Arsip 2005 Pajak dan Kemandirian Bangsa

PAJAK DAN KEMANDIRIAN BANGSA
Oleh:
Sofian Munawar Asgart

A. Iftitah
Harus diakui bahwa komponen penerimaan negara terpenting saat ini adalah
pajak. Untuk APBN 2004 saja, pajak menyumbang sejumlah Rp 239 triliun atau
sekitar 80 persen dari total penerimaan negara. Karena itu wajar jika saat mengawali
masa pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mewanti-wanti
agar masyarakat dapat menunaikan kewajiban membayar pajak secara benar.
Sementara itu, aparat pajak juga dihimbau agar senantiasa meningkatkan building
capacity untuk meminimalisir kebocoran penerimaan pajak. Menurut SBY, pajak
memiliki peran penting dalam upaya membangun masyarakat yang lebih sejahtera.
Dengan demikian, pemastian penunaian pajak serta pengelolaan pajak secara bijak
harus menjadi komitmen bersama.
Langkah SBY kemudian ditindaklanjuti Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian, Aburizal Bakrie, dengan mengagendakan keseimbangan fiskal
sebagai salah satu fokus dan prioritas kerjanya. Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2004-2009 menyebutkan bahwa kebijakan fiskal diarahkan pada
penyeimbangan antara peningkatan alokasi anggaran dengan upaya untuk
pemantapan kesinambungan fiskal melalui: 1) peningkatan penerimaan negara agar

dapat menaikkan belanja negara, namun tetap memungkinkan penurunan defisit
anggaran secara bertahap; 2) merumuskan pembiayaan defisit anggaran sehingga
tidak menimbulkan crowding out pembiayaan sektor swasta.

1

Sofian Munawar Asgart: Pajak dan Kemandirian Bangsa

Kebijakan fiskal juga ditempuh melalui peningkatan penerimaan negara
terutama melalui reformasi kebijakan dan administrasi perpajakan serta kepabeanan.
Peningkatan efektifitas dan efisiensi pengeluaran negara terutama dilakukan dengan
upaya: 1) pemisahan secara jelas kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah
yang diikuti dengan alokasi dana perimbangan yang lebih proporsional; 2)
mempertajam alokasi anggaran dengan relokasi belanja negara agar lebih terarah dan
tepat sasaran, antara lain dengan menghapuskan untargeted subsidy secara bertahap.
Sejalan dengan itu, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak juga terus
mengupayakan beragam terobosan melalui ekstensifikasi pajak dengan menggali
berbagai potensi tax coverage (lingkup/cakupan pajak) sekaligus melakukan
intensifikasi pajak dengan menekankan tax compliance (kepatuhan pajak) dari
masyarakat sebagai Wajib Pajak.

Namun demikian, kepatuhan pajak yang bersumber dari kesadaran
masyarakat terhadap penunaian kewajiban membayar pajak itu tentu bukan sesuatu
yang berdiri sendiri. Berbagai persoalan perpajakan yang kerap muncul, baik yang
bersumber dari Wajib Pajak (masyarakat), aparatur pajak (fiscus), maupun yang
bersumber dari sistem perpajakan itu sendiri menunjukkan bahwa persoalan pajak
merupakan hal yang kompleks. Oleh karena itu, penanganannya perlu diupayakan
secara sinergis dan komprehensif.
Dengan sendirinya, berbagai upaya untuk menciptakan masyarakat agar
memiliki apresiasi yang baik terhadap kewajiban membayar pajak tidak terpaku pada
Wajib Pajak semata, tapi perlu mempertimbangkan aspek-aspek lainnya secara
korelatif. Dengan pertimbangan yang simultan, solusi alternatif yang signifikan akan
lebih memungkinkan, sehingga pajak sebagai komponen terpenting penerimaan
negara benar-benar dapat diandalkan sebagai modal bagi kemandirian bangsa.

2

Sofian Munawar Asgart: Pajak dan Kemandirian Bangsa

B. Berapa Kendala
Meskipun diyakini pajak merupakan tulang punggung pembangunan,

berbagai kendala perpajakan masih sulit dielakkan. Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak,
Hadi Purnomo, menilai ada dua kelompok besar yang menjadi kendala dalam
melakukan optimalisasi penerimaan pajak yang saat ini dihadapi aparat perpajakan.
Kedua kelompok kendala itu adalah kurang sinkronnya berbagai ketentuan
perpajakan yang ada dengan lanskap ekonomi makro dan kurangnya koordinasi
antarinstansi.
Sehubungan dengan kedua kendala tersebut, Hadi Purnomo menyebutkan
bahwa aparat pajak tidak mendapatkan akses memadai ke lembaga keuangan lain
seperti perbankan sehingga penerimaan pajak tidak dapat dioptimalkan. Padahal,
menurutnya, potensi kehilangan pendapatan pajak sebagai akibat dari tidak
dibukanya akses ke lembaga keuangan tersebut jelas-jelas menimbulkan kerugian
negara dengan jumlah mencapai ratusan triliun. Potensi kehilangan pendapatan pajak
tersebut antara lain berasal dari deposito sebesar Rp 252 triliun, lalu lintas devisa
sebesar Rp 243 triliun, kredit macet Rp 180 triliun, dan dari kartu kredit sebesar Rp
4,2 triliun.
Secara simplikatif, persoalan perpajakan juga dapat dirinci dari tiga aspek
yang satu sama lain memiliki korelasi yang saling berkaitan, yaitu persoalan yang
berhubungan dengan Wajib Pajak, masalah yang berkaitan dengan pemerintah
sebagai aparatur pajak, serta persoalan sistem perpajakan itu sendiri. Ketiga
persoalan ini dapat dideskripsikan sebagai berikut:


1. Masalah yang bersumber dari Wajib Pajak
Hingga kini, kesadaran masyarakat untuk membayar pajak masih tergolong
rendah. Ironisnya, fenomena ini tidak saja dijumpai di kalangan masyarakat "kelas
3

Sofian Munawar Asgart: Pajak dan Kemandirian Bangsa

bawah" yang memiliki keterbatasan wawasan dan pengetahuan soal pajak, tapi juga
di kalangan masyarakat atas yang lebih "intelek" serta tahu betul fungsi dan peran
pajak.

Sejumlah pejabat tinggi negara dan mantan pejabat pernah dikabarkan

menunggak alias emoh membereskan kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan
(PPh) sampai menjelang batas akhir penyerahan surat pemberitahuan (SPT) pajak.
Dalam pertemuan Komisi A DPRD DKI, misalnya, terungkap sebuah laporan
yang menyebutkan bahwa selama 2003-2004 Komisi Pemilihan Umum Daerah
(KPUD) DKI Jakarta tidak membayar Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) senilai total Rp 4,2 miliar. Sementara itu, Dinas

Pendapatan Daerah (Dipenda) DKI Jakarta juga pernah melaporkan bahwa sebanyak
49 hotel, 407 restoran, 256 tempat hiburan dan 62 pemasang reklame di Jakarta
menunggak pajak. Total tunggakan pajak tempat-tempat usaha itu hingga Maret 2003
saja telah mencapai Rp 59 miliar. Total tunggakan pajak sektor perhotelan sebesar
Rp 26,5 miliar, restoran Rp 20,3 miliar, tempat hiburan Rp 10,9 miliar dan reklame
Rp 1,2 miliar.
Ironisnya,

pajak

yang

tertunggak

tersebut

merupakan

pajak


yang

sesungguhnya telah dibayar masyarakat ketika menggunakan jasa tempat-tempat
usaha tersebut. Rendahnya kesadaran akan kewajiban membayar pajak juga terlihat
di kalangan intelektual yang semestinya menjadi panutan. Sebut saja misalnya di
kalangan politisi, ekonom, pengamat, tokoh lembaga swadaya masyarakat (LSM),
artis, dan public figur lainnya.
Pada kenyataannya, pajak sering dikemplang dengan berbagai cara. Dari sisi
Wajib Pajak, secara spesifik, misalnya, ditemukan banyak kasus dimana Wajib Pajak
memanipulasi laporan keuangan sehingga nilai pajaknya berkurang dari yang
semestinya. Fakta lain yang sering ditemukan adalah Wajib Pajak mengisi Surat
Pemberitahuan Tahunan (SPT) dengan tidak valid, bahkan tidak sedikit pula
4

Sofian Munawar Asgart: Pajak dan Kemandirian Bangsa

masyarakat yang benar-benar mangkir alias menghindar dari kewajiban membayar
pajak.
Dalam hubungannya dengan persoalan kepatuhan penunaian pajak, Data
Ditjen Pajak (2001) menyebutkan bahwa hanya 1,3 juta kepala keluarga (KK) di

Indonesia yang terdaftar sebagai Wajib Pajak. Dari jumlah itu hanya 850.000 orang
yang efektif membayar pajak, dan dari jumlah ini hanya separuhnya yang
menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT). Itu pun pembayarannya belum
sepenuhnya tepat.
Sebagai contoh kasus, rendahnya kemampuan menjaring Wajib Pajak,
setidaknya terlihat di wilayah DKI Jakarta. Dengan penduduk sekitar 10 juta jiwa
dan perkirakan 2,5 juta jiwa termasuk Wajib Pajak, ternyata yang tercatat sebagai
Wajib Pajak hanya 245.815 orang, atau kurang dari 10 persen. Fenomena ini
menunjukkan bahwa kesadaran penunaian kewajiban pajak masih merupakan
persoalan yang memprihatinkan.

2. Masalah aparatur pajak
Hasil investigasi majalah Tempo (Edisi 19 Juni 2005) menyebutkan bahwa
pintu-pintu pengemplangan pajak sangat beragam. Pajak dapat digerogoti dari segala
sisi. Ada yang murni dilakukan oleh Wajib Pajak, ada juga yang dilakukan setelah
Wajib Pajak berkomplot dengan ‘oknum’ aparat pajak. Ketidaklengkapan pengisian
SPT, misalnya, banyak disinyalir bukan murni kesalahan Wajib Pajak, tapi ini
merupakan salah satu pintu menuju “negosiasi” antara Wajib Pajak dengan petugas
pajak. Meskipun besarnya jumlah pajak telah ditetapkan secara resmi oleh
pemerintah, namun kenyataannya sejumlah pengusaha mengakui bahwa pajak dapat

ditawar. Akibatnya, nilai pajak menjadi lebih kecil dari yang seharusnya dibayar
dengan “mengkompensasikan” sebagian setoran ke saku petugas.
5

Sofian Munawar Asgart: Pajak dan Kemandirian Bangsa

Praktik tidak terpuji lainnya yang kerap dilakukan oknum petugas pajak
adalah manipulasi restitusi pajak dan pemalsuan faktur pajak. Kelebihan pembayaran
pajak (restitusi) seharusnya dipindahkan ke tahun berikutnya. Bila ada yang
dikembalikan semestinya dilakukan secara teliti. Namun faktanya, Surat Perintah
Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP) untuk permohonan restitusi bisa dimanipulasi.
Manipulasi restitusi ini umumnya melibatkan aparat pajak. Dalam pengurusan
restitusi serba cepat, Wajib Pajak minta uang lebih pembayarannya dicairkan
seluruhnya dalam bentuk tunai alias tidak ditransfer.
Modus yang sering digunakan adalah menggelembungkan jumlah setoran
pajak sehingga terjadi kasus kelebihan pembayaran yang selanjutnya dihitung
sebagai restitusi. Kerugian negara akibat manipulasi restitusi ini lumayan besar.
Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2004 mencatat, antara lain,
sepanjang periode 1999-2000 saja ditemukan penyimpangan restitusi sebesar


Rp

1,95 triliun.
Pemalsuan faktur pajak juga tak kalah mengerikan. Seharusnya Wajib Pajak
mengisi faktur resmi yang dikeluarkan Kantor Pelayanan Pajak. Namun pada
kenyataannya, faktur pajak palsu banyak ditemukan dimana-mana. Pengedar faktur
palsu itu tentu melibatkan sejumlah oknum pegawai pajak. Jaringan pemalsu faktur
pajak ini telah banyak ditemukan di sejumlah kota besar, antara lain di Medan,
Bandung, Jakarta, dan Surabaya.

3. Masalah sistem perpajakan
Meskipun target penerimaan pajak yang ditetapkan APBN 2004 sebesar Rp
238,6 triliun telah terlampaui, kita masih melihat kenyataan bahwa tax ratio
Indonesia rendah. Rasio pajak kita saat ini masih sekitar 13,5 persen, sementara
negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand sudah mencapai 16-17 persen.
6

Sofian Munawar Asgart: Pajak dan Kemandirian Bangsa

Ini menunjukkan bahwa masih banyak potensi pajak yang belum tergali dan

terrealisasi secara optimal.
Untuk mewujudkan rasio pajak yang sejajar dengan negara tetangga,
pemerintah bertekad untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sehingga berdampak
pada penerimaan pajak yang terus meningkat. Sebaliknya, apabila penerimaan pajak
digunakan untuk memacu sektor ekonomi produktif, sudah semestinya akan
menunjang peningkatan kesejahteraan secara signifikan. Hadi Purnomo sendiri
mengatakan bahwa sejatinya tingkat rasio pajak Indonesia saat ini telah mencapai
16,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) kalau memasukkan restitusi,
pajak daerah, dan fasilitas perpajakan sebagai bagian dari penerimaan perpajakan.
Gebrakan lain yang kini sedang digalakan Ditjen Pajak adalah penggunaan
sistem pajak berbasis teknologi informasi (e-system). Sistem baru ini selain
menawarkan efisiensi dan kemudahan juga diharapkan dapat menjadi salah satu
upaya untuk menghilangkan persekongkolan antara Wajib Pajak dengan petugas
pajak. Menurut Menteri Keuangan Yusuf Anwar, berbagai kemudahan diciptakan
agar Wajib Pajak menjadi nyaman melaksanakan kewajiban perpajakannya sekaligus
memperoleh haknya atas pelayanan pajak yang baik. “Kita telah menerapkan banyak
e-system dalam pelayanan pajak, seperti e-payment, e-registration, e-conselling, emapping, e-request, e-objection, dan e-audit. Kini kami juga siap menerapkan
penyerahan SPT secara online yang disebut e-filling,” jelas Menkeu.
E-filling ini diproyeksikan untuk mendukung self-assesment. Dengan begitu,
data pajak yang dimasukkan benar-benar data dari Wajib Pajak tanpa ada campur

tangan dari pihak petugas. E-filling diharapkan dapat menghilangkan kecurangan
perpajakan secara sistematis karena berkurangnya kontak fisik antara Wajib Pajak
dengan aparat pajak. Karena itu, banyak pengamat optimis bahwa sistem perpajakan

7

Sofian Munawar Asgart: Pajak dan Kemandirian Bangsa

yang baru ini akan lebih efektif dan efisien, sekaligus mampu menaikkan pendapatan
pajak secara progresif.
Namun demikian, reformasi perpajakan diharapkan tidak merambah level
teknis semata. Reformasi perpajakan juga harus menyentuh segenap aspek lainnya
secara menyeluruh. Reformasi perpajakan dalam arti luas, menurut Faisal Basri,
dapat menjadi entry point sekaligus menjadi “terapi kejut” yang sesungguhnya untuk
menguak harapan baru bagi pulihnya perekonomian di negeri ini. Banyak masalah
bangsa yang dapat diselesaikan melalui reformasi perpajakan. Ketergantungan pada
pembiayaan luar negeri dapat dikurangi secara drastis dan pembayaran kembali
utang luar negeri dapat dipercepat sehingga sekaligus meningkatkan kemandirian
bangsa dan daya tahan ekonomi nasional terhadap gejolak eksternal.
Faisal mengingatkan bahwa pembenahan perpajakan semestinya tidak melulu
berpusat atau berpangkal pada aspek penerimaan. Perpajakan juga harus mampu
menjadi perangkat strategis untuk mendinamisasikan kegiatan ekonomi produktif
serta memajukan industrialisasi dan mendorong daya saing. Oleh karena itu,
reformasi perpajakan diorientasikan bukan sekadar pembenahan Ditjen Pajak dan
Ditjen Bea dan Cukai. Upaya ini juga harus ditempatkan dan dilekatkan sebagai
bagian tak terpisahkan di dalam proses konsolidasi dan pendalaman demokrasi.
Selain itu, sistem perpajakan yang baru dalam tataran implementasinya perlu
dibarengi dengan pedoman yang lebih applicable. Salah satu contoh kasus, misalnya,
sistem self assasment yang telah lama diterapkan untuk penghitungan pajak. Di satu
sisi ini bermanfaat untuk melakukan proses pencerdasan Wajib Pajak. Namun,
karena masih banyak Wajib Pajak yang belum tahu bagaimana melakukan
penghitungan pajak, maka biasanya ia meminta bantuan aparat pajak untuk
melakukannya. Kondisi "darurat" seperti ini biasanya sering dimanfaatkan oleh

8

Sofian Munawar Asgart: Pajak dan Kemandirian Bangsa

oknum aparat pajak untuk melakukan "permainan". Sementara itu, mekanisme
kontrol yang mampu menjangkau permainan seperti ini masih lemah.
Beberapa persoalan tersebut menjadi urgen untuk diantisipasi, karena
ketiganya memiliki korelasi satu sama lain untuk meningkatkan kinerja perpajakan
secara simultan. Reformasi sistem perpajakan memang perlu terus digulirkan.
Namun upaya ini tentu harus tetap dibarengi dengan peningkatan kesadaran Wajib
Pajak dan pemupukan mental aparat pajak secara berimbang. Tanpa adanya
reformasi sikap dan mental petugas pajak serta tanpa kesadaran tulus Wajib Pajak,
secanggih apapun sistem yang dibangun akan sia-sia belaka, karena dengan
mudahnya mereka akan mengutak-atik dan memanipulasi sistem yang dibangun
dengan susah payah tersebut.
Aspek lain yang lebih fundamental adalah mengupayakan sinkronisasi
reformasi perpajakan dalam lanskap ekonomi makro. Dalam konteks ini, pajak
sebagai komponen utama penerimaan negara tidak saja diketahui sumber-sumbernya,
tapi juga patut dicermati alokasi penyalurannya secara transparan dan akuntabel.
Prinsip good corporate governance agaknya harus dijadikan landasan bagi
pemerintah dalam mengelola pajak. Dengan begitu, sistem perpajakan tidak saja
menuntut masyarakat untuk taat membayar pajak, namun sekaligus juga menuntut
pemerintah agar mampu mengelola pajak secara bijak.

C. Solusi Alternatif
Dengan memperhatikan sejumlah masalah perpajakan tersebut, sudah
selayaknya kita melakukan berbagai terobosan, mencari solusi alternatif sebagai
langkah

untuk

mengantisipasi

berbagai

persoalan

perpajakan.

Mengingat

kompleksitasnya persoalan, maka pendekatan yang ditempuh pun harus bersifat
simultan dan dilakukan oleh banyak pihak secara sinergis dan komprehensif.
9

Sofian Munawar Asgart: Pajak dan Kemandirian Bangsa

Berpijak pada sejumlah kendala dan persoalan di atas, berikut ini beberapa alternatif
solusi yang dapat dikemukakan.

1. Keteladanan dan kepastian
Banyaknya tokoh dari berbagai kalangan dan profesi yang terbukti mangkir
membayar Pajak Penghasilan (PPh) merupakan preseden buruk bagi masyarakat
Wajib Pajak secara keseluruhan. Oleh karena itu, keteladanan dalam hal penunaian
kewajiban pajak perlu mendapat perhatian tersendiri. Keteladanan ini tentu saja harus
dimulai dari jajaran pemerintah sendiri sebagai pengelola pajak. Jika pemerintah
mampu memberikan teladan yang kemudian diikuti tokoh-tokoh dan public figur
lainnya, agaknya masyarakat akan lebih mudah untuk menyadari betapa pentingnya
pajak bagi kehidupan dan kemandirian bangsa ini.
Sebaliknya, jika pemerintah, para pemimpin, dan tokoh-tokoh populis sudah
memperlihatkan contoh buruk berupa sikap ingkar terhadap kewajiban pajak, maka
masyarakat di level bawah pun akan lebih sulit lagi tersadarkan untuk menunaikan
kewajiban membayar pajak. Karena itu, slogan “Orang bijak taat pajak” agaknya
perlu diteruskan dengan iklan salah satu merk jamu: “Orang pintar … bayar pajak
dengan benar!”.
Selain itu, pemerintah juga harus memberikan jaminan kepastian bahwa
pendapatan negara dari sektor pajak ini tersalur secara benar dan “benar-benar
tersalur”. Dalam realitas objektifnya, masyarakat harus merasakan manfaat pajak
secara sungguh-sungguh yang antara lain tercermin dari

jaminan pemenuhan

kebutuhan publik secara baik. Kepastian atas tersalurnya pajak secara bajik tentu
akan mendorong sikap bijak masyarakat terhadap kewajiban membayar pajak.

10

Sofian Munawar Asgart: Pajak dan Kemandirian Bangsa

2. Reward and punishment
Meskipun banyak kalangan pengusaha yang merasa gerah atas rencana
pemeriksaan terhadap 500 Wajib Pajak dan pembayar cukai terbesar, Ditjen Pajak
agaknya harus tetap melaksanakannya. Terobosan ini justru penting untuk
mengungkap praktik korupsi antara Wajib Pajak dengan aparat pajak. Hanya saja
verifikasi ini harus dilakukan secara hati-hati dan lebih difokuskan pada aparat pajak,
bukan mencari-cari kesalahan Wajib Pajak. Karena itu, pengusaha sebagai Wajib
Pajak tidak perlu mengekspresikan kekhawatiran secara berlebihan. Justru
sebaliknya, mereka harus mendukung kebijakan ini sebagai langkah konkret
pemberantasan praktik korupsi bagi aparat pajak.
Komitmen Ditjen Pajak dalam pemberantasan korupsi “di rumahnya sendiri”
memang tidak boleh dipandang sebelah mata. Menurut Hadi Purnomo, selama empat
tahun (2001-2004) Ditjen Pajak telah berhasil mencokok 1.308 aparat pajak nakal.
Rinciannya adalah 327 orang (2001), 290 orang (2002), 486 orang (2003), dan 205
orang (2004). Aparat pajak nakal itu telah dikenai sanksi mulai dari surat teguran,
penurunan gaji dan pangkat, hingga pemecatan. Karena itu, verifikasi 500 Wajib
Pajak dan pembayar cukai terbesar itu harus dipandang sebagai terobosan baru untuk
mewujudkan komitmen Ditjen Pajak dalam melakukan clearing house.
Namun demikian, secara bersamaan Ditjen Pajak juga harus memberikan
penghargaan (reward) kepada para pengusaha atau Wajib Pajak teladan dengan
memberikan insentif khusus. Misalnya melalui tax alloance (kelonggaran pajak)
pada sektor-sektor tertentu dan daerah-daerah tertentu. Pemberian insentif ini tentu
saja penting, namun harus tetap memperhatikan rasa keadilan masyarakat dan tidak
hanya bersifat comersial oriented.
Agaknya, perlu dipikirkan bentuk-bentuk insentif lainnya yang secara
psikologis dapat menyentuh radius objek pajak yang lebih luas. Insentif “psikologis”
11

Sofian Munawar Asgart: Pajak dan Kemandirian Bangsa

ini antara lain dapat berupa perbaikan terhadap hak-hak Wajib Pajak. Misalnya,
dalam proses pemeriksaan, pengajuan keberatan, pengajuan banding, dan hak-hak
Wajib Pajak lainnya. Faisal Basri menilai bahwa “rangsangan” seperti ini akan
berkorelasi positif dengan peningkatan kepatuhan Wajib Pajak. Menurutnya,
semakin proporsionalnya antara kewajiban dan hak Wajib Pajak, niscaya jumlah
pembayar pajak akan berlipat ganda. Sementara itu, kepatuhan Wajib Pajak pun akan
tumbuh dan berkembang dengan pesat.

3. Reformasi Sistemik
Ketika mengawali masa pemerintahannya, SBY pernah melakukan inspeksi
mendadak (Sidak) ke Ditjen Pajak. Saat itu SBY mengingatkan aparat pajak untuk
bekerja secara sungguh-sungguh dalam mengoptimalkan penerimaan negara dari
pajak. Kunjungan SBY kemudian disusul Menkeu Jusuf Anwar yang menyiapkan
kontrak politik untuk menilai kinerja Dirjen Pajak dan Ditjen Pajak secara
keseluruhan. Dalam kontrak politik tersebut antara lain disebutkan jika kinerja Dirjen
Pajak tidak sesuai dengan target yang diharapkan, maka ia akan diminta untuk
mengundurkan diri.
Lecutan kontrak politik tersebut sepertinya telah memacu Ditjen Pajak untuk
meningkatkan kinerjanya secara signifikan. Berbagai terobosan telah banyak
digulirkan, terutama perbaikan sistem administrasi perpajakan. Sistem on-line dalam
pelayanan pajak, seperti e-payment, e-registration, e-conselling e-mapping,
e-request, e-objection, e-audit dan e-filling merupakan terobosan baru yang lebih
efektif, efisien serta memberi kemudahan dalam urusan perpajakan.
Namun demikian, pengelolaan uang negara –yang sebagian besar bersumber
dari pajak— bukanlah tanggung jawab Ditjen Pajak semata. Karena itu, reformasi
administrasi dan kebijakan perpajakan harus dilakukan bersamaan dengan reformasi
12

Sofian Munawar Asgart: Pajak dan Kemandirian Bangsa

pengelolaan sektor keuangan publik secara sistemik dengan mengintegrasikan
segenap persoalan secara simultan. Dengan begitu, tuntutan reformasi tidak hanya
dilakukan di tubuh Ditjen Pajak semata, tapi juga harus dilakukan di institusi
‘pengelola’ keuangan publik lainnya seperti BPK dan Depkeu secara sinergis dan
holistik.
Karena itu pula kontrak politik tidak cukup hanya dilakukan antara Depkeu
dan Dirjen Pajak. Lebih dari itu, diperlukan kontrak politik sejati antara para
penyelenggara negara dengan rakyat. Ketua BPK, Menkeu, Menko Perekonomian,
dan bahkan Presiden harus berani –seperti halnya Dirjen Pajak— menandatangani
kontrak politik dengan target mampu mengelola uang publik secara baik dan benar.
Jika mereka gagal melakukannya, maka mereka semua harus rela menyerahkan
amanah kepemimpinannya secara legawa.

4. Reorientasi filosofi pajak
Hingga saat ini masih ada kesan Ditjen Pajak seolah-olah berpikir bahwa
penerimaan hanya dapat diperoleh jika menambah objek penetapan pajak. Hal ini
disebabkan karena kekeliruan menetapkan filosofi pajak. Yaitu dengan menjadikan
target penerimaan sebagai sasaran utama dan kurang memperhatikan tugas-tugas lain
yang harus diembannya. Akibatnya, aparat pajak lebih memposisikan dirinya sebagai
"tukang pungut", melupakan tugas-tugas lain yang juga harus dikerjakannya. Yaitu
memberikan penyuluhan, pelayanan, dan pembinaan kepada masyarakat tentang
pajak.
Selama ini filosofinya seringkali terbalik, yaitu menjadikan penerimaan
sebagai target utama, sementara "tugas suci" lainnya terabaikan. Padahal, penerimaan
pajak akan berbanding lurus dengan pelayanan yang baik. Bagaimana rakyat dapat

13

Sofian Munawar Asgart: Pajak dan Kemandirian Bangsa

menjadi Wajib Pajak yang baik jika sosialisasi peraturannya kurang optimal, bahkan
di beberapa tempat tidak pernah dilakukan.
Selain merupakan kewajiban, pajak semestinya juga dipandang sebagai salah
satu alat bargaining rakyat terhadap pemerintah, tapi hal ini masih sebatas obsesi dan
idealisme. Kenyataannya, pemerintah, terutama aparat pajak, pemikirannya
seringkali terdominasi dengan keinginan untuk menarik pajak sebanyak-banyaknya.
Fenomena

ini

semakin

memperkuat

bukti

kegalauan

pemerintah

untuk

mempertahankan perolehan pajak secara massif. Ini sebenarnya tidak menjadi
masalah, jika pemerintah terutama aparat pajak dapat meningkatkan kualitas
pelayanan publik dan pertanggungjawaban secara transparan.
Sudah saatnya Ditjen Pajak melakukan redefinisi dan reorientasi terhadap
filosofi pajak. Citra yang menempatkan Ditjen Pajak sebagai pemungut pajak harus
dirubah dengan memposisikan dirinya sebagai pengelola dan pengayom masyarakat.
Dengan demikian, aktifitas perpajakan tidak hanya menjadikan target penerimaan
sebagai sasaran utama, tetapi juga memperhatikan tugas-tugas perpajakan lainnya
secara integral, seperti memberikan penyuluhan, pelayanan, dan pembinaan tentang
pajak kepada masyarakat. Upaya ini diharapkan akan mendatangkan feedback positif
dari masyarakat.

5. Kampanye sadar pajak
Dalam rubrik “Konsultasi Pajak” di situs detik.com (http://detikfinance.
com/index.php/detik.read/…) muncul sebuah pertanyaan lugu dan lucu namun patut
dikritisi dan direnungkan. “Bagaimana caranya tidak membayar pajak ? Karena
saya lihat di Negara kita ini pajak merupakan keterpaksaan. Dapatkah Bapak
memberikan kiat-kiat khusus agar saya dapat tidak membayar pajak ?”

14

Sofian Munawar Asgart: Pajak dan Kemandirian Bangsa

Pertanyaan tersebut, setidaknya, menyiratkan dua hal yang esensial, yaitu
rendahnya kesadaran membayar pajak dan kekeliruan memahami pajak. Pemahaman
masyarakat kebanyakan masih melihat pajak sebagai masalah administratif belaka.
Itu sebabnya, masih sangat sulit untuk menjerat masyarakat yang tidak pernah
membayar pajak. Padahal, pasal 38 dan pasal 39 mengenai Ketentuan dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP) jelas menyebutkan bahwa setiap Wajib Pajak yang tidak
membayar pajak terutang sesuai dengan ketentuan perundangan maka Wajib Pajak
tersebut dianggap telah melakukan tindak pidana perpajakan.
Oleh karena itu, pakar hukum Loebby Loeqman memberikan saran bahwa
pajak ke depan harus lebih ditekankan pada masalah tata negara. Pajak sudah
selayaknya dilihat dari perspektif hukum tata negara, bukan lagi hukum administrasi
negara. Dalam arti, jika terjadi pelanggaran, Wajib Pajak akan dikenai sanksi pidana
yang lebih berat dan bukan lagi hanya masalah administratif berupa denda dengan
nominal uang "alakadarnya".
Pemahaman seperti itu perlu terus disosialisasikan kepada masyarakat
melalui kampanye sadar pajak dalam berbagai bentuknya, seperti seminar, diskusi,
penataran, lokakarya, simulasi, dan bentuk aktifitas lainnya secara massif. Kampanye
sadar pajak tentu tidak ditujukan kepada Wajib Pajak semata, tapi ditujukan untuk
masyarakat secara keseluruhan, termasuk di dalamnya aparat pajak. Kampanye sadar
pajak tidak saja diorientasikan agar masyarakat bersikap bijak dalam membayar
pajak, melainkan juga diarahkan agar pemerintah pun bijak mengelola pajak.
Dengan berbagai upaya tersebut diharapkan tumbuhnya apresiasi positif
masyarakat terhadap pajak yang pada gilirannya sampai pada suatu kesadaran dan
keinsyafan kolektif bahwa sadar pajak –dalam arti sadar membayar dan mengelola
pajak secara bijak— merupakan kunci kemandirian bangsa!
Depok, Medio Juli 2005
15

Sofian Munawar Asgart: Pajak dan Kemandirian Bangsa