G30S dan Sejarah Orang Kalah

Mengenang G30S
Oleh: A Taufiq*

Sejarah tentang G30S adalah sejarah tentang orang-orang kalah. Mereka kalah dengan pihak lawan
politik yang kemudian mendirikan suatu rezim: Orba. Dan akibat kekalahannya, sejarah resmi
tentangnya adalah sejarah tentang kejahatan dan kebiadaban semata.
Sejarah memang selalu ditulis para pemenang. Dan pemenang tentu melakukan pembenaran atas
kemenangannya. Penyingkiran, pembakaran, atau penghilangan paksa atas fakta sejarah yang tidak
memihaknya, adalah hal yang harus dilakukan demi langgengnya rezim yang dikuasai. Mereka yang
bersuara lain, dibungkam habis sejak dalam hayalan. Ya, rezim memang sedang melakukan
pemberangusan ingatan.
Indonesia pada dekade 1960an memang memasuki suasana tegang. Dalam kancah global, ada
pertarungan sengit dalam perang dingin dari dua ideologi yang diwakili USA (kapitalisme), dan USSR
(komunisme). Dan Indonesia jadi lahan perebutan pengaruh pada dua negara raksasa itu.
Dalam lanskap nasional, sedang terjadi perseteruan sengit dari PKI dengan militer AD yang keduanya
sama-sama ancang-ancang untuk menduduki kursi kekuasaan sebab Soekarno sudah melemah. Disisi
lain perekonomian Indonesia sedang krisis. Inflasi besar-besaran sehingga kalangan bawah terdorong
untuk melakukan kerusuhan.
Hingga pada 1 Oktober 1965, dini hari, muncullah kabar tentang horor penculikan dan pembunuhan
beberapa jenderal. Belum jelas siapa membunuh siapa dan dengan motif apa, sehingga suasana jadi
semakin mencekam.

Lantas tersiar kabar bahwa sekelompok tentara yang dipimpin Letkol Untung dari Cakrabirawa adalah
yang melakukan operasi tersebut. Mereka kemudian menamakan diri Gerakan September Tiga Puluh
(Gestapu) atau G30S. G30S ternyata diduga dikendalikan Biro Chusus PKI yang diketuai Sjam
Kamaruzzaman. Mereka menargetkan penangkapan atas tujuh jenderal, hidup atau mati, karena
dianggap kontra revolusioner. Sebab, para Jenderal itu terindikasi bakal mengkudeta Soekarno,
buktinya dengan membentuk Dewan Jenderal.
Namun, operasi tersebut gagal total. Malah esoknya angkatan darat mampu melakukan serangan
balik. Dan Gestapu dipukul mundur. Sementara PKI, yang memberikan dukungan atas operasi
tersebut, kemudian dituduh sebagai dalang dibaling pembunuhan jenderal tersebut, sehingga PKI
harus dihancurkan. Lantas kita tahu, sampai saat ini, sejarah resmi kemudian tertulis tragedi
G30S/PKI.
Setelah kejadian itu, suasana politik tambah lebih mencekam lagi. Pembantaian atas anggota PKI
atau mereka yang dituduh komunis mengeambah dimana-mana, terutama di Jawa dan Bali. Jutaan
leher yang digorok atas nama pencucian darah bangsa dari sekian kotoran kaum pengkhianat. Dan
Orde Baru berdiri diatas tragedi kemanusiaan tersebut dan berhasil menjajah Indonesia selama 32
tahun.
***

Horor kemanusiaan itu memang sudah lama berlalu. Tapi bekas-bekasnya masih terasa hingga kini,
meski Reformasi 1998 berhasil menumbangkan Soeharto dengan Orde Barunya. Kita bisa melihat

dengan sangat jelas bahwa peraturan-peraturan produk Orba yang tidak sesuai dengan semangat
demokrasi masih berlaku. Seperti TAP MPRS 1966 tentang pelarangan marxismeleninisme/komunisme masih belum dicabut. Saat Gus Dur jadi presiden mewacanakan
pencabutannya, ia ditentang bayak orang, dan dilengserkan.
Saat ini, terlihat jelas bahwa elemen-elemen Orba kembali menggalang kekuatan untuk menghadang
kekuatan yang hendak melanjutkan semangat Reformasi. Segala macam cara dilakukan meski
mengkhianati suara rakyat. Merekalah yang hendak mengokohkan oligarki kekuasaan dengan
mencincang demokrasi.
Kita, sebagai masyarakat, tidak boleh melupakan kekejian Orba. Sebab sekali kita lupa, saat itu
mereka akan bangkit dan menginjak-injak kita. Tanda-tanda itu sudah semakin nampak jelas kini.
Mengenang G30S dan para korban kekejian setelahnya, adalah wanti-wanti agar jangan sampai luka
bangsa ini berulang kembali.
Kamar Merah, 1 Oktober 2014

* Dewan Syuro Jemaat ARENA