bahwa ternak adalah hewan yang hidup dan
kehidupannya dikendalikan oleh manusia untuk tujuan-tujuan produktif. Berkembang dari situ,
maka istilah peternakan dapat kita artikan sebagai semua daya upaya atau campur tangan
manusia terhadap ternak dan lingkungannya dengan tujuan meningkatkan dayaguna ternak
tersebut dalam rangka pemenuhan kebutuhan manusia. Selanjutnya, kata peternak dengan
mudah pula bisa kita pahami sebagai orang yang menjalankan kegiatan peternakan. Peternak
adalah mereka yang betul-betul memberi campur tangan bagi kehidupan ternak-ternaknya, jadi
bukan hanya sekedar memiliki ternak tanpa mempersoalkan apakah kebutuhan ternak tersebut
terpenuhi atau tidak.
3. Potensi Kontribusi Peternakan Bagi Manusia
Ternak menawarkan sejumlah potensi yang dapat memberi keuntungan bagi manusia.
Namun yang tidak boleh kita abaikan adalah bahwa ternak juga berpotensi menghadirkan sejumlah
dampak negatif bagi manusia. Tabel 2 berikut menginventarisasi sejumlah sisi positif dan sisi negatif
dari kontribusi ternak tersebut.
Tabel 2. Potensi Kontribusi Ternak Bagi Manusia
No
1.
2.
Sisi positif
Produksi bahan pangan hewani: daging, telur dan
susu.
Produksi kotoran ternak : bahan baku pupuk organik
(kompos) dan energi alternatif (biogas).
3.
Produksi tenaga kerja.
4.
Produksi bahan sandang: kulit, kuku, tanduk, tulang
dll.
Fungsi sosial-budaya: kesempatan kerja, ketahanan
pangan (food security), livelihood (sistim mata
pencaharian), status sosial, olahraga, hiburan dan
komponen sistim budaya.
5.
Sisi negatif
Persaingan
penggunaan
bahan
makanan.
Persaingan penggunaan sumberdaya lingkungan: lahan, hutan dan
air.
Polusi lingkungan: tanah, air dan
udara.
Transmisi (pemindahan) faktorfaktor penyebab penyakit (zoonosis).
Media terorisme biologis (bioterrorism)
Salah satu kontribusi ternak yang paling penting dan berlaku universal adalah produksi
bahan pangan. Dalam perjalanan waktu, di semua tempat di permukaan bumi ini, umat manusia
telah mengambil manfaat yang sangat berarti dari bahan pangan hewani (daging, telur dan susu)
yang disumbangkan oleh ternak. Dibanding bahan pangan nabati seperti beras, jagung, ubi dan
sayur-sayuran, pangan hewani memiliki berbagai keunggulan. Tiga diantaranya yang terpenting
adalah sebagai berikut ini.
Pertama, pangan hewani mengandung lebih banyak dan lebih lengkap zat-zat gizi
esensil khususnya PROTEIN, MINERAL dan VITAMIN. Protein adalah zat gizi utama yang sangat
penting bagi tubuh manusia. Hanya kalau memperoleh protein dalam jumlah cukup maka tubuh
kita bisa bertumbuh dan berkembang. Bila kekurangan protein, terutama pada masa bayi dan fase
pertumbuhan maka sulit bagi tubuh manusia untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan
optimal. Lebih daripada itu, kekurangan protein juga akan menyebabkan terhambatnya
pertumbuhan dan perkembangan otak. Dampaknya adalah kecerdasan yang rendah sehingga
kemampuan belajarnyapun terbatas. Bersamaan dengan itu, sistim kekebalan tubuh menjadi
lemah sehingga mudah terserang penyakit.
Jadi, kalau di antara kita - mudah-mudahan tidak - ada yang mempunyai anak kurang
cerdas dan/atau gampang sakit maka kesalahan ada pada kita orangtuanya. Kitalah mungkin yang
tidak mampu (atau mungkin tidak tau) memberi mereka gizi yang cukup. Mungkin saat
mengandung ibunya kekurangan asupan gizi sehingga tidak mampu menopang pertumbuhan si
janin. Mungkin pula sewaktu masa bayinya si anak tidak memperoleh ASI yang cukup. Dari
penjelasan ini kiranya kita bisa menerima kesimpulan para ahli yang menyebutkan bahwa tingkat
kecerdasan seorang anak sangat dipengaruhi oleh kecerdasan dan kesehatan ibunya. (Mudahmudahan para ayah tidak tersinggung membaca pernyataan ini, malah sebaliknya menyadari
kesalahannya selama ini. Mudah-mudahan juga di keluarga kita tidak berlaku lagi istilah “ikkan ni
bapa”).
Kembali ke topik protein tadi, tubuh manusia tidak mungkin memperoleh protein yang
cukup kalau hanya makan nasi, ubi, jagung, sayur dan bahan pangan nabati lainnya. Hanya kalau
di dalam menu sehari-hari kita terdapat pangan hewani, baik asal ternak maupun asal ikan,
tubuh kita berkesempatan memperoleh gizi yang cukup dan seimbang, sehingga tecipta tubuh
yang sehat, dan pada akhirnya, otak yang cerdas.
Negara maju dan makmur terbangun dari masyarakat sehat dan cerdas, yang hanya akan
tercapai bila konsumsi gizinya cukup, dan pada gilirannya dapat tercipta bila produksi ternak
melimpah (Bahasa Batak : Sinur pinahan). Selanjutnya, dengan merenungkan salah satu tona yang
diwariskan oleh Ompu i DR. I. L. Nommensen : “Dang tarpajongjong hamu harajaon ni Debata di
tonga-tonga ni haotoon”, semestinyalah kesadaran kita untuk mengembangkan peternakan
semakin tergugah.
Keunggulan kedua dari pangan hewani adalah nilai biologis yang tinggi. Nilai biologis
adalah jumlah zat gizi yang dapat dicerna dan diserap oleh saluran pencernaan dari suatu bahan
makanan. Tidak semua zat gizi yang kita konsumsi dapat diambil oleh saluran pencernaan.
Selalu ada yang tersisa dan akhirnya terbuang. Semakin tinggi nilai biologis suatu bahan makanan
maka semakin banyak zat gizi yang dapat diambil darinya.
Kenapa pangan hewani lebih unggul? Pangan hewani umumnya mengandung lebih sedikit
serat kasar dibanding pangan nabati. Kandungan serat kasar inilah yang menjadi biang keladinya.
Serat kasar akan menghambat aksi saluran pencernaan untuk memproses bahan makanan.
Semakin tinggi kandungan serat kasar semakin sulit bahan makanan dicerna. Namun perlu diingat
bahwa serat kasar itu tidak selamanya merugikan. Dalam jumlah tertentu serat harus ada dalam
menu kita sehari-hari agar proses pencernaan (terutama untuk pengeluaran sisa makanan)
berjalan lancar. Jadi pola makanan yang ideal adalah yang seimbang antara pangan nabati dan
pangan hewani. Ketidakmampuanlah, dan mungkin juga ketidaktahuan, yang membuat kita lebih
mengutamakan pangan nabati dibanding pangan hewani.
Keunggulan ketiga bahan pangan hewani adalah aroma dan citarasa yang enak
sehingga merangsang selera makan (Bahasa Batak : pa ro ijur), bahkan ketika kita sedang sakit.
Sewaktu masih kanak-kanak kami jarang makan daging, paling saat ada tamu, pesta atau ada
ternak yang mati. Tapi kalau sudah sakit maka bolak-baliklah orangtua kami menawarkan : "Boha!
Seatonta manuki asa lakku indahani allangonmu?”. (Mudah-mudahan tidak ada lagi di antara
kita yang baru menawari anak-anaknya makanan enak dan bergizi setelah mereka sakit).
Kemampuan pangan hewani membangkitkan selera makan terletak pada kandungan zat
flavor-nya yang tinggi dan citarasanya yang unik. Zat flavor adalah senyawa-senyawa penyebab
aroma, yang dapat ditangkap oleh indra penciuman sehingga kita mengetahui apakah sesuatu
itu harum, busuk atau tengik. Sedangkan citarasa adalah kesan yang ditangkap oleh indra
pengecap (lidah). Lidah manusia mengenal 4 rasa utama yaitu manis, pahit, asam dan asin.
Kombinasi antara aroma dan citarasalah yang membangkitkan, atau sebaliknya menghilangkan,
selera makan kita. Zat-zat pemberi aroma akan menguap bila dipanaskan. Itu sebabnya kita lebih
berselera melihat makanan hangat dibanding yang dingin. Itupula sebabnya kenapa sering kita
katakan : "Ta allangkon ba, binsan las!".
Potensi kontribusi ternak poin 2 – 5 pada Tabel 1 lebih bersifat fakultatif, karena bagi
sebagian peternak (terutama di negara-negara maju) kontribusi tersebut tidak begitu penting malah
lebih sering menjadi beban (terutama menyangkut limbah). Sementara itu, bagi peternak di negaranegara sedang berkembang yang notabene adalah petani, kontribusi tersebut (seharusnya) tidak
kalah pentingnya. Ketika harga pupuk kimia semakin mencekik dan dampak negatifnya terhadap
kualitas lingkungan semakin disadari maka pemanfaatan kotoran ternak sebagai bahan baku pupuk
organik dapat menjadi pilihan strategis, baik dari sisi ekonomi maupun kesehatan lingkungan.
Ketika kayu semakin langka serta harga BBM semakin mahal maka potensi pemanfaatan kotoran
ternak sebagai sumber energi alternatif (biogas) akan sangat menguntungkan bagi peternak.
Keuntungan yang sama akan diperoleh bila tenaga ternak dimanfaatkan mengganti traktor (jetor).
Secara teknis, ekonomis dan sosiologis, traktor sebenarnya kurang layak beroperasi di daerahdaerah pertanian dataran tinggi yang lahannya berbukit-bukit dan tingkat pemilikannya per
keluarga kecil (sempit). Kelatahan dan sikap serba instan-lah yang menyebabkan petani kita lebih
menggandrungi traktor daripada bajak atau luku. Modernisasi yang semu ini dipersubur pula oleh
mentalitas pejabat-pejabat kita yang gemar memburu rente atau komisi.
Bila pada uraian di atas telah dikemukakan berbagai potensi menguntungkan yang
ditawarkan oleh peternakan maka kita juga harus menyadari bahwa di baliknya ada sisi negatif yang
berpotensi menjadi ancaman bagi kesejahteraan manusia.
Potensi kontribusi negatif poin 1 dan 2 (Tabel 1) lebih merupakan konsekuensi logis dari
kegiatan pengembangan peternakan itu sendiri sehingga sulit dihindarkan. Poin 5, bioterorisme
yaitu pemanfaatan ternak atau produknya sebagai media penyebar senjata biologis, memerlukan
aplikasi teknologi canggih yang berada di luar jangkauan kaum awam sehingga lebih tepat menjadi
perhatian pihak karantina atau badan intelijen. Yang lebih penting menjadi perhatian kita adalah
poin 3 – 4 yaitu potensi peternakan sebagai pencemar lingkungan dan pemindah faktor penyebab
penyakit.
Kotoran ternak mengandung berbagai senyawa yang bersifat toksik (beracun) bagi mahluk
hidup. Yang paling penting di antaranya adalah karbon dioksida (CO2), amonia (NH4), asam sulfida
(H2S) dan residu obat-obatan. Bila senyawa-senyawa toksik ini mencemari air atau udara lalu
terminum atau terhirup oleh manusia, mereka dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Oleh sebab
itu seorang peternak yang bertanggungjawab tidak akan membiarkan kotoran ternaknya tersebar
atau membiarkan ternaknya menyebarkan kotorannya ke mana-mana. Sekiranyapun tidak
menyebabkan gangguan kesehatan, kotoran ternak yang berserakan tadi akan menimbulkan
ketidaknyamanan.
Karena kedekatan fisiologis, tubuh ternak beserta limbah yang dihasilkannya mengandung
berbagai jenis kuman yang bersifat pathogen (membahayakan) terhadap kesehatan manusia,
terutama dari golongan bakteri dan virus. Salmonella dan coli adalah dua jenis bakteri yang paling
sering mengkontaminasi air minum yang tercemar oleh limbah peternakan. Kalaupun tidak
mematikan, kedua golongan bakteri ini dapat menyebabkan diare hebat pada manusia, terlebih
anak-anak. Dari golongan virus yang sangat perlu menjadi perhatian peternak adalah penyebaran
virus flu (kasus flu burung dan flu babi), anthraks dan brucellosis. Penyakit TBC juga dapat menular
dari ternak ke manusia atau sebaliknya. Pada kondisi ternak dibiarkan bebas berkeliaran (khususnya
ayam dan babi), penyebaran cacing perlu diwaspadai.
Menyadari bahaya-bahaya tersebut di atas, peternak yang bertanggungjawab akan
mengelola usahanya sedemikian rupa sehingga dapat meminimalkan kontak antara ternak dengan
manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Peternak yang bertanggungjawab akan berupaya
agar setiap ternak atau produk ternak yang keluar dari usahanya bebas dari faktor-faktor penyebab
penyakit. Dia tidak akan menjual ternak yang sakit atau diduga sakit, tetapi akan menunggu sampai
yakin ternak tersebut telah sembuh. Peternak yang bertanggungjawab juga tidak akan membiarkan
hewan-hewan liar seperti burung, tikus, lalat atau serangga lainnya berkeliaran di sekitar usaha
ternaknya karena mereka dapat menjadi vektor (pemindah) bibit penyakit.
4. Profil Umum Peternakan di Pedesaan
Seperti telah disebut di atas, memelihara ternak adalah bagian yang tak terpisahkan dari
kehidupan petani pedesaan karena mereka umumnya mempraktekkan usaha tani campuran di
mana tanaman dan ternak, kadang-kadang juga ikan, diusahakan secara bersama-sama oleh
sekeluarga. Namun sekali lagi, sumbangan usaha ternak terhadap totalitas penghasilan mereka
sangat kecil.
Minimnya sumbangan usaha ternak terhadap penghasilan petani dapat disebabkan oleh
banyak faktor. Namun menurut hemat kami, tiga faktor berikut menjadi penyebab paling signifikan.
Pertama, posisi usaha ternak dalam sistim usaha tani. Hampir seluruhnya petani pedesaan kita
menempatkan atau memposisikan usaha ternak sebagai usaha sampingan, dengan budidaya
tanaman sebagai usaha utama. Dengan posisi seperti itu maka sumberdaya (lahan, modal, waktu,
dan pikiran) yang dicurahkan ke usaha ternak juga bersifat sampingan yaitu apa yang tersisa (Bhs
Batak : lobi-lobi manang eba-eba) dari usaha tani tanpa mempersoalkan apakah sisa-sisa tadi
dapat mencukupi kebutuhan ternak agar dia mampu berproduksi secara optimal. Dengan
demikian tidak mengherankan bila produktivitas dan reproduktivitas ternak-ternak yang mereka
miliki menjadi rendah. Bagaimana mungkin usaha yang dioperasikan dengan mengandalkan sisasisa mampu memberi keuntungan besar? Bagaimana mungkin usaha yang diurus asal-asalan
mencapai efisiensi yang tinggi?
Kedua, sistim beternak sederhana yang diwarisi secara turun temurun (tradisional). Karena
minimnya pendidikan (formal, informal maupun nonformal) peternak pedesaan kita umumnya
memiliki tingkat pengetahuan dan keterampilan yang minim sehingga hanya mampu mengelola
usaha ternak dengan sistim yang sama seperti yang diwarisi dari para pendahulu. Penerapan
inovasi baik di bidang teknis dan finansial maupun di bidang sosial dan kultural, hampir tidak ada.
Akibatnya produktivitas, efektivitas dan efisiensi usaha ternak bukannya meningkat malah
cenderung menurut dari waktu ke waktu.
Ketiga, peranan usaha ternak yang lebih dominan sebagai tabungan. Bagi mayoritas petani
pedesaan kita, usaha ternak memiliki peran utama sebagai sebagai tabungan yang sewaktu-waktu
dapat dicairkan bila ada keperluan mendadak. Dengan peranan seperti itu maka ternak baru
dijual ketika pemiliki memerlukan uang tunai, tanpa memperhitungkan untung-ruginya dan
tanpa mempersoalkan apakah ternak tersebut sudah terlalu tua atau sebaliknya masih terlalu
kecil. Pada hal, semakin tua usia ternak maka efisiensi produksinya akan menurun. Sebaliknya, bila
dijual terlalu muda potensi produksinya belum optimal.
5. Mengembangkan Peternakan yang Mensejahterakan
Menurut hemat kami, peternakan akan mensejahterakan semua pihak apabila sisi potensi
positifnya dieksplorasi secara optimal, sebaliknya ancaman kontribusi negatifnya diminimalkan. Bila
hanya menonjolkan sisi positifnya namun mengabaikan sisi negatifnya, peternakan mungkin saja
menguntungkan bagi pemiliknya namun akan menyengsarakan orang lain. Peternakan seperti itu
bukanlah peternakan yang mensejahterakan. Meraup untung untuk dari peternakan namun
membiarkan orang lain terkena dampak negatifnya - seperti pencemaran lingkungan, penyebaran
bibit penyakit atau perusakan hutan – bukanlah peternakan yang mensejahterakan, malah bisa
dikategorikan sebagai perbuatan yang tidak bermoral.
Sistim penggembalaan tak terkendali yang dipraktekkan oleh peternak kerbau di Samosir,
misalnya, tidak
memenuhi kategori
peternakan yang mensejahterakan karena hanya
menguntungkan bagi pemiliknya namun merugikan bagi kepentingan umum. Karena dibiarkan tak
terkendali, ternak-ternak kerbau tersebut merambah sampai ke kawasan hutan. Bukan hanya itu,
kerbau-kerbau tersebut mengokupasi lahan yang sangat luas per satuan ternak. Saat kunjungan
lapangan ke satu desa di Kecamatan Simanindo pada awal tahun 2009 ini, seorang Kepala Desa
setempat menginformasikan bahwa 1000-an ekor kerbau yang ada di desanya mengokupasi sekitar
23.000 ha areal penggembalaan alami; berarti tiap ekor mengokupasi lebih dari 20 ha lahan.
Mengorbankan lebih dari 20 ha lahan hanya untuk memelihara seekor kerbau dan pada akhirnya
hanya akan memberi keuntungan bagi pemiliknya, sungguh bukan merupakan sistim ekonomi yang
berkeadilan. Sekiranya dikelola dengan tepat, 1 ha padang penggembalaan alami dapat menampung
0.5 unit ternak pertahun sehingga seyogyanya kerbau sebanyak 1000-an ekor tadi memerlukan
hanya sekitar 2000-an ha lahan sehingga sisanya bisa digunakan untuk hutan atau kegiatan
produktif lain. Kendati mungkin keakuratan informasi tadi masih perlu dipertanyakan, namun kami
yakin hal itu bukanlah isapan jempol belaka.
Agar tidak menimbulkan dampak negatif yang terlalu besar seperti ilustrasi di atas, tapi
sebaliknya berhasil mengoptimalkan sisi positif peternakan, menurut hemat kami ada tiga aspek
yang perlu berubah dari peternakan pedesaan kita.
Pertama, meningkatkan posisi usaha ternak dari usaha sampingan menjadi setidaknya
cabang usaha. Dalam Ilmu Pembangunan Peternakan dikenal 4 (empat) skala usaha ternak yang
sekaligus menunjukkan posisi dan peranannya bagi usaha tani, yaitu :
Usaha Sampingan bila sumbangannya terhadap penghasilan total petani < 30%.
Cabang Usaha bila sumbangannya terhadap penghasilan total petani > 30% – 50%.
Usaha Pokok bila sumbangannya terhadap penghasilan total petani >50 - 70%.
Usaha Industri bila sumbangannya terhadap penghasilan total petani mencapai 100%.
Tentu saja agar mampu memberi sumbangan yang lebih besar maka pencurahan atau alokasi
sumberdaya yang dimiliki petani ke dalam usaha ternak juga harus ditingkatkan yaitu setara dengan
tingkat penghasilan yang diharapkan disumbangkannya. Seorang petani yang mengharapkan
penghasilannya 50% berasal dari usaha ternak, misalnya, seyogyanya harus mengalokasikan 50%
dari lahan, tenaga kerja, modal, waktu, pikiran, perhatian dan sumberdaya lain yang dimilikinya ke
usaha ternak.
Kedua, meningkatkan sistim beternak tradisonil menjadi sistim beternak yang progresif.
Yang kami maksud dengan sistim progresif adalah sistim yang mengalami perubahan, dalam arti
perbaikan, dari waktu ke waktu kendatipun secara bertahap. Jadi bukan sistim yang stagnan, yang
dari waktu ke waktu tanpa perbaikan.
Agar mampu mengembangkan sistim beternak yang progressif, seorang peternak perlu
mencari dan menerapkan inovasi di berbagai aspek. Untuk itu dia harus tetap belajar kendatipun
usianya sudah dewasa bahkan sudah tua. Kalaupun tidak memungkinkan lagi menempuh
pendidikan formal, sistim pendidikan informal (misalnya melalui penyuluhan, kursus, pelatihan,
magang dan yang sejenis) dan pendidikan nonformal (belajar mandiri, studi banding, diskusi
informal, mempelajari pengalaman orang lain dan yang sejenis), dapat menjadi kesempatan belajar
yang tepat bagi orang dewasa.
Belajar perlu dilakukan sepanjang hayat (long-life education) dengan ruang lingkup yang tak
terbatas. Dalam konteks pengembangan sistim beternak progressif, agar berpeluang
mengembangkannya maka menurut hemat kami seseorang perlu memiliki syarat-syarat dasar
berikut:
a. Budaya Beternak. Budaya manusia menyangkut banyak hal. Salah satu di antaranya adalah sistim
nilai yang dianut oleh seseorang atau sekelompok orang. Sistim nilai menyangkut apa kita
anggap lebih penting atau lebih bernilai. Sistim nilai ini akan mempengaruhi kita dalam
mengambil keputusan saat menentukan suatu pilihan. Mana yang akan kita dahulukan, misalnya,
antara membeli dedak untuk ternak atau minum segelas tuak? Mana yang akan kita pilih antara
markombur di kedai kopi atau membersihkan kandang ternak?
Pada masyarakat tradisional, termasuk pada kebanyakan keluarga Batak, terdapat sisitim
pembagian kerja yang sangat jelas antara kaum ibu dan kaum bapak. Pekerjaan-pekerjaan
domestik, yaitu pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan urusan rumah tangga termasuk
mengurus ternak, biasanya menjadi tanggungjawab kaum ibu atau anak-anak sementara kaum
bapak merasa bertanggungjawab hanya untuk pekerjaan-pekerjaan di luar rumah. Bahkan untuk
pekerjaan di luar rumahpun, kaum bapak Halak Hita masih merasa perlu memilih pekerjaanpekerjaan yang lebih bergengsi atau lebih maskulin. Karena alasan ini, kebanyakan ama-ama
Halak Hita akan merasa turun gengsinya untuk membantu istri menanam, mengurus atau
memanen ubi; terlebih-lebih lagi untuk membantu memasak, membersihkan rumah atau
pekarangan. Ironisnya, sistim pembagian kerja yang tidak adil ini diterapkan pula terhadap
pekerjaan mengurus ternak yang sebenarnya lebih membutuhkan kehadiran laki-laki karena
perlu tenaga fisik yang kuat.
Bila masih tetap terikat dengan sistim nilai atau budaya seperti di atas maka kita akan
kesulitan mengembangkan sistim beternak progressif. Agar sukses beternak kita harus mau
meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang sudah ketinggalan jaman, siap mengorbankan
kepentingan-kepentingan atau kesenangan-kesenangan personal dan menjauhkan gengsi semu
yang tidak membawa kebaikan bagi kesejahteraan keluarga kita.
b. Komitmen Beternak. Komitmen adalah tekad atau janji. Memiliki komitmen berarti bertekad
atau berjanji, terutama kepada diri sendiri, untuk melakukan atau menjalani suatu pekerjaan
hingga berhasil apapun tantangannya. Memiliki komitmen berarti tidak mudah menyerah apapun
kesulitan yang dihadapi. Memiliki komitmen berarti berani menghadapi kegagalan dan mau
belajar darinya. Memelihara ternak pada dasarnya adalah pekerjaan yang membosankan karena
harus dilakukan secara berulang-ulang dari hari ke hari. Memelihara ternak berarti harus bekerja
24 jam sehari, tujuh hari seminggu dan seterusnya. Hanya orang-orang yang memiliki komitmen
yang tinggilah yang mau menjalani rutinitas seperti itu. Dan merekalah yang biasanya berhasil
berternak.
Kata-kata bijak berikut kami harap
komitmen :
dapat menggugah kita untuk belajar memiliki
“Pangkulingi suan-suanan/pahan-pahanan mi, ai sian i do dalanmu dapot ngolu”
“Nunut do si raja ni ampuna”
“Di tangan ni jolma do napu ni tano”
c. Kompetensi Beternak. Kompetensi adalah kemampuan atau kecakapan melakukan sesuatu
pekerjaan sesuai dengan seharusnya; sesuai secara secara teori dan tepat secara praktek.
Ternak, apapun jenisnya, pada dasarnya bisa hidup sendiri kalaupun dibiarkan bebas
tanpa campur tangan manusia; malah kalau dilepas mungkin mereka akan lebih senang.
Malasahnya, masih adakah areal atau tempat yang cocok untuk beternak dengan cara seperti
itu? Atau, masih cocokkah kondisi kita yang sekarang beternak dengan cara demikian?
Menurut hemat kami sudah sulit, bila tidak mustahil. Jadi, kalau ingin beternak maka
seseorang
harus
benar-benar memeliharanya. Memelihara berarti menyediakan semua
kebutuhan ternak. Itulah makna dari kalimat “Beternak dengan kompetensi yang tinggi”.
Agar mampu menjalankan sistim beternak yang progresif, seseorang perlu menguasai
paling tidak 4 (empat) kompetensi dasar yaitu :
1) Kompetensi Teknis. Yang dimaksud dengan kompetensi teknis adalah penguasaan atau
kapasitas untuk melakukan sesuatu sesuai dengan tatacara atau prosedur yang dilandasi oleh
teori/konsep/prinsip yang tepat. Teknis atau cara memelihara ternak juga didasari oleh
banyak teori seperti nutrisi (ilmu tentang gizi), reproduksi (ilmu tentang perkembangbiakan),
etologi (ilmu tentang tingkahlaku), agrostologi (ilmu tentang budidaya tanaman pakan ternak)
dan sebagainya. Menguasai teori tapi tidak mampu mempraktekkannya menunjukkan
seseorang belum kompeten. Namun, terampil melakukan sesuatu tanpa menguasai teori yang
mendasarnya juga akan membuat seseorang kurang mampu melakukan pembaharuan atau
berimprovisasi. Penguasaan teori dan praktek harus sejalan agar seseorang disebut kompeten.
Secara lebih terperinci, teknis produksi ternak yang perlu dikuasai seorang agar sukses
beternak adalah:
(a) Pemililihan bibit dan pengembangbiakan ternak.
(b) Penyediaan dan pemberian pakan ternak.
(c) Penanganan kesehatan ternak.
(d) Tatalaksana pemeliharaan ternak.
(e) Penanganan dan pemanfaatan limbah ternak.
2) Kompetensi Pemasaran. Bila teknis produksi diterapkan secara tepat dan konsisten maka
dapatlah seseorang berharap bahwa usaha ternaknya akan berhasil. Persoalan berikutnya
adalah memikirkan pemasaran bagi ternak bla kelak sudah layak jual. Untuk itu peternak
harus kompeten di bidang pemasaran.
Yang dimaksud dengan
kompetensi pemasaran adalah
kemampuan untuk
menemukan secara tepat ke manakah ternak atau produk ternak akan laku dijual dengan
harga yang menguntungkan, bagaimana cara membawa ke sana dan bagaimana pula
cara menjualnya kepada para calon pembeli di pasar yang dituju. Hanya apabila memiliki
kompetensi seperti inilah maka seorang peternak mampu menjual hasil usaha ternaknya
secara menguntungkan. Kalau tidak, mereka akan menjadi korban atau bulan-bulanan
tengkulak. Adalah suatu kenyataan yang
memprihatinkan bahwa kondisi seperti itulah
yang dialami oleh sebagian besar petani kita; petani yang bersusah payah menanam tetapi
pedaganglah yang paling banyak menikmati untungnya.
Salah satu prinsip pemasaran yang menurut hemat kami sangat perlu kita renungkan
adalah prinsip yang berbunyi sebagai berikut : “Jangan menjual apa yang bisa Anda produksi,
tapi produksilah apa yang bisa Anda jual”. Artinya, jangan memproduksi sesuatu tanpa tanpa
memikirkan dan merencanakan terlebih dahulu pemasarannya. Aplikasinya, jangan
memelihara ternak sebelum kita yakin mampu menangani pemasarannya. Bila pemasaran
ternak atau produk ternak tersebut kita serahkan sepenuhnya kepada pedagang, maka
keuntungan terbesar dari usaha beternak tadi akan jatuh ke tangan mereka.
3) Kompetensi Finansial. Setelah sistim produksi dan sistim pemasaran dipersiapkan, maka
persoalan berikut adalah uangnya. Berapa yang diperlukan dan dari mana diperoleh?
Bagaimana mengelolanya agar modal tidak habis sebelum panen terjual? Itulah
persoalannya.
Bahwa uang sangat penting untuk berusaha itu tergambar dari ungkapan para
pebisnis berikut ini : Uang adalah bibit uang!. Halak hita mandok : "HMH" : Hepeng Mangalap
Hepeng! Agar dapat menerapkan prinsip di atas secara benar maka seseorang harus
memiliki kompetensi yang tinggi di bidang pengelolaan keuangan usaha.
Yang dimaksud dengan kompetensi finansial adalah menguasai bagaimana
merencanakan atau menghitung jumlah biaya yang diperlukan untuk memproduksi
suatu barang dan bagaimana cara untuk menyediakan dan mengelolanya. Jadi, misalnya,
jika seseorang berencana memelihara 3 ekor induk babi maka dia harus mengetahui secara
tepat apa jenis dan berapa jumlah sarana produksi yang diperlukan untuk memelihara
ketiga ekor induk babi tersebut. Selanjutnya dia harus tau berapa biaya yang diperlukan
untuk itu dan dari mana itu diperoleh serta bisa membuat rencana penggunaan dan
pengadaan uang tersebut sehingga tersedia pada waktu dibutuhkan. Kalau tidak demikian
maka usaha ternak tadi akan amburadul atau angin-anginan.
4) Kompetensi Sosial. Salah satu ciri manusia, yang sekaligus menjadi keunggulannya dibanding
mahluk hidup lain, adalah sifat sosial yaitu kemampuan menjalin hubungan atau relasi
dengan sesama manusia. Dari kemampuan menjalin relasi inilah lahir apa yang kita kenal
sebagai kelompok. Setiap individu manusia memiliki keinginan untuk mengikatkan diri kepada
suatu kelompok sesuai kebutuhannya.
Halak Hita dikenal sebagai orang-orang yang memiliki kecenderungan atau keinginan
yang kuat untuk berkelompok. Kecendrungan berkelompok ini sudah menjadi tradisi Halak
Hita sebagaimana dipesankan oleh para bleluhur melalui kata-kata bijak berikut:
“Tampak na do tajomna, Rim ni tahi do gogo na”
“Masiamin-aminan songon lampak ni gaol,
masitungkol-tungkolan songon suhat di robean”
“Mangangkat rap tu ginjang, mangimbung rap to toru”
Masalahnya, kecenderungan atau tujuan Halak Hita untuk berkelompok lebih
dominan di bidang sosial budaya yang cenderung konsumtif. Sementara di bidang sosialekonomi Halak Hita cenderung mengambil jalan sendiri-sendiri. Pada hal potensi
kecenderungan berkelompok yang tinggi tadi dapat juga kita arahkan untuk aktivitas-aktivitas
sosial ekonomi yang bersifat produktif. Sekiranya kita mau memberi hati dan pikiran yang
cukup untuk memupuk modal secara berkelompok, misalnya dengan mendirikan usaha
simpan pinjam yang saat ini populer dengan sebutan CU (credit Union), maka keluhan banyak
petani pedesaan kita tentang minimnya modal dapat teratasi.
Berkelompok bukan hanya berpotensi membantu kita memupuk modal tapi juga dalam
aspek pemasaran, baik dalam rangka menjual produk maupun membeli sarana produksi.
Berkelompok juga dapat memudahkan kita untuk memperoleh informasi dan belajar secara
bersama-sama.
Tentang pentingnya belajar, kita sudah diingatkan oleh para leluhur kita melalui
sipasingot atau perumpamaan (tudos-tudos) berikut:
“Oto dang haajaran, malo dang boi parsiajaran”
“Ijuk di para-para hotang di parlabian,
na bisuk nampuna hata na oto to panggadisan”
Agar kita dapat menikmati keuntungan dari berbagai manfaat berkelompok, kita perlu
mengasah kompetensi sosial dengan tidak menurutkan egoisme sebagaimana digambarkan
umpama berikut:
“Simbora pulguk, suksuk di tonga-tonga,
Mamora ma hita luhut, alai sumurung au otik”
6. Penutup
Peternak, dalam arti yang sebenarnya, bertindak secara adil. Meningkatnya kesejahteraan
dari memelihara ternak memang merupakan tujuannya, namun menyebabkan kerugian bagi orang
lain bukanlah gayanya. Baginya, peternakan yang mensejahterakan adalah peternakan yang
menguntungkan secara berkeadilan, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain sebagaimana
dipesankan leluhur orang Batak melalui kata-kata bijak:
Poltak bulan ama ni manggule,
deba pe dapotan uli alai sude maulae”
“
BAHAN BACAAN
Anonimous. 1985. Usaha Peternakan : Perencanaan Usaha, Analisa dan Pengelolaan. Diretorat Bina Usaha Tani
Ternak dan Pengolahan Hasil Peternakan, Dirjen Peternakan Deptan. Jakarta.
Cheeke, P. R. 1999. Contemporary Issues in Animal Agriculture. Interstate Publishers, Inc. Danville Illinois.
Chantalakhana, C. 1990. Small Farm Animal Production and Sustainable Asgriculture. Food and Fertilizer
Technology Centre (FFTC). Extension Bulletin. No, 309. 18p
Delgado, C., M. Rosegrant, H. Steinfeld, S. Ehui and C. Courbois. Livestock to 2020 The Next Food Revolution. Food,
Agriculture, and the Environment Discussion Paper 28
Edwards, P., R. S. V. Pullin and J. A. Gartner. 1988. Research and Education for the Development of Integrated
Crop-Livestock-Fish Farming System in the Tropics. Iclarm Studies and Review. Manila. Philippines.
Hazell, P., C. Poulton, S. Wiggins and A. Dorward. 2006. The Futufre of Small Farms: Synthesis Paper. Rimisp-Latin
American Center for Rural Development
Holmes, R., N. Jones and S. Wiggins. Understanding the impact of Food Prices on Children. How rising food prices
affect poor families. What can be done to protect children in the developing world. Plan UK, 5-6 Underhill
Street, London NW1 7HS
Lihgfoot, C. 1990. Integration of Agriculture : A Route to Sustainable Farming System. Naga. The ICLARM Quaterry.
January, 1990: 9–12.
Lumbantoruan, M. 1994. Posisi dan Peranan Peternakan di Pedesaan. Warta Nommensen. Edisi II Tahun XI : 44-47.
-----------------------. 1994. Pengembangan Peternakan Berwawasan Lingkungan di Tapanuli Utara. Makalah pada
Seminar Nasional Upaya Menuju Kesejahteraan Keluarga serta Mewujudkan Keselarasan, Keserasian dan
Keseimbangan antara Kuantitas dan Kualitas Persebaran Penduduk dan Lingkungan Hidup. Tanggal 6
Oktober 1994. Universitas HKBP Nommensen, Medan. (17 hlmn).
-----------------------. 2001. Meningkatkan Pandaraman Warga denngan Sistim Usaha Tani Terpadu. Surat Parsaoran
IMMANUEL. Vol. 111 (No. 11):54–57.
-----------------------. 2002. Mengubah Pola Bantuan ke Bona Pasogit Surat Parsaoran IMMANUEL. Vol. 112 (No.
01):57.
-----------------------. 2002. Pengembangan Sistim Usaha Tani Terpadu dengan Introduksi Usaha Ternak Berorientasi
Bisnis sebagai Starting Poinnya dalam Rangka Implementasi Konsep Pembangunan Berkelanjutan di
Kawasan Danau Toba. Di dalam : Strategi Pembangunan Berkelanjutan dan Pengelolaan Kawasan Danau
Toba. Prosiding Seminar Nasional. 6 April 2002. Partungkoan Batak Toba (Parbato) Medan, Yayasan Del
Jakarta dan Yayasan Perhimpunan Pencinta Danau Toba (YPPDT) Jakarta. (18 hlmn).
Obias, E. D. 1988. Integrated Farming System and Waste Recyling. FFTC. Ext. Bull. No. 220. Pp.7-11.
Rosegrant, M. W, M. S. Paisner, S. Meijer and J Witcover. 2001. 2020 Global Food Outlook: Trends, Alternatives,
and Choices. A 2020 Vision for Food,Agriculture, and the Environment Initiative International Food Policy
Research Institute Washington,D.C.
Samosir, O. 2002. Peluang dan Tantangan Pertanian di Dataran Tinggi Toba. Di dalam : Strategi Pembangunan
Berkelanjutan dan Pengelolaan Kawasan Danau Toba. Prosiding Seminar Nasional. 6 April 2002.
Partungkoan Batak Toba (Parbato) Medan, Yayasan Del Jakarta dan Yayasan Perhimpunan Pencinta Danau
Toba (YPPDT) Jakarta. (11 hlmn).
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------*)
Disampaikan pada ”Pembinaan Guru-guru Sekolah Minggu” yang diadakan dalam Rangka Parheheon
Sekolah Minggu HKBP se-Resort Partali Toruan di Tarutung pada hari Senin tanggal 6 Juli 2009.
**)
Dosen Fakultas Peternakan Universitas HKBP Nommensen Medan.