Relasi Sosial Antara Perahu dan Masyarak

UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS ILMU BUDAYA

Relasi Sosial Antara Perahu dan Masyarakat Penutur Bahasa Austronesia

Mata Kuliah : Sejarah Kebudayaan Masyarakat Austronesia (BDS 3545)
Semester 7 2016/2017

Dosen Pengampu :
Ronnie Hatley

Dikerjakan Oleh :
Wastu Hari Prasetya (13/350211/SA/17083)

Tanggal Pengumpulan Tugas:
Selasa, 19 Oktober 2016

Relasi Sosial Antara Perahu dan Masyarakat Penutur Bahasa Austronesia
Pendahuluan
Proses perpindahan yang dilakukan masyarakat penutur bahasa Austronesia bisa
dikatakan sebagai proses yang terstruktur. Anthony (1990) mengemukakan fitur utama

migrasi jarak jauh yang dilakukan para penutur Austronesia adalah “lompat katak”. Terlebih
dahulu

terdapat

komunitas

yang

akan

bermigrasi

mengirimkan

tim

pendahulu

(advancescouts) yang bertugas sebagai pengumpul data mengenai kondisi sosial dan potensi

sumber daya-sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk bertahan hidup. Kemudian tim
pendahulu ini akan menyampaikan informasi tersebut kepada kelompok di daerah asal yang
berpotensi akan melakukan migrasi. Tentu saja dapat dibayangkan dalam konteks masa itu
proses penyampaian informasi antara tim pendahulu dan kelompok yang akan bermigrasi
tidak secepat masa kini. Tim pendahulu membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun atau
bahkan ratusan tahun untuk memastikan bahwa kondisi tempat yang cukup layak baru
kemudian kembali ke daerah asal. Ini lah yang disebut sebagai migrasi balik (return
migration).
Dibalik proses perpindahan atau migrasi yang begitu kompleks dan terstruktur, para
penutur bahasa Austronesia tentu membutuhkan suatu media untuk berpindah-pindah dalam
rangka mencari tempat yang ideal untuk tinggal setelah bermigrasi dari daerah asal. Media
itulah yang kemudian disebut perahu. Menurut Blust-Bellwood, masyarakat penutur bahasa
Austronesia berasal dari Taiwan yang kemudian bermigrasi ke Filipina lalu menyebar ke
selatan yakni Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Dari ketiga tempat di Nusantara itu
kemudian bergerak hingga ke Australia dan Kepulauan Pasifik seperti Melanesia, Polinesia,
dan Mikronesia. Perahu yang digunakan oleh penutur bahasa Austronesia telah memiliki
teknologi yang kompleks seperti layar dan cadik. Terlebih kemampuan akan perahu dan
navigasi mereka tentu sudah sangat mumpuni karena jika tidak memiliki kemampuan seperti
yang disebut sebelumnya penutur bahasa Austronesia tidak akan bisa melakukan perpindahan
ke tempat yang mereka tuju.

Perpindahan yang dilakukan penutur Austronesia tentu melibatkan banyak orang yang
diangkut dalam sebuah perahu. Maka dari itu perlu dilakukan pembagian kerja di atas perahu
sama seperti di darat. Ada yang memimpin kapal, menentukan arah, membaca arah angin dan
arus laut, ada yang mengurus layar dan ada yang mendayung. Hal ini secara tidak langsung

membentuk suatu sistem atau struktur sosial di dalam perahu tersebut. Lalu apakah struktur
sosial dalam perahu masa kini masih sama dengan struktur sosial pada perahu Austronesia?
Dan bagaimana relasi sosial tersebut mempengaruhi kehidupan masyarakat laut yang
merupakan generasi penerus dari penutur Austronesia? Melalui tulisan ini akan dibahas
tentang perahu sebagai budaya khas penutur Austronesia yang mampu membentuk suatu
sistem sosial di masyarakat dan relasi yang tercipta antara perahu dengan masyarakat hingga
mampu memberikan pengaruh dalam kehidupan masyarakat penerus dari penutur
Austronesia. Contoh yang diambil sebagai gambaran nyata adalah masyarakat di Kepulauan
Kei di Maluku Tenggara dan Pulau Morotai di Maluku Utara sebagai salah satu wilayah yang
menjadi tujuan migrasi para penutur Austronesia.
Pembahasan
Mengutip pernyataan dari Pierre Yves Manguin dalam karyanya “Shipshape
Societies: Boat Symbolism and Political System in Insular Southeast Asia” bahwa di dalam
masyarakat-masyarakat Nusantara dapat ditemukan suatu relasi kompleks antara kapal,
rumah dan kesatuan kelompok sosial. Kapal sering direpresentasikan sebagai rumah mereka.

Di berbagai daerah di Indonesia terdapat berbagai macam pemaknaan kapal seperti di Bugis
yang menganggap membuat perahu seperti membuat rumah. Di Sumba untuk upacara
penyembuhan, kepala rumah disebut sebagai tuan kapal. Dalam masyarkaat Bajo tatanan
kelompok sosial yang terdiri dari keluarga inti diibaratkan tinggal dan berlayar bersama
dalam sebuah kapal. Lalu pemimpinnya disebut sebagai nakura yang berasal dari kata
nahkoda (bahasa Persia) yang berarti tuan kapal (Refo, 2015).
Di Sawu, Kepulauan Kei sebagaimana yang ditulis Manguin bahwa rumah-rumah
memliki korelasi kongkret dengan kapal. Bagian-bagian rumah disebut seperti bagian-bagian
kapal, seperti lunas, tiang kapal, dan layar. Dalam masyarakat tradisional Kei terdapat istilah
kapal desa yang disebut belan yang mana istilah ini juga diwujudkan dalam bentuk nyata
yang menggambarkan struktur desa. Belan merupakan perahu komunal yang digunakan
untuk acara-acara khusus seperti perkawinan yang melibatkan dua desa dan untuk perang.
Para pemimpin desa memiliki tempat-tempat khusus dalam perahu tersebut sekaligus
representasi tempat-tmpat duduk para pemimpin desa dalam pertemuan di rumah adat.
Kapal bagi masyarakat Kei mempunyai arti sangat penting. Pembuatannya pun
memerlukan ritual yang kompleks. Cecile Barraud (1995) dalam artikelnya “Perahu dalam
Sebuah Masyarakat atau Sebuah Masyarakat dalam Perahu?” menulis bahwa pembuatan
perahu dan penjualan kapal-kapal layar terhubung dalam suatu ritual yang kompleks.

Pelayaran pertama dari sebuah kapal diiringi dengan perasayaan yang melibatkan seluruh

masyarakat desa. Dalam karya Cecile Barraud yang lain yakni “Tanebar Evav une societe de
maisons tournee vers le large”, dituliskan bahwa dalam masyarakat Kei ada beberapa fungsi
tradisional dalam struktur masyarakat yang memiliki kesamaan dengan struktur kerja di
dalam kapal seperti malin ankod dan orang kaya.
Menurut Refo (2015) ungkapan malin ankod digambarkan sebagai kapitan atau
nahkoda dari kapal layar. Ankod berasal dari kata nahkoda dan Malin terdiri dari kata ma
yang mengindikasikan gerakan dan lin yang berasal dari kata nablin berarti menjadikan
tenang. Jika dimaknai secara utuh malin ankod merupakan kapitan kapal yang memahami
cara menghadapi dan menghindari bada, mengarahkan kapal, dan memilih waktu yang tepat
untuk sebuah pelayaran. Sementara itu pemaknaan malin ankod ketika di darat merupakan
seorang kepala atau pemimpin yang bertanggung jawab atas masyarakatnya untuk selalu
megupayakan hidup damai dan harus dibawa ke pelabuhan yang baik dalam artian
menciptakan kemakmuran. Dengan dua konsep pemaknaan seperti itu maka dibuat dua fungsi
jabatan malin ankod yakni malin ankod nangan (nahkoda di darat) dan malin ankod roa
(nahkoda di laut).
Malin ankod nangan atau disebut juga Tuan Tan (tuan tanah). Akan tetapi tuan tanah
disini bukan dalam arti yang sering didengar dalam masyarakat pada umumnya yang
merupakan pemilik tanah atau juragan tanah. Tuan Tan adalah pelindung yang melaksanakan
semua fungsi dalam hubungan dengan tanah desa seperti penanggung jawab dalam
pelaksanaan ritual, penengah dalam masalah tanah dan hal lain yang berhubungan dengan

tanah desa. Tugas Tuan Tan seperti penjaga tanah dan warga desa. Dia akan memastikan
panen berlimpah di setiap tahun, menentukan kekayaan desa dan memohon persetujuan
kepada para leluhur desa. Posisi Tuan Tan dalam struktur desa sangat penting karena jika
tidak ada Tuan Tan, desa tidak makmur karena tidak ada benih yang diberkahi oleh leluhur
sehingga desa tidak mampu memanen hasil pertanian dan kemakmuran akan hilang dari desa.
Sementara untuk malin ankod roa (nahkoda laut) disebut oleh masyarakat Kei sebagai
Ten Ya’an Ndir u atau Mar u, yang jika diterjemahkan berarti sulung dari para tetua yang
berdiri di depan. Ndir u atau Mar u adalah nama juru haluan yang bertugas mengamati
karang-karang. Posisi ini sangat penting untuk menghindari kapal dari kerusakan akibat
menabrak karang. Ndir u selain sebagai juru haluan juga sebagai kapten atau nahkoda yang
menentukan dan mengarahkan arah kapal.
Struktur sosial terakhir yaitu Orang Kaya, dimana fungsi ini merupakan fungsi baru
sebagai akibat kontak budaya dari perdagangan. Kata Orang Kaya yang berasal dari bahasa

Melayu tersebut tidak memiliki persamaan dalam bahasa lokal Kei. Dalam cerita di
masyarakat Kepulauan Kei, Orang Kaya merupakan kelompok-kelompok pendatang paling
akhir di Kepeulauan Kei. Mereka kemudian bercampur dengan masyarakat yang telah
terlebih dahulu tiba di Kei dan membentuk suatu sistem sosial. Setelah ada Tuan Tan yang
mengurus internal desa dan Ndir u yan mengurus wilayah perairan, maka tugas dari Orang
Kaya adalah sebagai penghubung dengan dunia luar atau pengurus eksternal. Hal ini

dikarenakan Orang Kaya merupakan pendatang yang awalnya bertujuan untuk berdagang dan
memiliki koneksi atau jaringan perdagangan yang luas di luar Kepulauan Kei. Jadi sangat pas
jika Orang Kaya dijadikan perantara antara desa dan dunia luar.
Selain relasi berupa struktur pemerintahan desa, relasi antara manusia dan perahu
dalam masyarakat Kei terepresentasi dalam ritual-ritual tradisional yaitu ritual perkawinan
dan kematian. Ritual perkawinan dianggap masyarakat Kei sebagai sebuah perpisahan.
Seorang perempuan harus meninggalkan rumah, desa bahkan pulaunya ketika sudah
menikah. Mereka tidak akan selamanya menggunakan nama (fam) dari ayahnya karena ketika
menikah mereka akan menjadi bagian dari rumah atau kapal suaminya. Ketika akan menikah
pihak pria akan memberikan mas kawin berupa meriam yang dianggap lunas perahu untuk
mengganti tubuh1 perempuan sebagai pertukaran perkawinan. Hal ini memunculkan ide
bahwa perempuan yang dianggap sebagai inti dari perahu keluarga yang telah pergi karena
perkawinan harus diganti dengan meriam yang dianggap sebagai lunas perahu atau ibu
perahu agar perahu keluarga yang ditinggalkan bisa tetap berlayar.
Dalam ritual kematian, masyarakat tradisional Kei menggambarkan peti mati sebagai
sebuah perahu. Maka dari itu keluarga harus membuat sebuah peti (perahu) yang kuat dan
baik untuk anggota keluarga yang meninggal agar dia bisas selamat dalam pelayarannya di
dunia yang tak terlihat atau dunia roh. Gambaran tersebut memunculkan gagasan bahwa
kematian diibaratkan sebuah pelayaran, dan rumah yang berduka (rumah dari ibu dan nenek
yang meninggal) mempersiapkan sebuah peti (perahu) untuk perjalanan almarhum.

***

1 Kapal atau perahu dalam masyarakat Kei disimbolkan sebagai seorang perempuan (feminim). Lunas perahu,
yakni kayu dasar memanjang dari depan sampai belakang dengan tiga ruas kayu rusuk kapal dianggap sebagai
“ibu” dari kapal. Papan-papan yang menutupi lambung perahu dianggap sebagai penghubung antara yang
hidup dan yang mati. Yang hidup berada pada papan kering yang tidak terendam air sedangkan yang mati
berada pada papan yang terendam air laut.

Pemaknaan perahu dalam masyarakat di Pulau Morotai yang juga menjadi daerah
tujuan migrasi Austronesia di Halmahera Utara selain memiliki persamaan juga memiliki
perbedaan dengan di Kepulauan Kei. Masyarakat Pulau Morotai membagi jenis kapal ke
dalam tiga jenis yakni fonae (bahasa Ternate) untuk kapal berukuran besar dan berfungsi
untuk memancing, bodi yang berukuran sedang untuk tranportasi antar-jemput dan angkutan
barang, serta katinting perahu bercadik berukuran kecil dan digunakan untuk memancing
solo. Dari ketiga perahu tersebut tercipta sebuah sistem sosial yang sesuai dengan masingmasing perahu.
Perahu fonae biasanya dimiliki oleh sebuah keluarga besar dalam satu nama fam yang
sama. Seluruh awak kapal biasanya juga terdiri dari anggota keluarga besar. Namun
terkadang juga awak kapal bisa dari fam yang berada dalam satu desa. Kapten atau nahkoda
kapal harus berasal dari pemilik kapal atau fonae. Struktur kerja dalam fonae terdiri dari
nahkoda, juru haluan, dan juru tangkap. Jumlahnya paling sedikit empat orang dan paling

banyak bisa lebih dari 10 orang. Struktur dalam fonae tidak mempengaruhi struktur
pemerintahan di desa.
Sementara untuk perahu bodi kurang lebihnya mirip seperti fonae yang dimiliki oleh
sebuah keluarga besar dalam satu fam. Bedayanya dalam bodi pembagian kerjanya tidak
sekompleks fonae. Pada bodi hanya ada nahkoda dan navigator untuk mengarahkan kapal
agar tidak mengahantam karang. Kapten kapal harus sesuai dengan pemiliknya. Jumlah kru
kapal tidak lebih dari lima orang. Lain halnya dengan kantinting yang berukuran paling kecil.
Fungsinya hanya untuk memancing perorangan dengan sasaran tangkapan yang berukuran
kecil-sedang. Kru perahu paling banyak hanya dua orang. Kantinting biasanya dimiliki oleh
masing-masing keluarga. Kru kapal hanya terdiri dari anggota keluaga pemilik katinting.
Dalam kaitannya dengan pemaknaan, masyarakat Pulau Morotai memaknai perahu
hanya sebagai media untuk menjalankan aktifitas sehari-hari seperti melaut, memancing, dan
juga antar-jemput manusia serta barang. Berbeda dengan masyarakat Kepulauan Kei yang
memandang perahu secara simbolis dan filosofis. Struktur kerja yang tercipta dalam kapal
pun tidak mempangaruhi struktur masyarakat atau pemerintahan desa. Hanya saja orang atau
keluarga yang memiliki perahu terutama fonae dan bodi dianggap memiliki kelas sosial yang
lebih tinggi ketimbang orang/keluarga yang hanya memiliki katinting atau tidak memiliki
perahu. Selain itu perahu oleh masyarakat Pulau Morotai dimaknai terbalik dan berbeda
dengan masyarakat Kepulauan Kei. Perahu oleh masyarakat Pulau Morotai tidak dianggap
sebagai perwujudan perempuan sehingga mas kawin ketika menikah tidak memiliki gagasan

lokal sebagai pengganti perempuan yang telah menikah. Bahkan dalam tradisi melaut

masyarakat Pulau Morotai tidak menganjurkan perempuan untuk melaut. Perempuan seperti
konsep dasar manusia hanya menunggu di rumah sampai kelompok laki-laki kembali dari
melaut. Baru setelah sampai di darat perempuan mengambil alih tugas untuk mengolah hasil
laut yang dibawa oleh kelompok laki-laki.

Penutup
Keberadaan perahu dalam proses migrasi para penutur Austronesia menjadi unsur
budaya yang tidak dapat dipisahkan dari kelanjutan budaya Austronesia di Kepulauan
Indonesia. Perahu yang terus eksis hingga saaat ini pasti memiliki sebuah relasi dengan
masyarakat sebagai penggunanya. Berangkat dari relasi sosial dalam pembagian kerja di
dalam perahu, kemudian beberapa kelompok masyarakat yang menjadi penerus generasi
Austronesia memaknai perahu dalam kehidupan keseharian mereka. Contohnya di Kepulauan
Kei dimana masyarakatnya memaknai perahu sebagai seorang perempuan yang terdiri dari
beberapa anggota tubuh. Selain itu masyarakat Kei juga membuat gagasan relasi antara kapal
dengan struktur pemerintahan desa yang terdiri dari malin ankod nangan (mengurus internal
desa wilayah daratan), malin ankod roa (mengurus wilayah perairan), dan orang kaya
(mengurus eksternal desa dan penghubung dengan dunia luar). Relasi lain yang dimiliki
orang Kei terhadap kapal dalam hal ritua perkawinan dan kematian. Ketika akan menikah

pihak laki-laki harus memberi meriam sebagi mas kawin untk menggantikan perempuan yang
dianggap lunas kapal di perahu (rumah) keluarganya. Sementara untuk ritual kematian,
masyarakat Kei memaknai bahwa peti mati sama dengan perahu yang akan mengantar yang
meninggal mengarungi pelayaran di dunia roh.
Lain halnya dengan di Pulau Morotai, masyarakatnya lebih memaknai perahu sesuai
dengan konsep dasar manusia penutur Austronesia yakni sebagai alat untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari seperti melaut dan antar-jemput manusia serat barang. Masyarakat
Pulau Kolorai tidak begitu memaknai perahu sebagai sesuatu yang memiliki nilai simbolis
maupun filosofis. Benar-benar murni penerapan konsep dasar manusia, seperti perempuan
hanya tinggal di rumah menunggu hasil laut dari laki-laki. Setelah sampi di darat perempuan
baru mengambil alih tugas untuk mengolah hasil laut. Perahu juga tidak dimaknai dalam
struktur pemerintahan desa atau pun ritual-ritual tradisional masyarakat. Hal yang sungguh
menarik mengingat kedua tempat tersebut sama-sama memiliki kebudayaan perahu hasil dari
keberlanjutan budaya Austronesia namun memiliki relasi sosial terhadap perahu yang

berbeda. Di satu sisi sangat menjunjung tinggi nilai simbolis dan filosofis dalam membentuk
relasi sosial antara perahu dan masyarakat. Namun di sisi lain mengedepankan konsep dasar
dari manusia yang memaknai perahu sebagai media untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Referensi
Barraud, Cecile. 1995. Le Bateu Dans la Societe ou la Societe en Bateu?. Dans
L’Anthropolgie Maritime, Cahier No.5.
____________. 1979. Tanebar-Evav. Une Societe de maisons tournee vers le large.
Cambridge-Unversity Press: Paris.
Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Gramedia Pustaka Utama:
Indonesia.
Manguin, Pierre-Yves. 1986. Shipshape Societies: Boat Symbolism and Political Systems in
Insular South-East Asia pp.187-213. Institute of Southeast Asian Studies: Singapore.
Refo,

Ignasius.

2015.

Dari

Kapal

Menuju

Masyarakat.

Diakses

dari

http://ignasiusrefo.blogspot.co.id/2015/10/dari-kapal-menuju-masyarakat-nenek.html
tanggal 18 Oktober 2016: Yogyakarta.