Kajian dan ritual dalam Islam

Kajian Ritual dan komunitas
Tinjauan paper dari Richard C. Martin
“Approaches to Islam in Religious Studies”
Ageng Asmara Sani (1520311001)
A. Latar Belakang
Sejarah telah mencatat bahwa suatu agama tidak akan mungkin lepas dari adanya ritual
dan komunitas dari keagamaan itu sendiri, hal ini dapat dilihat dari bermacam-macam cara
suatu agama dalam melakukan ritual keagamaan, dalam Islam misalnya yang mewajibkan
seluruh umatnya untuk menjalankan sholat 5 waktu. Sholat 5 waktu dalam islam merupakan
salah satu wujud dari ketaatan seorang muslim. Islam sendiri memberi penekanan yang besar
pada aktivitas ritual yang dilaksanakannya dan memiliki makna yang sangat mendalam dalam
memanifestasikannya dalam kehidupan sehari-hari.1
Dalam buku Approaches to Islam in Religious Studies karangan Richard C. Martin,
terdapat satu bab yang khusus membahas mengenai ritual dan komunitas dalam Islam. Sorotan
yang dilakukan Arnold van Gennep dalam dalam karyanya yang berjudul rites de passage yang
juga dinukilkan dalam bukunya Richard C. Martin mengungkapkan bahwa pelaksanaan ritual
ibadah haji dan berbagai warna-warninya dibagi menjadi beberapa tahap, tahap tersebut adalah:
pra pelaksanaan, pelaksanaan, dan paska pelaksanaan ibadah haji atau dapat juga di katakan
dengan tahap perpisahan, tahap transisi, dan tahap kebersamaan yang mana disana banyak
sekali acara-acara/ ritual-ritual yang dilakukan.2
Indonesia dan malaysia yang rumpun yang hampir sama yakni rumpun melayu tak luput

dari perhatian Richard C. Martin. Hal ini dianggap menarik karena baik Indonesia maupun
malaysia memiliki karakteristik budaya yang hampir sama, kekeluargaan yang sangat dijunjung
tinggi, dan sikap gotong royong yang melekat pada masyarakatnya baik Indonesia maupun
Malaysia.

1

2

Richard C. Martin (ed), Pendekatan Terhadap Islam dalam Studi Agama, diterjemahkan oleh: Zakiyuddin Baidhawy,
(Yogyakarta:Suka-Press, 1985), hlm. 69
Ibid., hlm. 88

1|Page

B. Pembahasan
Pembahasan dalam makalah ini akan dibagi menjadi 2 bagian yang mana akan membahas
ritual Islam: perspektif dan teori dan Haji dan sejarah agama-agama: pendekatan teoritis
terhadap haji. Pembagian pembahasan menjadi 2 ini berdasarkan pada pembagian dalam buku
Richard C. Martin yang membagi Ritual dan Komunitas menjadi 2 pokok bahasan ini.

a. Ritual Islam: Perspektif dan Teori (Fredick M Denny)
Sebelum memasuki pembahasan lebih mendalam ada baiknya kita melihat
pengertian mengenai ritual dari para ahli. Menurut Funk dan Wagnalls dalam A.G
Muhaimin ritual dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk yang sudah ditentukan atau
metode untuk melaksanakan upacara keagamaan yang dilaksanakan dengan khidmat,
atau isi dari ritual dalam upacara keagamaan.3 Pengertian dasar ini berimplikasi pada
perbedaan dalam melaksanakan ritual keagamaan. Hal ini memungkinkan perbedaan
dalam pelaksanaan ritual yang terjadi antara satu pemeluk agama dengan pemeluk
agama lainnya namun memiliki esensi yang sama. Misalnya umat Muslim dalam
melaksanakan Sholat terdapat perbedaan dalam takbiratul ikhram ada yang mengangkat
tangan hingga diatas dada ada yang sejajar dengan dada. Hal ini dikarenakan terjadinya
perbedaan penafsiran atas teks-teks keagamaan yang mana memang memunculkan
multitafsir dan masih banyak lagi contoh-contoh dalam pelaksanaan ritual yang berbeda
dalam teknisnya namun memiliki esensi yang sama.
Sedangkan menurut pendeta Kenneth E. Untener dalam artikelnya yang berjudul
Ritual and Community: What I've Learned in the Parishes menyatakan bahwa:
Ritual as something that is predictable, repetitive, reverent, personal, communal,
evocative of the widest and deepest feelings, and always fresh. A ritual that expresses all
of that is, of course, something that is very difficult to create but, thankfully, instead of
having to create the appropriate words and gestures that make up such a ritual, we are

called to focus on how to understand and take full advantage of the ritual that has been
provided for us. We have been given, by those who have gone before us, an
extraordinarily good, expressive ritual that is potential dynamite, especially the
Eucharist, but that evaluation is also true, I believe, of the other rites of the church as
well.4
3

A.G. Muhaimin, “The Islamic Traditions of Cirebon Ibadat and Adat Among Javanese Muslims”, (Austraila: Department of
Anthropology Division of Society and Environment Research School of Pacific and Asian Studies, 1995), hlm 79

4

Berdasarkan pada presentasi yang disampaikan pendeta Kenneth E. Untener, Ritual and Community: What I've Learned in
the Parishes, (Helena:1998), hlm. 1

2|Page

Pengertian tersebut mengarah pada agama yang selalu dapat memprediksi,
berulang, khidmad, bersifat personal dan komunal, menggugah pemeluknya utk selalu
berbuat kebaikan, dan selalu menyegarkan keimanan bagi pemeluknya. Ritual berwujud

pada ekspresi yang dilakukan seorang hamba untuk menyembah tuhannya. Setiap agama
memiliki cara dalam mengekspresikan ritual-ritual tersebut. Dalam Islam ritual sangat
banyak cara untuk mengekspresikannya dalam rukun Islam saja sudah disebutkan
pokok-pokok dalam melaksanakan ritual disana ada Sholat, Zakat, Puasa, dan haji dan
itu semua secara eksplisit telah di jelaskan dalam Al-qur'an namun dalam
pelaksanaannya masih banyak terjadi multi tafsir yang mana setiap mufassir
dimungkinkan terdapat perbedaan pendapat. Secara normatif, teks-teks keagamaan
memberikan ruang cukup lebar bagi berbagai variasi pemahaman (multi tafsir/ikhtilaf).
Beragam proses pemahaman dan penafsiran bertujuan untuk menguak “kehendak”
Tuhan.5
Didalam buku karya Richard C. Martin terdapat pertanyaan yang cukup
menantang dalam pendekatan Studi ritual dan studi Islam pertanyaan tersebut adalah apa
kunci untuk memahami ritual Islam dari luar tradisinya? Apakah mudah menerima apa
yang dikatakan sumber-sumber resmi tentang ritual Islam? Dan apa yang bisa diterima
sebagai sumber-sumber resmi?6 Pertanyaan-pertanyaan ini berangkat tentu saja
berangkat dari hasil pemikiran yang menyeluruh akan konsep Islam itu sendiri melihat
banyaknya praktik-praktik dalam melaksanakan ritual dalam beribadah umat Muslim
yang ditambah-tambahkan, dan hal tersebut diyakini bahwa ibadah tersebut merupakan
ibadah yang benar dan sesuai tuntunan. Sebagai contoh misalnya bagaimana praktik
kenduren yang diadakan di Indonesia yang dilaksanakan setiap 7, 40, 100, 1000 hari

setelah meninggalnya seseorang. Adanya pengadopsian yang dilakukan wali songo
terhadap budaya Hindu-Budha sehingga diterapkan dan dimodifikasi sehingga tidak ada
hal-hal yang dilarang lalu diterapkan dalam Islam Nusantara. Atau misalkan praktik
pencarian wasilah dari orang (yang dianggap) suci dengan mengunjungi makamnya.7

5

Nasrullah, “Hermeneutika Otoritatif Khaled M. Abou El Fadl: Metode Kritik Atas Penafsiran Otoritarianisme Dalam
Pemikiran Islam,” Jurnal Hunafa, Vol. 5: 2, (Agustus 2008), hlm. 141

6

Frederick M. Denny, Richard C. Martin (ed), Pendekatan Terhadap Islam dalam Studi Agama, hlm. 70

7

Ibid., hlm 71

3|Page


Contoh diatas merupakan sedikit gambaran mengenai beberapa penyimpangan
yang dalam Islam sendiri tidak jelaskan secara gamblang namun terdapat dalil-dalil
yang dapat dijadikan sandaran sehingga hal tersebut tidak sepenuhnya salah. Produkproduk fiqh yang ada sekarang merupakan pemahaman dari para fuqoha (ahli fiqh) yang
diinterpretasikan dalam kehidupan berdasarkan pada hasil Ijtihad. Jika pemahaman
seorang Muslim Indonesia lebih banyak melalui fiqh daripada melalui sumber teksnya
langsung (Al-Qur’an dan As-Sunnah) maka yang terjadi adalah seperti saat ini (tanpa
mengetahui dasarnya dengan mudah mengkafirkan/ menyalahkan orang) padahal dalam
penginterpretasian ayat dan hadis dapat memiliki berbagai pemahaman yang mana bisa
jadi pemahaman yang dianggap orang banyak salah (karena memahami fiqh terlebih
dahulu) malah itu yang sebenarnya Nabi Muhammad maksudkan.
i. Kegelisahan akademis yang dihadapi Frederick M Denny
Kesalahan studi mengenai ritual Islam bukan kesalahan dari seorang
Muslim akan tetapi kesalahan tersebut adalah kesalahan para cendikiawan.
Kekeliruan yang dapat dimaafkan saat ini adalah kesaksian atas kegagalan ilmiah
dan keburaman materi bahasan disinilah letak masalahnya. Orang perlu menguji
teks

dan

konteks,


dan

perbedaan

antara

keduanya

sehingga

dapat

diinterpretasikan dalam Islam dan dapat dijadikan sandaran hukum (hujjah).8
Istillah yang paling dasar untuk ritual Islam adalah Ibadah, penghambaan
dari yang lebih rendah kepada yang Maha Agung, Tuhan. Semua kewajiban
resmi dalam Islam terangkum dalam Ibadah dan rukun Islam. Ritual dalam Islam
merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari keimanan seorang
Muslim. Dari permasalahan-permasalahan diataslah yang membuat Frederick M
Denny meneliti mengenai ritual dalam Islam. Denny menganggap bahwa studi

Islam saat ini tidak begitu memandang ritual sebagai pokok bahasan yang
menarik dalam studi-studi mereka padahal dalam Islam sangat mengedepankan
ritual sebagai salah satu bentuk peribadatan yang harus dilakukan oleh seorang
Muslim.
ii. Metode Penelitian
Frederick M. Denny menggunakan pendekatan Fenomenologi yang mana
8

Frederick M. Denny, Richard C. Martin (ed), Pendekatan Terhadap Islam dalam Studi Agama, hlm.74

4|Page

pendekatan ini berdasarkan pada fenomena yang terjadi di lapangan menurut
Morny M. Joy fenomenologi adalah
...Phenomenology is fatally flawed, but that there is a need to
acknowledge that reason has had a checkered history and that many present
models, though assumed to be authoritative, are of recent development. These
models have all been constructed, and their approaches would be better
appreciated as being of an interpretative, not absolute nature.9
Dari pengertian itu dapat diambil kesimpulan bahwa fenomenologi adalah

suatu pendekatan yang dilakukan untuk mendapatkan suatu praktik yang
sesungguhnya dengan cara mengamati fenomena yang ada. Pendekatan ini
digunakan untuk menemukan bentuk yang bersifat umum dan juga untuk
menemukan yang bersifat khusus. Frederick M. Denny beranggapan bahwa
pendekatan inilah yang dirasa pas dalam melakukan penelitian dalam melihat
gejala-gejala dalam studi Islam (tentu saja denny bersifat netral) dan hal tersebut
diungkapkan secara eksplisit olehnya.
Menangkap esensi tidak menghendaki sesuatu yang drastis seperti
konversi, tetapi ia menuntut simpati dan respek sekaligus keterbukaan pada
banyak hal, kita tidak dapat pindah ke Islam untuk tujuan otensitas ilmiah. Para
kolega Muslim yang akan mengambil keahlian sejarah agama-agama berada di
bawah batas-batas yang sama sebagaimana non-Muslim dalam membuat makna
tentang tradisi untuk dunia keilmuan secara luas.10
Frederick M. Denny memberikan pengenalan mengenai ruang suci dalam
Islam yang berbeda dengan tradisi-tradisi lain. Ia juga mengambil pendapat dari
Theodor Gaster yang menjelaskan tentang Thesis sebuah fenomena yang ia sebut
topocosme.11 ritus kenosis (pengosongan) dan ritus plerosis (pengisian)
merupakan komponen-komponen utama dari pola musim dari topocosme.12
iii. Sumbangan keilmuan
Sumbangan keilmuan yang diberikan oleh Frederick M. Denny ini

9

Morny M Joy, Peter Antes dkk (ed), New Approach to study of religion vol: 1 Regional Critical and Historical
Approaches, (Berlin: Walter de Gyuter, 2004), hlm: 212
10

11

12

Frederick M. Denny, Richard C. Martin (ed), Pendekatan Terhadap Islam dalam Studi Agama, hlm.73
Topocosme adalah suatu hubungan kompleks antara individu, masyarakat, waktu, dan lokasi yang berpusat dalam
lingkaran musim dengan kosmologi yang komprehensif.
Frederick M. Denny, Richard C. Martin (ed), Pendekatan Terhadap Islam dalam Studi Agama, hlm.73

5|Page

setidaknya ada dua: yang pertama adalah Denny menginginkan bahwa studi
tentang ritual dalam Islam tidak lagi di kesampingkan karena Islam memberikan
perhatian khusus terhadap ritual-ritual keagamaan yang dilaksanakannya,

sedangkan yang kedua adalah adanya dikotomi atau pembagian antara Islam
Resmi dan Islam populer yang mana kedua hal ini membuat studi mengenai
Islam menjadi semakin berwarna karena terdapat beberapa perbedaan yang
terjadi dalam pelaksanaan ritual keagamaannya akan tetapi memiliki esensi yang
sama.
b. Haji dan sejarah agama-agama: pendekatan teoritis terhadap haji (William R.
Roff)
Pada awal makalah ini telah dijelaskan sedikit mengenai ritual-ritual yang
menjadi sorotan Frederick M. Denny. Pada pembahasan selanjutnya akan sedikit
membahas mengenai haji dan sejarah agama-agama: pendekatan teoritis terhadap haji
yang ditulis oleh William R. Roff dan di kritisi oleh Richard C. Martin. Pokok bahasan
yang disoroti oleh William R. Roff berasal dari ritual Islam yakni ibadah haji yang mana
dalam melaksanakan ibadah haji banyak sekali efek-efek sosial yang akan diterima oleh
orang tersebut dikalangan masyarakat.
Indonesia dan Malaysia sebagai salah satu negara yang penganut Muslim yang
cukup banyak ketika memandang ibadah haji sebagai salah satu hal yang sangat luar
biasa sehingga dapat meningkatkan derajat/ strata sosial seorang yang sudah
melaksanakan ibadah haji semaking tinggi di kalangan masyarakat bahkan di Indonesia
mendapatkan gelar “pak haji”. Pelaksanaan ibadah haji menurut Roff terbagi menjadi 3
fase yang diungkapkannya sebagai berikut:
Pada hari yang tepat, tibalah saat seorang haji akan berangkat dari rumahnya. Di
Malaysia dan Indonesia, hari yang tepat itu ditentukan oleh acara ramalan (ekstraIslam), untuk menentukan saat paling baik bagi keberangkatannya. Acara ini diiringi
dengan makan-makan, karena itu hari dapur harus mengepul menyajikan aneka
hidangan. Acara yang sudah mapan dan bersifat komunal ini tentu saja dilakukan di
rumah sang calon haji, yang dihadiri oleh sanak famili, tetangga, dan kawan-kawan
dekat. Ini menyimbolkan “kesatuan mistik dan sosial mereka yang berpartisipasi
didalamnya.” dengan cara ini, matrik sosial tempat sang calon haji bersal dan ke mana ia
akan pulang coba diingatkan. Serangkain doa dipanjatkan dalam pertemuan tersebut dan
pada saat yang sama mereka yang ditinggalkan memohon agar didoakan sang calon haji

6|Page

di Tanah Suci nanti. Tidak ada doa yang lebih tinggi nilainya daripada doa ini.13
Dengan semakin berkembangnya zaman semakin banyak pula ritual-ritual yang
dilakukan masyarakat dalam menghiasi pelaksanaan ibadah haji. Sehingga hal tersebut
dianggap sebagai ritual yang sudah seyogyanya dilakukan dan jika tidak dilakukan akan
mengurangi nilai sosial dari masyarakat mengenai orang tersebut. Karena didalam ritual
tersebut banyak tersisipkan nilai-nilai kebersamaan dan kepedulian antar sesama dan
pemotivasian agar yang belum berangkat haji dapat disegerakan hajinya.
i. Kegelisahan Akademis
William R Roff memulai penelitian mengenai haji dan sejarah agamaagama berdasarkan pada beberapa kegelisahan yang dihadapinya, antara lain:
1. Masih sedikitnya kajian yang berkaitan dengan haji yang dilakukan oleh
para cendikiawan dari sudut pandang analitis-sosiologis, psikologis,
materialis, antropologis dan lain sebagainya.14 Haji menjadi pengalaman
religius bagi umat islam dan bagi sesama pemeluk agama Islam.
Tentunya penjelasan mengenai haji dapat dengan mudah dilakukan dan
dijelaskan kepada umat Muslim karena pandangan yang digunakan sama
sedangkan untuk orang diluar umat Muslim agak susah atau masih sangat
minim penjelasan yang diberikan, sehingga studi mengenai haji seolah
hanya dikalangan orang tertentu saja atau bersifat eksklusif. William
menawarkan penjelasan yang tidak hanya dapat dipahami oleh orang
dalam (umat Muslim) namun juga dapat dipahami oleh pihak luar (umat
non-Muslim).
2. Sebuah pertanyaan dari Jacques Waardenburg mengenai apa peran dan
fungsi sosial dan politik umum yang dimainkan oleh ide dan praktik
keislaman yang berbeda-beda terlepas dari makna keagamaan secara
khusus yang dimaksudkan oleh para penganutnya?15
ii. Metode Penelitian
Seperti halnya Frederick M. Denny pendekatan yang dilakukan oleh
13

14
15

William R. Roff, Richard C. Martin (ed), Pendekatan Terhadap Islam dalam Studi Agama, hlm.89
William R. Roff, Richard C. Martin (ed), Pendekatan Terhadap Islam dalam Studi Agama, hlm.85
Ibid., 86

7|Page

William juga menggunakan fenomenologi untuk mencari bentuk yang bersifat
general (umum) dan bentuk yang bersifat partikular (khusus). Fenomenologi
mengharuskan orang yang meneliti masuk kendalam Agama tersebut dang
mengurung keyakinannya tanpa masuk secara menyeluruh (pindah keyakinan)
sebagai upaya untuk mencoba merekonstruksi pikirannya agar dalam memahami
agama tersebut tidak setengah-setengah. William melakukan pendekatan dengan
metode verstehen16 yang diperkenalkan oleh Max Weber. Sehingga penelitian
yang dilakukannya bukan hanya berdasar pada apa yang tampak dari ritual haji
dan berdasar pada historis saja, namun juga mempertimbangkan sudut pandang
dari pelakunya.
Selanjutnya William juga sedikit menyisipkan pernyataan Arnold van
Gennep mengenai rites de passage yang mana pendapat Arnold van Gennep ini
mengenai perjalanan mengenai pelaksanaan ibadah haji yang dilakukan oleh
orang-orang yang berada jauh dari jazirah Arab. Arnold mengungkapkan
setidaknya ada 3 tahap dalam melaksanakan ibadah haji yakni: pra pelaksanaan,
pelaksanaan dan pasca pelaksanaan. Ketiga kategori tersebut tentunya memiliki
dampak bagi jamaah haji di seluruh dunia.
Selain Arnold van Gennep pendapat lain juga diambil dari Victor Turner
yang mengungkapkan mengenai makna “persiapan” yang penting bagi
keseluruhan proses pelaksanaan haji. Pelaksanaan haji yang membutuhkan
waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit membuat jamaah haji harus
mempersiapkan segala kebutuhannya baik menyiapkan bagi keluarga yang
ditinggalkan maupun untuk perbekalan dalam perjalanan jamaah tersebut.
iii. Sumbangan Keilmuan
Sebagaimana yang sudah disebutkan diatas bahwa terdapat 3 tahap dalam
pelaksanaan haji (Pra pelaksanaan, pelaksanaan, pasca pelaksanaan) yang
memiliki dampak kepada pemeluknya maka akan dibahas satu-persatu:

16

Menurut Max Weber Verstehen adalah tindakan dengan memahami motif-motif pelaku dari sudut pandang subyektif,
yaitu dengan cara peneliti berusaha menaruh diri di posisi pelaku. Max Weber, Sosiologi Agama, diterjemahkan oleh Yudi
Santoso (YogyakartaL IRCiSod: 2012), hlm. 23

8|Page

1. Pra pelaksanaan
Pra pelaksanaan ini jamaah haji yang hendak melaksanakan haji
haru

mempersiapkan

segala

hal

yang

berkaitan

dengan

keberangkatannya, baik berupa perbekalan yang akan dibawa maupun
perbekalan yang harus disiapkan untuk keluarga yang akan ditinggal.
Karena keluarga yang akan ditinggal dengan waktu yang cukup lama
maka perbekalan yang harus dipersiapkan juga harus cukup paling tidak
untuk 40 hari.
Selain dari perbekalan yang harus dipersiapkan jamaah haji juga
melalui fase pemisahan dirinya dengan masyarakat sekitar. Indonesia
khususnya jawa sering menyebut fase pemisahan diri dengan masyarakat
dengan melakukan “pesta” yang lazim dikenal dengan nama “pamitan
haji” yang mana disana didatangi oleh sanak keluarga, tetangga, dan
teman. Pelaksanaan “pamitan haji” ini biasanya diisi dengan doa bersama
dan makan besar dan titip doa kepada jamaah yang akan berangkat ke
tanah suci.
2. Pelaksanaan
Dalam pelaksanaan ibadah haji identitas, batasab, dan norma
sosio-struktural mulai dihilangkan dan digantikan dengan maksud
menekankan persaudaraan, berbagi pengalaman bersama dan mempererat
serta memperluars jaringan hubungan, maka proses ini menemukan
tingkat simboliknya yang paling tinggi sebagaimana yang dicapai di
Mekkah.17
Ketika pelaksanaan haji dimana semua orang dari seluruh dunia
berkumpul menjadi satu di tanah haram dengan runtutan ibadah yang
dilaksanakannya mulai dari ihram dari miqat sampai tawaf wada’ yang
mengandung nilai-nilai persatuan umat Islam dan bentuk penghambaan
kepada Tuhan. Pengalaman komunitas ini jelas tampak dalam
pelaksanaan haji dan kandungan ritual dan simboliknya membutuhkan

17

William R. Roff, Richard C. Martin (ed), Pendekatan Terhadap Islam dalam Studi Agama, hlm.92

9|Page

analisis yang mendalam di dalam terma-terma rites de passage.18 Namun,
Turner melihat bahwa puncak dalam pengalaman-pengalaman haji adalah
ketika melakukan tawaf mengelilingi Ka’bah dan mencium atau
menyentuh hajar aswad. Semua hal itu dilakukan oleh para jamaah haji
dengan semangat persatuan dan penuh penghambaan terhadap Tuhannya.
3. Pasca pelaksanaan
Pasca pelaksanaan dari ibadah haji adalah seberapa berkesan dan
dapat diimplementasikannya ibadah haji setelah jamaah haji pulang dari
pelaksanaan haji. Sehingga konsep haji mabrur itu dapat dilihat setelah
seseorang pulang dari pelaksanaan ibadah haji. Van Gennep melihat
bahwa perubahab yang efektif seorang individu “dari posisi tertentu
sebelumnya ke posisi yang lainnya”. Ia mengungkapkan seperti dalam
kelahiran, pubertas sosial, perkawinan, status kebapakan, perpindahan ke
kelas yang lebih tinggi, pencapaian-pencapaian spesialisasi, dan
kematian.19
Perpindahan tersebut mungkin dapat diungkap melalui pendapat
Abu Yazid al-Bistami, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hujwiri: “Pada
perjalanan haji saya yang pertama, saya hanya melihan rumah Tuhan;
pada yang kedua, saya melihat rumah Tuhan dan Pemiliknya; pada saat
yang ketiga, saya melihat Tuhan saja.”20 Dari pernyataan tersebut dapat
diambil kesimpulannya bahwa terjadi transformasi ketaatan yang pada
awalnya hanya melihat “rumah” dan tanpa ada “pemiliknya” menjadi
hanya melihat pemiliknya.
C. Kesimpulan
Dalam memahami sebuah ritual keagamaan hendaknya peneliti menggunakan
pendekatan fenomenologi yang mana pendekatan tersebut tidak hanya melihat dari yang tampak
oleh kasat mata namun juga mempertimbangkan aspek pelaku dari ritual tersebut. Frederick M.
Denny dan William R. Roff melakukan pendekatan tersebut guna mendapatkan sebuah hasil
yang maksimal dari sebuah penelitian. Ritual Islam perspektif dan teori dan haji dan sejarah
18

William R. Roff, Richard C. Martin (ed), Pendekatan Terhadap Islam dalam Studi Agama, hlm.93
Ibid., hlm. 95
20
Ibid.,hlm 96

19

10 | P a g e

agama-agama: pendekatan teoritis terhadap haji, menggambarkan sebuah fenomena yang terjadi
di masyarakat Muslim mengenai ritual-ritual yang dilakukan sebagai bentuk penghambaan
seorang hamba terhadap penciptanya.
Haji sebagai salah satu ritual yang cukup berat yang dilakukan oleh umat Muslim
(ditandai dengan perjalanan yang jauh, waktu yang lama, dan biaya yang besar) diseluruh dunia
membuat ritual-ritual dalam pelaksanaanya menjadi sangat menarik baik yang dilakukan pra
haji, pada saat melaksanakan ibadah haji, dan paska pelaksanaan ibadah haji. Selain harta benda
yang harus dikorbankan, nyawa pun bisa menjadi taruhannya sehingga tidak dapat disangkal
bahwa ibadah haji ada bentuk manifestasi dari keimanan seseorang yang hanya diwajibkan satu
kali seumur hidup dan itupun dengan keringanan bagi yang mampu.
Daftar Pustaka
Martin, Richard C. (ed), diterjemahkan oleh: Zakiyuddin Baidhawy, Pendekatan Terhadap Islam dalam
Studi Agama, (Yogyakarta:Suka-Press, 1985)
A.G. Muhaimin, “The Islamic Traditions of Cirebon Ibadat and Adat Among Javanese Muslims”,
(Austraila: Department of Anthropology Division of Society and Environment Research
School of Pacific and Asian Studies, 1995), hlm 79
Presentasi yang disampaikan pendeta Kenneth E. Untener, Ritual and Community: What I've Learned
in the Parishes, (Helena:1998)
Nasrullah, “Hermeneutika Otoritatif Khaled M. Abou El Fadl: Metode Kritik Atas Penafsiran
Otoritarianisme Dalam Pemikiran Islam,” Jurnal Hunafa, Vol. 5: 2, (Agustus 2008)
Morny M Joy, Peter Antes dkk (ed), New Approach to study of religion vol: 1 Regional Critical and
Historical Approaches, (Berlin: Walter de Gyuter, 2004)
Max Weber, Sosiologi Agama, diterjemahkan oleh Yudi Santoso (YogyakartaL IRCiSod: 2012)

11 | P a g e