Jakarta Masalah dan Solusi yang
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
Jakarta: Masalah dan Solusi
Dr. Ir. Oswar Muadzin Mungkasa MURP
NIP. 19630726 199203 1 001
Direktur Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas
Abstract
During the last several decades there has been rapid growth in the
world’s population, particularly in the urban areas. In 2008, the psychological
threshold of 50 percent of the urban population was exceed. It is even
predicted that by 2030 the number of people living in cities will reach 60
percent of the total population. Among the indicators of such prediction is the
high rate of urbanization in the last ten years, making cities with a population of
over one million people to experience a significant jump. At the turn of the
twentieth century only 16 cities in the world is populated by more than one
million people. Today there are 400 cities with such population size, and
around 70 percent of them are in developing countries.
Along with their growth, management of cities have become an ever
more complex business. The speed and scale by which cities in developing
countries are changing have raised various unforeseen challenges. Among
these are risks on the environment and natural resources, health, social
interaction, and individual rights.
As a metropolitan city, Jakarta has not been exempt from this
phenomena and have shown similar effects. Among the problems the city is
facing are the rapid growth of population, sharp decline of environmental
quality, traffic congestion, more frequent flooding, worsening pollution,
increasing number and severity of crimes, more slum areas growing in all parts
of the city, and many other issues.
Discussions on issues and problems of the Jakarta metropolis have
been held and documented by many. However, the discussions presented in
this document on the issues and problems faced by Jakarta as well as their
proposed solutions are focused on spatial planning and the environment, given
that the purpose of this paper is as a requirement to participate in the tender of
the position of Deputy Governor of the Special Capital Region of Jakarta for
Spatial Planning and the Environment.
The materials presented herein are a compilation of the concepts
offered by a number of experts and complemented by ideas of the author. This
combination is expected to result in a fresh perspective aimed towards
resolving Jakarta’s problems and challenges, particularly in the aforementioned
areas.
Issues and problems related to these subjects that are currently faced
by Jakarta can be viewed from two aspects, namely (i) empirical issues such
as pollution (surface water, ground water, air), traffic congestion, floods, and (ii)
issues relating to climate change, spatial utilization management. In general,
some of the issues and problems presented in this paper have already been
identified and are not newly discovered.
The solutions described herein can be divided into three tiers: (i)
national, (ii) sub-national; and (iii) local. Further, where possible, the period by
which the solution can be implemented is given, which can be in the short,
medium or long term.
In broad terms the solutions offered include (i) raising the awareness of
stakeholders; (ii) engaging the community in a more intensive manner; (iii)
building partnership with the private sector, NGOs, universities and society; (iv)
!
ii!
enhancing regulations and law enforcement; (v) utilization of space and the
control thereof. Other solutions are more oriented towards physical
development.
!
iii!
DAFTAR ISI
Abstract ……………………………………………………………………
Daftar Isi …………………………………………………………………..
I.
Pendahuluan …………………………………………………….
II.
Masalah Jakarta terkait Tata Ruang dan Lingkungan Hidup ..
2.1
Banjir ……………………………………………………… .
2.2
Kemacetan ………………………………………………..
2.3
Pencemaran ………………………………………………
2.4
Wilayah Pesisir …………………………………………...
2.5
Perubahan Iklim ………………………………………….
2.6
Tata Ruang ………………………………………………..
III.
Solusi ………………………………………………………………
3.1
Lingkup Penanganan …………………………………….
3.2
Banjir ..…………………………………………………….
3.3
Kemacetan ………………………………………………..
3.4
Pencemaran Sungai ……………………………………..
3.5
Perubahan Iklim …………………………………………..
3.6
Tata Ruang ………………………………………………..
IV
Penutup ……………………………………………………………
Daftar Pustaka ……………………………………………………………
ii
iv
1
2
2
2
3
5
6
6
7
7
7
9
9
10
11
12
13
!
!
iv!
!
I.
Pendahuluan
Sejak beberapa dekade terakhir, terjadi perkembangan penduduk
dunia yang demikian pesat. Tercatat populasi penduduk dunia saat ini telah
mencapai 6,5 miliar jiwa. Jumlah tersebut akan terus bertambah sehingga
pada tahun 2050 diperkirakan mencapai 9 miliar. Hal yang menarik bahwa
perkembangan penduduk perkotaan ternyata juga meningkat tajam. Pada
tahun 2008, batas psikologis 50 persen proporsi penduduk perkotaan telah
terlampaui. Bahkan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penduduk
perkotaan akan mencapai 60% dari total penduduk dunia (PBB, 2008 dalam
Mungkasa, 2012)
Tingkat urbanisasi dalam 10 tahun terakhir dan jumlah kota dengan
jumlah penduduk di atas 1 juta jiwa menunjukkan perkembangan yang
signifikan. Pada awal abad XX, hanya 16 kota di dunia dengan jumlah
penduduk lebih besar dari 1 juta jiwa. Namun saat ini, hampir 400 kota
dengan ukuran tersebut, dan sekitar 70 persen di negara berkembang.
Diperkirakan pada tahun 2017, karakter perkotaan akan dominan di negara
berkembang (PBB, 2004 dalam Mungkasa, 2012). Meskipun demikian, seiring
pertumbuhan kota, mengelola kota menjadi berubah semakin rumit.
Kecepatan dan skala perubahan kota dari negara berkembang menghasilkan
tantangan yang tak terbayangkan. Diantaranya resiko terhadap lingkungan
dan sumber daya alam, kondisi kesehatan, kekerabatan sosial, dan hak
individual.
Jakarta sebagai salah satu kota metropolitan dunia juga mengalami
fenomena dan dampak yang relatif sama. Pertumbuhan penduduk tinggi,
kualitas lingkungan hidup menurun tajam, kemacetan sepanjang hari, banjir
semakin sering, polusi udara meningkat, tingkat dan kualitas kejahatan
meningkat, kawasan kumuh terlihat hampir di seluruh bagian kota, dan
seterusnya.
Pembahasan mengenai isu dan permasalahan metropolitan Jakarta
telah sering disampaikan dan ditulis oleh berbagai pihak. Namun pada
kesempatan kali ini, isu dan permasalahan kota Jakarta berikut solusinya
akan terfokus hanya pada aspek tata ruang dan lingkungan hidup.
Pemokusan ini dilakukan dengan mempertimbangkan tujuan penulisan
sebagai persyaratan mengikuti lelang terbuka jabatan Deputi Gubernur DKI
Jakarta bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup,
Materi tulisan ini merupakan gabungan dari pemikiran berbagai pihak
ditambah dengan hasil pemikiran dari penulis. Penggabungan ini diharapkan
bisa memberi perspektif baru dalam upaya menyelesaikan permasalahan
kota Jakarta khususnya terkait aspek tata ruang dan lingkungan hidup.
!
1!
II.
Masalah Jakarta terkait Tata Ruang dan Lingkungan Hidup
2.1
Banjir
Sekitar 40 persen dari luasan DKI Jakarta merupakan dataran rendah,
yang ketinggiannya berada di bawah muka air laut pasang 1 sampai dengan
1,5 meter, dan dari 40 persen lahan tersebut baru 11.500 Hektar yang
dilayani dengan Polder. Sementara terdapat 13 aliran sungai menuju laut
diantaranya Kali Mookervart,
Kali Ciliwung, Kali Angke, Kali
Pesanggrahan, Kali Krukut, Kali
Baru Barat, Kali Baru Timur,
Kali Buaran, Kali Grogol, Kali
Cipinang, Kali Jatikramat, Kali
Cakung dan Kali Sunte) yang
kondisinya terus mengalami
pendangkalan dan penyempitan
akibat adanya sampah dan
bangunan liar di sepanjang
sungai, menyebabkan bencana
banjir dari tahun ke tahun
Selain itu, pembangunan
yang sangat pesat di Jabotabek
dan terjadinya perubahan tata
guna lahan di hulu sungai, yang
menjadi penyebab penambahan
debit air pada musim penghujan
yang melebihi batas maksimum,
Pada tahun 2013 total
area terendam seluas 5 Ha
dengan perkiraan kerugian langsung mencapai Rp.117 Milyar.
Secara keruangan, penyebab utama banjir dapat dikelompokkan
dalam 3 (tiga) sumber yaitu (i) kawasan hulu Jakarta; (ii) lokal Jakarta; (iii)
laut. Fungsi hidro-orologis daerah hulu untuk menyimpan air sudah menurun.
Akibatnya fluktuasi debit sungai Ciliwung sangat besar. Perkembangan alih
fungsi lahan pertanian dan hutan menjadi kawasan terbangun menjadi
penyebabnya. (Dahuri, 2012).
2.2
Kemacetan
Kemacetan menjadi keseharian penduduk Jakarta, bahkan Jakarta
diberi gelar sebagai kota termacet di Dunia. Hal ini tidak terbantahkan. Coba
kita simak data jumlah kendaraan. Pada tahun 2010, jumlah kendaraan di
Jakarta mencapai 11,4 juta unit, yang terdiri dari 8,2 juta unit kendaraan roda
dua dan 3,1 juta unit kendaraan roda empat. Tercatat kerugian yang diderita
mencapai Rp.46 Triliun/tahun, yang kira-kira setara dengan 92% APBD DKI
Jakarta. Belum lagi dampaknya terhadap pencemaran udara dan konsumsi
BBM (Ibrahimy, 2011).
Tingkat kemacetan ini semakin diperparah dengan kondisi
penambahan panjang jalan hanya 0,01% per tahun, sementara pertambahan
kendaraan mencapai 11% per tahun.
!
2!
Apa yang menjadi penyebab kemacetan ini?. Setidaknya ditengarai 4
(empat) faktor penyebabnya, yaitu (i) bangkitan lalulintas, yang dimaksudkan
sebagai jumlah perjalanan yang terjadi pada satu waktu yang sama di
Jakarta. Tingginya bangkitan lalulintas ini dipicu oleh banyaknya penduduk
baik penduduk lokal Jakarta maupun pendatang, masih buruknya kondisi
layanan transportasi publik, tata ruang Jakarta yang tidak optimal; (ii)
kapasitas jalan. Rasio pertambahan infrastruktur jalan sangat rendah
dibanding pertambahan kendaraan sehingga daya tampung jalan terlampaui,
rekayasa lalulintas yang belum optimal, pemanfaatan badan jalan oleh
berbagai kegiatan; (iii) perilaku manusia/pengguna. Tingkat disiplin pengguna
jalan masih sangat rendah; (iv) lainnya. Kebijakan pemerintah kurang tepat,
banjir, dan perbaikan jalan (Ibrahimy, 2011).
Sementara itu, upaya penanganan masih belum optimal, diantaranya
berupa (i) Area Traffic Control System (ATCS). Ini salah satu bentuk rekayasa
lalulintas yang memungkinkan pengaturan fase lampu lalu lintas di seluruh
Jakarta. Solusi ini belum optimal karena banyaknya hambatan pada ruas
jalan dan persimpangan; (ii) aturan 3 in 1. Aturan yang mewajibkan mobil
berpenumpang 3 orang ketika melewati jl. Sudirman-jl. Thamrin pada pagi
dan sore hari. Pada dasarnya dampak aturan ini hanya mengurangi lalu lintas
pada jl. Sudirman-jl. Thamrin, tetapi membebani jalan di luar area 3 in 1. Jadi
secara keseluruhan bersifat zero sum game. (iii) busway. Penyediaan bus
pada jaur khusus yang menghubungkan beberapa koridor. Namun, hasilnya
belum optimal karena kualitas layanan yang menurun, dan belum mampu
menarik pemilik mobil memanfaatkan busway; (iv) pembangunan ruas tol
dalam kota. Pada kenyataannya keberadaan jalan tol malah meningkatkan
keinginan masyarakat untuk memiliki mobil (Susantono, 2008); (v) Kereta
listrik. Secara umum berdampak mengurangi bangkitan lalulintas tetapi
kapasitas KRL tidak dapat ditingkatkan karena terkendala banyaknya
persimpangan sebidang dengan jalan darat sehingga frekuensi KRL tidak
dapat ditambah lagi. Selain itu, sistem moda terpadu belum tersedia.
2.3
Pencemaran
Tingkat kepadatan penduduk dan daerah terbangun yang tinggi
berdampak pada menurunnya daya dukung, fungsi dan kualitas lingkungan
hidup kota Jakarta. Beberapa kondisi pencemaran lingkungan yang terdeteksi
diantaranya
(i) pencemaran air disebabkan pembuangan limbah domestik dan limbah
industri. Salah satu dampak yang patut diperhitungkan adalah terhadap
penurunan kualitas air yang berakibat pada penurunan daya guna, hasil
guna, produktivitas, daya dukung dan daya tampung dari sumberdaya air.
Beberapa hasil penelitian dan pemantauan oleh Badan Pengendalian
Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta menunjukkan air tanah
di Jakarta memiliki kandungan pencemar organik dan anorganik tinggi.
Sebagai konsekuensinya, air tanah tidak layak jadi sumber air minum.
Data hasil penelitian USAID (Kompas, 27 Maret 2007) menyebutkan
sekitar 60% air tanah Jakarta tercemar E-Coli. Data terbaru BPLHD tahun
2013 menunjukkan kondisi air tanah tidak membaik terlihat dari kondisi
air tanah rata-rata dalam kondisi tercemar (60%) baik itu tercemar ringan,
sedang, ataupun berat. Hanya lokasi Jakarta Selatan saja yang kondisi
air tanahnya masih relatif baik (BPLHD, 2013)
!
3!
Kondisi yang relatif sama juga terjadi pada air permukaan. Sebagai
ilustrasi, baku mutu air bagian hulu sungai Ciliwung terpantau telah
melewati batas ambang aman. Kondisi ini diperparah dengan belum
tersedianya instalasi pengolahan air limbah skala kota, sehigga limbah
cair langsung dibuang ke badan sungai dan/atau laut.
Dilain pihak, hasil penelitian Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan
(2005) menunjukkan intrusi air laut telah mencapai 10 kilometer dari garis
pantai. Peningkatan signifikan dibanding kondisi tahun 1980-an yang
masih pada radius 2 km dari garis pantai. Kondisi ini dipicu oleh
pengambilan air tanah yang tidak terkendali. Sebagai dampak intrusi air
laut adalah terjadinya penurunan muka tanah. Penurunan muka tanah ini
cukup signifikan berkisar antara 30-50 cm per tahun.
(ii) pencemaran udara akibat banyaknya kendaraan bermotor ditambah
tingkat kemacetan yang parah. Kualitas udara Jakarta saat ini berada
pada urutan ke tiga terburuk dunia. Komponen terbesar penyumbang
polusi udara adalah kendaraan bermotor (80%) dan industri (20%). Data
tahun 2006 menunjukkan hanya 37 hari dalam setahun kualitas udara
Jakarta dikategorikan baik. Sementara kerugian ekonomi pada tahun
yang sama diperkirakan mencapai setidaknya Rp.5 Triliun setahun.
Dampak terhadap kondisi kesehatan terlihat dari proporsi kasus
penyakit gangguan pernapasan mencapai 46% dari keseluruhan kasus
penyakit.
Berdasarkan data Ditlantas Polda Metro Jaya, jumlah kendaraan
bermotor di Provinsi DKI Jakarta bertambah setiap tahunnya sebesar 10
persen sedangkan pertambahan jalan hanya sebesar 0,01 persen, yang
berdampak pada kemacetan jalan dan menimbulkan emisi gas buang
yang besar. Emisi gas buang yang dihasilkan oleh kendaraan tersebut
akan memberikan kontribusi terhadap penurunan kualitas udara kota
Jakarta.
Kegiatan industri dengan cerobongnya menghasilkan emisi yang
sangat tinggi. Dengan semakin banyaknya jenis kegiatan industri maka
emisi cerobong yang dihasilkan akan semakin besar, terutama untuk
kegiatan industri yang menghasilkan bahan berbahaya dan beracun.
Selain pencemaran yang sifatnya mikro (atmosfir Jakarta), juga
terdapat dampak udara yang sifatnya global yaitu menipisnya lapisan
ozon pelindung bumi.
(iii) pencemaran lingkungan akibat pengelolaan sampah dan limbah B3
(bahan berbahaya dan beracun) yang belum baik. Hal ini ditandai oleh
penerapan 3R (daur ulang sampah) belum optimal sehingga sampah
masih bercampur, masih kurangnya fasilitas pengolahan sampah, tingkat
pengangkutan sampah yang belum 100%.
Salah satu dampak dari pengelolaan sampah yang belum optimal,
sekitar 80% sampah langsung dibuang ke badan sungai yang bermuara
ke Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Sejak tahun 1970-an, tingkat
pencemaran Teluk Jakarta telah melampaui ambang batas (Kumurur,
2010).
Pada umumnya kondisi air sungai di DKI Jakarta dari hulu menuju ke
hilir telah buruk kualitasnya, baik kualitas fisik, kualitas kimia maupun kualitas
biologi. Berdasarkan nilai Storet, sungai-sungai di DKI Jakarta telah masuk
dalam kategori buruk. Persentase pencemaran berdasarkan nilai Storet
!
4!
adalah 12 persen tercemar sedang dan 88 persen tercemar berat (BPLH
Provinsi DKI Jakarta, 2013).
2.4
Wilayah Pesisir
Perkembangan kota Jakarta ternyata berdampak juga terhadap kondisi
wilayah pesisir. Wilayah pesisir berada dalam tekanan yang besar, ketika eko
sistemnya menghadapi ancaman kerusakan dan penurunan kualitas yang
pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kelangsungan fungsional
ekosistem pesisir teluk Jakarta.
Beberapa ancaman potensial terhadap ekosistem pesisir teluk Jakarta
adalah (i) sedimentasi dan pencemaran. Kegiatan pembukaan lahan atas
(hulu) dan pesisir untuk pertanian, pertambakan, permukiman, industri dan
pengembangan kota merupakan sumber beban sedimen dan pencemaran
perairan pesisir. Adanya penebangan hutan dan pembukaan lahan di Daerah
Aliran Sungai (DAS) telah menimbulkan sedimen serius di beberapa daerah
muara dan perairan pesisir teluk Jakarta. Disamping itu, sampah padat yang
berasal dari rumah tangga dan kota merupakan sumber pencemar perairan
pesisir yang sulit dikendalikan, akibat perkembangan permukiman dan pusatpusat perdagangan yang pesat. Demikian pula pembukaan lahan pesisir
untuk pertambakan dan industri berkontribusi terhadap peningkatan
pencemaran baik organik maupun anorganik di perairan teluk Jakarta.
Sumber pencemar lain di pesisir teluk Jakarta berasal dari kegiatan reklamasi
pantai. Kegiatan reklamasi pantai dapat mengakibatkan perubahan pada
lingkungan pesisir, berupa peningkatan kekeruhan air dan pengendapan
sedimen; (ii) degradasi Habitat. Erosi pantai merupakan salah satu masalah
serius degradasi garis pantai. Selain dari proses alami seperti angin, arus dan
gelombang, aktivitas manusia juga menjadi penyebab penting erosi pantai.
Kebanyakan erosi pantai yang diakibatkan oleh aktivitas manusia adalah
pembukaan hutan pesisir dan reklamasi pantai untuk kepentingan
permukiman, industri dan pembangunan infrastruktur, sehingga sangat
mengurangi fungsi perlindungan terhadap pantai. Ancaman lain terhadap
habitat adalah degradasi terumbu karang di pesisir teluk Jakarta yang
disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia, diantaranya pemanfaatan
ekosistem terumbu karang sebagai sumber pangan, komoditas perdagangan
(ikan hias) dan obyek wisata (keindahan dan keanekaragaman hayati); (iii)
degradasi Sumberdaya Alam dan Keanekaragaman Hayati. Salah satu
degradasi sumberdaya alam pesisir teluk Jakarta yang cukup menonjol
adalah degradasi hutan mangrove sebagai akibat pembukaan lahan/konversi
hutan atau reklamasi pantai menjadi kawasan permukiman, pertambakan dan
industri. Ancaman lain terhadap keanekaragaman hayati di perairan pesisir
teluk Jakarta diduga antara lain berasal dari pembangunan infrastruktur
(pelabuhan, industri,dan lainnya) di pinggir pantai dan juga reklamasi pantai.
Kegiatan reklamasi pantai sebagaimana terjadi di pesisir Jakarta, diperkirakan
dapat merubah struktur ekologi pesisir bahkan dapat menurunkan
keanekaragaman hayati perairan (BPLH Provinsi DKI Jakarta, 2013).
2.5
Perubahan Iklim
Berdasar studi World Wildlife Fund (WWF) soal ancaman yang
dihadapi 11 kota besar di Asia yang terletak di pinggir pantai atau delta
sungai terkait perubahan iklim, Jakarta menduduki posisi kedua bersama
!
5!
Manila dalam daftar kota di Asia yang paling terancam akibat naiknya
permukaan air laut, badai dan perubahan iklim lainnya. Dhaka berada di
peringkat pertama.
Ancaman ini dapat menjadi kenyataan bahwa Jakarta tenggelam pada
tahun 2030 apabila pembangunan tidak memperhatikan keseimbangan
lingkungan. Perubahan iklim menyebabkan terjadinya hujan ekstrim yang
berdampak pada kondisi tanah yang tidak lagi bisa menampung volume air.
Akibatnya tanah menjadi jenuh.
Perubahan iklim mengakibatkan di lapisan atmosfir paling bawah
terjadi kenaikan muka air laut. Perubahan iklim global telah dan akan terus
terjadi sejalan dengan peningkatan aktivitas manusia yang mengonsumsi
energi, khususnya energi dari bahan bakar fosil, aktivitas deforentasi yang
meningkatkan emisi karbon yang ada di atmosfir.
Pada saat ini, di DKI Jakarta telah mengalami dampak dari perubahan
iklim diantaranya dengan meningkatnya permukaan air laut. Menurut IPCC
(Intergovernmental Panel on Climate Change), panel ahli untuk isu perubahan
iklim, dalam 100 tahun terakhir telah terjadi peningkatan permukaan air laut
setinggi 10-25 cm, sementara diperkirakan bahwa pada tahun 2100
mendatang akan terjadi peningkatan air laut setinggi 15-95 Cm (Greenpeace,
1988). Ini berarti Jakarta yang masuk dalam dataran rendah akan ikut menuai
akibatnya (BPLH Provinsi DKI Jakarta, 2013).
Dari hasil pemantauan suhu yang dilakukan oleh Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika pada titik pemantauan Stasiun Meteorologi
Kemayoran menunjukkan bahwa rata-rata suhu udara di Jakarta pada tahun
2012 telah menunjukkan peningkatan baik suhu terendah maupun suhu
tertinggi dibanding beberapa tahun terakhir. Selain suhu, yang memengaruhi
iklim adalah curah hujan.
Fenomena terjadinya banjir rob yang akhir-akhir ini sering terjadi di DKI
Jakarta, bisa diakibatkan dari adanya perubahan iklim. Selain oleh penurunan
permukaan tanah.
2.6
Tata Ruang
Perkembangan kota yang pesat telah mengurangi kawasan hijau
(ruang terbuka hijau/RTH) DKI Jakarta secara signifikan. Pada tahun 1970,
luasan RTH masih 70% dari luas kota, dan saat ini menjadi hanya berkisar
10%. Jadi dalam waktu 40 tahun lalu telah terjadi penurunan luasan RTH
hampir 60 persen. Berdasar standar yang berlaku, luasan RTH minimal 30
persen dari luas kawasan terbangun.
Sementara itu, walaupun alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan
terbangun terjadi di luar Jakarta tetapi perubahan tersebut secara langsung
berdampak terhadap kondisi lingkungan hidup di Jakarta khususnya banjir.
Alih fungsi lahan ini sangat signifikan jumlahnya. Sebagai ilustrasi, pada
tahun 1992, kawasan terbangun di hulu masih 100 ribu ha, saat ini telah
menjadi 225 ribu ha. Dengan demikian, keberadaan Rencana Tata Ruang
Jabodetabekjur sebagai alat pengendali pemanfaatan ruang menjadi vital.
Saat ini RTR Jabodatebekjur sedang dalam proses peninjauan kembali.
Berdasar skenario RPJMN 2015-2019, penataan ruang telah
memasuki tahapan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan
ruang. Dengan demikian, sudah seharusnya seluruh Rencana Tata Ruang
telah terselesaikan. Namun, saat ini Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan
!
6!
Pulau-Pulau Kecil masih dalam tahap penyelesaian. Belum terselesaikannya
rencana tata ruang ini berdampak pada lemahnya pengendalian pemanfaatan
ruang, khususnya pada wilayah pesisir.
Sementara itu, disadari sepenuhnya bahwa banyak masalah yang
terjadi di Jakarta ini berawal dari belum optimalnya penerapan rencana tata
ruang. Masih banyak pelanggaran tata ruang yang berdampak pada
meningkatnya bangkitan lalulintas, kemacetan, banjir, pencemaran dan
seterusnya. Untuk itu, pengendalian pemanfaatan ruang menjadi suatu
keniscayaan.
III.
SOLUSI
3.1
Lingkup Penanganan
Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibukota tentunya mempunyai posisi
yang istimewa, termasuk dalam konteks penanganan masalah. Setidaknya
terdapat 3 (tiga) lingkup penanganan masalah yaitu (i) lingkup nasional.
Penanganan lingkup nasional terkait urbanisasi yang diakibatkan tingginya
daya tarik Jakarta. Untuk itu, sesuai dengan pengaturan tata ruang nasional
(PP No. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN yang saat ini sedang di revisi) perlu
dilakukan peningkatan pemerataan wilayah secara nasional. Ini saat yang
tepat dengan adanya Nawacita yang mengedepankan pembangunan dari
pinggiran. Untuk itu, perlu didorong percepatan pembangunan Kawasan
Strategis Nasional (KSN) lainnya, dan peningkatan konektivitas; (ii) lingkup
regional. Mempertimbangkan keterkaitan Jabodetabekjur sebagai suatu
kawasan metropolitan, maka penanganan tata ruang, infrastruktur,
kependudukan, kelembagaan pengelolaan kawasan metropolitan harus
dalam lingkup regional Jabodetabekjur. Hal mendasar yang perlu disikapi
adalah pengendalian pemanfaatan ruang mengacu kepada Perpres Nomor
54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur;
desentralisasi pusat kegiatan ke wilayah Bodetabek; pengembangan sistem
dan jaringan transportasi terpadu antarwilayah; dan pengembangan
kerjasama jasa lingkungan; (iii) lingkup lokal, diantaranya rekayasa lalu lintas.
3.2
Banjir
Sebagaimana masalah lainnya, banjir yang terjadi sebagian
disebabkan oleh perilaku masyarakat yang tidak tertib dengan membuang
sampah ke saluran air, sungai. Disamping juga perubahan fungsi lahan
menjadi budi daya di kawasan hulu sungai.
Langkah awal penanganan banjir adalah upaya perubahan perilaku
baik melalui sosialisasi, maupun pemberian insentif dan sanksi. Sosialisasi
tentunya dapat dilakukan secara bersama dalam satu paket kegiatan
penyadaran masyarakat. Materinya dapat mencakup perubahan iklim, tata
ruang, pencemaran dan sebagainya. Bentuk sosialisasi dapat melalui temu
muka langsung, film, ceramah dan seterusnya. Agar sosialisasi berjalan
efektif, dibutuhkan sebuah strategi komunikasi yang menjadi panduan bagi
semua pihak. Ditunjang oleh tenaga fasilitator yang telah dilatih. Bentuk
insentif dan sanksi seyogyanya merupakan hasil kesepakatan di tingkat
masyarakat.
Selain itu, masyarakat terdampak juga sebaiknya tidak hanya
diperkenalkan tentang mitigasi tetapi juga adaptasi terhadap banjir. Termasuk
dalam hal ini adalah pelatihan pembuatan sumur resapan dan lubang resapan
!
7!
biopori.
Banjir pada dasarnya dapat diperkirakan waktunya sehingga
pemasangan early warning system khususnya di sungai-sungai yang sering
menjadi tampungan air hujan perlu diperbanyak dan menjangkau areal yang
lebih luas. Sistem peringatan dini ini sebaiknya dilengkapi Standar Operasi
dan Prosedur (SOP) yang dipahami semua pihak. Termasuk juga dilengkapi
dengan hot line darurat.
Tanpa banyak disadari, sebenarnya upaya penanganan banjir dapat
dimulai dari rumah masiang-masing. Upaya yang dapat dilakukan adalah
dengan mengurangi sebanyak mungkin volume air hujan yang mengalir ke
saluran air maupun sungai. Upaya ini dapat dilakukan melalui (i) pembuatan
Sumur Resapan. Sumur Resapan adalah sistem resapan buatan yang
berfungsi sebagai penampung air hujan, dapat berupa sumur, parit atau
taman resapan. Manfaat Sumur Resapan antara lain dapat menampung dan
menahan air hujan baik yang melalui atap rumah maupun yang langsung ke
tanah sehingga tidak langsung keluar dari pekarangan rumah, tetapi mengisi
kembali air tanah dangkal sebagai sumber air bersih; (ii) pembuatan Lubang
Resapan Biopori (LRB) Manfaat LRB adalah untuk meningkatkan laju
peresapan air hujan ke dalam tanah, sehingga tidak terbuang percuma
mengalir dipermukaan yang dapat menyebabkan banjir di musim hujan dan
kekeringan di musim kemarau, serta menghindari terjadinya genangan yang
menyebabkan merebaknya penyakit yang dibawa oleh nyamuk, seperti
demam berdarah Dengue (DBD), malaria (BPLH Provinsi DKI Jakarta, 2013).
Pembangunan sumur resapan, lubang resapan seharusnya diwajibkan.
Peraturan Gubernur yang telah dikeluarkan seyogyanya mulai diterapkan.
Di area publik, upaya menampung air dilakukan melalui pembangunan
waduk/embung dan revitalisasi waduk yang telah ada. Upaya pemeliharaan
waduk menjadi keniscayaan mempertimbangkan banyaknya waduk yang saat
ini kondisinya kurang baik. Selain itu, pengerukan sungai juga dapat
meningkatkan daya tampung air. Sejalan dengan upaya ini, memperbanyak
ruang terbuka hijau berikut penanaman pohon juga menjadi sebuah solusi
mengurangi air limpasan.
Sebagai solusi bersama pencegahan pencemaran air, relokasi warga
sepanjang bantaran sungai juga sebaiknya dilakukan.
Alih fungsi lahan non budi daya menjadi kawasan terbangun di hulu
sungai dapat dicegah dengan pengendalian pemanfatan ruang yang ketat.
Untuk itu, kerjasama antarpemerintah daerah perlu digalakkan. Sebaiknya
disepakati skema jasa lingkungan, yaitu pemerintah DKI Jakarta memberi
kompensasi pada pemerintah daerah yang mengendalikan hulu sungai.
Selain itu, upaya penghutanan baik oleh masyarakat maupun pemerintah
perlu didorong.
Setelah itu, tentu saja pemerintah DKI Jakarta tetap perlu juga
membangun infrastruktur seperti tanggul, waduk, menyediakan pompa
dan mengimplementasikan drainase dengan sistem polder.
Dahuri (2012) menyimpulkan keseluruhan solusi di atas menjadi (i)
mengendalikan aliran air dari daerah hulu dan membatasi volume air yang
masuk ke Jakarta. Kanal Banjir Timur/Barat merupakan solusinya; (ii)
mengupayakan sebanyak mungkin air yang terserap ke dalam tanah; (iii)
mencegah masuknya air laut.
!
8!
3.3
Kemacetan
Pada dasarnya solusi penanganan kemacetan bersifat menyeluruh.
Penggunaan istilah kemacetan hanya untuk memudahkan menggambarkan
masalah transportasi di Jakarta. Memperhatikan faktor penyebab kemacetan,
beberapa solusi yang ditawarkan diantaranya adalah
(i) pengurangan bangkitan lalulintas, berupa (i) penerapan skema Electronic
Road Pricing (ERP), yang merupakan manajemen permintaan perjalanan
(travel demand management) untuk mendorong pengguna jalan
mengurangi perjalanan yang tidak perlu dan mendorong penggunaan
moda transportasi publik. Penerapan skema ini mencakup penyiapan
regulasi,
kemitraan
pemerintah-swasta-masyarakat,
penerapan
insentif/disinsentif dapat berupa road pricing. Penerapan berupa road toll,
congestion pricing (ERP), cordon fees (pengenaan biaya pada ruas
tertetu), HOV lames (dikenakan pada kendaraan dengan daya muat kecil)
dan lainnya (Susantono, 2008); (ii) pengenalan skema pooling. Berupa
mobil antar jemput karyawan, atau anak sekolah; (iii) pembatasan usia
kendaraan; (iv) penyediaan transportasi publik terpadu (KRL, busway,
MRT, LRT); (v) peningkatan tarif pajak kendaraan bermotor; (vi)
penyiapan sistem park and ride pada stasiun KRL; (vii) optimalisasi
sistem on line
(ii) pengalihan lalu lintas mencakup (i) memindahkan kegiatan besar ke luar
kota (membangun convention centre di luar kota); (ii) pemindahan kantor
pemerintah dan swasta skala besar ke luar Jakarta; (iii) menerapkan
skema transit-oriented development (TOD).
(iii) meratakan distribusi volume lalu lintas melalui (i) pembedaan jam masuk
kantor dan jam masuk sekolah; (ii) memperbanyak jalur satu arah dan
contra flow pada jam sibuk; (iii) pembatasan kendaraan besar pada jam
sibuk (Ibrahimy, 2011).
(iv) optimalisasi kapasitas jalan mencakup (i) larangan parkir on street (badan
jalan); (ii) penerapan rekayasa lalulintas pada fase lampu lalu lintas; (iii)
pembayaran tol secara elektronik; (iv) optimalisasi pedestrian
(v) penambahan luas jalan (dilakukan secara terbatas)
(vi) penegakan hukum
(vii) regulasi dan kelembagaan berupa pembentukan otoritas transportasi
Jabodetabek, dan pengembangan Rencana Induk Sistem Transportasi
Publik Jabodetabek
3.4
Pencemaran Sungai
Memerhatikan penyebab pencemaran sungai dan air tanah yang
sebagian terbesar diakibatkan oleh perilaku masyarakat yang membuang
sampah dan air limbah ke sungai, maka fokus utama penanggulangannya
adalah berupa
(i) peningkatan kesadaran masyarakat melalui
a. sosialisasi baik pada kegiatan pengajian, peringatan kemerdekaan,
arisan dan lainnya
b. pelibatan aktif dalam kegiatan pengelolaan lingkungan sungai
melalui pembentukan komunitas ‘peduli sungai’.
c. pelibatan murid SD secara aktif melalui adopsi materi pengelolaan
lingkungan sungai sebagai salah satu muatan lokal pelajaran
sekolah;
!
9!
d. penerbitan bulletin, newsletter sederhana tentang pengelolaan
lingkungan sungai
e. perayaan festival sungai secara berkala
f. sosialisasi Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 122 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Air Limbah Domestik yang menegaskan
bahwa bangunan instansional maupun non-instansional harus
mengolah limbah domestik sebelum dibuang ke badan air atau ke
sungai.
(ii) relokasi warga yang tinggal di bantaran sungai, khususnya pada
permukiman kumuh sepanjang bantaran sungai. Hal ini memaksa
mereka untuk tidak lagi membuang sampah dan limbah ke sungai;
(iii) pembangunan sanitasi komunal pada beberapa lokasi percontohan
dengan memanfaatkan keberadaan proyek yang sudah berjalan seperti
SANIMAS (Sanitasi oleh Masyarakat). Selain mencegah pencemaran
sungai, langkah ini juga dapat mengurangi potensi pencemaran air
tanah.
(iv) memperkenalkan sanksi sosial bagi para pelanggar
3.5
Perubahan Iklim
Belajar dari pengalaman selama ini, masih banyak masyarakat yang
belum sepenuhnya memahami isu perubahan iklim. Masih sulit buat mereka
membedakan antara mitigasi dan adaptasi. Untuk itu, langkah awal dan
terpenting adalah melakukan upaya peningkatan kesadaran. Peningkatan
kesadaran ini, sebagaimana biasanya dilakukan melalui sosialisasi baik
melalui saluran informal seperti pengajian, arisan dan lainnya, maupun
saluran formal lewat sekolah. Peningkatan kesadaran ini harus sampai pada
terbentuknya komitmen, dapat berupa kesepakatan maupun rencana kerja di
berbagai tingkatan.
Untuk menjamin keberlanjutan dari peningkatan kesadaran dan
menjaga komitmen ini, dipandang perlu untuk melakukan pendampingan
pada masyarakat. Pendampingan ini dilakukan melalui penyediaan fasilitator
di tingkat kelurahan yang bertugas mendampingi masyarakat dalam
memenuhi rencana kerja maupun komitmen mereka. Fasilitator ini dapat
berasal dari masyarakat sendiri maupun dari LSM atau bahkan staf
kelurahan.
Selain itu, pemerintah daerah dapat bermitra dengan pemerintah
pusat maupun pihak lain. Dengan demikian, salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah melanjutkan kerjasama yang telah dibina selama ini dengan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Program Adiwiyata
(Green School). Program ini dimaksudkan untuk mendorong terciptanya ilmu
pengetahuan dan kesadaran warga sekolah dalam upaya pelestarian
lingkungan. Kegiatan ini dibangun dari komitmen/Kesepakatan Bersama.
Dengan demikian, diharapkan terwujud kepedulian baik siswa, maupun guru
tanpa paksaan. Selain itu, diharapkan sekolah yang terlibat dapat menjadi
‘center of excellence’ (BPLH Provinsi DKI Jakarta, 2013)
Salah satu bentuk kemitraan yang dapat dilakukan adalah
mengembangkan kegiatan bersama dengan pihak swasta dengan
memanfaatkan keberadaan program Corporate Social Responsibility
(CSR). Sebagai contoh adalah Program Green and Clean, yang diawali di
kota Surabaya pada tahun 2005, berupa program pelestarian lingkungan
!
10!
melalui penghijauan dan pengelolaan sampah mandiri (BPLH Provinsi DKI
Jakarta, 2013)
Untuk itu, pemerintah DKI Jakarta sebaiknya melakukan kampanye
besar-besaran agar program Jakarta Green and Clean (JGC) yang telah
dirintis pada tahun 2006 bersama PT. Unilever Indonesia, Tbk. dan Jaringan
Delta FeMale Indonesia (JDFI) dapat terlaksana dalam skala yang lebih besar
lagi.
Perubahan iklim tidak hanya berbicara tentang iklim saja tetapi juga
terkait pada segala hal yang baik secara langsuang maupun tidak langsung
mempengaruhi atau mendorong terjadinya perubahan iklim. Telah lama
disadari bahwa keberadaan gedung dengan materialnya dapat berdampak
pada perubahan iklim. Saat ini telah dikenal konsep Green Building yaitu
perencanaan dan pembangunan gedung atau rumah tinggal dengan
menggunakan material yang tidak banyak menimbulkan efek Global
Warming, sedikit penggunaan/pemakaian energi (baik itu energi listrik
ataupun energi pemanasan atau yang lainnya), memerhatikan pelestarian
lingkungan baik itu dari segi ekosistem flora dan fauna dan sebagainya
(BPLH Provinsi DKI Jakarta, 2013). Kemitraan dengan Green Building
Council di Indonesia perlu dilakukan untuk mendorong agar gedung di Jakarta
dapat memenuhi kualifikasi gedung hijau.
Kemitraan dengan Green Building Council juga dalam rangka
penegakan hukum terkait keberadaan Pedoman Teknis Peraturan Gubernur
KDKI Jakarta tentang Bangunan Ramah Lingkungan. Dengan demikian,
setiap bangunan di DKI Jakarta yang ingin mengajukan Ijin Mendirikan
Bangunan (IMB) dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) dapat diwajibkan
(mandatory) untuk memenuhi persyaratan bangunan ramah lingkungan
(Green Building).
3.6
Tata Ruang
Dari sisi tata ruang, telah diatur secara jelas bahwa luasan ruang
terbuka hijau adalah minimal 30% dari luasan kawasan terbangun. Ketika hal
ini dapat terwujud, maka secara langsung dapat mengurangi pemanasan
global. Untuk itu, keberadaan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) menjadi
suatu keniscayaan. RDTR menjadi acuan dalam pemberian izin lokasi. RDTR
DKI Jakarta telah disahkan dan termasuk RDTR generasi pertama di
Indonesia. Saatnya untuk mulai melakukan pengendalian pemanfaatan ruang
sebagai alat pencegahan pemanasan global. Dibutuhkan kesiapan sistem
informasi tata ruang, dan ditunjang oleh keberadaan Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS) yang menjadi garda depan pengendalian pemanfaatan ruang di
lapangan. Menjadi pekerjaan rumah pemerintah daerah untuk memperbanyak
PPNS tata ruang.
Jakarta termasuk dalam jalur patahan dan gunung berapi aktif (ring of
fire), sehingga menjadi suatu keniscayaan rencana tata ruang
Jabodetabekjur, rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana detail tata
ruang mengakomodasi aspek pengurangan resiko bencana.
Pengelolaan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil masih
terkendala oleh ketiadaan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil (RZWP3K). Untuk itu, penyelesaian RZWP3K Provinsi DKI Jakarta perlu
disegerakan. Perdebatan terkait reklamasi Jakarta dapat ditunda dengan
menggunakan skema deliniasi sesuai PP Nomor 8 Tahun 2013 tentang
!
11!
Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang. Kawasan yang masih menjadi
perdebatan dapat dikeluarkan (dideliniasi) dan tidak termasuk dalam kawasan
yang diatur melalui Perda. Dengan demikian, acuan pengelolaan ruang
wilayah pesisir dan pulau kecil dapat segera tersedia.
Sejalan dengan itu, penyelesaian peninjauan kembali RTR
Jabodetabekjur seyogyanya dapat diselesaikan bersamaan dengan
penyelesaian RZWP3K Provinsi DKI Jakarta. Dengan demikian keseluruhan
dokumen RTR DKI Jakarta telah lengkap dan pengendalian pemanfaatan
ruang dapat dilaksanakan dengan optimal.
Selain itu, untuk mengefektifkan pengendalian tata ruang
Jabodetabekjur, dipandang perlu dibentuk sebuah unit pengendali yang
bersifat lintas daerah. Kewenangannya setidaknya mencakup koordinasi
pengelolaan transportasi terpadu Jabodetabekjur, dan pengelolaan
sumberdaya air DAS di Jabodetabekjur.
Memasuki tahap pengendalian pemanfaatan ruang saat ini, diperlukan
terbangunnya sebuah sistem informasi tata ruang yang sampai tingkat
kelurahan untuk memudahkan pengendalian pemanfaatan ruang. Selain itu,
juga meningkatkan transparansi dan akuntabilitas penataan ruang.
IV.
Penutup
Dalam penanganan masalah kota Jakarta, aspek tata ruang dan
lingkungan hidup terlihat sangat terkait satu dengan yang lain. Penataan
ruang menjadi faktor pendukung upaya penanganan masalah lingkungan
hidup. Dengan demikian, pengendalian pemanfaatan ruang menjadi
keniscayaan dalam penanganan masalah lingkungan hidup di DKI Jakarta.
Secara umum, fokus bahasan masalah Jakarta terkait tata ruang dan
lingkungan hidup mencakup (i) lingkup penanganan baik nasional, regional
dan lokal; (ii) banjir; (iii) kemacetan; (iv) pencemaran sungai; (v) perubahan
iklim; (vi) tata ruang.
Solusi yang ditawarkan sebagian besar mencakup non struktural
seperti (i) peningkatan kesadaran pemangku kepentingan; (ii) pelibatan
masyarakat secara lebih intensif; (iii) pengembangan kemitraan bersama
swasta, LSM, perguruan tinggi dan masyarakat; (iv) penyempurnaan regulasi
dan penegakan hukum; (v) pelaksanaan pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan tata ruang; (vi) pengembangan kerjasama
antardaerah. Solusi struktural lebih bersifat kegiatan fisik yang sebagian
besar telah dilaksanakan seperti pembangunan waduk, rehabilitasi situ,
pembangunan polder dan lainnya.
!
12!
DAFTAR PUSTAKA
DOKUMEN PEMERINTAH
•
•
•
•
Dinas Kebersihan Pemerintah DKI Jakarta. Masterplan dan Kajian
Akademis Persampahan DKI Jakarta. Jakarta , 2012.
Kementerian
Perencanaan
Pembangunan
Nasional/Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional. Laporan Nasional. Evaluasi
Kinerja Pembangunan Daerah di 33 Provinsi Tahun 2014. Jakarta, 2015.
Kementerian
Perencanaan
Pembangunan
Nasional/Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional. Telaahan Bappenas terhadap
Permasalahan Ibukota Jakarta dan Solusi Penanganannya. Policy Brief.
Bahan Tayangan. Jakarta 2012.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Status Lingkungan Hidup Daerah
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2013. Laporan. Jakarta, 2014.
BUKU
•
Gunawan, Restu. Gagalnya Sistem Kanal. Pengendalian Banjir Jakarta dari
Masa ke Masa. Kompas, Jakarta 2010.
•
Kumurur, Veronica A. Pembangunan Kota dan Kondisi Kemiskinan
Perempuan. PPLH-SDA Unsrat Press-Manado,
Ratulangi Manado-Indonesia, 2010.
Universitas
Sam
MAKALAH-KARYA ILMIAH-ARTIKEL
•
•
•
•
•
•
•
!
Dahuri, Rokhmin. Banjir Jakarta dan Solusinya. Koran Sindo 21 Januari
2014.
Djakapermana, Ruchyat Deni. Rencana Tata Ruang Kawasan
Jabodetabekpunjur: Upaya Menyeimbangkan Pertumbuhan Ekonomi
dengan Kelestarian Lingkungan Hidup. Buletin Tata Ruang, Edisi JuliAgustus 2008, BKPRN.
Djakapermana, Ruchyat Deni. Reklamasi Pantai sebagai Alternatif
Pengembangan Kawasan. Buletin Tata Ruang, Edisi Juli-Agustus 2010,
BKPRN.
Handayani, Sarwo. Implikasi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang terhadap Penyediaan Ruang Terbuka Hijau dan
Ruang Terbuka Non Hijau di Provinsi DKI Jakarta. Buletin Tata Ruang
Edisi Maret-April 2008, BKPRN
Hudalah, Delik dan Pratama, Yudistira. MRT: Angkutan Perkotaan Masa
Depan. Buletin Tata Ruang Edisi September-Oktober 2010, BKPRN.
Ibrahimy, Dhaifi. Permasalahan dan Solusi bagi Urbanisasi dan OverPopulasi di Kota Megapolitan. Pasca Sarjana Sosiologi Universitas
Airlangga, Semarang, 2011.
Mungkasa, Oswar. The Sustainable Cities. Graduate School of Public
and International Affairs, University of Pittsburgh, USA, 1998
13!
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Mungkasa, Oswar. Cost Benefit Analysis of Sticker Policy in Central
Business Jakarta. Graduate School of Public and International Affairs,
University of Pittsburgh, USA, 1998.
Mungkasa, Oswar. Menuju Kota Tanpa Permukiman Kumuh. Republika 6
Oktober 2010.
Mungkasa, Oswar. Pembangunan Perumahan pada Penerapan Model
‘Compact City’ di DKI Jakarta. Buletin Tata Ruang dan Pertanahan Tahun
2012, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas, Jakarta, 2012.
Mungkasa, Oswar. Mengurangi Timbulan Sampah Perkantoran sebagai
Bagian dari Upaya Pemecahan Masalah Sampah Perkotaan. Majalah
Kelola. Sumber Informasi Kelola Sampah dengan Bijak. Edisi I Tahun
2013. Inswa, Jakarta, 2013.
Nainggolan, Azas Tigor. Pembenahan Transportasi Jakarta/Sembilan
Langkah untuk Revitalisasi Angkutan Umum Jakarta. Jakarta, 2011.
Diakses dari situs Wikibuku.
Parasati, Hayu. Kebijakan Perkotaan terkait Perubahan Iklim. Buletin
Tata Ruang Edisi Januari-Februari 2012, BKPRN.
Prasetijaningsih, Chris D. Ruang Terbuka Hijau dalam Kota yang Sehat.
Buletin Tata Ruang Edisi Januari-Februari 2012, BKPRN.
Putra, Rian Permana. Resume Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah Provinsi DKI Jakarta. Fakultas Politik Pemerintahan,
Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Jatinangor, 2014.
Sekretaris Badan Kerjasama Pembangunan (BKSP) Jabodetabek.
Kerjasama
Antardaerah
dalam
Penataan
Ruang
Kawasan
Jabodetabekpunjur. Buletin Tata Ruang Edisi September-Oktober 2008,
BKPRN.
Soegijoko, Budhy Tjahjati S. Smart Growth dalam Pengembangan
Perkotaan. Buletin Tata Ruang Edisi Januari-Februari 2011, BKPRN.
Susantono, Bambang. Electronic Road Pricing (ERP). Salah Satu Solusi
Masalah Kemacetan di Kota Jakarta. Buletin Tata Ruang SeptemberOktober 2008, BKPRN.
Susantono, Bambang. Bangunan Baru dan Ancaman Kemacetan di
Jakarta. Buletin Tata Ruang September-Oktober 2008, BKPRN.
Tarigan, Antonius. Kerjasama Antardaerah untuk Peningkatan
Penyelenggaraan Pelayanan Publik dan Daya Saing Wilayah. Buletin
Tata Ruang Edisi Maret-April 2009, BKPRN.
Tim Redaksi Butaru. Pembatasan Kendaraan untuk Mengurangi
Kemacetan Jakarta. Buletin Tata Ruang Edisi Maret-April 2008, BKPRN.
Widiantono, Doni J. Green Transport: Upaya Mewujudkan Transportasi
yang Ramah Lingkungan. Buletin Tata Ruang Edisi Mei-Juni 2009,
BKPRN.
KLIPING BERITA
•
!
Marco Kusumawijaya: Atasi Banjir, Utamakan Pendekatan Konservasi
Lestari. DetikNews 19 Januari 2013.
14!
INTERNET
•
•
!
Pembenahan Transportasi Jakarta. Wikibuku (id.wikibooks.org/wiki/
Pembenahan_Transportasi_Jakarta/Transportasi_Kota_Jakarta). Diakses
tanggal 1 Juni 2015 pukul 20.45 WIB.
Rencana 6 Ruas Jalan Tol Dalkot Jakarta: Bencana Lingkungan Hidup
Perkotaan. RUJAK (rujak.org). For a better Jakarta. Diakses 2 Juni 2015
pukul 8.28 WIB.
15!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
Jakarta: Masalah dan Solusi
Dr. Ir. Oswar Muadzin Mungkasa MURP
NIP. 19630726 199203 1 001
Direktur Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas
Abstract
During the last several decades there has been rapid growth in the
world’s population, particularly in the urban areas. In 2008, the psychological
threshold of 50 percent of the urban population was exceed. It is even
predicted that by 2030 the number of people living in cities will reach 60
percent of the total population. Among the indicators of such prediction is the
high rate of urbanization in the last ten years, making cities with a population of
over one million people to experience a significant jump. At the turn of the
twentieth century only 16 cities in the world is populated by more than one
million people. Today there are 400 cities with such population size, and
around 70 percent of them are in developing countries.
Along with their growth, management of cities have become an ever
more complex business. The speed and scale by which cities in developing
countries are changing have raised various unforeseen challenges. Among
these are risks on the environment and natural resources, health, social
interaction, and individual rights.
As a metropolitan city, Jakarta has not been exempt from this
phenomena and have shown similar effects. Among the problems the city is
facing are the rapid growth of population, sharp decline of environmental
quality, traffic congestion, more frequent flooding, worsening pollution,
increasing number and severity of crimes, more slum areas growing in all parts
of the city, and many other issues.
Discussions on issues and problems of the Jakarta metropolis have
been held and documented by many. However, the discussions presented in
this document on the issues and problems faced by Jakarta as well as their
proposed solutions are focused on spatial planning and the environment, given
that the purpose of this paper is as a requirement to participate in the tender of
the position of Deputy Governor of the Special Capital Region of Jakarta for
Spatial Planning and the Environment.
The materials presented herein are a compilation of the concepts
offered by a number of experts and complemented by ideas of the author. This
combination is expected to result in a fresh perspective aimed towards
resolving Jakarta’s problems and challenges, particularly in the aforementioned
areas.
Issues and problems related to these subjects that are currently faced
by Jakarta can be viewed from two aspects, namely (i) empirical issues such
as pollution (surface water, ground water, air), traffic congestion, floods, and (ii)
issues relating to climate change, spatial utilization management. In general,
some of the issues and problems presented in this paper have already been
identified and are not newly discovered.
The solutions described herein can be divided into three tiers: (i)
national, (ii) sub-national; and (iii) local. Further, where possible, the period by
which the solution can be implemented is given, which can be in the short,
medium or long term.
In broad terms the solutions offered include (i) raising the awareness of
stakeholders; (ii) engaging the community in a more intensive manner; (iii)
building partnership with the private sector, NGOs, universities and society; (iv)
!
ii!
enhancing regulations and law enforcement; (v) utilization of space and the
control thereof. Other solutions are more oriented towards physical
development.
!
iii!
DAFTAR ISI
Abstract ……………………………………………………………………
Daftar Isi …………………………………………………………………..
I.
Pendahuluan …………………………………………………….
II.
Masalah Jakarta terkait Tata Ruang dan Lingkungan Hidup ..
2.1
Banjir ……………………………………………………… .
2.2
Kemacetan ………………………………………………..
2.3
Pencemaran ………………………………………………
2.4
Wilayah Pesisir …………………………………………...
2.5
Perubahan Iklim ………………………………………….
2.6
Tata Ruang ………………………………………………..
III.
Solusi ………………………………………………………………
3.1
Lingkup Penanganan …………………………………….
3.2
Banjir ..…………………………………………………….
3.3
Kemacetan ………………………………………………..
3.4
Pencemaran Sungai ……………………………………..
3.5
Perubahan Iklim …………………………………………..
3.6
Tata Ruang ………………………………………………..
IV
Penutup ……………………………………………………………
Daftar Pustaka ……………………………………………………………
ii
iv
1
2
2
2
3
5
6
6
7
7
7
9
9
10
11
12
13
!
!
iv!
!
I.
Pendahuluan
Sejak beberapa dekade terakhir, terjadi perkembangan penduduk
dunia yang demikian pesat. Tercatat populasi penduduk dunia saat ini telah
mencapai 6,5 miliar jiwa. Jumlah tersebut akan terus bertambah sehingga
pada tahun 2050 diperkirakan mencapai 9 miliar. Hal yang menarik bahwa
perkembangan penduduk perkotaan ternyata juga meningkat tajam. Pada
tahun 2008, batas psikologis 50 persen proporsi penduduk perkotaan telah
terlampaui. Bahkan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penduduk
perkotaan akan mencapai 60% dari total penduduk dunia (PBB, 2008 dalam
Mungkasa, 2012)
Tingkat urbanisasi dalam 10 tahun terakhir dan jumlah kota dengan
jumlah penduduk di atas 1 juta jiwa menunjukkan perkembangan yang
signifikan. Pada awal abad XX, hanya 16 kota di dunia dengan jumlah
penduduk lebih besar dari 1 juta jiwa. Namun saat ini, hampir 400 kota
dengan ukuran tersebut, dan sekitar 70 persen di negara berkembang.
Diperkirakan pada tahun 2017, karakter perkotaan akan dominan di negara
berkembang (PBB, 2004 dalam Mungkasa, 2012). Meskipun demikian, seiring
pertumbuhan kota, mengelola kota menjadi berubah semakin rumit.
Kecepatan dan skala perubahan kota dari negara berkembang menghasilkan
tantangan yang tak terbayangkan. Diantaranya resiko terhadap lingkungan
dan sumber daya alam, kondisi kesehatan, kekerabatan sosial, dan hak
individual.
Jakarta sebagai salah satu kota metropolitan dunia juga mengalami
fenomena dan dampak yang relatif sama. Pertumbuhan penduduk tinggi,
kualitas lingkungan hidup menurun tajam, kemacetan sepanjang hari, banjir
semakin sering, polusi udara meningkat, tingkat dan kualitas kejahatan
meningkat, kawasan kumuh terlihat hampir di seluruh bagian kota, dan
seterusnya.
Pembahasan mengenai isu dan permasalahan metropolitan Jakarta
telah sering disampaikan dan ditulis oleh berbagai pihak. Namun pada
kesempatan kali ini, isu dan permasalahan kota Jakarta berikut solusinya
akan terfokus hanya pada aspek tata ruang dan lingkungan hidup.
Pemokusan ini dilakukan dengan mempertimbangkan tujuan penulisan
sebagai persyaratan mengikuti lelang terbuka jabatan Deputi Gubernur DKI
Jakarta bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup,
Materi tulisan ini merupakan gabungan dari pemikiran berbagai pihak
ditambah dengan hasil pemikiran dari penulis. Penggabungan ini diharapkan
bisa memberi perspektif baru dalam upaya menyelesaikan permasalahan
kota Jakarta khususnya terkait aspek tata ruang dan lingkungan hidup.
!
1!
II.
Masalah Jakarta terkait Tata Ruang dan Lingkungan Hidup
2.1
Banjir
Sekitar 40 persen dari luasan DKI Jakarta merupakan dataran rendah,
yang ketinggiannya berada di bawah muka air laut pasang 1 sampai dengan
1,5 meter, dan dari 40 persen lahan tersebut baru 11.500 Hektar yang
dilayani dengan Polder. Sementara terdapat 13 aliran sungai menuju laut
diantaranya Kali Mookervart,
Kali Ciliwung, Kali Angke, Kali
Pesanggrahan, Kali Krukut, Kali
Baru Barat, Kali Baru Timur,
Kali Buaran, Kali Grogol, Kali
Cipinang, Kali Jatikramat, Kali
Cakung dan Kali Sunte) yang
kondisinya terus mengalami
pendangkalan dan penyempitan
akibat adanya sampah dan
bangunan liar di sepanjang
sungai, menyebabkan bencana
banjir dari tahun ke tahun
Selain itu, pembangunan
yang sangat pesat di Jabotabek
dan terjadinya perubahan tata
guna lahan di hulu sungai, yang
menjadi penyebab penambahan
debit air pada musim penghujan
yang melebihi batas maksimum,
Pada tahun 2013 total
area terendam seluas 5 Ha
dengan perkiraan kerugian langsung mencapai Rp.117 Milyar.
Secara keruangan, penyebab utama banjir dapat dikelompokkan
dalam 3 (tiga) sumber yaitu (i) kawasan hulu Jakarta; (ii) lokal Jakarta; (iii)
laut. Fungsi hidro-orologis daerah hulu untuk menyimpan air sudah menurun.
Akibatnya fluktuasi debit sungai Ciliwung sangat besar. Perkembangan alih
fungsi lahan pertanian dan hutan menjadi kawasan terbangun menjadi
penyebabnya. (Dahuri, 2012).
2.2
Kemacetan
Kemacetan menjadi keseharian penduduk Jakarta, bahkan Jakarta
diberi gelar sebagai kota termacet di Dunia. Hal ini tidak terbantahkan. Coba
kita simak data jumlah kendaraan. Pada tahun 2010, jumlah kendaraan di
Jakarta mencapai 11,4 juta unit, yang terdiri dari 8,2 juta unit kendaraan roda
dua dan 3,1 juta unit kendaraan roda empat. Tercatat kerugian yang diderita
mencapai Rp.46 Triliun/tahun, yang kira-kira setara dengan 92% APBD DKI
Jakarta. Belum lagi dampaknya terhadap pencemaran udara dan konsumsi
BBM (Ibrahimy, 2011).
Tingkat kemacetan ini semakin diperparah dengan kondisi
penambahan panjang jalan hanya 0,01% per tahun, sementara pertambahan
kendaraan mencapai 11% per tahun.
!
2!
Apa yang menjadi penyebab kemacetan ini?. Setidaknya ditengarai 4
(empat) faktor penyebabnya, yaitu (i) bangkitan lalulintas, yang dimaksudkan
sebagai jumlah perjalanan yang terjadi pada satu waktu yang sama di
Jakarta. Tingginya bangkitan lalulintas ini dipicu oleh banyaknya penduduk
baik penduduk lokal Jakarta maupun pendatang, masih buruknya kondisi
layanan transportasi publik, tata ruang Jakarta yang tidak optimal; (ii)
kapasitas jalan. Rasio pertambahan infrastruktur jalan sangat rendah
dibanding pertambahan kendaraan sehingga daya tampung jalan terlampaui,
rekayasa lalulintas yang belum optimal, pemanfaatan badan jalan oleh
berbagai kegiatan; (iii) perilaku manusia/pengguna. Tingkat disiplin pengguna
jalan masih sangat rendah; (iv) lainnya. Kebijakan pemerintah kurang tepat,
banjir, dan perbaikan jalan (Ibrahimy, 2011).
Sementara itu, upaya penanganan masih belum optimal, diantaranya
berupa (i) Area Traffic Control System (ATCS). Ini salah satu bentuk rekayasa
lalulintas yang memungkinkan pengaturan fase lampu lalu lintas di seluruh
Jakarta. Solusi ini belum optimal karena banyaknya hambatan pada ruas
jalan dan persimpangan; (ii) aturan 3 in 1. Aturan yang mewajibkan mobil
berpenumpang 3 orang ketika melewati jl. Sudirman-jl. Thamrin pada pagi
dan sore hari. Pada dasarnya dampak aturan ini hanya mengurangi lalu lintas
pada jl. Sudirman-jl. Thamrin, tetapi membebani jalan di luar area 3 in 1. Jadi
secara keseluruhan bersifat zero sum game. (iii) busway. Penyediaan bus
pada jaur khusus yang menghubungkan beberapa koridor. Namun, hasilnya
belum optimal karena kualitas layanan yang menurun, dan belum mampu
menarik pemilik mobil memanfaatkan busway; (iv) pembangunan ruas tol
dalam kota. Pada kenyataannya keberadaan jalan tol malah meningkatkan
keinginan masyarakat untuk memiliki mobil (Susantono, 2008); (v) Kereta
listrik. Secara umum berdampak mengurangi bangkitan lalulintas tetapi
kapasitas KRL tidak dapat ditingkatkan karena terkendala banyaknya
persimpangan sebidang dengan jalan darat sehingga frekuensi KRL tidak
dapat ditambah lagi. Selain itu, sistem moda terpadu belum tersedia.
2.3
Pencemaran
Tingkat kepadatan penduduk dan daerah terbangun yang tinggi
berdampak pada menurunnya daya dukung, fungsi dan kualitas lingkungan
hidup kota Jakarta. Beberapa kondisi pencemaran lingkungan yang terdeteksi
diantaranya
(i) pencemaran air disebabkan pembuangan limbah domestik dan limbah
industri. Salah satu dampak yang patut diperhitungkan adalah terhadap
penurunan kualitas air yang berakibat pada penurunan daya guna, hasil
guna, produktivitas, daya dukung dan daya tampung dari sumberdaya air.
Beberapa hasil penelitian dan pemantauan oleh Badan Pengendalian
Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta menunjukkan air tanah
di Jakarta memiliki kandungan pencemar organik dan anorganik tinggi.
Sebagai konsekuensinya, air tanah tidak layak jadi sumber air minum.
Data hasil penelitian USAID (Kompas, 27 Maret 2007) menyebutkan
sekitar 60% air tanah Jakarta tercemar E-Coli. Data terbaru BPLHD tahun
2013 menunjukkan kondisi air tanah tidak membaik terlihat dari kondisi
air tanah rata-rata dalam kondisi tercemar (60%) baik itu tercemar ringan,
sedang, ataupun berat. Hanya lokasi Jakarta Selatan saja yang kondisi
air tanahnya masih relatif baik (BPLHD, 2013)
!
3!
Kondisi yang relatif sama juga terjadi pada air permukaan. Sebagai
ilustrasi, baku mutu air bagian hulu sungai Ciliwung terpantau telah
melewati batas ambang aman. Kondisi ini diperparah dengan belum
tersedianya instalasi pengolahan air limbah skala kota, sehigga limbah
cair langsung dibuang ke badan sungai dan/atau laut.
Dilain pihak, hasil penelitian Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan
(2005) menunjukkan intrusi air laut telah mencapai 10 kilometer dari garis
pantai. Peningkatan signifikan dibanding kondisi tahun 1980-an yang
masih pada radius 2 km dari garis pantai. Kondisi ini dipicu oleh
pengambilan air tanah yang tidak terkendali. Sebagai dampak intrusi air
laut adalah terjadinya penurunan muka tanah. Penurunan muka tanah ini
cukup signifikan berkisar antara 30-50 cm per tahun.
(ii) pencemaran udara akibat banyaknya kendaraan bermotor ditambah
tingkat kemacetan yang parah. Kualitas udara Jakarta saat ini berada
pada urutan ke tiga terburuk dunia. Komponen terbesar penyumbang
polusi udara adalah kendaraan bermotor (80%) dan industri (20%). Data
tahun 2006 menunjukkan hanya 37 hari dalam setahun kualitas udara
Jakarta dikategorikan baik. Sementara kerugian ekonomi pada tahun
yang sama diperkirakan mencapai setidaknya Rp.5 Triliun setahun.
Dampak terhadap kondisi kesehatan terlihat dari proporsi kasus
penyakit gangguan pernapasan mencapai 46% dari keseluruhan kasus
penyakit.
Berdasarkan data Ditlantas Polda Metro Jaya, jumlah kendaraan
bermotor di Provinsi DKI Jakarta bertambah setiap tahunnya sebesar 10
persen sedangkan pertambahan jalan hanya sebesar 0,01 persen, yang
berdampak pada kemacetan jalan dan menimbulkan emisi gas buang
yang besar. Emisi gas buang yang dihasilkan oleh kendaraan tersebut
akan memberikan kontribusi terhadap penurunan kualitas udara kota
Jakarta.
Kegiatan industri dengan cerobongnya menghasilkan emisi yang
sangat tinggi. Dengan semakin banyaknya jenis kegiatan industri maka
emisi cerobong yang dihasilkan akan semakin besar, terutama untuk
kegiatan industri yang menghasilkan bahan berbahaya dan beracun.
Selain pencemaran yang sifatnya mikro (atmosfir Jakarta), juga
terdapat dampak udara yang sifatnya global yaitu menipisnya lapisan
ozon pelindung bumi.
(iii) pencemaran lingkungan akibat pengelolaan sampah dan limbah B3
(bahan berbahaya dan beracun) yang belum baik. Hal ini ditandai oleh
penerapan 3R (daur ulang sampah) belum optimal sehingga sampah
masih bercampur, masih kurangnya fasilitas pengolahan sampah, tingkat
pengangkutan sampah yang belum 100%.
Salah satu dampak dari pengelolaan sampah yang belum optimal,
sekitar 80% sampah langsung dibuang ke badan sungai yang bermuara
ke Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Sejak tahun 1970-an, tingkat
pencemaran Teluk Jakarta telah melampaui ambang batas (Kumurur,
2010).
Pada umumnya kondisi air sungai di DKI Jakarta dari hulu menuju ke
hilir telah buruk kualitasnya, baik kualitas fisik, kualitas kimia maupun kualitas
biologi. Berdasarkan nilai Storet, sungai-sungai di DKI Jakarta telah masuk
dalam kategori buruk. Persentase pencemaran berdasarkan nilai Storet
!
4!
adalah 12 persen tercemar sedang dan 88 persen tercemar berat (BPLH
Provinsi DKI Jakarta, 2013).
2.4
Wilayah Pesisir
Perkembangan kota Jakarta ternyata berdampak juga terhadap kondisi
wilayah pesisir. Wilayah pesisir berada dalam tekanan yang besar, ketika eko
sistemnya menghadapi ancaman kerusakan dan penurunan kualitas yang
pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kelangsungan fungsional
ekosistem pesisir teluk Jakarta.
Beberapa ancaman potensial terhadap ekosistem pesisir teluk Jakarta
adalah (i) sedimentasi dan pencemaran. Kegiatan pembukaan lahan atas
(hulu) dan pesisir untuk pertanian, pertambakan, permukiman, industri dan
pengembangan kota merupakan sumber beban sedimen dan pencemaran
perairan pesisir. Adanya penebangan hutan dan pembukaan lahan di Daerah
Aliran Sungai (DAS) telah menimbulkan sedimen serius di beberapa daerah
muara dan perairan pesisir teluk Jakarta. Disamping itu, sampah padat yang
berasal dari rumah tangga dan kota merupakan sumber pencemar perairan
pesisir yang sulit dikendalikan, akibat perkembangan permukiman dan pusatpusat perdagangan yang pesat. Demikian pula pembukaan lahan pesisir
untuk pertambakan dan industri berkontribusi terhadap peningkatan
pencemaran baik organik maupun anorganik di perairan teluk Jakarta.
Sumber pencemar lain di pesisir teluk Jakarta berasal dari kegiatan reklamasi
pantai. Kegiatan reklamasi pantai dapat mengakibatkan perubahan pada
lingkungan pesisir, berupa peningkatan kekeruhan air dan pengendapan
sedimen; (ii) degradasi Habitat. Erosi pantai merupakan salah satu masalah
serius degradasi garis pantai. Selain dari proses alami seperti angin, arus dan
gelombang, aktivitas manusia juga menjadi penyebab penting erosi pantai.
Kebanyakan erosi pantai yang diakibatkan oleh aktivitas manusia adalah
pembukaan hutan pesisir dan reklamasi pantai untuk kepentingan
permukiman, industri dan pembangunan infrastruktur, sehingga sangat
mengurangi fungsi perlindungan terhadap pantai. Ancaman lain terhadap
habitat adalah degradasi terumbu karang di pesisir teluk Jakarta yang
disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia, diantaranya pemanfaatan
ekosistem terumbu karang sebagai sumber pangan, komoditas perdagangan
(ikan hias) dan obyek wisata (keindahan dan keanekaragaman hayati); (iii)
degradasi Sumberdaya Alam dan Keanekaragaman Hayati. Salah satu
degradasi sumberdaya alam pesisir teluk Jakarta yang cukup menonjol
adalah degradasi hutan mangrove sebagai akibat pembukaan lahan/konversi
hutan atau reklamasi pantai menjadi kawasan permukiman, pertambakan dan
industri. Ancaman lain terhadap keanekaragaman hayati di perairan pesisir
teluk Jakarta diduga antara lain berasal dari pembangunan infrastruktur
(pelabuhan, industri,dan lainnya) di pinggir pantai dan juga reklamasi pantai.
Kegiatan reklamasi pantai sebagaimana terjadi di pesisir Jakarta, diperkirakan
dapat merubah struktur ekologi pesisir bahkan dapat menurunkan
keanekaragaman hayati perairan (BPLH Provinsi DKI Jakarta, 2013).
2.5
Perubahan Iklim
Berdasar studi World Wildlife Fund (WWF) soal ancaman yang
dihadapi 11 kota besar di Asia yang terletak di pinggir pantai atau delta
sungai terkait perubahan iklim, Jakarta menduduki posisi kedua bersama
!
5!
Manila dalam daftar kota di Asia yang paling terancam akibat naiknya
permukaan air laut, badai dan perubahan iklim lainnya. Dhaka berada di
peringkat pertama.
Ancaman ini dapat menjadi kenyataan bahwa Jakarta tenggelam pada
tahun 2030 apabila pembangunan tidak memperhatikan keseimbangan
lingkungan. Perubahan iklim menyebabkan terjadinya hujan ekstrim yang
berdampak pada kondisi tanah yang tidak lagi bisa menampung volume air.
Akibatnya tanah menjadi jenuh.
Perubahan iklim mengakibatkan di lapisan atmosfir paling bawah
terjadi kenaikan muka air laut. Perubahan iklim global telah dan akan terus
terjadi sejalan dengan peningkatan aktivitas manusia yang mengonsumsi
energi, khususnya energi dari bahan bakar fosil, aktivitas deforentasi yang
meningkatkan emisi karbon yang ada di atmosfir.
Pada saat ini, di DKI Jakarta telah mengalami dampak dari perubahan
iklim diantaranya dengan meningkatnya permukaan air laut. Menurut IPCC
(Intergovernmental Panel on Climate Change), panel ahli untuk isu perubahan
iklim, dalam 100 tahun terakhir telah terjadi peningkatan permukaan air laut
setinggi 10-25 cm, sementara diperkirakan bahwa pada tahun 2100
mendatang akan terjadi peningkatan air laut setinggi 15-95 Cm (Greenpeace,
1988). Ini berarti Jakarta yang masuk dalam dataran rendah akan ikut menuai
akibatnya (BPLH Provinsi DKI Jakarta, 2013).
Dari hasil pemantauan suhu yang dilakukan oleh Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika pada titik pemantauan Stasiun Meteorologi
Kemayoran menunjukkan bahwa rata-rata suhu udara di Jakarta pada tahun
2012 telah menunjukkan peningkatan baik suhu terendah maupun suhu
tertinggi dibanding beberapa tahun terakhir. Selain suhu, yang memengaruhi
iklim adalah curah hujan.
Fenomena terjadinya banjir rob yang akhir-akhir ini sering terjadi di DKI
Jakarta, bisa diakibatkan dari adanya perubahan iklim. Selain oleh penurunan
permukaan tanah.
2.6
Tata Ruang
Perkembangan kota yang pesat telah mengurangi kawasan hijau
(ruang terbuka hijau/RTH) DKI Jakarta secara signifikan. Pada tahun 1970,
luasan RTH masih 70% dari luas kota, dan saat ini menjadi hanya berkisar
10%. Jadi dalam waktu 40 tahun lalu telah terjadi penurunan luasan RTH
hampir 60 persen. Berdasar standar yang berlaku, luasan RTH minimal 30
persen dari luas kawasan terbangun.
Sementara itu, walaupun alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan
terbangun terjadi di luar Jakarta tetapi perubahan tersebut secara langsung
berdampak terhadap kondisi lingkungan hidup di Jakarta khususnya banjir.
Alih fungsi lahan ini sangat signifikan jumlahnya. Sebagai ilustrasi, pada
tahun 1992, kawasan terbangun di hulu masih 100 ribu ha, saat ini telah
menjadi 225 ribu ha. Dengan demikian, keberadaan Rencana Tata Ruang
Jabodetabekjur sebagai alat pengendali pemanfaatan ruang menjadi vital.
Saat ini RTR Jabodatebekjur sedang dalam proses peninjauan kembali.
Berdasar skenario RPJMN 2015-2019, penataan ruang telah
memasuki tahapan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan
ruang. Dengan demikian, sudah seharusnya seluruh Rencana Tata Ruang
telah terselesaikan. Namun, saat ini Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan
!
6!
Pulau-Pulau Kecil masih dalam tahap penyelesaian. Belum terselesaikannya
rencana tata ruang ini berdampak pada lemahnya pengendalian pemanfaatan
ruang, khususnya pada wilayah pesisir.
Sementara itu, disadari sepenuhnya bahwa banyak masalah yang
terjadi di Jakarta ini berawal dari belum optimalnya penerapan rencana tata
ruang. Masih banyak pelanggaran tata ruang yang berdampak pada
meningkatnya bangkitan lalulintas, kemacetan, banjir, pencemaran dan
seterusnya. Untuk itu, pengendalian pemanfaatan ruang menjadi suatu
keniscayaan.
III.
SOLUSI
3.1
Lingkup Penanganan
Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibukota tentunya mempunyai posisi
yang istimewa, termasuk dalam konteks penanganan masalah. Setidaknya
terdapat 3 (tiga) lingkup penanganan masalah yaitu (i) lingkup nasional.
Penanganan lingkup nasional terkait urbanisasi yang diakibatkan tingginya
daya tarik Jakarta. Untuk itu, sesuai dengan pengaturan tata ruang nasional
(PP No. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN yang saat ini sedang di revisi) perlu
dilakukan peningkatan pemerataan wilayah secara nasional. Ini saat yang
tepat dengan adanya Nawacita yang mengedepankan pembangunan dari
pinggiran. Untuk itu, perlu didorong percepatan pembangunan Kawasan
Strategis Nasional (KSN) lainnya, dan peningkatan konektivitas; (ii) lingkup
regional. Mempertimbangkan keterkaitan Jabodetabekjur sebagai suatu
kawasan metropolitan, maka penanganan tata ruang, infrastruktur,
kependudukan, kelembagaan pengelolaan kawasan metropolitan harus
dalam lingkup regional Jabodetabekjur. Hal mendasar yang perlu disikapi
adalah pengendalian pemanfaatan ruang mengacu kepada Perpres Nomor
54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur;
desentralisasi pusat kegiatan ke wilayah Bodetabek; pengembangan sistem
dan jaringan transportasi terpadu antarwilayah; dan pengembangan
kerjasama jasa lingkungan; (iii) lingkup lokal, diantaranya rekayasa lalu lintas.
3.2
Banjir
Sebagaimana masalah lainnya, banjir yang terjadi sebagian
disebabkan oleh perilaku masyarakat yang tidak tertib dengan membuang
sampah ke saluran air, sungai. Disamping juga perubahan fungsi lahan
menjadi budi daya di kawasan hulu sungai.
Langkah awal penanganan banjir adalah upaya perubahan perilaku
baik melalui sosialisasi, maupun pemberian insentif dan sanksi. Sosialisasi
tentunya dapat dilakukan secara bersama dalam satu paket kegiatan
penyadaran masyarakat. Materinya dapat mencakup perubahan iklim, tata
ruang, pencemaran dan sebagainya. Bentuk sosialisasi dapat melalui temu
muka langsung, film, ceramah dan seterusnya. Agar sosialisasi berjalan
efektif, dibutuhkan sebuah strategi komunikasi yang menjadi panduan bagi
semua pihak. Ditunjang oleh tenaga fasilitator yang telah dilatih. Bentuk
insentif dan sanksi seyogyanya merupakan hasil kesepakatan di tingkat
masyarakat.
Selain itu, masyarakat terdampak juga sebaiknya tidak hanya
diperkenalkan tentang mitigasi tetapi juga adaptasi terhadap banjir. Termasuk
dalam hal ini adalah pelatihan pembuatan sumur resapan dan lubang resapan
!
7!
biopori.
Banjir pada dasarnya dapat diperkirakan waktunya sehingga
pemasangan early warning system khususnya di sungai-sungai yang sering
menjadi tampungan air hujan perlu diperbanyak dan menjangkau areal yang
lebih luas. Sistem peringatan dini ini sebaiknya dilengkapi Standar Operasi
dan Prosedur (SOP) yang dipahami semua pihak. Termasuk juga dilengkapi
dengan hot line darurat.
Tanpa banyak disadari, sebenarnya upaya penanganan banjir dapat
dimulai dari rumah masiang-masing. Upaya yang dapat dilakukan adalah
dengan mengurangi sebanyak mungkin volume air hujan yang mengalir ke
saluran air maupun sungai. Upaya ini dapat dilakukan melalui (i) pembuatan
Sumur Resapan. Sumur Resapan adalah sistem resapan buatan yang
berfungsi sebagai penampung air hujan, dapat berupa sumur, parit atau
taman resapan. Manfaat Sumur Resapan antara lain dapat menampung dan
menahan air hujan baik yang melalui atap rumah maupun yang langsung ke
tanah sehingga tidak langsung keluar dari pekarangan rumah, tetapi mengisi
kembali air tanah dangkal sebagai sumber air bersih; (ii) pembuatan Lubang
Resapan Biopori (LRB) Manfaat LRB adalah untuk meningkatkan laju
peresapan air hujan ke dalam tanah, sehingga tidak terbuang percuma
mengalir dipermukaan yang dapat menyebabkan banjir di musim hujan dan
kekeringan di musim kemarau, serta menghindari terjadinya genangan yang
menyebabkan merebaknya penyakit yang dibawa oleh nyamuk, seperti
demam berdarah Dengue (DBD), malaria (BPLH Provinsi DKI Jakarta, 2013).
Pembangunan sumur resapan, lubang resapan seharusnya diwajibkan.
Peraturan Gubernur yang telah dikeluarkan seyogyanya mulai diterapkan.
Di area publik, upaya menampung air dilakukan melalui pembangunan
waduk/embung dan revitalisasi waduk yang telah ada. Upaya pemeliharaan
waduk menjadi keniscayaan mempertimbangkan banyaknya waduk yang saat
ini kondisinya kurang baik. Selain itu, pengerukan sungai juga dapat
meningkatkan daya tampung air. Sejalan dengan upaya ini, memperbanyak
ruang terbuka hijau berikut penanaman pohon juga menjadi sebuah solusi
mengurangi air limpasan.
Sebagai solusi bersama pencegahan pencemaran air, relokasi warga
sepanjang bantaran sungai juga sebaiknya dilakukan.
Alih fungsi lahan non budi daya menjadi kawasan terbangun di hulu
sungai dapat dicegah dengan pengendalian pemanfatan ruang yang ketat.
Untuk itu, kerjasama antarpemerintah daerah perlu digalakkan. Sebaiknya
disepakati skema jasa lingkungan, yaitu pemerintah DKI Jakarta memberi
kompensasi pada pemerintah daerah yang mengendalikan hulu sungai.
Selain itu, upaya penghutanan baik oleh masyarakat maupun pemerintah
perlu didorong.
Setelah itu, tentu saja pemerintah DKI Jakarta tetap perlu juga
membangun infrastruktur seperti tanggul, waduk, menyediakan pompa
dan mengimplementasikan drainase dengan sistem polder.
Dahuri (2012) menyimpulkan keseluruhan solusi di atas menjadi (i)
mengendalikan aliran air dari daerah hulu dan membatasi volume air yang
masuk ke Jakarta. Kanal Banjir Timur/Barat merupakan solusinya; (ii)
mengupayakan sebanyak mungkin air yang terserap ke dalam tanah; (iii)
mencegah masuknya air laut.
!
8!
3.3
Kemacetan
Pada dasarnya solusi penanganan kemacetan bersifat menyeluruh.
Penggunaan istilah kemacetan hanya untuk memudahkan menggambarkan
masalah transportasi di Jakarta. Memperhatikan faktor penyebab kemacetan,
beberapa solusi yang ditawarkan diantaranya adalah
(i) pengurangan bangkitan lalulintas, berupa (i) penerapan skema Electronic
Road Pricing (ERP), yang merupakan manajemen permintaan perjalanan
(travel demand management) untuk mendorong pengguna jalan
mengurangi perjalanan yang tidak perlu dan mendorong penggunaan
moda transportasi publik. Penerapan skema ini mencakup penyiapan
regulasi,
kemitraan
pemerintah-swasta-masyarakat,
penerapan
insentif/disinsentif dapat berupa road pricing. Penerapan berupa road toll,
congestion pricing (ERP), cordon fees (pengenaan biaya pada ruas
tertetu), HOV lames (dikenakan pada kendaraan dengan daya muat kecil)
dan lainnya (Susantono, 2008); (ii) pengenalan skema pooling. Berupa
mobil antar jemput karyawan, atau anak sekolah; (iii) pembatasan usia
kendaraan; (iv) penyediaan transportasi publik terpadu (KRL, busway,
MRT, LRT); (v) peningkatan tarif pajak kendaraan bermotor; (vi)
penyiapan sistem park and ride pada stasiun KRL; (vii) optimalisasi
sistem on line
(ii) pengalihan lalu lintas mencakup (i) memindahkan kegiatan besar ke luar
kota (membangun convention centre di luar kota); (ii) pemindahan kantor
pemerintah dan swasta skala besar ke luar Jakarta; (iii) menerapkan
skema transit-oriented development (TOD).
(iii) meratakan distribusi volume lalu lintas melalui (i) pembedaan jam masuk
kantor dan jam masuk sekolah; (ii) memperbanyak jalur satu arah dan
contra flow pada jam sibuk; (iii) pembatasan kendaraan besar pada jam
sibuk (Ibrahimy, 2011).
(iv) optimalisasi kapasitas jalan mencakup (i) larangan parkir on street (badan
jalan); (ii) penerapan rekayasa lalulintas pada fase lampu lalu lintas; (iii)
pembayaran tol secara elektronik; (iv) optimalisasi pedestrian
(v) penambahan luas jalan (dilakukan secara terbatas)
(vi) penegakan hukum
(vii) regulasi dan kelembagaan berupa pembentukan otoritas transportasi
Jabodetabek, dan pengembangan Rencana Induk Sistem Transportasi
Publik Jabodetabek
3.4
Pencemaran Sungai
Memerhatikan penyebab pencemaran sungai dan air tanah yang
sebagian terbesar diakibatkan oleh perilaku masyarakat yang membuang
sampah dan air limbah ke sungai, maka fokus utama penanggulangannya
adalah berupa
(i) peningkatan kesadaran masyarakat melalui
a. sosialisasi baik pada kegiatan pengajian, peringatan kemerdekaan,
arisan dan lainnya
b. pelibatan aktif dalam kegiatan pengelolaan lingkungan sungai
melalui pembentukan komunitas ‘peduli sungai’.
c. pelibatan murid SD secara aktif melalui adopsi materi pengelolaan
lingkungan sungai sebagai salah satu muatan lokal pelajaran
sekolah;
!
9!
d. penerbitan bulletin, newsletter sederhana tentang pengelolaan
lingkungan sungai
e. perayaan festival sungai secara berkala
f. sosialisasi Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 122 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Air Limbah Domestik yang menegaskan
bahwa bangunan instansional maupun non-instansional harus
mengolah limbah domestik sebelum dibuang ke badan air atau ke
sungai.
(ii) relokasi warga yang tinggal di bantaran sungai, khususnya pada
permukiman kumuh sepanjang bantaran sungai. Hal ini memaksa
mereka untuk tidak lagi membuang sampah dan limbah ke sungai;
(iii) pembangunan sanitasi komunal pada beberapa lokasi percontohan
dengan memanfaatkan keberadaan proyek yang sudah berjalan seperti
SANIMAS (Sanitasi oleh Masyarakat). Selain mencegah pencemaran
sungai, langkah ini juga dapat mengurangi potensi pencemaran air
tanah.
(iv) memperkenalkan sanksi sosial bagi para pelanggar
3.5
Perubahan Iklim
Belajar dari pengalaman selama ini, masih banyak masyarakat yang
belum sepenuhnya memahami isu perubahan iklim. Masih sulit buat mereka
membedakan antara mitigasi dan adaptasi. Untuk itu, langkah awal dan
terpenting adalah melakukan upaya peningkatan kesadaran. Peningkatan
kesadaran ini, sebagaimana biasanya dilakukan melalui sosialisasi baik
melalui saluran informal seperti pengajian, arisan dan lainnya, maupun
saluran formal lewat sekolah. Peningkatan kesadaran ini harus sampai pada
terbentuknya komitmen, dapat berupa kesepakatan maupun rencana kerja di
berbagai tingkatan.
Untuk menjamin keberlanjutan dari peningkatan kesadaran dan
menjaga komitmen ini, dipandang perlu untuk melakukan pendampingan
pada masyarakat. Pendampingan ini dilakukan melalui penyediaan fasilitator
di tingkat kelurahan yang bertugas mendampingi masyarakat dalam
memenuhi rencana kerja maupun komitmen mereka. Fasilitator ini dapat
berasal dari masyarakat sendiri maupun dari LSM atau bahkan staf
kelurahan.
Selain itu, pemerintah daerah dapat bermitra dengan pemerintah
pusat maupun pihak lain. Dengan demikian, salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah melanjutkan kerjasama yang telah dibina selama ini dengan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Program Adiwiyata
(Green School). Program ini dimaksudkan untuk mendorong terciptanya ilmu
pengetahuan dan kesadaran warga sekolah dalam upaya pelestarian
lingkungan. Kegiatan ini dibangun dari komitmen/Kesepakatan Bersama.
Dengan demikian, diharapkan terwujud kepedulian baik siswa, maupun guru
tanpa paksaan. Selain itu, diharapkan sekolah yang terlibat dapat menjadi
‘center of excellence’ (BPLH Provinsi DKI Jakarta, 2013)
Salah satu bentuk kemitraan yang dapat dilakukan adalah
mengembangkan kegiatan bersama dengan pihak swasta dengan
memanfaatkan keberadaan program Corporate Social Responsibility
(CSR). Sebagai contoh adalah Program Green and Clean, yang diawali di
kota Surabaya pada tahun 2005, berupa program pelestarian lingkungan
!
10!
melalui penghijauan dan pengelolaan sampah mandiri (BPLH Provinsi DKI
Jakarta, 2013)
Untuk itu, pemerintah DKI Jakarta sebaiknya melakukan kampanye
besar-besaran agar program Jakarta Green and Clean (JGC) yang telah
dirintis pada tahun 2006 bersama PT. Unilever Indonesia, Tbk. dan Jaringan
Delta FeMale Indonesia (JDFI) dapat terlaksana dalam skala yang lebih besar
lagi.
Perubahan iklim tidak hanya berbicara tentang iklim saja tetapi juga
terkait pada segala hal yang baik secara langsuang maupun tidak langsung
mempengaruhi atau mendorong terjadinya perubahan iklim. Telah lama
disadari bahwa keberadaan gedung dengan materialnya dapat berdampak
pada perubahan iklim. Saat ini telah dikenal konsep Green Building yaitu
perencanaan dan pembangunan gedung atau rumah tinggal dengan
menggunakan material yang tidak banyak menimbulkan efek Global
Warming, sedikit penggunaan/pemakaian energi (baik itu energi listrik
ataupun energi pemanasan atau yang lainnya), memerhatikan pelestarian
lingkungan baik itu dari segi ekosistem flora dan fauna dan sebagainya
(BPLH Provinsi DKI Jakarta, 2013). Kemitraan dengan Green Building
Council di Indonesia perlu dilakukan untuk mendorong agar gedung di Jakarta
dapat memenuhi kualifikasi gedung hijau.
Kemitraan dengan Green Building Council juga dalam rangka
penegakan hukum terkait keberadaan Pedoman Teknis Peraturan Gubernur
KDKI Jakarta tentang Bangunan Ramah Lingkungan. Dengan demikian,
setiap bangunan di DKI Jakarta yang ingin mengajukan Ijin Mendirikan
Bangunan (IMB) dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) dapat diwajibkan
(mandatory) untuk memenuhi persyaratan bangunan ramah lingkungan
(Green Building).
3.6
Tata Ruang
Dari sisi tata ruang, telah diatur secara jelas bahwa luasan ruang
terbuka hijau adalah minimal 30% dari luasan kawasan terbangun. Ketika hal
ini dapat terwujud, maka secara langsung dapat mengurangi pemanasan
global. Untuk itu, keberadaan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) menjadi
suatu keniscayaan. RDTR menjadi acuan dalam pemberian izin lokasi. RDTR
DKI Jakarta telah disahkan dan termasuk RDTR generasi pertama di
Indonesia. Saatnya untuk mulai melakukan pengendalian pemanfaatan ruang
sebagai alat pencegahan pemanasan global. Dibutuhkan kesiapan sistem
informasi tata ruang, dan ditunjang oleh keberadaan Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS) yang menjadi garda depan pengendalian pemanfaatan ruang di
lapangan. Menjadi pekerjaan rumah pemerintah daerah untuk memperbanyak
PPNS tata ruang.
Jakarta termasuk dalam jalur patahan dan gunung berapi aktif (ring of
fire), sehingga menjadi suatu keniscayaan rencana tata ruang
Jabodetabekjur, rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana detail tata
ruang mengakomodasi aspek pengurangan resiko bencana.
Pengelolaan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil masih
terkendala oleh ketiadaan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil (RZWP3K). Untuk itu, penyelesaian RZWP3K Provinsi DKI Jakarta perlu
disegerakan. Perdebatan terkait reklamasi Jakarta dapat ditunda dengan
menggunakan skema deliniasi sesuai PP Nomor 8 Tahun 2013 tentang
!
11!
Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang. Kawasan yang masih menjadi
perdebatan dapat dikeluarkan (dideliniasi) dan tidak termasuk dalam kawasan
yang diatur melalui Perda. Dengan demikian, acuan pengelolaan ruang
wilayah pesisir dan pulau kecil dapat segera tersedia.
Sejalan dengan itu, penyelesaian peninjauan kembali RTR
Jabodetabekjur seyogyanya dapat diselesaikan bersamaan dengan
penyelesaian RZWP3K Provinsi DKI Jakarta. Dengan demikian keseluruhan
dokumen RTR DKI Jakarta telah lengkap dan pengendalian pemanfaatan
ruang dapat dilaksanakan dengan optimal.
Selain itu, untuk mengefektifkan pengendalian tata ruang
Jabodetabekjur, dipandang perlu dibentuk sebuah unit pengendali yang
bersifat lintas daerah. Kewenangannya setidaknya mencakup koordinasi
pengelolaan transportasi terpadu Jabodetabekjur, dan pengelolaan
sumberdaya air DAS di Jabodetabekjur.
Memasuki tahap pengendalian pemanfaatan ruang saat ini, diperlukan
terbangunnya sebuah sistem informasi tata ruang yang sampai tingkat
kelurahan untuk memudahkan pengendalian pemanfaatan ruang. Selain itu,
juga meningkatkan transparansi dan akuntabilitas penataan ruang.
IV.
Penutup
Dalam penanganan masalah kota Jakarta, aspek tata ruang dan
lingkungan hidup terlihat sangat terkait satu dengan yang lain. Penataan
ruang menjadi faktor pendukung upaya penanganan masalah lingkungan
hidup. Dengan demikian, pengendalian pemanfaatan ruang menjadi
keniscayaan dalam penanganan masalah lingkungan hidup di DKI Jakarta.
Secara umum, fokus bahasan masalah Jakarta terkait tata ruang dan
lingkungan hidup mencakup (i) lingkup penanganan baik nasional, regional
dan lokal; (ii) banjir; (iii) kemacetan; (iv) pencemaran sungai; (v) perubahan
iklim; (vi) tata ruang.
Solusi yang ditawarkan sebagian besar mencakup non struktural
seperti (i) peningkatan kesadaran pemangku kepentingan; (ii) pelibatan
masyarakat secara lebih intensif; (iii) pengembangan kemitraan bersama
swasta, LSM, perguruan tinggi dan masyarakat; (iv) penyempurnaan regulasi
dan penegakan hukum; (v) pelaksanaan pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan tata ruang; (vi) pengembangan kerjasama
antardaerah. Solusi struktural lebih bersifat kegiatan fisik yang sebagian
besar telah dilaksanakan seperti pembangunan waduk, rehabilitasi situ,
pembangunan polder dan lainnya.
!
12!
DAFTAR PUSTAKA
DOKUMEN PEMERINTAH
•
•
•
•
Dinas Kebersihan Pemerintah DKI Jakarta. Masterplan dan Kajian
Akademis Persampahan DKI Jakarta. Jakarta , 2012.
Kementerian
Perencanaan
Pembangunan
Nasional/Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional. Laporan Nasional. Evaluasi
Kinerja Pembangunan Daerah di 33 Provinsi Tahun 2014. Jakarta, 2015.
Kementerian
Perencanaan
Pembangunan
Nasional/Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional. Telaahan Bappenas terhadap
Permasalahan Ibukota Jakarta dan Solusi Penanganannya. Policy Brief.
Bahan Tayangan. Jakarta 2012.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Status Lingkungan Hidup Daerah
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2013. Laporan. Jakarta, 2014.
BUKU
•
Gunawan, Restu. Gagalnya Sistem Kanal. Pengendalian Banjir Jakarta dari
Masa ke Masa. Kompas, Jakarta 2010.
•
Kumurur, Veronica A. Pembangunan Kota dan Kondisi Kemiskinan
Perempuan. PPLH-SDA Unsrat Press-Manado,
Ratulangi Manado-Indonesia, 2010.
Universitas
Sam
MAKALAH-KARYA ILMIAH-ARTIKEL
•
•
•
•
•
•
•
!
Dahuri, Rokhmin. Banjir Jakarta dan Solusinya. Koran Sindo 21 Januari
2014.
Djakapermana, Ruchyat Deni. Rencana Tata Ruang Kawasan
Jabodetabekpunjur: Upaya Menyeimbangkan Pertumbuhan Ekonomi
dengan Kelestarian Lingkungan Hidup. Buletin Tata Ruang, Edisi JuliAgustus 2008, BKPRN.
Djakapermana, Ruchyat Deni. Reklamasi Pantai sebagai Alternatif
Pengembangan Kawasan. Buletin Tata Ruang, Edisi Juli-Agustus 2010,
BKPRN.
Handayani, Sarwo. Implikasi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang terhadap Penyediaan Ruang Terbuka Hijau dan
Ruang Terbuka Non Hijau di Provinsi DKI Jakarta. Buletin Tata Ruang
Edisi Maret-April 2008, BKPRN
Hudalah, Delik dan Pratama, Yudistira. MRT: Angkutan Perkotaan Masa
Depan. Buletin Tata Ruang Edisi September-Oktober 2010, BKPRN.
Ibrahimy, Dhaifi. Permasalahan dan Solusi bagi Urbanisasi dan OverPopulasi di Kota Megapolitan. Pasca Sarjana Sosiologi Universitas
Airlangga, Semarang, 2011.
Mungkasa, Oswar. The Sustainable Cities. Graduate School of Public
and International Affairs, University of Pittsburgh, USA, 1998
13!
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Mungkasa, Oswar. Cost Benefit Analysis of Sticker Policy in Central
Business Jakarta. Graduate School of Public and International Affairs,
University of Pittsburgh, USA, 1998.
Mungkasa, Oswar. Menuju Kota Tanpa Permukiman Kumuh. Republika 6
Oktober 2010.
Mungkasa, Oswar. Pembangunan Perumahan pada Penerapan Model
‘Compact City’ di DKI Jakarta. Buletin Tata Ruang dan Pertanahan Tahun
2012, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas, Jakarta, 2012.
Mungkasa, Oswar. Mengurangi Timbulan Sampah Perkantoran sebagai
Bagian dari Upaya Pemecahan Masalah Sampah Perkotaan. Majalah
Kelola. Sumber Informasi Kelola Sampah dengan Bijak. Edisi I Tahun
2013. Inswa, Jakarta, 2013.
Nainggolan, Azas Tigor. Pembenahan Transportasi Jakarta/Sembilan
Langkah untuk Revitalisasi Angkutan Umum Jakarta. Jakarta, 2011.
Diakses dari situs Wikibuku.
Parasati, Hayu. Kebijakan Perkotaan terkait Perubahan Iklim. Buletin
Tata Ruang Edisi Januari-Februari 2012, BKPRN.
Prasetijaningsih, Chris D. Ruang Terbuka Hijau dalam Kota yang Sehat.
Buletin Tata Ruang Edisi Januari-Februari 2012, BKPRN.
Putra, Rian Permana. Resume Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah Provinsi DKI Jakarta. Fakultas Politik Pemerintahan,
Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Jatinangor, 2014.
Sekretaris Badan Kerjasama Pembangunan (BKSP) Jabodetabek.
Kerjasama
Antardaerah
dalam
Penataan
Ruang
Kawasan
Jabodetabekpunjur. Buletin Tata Ruang Edisi September-Oktober 2008,
BKPRN.
Soegijoko, Budhy Tjahjati S. Smart Growth dalam Pengembangan
Perkotaan. Buletin Tata Ruang Edisi Januari-Februari 2011, BKPRN.
Susantono, Bambang. Electronic Road Pricing (ERP). Salah Satu Solusi
Masalah Kemacetan di Kota Jakarta. Buletin Tata Ruang SeptemberOktober 2008, BKPRN.
Susantono, Bambang. Bangunan Baru dan Ancaman Kemacetan di
Jakarta. Buletin Tata Ruang September-Oktober 2008, BKPRN.
Tarigan, Antonius. Kerjasama Antardaerah untuk Peningkatan
Penyelenggaraan Pelayanan Publik dan Daya Saing Wilayah. Buletin
Tata Ruang Edisi Maret-April 2009, BKPRN.
Tim Redaksi Butaru. Pembatasan Kendaraan untuk Mengurangi
Kemacetan Jakarta. Buletin Tata Ruang Edisi Maret-April 2008, BKPRN.
Widiantono, Doni J. Green Transport: Upaya Mewujudkan Transportasi
yang Ramah Lingkungan. Buletin Tata Ruang Edisi Mei-Juni 2009,
BKPRN.
KLIPING BERITA
•
!
Marco Kusumawijaya: Atasi Banjir, Utamakan Pendekatan Konservasi
Lestari. DetikNews 19 Januari 2013.
14!
INTERNET
•
•
!
Pembenahan Transportasi Jakarta. Wikibuku (id.wikibooks.org/wiki/
Pembenahan_Transportasi_Jakarta/Transportasi_Kota_Jakarta). Diakses
tanggal 1 Juni 2015 pukul 20.45 WIB.
Rencana 6 Ruas Jalan Tol Dalkot Jakarta: Bencana Lingkungan Hidup
Perkotaan. RUJAK (rujak.org). For a better Jakarta. Diakses 2 Juni 2015
pukul 8.28 WIB.
15!