KONSEKUENSI YURIDIS SUATU PRODUK HUKUM Y
KONSEKUENSI YURIDIS SUATU PRODUK HUKUM YANG DIBUAT
TANPA DASAR KEWENANGAN YANG TIDAK JELAS
MAKALAH
Untuk memenuhi tugas Politik Hukum
Program Studi Magister Hukum
Konsentrasi Hukum Kenegaraan
Disusun oleh:
ARYANI WIDHIASTUTI
14/371187/PHK/8175
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan Negara hukum, sebagaimana yang
dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945). Sebagai Negara
hukum memberikan konsekuensi bahwa segala kebijakan sebagai suatu
politik hukum yang dibentuk dan dilakukan dalam penyelenggaraan Negara
harus berlandaskan pada hukum yang telah dibuat. Untuk melegitimasi
berlakunya hukum maka diperlukan suatu pembentukan peraturan perundangundangan sebagai produk hukum.
Ada dua macam kelompok produk
hukum1:
1. Regelling (Peraturan) adalah produk hukum tertulis yang substansinya
mempunyai daya ikat terhadap sebagian/ seluruh penduduk wilayah
Negara.
2. Beschikking (keputusan tata usaha Negara (eksekutif) dan putusan
(yudikatif)) adalah penetapan tertulis yang dibuat oleh pejabat TUN
mendasarkan diri pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dan bersifat kongkret, individual, final.
Sebagai suatu politik hukum, maka harus memenuhi beberapa unsur
diantaranya (1) Harus ada perbuatan aparat yang berwenang, (2) setiap aparat
mempunyai fungsi, (3) adanya alternatif yang sudah disediakan Negara untuk
di pilih (4) harus ada produk hukum baru yang lahir, (5) harus ada tujuan
Negara yang akan diwujudkan. Melihat unsur nomor (1) bahwa produk
hukum sebagai wujud kongkret sekaligus sebagai upaya melegitimasi langkah
kebijakan yang diambil penyelenggara Negara dalam penyelenggaraan
Negara, harus dibuat oleh suatu aparat yang berwenang. Lantas bagaimana
apabila produk hukum yang dibuat tersebut tidak berasal dari aparat yang
berwenang mengeluarkan produk hukum tersebut? Berdasarkan latar
1 Muchsan disampaikan dalam kuliah Politik Hukum pada Program Pascasarjana Magister
Hukum Konsentrasi Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 03
Oktober 2014
1
belakang permasalahan diatas, penulis akan melakukan suatu analisis terkait
konsekuensi yuridis suatu produk hukum yang dibuat tanpa dasar
kewenangan yang tidak jelas.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana kewenangan membuat suatu produk hukum?
2. Apakah konsekuensi yuridis suatu produk hukum yang dibuat tanpa dasar
kewenangan yang tidak jelas?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kewenangan Membuat Suatu Produk Hukum
Telah dijelaskan diatas bahwa produk hukum terdiri dari dua macam,
yaitu peraturan (regelling) dan keputusan TUN (beschikking). Peraturan
merupakan hukum yang bersifat in abstracto atau general norm yang sifatnya
mengikat umum (berlaku umum) dan tugasnya adalah mengatur hal-hal yang
bersifat umum2. Berdasarkan penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum
dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundangundangan.
Tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
saat ini, diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Ketentuan Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menyebutkan hierarki peraturan perundang-undangan
yaitu:
1. UUD 1945;
2. Ketetapan MPR;
3. UU/Perpu;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Perda Provinsi;
7. Perda Kabupaten/Kota.
Selain jenis peraturan perundang-undangan diatas, masih terdapat peraturan
perundang-undangan yang lain yang dijelaskan dalam Pasal 8: “Jenis
peraturan perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain
peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, KY, Bank
2 SF. Marbun dan Moh. Mahfud, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta,
1987, hlm. 94
3
Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat
yang dibentuk oleh UU atau pemerintah atas perintah UU, DPRD Provinsi,
Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota,Kepala Desa atau yang
setingkat”. Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 8 ayat (2) menyebutkan
bahwa jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dalam ketentuan
ayat (1), tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Kewenangan legislasi
bagi pemerintah atau administrasi Negara yang bersifat mandiri, dalam arti
hanya dibentuk oleh pemerintah tanpa keterlibatan DPR, berwujud
keputusan-keputusan yang merupakan atau tergolong sebagai peraturan
perundang-undangan. Menurut Philipus M. Hadjon, bentuk keputusan tata
Negara demikan tidak merupakan bagian dari perbuatan keputusan, tetapi
termasuk perbuatan tata usaha Negara di bidang pembuatan peraturan 3. Suatu
produk hukum, meskipun dibuat oleh pemerintah atau pejabat administrasi
Negara, tidaklah selalu merupakan suatu beschikking (keputusan) namun
produk hukum tersebut dapat berbentuk peraturan yang bersifat mengatur
secara umum, layaknya peraturan perundang-undangan.
Sedangkan keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) menurut Pasal
1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau
pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.
Istilah “keputusan” ini dalam beberapa literature terkadang disebut
sebagai “ketetapan”. Namun dalam buku Ridwan HR disebutkan bahwa
Djaenal Hoesen dan Muchsan mengatakan bahwa penggunaan istilah
keputusan barang kali akan lebih tepat untuk menghindari kesimpangsiuran
3 Philipus M. Hadjon, Pemerintahan Menurut Hukum (Wet-en Rechtmatigheid van Bestuur),
makalah tidak dipublikasikan, dikutip dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 143-144
4
pengertian dengan istilah ketetapan. Menurutnya, di Indonesia istilah
ketetapan sudah memiliki pengertian teknis yuridis yaitu sebagai ketetapan
MPR yang berlaku ke luar dan ke dalam4. Suatu keputusan dapat dibuat oleh
organ pemerintahan atau pejabat atat usaha negara yang mempunyai
wewenang untuk mengeluarkan suatu keputusan tersebut. Lalu siapa yang
termasuk dalam organ pemerintahan atau pejabat tata usaha negara? Pasal 1
angka 8 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara menjelaskan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan
atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya Indroharto mengelompokkan
organ pemerintahan atau tata usaha Negara itu diantaranya5:
1. Instansi-instansi resmi pemerintah yang berada di bawah Presiden
sebagai kepala eksekutif;
2. Instansi-instansi dalam lingkungan Negara di luar lingkungan
kekuasaan eksekutif yang berdasarkan perturan perundangundangan melaksanakan tugas-tugas pemerintahan;
3. Badan-badan hukum perdata yang didirikan oleh Pemerintah
dengan maksud untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan;
4. Instansi-instansi yang merupakan kerja sama antara pihak
pemerintah dengan pihak swasta yang melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan;
5. Lembaga-lembaga hukum swasta yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan sistem periiizinan melaksanakan tugas
pemerintahan.
Lembaga
pemerintahan
dalam
membuat
pengaturan
atau
mengeluarkan keputusan harus dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh
dari konstitusi secara atribusi, delegasi atau mandat. Macam kewenangan
berdasarkan cara perolehan:
4 Djaenal Hoesen Koesoemahatmadja, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara, Alumni,
Bandung, 1979, hlm. 47, Muchsan, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negaradan
Peradilan Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981, dalam Ridwan HR, Ibid., hlm.
143-144
5 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan tata Usaha Negara, Sinar
Harapan, Jakarta, 1993, hlm. 137
5
a. Bersifat orisinal
Kewenangan yang langsung diperoleh dari peraturan perundangundangan dan bersifat permanen.
b. Bersifat non orisinal/ tidak asli
Kewenangan yang diperoleh dari peralihan/ pelimbapahn wewenang
dan bersifat sementara. Peralihan/ pelimoahan wewenang itu
dikarenakan adanya:
1) Delegasi
Pemberi delegasi disebut delegans. Penerima delegasi disebut
delegataris. Semua kewenangan beralih pada delegataris.
2) Mandat
Pemberi mandat disebut mandans. Sedangkan penerima mandat
disebut mandataris. Dalam member mandate, yang beralih hanya
sebagian
kewenangan.
Pertanggungjawaban
ada
di
tangan
mandataris.
Wewenang yang diperoleh secara atribusi bersifat asli yang berasal
dari peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, organ pemerintahan
memperoleh kewenangan secara langsung dari redaksi pasal tertentu dalam
suatu peraturan perundang-undangan. Dalam hal atribusi, penerima
wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang
yang sudah ada dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan
wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang
(atributaris). Ada delegasi, tidak ada penciptaan wewenang, namun hanya ada
pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat yang lainnya.
Tanggungjawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi delegasi (delegans),
tetapi beralih pada penerima delegasi (delegataris). Sementara itu, pada
mandate, penerima mandate (mandataris) hanya bertindak untuk dan atas
nama pemberi mandate (mandans), tanggung jawab akhir keputusan yang
diambil mandataris tetap berada pada mandans6. Perlu mendapat perhatian
bahwa kewenangan yang mendelegasikan kepada suatu alat penyelenggaraan
negara tidak dapat didelegasikan lebih lanjut kepada alat penyelenggara
6 Ridwan HR, Ibid., hlm. 108-109
6
negara lain, kecuali jika oleh Undang-Undang yang mendelegasikan
kewenangan tersebut dibuka kemungkinan untuk itu. Prinsip subdelegasi ini
banyak diperdebatkan. Pemikiran awal adalah , delegates non potest delegare
( the delegate may not delegate), maka subdelegasi itu hanya boleh dilakukan
jika kewenangan untuk melakukannya ditentukan secara tegas dalam undangundang yang memberikan delegasi pertama. Bagi pemikiran doktrin
pemisahan kekuasaan, membatasi eksekutif dari kebutuhan untuk mengatur
sendiri pelaksanaan tugas-tugasnya di bidang eksekutif, dianggap tidak terlalu
relevan7
Sebagaimana terlihat pada ajaran Rousseau, pembentukan peraturan
negara yang mengikat warga negara dan penduduk secara umum (dari segi
adressat) dan secara abstrak (dari segi hal yang diaturnya) beserta sanksi
pidana dan sanksi pemaksaannya pada hakikatnya semua itu berasal dari
fungsi legislatif yang bersumber pada volonte generale. Dalam perkembangan
selanjutnya, ketika badan legislatif sering terlambat mengikuti perkembangan
masyarakat, badan legislatif melimpahkan sebagian dari kewenangan
legislatifnya kepada badan eksekutif sehingga badan eksekutif ikut pula
membentuk
peraturan
perundang-undangan.
Hal
ini
merupakan
perkembangan revolusioner dari teori Trias Politica Montesquieu yang
menempatkan pemerintah hanya sebagai pelaksana undang-undang. Bertitik
tolak dari penjelasan tersebut, maka pada hakikatnya kewenangan pemerintah
atau pejabat administrasi negara dalam pembentukan peraturan perundangundangan merupakan kewenangan yang bersifat pelimpahan (delegated
authority) karena kewenangan asli (original authority) pembentukan
peraturan perundang-undangan ada pada badan legislatif. Pendelegasian
kewenangan
legislatif
kepada
pemerintah
(eksekutif)
atau
pejabat
administrasi negara membuat pejabat pemerintah atau pejabat administrasi
negara memiliki kewenangan legislatif seperti halnya pembentuk undang-
7 Jimly Assiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu
Populer, Jakarta, 2007 dikutip dalam Totok Soeprijanto, Sepintas Kajian Tata Urutan PerundangUndangan Dan Pendelegasian Wewenang Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan, Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Jakarta, hlm. 4
7
undang asli (badan legislatif)8. Mendasarkan hal tersebut, dapat ditarik
kesimpulan bahwa produk hukum yang merupakan peraturan dibuat oleh
badan legislatif berasal dari kewenangan atribusi yang langsung diberikan
oleh peraturan perundang-undangan, sedangkan produk hukum keputusan
yang berasal dari eksekutif atau pejabat administrasi Negara berasal dari
kewenangan yang diperoleh secara delegasi.
B. Konsekuensi Yuridis Suatu Produk Hukum yang Dibuat Tanpa Dasar
Kewenangan Yang Tidak Jelas
Dalam perkuliahan dengan Prof. Muchsan dijelaskan bahwa absahnya produk
hukum harus memenuhi 2 persyaratan:
1. Bersifat materiil
a. Produk hukum yang lahir harus dibuat aparat yang berwenang
b. Dalam penyusunannya tidak mengalami kekurangan yuridis
c. Tujuan produk hukum sesuai dengan tujuan dasarnya
2. Bersifat formil
a. Bentuk produk hukum harus sama dengan produk hukum yang
dikehendaki
b. Proses pembuatannya harus sama dengan yang sudah diatur dalam
peraturan
c. Semua persyaratan yang bersifat khusus harus terakomodasi dalam
produk hukum yang baru lahir.
Dalam kajian ini, penulis akan fokus pada pembahasan mengenai unsur
“Produk hukum yang lahir harus dibuat aparat yang berwenang”. Lalu
bagaimana apabila produk hukum tersebut dibuat tanpa kewenangan yang
tidak jelas?
Dalam merumuskan norma hukum yang kongkret dalam suatu
peraturan perundang-undangan maka harus berpedoman pada suatu asas
hukum. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
adalah asas hukum yang memberikan peoman dan bimbingan bagi penuangan
8 Arif Christiono Soebroto, Kedudukan Hukum Peraturan/Kebijakan Dibawah Peraturan Menteri
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas disampaikan dalam Workshop
Peraturan Kebijakan di Kementerian PPN Bappenas,Jakarta, hlm. 2
8
isi peraturan, ke dalam bentuk dan susunan yang sesuai, tepat dalam
penggunaan metodenya, serta mengikuti proses dan prosedur pembentukan
yang telah ditentukan9.
I.C. van derv lies membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan
Negara yang baik ke dalam asas-asas yang formal dan yang material. Asasasas formal meliputi:
1. asas tujuan yang jelas
2. asas organ/lembaga yang tepat
3. asas perlunya pengaturan
4. asas dapat dilaksanakan
5. asas consensus
Sedangkan asas-asas material terdiri dari:
1. Asas tentang terminology dan sistematika yang benar
2. Asas tentang dapat dikenali
3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum
4. Asas kepastian hukum
5. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan10
Mengenai asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dijabarkan
pula oleh A. Hamid S. Attamimi, yang menyebutnya sebagai asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut, diantaranya11:
1. Asas tujuan yang jelas;
2. Asas perlunya pengaturan;
3. Asas organ/lembaga dan materi muatan yang tepat;
4. Asas dapatnya dilaksanakan;
5. Asas dapatnya dikenali;
6. Asas perlakuan yang sama dalam hukum;
7. Asas kepastian hukum;
8. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.
9 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum (Sebuah Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 2006, hlm.
11
10 I.C. Van Der Vlies, Het Wetsbegrip en Beginselen van Behoorlijke regelgeving,’sGravenhage:Vuga 1984 hal 186 seperti dikutip oleh A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan
Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi Doktor
Universitas Indonesia, Jakarta, 1990. hlm. 330
11 Ibid. hlm. 344-345
9
Sedangkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juga menyebutkan, dalam
membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan
pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang
meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Berdasarkan penjelasan Pasal 5 huruf b, kelembagaan atau organ pembentuk
yang tepat diartikan bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus
dibuat oleh lembaga /pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang
berwenang. Dalam beberapa pendapat ahli dan dalam peraturan perundangundangan Indonesia sendiri yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menyebutkan bahwa
“organ yang tepat dalam membuat peraturan perundang-undangan”
merupakan salah satu asas/unsur pembentukan peraturan perundangundangan yang baik. Apabila suatu peraturan perundang-undangan tersebut
dibuat oleh pihak yang tidak mempunyai kewenangan yang jelas sebagai
pembuat peraturan perundang-undangan tersebut maka tidak memenuhi salah
satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian,
peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi
hukum, sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 5 huruf b, bahwa
apabila
peraturan
perundang-undangan
tersebut
dibuat
oleh
lembaga/pejabat yang tidak berwenang, maka Peraturan perundangundangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum.
Begitupula dijelaskan oleh Totok Soeprijanto, dalam ilmu hukum,
perundang-undangan adalah sah (valid) apabila dibuat oleh lembaga atau
otoritas yang berwenang membentuknya dan berdasarkan norma yang lebih
10
tinggi, sehingga berlaku norma yang lebih rendah (inferior) dapat dibentuk
oleh norma yang lebih tinggi (superior), karena perundang-undangan
susunannya berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis membentuk suatu hierarki 12.
Maria Farida Indrati dalam bukunya Ilmu Perundang-Undangan menjelaskan
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini
(sejak era reformasi) terdapat kecenderungan untuk meletakkan asas-asas
hukum atau asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut
di dalam salah satu pasal-pasal awal, atau dalam Bab Ketenuan Umum
(dalam hal ini Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan
Peraturan
Perundang-Undangan). Apabila
hal
tersebut
dilakukan, maka hal itu tidaklah sesuai dengan pendapat Paul Scholten
(sebuah asas hukum bukanlah sebuah aturan hukum), atau dengan perkataan
lain peraturan perundang-undangan tersebut sudah menjadikan suatu asas
huku atau asas pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi suatu
norma hukum. Sebagai suatu norma hukum hal tersebut akan berakibat
adanya suatu sanksi apabila asas-asas tersebut tidak dipenuhi atau tidak
dilaksanakan13.
Mengenai KTUN, melihat dari definisi KTUN dalam Pasal 1 angka 9
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
diketahui bahwa KTUN memiliki unsur-unsur antara lain:
1. penetapan tertulis;
2. dieluarkan oleh badan/pejabat TUN;
3. berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku;
4. bersifat konkret, individual, dan final;
5. menimbulkan akibat hukum;
6. seseorang atau badan hukum perdata.
Pembuatan KTUN harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan
maupun berdasarkan pada wewenang pemerintahan yang diberikan oleh
epraturan perundang-undangan. Tanpa dasar kewenangan, pemerintah atau
12 Totok Soeprijanto. Op. cit., hlm. 1
13 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi, Materi muatan), Penerbit
Kanisius, Yogyakarta,2007. Hlm. 264-265
11
pejabat atat usaha Negara tidak dapat membuat dan mengeluarkan KTUN,
dan apabila KTUN dikeluarkan oleh pemerintah atau pejabat yang tidak
mempunyai wewenang, maka KTUN tersebut menjadi tidak sah. Memahami
beberapa penjabaran tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa suatu produk
hukum baik peraturan maupun KTUN, harus dikeluarkan oleh pihak yang
mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan produk hukum tersebut,
apabila produk hukum tersebut dikeluarkan oleh pihak yang tidak mempunyai
kewenangan yang jelas, maka produk hukum tersebut menjadi tidak sah dan
produk hukum tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum.
BAB III
12
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kewenangan membuat suatu produk hukum oleh Pemerintah maupun tata
usaha Negara dapat berasal dari kewenangan atribusi, mandat maupun
delegasi. Kewenangan atribusi merupakan bentuk kewenangan yang
langsung berasal dari peraturan perundang-undangan kepada suatu
lembaga Negara/pemerintahan. Delegasi adalah pelimpahan wewenang
dari organ pemerintahan yang telah memperoleh kewenangan secara
atribusi kepada organ pemerintahan lain. Sedangkan mandat berasal dari
perintah atasan untuk melakukan sesuatu.
2. Konsekuensi yuridis suatu produk hukum yang dibuat tanpa dasar
kewenangan yang tidak jelas adalah produk hukum tersebut menjadi tidak
sah dan produk hukum tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum.
B. Saran
Dalam membuat dan mengeluarkan suatu produk hukum, lembaga Negara/
organ Negara tersebut harus mempunyai kewenangan yang jelas sebagai
lembaga/organ yang berwenang untuk membuat dan mengeluarkan produk
hukum, baik kewenangan tersebut berasal dari atribusi, delegasi, mandat.
Tujuannya adalah agar produk hukum tersebut sah dan dapat berlaku,
mengikat subyek hukum produk hukum tersebut.
13
DAFTAR PUSTAKA
A. Hamid S. Attamimi. 1990. Disertasi. Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara.
Jakarta:
Universitas Indonesia
Arif Christiono Soebroto. Makalah. Kedudukan Hukum Peraturan/Kebijakan
Dibawah Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Bappenas
disampaikan dalam Workshop Peraturan Kebijakan di
Kementerian PPN Bappenas. Jakarta
Indroharto. 1993. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan tata
Usaha Negara. Jakarta: Sinar Harapan
Maria Farida Indrati S,. 2007. Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi, Materi
muatan). Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2006
SF. Marbun dan Moh. Mahfud. 1987. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara.
Yogyakarta: Liberty
Sudikno Mertokusumo. 2006. Penemuan Hukum (Sebuah Pengantar).
Yogyakarta: Liberty
Totok Soeprijanto. Makalah. Sepintas Kajian Tata Urutan Perundang-Undangan
Dan Pendelegasian Wewenang Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan, Pusdiklat
Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Pendidikan dan Pelatihan
Keuangan. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
14
TANPA DASAR KEWENANGAN YANG TIDAK JELAS
MAKALAH
Untuk memenuhi tugas Politik Hukum
Program Studi Magister Hukum
Konsentrasi Hukum Kenegaraan
Disusun oleh:
ARYANI WIDHIASTUTI
14/371187/PHK/8175
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan Negara hukum, sebagaimana yang
dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945). Sebagai Negara
hukum memberikan konsekuensi bahwa segala kebijakan sebagai suatu
politik hukum yang dibentuk dan dilakukan dalam penyelenggaraan Negara
harus berlandaskan pada hukum yang telah dibuat. Untuk melegitimasi
berlakunya hukum maka diperlukan suatu pembentukan peraturan perundangundangan sebagai produk hukum.
Ada dua macam kelompok produk
hukum1:
1. Regelling (Peraturan) adalah produk hukum tertulis yang substansinya
mempunyai daya ikat terhadap sebagian/ seluruh penduduk wilayah
Negara.
2. Beschikking (keputusan tata usaha Negara (eksekutif) dan putusan
(yudikatif)) adalah penetapan tertulis yang dibuat oleh pejabat TUN
mendasarkan diri pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dan bersifat kongkret, individual, final.
Sebagai suatu politik hukum, maka harus memenuhi beberapa unsur
diantaranya (1) Harus ada perbuatan aparat yang berwenang, (2) setiap aparat
mempunyai fungsi, (3) adanya alternatif yang sudah disediakan Negara untuk
di pilih (4) harus ada produk hukum baru yang lahir, (5) harus ada tujuan
Negara yang akan diwujudkan. Melihat unsur nomor (1) bahwa produk
hukum sebagai wujud kongkret sekaligus sebagai upaya melegitimasi langkah
kebijakan yang diambil penyelenggara Negara dalam penyelenggaraan
Negara, harus dibuat oleh suatu aparat yang berwenang. Lantas bagaimana
apabila produk hukum yang dibuat tersebut tidak berasal dari aparat yang
berwenang mengeluarkan produk hukum tersebut? Berdasarkan latar
1 Muchsan disampaikan dalam kuliah Politik Hukum pada Program Pascasarjana Magister
Hukum Konsentrasi Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 03
Oktober 2014
1
belakang permasalahan diatas, penulis akan melakukan suatu analisis terkait
konsekuensi yuridis suatu produk hukum yang dibuat tanpa dasar
kewenangan yang tidak jelas.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana kewenangan membuat suatu produk hukum?
2. Apakah konsekuensi yuridis suatu produk hukum yang dibuat tanpa dasar
kewenangan yang tidak jelas?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kewenangan Membuat Suatu Produk Hukum
Telah dijelaskan diatas bahwa produk hukum terdiri dari dua macam,
yaitu peraturan (regelling) dan keputusan TUN (beschikking). Peraturan
merupakan hukum yang bersifat in abstracto atau general norm yang sifatnya
mengikat umum (berlaku umum) dan tugasnya adalah mengatur hal-hal yang
bersifat umum2. Berdasarkan penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum
dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundangundangan.
Tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
saat ini, diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Ketentuan Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menyebutkan hierarki peraturan perundang-undangan
yaitu:
1. UUD 1945;
2. Ketetapan MPR;
3. UU/Perpu;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Perda Provinsi;
7. Perda Kabupaten/Kota.
Selain jenis peraturan perundang-undangan diatas, masih terdapat peraturan
perundang-undangan yang lain yang dijelaskan dalam Pasal 8: “Jenis
peraturan perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain
peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, KY, Bank
2 SF. Marbun dan Moh. Mahfud, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta,
1987, hlm. 94
3
Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat
yang dibentuk oleh UU atau pemerintah atas perintah UU, DPRD Provinsi,
Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota,Kepala Desa atau yang
setingkat”. Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 8 ayat (2) menyebutkan
bahwa jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dalam ketentuan
ayat (1), tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Kewenangan legislasi
bagi pemerintah atau administrasi Negara yang bersifat mandiri, dalam arti
hanya dibentuk oleh pemerintah tanpa keterlibatan DPR, berwujud
keputusan-keputusan yang merupakan atau tergolong sebagai peraturan
perundang-undangan. Menurut Philipus M. Hadjon, bentuk keputusan tata
Negara demikan tidak merupakan bagian dari perbuatan keputusan, tetapi
termasuk perbuatan tata usaha Negara di bidang pembuatan peraturan 3. Suatu
produk hukum, meskipun dibuat oleh pemerintah atau pejabat administrasi
Negara, tidaklah selalu merupakan suatu beschikking (keputusan) namun
produk hukum tersebut dapat berbentuk peraturan yang bersifat mengatur
secara umum, layaknya peraturan perundang-undangan.
Sedangkan keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) menurut Pasal
1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau
pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.
Istilah “keputusan” ini dalam beberapa literature terkadang disebut
sebagai “ketetapan”. Namun dalam buku Ridwan HR disebutkan bahwa
Djaenal Hoesen dan Muchsan mengatakan bahwa penggunaan istilah
keputusan barang kali akan lebih tepat untuk menghindari kesimpangsiuran
3 Philipus M. Hadjon, Pemerintahan Menurut Hukum (Wet-en Rechtmatigheid van Bestuur),
makalah tidak dipublikasikan, dikutip dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 143-144
4
pengertian dengan istilah ketetapan. Menurutnya, di Indonesia istilah
ketetapan sudah memiliki pengertian teknis yuridis yaitu sebagai ketetapan
MPR yang berlaku ke luar dan ke dalam4. Suatu keputusan dapat dibuat oleh
organ pemerintahan atau pejabat atat usaha negara yang mempunyai
wewenang untuk mengeluarkan suatu keputusan tersebut. Lalu siapa yang
termasuk dalam organ pemerintahan atau pejabat tata usaha negara? Pasal 1
angka 8 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara menjelaskan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan
atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya Indroharto mengelompokkan
organ pemerintahan atau tata usaha Negara itu diantaranya5:
1. Instansi-instansi resmi pemerintah yang berada di bawah Presiden
sebagai kepala eksekutif;
2. Instansi-instansi dalam lingkungan Negara di luar lingkungan
kekuasaan eksekutif yang berdasarkan perturan perundangundangan melaksanakan tugas-tugas pemerintahan;
3. Badan-badan hukum perdata yang didirikan oleh Pemerintah
dengan maksud untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan;
4. Instansi-instansi yang merupakan kerja sama antara pihak
pemerintah dengan pihak swasta yang melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan;
5. Lembaga-lembaga hukum swasta yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan sistem periiizinan melaksanakan tugas
pemerintahan.
Lembaga
pemerintahan
dalam
membuat
pengaturan
atau
mengeluarkan keputusan harus dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh
dari konstitusi secara atribusi, delegasi atau mandat. Macam kewenangan
berdasarkan cara perolehan:
4 Djaenal Hoesen Koesoemahatmadja, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara, Alumni,
Bandung, 1979, hlm. 47, Muchsan, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negaradan
Peradilan Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981, dalam Ridwan HR, Ibid., hlm.
143-144
5 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan tata Usaha Negara, Sinar
Harapan, Jakarta, 1993, hlm. 137
5
a. Bersifat orisinal
Kewenangan yang langsung diperoleh dari peraturan perundangundangan dan bersifat permanen.
b. Bersifat non orisinal/ tidak asli
Kewenangan yang diperoleh dari peralihan/ pelimbapahn wewenang
dan bersifat sementara. Peralihan/ pelimoahan wewenang itu
dikarenakan adanya:
1) Delegasi
Pemberi delegasi disebut delegans. Penerima delegasi disebut
delegataris. Semua kewenangan beralih pada delegataris.
2) Mandat
Pemberi mandat disebut mandans. Sedangkan penerima mandat
disebut mandataris. Dalam member mandate, yang beralih hanya
sebagian
kewenangan.
Pertanggungjawaban
ada
di
tangan
mandataris.
Wewenang yang diperoleh secara atribusi bersifat asli yang berasal
dari peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, organ pemerintahan
memperoleh kewenangan secara langsung dari redaksi pasal tertentu dalam
suatu peraturan perundang-undangan. Dalam hal atribusi, penerima
wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang
yang sudah ada dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan
wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang
(atributaris). Ada delegasi, tidak ada penciptaan wewenang, namun hanya ada
pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat yang lainnya.
Tanggungjawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi delegasi (delegans),
tetapi beralih pada penerima delegasi (delegataris). Sementara itu, pada
mandate, penerima mandate (mandataris) hanya bertindak untuk dan atas
nama pemberi mandate (mandans), tanggung jawab akhir keputusan yang
diambil mandataris tetap berada pada mandans6. Perlu mendapat perhatian
bahwa kewenangan yang mendelegasikan kepada suatu alat penyelenggaraan
negara tidak dapat didelegasikan lebih lanjut kepada alat penyelenggara
6 Ridwan HR, Ibid., hlm. 108-109
6
negara lain, kecuali jika oleh Undang-Undang yang mendelegasikan
kewenangan tersebut dibuka kemungkinan untuk itu. Prinsip subdelegasi ini
banyak diperdebatkan. Pemikiran awal adalah , delegates non potest delegare
( the delegate may not delegate), maka subdelegasi itu hanya boleh dilakukan
jika kewenangan untuk melakukannya ditentukan secara tegas dalam undangundang yang memberikan delegasi pertama. Bagi pemikiran doktrin
pemisahan kekuasaan, membatasi eksekutif dari kebutuhan untuk mengatur
sendiri pelaksanaan tugas-tugasnya di bidang eksekutif, dianggap tidak terlalu
relevan7
Sebagaimana terlihat pada ajaran Rousseau, pembentukan peraturan
negara yang mengikat warga negara dan penduduk secara umum (dari segi
adressat) dan secara abstrak (dari segi hal yang diaturnya) beserta sanksi
pidana dan sanksi pemaksaannya pada hakikatnya semua itu berasal dari
fungsi legislatif yang bersumber pada volonte generale. Dalam perkembangan
selanjutnya, ketika badan legislatif sering terlambat mengikuti perkembangan
masyarakat, badan legislatif melimpahkan sebagian dari kewenangan
legislatifnya kepada badan eksekutif sehingga badan eksekutif ikut pula
membentuk
peraturan
perundang-undangan.
Hal
ini
merupakan
perkembangan revolusioner dari teori Trias Politica Montesquieu yang
menempatkan pemerintah hanya sebagai pelaksana undang-undang. Bertitik
tolak dari penjelasan tersebut, maka pada hakikatnya kewenangan pemerintah
atau pejabat administrasi negara dalam pembentukan peraturan perundangundangan merupakan kewenangan yang bersifat pelimpahan (delegated
authority) karena kewenangan asli (original authority) pembentukan
peraturan perundang-undangan ada pada badan legislatif. Pendelegasian
kewenangan
legislatif
kepada
pemerintah
(eksekutif)
atau
pejabat
administrasi negara membuat pejabat pemerintah atau pejabat administrasi
negara memiliki kewenangan legislatif seperti halnya pembentuk undang-
7 Jimly Assiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu
Populer, Jakarta, 2007 dikutip dalam Totok Soeprijanto, Sepintas Kajian Tata Urutan PerundangUndangan Dan Pendelegasian Wewenang Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan, Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Jakarta, hlm. 4
7
undang asli (badan legislatif)8. Mendasarkan hal tersebut, dapat ditarik
kesimpulan bahwa produk hukum yang merupakan peraturan dibuat oleh
badan legislatif berasal dari kewenangan atribusi yang langsung diberikan
oleh peraturan perundang-undangan, sedangkan produk hukum keputusan
yang berasal dari eksekutif atau pejabat administrasi Negara berasal dari
kewenangan yang diperoleh secara delegasi.
B. Konsekuensi Yuridis Suatu Produk Hukum yang Dibuat Tanpa Dasar
Kewenangan Yang Tidak Jelas
Dalam perkuliahan dengan Prof. Muchsan dijelaskan bahwa absahnya produk
hukum harus memenuhi 2 persyaratan:
1. Bersifat materiil
a. Produk hukum yang lahir harus dibuat aparat yang berwenang
b. Dalam penyusunannya tidak mengalami kekurangan yuridis
c. Tujuan produk hukum sesuai dengan tujuan dasarnya
2. Bersifat formil
a. Bentuk produk hukum harus sama dengan produk hukum yang
dikehendaki
b. Proses pembuatannya harus sama dengan yang sudah diatur dalam
peraturan
c. Semua persyaratan yang bersifat khusus harus terakomodasi dalam
produk hukum yang baru lahir.
Dalam kajian ini, penulis akan fokus pada pembahasan mengenai unsur
“Produk hukum yang lahir harus dibuat aparat yang berwenang”. Lalu
bagaimana apabila produk hukum tersebut dibuat tanpa kewenangan yang
tidak jelas?
Dalam merumuskan norma hukum yang kongkret dalam suatu
peraturan perundang-undangan maka harus berpedoman pada suatu asas
hukum. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
adalah asas hukum yang memberikan peoman dan bimbingan bagi penuangan
8 Arif Christiono Soebroto, Kedudukan Hukum Peraturan/Kebijakan Dibawah Peraturan Menteri
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas disampaikan dalam Workshop
Peraturan Kebijakan di Kementerian PPN Bappenas,Jakarta, hlm. 2
8
isi peraturan, ke dalam bentuk dan susunan yang sesuai, tepat dalam
penggunaan metodenya, serta mengikuti proses dan prosedur pembentukan
yang telah ditentukan9.
I.C. van derv lies membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan
Negara yang baik ke dalam asas-asas yang formal dan yang material. Asasasas formal meliputi:
1. asas tujuan yang jelas
2. asas organ/lembaga yang tepat
3. asas perlunya pengaturan
4. asas dapat dilaksanakan
5. asas consensus
Sedangkan asas-asas material terdiri dari:
1. Asas tentang terminology dan sistematika yang benar
2. Asas tentang dapat dikenali
3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum
4. Asas kepastian hukum
5. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan10
Mengenai asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dijabarkan
pula oleh A. Hamid S. Attamimi, yang menyebutnya sebagai asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut, diantaranya11:
1. Asas tujuan yang jelas;
2. Asas perlunya pengaturan;
3. Asas organ/lembaga dan materi muatan yang tepat;
4. Asas dapatnya dilaksanakan;
5. Asas dapatnya dikenali;
6. Asas perlakuan yang sama dalam hukum;
7. Asas kepastian hukum;
8. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.
9 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum (Sebuah Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 2006, hlm.
11
10 I.C. Van Der Vlies, Het Wetsbegrip en Beginselen van Behoorlijke regelgeving,’sGravenhage:Vuga 1984 hal 186 seperti dikutip oleh A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan
Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi Doktor
Universitas Indonesia, Jakarta, 1990. hlm. 330
11 Ibid. hlm. 344-345
9
Sedangkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juga menyebutkan, dalam
membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan
pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang
meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Berdasarkan penjelasan Pasal 5 huruf b, kelembagaan atau organ pembentuk
yang tepat diartikan bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus
dibuat oleh lembaga /pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang
berwenang. Dalam beberapa pendapat ahli dan dalam peraturan perundangundangan Indonesia sendiri yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menyebutkan bahwa
“organ yang tepat dalam membuat peraturan perundang-undangan”
merupakan salah satu asas/unsur pembentukan peraturan perundangundangan yang baik. Apabila suatu peraturan perundang-undangan tersebut
dibuat oleh pihak yang tidak mempunyai kewenangan yang jelas sebagai
pembuat peraturan perundang-undangan tersebut maka tidak memenuhi salah
satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian,
peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi
hukum, sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 5 huruf b, bahwa
apabila
peraturan
perundang-undangan
tersebut
dibuat
oleh
lembaga/pejabat yang tidak berwenang, maka Peraturan perundangundangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum.
Begitupula dijelaskan oleh Totok Soeprijanto, dalam ilmu hukum,
perundang-undangan adalah sah (valid) apabila dibuat oleh lembaga atau
otoritas yang berwenang membentuknya dan berdasarkan norma yang lebih
10
tinggi, sehingga berlaku norma yang lebih rendah (inferior) dapat dibentuk
oleh norma yang lebih tinggi (superior), karena perundang-undangan
susunannya berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis membentuk suatu hierarki 12.
Maria Farida Indrati dalam bukunya Ilmu Perundang-Undangan menjelaskan
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini
(sejak era reformasi) terdapat kecenderungan untuk meletakkan asas-asas
hukum atau asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut
di dalam salah satu pasal-pasal awal, atau dalam Bab Ketenuan Umum
(dalam hal ini Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan
Peraturan
Perundang-Undangan). Apabila
hal
tersebut
dilakukan, maka hal itu tidaklah sesuai dengan pendapat Paul Scholten
(sebuah asas hukum bukanlah sebuah aturan hukum), atau dengan perkataan
lain peraturan perundang-undangan tersebut sudah menjadikan suatu asas
huku atau asas pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi suatu
norma hukum. Sebagai suatu norma hukum hal tersebut akan berakibat
adanya suatu sanksi apabila asas-asas tersebut tidak dipenuhi atau tidak
dilaksanakan13.
Mengenai KTUN, melihat dari definisi KTUN dalam Pasal 1 angka 9
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
diketahui bahwa KTUN memiliki unsur-unsur antara lain:
1. penetapan tertulis;
2. dieluarkan oleh badan/pejabat TUN;
3. berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku;
4. bersifat konkret, individual, dan final;
5. menimbulkan akibat hukum;
6. seseorang atau badan hukum perdata.
Pembuatan KTUN harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan
maupun berdasarkan pada wewenang pemerintahan yang diberikan oleh
epraturan perundang-undangan. Tanpa dasar kewenangan, pemerintah atau
12 Totok Soeprijanto. Op. cit., hlm. 1
13 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi, Materi muatan), Penerbit
Kanisius, Yogyakarta,2007. Hlm. 264-265
11
pejabat atat usaha Negara tidak dapat membuat dan mengeluarkan KTUN,
dan apabila KTUN dikeluarkan oleh pemerintah atau pejabat yang tidak
mempunyai wewenang, maka KTUN tersebut menjadi tidak sah. Memahami
beberapa penjabaran tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa suatu produk
hukum baik peraturan maupun KTUN, harus dikeluarkan oleh pihak yang
mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan produk hukum tersebut,
apabila produk hukum tersebut dikeluarkan oleh pihak yang tidak mempunyai
kewenangan yang jelas, maka produk hukum tersebut menjadi tidak sah dan
produk hukum tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum.
BAB III
12
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kewenangan membuat suatu produk hukum oleh Pemerintah maupun tata
usaha Negara dapat berasal dari kewenangan atribusi, mandat maupun
delegasi. Kewenangan atribusi merupakan bentuk kewenangan yang
langsung berasal dari peraturan perundang-undangan kepada suatu
lembaga Negara/pemerintahan. Delegasi adalah pelimpahan wewenang
dari organ pemerintahan yang telah memperoleh kewenangan secara
atribusi kepada organ pemerintahan lain. Sedangkan mandat berasal dari
perintah atasan untuk melakukan sesuatu.
2. Konsekuensi yuridis suatu produk hukum yang dibuat tanpa dasar
kewenangan yang tidak jelas adalah produk hukum tersebut menjadi tidak
sah dan produk hukum tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum.
B. Saran
Dalam membuat dan mengeluarkan suatu produk hukum, lembaga Negara/
organ Negara tersebut harus mempunyai kewenangan yang jelas sebagai
lembaga/organ yang berwenang untuk membuat dan mengeluarkan produk
hukum, baik kewenangan tersebut berasal dari atribusi, delegasi, mandat.
Tujuannya adalah agar produk hukum tersebut sah dan dapat berlaku,
mengikat subyek hukum produk hukum tersebut.
13
DAFTAR PUSTAKA
A. Hamid S. Attamimi. 1990. Disertasi. Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara.
Jakarta:
Universitas Indonesia
Arif Christiono Soebroto. Makalah. Kedudukan Hukum Peraturan/Kebijakan
Dibawah Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Bappenas
disampaikan dalam Workshop Peraturan Kebijakan di
Kementerian PPN Bappenas. Jakarta
Indroharto. 1993. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan tata
Usaha Negara. Jakarta: Sinar Harapan
Maria Farida Indrati S,. 2007. Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi, Materi
muatan). Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2006
SF. Marbun dan Moh. Mahfud. 1987. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara.
Yogyakarta: Liberty
Sudikno Mertokusumo. 2006. Penemuan Hukum (Sebuah Pengantar).
Yogyakarta: Liberty
Totok Soeprijanto. Makalah. Sepintas Kajian Tata Urutan Perundang-Undangan
Dan Pendelegasian Wewenang Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan, Pusdiklat
Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Pendidikan dan Pelatihan
Keuangan. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
14