HaKI DIPANDANG DARI PARADIGMA SOSIOLOGI

HaKI DIPANDANG DARI PARADIGMA
SOSIOLOGI HUKUM

HaKI

Hak kekayaan intelektual atau IPR (Intellectual Property Rights) adalah hak yang
muncul karena kemampuan intelektual manusia. Obyek yang termasuk ke dalam
kekayaan intelektual yaitu berupa hasil pemikiran atau sesuatu yang timbul karena
kemampuan atau aktivitas intelektual manusia. Hak kekayaan intelektual adalah hak
eksklusif yang diberikan pemerintah berdasarkan undang-undang untuk menikmati
secara ekonomis hasil dari kreativitas intelektual tersebut dan mencegah orang lain
untuk memanfaatkannya kecuali atas izin pemilik. Hak eksklusif tersebut meliputi hak
untuk :






Membuat salinan dari hasil karya dan menjual hasil salinan tersebut;
Mengimpor atau mengekspor hasil karya;

Menciptakan karya turunan dari hasil karya ciptaannya;
Menampilkan hasil karya di depan umum;
Menjual atau mengalihkan kepemilikan hak eksklusif tersebut kepada pihak lain.

Secara umum Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) terbagi ke dalam dua bagian yaitu Hak
Cipta (copyrights) dan Hak Kekayaan Industri (industrial property rights). Hak Kekayaan
Industri mencakup paten, desain industri, merek, penanggulangan praktek persaingan
curang, desain tata letak sirkuit terpadu, dan rahasia dagang. Di Indonesia badan yang
berwenang dalam mengurusi HaKI adalah Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual,
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI.
Sistem perlindungan terhadap kekayaan intelektual di Indonesia sebenarnya telah
berkembang sejak zaman kolonial Belanda. Pada awal masa kemerdekaan Indonesia
menggunakan UU Hak Cipta dan UU tentang merek peninggalan dari pemerintahan
Belanda. Selanjutnya pada tahun 1979 Indonesia meratifikasi konvensi Paris tentang
HaKI (Paris Convention for the Protection of Industrial Property and Convention
Establishing the World Intellectual Property Organization) melalui Keppres No. 24 tahun
1979 yang kemudian diubah menjadi Keppres No. 15 tahun 1997. Dengan meratifikasi
konvensi Paris berarti Indonesia masuk ke dalam keanggotaan WIPO (World
© Rachmat Adi P., 5 November 2014


Intellectual Property Organization), suatu organisasi yang dibentuk PBB untuk
mengurusi segala hal yang berkaitan dengan hak kekayaan intelektual. Selain konvensi
Paris, Indonesia juga telah meratifikasi konvensi-konvensi lain di bidang HaKI ini
seperti:
a. Patent Coorperation Treaty (PCT) and Regulation under the PTC, dengan
Keppres NO. 16 Tahun 1997;
b. Trademark Law Treaty (TML) dengan Keppres No. 17 Tahun 1997;
c. Berne Convention for the Protection of Literaty and Artistic Works dengan
Keppres No. 18 tahun 1997;
d. WIPO copyrights treadty (WCT) dengan Keppres No. 19 tahun 1997.
Pada tahun 1994, Indonesia bergabung ke dalam organisasi perdagangan dunia atau
WTO (World Trade Organization) dengan meratifikasi hasil Putaran Uruguay yaitu
Agreement Astablishing the World Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia). Salah satu bagian terpenting darti persetujuan WTO adalah
Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade In
Counter\feit Goods (TRIPs).

Pandangan

Dalam perkembangannya, kesepakatan atau peraturan mengenai HaKI ini ternyata

menuai pro dan kontra. Banyak krtik dan tuduhan yang diberikan kepada HaKI, bahwa
peraturan atau kesepakatan-kesepakatan tentang HaKI banyak ditunggangi oleh
kepentingan-kepentingan pihak tertentu. Secara umum terdapat dua pandangan kritik
tentang HaKI di masyarakat, pertama adalah bahwa konsep HaKI yang ada sudah tidak
sesuai dengan kemajuan zaman. Banyak permasalahan timbul dan penyelesaiannya
sulit ditemukan karena HaKI belum bisa mengakomodasi permasalahan tersebut.
Kedua, konsep HaKI memang dari awal tidak pernah menguntungkan masyarakat
umum tetapi selalu memperkaya pihak-pihak tertentu dengan mengorbankan
kreativitas.
Setidaknya ada beberapa keuntungan dalam penegakan HaKI, yang dapat
berpengaruh terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia.
Seperti adanya perlindungan karya tradisional bangsa Indonesia, mencegah pencurian
karya lokal yang umumnya masuk kategori paten sederhana dan penemuan-penemuan
baru. Adanya masukan pendapatan untuk para penemu/pencipta. Meningkatkan
intensif untuk terus berkarya bagi penemu paten, baik yang dari kalangan pemerintah
maupun yang swasta dan agar orang lain terangsang untuk dapat lebih lanjut
© Rachmat Adi P., 5 November 2014

mengembangkannya lagi. Di samping itu sistem HaKI menunjang diadakannya sistem
dokumentasi yang baik atas segala bentuk kreativitas manusia sehingga memungkinan

dihasilkannya teknologi atau hasil karya lainnya yang sama dapat dihindarkan/dicegah.
Dengan dukungan dokumentasi yang baik tersebut, diharapkan masyarakat dapat
memanfaatkannya
dengan
maksimal
untuk
keperluan
hidupnya
atau
mengembangkannya lebih lanjut untuk memberikan nilai tambah yang lebih tinggi lagi,
serta juga untuk meningkatkan pemahaman hukum HaKI pada aparat hukum dan
masyarakat.
Terlebih, Prof. Achmad Zen Umar Purba mengemukakan pentingnya pembudayaan
HaKI dalam masyarakat. Masyarakat harus menyadari bahwa HKI merupakan aset
yang secara hukum berada dalam kewenangan penuh pemiliknya. Temuan yang sudah
dijamin dengan HKI -dalam bentuk paten atau hak cipta- tidak bisa diklaim lagi oleh
pihak lain. "Masyarakat tradisional masih beranggapan, bahwa semakin banyak orang
meniru karyanya akan semakin baik bagi dirinya. Ini hanya bisa dihilangkan dengan
penumbuhan budaya HKI. Karena akan disayangkan apabila sebuah temuan akhirnya
diklaim pihak lain, termasuk orang asing gara-gara tidak dipatenkan".


Paradigma Sosiologi Hukum

Sangat menarik paradigma HaKI ini apabila diteruskan ke pemikiran pakar sosiolog
dalam melihat hukum yang ada, dimana mereka melahirkan konsep perspektif
Konsesus dan Konflik dalam masyarakat.
Perspektif Konsensus menganggap hukum sebagai kerangka netral untuk menjaga
integrasi sosial. Salah satu sarjana hukum yang paling dikenal dan paling berpengaruh,
Roscoe Pound, memandang masyarakat terdiri dari beragam kelompok yang
kepentingannya sering kali bertentangan dengan elemen lain tetapi tetap terjaga dalam
haluan. Dia menganggap rekonsiliasi antara kepentingan yang saling bertentangan dari
kelompok-kelompok yang beragam dalam masyarakat sangat penting untuk
mengamankan dan menjaga ketertiban sosial.
Berbeda dengan perspektif konsensus, perspektif konflik menganggap sebagai "senjata
dalam konflik sosial" dan sebagai suatu instrumen penindas yang “dipekerjakan oleh
kelas penguasa untuk kepentingan mereka sendiri". Dari perspektif ini, transformasi
masyarakat dari, kelompok sosial yang relatif homogen kecil ke jaringan kelompok
khusus yang dibawa oleh evolusi kedua set yang berbeda kepentingan dan perbedaan
kekuasaan antar kelompok. Ketika beragam kelompok ikut ke dalam suatu konflik,
mereka akan berkompetisi untuk melindungi kepentingan mereka melalui formalisasi

© Rachmat Adi P., 5 November 2014

niat mereka menjadi undang-undang. Atas dasar ide ini, Richard Quinney berpendapat
bahwa hukum adalah ekspresi kepentingan hasil dari konflik yang melekat pada
kepentingan karakteristik.

Kesimpulan

Manarik dari pembahasan-pembahasan sebelumnya, bila dilihat HaKI dalam keadaan
modern ini dari pandangan masyarakat maupun pemikiran para pakar sosiologis, maka
HaKI dapat dikatagorikan sebagai suatu instrument hukum yang timbul atas dasar
kepentingan masyarakan elemen tertentu yang telah melewati proses konflik yang
berkepanjangan. Karenanya HaKI bersifat individual dan monopoli, maka dengan
demikian perspektif konflik adalah tepat dalam penggambaran lahirnya hukum HaKI
secara umum.

© Rachmat Adi P., 5 November 2014