Kedudukan dan wewenang MA dan KY serta h

KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH
AGUNG DAN KOMISI YUDISIAL SERTA
HUBUNGANNYA DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN INDONESIA PASCA
AMANDEMEN UUD 1945

Oleh:
Nadila Novisha
NPM:
110110130303

2015

Setelah terjadinya masa reformasi pada tahun 1998 telah banyak membuat perubahan
khususnya dalam sistem Lembaga Negara. Perkembangan proses reformasi terhadap
elemen substantif dan struktural telah mengalami proses perubahan yang signifikan,
yang utamanya mengarah pada bidang-bidang hokum yang mengatur elemen-elemen
strategis dalam kehidupan demokrasi seperti perundang-undangan di bidang politik.
KEKUASAAN KEHAKIMAN OLEH MAHKAMAH AGUNG MENURUT UNDANG-UNDANG
DASAR 1945
Keberadaan kekuasaan kehakiman tidak dapat dilepaskan dari teori klasik tentang

pemisahan kekuasaan, dalam mana legislatif, eksekutif dan yudisial berada di tangan tiga
organ yang berbeda. Tujuan diadakannya pemisahan kekuasaan ini adalah untuk mencegah
jangan sampai kekuasaan pemerintah dalam arti kekuasaan eksekutif dilakukan secara
sewenang-wenang, yang tidak menghormati hak-hak yang diperintah. Pada taraf itu
ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan.
Menurut E. Utrecht, teori trias politika dari Montesquieu tidak dapat dilaksanakan
sepenuhnya oleh negara-negara modern dewasa ini, karena paling tidak ada 2 (dua)
keberatan terhadap teori ini:


Ajaran pemisahan kekuasaan dari trias politika membawa akibat tidak adanya
pengawasan yang dapat dilakukan terhadap Ketiga lembaga negara yang dikenal di
dalamnya, hal mana menyebabkan Ketiga lembaga negara tersebut dapat bertindak
sewenang-wenang, dan ini jelas bertentangan dengan tujuan dari teori trias politika



itu sendiri;
Hampir semua negara modern saat ini mempunyai tujuan untuk mencapai
kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya (welfare staat), untuk ini tidak memungkinkan

lagi diadakan pemisahan kekuasaan di antara lembaga-lembaga negaranya. Karena
tujua

ya itu,

aka Pe eri tah suatu

welfare staat , disa pi g

e iliki

kekuasaan eksekutif juga harus mempunyai kekuasaan-kekuasaan lainnya.
Menurut Muhammad Yamin Ketiga konstitusi Indonesia yang pernah berlaku, yaitu UUD
1945, KRIS 1949, dan UUDS 1950, selalu disusun atas ajaran trias politika, sehingga
pembagian atas tiga cabang kekuasaan berlaku.

Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) menegaskan bahwa Kekuasaan
kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah

Mahkamah Konstitusi.
Kewenangan Mahkamah Agung diatur didalam Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945 (Hasil
Perubahan Ketiga) yang menegaskan bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili pada
tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, dan
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang. Kewenangan tersebut
tercantum di dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, yakni Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi.
Selanjutnya kewajiban Mahkamah Agung diatur didalam Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945
(Hasil Perubahan Pertama) yang menegaskan bahwa Mahkamah Agung memberikan
pertimbangan dalam hal Presiden memberi grasi dan rehabilitasi. Mahkamah Agung
dipimpin oleh seorang Ketua Mahkamah Agung. Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan
oleh hakim agung, dan diangkat oleh Presiden. Keanggotaan Mahkamah Agung terdiri dari
hakim agung (paling banyak 60 orang). Hakim agung dapat berasal dari sistem karier (hakim)
dan non karier. Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan
Rakyat, untuk kemudian mendapat persetujuan dan ditetapkan sebagai hakim agung oleh
Presiden.
Tap MPR X Tahun 1998 menetapkan kekuasaan kehakiman bebas dan terpisah dari
kekuasaan eksekutif, kebijakan satu atap kemudian diatur dan dijabarkan dalam UU Nomor
35/1999 tentang Perubahan UU Nomor 14/1970, dan telah dicabut serta dinyatakan tidak
berlaku oleh UU Nomor 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun tentang MA diatur

dalam UU Nomor 5/2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 14/1985. Selanjutnya, Keppres
Nomor 21/2004 tentang Pelaksanaan Pengalihan Urusan Organisasi, Administrasi, dan
Finansial Lembaga Peradilan dari Depkeh ke MA.
Mahkamah Agung (MA) merupakan puncak kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Kekuasaan Kehakiman itu seperti ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945
merupakan kekuasaan yang merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.

Ba yak ya g

e afsirka

ahwa dala

perkataa

erdeka da terlepas dari pe garuh

kekuasaan pemerintah itu, terkandung pengertian yang bersifat fungsional dan sekaligus
institusional. Tetapi, ada yang hanya membatasi pengertian perkataan itu secara fungsional
saja, yaitu bahwa kekuasaan pemerintah itu tidak boleh melakukan intervensi yang bersifat

atau yang patut dapat diduga akan mempengaruhi jalannya proses pengambilan keputusan
dalam penyelesaian perkara yang dihadapi oleh Hakim. Karena itu penjelasan kedua pasal
itu mengenai kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan Mahkamah Agung, langsung
dikaitkan dengan jaminan mengenai kedudukan para Hakim. Maksudnya ialah agar para
Hakim dapat bekerja profesional dan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah,
kedudukannya haruslah dijamin dalam undang-undang.
Karena itu, kemerdekaan kekuasaan kehakiman itu haruslah dipahami dalam konteks
kemerdekaan para Hakim dalam menjalankan tugasnya. Karena itu, menurut pandangan ini,
kedudukan para Hakim yang merdeka itu tidak mutlak harus diwujudkan dalam bentuk
pelembagaan yang tersendiri. Jalan pikiran demikian inilah yang berlaku selama ini, sehingga
tidak pernah terbayangkan bahwa kekuasaan Mahkamah Agung dapat dikembangkan dalam
satu atap kekuasaan kehakiman yang mandiri secara institusional. Celakanya, praktek yang
terjadi sejak Indonesia merdeka sampai berakhirnya era Orde Baru cenderung menunjukkan
bahwa proses peradilan di lingkungan lembaga-lembaga pengadilan di seluruh tanah air juga
seringkali justru dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah. Akibatnya, kekuasaan kehakiman
kita bukan saja tidak merdeka secara institusional administratif, tetapi juga secara
fungsional-prosesual dalam proses penyelesaian perkara keadilan.
Sebagai badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung (MA)
merupakan Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang dalam
melaksakan tugasnya terlepas dari pengaruh Pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain serta

melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan yang lain.
KEDUDUKAN DAN FUNGSI KOMISI YUDISIAL MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Kedudukan dari Komisi Yudisial diatur dalam ketentuan Pasal 1 Butir ke-1 Undang
Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang berbunyi: "Komisi Yudisial adalah
lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945". Ketentuan ini menegaskan bahwa kedudukan Komisi Yudisial adalah

sebagai lembaga negara yang keberadaannya bersifat konstitusional. Menurut Pasal 2
Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 menegaskan bahwa "Komisi Yudisial adalah lembaga
negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur
tangan atau pengaruh kekuasaan lain".
Kemandirian Komisi Yudisial itu dijamin oleh ketentuan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945
(Hasil Perubahan Ketiga), yang menegaskan bahwa: "Komisi Yudisial bersifat mandiri yang
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim".
Mengenai wewenang dan tugas dari Komisi Yudisial Republik Indonesia dapat kita temukan
dalam ketentuan Pasal 24A Ayat (3) dan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan
Ketiga) yang dijabarkan dalam Pasal 13 Undang Undang No. 22 Tahun 2004 pada pokoknya
wewenang dari Komisi Yudisial adalah: mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada
Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan

sebagai hakim agung oleh Presiden; dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Kedudukan Komisi Yudisial dalam UUD 1945 (hasil perubahan ketiga), disamakan
dengan lembaga-lembaga negara lain yang juga diatur dalam UUD 1945. Komisi ini
ditentukan dan diatur tersendiri oleh UUD 1945, karena dianggap mempunyai kedudukan
dan posisi yang sangat penting dan strategis dalam upaya menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim di Indonesia. Kedudukan Komisi
Yudisial sesuai dengan Bunyi pasal 24B Ayat (1), seharusnya menjadi lembaga yang benarbenar mandiri, dalam arti tidak berada di bawah kekuasaan manapun termasuk kekuasaan
kehakiman. Sehingga Komisi Yudisial akan benar-benar independen.
Sesuai dengan UUD 1945 (hasil perubahan ketiga), fungsi utama Komisi Yudisial
adalah: mengusulkan pengangkatan hakim agung; dan menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Jadi fungsi tersebut sekaligus
merupakan kewenangan langsung (direct authority) yang diberikan oleh konstitusi kita. Dan
pemberian fungsi langsung tersebut tidak lepas dari koridor reformasi di segala bidang,
khususnya reformasi peradilan.

MENENTUKAN POLA HUBUNGAN MA DAN KY YANG DIANUT UUD 1945 SESUDAH
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 005/PUU-IV/2006.
Pe gertia


pola hu u ga

MA de ga

KY dapat diru uska

se agai

Model/ e tuk hu u ga tata kerja a tara MA dengan KY, pada saat kedua lembaga negara
tersebut saling bekerjasama dan berhubungan secara fungsional dalam rangka
e yele ggaraka Kekuasaa Kehaki a ya g

erdeka, ersih, da

erwi awa .

Dalam konteks Hukum Tata Negara pola hubungan antara lembaga-lembaga negara
dipahami sebagai suatu sistem hubungan dan tata kerja antara lembaga Negara satu dengan
lembaga negara lainnya. UUD 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan
negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan judikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi

MPR, DPR dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa
Keuangan, dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (main
state organs, principal state organs).
Lembaga-lembaga negara dimaksud itulah yang secara instrumental mencerminkan
pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama (main state functions, principal
state functions), sehingga oleh karenanya lembaga-lembaga negara itu pula yang dapat
disebut sebagai lembaga negara utama (main state organs, principal state organs, atau main
state i stitutio s ya g hu u ga

ya satu de ga ya g lai diikat oleh pri sip

ala es . De ga de ikia , pri sip

he ks a d

he ks a d ala es itu terkait erat de ga pri sip

pemisahan kekuasaan negara (separation of powers), dan tidak dapat dikaitkan dengan
persoalan pola hubungan antarsemua jenis lembaga negara, seperti misalnya dalam konteks
hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

Oleh karena itu, memahami hubungan antara lembaga negara dalam perspektif
he ks a d

ala es

di luar ko teks pe isaha

fu gsi-fungsi kekuasaan negara

(separation of powers), seperti dalam hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial, adalah tidak tepat. Walaupun benar bahwa Komisi Yudisial dapat diberi peran
pengawasan, maka pengawasan itu bukanlah dalam rangka checks and balances dan juga
bukan pengawasan terhadap fungsi kekuasaan peradilan, melainkan hanya pengawasan
terhadap perilaku individu-individu hakim.

Kedudukan Komisi Yudisial ditentukan pula dalam UUD 1945 sebagai komisi negara
yang bersifat mandiri, yang susunan, kedudukan, dan keanggotaannya diatur dengan
undang-undang tersendiri, sehingga dengan demikian komisi negara ini tidak berada di
bawah pengaruh Mahkamah Agung ataupun dikendalikan oleh cabang-cabang kekuasaan
lainnya. Dengan kemandirian dimaksud tidaklah berarti tidak diperlukan adanya koordinasi

dan kerja sama antara KY dan MA. Dalam konteks ini, hubungan antara KY dan MA dapat
dikatakan bersifat mandiri tetapi saling berkait (independent but interrelated).
KY merupakan organ yang pengaturannya ditempatkan dalam Bab IX Kekuasaan
Kehakiman, dengan mana terlihat bahwa MA diatur dalam Pasal 24A, KY diatur dalam Pasal
24A Ayat (3) dan Pasal 24B, dan MK diatur dalam Pasal 24C. Pengaturan yang demikian
sekaligus menunjukkan bahwa menurut UUD 1945 KY berada dalam ruang lingkup
kekuasaan kehakiman, meskipun bukan pelaku kekuasaan kehakiman. Pasal 24A Ayat (3)
UUD 1945 berbunyi, "Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisal kepada Dewan
Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai
haki

agu g oleh Preside . Pe gatura ya g de ikia

e u jukka ke eradaa KY dala

sistem ketatanegaraan adalah terkait dengan MA. Akan tetapi, Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945
telah menegaskan bahwa KY bukan merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan
sebagai supporting element atau state auxiliary. Oleh karena itu, sesuai dengan jiwa (spirit)
konstitusi dimaksud, prinsip checks and balances tidak benar jika diterapkan dalam pola
hubungan internal kekuasaan kehakiman. Karena, hubungan checks and balances tidak
dapat berlangsung antara MA sebagai principal organ dengan KY sebagai auxiliary organ. KY
bukanlah pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting element dalam
rangka mendukung kekuasaan kehakiman yang merdeka, bersih, dan berwibawa, meskipun
untuk melaksanakan tugasnya tersebut, KY sendiri pun bersifat mandiri.
Oleh karena itu, dalam perspektif yang demikian, hubungan antara KY sebagai
supporting organ dan MA sebagai main organ dalam bidang pengawasan perilaku hakim
seharusnya lebih tepat dipahami sebagai hubungan kemitraan (partnership) tanpa
mengganggu kemandirian masing-masing, Kemudian dalam Pasal 20 dalam undang-undang
yang sama, dinyatakan bahwa dalam melaksanakan wewenang tersebut Komisi Yudisial
mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka
menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.

Soal hubungan kekuasaan antara lembaga MA dan KY menurut penulis terjadi dalam
2 pola/model yaitu hubungan kewibawaan yang formal (de formele gezagsverhouding) dan
hubungan kemitraan (partnership) berlandaskan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 (Hasil
Perubahan Ketiga), yang menegaskan bahwa: Komisi Yudisial bersifat mandiri yang
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim
dan Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) yaitu Pengusulan pengangkatan
hakim agung di Mahkamah Agung oleh Komisi Yudisial.
Hubungan kewibawaan formal adalah hubungan kelembagaan antara MA dan KY
dalam menjalankan amanat Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) yaitu
Pengusulan pengangkatan hakim agung di Mahkamah Agung oleh Komisi Yudisial. Pasal 24A
Ayat (3) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) berbunyi: "Calon hakim agung diusulkan Komisi
Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya
ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden".
Mekanisme pengusulan dan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR merupakan
salah satu wewenang yang dimiliki oleh Komisi Yudisial (pasal 13 huruf a UUKY). Untuk itu
Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pendaftaran calon, seleksi, menetapkan dan
mengajukan calon Hakim Agung ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Di dalam pasal 15 Ayat (2) UUKY jelas diatur bahwa yang dapat mengajukan calon
Hakim Agung kepada Komisi Yudisial antara lain : Mahkamah Agung, pemerintah, dan
masyarakat. Dari ketentuan tersebut dapat kita simpulkan bahwa calon Hakim Agung dapat
diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu: karir dan non karir. Ini membuka kesempatan
bahwa bilamana dibutuhkan maka seseorang dapat dicalonkan menjadi Hakim Agung tidak
berdasarkan sistem karir kepada Komisi Yudisial (pasal 7 Ayat (2) UU No 5 Tahun 2004
Tentang Mahkamah Agung).
Komisi Yudisial dalam melaksanakan peranannya sebagaimana tersebut di atas,
memiliki waktu kerja paling lama 6 bulan sejak menerima pemberitahuan dari Mahkamah
Agung mengenai lowongan Hakim Agung (pasal 14 Ayat (3) UUKY). Komisi Yudisial hanya
mempunyai waktu 15 hari semenjak menerima pemberitahuan mengenai lowongan Hakim
Agung untuk mengumumkan pendaftaran penerimaan calon Hakim Agung (pasal 15 Ayat (1)

UUKY). Pengumuman pendaftaran tersebut dilakukan 15 hari berturut-turut. Selanjutnya
Mahkamah Agung, pemerintah dan masyarakat dapat mengajukan calon Hakim Agung
selama waktu tersebut.
Setelah 15 hari berakhirnya masa pengajuan calon, Komisi Yudisial melakukan seleksi
persyaratan administrasi calon Hakim Agung. Paling lama dalam jangka waktu 15 hari,
Komisi Yudisial sudah harus mengumumkan daftar calon yang memenuhi persyaratan
administrasi. Kemudian masyarakat diberikan hak seluas-luasnya untuk memberikan
informasi atau pendapatnya dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak diumumkanya
daftar nama calon Hakim Agung yang memenuhi persyaratan administrasi. Dalam jangka
waktu paling lama 30 hari semenjak informasi atau pendapat diterima dari masyarakat luas
berakhir, Komisi Yudisial melakukan penelitian tentang kesahihan informasi tersebut.
Proses penyeleksian terhadap calon Hakim Agung yang telah memenuhi persyaratan
administrasi difokuskan kepada kualitas, dan kepribadian calon berdasarkan standar yang
telah ditetapkan. Disamping itu calon hakim Agung wajib membuat/ menyusun karya ilmiah
dengan topik yang telah ditentukan. Karya ilmiah tersebut sudah diterima Komisi Yudisial
dalam jangka waktu paling lambat sepuluh hari sebelum seleksi dilaksanakan. Seleksi
dilaksanakan secara terbuka dalam jangka waktu paling lama 20 hari. Kemudian dalam
jangka waktu paling lama 15 hari terhitung sejak seleksi berakhir, Komisi Yudisial
menetapkan dan mengajukan tiga orang nama calon Hakim Agung kepada Dewan
Perwakilan Rakyat untuk setiap satu lowongan Hakim Agung, dengan tembusan
disampaikan kepada presiden.
Hubungan kemitraan (partnership) adalah hubungan kerjasama antara MA dan KY
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945.
Sifat kewenangan yang dimiliki oleh KY adalah komplementer. Artinya, tugas
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim bukan
merupakan kewenangan eksklusif yang hanya dimiliki oleh KY saja. Mahkamah Agung
sebagai pengadilan negara tertinggi dari empat lingkungan peradilan di bawahnya juga
mempunyai fungsi pengawasan yang meliputi pengawasan terhadap teknis justisial,
pengawasan administratif, maupun pengawasan terhadap perilaku hakim, sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 yang lebih lanjut diatur dalam Pasal 11 Ayat
(4) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK) dan Pasal 32 UU No 5 Tahun
2004 Tentang Mahkamah Agung (UUMA), yang masing-masing berbunyi:
• Pasal

Ayat

UUD 9

:

Kekuasaa kehaki a dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahka ah Ko stitusi ;
• Pasal

Ayat (4) UUKK:

Mahka ah Agu g

elakuka

pe gawasa

terti ggi atas per uata

pe gadila

dala

lingkungan peradilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan undang-u da g ;
• Pasal

UUMA:

(1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan
peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.
(2) Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para Hakim di semua
lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya.
(3) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang
bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua Lingkungan Peradilan.
(4) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, tegoran, atau peringatan yang
dipandang perlu kepada Pengadilan di semua Lingkungan Peradilan.
(5) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksudkan dalam Ayat (1) sampai dengan
Ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara ;

Berdasarkan Ketentuan diatas dapat disimpulkan bahwa secara melekat (inherent),
MA mempunyai fungsi sebagai pengawas tertinggi dari seluruh badan peradilan di semua
lingkungan peradilan yang berada di bawahnya. Ruang lingkup fungsi pengawasan dimaksud
mencakup ruang lingkup bidang teknis justisial, administrasi, maupun perilaku hakim yang
berkaitan dengan kode etik dan perilaku.

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Bagir Manan, SH., MCL. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara
Pasca Reformasi. Konpress: Jakarta: Konpress.
Jimly Asshiddiqie. 2006. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sekertariat
Jendral Mahkamah Konstitusi RI.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi