HARMONISASI EKOLOGI DALAM UNGKAPAN TATANGAR BANJAR

  

HARMONISASI EKOLOGI

TATANGAR BANJAR DALAM UNGKAPAN

Ecology Harmonization in the Expressions of Banjar’s Tatangar

  

Musdalipah

  Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan Jalan A. Yani Km 32,2 Loktabat, Banjarbaru,

  Telepon: 085248102319, Pos-el: mussasi_ok@yahoo.co.id Naskah masuk: 15 Maret 2016, disetujui: 19 Mei 2016, revisi akhir: 12 Juli 2016

  

Abstrak: Salah satu kepercayaan masyarakat Banjar yang hingga kini masih diyakini adalah pertanda

  atau dalam bahasa Banjar disebut tatangar.Keberadaan tatangar bagi masyarakat Banjar pada zaman dahulu bukanlah takhayul, sebab tatangar yang didominasi dari gejala alam ini tidak hanya sekadar peristiwa kebetulan tanpa makna. Lebih dari itu, masyarakat ini memahami bahwa ada banyak pesan yang ingin disampaikan oleh alam kepada manusia melalui berbagai peristiwa yang diisyaratkan.Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan harmonisasi ekologi yang ada dalam berbagai ungkapan tatangar Banjar dan pemaknaan masyarakat Banjar terhadapnya.Metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Hasil analisis mengungkapkan bahwa (1) sebagai manusia yang hidup di tengah alam bebas Kalimantan, masyarakat Banjar sangat menghargai alam dan selalu bersinergi dengan gejala alam yang tampak di sekitarnya dalam berbagai segi kehidupan, termasuk dalam tatangarnya. (2) Berbagai gejala alam, termasuk perilaku hewan dan peristiwa alam, diungkapkan melalui kalimat tatangar, selanjutnya dimaknai tertentu, dan terciptalah tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh masyarakat Banjar.

  Kata kunci: Tatangar Banjar, harmonisasi, ekologi

Abstract: One of Banjar people’s belief still existing is the omen, which in Banjar language it is

so-called tatangar. The existence of tatangar for the people of Banjar in ancient time was not

superstitious, as tatangar predominanted by natural phenomena is not just a coincidence without

meaning. Moreover, these people understand that there are many messages to be conveyed by

nature to humans through various events that are beckoned. Hence, The study aims to describe

ecology harmonization in various expressions of Banjar’s tatangar and their meaning for Banjar

people. This study uses qualitative method. The result of the study reveals that there are two

findings. Firstly, as they live in the wilderness of Kalimantan, Banjar people greatly appreciate

nature and always work together with natural phenomena that appear around them in various

facets of life, included in their tatangar. Secondly, different types of natural phenomena, including

animal’ s behaviors and natural events, can be expressed in tatangar expressions, then they are

interpreted. Thus, certain actions that should be done by Banjar people are created.

  Key words: Tatangar Banjar, harmonization, ecology

1. PENDAHULUAN

  pandangan hidupnya seringkali Masyarakat Banjar adalah salah satu berpegangan pada agama Islam, sejak masyarakat yang mendiami pesisir Pulau dahulu hingga sekarang.Sebagaimana

  Kalimantan bagian selatan.Masyarakat masyarakat Indonesia pada umumnya, Banjar identik dengan agama Islam, sebab masyarakat Banjar memiliki kepercayaan

  METASASTRA , Vol. 9 No. 1 , Juni 2016: 83—94

  yang dianggap oleh sebagian lainnya sebagai takhayul. Salah satu kepercayaan masyarakat Banjar yang hingga kini masih diyakini adalah pertanda atau dalam bahasa Banjar disebut tatangar atau wahana.

  Tatangar merupakan pertanda yang bisa

  berasal dari beberapa hal seperti gejala alam, mimpi, dan peristiwa tidak lazim lainnya.Keberadaan tatangar bagi masyarakat Banjar pada zaman dahulu bukanlah takhayul, sebab tatangar yang didominasi dari gejala alam ini tidak hanya sekadar peristiwa kebetulan tanpa makna. Lebih dari itu, masyarakat ini memahami bahwa ada banyak pesan yang ingin disampaikan oleh alam kepada manusia melalui berbagai peristiwa yang diisyaratkan. Peristiwa atau gejala yang disampaikan oleh alam ini merupakan salah satu bukti bahwa betapa indahnya harmoni yang terjadi antara manusia dengan alam sebagai satu kesatuan dalam sebuah ekologi.

  Harmonisasi, sebagaimana diketahui merupakan suatu penyelarasan yang terjadi antara berbagai unsur, baik bendawi maupun nonbendawi dan dapat menghasilkan keindahan dengan makna mendalam.Sementara itu, ekologi merupakan suatu sistem hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan alam sekitarnya.Dalam hal ini, makhluk hidup tersebut adalah manusia, hewan, dan tumbuhan yang melakukan hubungan timbal balik, termasuk dengan segala hal di antara langit dan bumi sebagai bagian dari alam.

  Dengan demikian, harmonisasi ekologi adalah penyelarasan yang terjadi secara timbal balik antara manusia dengan alam di sekitarnya.Yakni manusia dengan hewan,tumbuhan, dan segala benda yang ada di antara langit dan bumi sebagai bagian dari alam.Penyelarasan ini tidak hanya bermanfaat bagi manusia, namun juga bagi hewan, tumbuhan, dan alam sekitarnya demi keberlangsungan alam semesta.

  Salah satu kearifan lokal masyarakat Banjar sebagai cerminan dari harmonisasi ekologi tersebut adalah tatangar yang berasal dari gejala alam.Gejala alam yang memberikan isyarat tertentu ini membuat masyarakat Banjar memiliki kecerdasan tertentu untuk menerjemahkan dan memaknai isyarat tersebut, sehingga terciptalah keharmonisan antara manusia dan alam sekitarnya. Cerminan harmonisasi ekologi dalam ungkapantatangar ini akan dilihat secara teks dan konteks. Secara teks, peneliti menjadikan kalimat dalam ungkapantatangar tersebut sebagai objek penelitian.Secara konteks, peneliti berusaha menghubungkan ungkapantatangar tersebut dengan tujuan penciptaannya.

  Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, bagaimanakah masyarakat Banjar menggambarkan dan memaknai hubungan timbal balik antara manusia dan alam melalui ungkapan tatangar?

  Penelitian ini berhipotesis bahwa terdapat hubungan timbal balik yang harmoni antara manusia dan alam dalam ungkapan tatangar tersebut.Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan hubungan timbal balik antara manusia dan alam dalam ungkapantatangar Banjar. Secara teoritis, penelitian ini bertujuan mengukuhkan anggapan bahwa sastra lisan merupakan cerminan kearifan lokal masyarakat penuturnya. Sebuah sastra lisan lahir dan berkembang dari dukungan masyarakat penuturnya.Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan apresiasi dan informasi mengenai sastra lisan.

  Penelitian mengenai harmonisasi alam dan ekologi sastra pada saat ini telah menjadi hal yang menarik. Secara umum beberapa penelitian tersebut menjadikan berbagai karya sastra tulis sebagai obyek penelitiannya, seperti “Harmonisasi Alam dalam Teks Kidung Jerum Kundangdya” yang dilakukan oleh Ayu Putri Suryaningrat (2014). Pada penelitiannya, Ayu menjadikan Kidung Jerum Kundangdya sebagai obyek untuk mengetahui bentuk harmonisasi alam dalam Kidung Jerum

  Kundangdya berkaitan dengan keberadaan

  alam beserta isinya sehingga diciptakanlah keseimbangan yang menjadikan harmonis.

  M

USDALIPAH

: H ARMONISASI E KOLOGI DALAM U NGKAPAN T ATANGAR B ANJAR

  Sementara itu, penelitian tentang “Sastra Lingkungan Hidup sebagai Gerakan Sosial” yang dilakukan oleh Novita Sari (2014) dan “The Speaking Subject: Perlawanan Perempuan dan Alam Tropis terhadap Kolonialisme dalam Cerita Tjerita Nji Paina Karya Herman Kommer” yang dilakukan oleh Maemunah (2014) menjadikan teks karya sastra tulis sebagai obyek penelitiannya untuk mengetahui hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya.

  Sementara itu, sebagai bagian dari tradisi lisan warisan leluhur, tatangar Banjar juga dapat menjadi obyek penelitian yang menarik. Sebelumnya, ada dua penelitian dengan objek yang sejenis, yakni Tatangar

  atau Wahana Banjar yang dilakukan oleh Tim

  Penyusun Balai Bahasa Banjarmasin (2009) dan “Wujud Kearifan Lokal dalam Makna

  Wahana Banjar” yang dilakukan oleh

  Musdalipah (2013). Pada penelitian yang dilakukan oleh Tim Penyusun menghasilkan lima klasifikasi tatangar, yakni tatangar yang berasal dari hewan, mimpi, alam, tumbuhan, dan anggota tubuh. Sedangkan yang dilakukan oleh Musdalipah menghasilkan wujud kearifan lokal masyarakat Banjar, yakni menjunjung kejujuran, bersyukur atas segala rezeki, tidak melupakan kerabat yang telah meninggal dunia, dan mendekatkan diri kepada Tuhannya.

  Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini lebih fokus pada harmonisasi ekologi antara manusia dan alam sekitarnya yang terdapat dalam tatangar dan cara masyarakat Banjar memaknainya sebagai bagian dari pandangan hidup mereka. Penelitian ini dimaksudkan sebagai pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya dengan mengangkat ungkapan

  tatangar sebagai obyeknya. Tatangar sendiri

  adalah folklor sebagian lisan yang oleh Bruvand merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Folklor sebagian lisan ini merupakan pernyataan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib (Danandjaja, 2002: 21).

  Jika dilihat dari konteksnya, tatangar memiliki hubungan yang kuat dengan sistem sosial masyarakat penggunanya.Berbagai nilai di dalam

  tatangar tidak lepas dari masyarakat

  penggunanya.Dengan demikian, dalam perspektif ini tatangar dapat dianggap sebagai kearifan lokal.Kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis (Keraf, 2010).

  Ungkapan tatangar, sebagai bagian dari produk kolektif, merupakan refleksi dari kearifan lokal masyarakat Banjar, dengan alam sekitar dan sistem sosial masyarakat sebagai pendukungnya.Lahirnya suatu ungkapan tatangar selalu memiliki tujuan tertentu yang berasal dari pemaknaan masyarakat penuturnya sebagai suatu hubungan sebab-akibat, khususnya terhadap gejala alam.Misalnya, ketika tengah malam ada suara ayam jantan berkokok, maka lahirlah ungkapan tatangar dari masyarakat Banjar yang bermakna bahwa pada saat itu para malaikat dari langit sedang turun ke bumi.Dengan demikian, masyarakat disarankan untuk bertasbih kepada Sang Khalik sebagai wujud penghambaannya.Pemaknaan tatangar seperti ini dapat memberikan pengetahuan kepada dunia luar tentang kearifan lokal dan harmonisasi ekologi antara masyarakat penutur dengan alam sekitarnya.

  Pemaknaan terhadap gejala alam yang diungkapkan melalui ungkapan tatangar tadi merupakan bukti adanya keselarasan hubungan timbal balik.Hal ini menjadi menarik untuk dikaji dengan menggunakan teori interaksi simbolik.Teori ini telah diperkenalkan sejak 1934 oleh George Herbert Mead, Charles Horton Cooley, Wil- liam I Thomas, Erving Goffman, dan Denzin (Ratna, 2005: 192). Melalui bahasa, manusia dapat mengomunikasikan bukan semata- mata isyarat, tetapi juga makna. Dengan demikian, manusia sebagai pelaku interaksi simbolik dapat membentuk suatu METASASTRA , Vol. 9 No. 1 , Juni 2016: 83—94

  masyarakat tertentu. Dalam ilmu sastra, selain manusia, seluruh elemen alam, termasuk berbagai peristiwa juga dapat diberikan makna yang berbeda atas dasar antarhubungannya. Sementara itu yang menjadi obyek pada analisis interaksi simbolik adalah tindakan dan perilaku yang tersembunyi. Dengan demikian, interaksi simbolik tepat digunakan untuk menganalisis karya sastra dalam kaitannya dengan kebudayaan (Ratna, 2005: 194— 202).

  Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan peneliti dalam interaksi simbolik.Pertama, simbol akan bermakna penuh ketika berada dalam konteks interaksi aktif. Kedua, pelaku budaya akan mampu mengubah simbol dalam interaksi sehingga menimbulkan makna yang berbeda dengan makna yang lazim. Ketiga, pemanfaatan simbol dalam interaksi budaya kadang- kadang lentur dan bergantung bahasa pelaku. Keempat, makna simbol dalam interaksi dapat bergeser dari tempat dan waktu tertentu (Endraswara, 2006: 64—65).

  Dalam pemaknaan interaksi simbolik, bisa melalui proses (1) penerjemahan dari bahasa lisan penduduk ke tulisan; (2) penafsiran yang berhubungan dengan konteksnya; (3) ekstrapolasi, penekanan kemampuan untuk mengungkap di balik data yang ada; dan (4) pemaknaan terhadap data yang ada (Endraswara, 2006: 66).

  Penggunaan interaksi simbolik pada penelitian ini dimaksudkan dapat mengungkap harmonisasi ekologi atau penyelarasan hubungan timbal balik antara manusia dengan alam sekitar yang ada dalam ungkapan tatangar Banjar serta cara masyarakat Banjar memaknainya.

  Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang oleh Danandjaja (1990: 98) dipandang paling cocok dalam penelitian sastra lisan. Penggunaan metode kualitatif pada penelitian budaya beralasan data yang diperoleh di lapangan biasanya tidak terstruktur dan relatif banyak, sehingga memungkinkan peneliti menata, mengkritisi, dan mengklasifikasikan yang lebih menarik melalui deskripsinya.Peneliti juga lebih cenderung mengandalkan kekuatan inderanya untuk merefleksikan fenomena budaya (Endraswara, 2006: 14— 17).

  Teknik pengambilan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam, pengamatan terlibat, dan dokumentasi. Analisis data menggunakan cara gunting lipat. Artinya, suatu saat ada informasi yang kurang relevan digunting dan yang kurang layak dilipat. Analisis data konkret diawali setelah melakukan transkripsi dan pemilahan (Endraswara, 2009:220—224).

  Dari hasil wawancara secara mendalam, terdapat129 buah tatangar yang diperoleh dari masyarakat Banjar, tetapi hanya10 buah tatangar yang dijadikan sebagai obyek pada penelitian ini. Alasan pemilihan kesepuluh buah data ini berdasarkan kuatnya hubungan alam, hewan dan keadaan alam, dengan manusia selaku pencipta tuturan tatangar.Kesepuluh buah ungkapan tatangar ini sarat dengan penyelarasan hubungan timbal balik antara manusia dan alam. Oleh sebab itu, data penelitian ini adalah data primer berupa kalimat ungkapan tatangar. Data ini merupakan hasil wawancara dengan para informan di lokasi pengamatan, yakni di Desa Kapuh dan Parincahan, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.

  Narasumber penelitian ini adalah masyarakat Banjar penutur ungkapan

  tatangar yang berusia di atas 50 tahun. Yakni Hj. Sandariah (70), Hj. Khairiah(72), Hj.

  Salmiah (58), Hj. Maisarah (71), dan Hj. Halidah (52). Alasan pemilihan narasumber berdasarkan beberapa faktor, yakni (1) untuk menggali lebih banyak tatangar; dan (2) kebanyakan generasi muda Banjar tidak mengetahuinya sebab menganggap bahwa

2. METODE PENELITIAN

  tatangar hanya takhayul yang tidak perlu dipertahankan.

  Pengumpulan data dilakukan oleh penulis sebagai pengumpul data, mengikuti

  M

USDALIPAH

: H ARMONISASI E KOLOGI DALAM U NGKAPAN T ATANGAR B ANJAR

  asumsi kultural, dan mengikuti data dengan tetap mengambil jarak (Brannen, 1997: 9— 12).

3. HASILDAN PEMBAHASAN

3.1 Masyarakat Banjardan Alam Kalimantan

  Masyarakat Banjar adalah salah satu etnis yang mendiami wilayah pesisir Kalimantan Selatan, selain etnis lainnya.Selain Banjar, ada beberapa penduduk asli Kalimantan yang juga mendiami wilayah ini, yaitu Dayak Bakumpai, Dayak Berangas, Dayak Samihin, Dayak Halong, Dayak Deah, Dayak Lawangan, Dayak Maanyan, dan Dayak Abal. Masyarakat Banjar adalah masyarakat mayoritas yang menyebar di seluruh wilayah ini, bahkan ke seluruh pulau.Berdasarkan etnologi, nenek moyang masyarakat Banjar berasal dari etnis Melayu yang berimigran secara besar-besaran dari Sumatera kemudian bercampur dengan penduduk asli yaitu etnis Dayak yang masuk Islam (Daud, 1997: 25—26).Masyarakat Banjar lebih menyukai penyebutan urang

  Banjar atau bubuhan Banjar yang bermakna

  masyarakat Banjar daripada suku Banjar bagi komunitasnya.Pemilihan diksi ini memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Banjar, yakni tidak terkesan eksklusif. Dengan kata lain, masyarakat Banjar bersifat terbuka bagi siapa saja yang ingin mengenal dan berbaur dengan mereka.

  Selain bersifat terbuka untuk berbaur dengan masyarakat di luar Banjar, mereka juga memiliki sifat dan rasa menyatu dengan alam sekitarnya.Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari keberadaan mereka di bumi Kalimantan yang bagaikan surga dunia, sebab berbagai sumber daya alam, baik hewan, tumbuhan, maupun isi bumi yang melimpah sangat memanjakan masyarakat Banjar. Persembahan bumi pertiwi ini tidak membuat mereka lupa untuk berterima kasih dengan cara menyelaraskan diri dengan alam. Penyelarasan dengan hubungan timbal balik antara manusia dengan alam atau harmonisasi ekologi ini mereka ungkapkan melalui berbagai tradisi, satu di antaranya adalah sastra lisan.Di antara beragam sastra lisan masyarakat Banjar ada ungkapan yang mencerminkan kuatnya hubungan harmoni dengan alam, yakni tatangar atau wahana.

  3.2 Harmonisasi Ekologi dalam Ungkapan Tatangar Banjar

  Berikut data dan pembahasan mengenai keselarasan antara masyarakat Banjar dan alam melalui ungkapan tatangarnya.

  (1) Amun inya ada awan nang kaya bagalumbang, cirinya banyak iwak nang timbulan.

  Terjemahan ungkapan ini adalah jika awan tampak seperti riak gelombang atau bulu burung, pertanda ikan-ikan bermunculan di permukaan sungai atau laut.

  Ungkapan ini memiliki makna yang berhubungan dengan mata pencaharian masyarakat Banjar.Satu di antara mata pencaharian masyarakat Banjar adalah mencari ikan, baik di laut maupun di sungai.Kalimantan Selatan merupakan wilayah yang berada di pesisir Laut Jawa dan memiliki banyak sungai besar dengan berbagai jenis ikan.Sebagai nelayan, masyarakat Banjar sangat memerhatikan masalah yang berhubungan dengan waktu yang tepat untuk ke laut atau ke sungai, agar perjalanannya tidak sia-sia.Sebelum pergi mencari ikan, masyarakat Banjar memiliki kebiasaan melihat keadaan langit untuk mengetahui cuaca.Ketika langit tampak cerah dengan awan seperti riak gelombang atau bulu burung, maka lahirlah ungkapan (1) yang bermakna bahwa ikan-ikan bermunculan di permukaan sungai atau laut. Ungkapan tersebut melahirkan tindakan agar segera ke laut atau ke sungai. Sebaliknya, ketika langit tampak gelap dan awan tebal bergumpal, mereka menahan diri untuk tidak pergi mencari ikan. Hal ini METASASTRA , Vol. 9 No. 1 , Juni 2016: 83—94

  mereka maknai bahwa akan terjadi badai yang dapat membahayakan keselamatan jiwa.

  Pemaknaan pada ungkapan ini menggambarkan keselarasan antara masyarakat Banjar dengan alam di sekitarnya.Pemaknaan ini diperkuat dengan ikan hasil tangkapan sesuai dengan harapan. Selanjutnya, lahir suatu tindakan yang harus mereka patuhi demi kelangsungan hidupnya.

  Pemaknaan pada ungkapan yang berasal dari gelaja alam ini bukan sekadar sugesti. Berdasarkan klasifikasi awan dalam ilmu meteorologi, bentuk awan yang diungkapkan dalam tatangar ini termasuk ke dalam jenis awan sedang yang bernama awan

  altocumulus (Ac) yaitu jenis awan yang

  terlihat berbentuk seperti bulu burung.Pada saat kemunculan awan ini, kondisi cuaca cerah, angin bertiup tidak kencang, sehingga ombak laut relatif tenang. Hal ini membuat kawanan ikan cenderung berenang ke permukaan laut dan akan mempermudah nelayan untuk menangkapnya.

  (2) Amun inya malam banyak kaririangnang babunyi, cirinya mulai musim katam.

  Terjemahan ungkapan ini adalah jika malam hari banyak terdengar suara

  kaririang atau riang-riang, pertanda musim panen telah tiba.

  Ungkapan ini memiliki makna yang berhubungan dengan mata pencaharian masyarakat Banjar sebagai petani. Sebagian besar dataran di wilayah Kalimantan Selatan adalah lahan pertanian padi.Kesuburan lahannya membuat wilayah ini menjadi satu di antara beberapa lumbung padi nasional di Indonesia. Selain itu, sebelum melakukan aktivitas pertanian, masyarakat Banjar selalu memerhatikan gejala alam ketika bertani. Satu di antaranya adalah suara kaririang pada malam hari. Gelaja alam ini melahirkan tatangar dalam bentuk ungkapan (2) tersebut. Masyarakat Banjar memaknai ungkapan (2) bahwa saat itu musim panen telah tiba. Padi mereka telah siap dipanen.

  Dari proses terciptanya ungkapan (2) ini membuat masyarakat Banjar dapat menentukan saat panen yang tepat. Ketika itu pergantian musim dari hujan ke kemarau telah terjadi. Pada sebagian besar lahan pertanian di Kalimantan Selatan termasuk sawah tadah hujan. Sawah tadah hujan adalah sawah yang mendapatkan air hanya pada saat musim penghujan, bukan dari pengairan irigasi, sehingga jenis sawah ini sangat bergantung pada musim penghujan. Pada umumnya, sawah jenis ini ditanami padi bermasa tumbuh enam bulan di musim penghujan. Ketika musim kemarau, padi siap panen dan lahanakan ditanami jenis palawija seperti jagung, singkong, dan ubi jalar.

  Untuk menentukan masa tanam dan panen,masyarakat Banjar lebih mengandalkan cuaca dan gejala alam lainnya. Zaman dahulu belum mengenal kalender dan sistem penanggalan modern seperti saat ini.Penanda bahwa musim penghujan telah berganti dengan kemarau adalah mulai keluarnya beberapa hewan jenis serangga yang bersarang di dalam tanah, di antaranya kaririang.Kaririang adalah serangga bersayap ganda dan tembus pandang, mengeluarkan suara nyaring melengking dan hidup di dalam tanah. Ketika musim kemarau tiba, serangga ini akan keluar dari sarangnya dan mengeluarkan suara melengking untuk menarik perhatian lawan jenis kemudian kawin. Oleh sebab itulah kemunculan serangga ini dimaknai masyarakat Banjar sebagai simbol datangnya musim kemarau. Artinya, masa tumbuh padi akan berakhir. Hal itu melahirkan ungkapan tatangar (2) dan melahirkan tindakan agar bersiap-siap memanen hasil pertanian mereka. Artinya, padi mereka telah berumur satu musim atau enam bulan sehingga siap dipanen.Hal ini membuktikan bahwa terdapat keselarasan timbal balik yang harmonis antara manusia dengan alam sekitarnya.

  M

USDALIPAH

: H ARMONISASI E KOLOGI DALAM U NGKAPAN T ATANGAR B ANJAR (3) Amun inya tangah malam tang ada bunyi hayam jagau batingkuuk, cirinya rahat malihat malaikat.

  Terjemahan ungkapan ini adalah jika tengah malam terdengar suara ayam jantan berkokok, pertanda tengah melihat malaikat.

  Ungkapan ini memiliki makna yang berhubungan dengan keyakinan masyarakat Banjar yang identik dengan Islam. Kedatangan agama Islam ke Kalimantan Selatan merupakan awal keberadaan etnis Banjar. Pada saat itu, masyarakat yang beragama Islam di wilayah ini serta merta menjadi urang Banjar, kecuali Dayak Bakumpai dan Dayak Berangas yang hingga saat ini masih bertahan dengan kesukuannya. Keislaman masyarakat Banjar ini tergambar pada sastra lisannya, seperti pada ungkapan (3) Masyarakat Banjar percaya bahwa hewan dapat melihat hal yang gaib, termasuk malaikat. Malaikat pembawa rahmat merupakan malaikat dengan tugas membagikan rahmat Allah Swt. bagi semua makhluk di bumi yang dikehendaki-Nya. Tengah malam atau dini hari adalah waktu sebagian besar makhluk, termasuk manusia dan hewan, beristirahat dari segala aktivitasnya. Ketika terdengar ayam jantan berkokok sebelum waktunya, lahir ungkapan bahwa hal itu karena kehadiran malaikat pembawa rahmat dari langit ke bumi di sekitarnya.Ungkapan (3) yang berasal dari gejala alam ini melahirkan satu tindakan yang harus mereka lakukan, yakni segera berzikir dan berdoa.Hal ini selaras dengan hadis Rasulullah Muhammad saw. yang menyarankan umatnya untuk berdoa ketika mendengar kokok ayam di malam hari, sebab pada saatitu ayam tengah melihat sesuatu yang baik. Sesuatu yang baik ini ditafsirkan masyarakat Banjar sebagai malaikat pembawa rahmat.

  Pengaruh Islam yang kuat pada masyarakat Banjar ini membuat segala aspek kehidupan pribadi dan sosialnya berlandaskan pada Alquran dan hadis.

  Hubungan timbal balik yang selaras dan harmoni antara masyarakat Banjar dengan alam sekitarnya terbukti dalam ungkapan tatangar ini.

  (4) Amun inya tang ada kukupu naik ka rumah, cagaran handak ada urang bailang.

  Terjemahan ungkapan ini adalah jika tiba-tiba kupu-kupu masuk ke rumah, akan ada tamu yang datang.

  Ungkapan ini memiliki makna yang berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat Banjar yang bersifat terbuka. Masyarakat Banjar senang berbaur dengan siapa pun. Saling mengunjungi merupakan cara menjalin silaturahim.

  Perilaku hewan (kupu-kupu) yang tiba- tiba masuk ke rumah melahirkan ungkapan tertentu pada masyarakat Banjar berupa kalimat tatangar (4). Ungkapan ini kemudian dimaknai bahwa akan datang tamu dari jauh.

  Tamu di sini merupakan tamu menyenangkan bagi penghuni rumah. Sebagai muslim, masyarakat Banjar selalu berusaha melakukan semua aktivitas, baik pribadi maupun sosialnya, berlandaskan pada Alquran dan hadis. Mereka meyakini satu hadis yang menyatakan bahwa silaturahim memiliki banyak manfaat, di antaranya adalah memperpanjang umur atau sisa umurnya menjadi berkah dan menambah (berkah) rezeki. Pemaknaan pada ungkapan (4) ini melahirkan tindakan tertentu, yakni menyiapkan segalanya demi menyambut tamu, seperti membersihkan rumah jika kotor dan menyiapkan suguhan untuk menjamu tamu yang ditunggu.Mereka merasa bahagia sebab telah mendapat kesempatan menjamu tamu yang berarti ladang pahala baginya. Dalam hadis tersebut, menjamu tamu dengan suguhan terbaik adalah perbuatan mulia yang sering dicontohkan oleh Rasulullah saw.

  Selain itu, masyarakat Banjar kian menyukai hewan ini. Ketika ada kupu-kupu masuk ke dalam rumah, penghuni rumah tidak akan mengusirnya.

  Pemaknaan ungkapan (4) yang melahirkan tindakan tertentu tersebut METASASTRA , Vol. 9 No. 1 , Juni 2016: 83—94

  membuktikan adanya hubungan timbal balik yang harmonis antara masyarakat Banjar dengan alam sekitarnya.

  (5) Amun inya ada kucing batimpungas, cagaran handak ada urang bailang.

  Terjemahan ungkapan ini adalah jika ada kucing yang menjilati telapak kaki depannya kemudian mengusapkan ke wajahnya, akan ada tamu yang datang.

  Ungkapan ini memiliki makna yang berhubungan dengan keyakinan masyarakat Banjar yang identik dengan Islam. Mereka meyakini bahwa kucing adalah binatang kesayangan Nabi Muhammad saw. Selain kotorannya, tidak ada yang dianggap najis pada binatang ini sehingga tidak ada larangan bagi umat muslim untuk memeliharanya. Bahkan ketika kucing memasuki mesjid pun tidak ada larangan sebab dianggap sebagai binatang yang senang kebersihan.Terbukti setelah mengeluarkan kotoran binatang ini langsung menutupinya dengan pasir atau tanah yang ada di sekitarnya. Hal inilah yang membuat banyak orang menyayanginya, termasuk masyarakat Banjar. Sebagai masyarakat yang hidup di tengah alam bebas, masyarakat Banjar pada zaman dahulu percaya bahwa ada beberapa gejala alam, termasuk perilaku binatang sebagai simbol yang dimaknai tertentu. Satu di antaranya adalah perilaku kucing yang menjilati telapak kaki depannya kemudian mengusapkan ke wajahnya, dimaknai bahwa akan kedatangan tamu dari jauh.

  Seperti halnya pada tatangar (4), masyarakat Banjar sangat senang menyambung atau memperkuat tali silaturahmi sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Hal itu diyakini dapat memperpanjang umur atau sisa umurnya menjadi berkah dan menambah (berkah) rezeki.

  Pemaknaan pada ungkapan tatangar (5) ini melahirkan satu tindakan tertentui. Yakni menjadi tuan rumah yang baik, dengan merapikan dan membersihkan rumah untuk menyambut kedatangan tamu.

  (6) Amun inya parahatan bapander tang ada bunyi cacak, cirinya panderan tu bujur.

  Terjemahan ungkapan ini adalah jika dalam suatu perbincangan tiba-tiba terdengar suara cicak, pertanda bahwa yang diucapkan tersebut memang benar.

  Ungkapan ini memiliki makna yang berhubungan dengan sosial pada masyarakat Banjar. Ungkapan pada

  tatangar (6) melahirkan tindakan percaya pada ucapan lawan tuturnya.

  Seperti pada ungkapan (3) dan (5), ungkapan (6) ini pun berhubungan dengan identitas masyarakat Banjar sebagai muslim. Mereka percaya pada riwayat ketika Nabi Muhammad saw. bersembunyi di dalam gua dari kejaran kaum Quraisy. Seketika laba- laba membuat sarang menutupi mulut gua untuk mengelabui kaum Quraisy yang mengejar. Ketika sampai,mereka ragu-ragu karena melihat sarang laba-laba yang menutupi mulut gua. Cicak yang berada di dekat situ justru membenarkan dugaan mereka dengan mengeluarkan suaranya. Berdasarkan hal itu, maka terciptalah ungkapan (6) dengan pemaknaan tersebut.

  Dengan demikian, terdapat keselarasan atau harmonisasi ekologi antara masyarakat Banjar dengan perilaku binatang yang saling menguntungkan. Masyarakat Banjar merasa diberitahu kucing akan kedatangan tamu, sementara kucing pun merasa semakin disayang oleh tuannya.

  Berdasarkan pembahasan pada kesepuluh ungkapan tatangar yang berasal dari alam tadi, terdapat keselarasan atau harmonisasi ekologi antara masyarakat Banjar dengan alam.Gejala alam ini melahirkan ungkapan tatangar yang menjadi kearifan lokalnya. Selanjutnya melahirkan tindakan tertentu demi keharmonisan hidup mereka. Gejala alam bagi masyarakat Banjar bukan tanpa makna.

  Ada dua hal yang tampak berhubungan dengan keselarasan antarsesama makhluk hidup dalam ungkapan-ungkapan tatangar ini, yakni keselarasan yang terjadi antara masyarakat Banjar dengan hewan dan

  M

USDALIPAH

: H ARMONISASI E KOLOGI DALAM U NGKAPAN T ATANGAR B ANJAR

  gejala alam di sekitarnya. Serta pemaknaan yang harmonis oleh masyarakat Banjar terhadap gejala alam melalui ungkapan tatangar sebagai suatu interaksi simbolik.

  Pemaknaan ini bisa saja dimaknai berbeda oleh masyarakat lain, sebab makna simbol dalam interaksi dapat bergeser dari tempat dan waktu tertentu, bergantung pemaknanya.

  (7) Amun inya pas malam ada bulan bapayung, cirinya banyak iwak timbulan.

  Terjemahan ungkapan ini adalah jika pada malam hari bulan tampak dikelilingi bias cahaya berwarna-warni, pertanda ikan-ikan bermunculan di permukaan sungai atau laut.

  Ungkapan ini memiliki makna yang berhubungan dengan mata pencaharian masyarakat Banjar yakni mencari ikan. Pemaknaan pada ungkapan tatangar (7) ini selaras dengan pemaknaan pada ungkapan

  tatangar (1) Masyarakat Banjar menjadikan

  gejala alam yang tampak sebagai pertanda, sehingga melahirkan ungkapan (7) serta tindakan tertentu, yakni para nelayan akan bersiap untuk mencari ikan di sungai atau di laut.

  Masyarakat Banjar meyakini bahwa bias sinar yang melingkari bulan merupakan pertanda bahwa ikan-ikan sedang bermunculan di permukaan sungai atau laut. Selaras dengan hal itu, berdasarkan ilmu meteorologi, pada saat itu kondisi cuaca cerah, angin bertiup tidak kencang, dan udara di atas permukaan sungai atau laut cenderung hangat. Kondisi seperti itu membuat ikan-ikan tertarik untuk berenang ke permukaan air. Keadaan tersebut memudahkan para nelayan mencari ikan pada malam hari.

  (8) Amun inya tangah hari Jumahat hujan, cagaran hujan samingguan.

  Terjemahan ungkapan ini adalah jika Jumat tengah hari hujan, akan hujan setiap hari selama seminggu berikutnya.

  Ungkapan ini memiliki makna yang berhubungan dengan keyakinan masyarakat Banjar yang identik dengan Is- lam. Salah satu gambaran keislamannya tampak seperti pada ungkapan tatangar (8) ini.Ungkapan ini lahir dari gejala alam, yakni turunnya hujan ketika Jumat tengah hari. Gejala alam ini dipadukan dengan satu hadis yang menguatkannya, yakni tentang riwayat ketika pada zaman Rasulullah saw. terjadi kekeringan. Para sahabat meminta Rasulullah Saw. berdoa agar Allah Swt. segera menurunkan hujan. Ketika itu Rasulullah saw. selesai khutbah Jumat.Permintaan para sahabat dilaksanakan Rasulullah Saw dan saat itu pula hujan deras terjadi.Kemudian setiap hari selama seminggu hujan masih terjadi.Pada khutbah Jumat berikutnya, para sahabat kembali meminta agar Rasulullah Saw.berdoa agar Allah Swt. menghentikan hujan tersebut. Doa terkabul dan keadaan kembali normal. Berdasarkan hal itu, ketika terjadi gejala alam seperti tersebut, lahirlah ungkapan tatangar (8), dilanjutkan dengan tindakan tertentu, yakni bersiap-siap jika hujan itu benar-benar terjadi dan merepotkan mereka, seperti banjir dan longsor.

  (9) Amun inya bamimpi dikapung atawa dipatuk ular, cagaran ada nang handak badatang.

  Terjemahan ungkapan ini adalah jika bermimpi dikejar atau digigit ular, akanada yang melamar untuk menikahi.

  Ungkapan ini memiliki makna yang berhubungan dengan masalah asmara seseorang.Masyarakat Banjar zaman dahulu tidak mengenal hubungan pacaran sebelum menikah.Oleh sebab itu, mereka segera mempertimbangkan siapa saja yang melamar untuk menikahi anaknya.

  Budaya masyarakat Banjar ini berpadu dengan mimpi yang mereka alami, yakni dikejar atau digigit ular.Mimpi mengenai hewan ini melahirkan ungkapan tatangar (9) serta tindakan tertentu. Yakni mempersiapkan diri apabila nanti ada METASASTRA , Vol. 9 No. 1 , Juni 2016: 83—94

  orang yang melamarnya, baik dalam hal fisik maupun sikap.

  Dalam hal fisik, dia harus menjaga kebersihan diri dan lingkungannya. Sementara dalam hal sikap, dia harus menjaga sikapnyaagar tidak menyakiti orang lain. Hal ini dilakukan agar orang yang diharapkan benar-benar melamarnya.

  (10) Amun inya bamimpi dapat iwak banyak, cagaran dapat rajaki.

  Terjemahan ungkapan ini adalah jika bermimpi mendapat ikan yang banyak, akan mendapat rezeki.

  Ungkapan ini memiliki makna yang berhubungan dengan rezeki.Ikan dalam mimpi dimaknai sebagai rezeki, sebab kebiasaan masyarakat Banjar yang hidup di daerah aliran sungai besar menyukai ikan.Ikan bagi masyarakat Banjar adalah salah satu jenis makanan yang harus tersedia. Masyarakat Banjar pada umumnya susah makan jika tidak dilengkapi dengan ikan. Ikan menjadi rezeki yang berharga dan dihubungkan dengan makna mimpi seperti pada ungkapan

  tatangar (10) tersebut.

  Pemaknaan ungkapan (10) ini melahirkan tindakan tertentu pada masyarakat Banjar, yakni kian giat berusaha dan berdoa agar mendapatkan rezeki yang baik dan berkah.

  4. SIMPULAN

  Sebagai manusia yang hidup di tengah alam bebas Kalimantan, masyarakat Banjar sangat menghargai alam. Mereka selalu bersinergi dengan gejala alam di sekitarnya dalam berbagai segi kehidupan. Hal itu membuktikan bahwa terdapat harmonisasi ekologi dalam ungkapan-ungkapan tatangar yang membuktikan adanya harmonisasi ekologi antara masyarakat Banjar dan alam di sekitarnya. Interaksi simbolik dalam ungkapan tatangar ini tampak jelas, yakni berbagai gejala alam, dianggap sebagai simbol yang disampaikan alam kepada manusia.

  Selanjutnya, pemaknaan tertentu sehingga terciptalah tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh masyarakat Banjar. Hal itu menjadi bagian dari kearifan lokal masyarakatnya, dan berguna bagi kelangsungan hidup alam semesta. Pada akhirnya penyelarasan secara timbal balik antara manusia dengan alam sekitarnya ini menjadi suatu refleksi mengenai konsep alam bagi masyarakat Banjar.

5. DAFTAR PUSTAKA Brannen, Julia.1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

  Dananjaja, James. 1990. “Metode Penelitian Kualitatif dalam Penelitian Folklor” dalam Aminudin (ed.) Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang: YA3. Dananjaja, James. 2002. Folklor Indonesia: Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Daud, Alfani. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar.

  Banjarmasin: PT Raja Grafindo Persada. Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada Univer- sity Press.

  Endraswara, Suwardi. 2009. Metodologi Penelitian Folklor: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Media Pressindo. Keraf, A.S. 2010.Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Musdalipah, 2013.”Wujud Kearifan Lokal Makna Wahana Banjar”. Kelasa.Vol. 8, No. 1 Juli 2013.

USDALIPAH ARMONISASI KOLOGI DALAM NGKAPAN ATANGAR ANJAR

  M : H E U T B

  Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ratna, Nyoman Kuta. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kuta. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Riffatere, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington and London: Indiana University Press. Santosa, Puji. 1990. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Penerbit Angkasa. Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana. Suryaningrat, Ayu Putri . 2012. “Harmonisasi Alam dalam Teks Kidung Jerum Kundangdya”. Tesis.

  Denpasar: Universitas Udayana. Syarifuddin, dkk. 1996. Wujud, Arti, dan Fungsi Puncak-puncak Kebudayaan Lama dan Asli bagi

  Pendukungnya di Daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin: CV. Prisma Muda Banjarmasin.

  Tim Penyusun, 2009. Tatangar atau Wahana Banjar. Banjarbaru: Balai Bahasa Banjarmasin.

  METASASTRA , Vol. 9 No. 1 , Juni 2016: 83—94