Genealogi Teori dan Metodologi di Cultural Studies

Jurnal Studi Kultural

http://journals.an1mage.net/index.php/ajsk

Laporan Riset

Genealogi Teori dan Metodologi di Cultural Studies

A.A. Ngr Anom Kumbara*

Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Udayana

Info Artikel Abstrak

Sejarah artikel:

Tujuan artikel ini adalah membahas genealogi teori dan metodologi kajian budaya dalam hubungannya

Dikirim 5 Desember 2017

dengan disiplin lain yang menaruh perhatian terhadap fenomena budaya. Metode yang digunakan adalah studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menemukan bahwa latar belakang munculnya cultural studies adalah

Direvisi 9 Desember 2017

untuk melawan ketidakadilan dan ketidakpedulian masyarakat kapitalis terhadap budaya massa yang

Diterima 23 Desember 2017

diproduksi oleh industri budaya.

Kata Kunci:

Teori utama yang digunakan cultural studies adalah hegemoni dan konstruksi budaya sembari

Genealogi

memanfaatkan berbagai teori kritis yang berkelindan dengan disiplin-disiplin lain. Pendekatan yang

Metodologi

digunakan adalah interdisipliner reflektif, yang dalam analisisnya membatasi antara subjek-subjek lain dan

Cultural Studies

dirinya sendiri.

Teori Kritis

Pendekatan Interdisipliner

© 2017 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

Dalam konteks netralitas ini, positivism dikritik karena Membahas mengenai genealogi cultural studies dalam

1. Pendahuluan

dianggap berwatak konservatif, totalitas, dan tidak mampu konteks paradigma dan praksis kebudayaan tidak bisa

menantang sistem yang ada (pro status quo), akibatnya dilepaskan dari “Manifesto Teori Kritis”, yang mengusung

mengabsolutkan fakta dan reifikasi tatanan yang ada. pemikiran-pemikiran kritis, reflektif-emansipatoris terhadap

problematik paradoksal modernitas dan positivism ilmu atau Sesuai dengan topik makalah ini dan dalam kaitannya dengan metode ilmiah yang dihasilkan dari kritisme pencerahan

kemunculan teori kritis Mazhab Frankfurt dan Habbermas (Renaissance).

dalam membangun dasar-dasar epistimologis bagi kritik ideologi, baik terhadap positivism dalam ilmu-ilmu yang

Tidak kunjung tibanya apa yang dijanjikan dan diramalkan melukiskan fakta sosial sebagai datum fisika sosial maupun oleh modernitas, bahkan terjadi hal yang sebalikya, seperti

terhadap masyarakat itu sendiri.

alienasi, dehumanisasi, melebarnya jurang antara yang kaya

dan miskin, kerusakan lingkungan dan munculnya Oleh karena itu tujuan makalah ini adalah membahas masyarakat berisiko terhadap bahaya nuklir dan HIV/AIDS

genealogi kemunculan cultural studies, teori dan metodologi [1], merupakan kritik atas konsekuensi negative modernitas.

yang digunakan dalam mengkaji dan sekaligus melakukan gerakan kebudayaan. Metode yang digunakan dalam

Di pihak lain, objek kritik terhadap positivism adalah tentang pembahasan permasalahan ini adalah metode kepustakaan metode ilmiah tunggal yang dapat diterapkan pada seluruh

(library research).

bidang studi dengan mengambil ilmu fisika sebagai standar

kepastian dan ketepatan untuk semua disiplin ilmu; dan

2. Diskusi

keyakinannya bahwa pengetahuan bersifat netral dalam arti

a. Kemunculan Cultural Studies dan Pemikiran ilmu itu tidak berada dalam posisi mendukung bentuk

Kritisnya

tindakan sosial khusus apa pun. Melacak kemunculan cultural studies dan teori-teori kritis, tidak terlepas dari keprihatinan dan reaksi para

intelektual “kiri baru” di Eropa Barat pada masa itu,

∗ Peneliti koresponden: Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Udayana

Email: anom_kumbara@unud.co.id HP.08123949684 terutama di Jerman dan Inggris terhadap kejumutan dan Email: anom_kumbara@unud.co.id HP.08123949684 terutama di Jerman dan Inggris terhadap kejumutan dan

teori kritis mazhab Frankfurt, Institut fur Sozialforschung persoalan disiplin keilmuan dalam sekat-sekat yang ketat

(Institut Riset Sosial, atau IFS) yang mulai muncul tahun serta berkutat pada wacana kebudayaan main-stream yang

1923 yang dipelopori oleh intelektual-intelektual Jerman, cenderung memihak, mendominasi, dan menindas.

yakni Adorno, Max Horkheimer, dan Herbert Marcus termasuk Walter Benyamin dan Eric Fromm [6].

“Teoretisi Tradisional” juga dianggap bungkam, tidak acuh, dan tidak kritis terhadap tekanan sosial, politik, dan

Kemunculan institut dan pemikiran kritis kelompok ini ekonomi yang dihadapi oleh kelompok pekerja wanita dan

juga berawal dari kekecewaan mereka, tidak hanya pada kaum minoritas migran serta kelompok marginal lainnya

masyarakat kapitalis, tetapi juga pada ortodoksi Marxis akibat modernisasi dan perkembangan kapitalisme. Selain

yang mereka anggap sebagai bentuk gagal dari sosialisme itu, dalam konteks wacana kebudayaan, kaum mapan (pro

yang termanifestasi dalam Komunis Rusia era Stallinis. status quo) juga dipandang sibuk hanya berkutat pada

Secara ortopraksi Marxis era Stallinis dianggap sebagai dikotomisasi budaya tinggi - budaya rendah, kebudayaan

bentuk kebangkitan fasisme dan otoriterisme yang secara nasional-kebudayaan asing dan atau kebudayaan lokal.

faktual justru sangat bertentangan dengan ramalan Marxisme ortodoks.

Suatu dikotomisasi yang sejauh ini direproduksi dengan tendensi memihak atau mengunggulkan salah satu jenis

Di lingkungan universitas, cultural studies di Inggris budaya, seraya mencibir jenis budaya lain yang dipandang

mengembangkan program interdisipliner untuk mengkaji rendah dan dangkal nilai, seperti budaya pop dan atau

persilangan antara kebudayaan, masyarakat, dan politik, budaya jalanan.

serta mengembangkan kritik atas fragmentasi akademik dan pendisiplinan. Cultural studies —seperti Mazhab

Di Inggris, awal mula tahap pertama proyek cultural Frankfurt —menegaskan bahwa kebudayaan harus dikaji studies dimulai pada tahun 1950-an dan awal 1960 yang

di dalam relasi-relasi dan sistem sosial, dan dengan itu dikembangkan oleh Richard Hogart, Raymond Williams,

kebudayaan diproduksi dan dikonsumsi, dan dengan Stuart Hall, dan E.P Thomson yang coba mempertahankan

demikian kajian kebudayaan sangat berkelindan dengan kebudayaan kelas pekerja untuk melawan ketidakadilan

kajian masyarakat, politik, dan ekonomi. yang ada di dalam masyarakat kapitalis dan melawan serangan budaya massa (mass culture-counter) yang

Cultural studies Inggris dan Mazhab Frankfurt sama-sama diproduksi oleh industri-industri kebudayaan.

didirikan dalam semangat transdisipliner untuk melawan pembagian kerja akademik yang sudah mapan dan secara

Melalui proyek pendidikan kelas pekerja dan politik kelas implisit merevolusikan pendidikan universitas. Tentu saja, pekerja sosialis, Williams dan Hoggart berupaya

perlintasan batas dan kritik terhadap kalangan yang menjadikan cultural studies sebagai instrumen perubahan

berorientasi disipliner dan yang percaya pada otonomi sosial yang progresif [2]. Perubahan ke arah kesadaran diri

kebudayaan menimbulkan friksi dan permusuhan. yang

bersifat partisipatoris

dan

emansipatoris.

Partisipatoris maksudnya adalah cultural studies Melawan formalisme dan separatisme akademik itu, berupaya untuk memerhatikan, mengupayakan, dan

cultural studies menegaskan bahwa kebudayaan haruslah mengartikulasikan suara-suara dari kelompok lain (the

dikaji di dalam relasi-relasi dan sistem sosial di mana others) yang selama ini dipinggirkan, dibungkam, yang

kebudayaan diproduksi dan dikonsumsi. Dari perspektif memiliki kepentingan yang berbeda.

ini, analisis cultural studies sangat berhimpitan dengan politik dan ekonomi. Dengan menggunakan model

Sementara emansipatoris di sini maksudnya adalah hegemoni dan counter-hegemony dari Gramsci, cultural cultural studies tidak hanya membongkar dan

studies menganalis kekuatan-kekuatan dominasi sosial menunjukkan dimensi-dimensi tersembunyi dalam teks

dan kebudayaan “hegemonic” dan untuk melihat kekuatan atau wacana dominan, tetapi juga ditujukan untuk

counter-hegemonic.

membuat masyarakat terbangun dan sadar diri (waking up) terhadap proses hegemoni yang dibangun oleh

Proyek cultural studies bertujuan untuk transformasi kelompok dominan melalui wacana.

sosial dan mencoba mengidentifikasi potensi kekuatan- kekuatan dominasi dan resistensi untuk menolong proses

Pada tahap dua, perkembangan cultural studies di Inggris, perjuangan politik pembebasan dari penindasan dan dimulai dari pembentukan Center for Contemporary

dominasi.

Cultural studies di Universitas Birmingham pada 1963/1964 oleh Hoggart dan Stuart Hall [3][4][5] untuk

Oleh karena gagasan perubahan radikal secara faktual mengembangkan beragam pendekatan kritis untuk

lebih kompleks daripada yang digambarkan dalam analisis interpretasi dan kritik atas artefak kebudayaan.

Marxisme ortodoks, IFS berusaha mengembangkan Marxisme ortodoks, IFS berusaha mengembangkan

jalan itu, “Teori Tradisional” tidak bertujuan mengubah radikal dan membuka ruang secara lebih luas bagi

keadaan, malah melestarikan status quo masyarakat. pemikiran filsafat lainnya (termasuk Hegel, Kant, Schopenhauer,

Mencermati perkembangan arus pemikiran teoretis para kontemporer, seperti Weber, Luckas, dan Freud).

intelektual terhadap kehidupan sosial dan akademik dari sejak awal zaman pencerahan dan kapitalisme awal

Tujuan proyek IFS ini adalah melakukan reinterpretasi sampai ke era modernisme dan posmodernisme [8] radikal atas hubungan antara filsafat dengan praxis ilmu

dikaitkan dengan kritik para eksponen teori kritis akhir sosial, hubungan ilmu sosial dengan ilmu alam, dan

terhadap fenomena tersebut, dapat manusia dengan alam, yang diharapkan dapat bergabung

abad ke-20

diidentifikasi kritik-kritik sebagai berikut: menjadi program riset yang melandasi kemungkinan transformasi masyarakat secara radikal.

terhadap Marxisme. Mereka mengkritik determinisme ekonomi yang merupakan Menurut Horkheimer [6] tugas dari “Teori Kritis” adalah

Pertama,

kritik

pemikiran asli Marx, juga mereka mengkritik neo- sebagian besar untuk mengungkap dan mendorong

Marxis karena telah menafsirkan pemikiran Marx potensi-potensi laten dalam masyarakat yang dapat

terlalu mekanistis. Selain menyerang teori Marxian mengarah pada perubahan kesadaran dan transformasi

lain, aliran kritis mengkritik masyarakat seperti bekas masyarakat

Uni Soviet yang pura-pura dibangun berdasarkan teori emansipatoris

kri tik terhadap “Teori

dari Marxian.

Tradisional”, suatu bentuk teori yang diasosiasikan khususnya dengan positivism ilmiah dan bentuk-bentuk

Kedua, kritik terhadap positivism. Mereka mengkritik ilmu sosial yang mencoba meniru objektifitas ilmu alam.

gagasan bahwa metode ilmiah tunggal dapat diterapkan pada seluruh bidang studi. Positivism

Pretensi objektifitas semacam itu adalah selalu didasarkan mengambil ilmu fisika sebagai standar kepastian dan pada asumsi ilusi atau lepasnya Teoretisi dari jagat sosial.

ketepatan untuk semua disiplin ilmu dan yakin bahwa Sehingga upaya kaum positivistik untuk menggambarkan

pengetahuan bersifat netral. Keyakinan ini kemudian realistas sosial budaya sebagai datum empiris, kenyataan

menimbulkan pandangan bahwa ilmu tidak berada murni atau fisika sosial, jelas merupakan suatu mitos atau

dalam posisi mendukung bentuk tindakan sosial cita-cita tanpa harapan. Atau suatu kesadaran palsu

khusus apa pun. Positivism juga dianggap berwatak sebagaimana konsepsi Marxisisme tentang agama dan

konservatif, tidak mampu menantang sistem yang ada, kapitalisme dalam modernitas.

akibatnya mengabsolutkan fakta dan reifikasi tatanan yang ada.

Menurut Horkheimer [7] jika pengandaian “Teori Tradisional” semacam itu diterapkan dalam kenyataan

Ketiga, kritik terhadap sosiologi. Sosiologi diserang sosial kemasyarakatan, politik, dan budaya, teori menjadi

karena “keilmiahannya”, yakni karena menjadikan sangat ideologis dan menjadi penjaga status quo

metode ilmiah sebagai tujuan di dalam dirinya sendiri. masyarakat yang pada dasarnya menindas. Horkheimer

Selain itu sosiologi dituduh menerima status quo, berpendapat bahwa sifat ideologis “Teori Tradisional” itu

karena mereka dianggap tidak serius mengkritik tampak dalam tiga gejala.

masyarakat, tak berupaya merombak struktur sosial masa kini, dan telah melepaskan kewajibannya untuk

Pertama, “Teori Tradisional” itu ahistoris, mengklaim membantu rakyat yang tertindas oleh masyarakat masa dirinya universal, berlaku di mana saja secara

kini.

transendental dan suprasosial sehingga dengan demikian melupakan proses kehidupan konkret di dalam

Keempat, kritik terhadap masyarakat modern. Jika masyarakat real.

kebanyakan teori Marxian secara tegas mengkritisi sistem ekonomi masyarakat modern, aliran kritis

Kedua, beranggapan bahwa teori itu bersifat netral dan menggeser kritiknya ke tingkat kultural karena kultur apolitis sehingga berdiam diri terhadap kondisi

dianggap sebagai realitas masyarakat kapitalis masyarakat yang menjadi objeknya dan membenarkan

modern.

keadaan tanpa mempertanyakannya. Dengan demikian, “Teori Tradisional” berlaku sebagai ideologi yang

Dalam masyarakat modern, dominasi ekonomi telah melestarikan kenyataan itu.

bergeser ke bidang kultural, di mana dalam kapitalisme global telah terjadi penindasan kultural

Ketiga, dengan memisahkan diri dari praxis , “Teori

masyarakat. Penindasan Tradisional” mengajar teori demi teori dan karenanya

atas

individu dalam

dihasilkan dari rasionalitas yang menggantikan dihasilkan dari rasionalitas yang menggantikan

-- produksi, sirkulasi, distribusi-konsumsi, dan bukan untuk memerdekakan individu dari dominasi,

reproduksi ”.

melainkan justru

mendominasi. Lebih lanjut Stuart Hall, dalam buku “Cultural studies and

Its Theoritical Lagasies [3], menegaskan bahwa harus ada Kelima, kritik terhadap kultur. Mereka mengkritik apa

sesuatu yang dipertaruhkan dalam cultural studies untuk yang disebut industri budaya (cultural industry), yakni

membedakannya dengan wilayah subjek lain. Stuart Hall menegaskan yang dipertaruhkan adalah kaitan-kaitan

struktur yang dirasionalkan dan dibirokrasikan (misalnya, jaringan televisi) yang mengendalikan

cultural studies dengan persoalan-persoalan kekuasaan kultur modern. Industri kultur menghasilkan apa yang

dan politik dengan kebutuhan akan perubahan dan disebut “kultur massa” yang diidentifikasikan sebagai representasi yang menyangkut kelas, gender, dan ras

kultur yang diatur, tidak spontan, dimaterialkan dan (bahkan juga usia, penyandang cacat, nasionalitas, dan palsu, yang acap kali menyembunyikan ideologi yang

sebagainya).

diciptakan oleh elite untuk kepentingan dominasi.

Chriss Barker, dalam buku “Cultural studies: Theory and Practice” [10], menggambarkan tentang definisi dan

b. Pengertian dan Fokus Cultural Studies.

perhatian (concern) utama cultural studies, yaitu: Sangat sulit untuk menentukan ataupun membatasi

cultural studies sebagai suatu disiplin yang koheren,

tunggal, dan akademis dengan topik-topik, konsep-

1) hubungan (relasi) antara kebudayaan dan kekuasaan konsep, dan metode-metode substantive clear-cut yang

dan belakangan dengan ekonomi dan politik;

mampu membedakaannya dengan disiplin-disiplin lain. Secara definitif cultural studies adalah studi kebudayaan

2) seluruh praktik, institusi dan sistem klasifikasi yang atas

tertanam dalam nilai-nilai partikular, kepercayaan, mengeksplorasi pembentukan makna pada beragam

praktik signifikasi

representasi,

dengan

kompetensi, kebiasaan hidup, dan bentuk-bentuk konteks.

perilaku yang biasa dari suatu populasi;

3) pelbagai kaitan antara bentuk-bentuk kekuasaan interdisciplinary field of research and teaching that

Dijelaskan bahwa cultural studies … is an innovative

gender, ras, kelas, kolonialisme, dan sebagainya investigates the ways in which “culture” creates and dengan pengembangan cara-cara berpikir tentang kebudayaan dan kekuasaan yang bisa digunakan oleh

transforms individual.

mendefinisikan cultural

agen-agen dalam mengejar perubahan; kebudayaan dan praktik budaya serta kaitannya dengan

studies mengkaji berbagai

kekuasaan [9].

4) berbagai wacana di luar akademis dengan gerakan- gerakan sosial dan politik para pekerja lembaga-

Cultural studies akan selalu merupakan suatu bidang lembaga kebudayaan dan manajemen kebudayaan. penelitian dan atau pendekatan interdisipliner bahkan

transdisipliner yang mengaburkan batas-batas antara Apa yang digambarkan di atas khususnya tentang teori, dirinya sendiri dengan subjek-subjek lain. Namun,

metode, wilayah perhatian utama kajian budaya, searah dengan definisi tentang cultural studies yang dirumuskan

cultural studies juga tidak bisa disebut sebagai segala sesuatu yang serba memadai.

oleh Bennett, Tony, Lawrence Grossberg, Meaghan Morris, and Raymond Williams [11] menjelaskan:

Ia bukan fisika, ia juga bukan sosiologi, bukan

antropologi, dan bukan linguistik, meskipun ia selalu dan ”Culture studies is an innovative interdisciplinary

field of research and teaching that investigates the sangat bersinggungan dengan wilayah-wilayah dan ranah

ways in which “culture” creates and transforms tersebut. Begitulah penelitian cultural studies yang

individual experiences, everyday life, social menempatkan “persinggungan” itu sebagai semangat

relations and power. Research and teaching in the (spirit) sebagaimana diilustrasikan oleh Stuart Hall [3]

field explores the relations between culture dalam penelitiannya mengenai komunikasi:

understood as human expressive and symbolic activities, and cultures understood as distinctive

ways of life ”.

“Secara tradisional penelitian komunikasi massa

telah mengonsepsualisasikan proses komunikasi berdasarkan sirkuit sirkulasi atau tali yang diikat

“Combining the strengths of the social sciences berbentuk O. Namun, juga adalah mungkin (dan

and the humanities, cultural studies draw on methods and theories from literary studies,

bermanfaat) untuk memikirkan proses ini berdasarkan struktur yang dihasilkan dan

sociology, communications studies, history, cultural anthropology, and economics.

didukung melalui pengungkapan momen-momen

“By working across the boundaries among these begin to grapple with them as changing fields, cultural studies addressed new questions

communities. Cultural studies is devoted to and problems of today as world. Rather than

understanding the processes through which seeking answers that will hold for all time,

societies and the diverse groups within them come cultural studies develops flexible tools that adapt

to terms with history, community life, and the to this rapidly changing world”.

challenges of the future ”.

”Kajian budaya adalah bidang penelitian dan Dengan demikian, mengacu pada definisi dan perhatian pengajaran interdisipliner yang inovatif reflektif

utama cultural studies tersebut, dapat dipahami bahwa yang menyelidiki cara-cara di mana "budaya"

cultural studies adalah sebentuk teori dan praxis yang menciptakan

dimunculkan oleh para pemikir kritis yang memandang individu, kehidupan sehari-hari, hubungan sosial

dan kekuasaan ”. produksi pengetahuan teoretis sebagai satu praktik politik.

“Penelitian dan pengajaran di lapangan Di sini pengetahuan tidak pernah menjadi fenomena yang mengeksplorasi hubungan antara budaya yang

netral atau objektif, tetapi lebih merupakan suatu dipahami sebagai aktivitas ekspresif dan simbolis

persoalan posisionalitas kekinian-kenantian (newness- manusia, dan budaya yang dipahami sebagai cara

lateness) dan kedisinian-kedisanaan (hereness-thereness). hidup yang khas. Menggabungkan kekuatan sains

dan humaniora, studi budaya mengacu pada metode dan teori dari studi antropologi budaya,

Jadi, cultural studies adalah suatu gerakan keilmuan dan sosiologi, studi komunikasi, sastra, sejarah, dan

praktik kebudayaan, yang bersifat subversive yang ekonomi ”.

mencoba secara cerdas dan kritis menangkap semangat teori- teori budaya yang bias “kepentingan elite budaya

“Dengan bekerja melintasi batas-batas di antara dan kekuasaan” sembari memantapkan perhatiannya pada bidang-bidang ini, studi budaya membahas

budaya-budaya marginal yang selama ini tidak terjamah pertanyaan dan masalah ‘dunia baru’ yang berlangsung saat ini. Alih-alih mencari jawaban

dan atau tidak pernah dianggap ada oleh ilmu-ilmu sosial yang akan bertahan selama ini, studi budaya

dan humaniora konvensional/tradisional mapan [2]. mengembangkan alat fleksibel yang beradaptasi

dengan situasi dunia yang berubah sangat cepat ”. Karena sifatnya yang kritis, tidak mengherankan kemudian cultural studies menerapkan metode yang

Dalam konteks perubahan itu, telah dipahami luas bahwa bersifat interdisipliner dan eklektik dengan memanfaatkan pada era globalisasi dinamika dan perubahan dunia

metode dari disiplin ilmu-ilmu yang sudah mapan seperti: kehidupan terjadi sangat cepat dan kompleks, yang

antropologi, sosiologi, politik, dan sejarah yang umumnya mengarah pada persaingan, individualisasi, deferensiasi,

disipliner.

destrukturisasi, desentralisasi, dan berbagai bentuk

perubahan lainnya. Selain itu, seperti halnya teori kritis, cultural studies juga tidak terobsesi untuk penciptaan teori-teori yang adequat,

Menurut Giddens [1] globalisasi bukan sekadar fenomena tetapi mencoba menciptakan sifat interdisiplinaritas dan ekonomi dan tidak bisa disamakan dengan munculnya

refleksitivitas keilmuan dengan memanfaatkan dukungan “sistem dunia”. Sesungguhnya globalisasi berkaitan

dari pelbagai disiplin dan pendekatan mutakhir dengan dengan transformasi ruang dan waktu, dalam konteks

tujuan, di samping untuk menajamkan gerakan sosial global dan lokal. Demikian juga kehidupan sosio-budaya

dominasi kekuasaan yang tidak hanya berkaitan dengan komunikasi simbolis, tetapi

untuk

menghapuskan

menindas, juga berusaha menghacurkan eksklusitivitas juga wilayah di mana manusia menetapkan tugas kolektif

sekat-sekat pemisah antardisiplin.

untuk diri kita sendiri dan mulai bergulat dengan mereka

sebagai komunitas global yang berubah.

c. Teori dan Metodologi di Cultural Studies.

Meskipun istilah metodologi, metode, dan teknik sudah Dalam pergulatan itu, terjadi proses dialektika, globalisasi

banyak dan sering dibicarakan dalam forum ilmiah, di satu sisi dan glokalisasi di sisi yang lain. Dengan

namun pemahaman dan praktik sebagian peneliti terhadap demikian cultural studies dikhususkan untuk memahami

pengertian metodologi, metode, dan teknik dalam proses di mana masyarakat dan kelompok yang beragam,

penelitian ilmiah sering bersifat kabur, tumpang tindih, di dalamnya menghadapi sejarah, kehidupan masyarakat,

dan bahkan rancu.

dan tantangan masa depan, seperti ditegaskan dalam

ilustrasi berikut. Sehubungan dengan pembahasan ini, dipandang perlu untuk menegaskan kembali batasan definisi dan konsep

“--cultural life is not only concerned with yang berkaitaan dengan penelitian ilmiah sebelum symbolic communication, it is also the domain in

menukik pada pembahasan mengenai teori dan which we set collective tasks for ourselves and

metodologi cultural studies.

Adapun batasan konseptual yang dimaksud yaitu: teori, Di pihak lain, dalam konteks perkembangan metodologi metodologi, metode, dan teknik. Melacak perkembangan

dan paradigma ilmu pengetahuan, terdapat dua arus besar hubungan teori dan praktik, pada masa Yunani kuno, teori

pemikiran atau pandangan dunia (world view), yaitu: dan praktik (ilmu pengetahuan dan kepentingan) tidak terpisahkan. Kata teori berasal dari Bahasa Yunani, yakni

adalah satu-satunya theoros, yang pada masa Yunani kuno digunakan dalam

kenyataan/realitas, atau realitas itu bersifat tunggal konteks religius. Theoros, adalah seorang utusan

(positivism), dan atas dasar itu, ilmu pengetahuan itu masyarakat kota (polis) di Yunani dalam upacara

(tidak terikat dengan keagamaan.

Tugas theoros adalah mengamati dengan cermat dan (2) di balik apa yang tertangkap oleh panca indra ada memandang peristiwa-peristiwa sakral yang dihadirkan

sesuatu yang lain yang dapat diserap oleh kognisi dan kembali melalui upacara itu. Lewat upacara keagamaan

perasaan manusia, dan bahwa ilmu pengetahuan itu diharapkan manusia mengalami katarsis dan

dinilai tidaklah netral (tidak bebas nilai) sebagaimana pembebasan (emansipatoris) dari berbagai nafsu rendah

yang digadang-gadang oleh positivism. [12]. Dengan bahasa lain bahwa realitas itu tidak tunggal Beranjak dari penelusuran atas kata teori yang berasal dari

dan ilmu pengetahuan itu tidak pernah bebas dari Bahasa Yunani, yakni theoros itu, dalam pandangan para

kepentingan. Bedanya apabila dalam paradigma pemikir Teori Kritis, pengetahuan tak sekadar bersifat

positivism ilmu pengetahuan yang dihasilkan adalah teoretis melainkan juga bersifat praxis atau sesuatu yang

untuk kepentingan teknis (control), maka dalam memberikan impak dan dampak secara langsung pada

paradigma yang lain (baca kritis) ilmu pengetahuan praktik kehidupan.

untuk kepentingan emansipatoris (mencerahkan dan membebaskan). Dalam perkembangan ilmu pengetahuan pada masa pencerahan (modern), istilah atau kata teori didefinisikan

Bergayut pada arus pemikiran metodologi itu, kritik sebagi

terhadap positivism dan modernisme ditujukan kepada dihubungkan dalam kerangka logis.

hal-hal yang berkaitan dengan persoalan ketunggulan makna, bebas nilai, dan objektifitas ilmu pengetahuan

Teori merupakan rangkuman pengamatan fakta-fakta

(science).

yang rumit ke dalam dalil-dalil abstrak yang secara logis berkaitan

Kritisme inilah yang kemudian menginspirasi kemunculan balik”. Menurut Merriem Webster [13] theory “an idea

gerakan intelektual baru yang ditandai dengan lahirnya or set of ideas that is intended to explain facts” or “the

teori- teori kritis, feminisme dan aneka pemikiran “post” general or abstract principles of a body of fact, a science,

lainnya terutama di Eropa dan Amerika, seperti or an art music theory ”.

posmarxisme, posstrukturalisme, poskolonial, dan posmodernisme . Secara umum, “post” merupakan suatu Dalam kancah pengetahuan ilmiah (science), bangunan

paradigma keilmuan sebagai kelanjutan, antitesis, suatu teori niscaya bertumpu pada pandangan dunia

sekaligus perlawanan terhadap karakter ilmu atau (world view) dan teori itu sangat diperlukan dalam

paradigma induknya.

penelitian ilmiah. Mengapa penelitian ilmiah itu memerlukan teori.

Paradigma ini menjadi terminologi untuk mewakili suatu pergeseran wacana dalam berbagai disiplin ilmu, seperti

Mengacu pada literatur-literatur metodologi penelitian seni, arsitektur, sosiologi, antropologi, sastra, filsafat, dan filsafat ilmu, dapat diidentifikasi minimal empat

budaya, dan sebagainya.

kegunaan teori dalam penelitian ilmiah, yaitu: Dalam hal ini, cultural studies menjadi proyek sekaligus

1) menyediakan pola-pola bagi interpretasi data; proyeksi atas beroperasinya paradigma tersebut. Artinya,

2) mengaitkan satu studi dengan lainnya; berbicara tentang cultural studies tidak akan lepas dari

3) memberikan kerangka dalam mana konsep-konsep pembicaraan tentang posmodernisme, posstrukturalisme, dan peubah-peubah memperoleh keberartian khusus;

posmarxisme,

poskolonialisme, feminisme,

4) teori juga memungkinkan peneliti menafsirkan multikulturalisme dan berbagai pendekatan kritis lainnya. makna yang lebih luas atau lebih dalam dari temuan- temuan peneliti bersangkutan maupun bagi peneliti

Cultural studies sebagai suatu pendekatan “disiplin ilmu” lain.

sering disebut sebagai wilayah interdisipliner, lintas disiplin bahkan anti-disiplin. Di sini, disiplin hendaknya sering disebut sebagai wilayah interdisipliner, lintas disiplin bahkan anti-disiplin. Di sini, disiplin hendaknya

secara disipliner, interdisipliner atau multidisipliner.

Lantas di mana posisi cultural studies terhadap pandangan Paradigma metodologis yang menjadi tumpuan cultural dunia (world view) tersebut. Posisi kajian budaya, baik

studies bersifat kritis dalam arti merumuskan kembali batas- dalam konteks perkembangan disiplin keilmuan maupun

batas disipliner, interdisipliner, dan multidisipliner dengan sebagai pendekatan dalam studi kebudayaan jelas

semangat transdisipliner untuk membongkar pembagian bertumpu pada teori yang kedua, yang bersifat kritis dan

akademik yang sudah mapan dan secara implisit emansipatoris,

merevolusionerkan pendidikan universitas [2]. pengetahuan, dan kekuasaan yang menindas. Dengan demikian bagi seorang peneliti (tak terkecuali peneliti Konsekuensi logis dari pengambilan posisi (positioning)

kajian budaya) pemahaman atas metodologi menjadi hal seperti itu, kemudian memunculkan varian pemikiran-

penting. Paling tidak akan menjadi titik tolak langkah kerja pemikiran kritis terhadap perkembangan disiplin ilmu,

penelitian sehingga lebih tepat dalam memilih dan perkembangan masyarakat dan kebudayaan di pusat-pusat

menetapkan metode. Pemahaman atas metodologi akan lembaga ilmiah baik di Eropa maupun di Amerika Serikat,

memberikan kejelasan apa dan bagaimana metode penelitian yang kemudian merambah ke Australia, wilayah Asia dan

harus dioperasikan.

Afrika. Di sisi lain, azas metode penelitian mengemukakan secara Di Eropa, yang termasuk eksponen teori kritis selain para

teknis tentang strategi yang digunakan dalam penelitian. Atau pendiri mahzab Franfurt dan cultural studies di Inggris,

lebih banyak berbicara mengenai langkah-langkah penelitian juga di antaranya adalah Habermas, para inteletual

secara operasional. Perangkat penelitian yang harus Marxian dan neo-Marxian seperti Antonio Gramsci,

dipersiapkan menjadi tugas metode penelitian. Dengan Michel Foucault, dan kaum post-structuralist seperti

demikian, pengertian metode tidak sama dengan teknik. Derrida, Roland Bartes, Pierre Bourdieu dan Antony Giddens, dan post-modernism seperti Jameson, Walter

Metode ilmiah menyangkut berbagai prosedur yang Benyamin, Baudrillard, Rotry, dan lain-lainnya. Di

mewujudkan pola-pola dan tata langkah dalam pelaksanaan Amerika Serikat, satu di antaranya yang cukup terkenal

sesuatu penelitian ilmiah. Pola dan tata langkah prosedural itu dalam aliran kritis adalah Douglas Kellner.

dilaksanakan dengan cara-cara operasional dan teknis yang lebih rinci. Cara tersebut yang mewujudkan teknik. Jadi

Secara definitif, metodologi adalah ilmu tentang sejumlah teknik adalah sesuatu cara operasional teknis yang seringkali metode penelitian atau ilmu tentang metode penelitian,

bercorak rutin, mekanis, atau spesialistis untuk memperoleh yang meletakkan panduan dasar-dasar kajian. Metodologi

dan menangani data dalam penelitian [14]. adalah cara dalam penelitian untuk memperoleh ”pengetahuan” dan ”pemahaman” dari objek yang diteliti,

Misalnya, penelitian terhadap gejala kemasyarakatan dapat serta bagaimana pengetahuan dan pemahaman itu

mempergunakan metode survey. Berbagai teknik yang memenuhi tujuan penelitian yang dilakukan.

dilaksanakan pada metode survey itu antara lain adalah: field work (teknik lapangan), observasi, kuesioner, dan wawancara

Metodologi jauh lebih luas dibanding metode karena di

mendalam (indepth-interview).

dalamnya akan membahas panduan bagaimana metode tertentu harus diterapkan, bagaimana memilih dan

Sementara itu, cultural studies dalam memahami fenomena menyatakan kekurangan serta kelebihan masing-masing

sosial budaya yang dikaji mempergunakan paradigma atau metode. Jadi metodologi penelitian membahas konsep

pendekatan kualitatif sebagai pendekatan utama dengan teoretis dan ihkwal berbagai metode, kelebihan dan

bersandar pada metode-metode: etnografi kritis, semiotik, kelemahannya, landasan pikir dari sejumlah ilmu-ilmu

dekonstruksi, dan metode genealogi atau arkeologi pembedah lainnya.

pengetahuan.

Praksis metodologi dalam penelitian ilmiah dapat dilihat dari Metode yang dimaksudkan di sini adalah metode tiga tataran, yakni (1) paradigma yang digunakan;(2) metode

pengumpulan dan sekaligus analisis data. Selain metode- yang dipilih; (3) teknik yang digunakan. Ketiga dimensi itu

metode tersebut cultural studies juga kerap menggunakan harus dipahami guna mencapai tujuan penelitian yang

metode studi kasus, fenomenologi, dan atau interaksi dirumuskan.

simbolik secara eklektik.

Paradigma metodologis mencakupi apakah penelitian yang Metode-metode ini sejatinya sudah sangat lazim digunakan hendak dilaksanakan menggunakan pendekatan kuantitatif,

dalam disiplin antropologi kontemporer dan atau sosiologi kotemporer belakangan ini. Teknik pengumpulan data utama dalam disiplin antropologi kontemporer dan atau sosiologi kotemporer belakangan ini. Teknik pengumpulan data utama

every field of human behaviour and enterprise”. dan analisis arsip secara terpadu.

“Semiotik biasanya didefinisikan sebagai teori Pengertian ”etnografi kritis” (critical ethnography) yang filsafat umum yang berkenaan dengan produksi

tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari lazim digunakan antropologi kontemporer dan cultural

digunakan untuk studies belakangan ini adalah sebagaimana dijelaskan oleh

mengomunikasikan informasi.

Jim Thomas (1993): ”is tipe of reflections that examme culture knowladge and action”. It expands our horizons for

Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta choice and widens our experimental capacity to see, hear and

tactile dan olfactory (semua tanda atau sinyal yang fill.

bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang

dimiliki)

ketika

tanda-tanda tersebut

membentuk sistem kode yang secara sistematis Lebih lanjut dijelaskan bahwa pratek etnografi kritis (critical

menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di ethnography practices) is seeking something more, after

setiap kegiatan dan perilaku manusia”. learned the ”meaning of the meaning” to broader structure of social power and control [15].

Jadi semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Menurut Roland Barthes [16] istilah semiotik

Dengan demikian secara epistimologi aplikasi etnografi kritis disebut dengan semiology. Semeology is the study of dalam cultural studies tidak cukup dan berhenti hanya pada

signs; especially: SEMIOTICS , yang pada dasarnya hendak tataran deskripsi permukaan (surface structure) atas fakta-

mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai fakta yang dikaji sebagaimana yang masih dominan dilakukan

hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak oleh mahasiswa doktoral kajian budaya di Indonesia, tetapi

dapat dicampur-adukkan dengan istilah mengomunikasikan harus mengkajinya lebih mendalam terhadap relasi wilayah

(to communicate).

struktur dan agen dominan yang menjadi simpul kekuasaan, serta praktik wacana yang digunakan agensi untuk

Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa menyalurkan hegemoninya.

informasi; dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga membentuk konstitusi sistem

Praktik semacam ini dilakukan sejalan dengan asumsi dasar terstruktur dari tanda. Roland Barthes [16] dalam teorinya yang dibangun cultural studies yang bercuriga bahwa “semua

membagi semiotika menjadi dua tingkatan pertandaan, yaitu fenomena sosial budaya dan pengetahuan sebagai bentuk

tingkat denotasi dan konotasi.

ideologisasi yang tidak pernah bebas dari kekuasaan sebagaimana dijelaskan oleh (Foucault), tidak pernah bebas

Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan dari hasrat, model pemikiran atau konsep dari (Lyotard), tidak

hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan bisa lepas dari kepentingan agensi (Habermas), dan bersifat

makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat ideologis yang disalurkan atau dikonstruksi melalui

pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda wacana/permainan bahasa (language games), yang dijelaskan

yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak oleh Thomson.

langsung, dan tidak pasti.

Metode kedua yang kerap digunakan cultural studies adalah Dalam sejarah pemikiran linguistik strukturalis, Roland semiotika.

Barthes adalah penerus pemikiran Ferdinan de Saussure yang Yunani “semeion” yang berarti ‘tanda’ atau sign, dalam

Istilah semiotika

lebih tertarik pada hubungan signifier-signified atau cara bahasa Inggris semiotics adalah ‘ilmu yang mempelajari

kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk sistem tanda, seperti bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya.

kalimat menentukan makna.

Tanda-tanda adalah basis dari seluruh komunikasi (Littlejhon:1996). Secara umum, semiotik didefinisikan

Sebaliknya kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat sebagai berikut:

yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Roland Barthes justru lebih

“Semiotics is usually defined as a general menekankan pada interaksi antara teks dengan pengalaman philosophical theory dealing with the production of

personal dan kultur penggunanya, interaksi antara konvensi signs and symbols as part of code systems which are

dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan used to communicate information.

oleh penggunanya.

Semiotics includes visual and verbal as well as tactile

and olfactory signs (all signs or signals which are Gagasannya ini dikenal dengan “order of signification”, accessible to and can be perceived by all our senses)

mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan as they form code systems which systematically

konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal).

Roland Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu utama pendekatan ini memproklamirkan awal era baru post- “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut

structuralism. Derrida menurunkan peran bahasa yang Barthes berada pada tingkat kedua penandaan. Jadi setelah

awalnya mengendalikan individu menjadi hanya sekedar terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan

tulisan, demikian pula dengan lembaga sosial. Menurut istilah menjadi penanda baru, yang kemudian memiliki petanda

massa kini Derrida telah melakukan dekonstruksi. kedua dan membentuk tanda baru. Ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi

Derrida menawarkan perspektif subversif dan dekonstruktif makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi

post-modernism dengan mitos.

membongkar/menghancurkan logosentrisme yang telah mendominasi pemikiran Barat yang telah lama menutup

Setiap mitos sesungguhnya bersifat ideologis. Dengan filsafat dan ilmu pengetahuan manusia. demikian, metode semiotika dalam cultural studies adalah suatu cara untuk mengurai, membongkar, menunda makna-

Derrida memunculkan istilah Theatre of Cruelty yang makna yang tersembunyi di balik sistem-sistem tanda dalam

membandingkan kehidupan sosial manusia yang terwakilkan komunikasi dan perilaku manusia dengan menggunakan

dalam teater tradisional dengan logika representasional. model pembacaan yang berbeda bahkan bertentangan dengan

Semua yang terjadi di atas panggung bersifat teologis yang sebelumnya.

sudah dikendalikan dan diperbudak penulisnya. Derrida menginginkan masyarakat hidup bebas menjadi “penulis”

Model pembacaan ini disebut dekonstruksi atau oleh

yang merdeka dalam kehidupannya.

Critchley [12] disebut juga sebagai double reading, maksudnya memiliki setidaknya dua lapis tujuan.

Sasaran lain Teoretisi post-structuralist yaitu decentering yang berarti menjauh dari pusat tradisional, pusat penulis

Pertama memunculkan makna yang dianggap “dominan” dan teater (penguasa). Teater atau dunia tanpa pusat akan menjadi sudah mapan, sambil memberikan komentar-komentar atas

terbuka dan berubah tanpa batas. Derrida menyimpulkan makna teks itu.

bahwa masa depan “tak perlu ditunggu atau tak perlu ditem ukan kembali”.

Kedua menunjukkan kelemahan dan kontradiksi dalam tafsiran dominan itu, dengan itu maka akan menghasilkan teks

Dalam buku Of Grammatology, Derrida [17] menjelaskan yang lain/baru. Karena sebaris teks dianggap tidak lagi terikat

bahwa konsepsi tidak pernah membangun arti tanda-tanda pada penulis/pengarang, “pengarang dianggap sudah mati”,

secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah maka terbuka pula kesempatan bagi siapa pun untuk

mengandung artikulasi lain. Metode dekonstruksi adalah menafsirkan teks secara terus menerus, bebas tanpa batas.

usaha membalik secara terus-menerus hirarki oposisi biner; yang semula pusat, fondasi, prinsip, dipelesetkan sehingga

Dengan demikian teks menjadi produktif karena kematian berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip, penulis/pengarang membuka berbagai interpretasi. Dengan

dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. kematian sang otoritas dan atau pengarang, maka tidak mungkin lagi dicapai suatu makna yang univok atau

Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan kebenaran yang objektif dan pasti.

permanen sehingga proses pembongkaran makna dan ideologi yang membentuk dan Metode ketiga adalah dekonstruksi, yang merupakan bagian

ketidakstabilan

yang

dibentuk oleh makna bisa dilanjutkan tanpa batas. dari semiotika. Teori dan metode dekonstruksi dikembangkan oleh Jacques Derrida. Metode dekonstruksi, menurut Derrida

Dekonstruksi membuka luas pemaknaan suatu (2006), adalah sebagai alternatif untuk menolak segala

tanda, sehingga makna-makna dan ideologi baru keterbatasan penafsiran

mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya yang baku. Konsep dekonstruksi –yang dimulai dengan

ataupun

bentuk kesimpulan

menyingkirkan konsep demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional

(“menghancurkan” atau mendestruksi) makna yang percaya kepada kemurnian realitas —pada dasarnya

sebelumnya, terus-menerus tanpa henti hingga dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-

menghasilkan puing-puing makna dan ideologi yang tanda (siginifier) melalui penyusunan konsep (signified).

tak terbatas.

Dalam hal ini, Derrida justru lebih melihat tanda sebagai Mencermati pemikiran metode pembacaan teks gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi

(semiotika) dari Roland Barthes yang mencabut yang membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu.

otoritas pengarang sebagai produsen makna (menganggap pengarang sudah mati), kemudian

Lemert (1990) [8] mencatat bahwa tahun 1966 sebagai awal disandingkan dengan dekonstruksinya Derrida, post-structuralism karena di tahun itu Jacques Derrida, tokoh Lemert (1990) [8] mencatat bahwa tahun 1966 sebagai awal disandingkan dengan dekonstruksinya Derrida, post-structuralism karena di tahun itu Jacques Derrida, tokoh

menentukan bagaimana wacana itu diproduksi dan dioperasikan.

Makna-makna dan ideologi yang tersembunyi di balik tanda-tanda itu dapat dibongkar melalui

mengenal dua jenis metode dan teknik dekonstruksi. Jadi dalam hal ini

2. Sejarah

pemikiran

kontradiksi: ada kontradiksi yang tampak dekonstruksi berfungsi dan bermakna ganda, yakni

dipermukaan dan ada yang menyangkut sebagai teori sekaligus metode dan dalam genealogi

fundamen suatu wacana. kontradiksi jenis merupakan kritik terhadap pandangan kaum

pertama akan hilang jika kita menggali pada strukturalis yang memperlakukan teks sebagai satu

kesatuan tersembunyi dalm wacana (teks) bentuk wacana yang tertutup dan mapan

kebudayaan. Kontradiksi jenis kedua berperan penting dalam pengembangan wacana sehingga

Metode atau pendekatan keempat cultural studies kontradiksi itu harus dilukiskan apa adanya adalah genealogi atau kerap disebut Arkeologi

melalui analisis arkeologis pengetahuan. Pengetahuan. Genealogi merupakan metode yang menggunakan diskursus atau analisis wacana yang

juga menyangkut dalam sosiologi berupa kumpulan pernyataan-

3. Analsis

arkeologis

perbandingan antara satu praktik diskursif pernyataan yang membentuk realitas sosial sebagai

dengan praktik non-diskursif (lembaga sosial, fokus. Genealogi mencari tahu dari arsip, bagaimana

ekonomi dan sosial). cara-cara kekuasaan beroperasi di balik kenyataan

peristiwa politik,

bertujuan untuk sosial.

Arkeologi

pengetahuan

memperlihatkan relasi-relasi antara sejumlah diskursif tertentu.

Menurut Michel

menjalankan kekuasaan dengan empat prinsip,

4. Analisis arkeologi juga melukiskan perubahan, antara lain bahwa kekuasaan merupakan relasi,

menjelaskan sebagai kekuasaan bersifat menyebar, kekuasaan bersifat

penemuan baru (yang bersifat teologis, estetis, produktif, dan juga kekuasaan bekerja melalui

evolutif). Analisis normalisasi dan regulasi. Sedangkan kuasa itu

psikologis, dan

atau

arkeologis hanya menganalisis perubahan sendiri berada di antara “diskursif," tersebut.

(diskontinu) sebagai suatu transformasi, seperti digambarkan Foucault [18]:

Metode arkeologi yang dikembangkan Foucault berbeda dengan “episteme” atau sejarah pemikiran

“Archeology analyses the several types yang mengarahkan praktik ilmu pengetahuan pada

of transformation accluded by an zaman tertentu [12]. Dalam buku The Archeology of

undifferentiated conception of change, that is an archeological analysis

Knowledge [18] dengan metode arkeologinya ini, attempts to establish the system of Foucault menolak model pemikiran “evolusionis”, transformations that constitute change. “kontinuitas”, dan “totalisasi”.

Selanjutnya, teori-teori dan konsep penting yang digunakan Ada empat prinsip metode arkeologi oleh Foucault

oleh cultural studies untuk mengekplorasi dan sekaligus yang membedakannya dari episteme (sejarah

memberdayakan budaya kelompok yang dikaji adalah teori pemikiran) sebelumnya, yaitu:

hegemoni (hegemony theory) dan teori konstruksi budaya (cultural construction theory), serta menggunakan ”Teori

1. Sejarah pemikiran (episteme) mendekati suatu Kritis”, yang sering bersinggungan dengan subjek disiplin wacana dengan berpegang pada dua kategori

lain.

yaitu: yang lama dan yang baru, yang tradisional

dan yang orisinal, yang biasa dan yang luar biasa Praksisnya, teori hegemoni digunakan untuk mengekplorasi untuk menemukan pemikiran baru; dan sejauh

bagaimana budaya dominan memengaruhi kelompok lain, mana sudah ada pendahulu bagi suatu

terutama dalam pembangunan identitas atau sesuai dengan penemuan, serta sejauh mana penemuan baru

norma sosial; dan teori konstruksi budaya digunakan untuk sebagai kelanjutan penemuan lama.

mengeksplorasi bagaimana orang membangun budaya dan bagaimana budaya itu membentuk manusia.

Sedangkan metode arkeologi Foucault tidak

berkaitan dengan pencarian sejarah penemuan, Selain dua teori penting tersebut, teori-teori kritis yang kerap melainkan memperlihatkan regularitas suatu

digunakan cultural studies yaitu: teori Marxis terutama Post- praktik

Marxism, Psikoanalisis, Post-structuralism, Postcolonialism, keseluruhan kondisi yang memainkan peran

Analisis Wacana, Semiotika, Ras Kritis, Feminisme,

Multikulturalisme, dan teori postmodernism dengan berbagai kebangkitan fasisme dan otoriterisme) yang tampak percabangannya.

bertentangan dengan ramalan Marxisme ortodoks.

Dengan menelusuri akar perkembangan cultural studies di Dengan kata lain, kemunculan cultural studies tersebut, lingkungan universitas di Jerman dan Inggris dapat dipahami

secara akademik adalah berupaya mengembangkan program Mazhab Fankfurt di Jerman menegaskan bahwa kebudayaan

mengkaji persilangan antara haruslah dikaji di dalam relasi-relasi dan sistem sosial, dengan

transdisipliner

untuk