Chapter II Perbedaan Intercultural Sensitivity siswa SMA Sekolah Heterogen (Multicultural) dan Sekolah Homogen (Monocultural)
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Intercultural Sensitivity
1. Pengertian Intercultural Sensitivity
Kajian terhadap konsep yang menyerupai intercultural sensitivity tidak
hanya dapat dilakukan dengan perspektif ilmu psikologi, melainkan juga dari
perspektif disiplin ilmu lainnya seperti antropologi, komunikasi, hubungan
internasional dan sosiologi. Oleh sebab itulah dalam penelitian-penelitian ilmiah,
lazim ditemukan beragam pengertian dan cara pengkategorian berbeda yang
disematkan pada intercultural sensitivity.
Secara umum konsep intercultural sensitivity dikategorisasikan oleh
bebrapa tokoh. Tipe pertama adalah tokoh yang mengkategorikan intercultural
sensitivity sebagai salah satu dimensi yang menyusun suatu konsep yang lebih
besar. Tokoh yang pandangannya termasuk ke dalam kategori ini antara lain Chen
dan Starosta (Kashima, 2006) yang menyatakan bahwa intercultural sensitivity
merupakan
dimensi
afektif
dari
variabel
intercultural
communication
competence. Juga Cui dan Van den Berg (Panggabean, 2004) yang menyatakan
bahwa cultural empathy adalah salah satu dimensi yang menyusun variabel
intercultural effectiveness. Tipe kedua adalah tokoh yang menganggap bahwa
intercultural sensitivity merupakan suatu variabel tunggal yang sifatnya mandiri
dan bukan salah satu dari banyak dimensi yang menyusun sebuah konsep. Tokoh
14
Universitas Sumatera Utara
yang pandangannya termasuk ke dalam tipe ini antara lain Bhawuk dan Brislin
(1992) serta Bennett (1998, 2004).
Studi mengenai kepekaan interpersonal dilakukan oleh Bronfenbrener,
Harding, dan Gallwey (1958) adalah salah satu studi awal yang membahas
mengenai konsep sensitivitas ini. Mereka mencetuskan bahwa kepekaan secara
umum dan kepekaan terhadap perbedaan individu adalah dua jenis kemampuan
utama dalam persepsi sosial. Kepekaan terhadap orang lain secara umum adalah
"semacam kepekaan terhadap norma sosial satu kelompok sendiri" (McClelland,
1958, hal. 241), dan sensitivitas interpersonal adalah kemampuan untuk
membedakan bagaimana orang lain berbeda dalam perilaku, persepsi atau
perasaan (Bronfenbrener , et al., 1958). Konsep kepekaan interpersonal ini secara
lebih luas hampir sama dengan konsepIntercultural Sensitivity.
Hart Dan Burks (1972) Dan Hart, Carlson, dan Eadie (1980) juga
mengatakan bahwa Intercultural Sensitivity sebagai pola pikir yang diterapkan
seseorang dalam kehidupannya sehari-hari sehingga orang-orang yang sensitif
harus
mampu
menerima
kompleksitas
pribadi,
menghindari
kekakuan
komunikasi, sadar dalam interaksi, menghargai ide-ide yang dipertukarkan, dan
memiliki toleransi. Dan elemen-elemen ini tampaknya tertanam dalam dimensi
kognitif, afektif, dan perilaku interaksi antarbudaya.
Milton J. Bennett pada tahun (1986) juga menambahkan dengan
mendefinisikan Intercultural Sensitivity sebagai kemampuan untuk mengubah diri
dalam berinteraksi baik secara afektif,kognitif dan perilaku dari tahap penolakan
ke tahap integrasi dalam proses pengembangan komunikasi antarbudaya.
15
Universitas Sumatera Utara
Bennett (1984) memahami Intercultural Sensitivity sebagai proses
perkembangan di mana seseorang memiliki kemampuan mengubah diri secara
afektif, kognitif, dan perilaku dari tahap etnosentris ketahap ethnorelative. Rute
proses transformasi ini dapat terpisah menjadi enam tahap yaitu:
(1) Penolakan -di mana salah satunya menyangkal perbedaan budaya
dengan orang-orang lain
(2) Pertahanan - di mana salah satunya berupaya untuk melindungi cara
pandangnya dengan melawan ancaman yang dirasakan.
(3) Minimisasi - di mana salah satu berupaya untuk melindungi inti dari satu
pandangan
secara
umum
dengan
menyembunyikan
perbedaan
dalam bayangan kesamaan budaya.
(4) Penerimaan - di mana seseorang mulai menerima adanya perbedaan perilaku
yang didasari oleh perbedaan budaya.
(5) Adaptasi
- di mana seseorang menjadi empatik terhadap perbedaan budaya
dan menjadi bicultural atau multikultural, dan
(6) Integrasi
sendiri
- di mana seseorang mampu menerapkan ethnorelativism identitas
dan
dapat
memahami
perbedaan
sebagai
aspek
penting
dan menyenangkan dari semua kehidupan.
Bhawuk dan Brislin (1992)menunjukkan, Intercultural Sensitivity
merupakan reaksi individu untuk orang-orang dari budaya lain, yang dapat
menentukan kemampuan kesuksesan seseorang untuk bekerja dan berkomunikasi
dengan baik. Bhawuk dan Brislin (1992) juga mencoba untuk mengembangkan
16
Universitas Sumatera Utara
sebuah
alat
individualisme
untuk
mengukur
Intercultural
vs
kolektivisme.
Mereka
Sensitivity
dari
mengembangkan
perspektif
pengukuran
Intercultural Sensitivity yang berdasarkan unsur-unsur dimensi afektif, kognitif,
dan perilaku. Unsur-unsur yang digunakan antara lain:
(1) Pemahaman tentang cara berperilaku seseorang yang berbeda,
(2) Keterbukaan pikiran mengenai adanya perbedaan dan
(3) Tingkat fleksibilitas perilaku yang ditunjukkan dalam budaya baru.
Konsep yang lebih sederhana dikembangkan Chen dalam The Concept of
Intercultural Sensitivity (1997) telah mendefinisikan "Intercultural Sensitivity"
merupakan kemampuan individu untuk mengembangkan emosi positif terhadap
pemahaman dan menghargai perbedaan budaya sehingga menampilkan perilaku
yang tepat dan efektif dalam komunikasi antarbudaya. Dalam studinya Chen
(1997) juga mengidentifikasi bahwa Interaction Engagement, Respect for Cultural
Differences,
Interaction
Confidence,
Interaction
Enjoyment,
Interaction
Attentiveness merupakan komponen dasar Intercultural Sensitivity. Defenisi
inilah yang akan digunakan lebih jauh dalam penelitian ini.
17
Universitas Sumatera Utara
2. Komponen Intercultural Sensitivity
Chen dan Starosta (2000 ) berpendapat bahwa sensitivitas antar budaya
merupakan salah satu faktor penting dalam komunikasi antar budaya yang terdiri
dari
lima kemampuan yang menjadi komponen pembentuk Intercultural
Sensitivity, komponen tersebut antara lain:
a) Interaction Engagement.
Interaction
menyangkut
Engangement
merupakan
tentang perasaan peserta
keterlibatan
dalam
interaksi
yang
proses komunikasi
antarbudaya.
b) Respect for Cultural Differences
Dalam hal ini Respect for Cultural Differences mengacu pada bagaimana
peserta mengarahkan atau mentolerir perbedaan budaya yang ada pada
rekan-rekan mereka .
c) Interaction Confidence
Interaction Confidence ini mengacu pada tingkat
kepercayaan dari
seseorang selama interaksi antarbudaya berlangsung.
d) Interaction Enjoyment
Dalam interaksi yang terjadi, hal ini mengacu pada kenikmatan
berinteraksi yang berhubungan dengan reaksi peserta komunikasi antar
budaya.
e) Interaction Attentiveness
Perhatian terhadap interaksi yang terjadi mencerminkan upaya peserta
untuk memahami apa yang terjadi di dalam komunikasi antarbudaya .
18
Universitas Sumatera Utara
Studi yang dilakukan oleh Chen dan Starosta ' s (2000) mengindikasikan
bahwa individu dengan sensitivitas antar budaya yang berkembang dengan
baikakan menjadi lebih perhatian , lebih mampu bersosialisasi dengan baik,
memiliki hubungan interpersonal yang baik sehingga dapat menyesuaikan
perilaku mereka , dapat menunjukkan harga diri dan kepercayaan diri yang tinggi,
lebih empatik , dan lebih efektif dalam interaksi antarbudaya .
B. Sekolah Homogen (Monokultural)
Grendi Hendrastomo mengatakandalam “Homogenisasi pendidikan:
Potret
Eksklusifitas
Pendidikan
Modern”
(2012)
bahwa
sekolah
homogenmerupakan suatu sekolah yang memiliki ciri kesamaan karakteristik
peserta didik baik secara persamaan ekonomi,golongan,agama,maupun etnisitas.
Grendi
Hendrastomo
(2012)
berkesimpulan
bahwa
homogenitas
pendidikan tampak nyata dalam pendidikan,ditengah banyaknya sekolah yang
menawarkan keragaman,sekolah homogen menciptakan suatu pandangan sama
yang memunculkan realitas yang tidak sesuai dengan keadaan di dalam
lingkungan nyata di tengah masyarakat yang cenderung heterogen. Pendidikan
homogen ini dianggap berbahaya karena tidak membiasakan siswa dengan
lingkungan dengan tantangan yang beragam.
Aris Saefulloh (2009) dalam “Paradigma pendidikan dalam bingkai
Multicultural” juga menambahkan Sekolah negeri atau swasta yang berbasis
Islam menjadi identik bagi sekolah kaum pribumi. Sedangkan sekolah-sekolah
yang berbasis Kristen menjadi identik dengan sekolah bagi anak-anak keturunan
China. Kondisi dan realitas ini melahirkan segregasi yang membentuk sikap
19
Universitas Sumatera Utara
eksklusivisme dan dapat melahirkan sikap anti toleran terhadap kemajemukan.
Aris Saefulloh (2009) juga menambahkan bahwa pada sekolah yang berbasis
homogen (monokultural) akan cenderung memiliki budaya yang sama didalam
lingkungan sekolah dan akan menciptakan budaya yang homogen di lingkungan
sekolah dan dalam diri para siswa dan siswi.
Homogenitas pendidikan kemudian diartikan sebagai keseragaman,
harmonisasi yang “dipaksakan”, kesamaan, kesebandingan, sesuatu hal yang
dibuat sama dan seragam dalam dunia pendidikan, termasuk didalamnya
kesamaan status sosial, kesamaan agama, hingga etnis para peserta didiknya.
Homogenitas disini secara tidak langsung sama artinya dengan diskriminasi
terhadap siswa yang berbeda dalam hal status sosial, agama atau etnis. Anwar
Effendi (2012)
C. Sekolah Heterogen (Multikultural)
Secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefenisikan sebagai
“pendidikan tentang keberagaman budaya yang ada didalam lingkungan
masyarakat tertentu atau bahkan lingkungan umum secara keselurahan”. Dimana
hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Paulo freire (effendi, A.,
2012) bahwa pendidikan harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang
terdidik dan berpendidikan secara luas kepada setiap warga negara. Anderson dan
Custer (1994) berpendapat bahwa pendidikan multicultural dapat diartikan
sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Sekolah yang berbasis
pendidikan multikultural merupakan respons terhadap perkembangan keragaman
populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok.
20
Universitas Sumatera Utara
(Hilliard 1992). Banks (1993) menyatakan bahwa pengertian pendidikan
multicultural sebagai pendidikan untuk people of color . Artinya, pendidikan
multikultural ingin mengekplorasi perbedaan sebagai keniscayaan, kemudian
memberi apresiasi perbedaan itu dengan semangat egaliter dan toleran.
Multikulturalisme dipahami sebagai konsep yang berkaitan dengan aspek
sosial, politik,ekonomi, dan budaya. Aspek-aspek tersebut memberikan relasi
baru dalam mewujudkan masyarakat yang harmonis dan terintegrasi. Secara
sederhana, multikulturalisme didefinisikan sebagai suatu pemahaman dalam
peningkatan drajat manusia dan kemanusiaannya yang mencakup, keyakinan,
keberagamaan, kebersamaan dalam perbedaaan yang sederajat,kesukubangsaan,
kebersamaan perolehan pendidikan, dsb (Yuni Widia Bella dalam jurnal Studi
Deskriptif SekolahMulticultural Di SMA Sultan Iskandar Muda )
Menurut Fay (1996) multikulturalisme sebagai suatu ideologi yang akan
mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara
kebudayaan
individu
maupun
secara
kolektivitas.
Dengan
demikian
mulitikulturalisme dapat mewujudkan masyarakat yang rukun dan menjunjung
nilai-nilai kesederajatan. Dalam konteks pendidikan, multikulturalisme sangat
penting diajarkan di sekolah-sekolah. Hal ini berkenaan dengan Indonesia sebagai
bangsa yang besar yang terdiri dari keanekaragaman masyarakat dan budaya.
Kemajemukan itu harus di internalisasi dalam muatan pendidikan yang
menekankan pada aspek kesederajatan dalam pemenuhan hak - hak bagi warga
negara, sehingga benturan-benturan sosial dan politik dapat diminimalisasikan.
21
Universitas Sumatera Utara
Menurut James A. Banks (1997) pendidikan multikultural adalah konsep,
ide atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan ( set of believe ) dan
penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di
dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatankesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.
Pendidikan multikultural dapat dipahami sebagai proses atau strategi
pendidikan yang melibatkan lebih dari satu budaya yang ditunjukkan melalui
kebangsaan, bahasa, etnik, dan lain-lain. Pendidikan multikultural diarahkan
untuk mewujudkan kesadaran, toleransi, pemahaman dan pengetahuan yang
mempertimbangkan perbedaan cultural dan juga perbedaan dan persamaan antar
budaya dan kaitannya dengan kosep, nilai, dankeyakinan serta sikap (Lawrence J.
Saha, 1997:348).
Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan guna meminimalisasi
dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis
multicultural, sikap dan pemikiran siswa akan lebih terbuka dalam memahami
dan menghargai keberagaman yang ada sehingga menjadi salah satu metode
efektif dalam meredam konflik yang ditimbulkan oleh keberagaman yang ada.
Semua diarahkan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, masyarakat Indonesia yang
beriman, bertaqwa dan berbudi pekerti luhur, kepribadian yang mantap, mandiri
serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (UUSPN Bab II, Pasal
4)
22
Universitas Sumatera Utara
D. Perbedaan Intercultural Sensitivity pada siswa-siswi sekolah yang
homogen
(monokultural)
dengan
sekolah
yang
heterogen
(multikultural)
Sekolah berbasis pendidikan homogen (monokultural) merupakan sekolah
yang memiliki karakteristik yang sama pada peserta didiknya baik dalam hal
suku, agama,ras,golongan maupun etnisitas (Grendi Hendrastomo 2012). Aris
Saefulloh (2009) juga menambahkan bahwa sekolah negeri atau swasta yang
berbasis Islam menjadi identik bagi sekolah kaum pribumi. Sedangkan sekolahsekolah yang berbasis Kristen menjadi identik dengan sekolah bagi anak-anak
keturunan China. Kondisi dan realitas ini melahirkan segregasi yang membentuk
sikap eksklusivisme dan dapat melahirkan sikap anti toleran terhadap
kemajemukan.
Sekolah berbasis pendidikan heterogen (multikultural) merupakan sekolah
yang memiliki proses atau strategi pendidikan yangmelibatkan lebih dari satu
budaya yang ditunjukkan melalui kebangsaan, bahasa, etnik,dan lain-lain.
Pendidikan multikultural diarahkan untuk mewujudkan kesadaran,toleransi,
pemahaman dan pengetahuan yang mempertimbangkan perbedaan cultural
danjuga perbedaan dan persamaan antar budaya dan kaitannya dengan kosep,
nilai, dan keyakinan serta sikap (Lawrence J. Saha, 1997:348). Multikulturalisme
pada saat ini sangat penting bagi masyarakat-masyarakat luas,umumnya bagi
23
Universitas Sumatera Utara
masyarakat yang memiliki berbagai macam karakteristik identitas, sepertiagama,
sosial, budaya dan bahasa. Dengan memahami konsep multikulturalisme ini maka
akan terciptalah rasa toleransi dan solidaritas yang tinggi terhadap sesama yang
berbedadengan kita.
Uraian diatas menunjukkan bahwa pendidikan berbasis homogen
(monokultural) cenderung melemahkan kesadaran akan pentingnya nilai
kebersamaan, sikap toleransi,dan perilaku yang mampu menghargai, memahami,
serta peka terhadap potensi kemajemukan, pluralitas bangsa, dalam bidang etnik,
agama, dan budaya yang ada.
Sementara pendidikan berbasis heterogen
(multikultural) diarahkan untuk mewujudkan kesadaran, toleransi, pemahaman
dan pengetahuan yang mempertimbangkan perbedaan dan persamaan antar
budaya yang berkaitan dengan kosep, nilai, keyakinan serta sikap yang ada
(Lawrence J. Saha, 1997). Menurut Ekstrand, L.H. dalam Saha, Lawrence J.
1997, kesadaran, toleransi, pemahaman dan pengetahuan tentang pendidikan
menjadi suatu alat yang memainkan peranan penting dalam pembelajaran tentang
kemajemukan perbedaan dan persamaan antar budaya yang dikaitkan dengan
konsep, nilai,keyakinan dan sikap ini akan diajarkan, dipelajari, diarahkan dan
diwujudkan didalam proses pendidikan.
Chen (1997) telah mendefinisikan bahwa "Intericultural Sensitivity"
adalahsalah
satu
kemampuan
mengembangkan
emosi
positif
terhadap
pemahaman perbedaan budaya dan menghargai perbedaan budaya yang ada
sehingga kita dapat menampilkan perilaku yang tepat dan efektif dalam
komunikasi antarbudaya. Dalam studinya Chen (1997) juga mengidentifikasi
Interaction
Engagement,
Respect
for
Cultural
Differences,
Interaction
24
Universitas Sumatera Utara
Confidence, Interaction Enjoyment, Interaction Attentivenesssebagai komponen
dasar Intercultural Sensitivity. Zhao (2002) mendefinisikan Intercultural
Sensitivity sebagai kemampuan kunci untuk hidup dan bekerja sama secara efektif
dengan orang-orang dari budaya yang berbeda.
Intercultural Sensitivity merupakan suatu kemampuan mengembangkan
emosi positif terhadap pemahaman dan penghargaan terhadap perbedaan budaya
sehingga dapat memunculkan prilaku yang tepat dan efektif dalam komunikasi
antar budaya. Dengan Intercultural Sensitivity ini kita dapat menjadi masyarakat
yang multikuturalisme,menikmati perbedaan, hidup rukun berdampingan dan
bekerja sama secara efektif dengan orang-orang dari budaya yang berbeda.
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan Intercultural
Sensitivity pada sekolah homogen (monocultural) dan sekolah heterogen
(multicultural)
E. HIPOTESA PENELITIAN
Berdasarkan pemaparan diatas, maka hipotesa yang di ajukan dalam
penelitian ini adalah “ Ada Perbedaan Intercultural Sensitivity
pada siswa
sekolah homogen (monocultural) dan sekolah heterogen (multicultural)
25
Universitas Sumatera Utara
LANDASAN TEORI
A. Intercultural Sensitivity
1. Pengertian Intercultural Sensitivity
Kajian terhadap konsep yang menyerupai intercultural sensitivity tidak
hanya dapat dilakukan dengan perspektif ilmu psikologi, melainkan juga dari
perspektif disiplin ilmu lainnya seperti antropologi, komunikasi, hubungan
internasional dan sosiologi. Oleh sebab itulah dalam penelitian-penelitian ilmiah,
lazim ditemukan beragam pengertian dan cara pengkategorian berbeda yang
disematkan pada intercultural sensitivity.
Secara umum konsep intercultural sensitivity dikategorisasikan oleh
bebrapa tokoh. Tipe pertama adalah tokoh yang mengkategorikan intercultural
sensitivity sebagai salah satu dimensi yang menyusun suatu konsep yang lebih
besar. Tokoh yang pandangannya termasuk ke dalam kategori ini antara lain Chen
dan Starosta (Kashima, 2006) yang menyatakan bahwa intercultural sensitivity
merupakan
dimensi
afektif
dari
variabel
intercultural
communication
competence. Juga Cui dan Van den Berg (Panggabean, 2004) yang menyatakan
bahwa cultural empathy adalah salah satu dimensi yang menyusun variabel
intercultural effectiveness. Tipe kedua adalah tokoh yang menganggap bahwa
intercultural sensitivity merupakan suatu variabel tunggal yang sifatnya mandiri
dan bukan salah satu dari banyak dimensi yang menyusun sebuah konsep. Tokoh
14
Universitas Sumatera Utara
yang pandangannya termasuk ke dalam tipe ini antara lain Bhawuk dan Brislin
(1992) serta Bennett (1998, 2004).
Studi mengenai kepekaan interpersonal dilakukan oleh Bronfenbrener,
Harding, dan Gallwey (1958) adalah salah satu studi awal yang membahas
mengenai konsep sensitivitas ini. Mereka mencetuskan bahwa kepekaan secara
umum dan kepekaan terhadap perbedaan individu adalah dua jenis kemampuan
utama dalam persepsi sosial. Kepekaan terhadap orang lain secara umum adalah
"semacam kepekaan terhadap norma sosial satu kelompok sendiri" (McClelland,
1958, hal. 241), dan sensitivitas interpersonal adalah kemampuan untuk
membedakan bagaimana orang lain berbeda dalam perilaku, persepsi atau
perasaan (Bronfenbrener , et al., 1958). Konsep kepekaan interpersonal ini secara
lebih luas hampir sama dengan konsepIntercultural Sensitivity.
Hart Dan Burks (1972) Dan Hart, Carlson, dan Eadie (1980) juga
mengatakan bahwa Intercultural Sensitivity sebagai pola pikir yang diterapkan
seseorang dalam kehidupannya sehari-hari sehingga orang-orang yang sensitif
harus
mampu
menerima
kompleksitas
pribadi,
menghindari
kekakuan
komunikasi, sadar dalam interaksi, menghargai ide-ide yang dipertukarkan, dan
memiliki toleransi. Dan elemen-elemen ini tampaknya tertanam dalam dimensi
kognitif, afektif, dan perilaku interaksi antarbudaya.
Milton J. Bennett pada tahun (1986) juga menambahkan dengan
mendefinisikan Intercultural Sensitivity sebagai kemampuan untuk mengubah diri
dalam berinteraksi baik secara afektif,kognitif dan perilaku dari tahap penolakan
ke tahap integrasi dalam proses pengembangan komunikasi antarbudaya.
15
Universitas Sumatera Utara
Bennett (1984) memahami Intercultural Sensitivity sebagai proses
perkembangan di mana seseorang memiliki kemampuan mengubah diri secara
afektif, kognitif, dan perilaku dari tahap etnosentris ketahap ethnorelative. Rute
proses transformasi ini dapat terpisah menjadi enam tahap yaitu:
(1) Penolakan -di mana salah satunya menyangkal perbedaan budaya
dengan orang-orang lain
(2) Pertahanan - di mana salah satunya berupaya untuk melindungi cara
pandangnya dengan melawan ancaman yang dirasakan.
(3) Minimisasi - di mana salah satu berupaya untuk melindungi inti dari satu
pandangan
secara
umum
dengan
menyembunyikan
perbedaan
dalam bayangan kesamaan budaya.
(4) Penerimaan - di mana seseorang mulai menerima adanya perbedaan perilaku
yang didasari oleh perbedaan budaya.
(5) Adaptasi
- di mana seseorang menjadi empatik terhadap perbedaan budaya
dan menjadi bicultural atau multikultural, dan
(6) Integrasi
sendiri
- di mana seseorang mampu menerapkan ethnorelativism identitas
dan
dapat
memahami
perbedaan
sebagai
aspek
penting
dan menyenangkan dari semua kehidupan.
Bhawuk dan Brislin (1992)menunjukkan, Intercultural Sensitivity
merupakan reaksi individu untuk orang-orang dari budaya lain, yang dapat
menentukan kemampuan kesuksesan seseorang untuk bekerja dan berkomunikasi
dengan baik. Bhawuk dan Brislin (1992) juga mencoba untuk mengembangkan
16
Universitas Sumatera Utara
sebuah
alat
individualisme
untuk
mengukur
Intercultural
vs
kolektivisme.
Mereka
Sensitivity
dari
mengembangkan
perspektif
pengukuran
Intercultural Sensitivity yang berdasarkan unsur-unsur dimensi afektif, kognitif,
dan perilaku. Unsur-unsur yang digunakan antara lain:
(1) Pemahaman tentang cara berperilaku seseorang yang berbeda,
(2) Keterbukaan pikiran mengenai adanya perbedaan dan
(3) Tingkat fleksibilitas perilaku yang ditunjukkan dalam budaya baru.
Konsep yang lebih sederhana dikembangkan Chen dalam The Concept of
Intercultural Sensitivity (1997) telah mendefinisikan "Intercultural Sensitivity"
merupakan kemampuan individu untuk mengembangkan emosi positif terhadap
pemahaman dan menghargai perbedaan budaya sehingga menampilkan perilaku
yang tepat dan efektif dalam komunikasi antarbudaya. Dalam studinya Chen
(1997) juga mengidentifikasi bahwa Interaction Engagement, Respect for Cultural
Differences,
Interaction
Confidence,
Interaction
Enjoyment,
Interaction
Attentiveness merupakan komponen dasar Intercultural Sensitivity. Defenisi
inilah yang akan digunakan lebih jauh dalam penelitian ini.
17
Universitas Sumatera Utara
2. Komponen Intercultural Sensitivity
Chen dan Starosta (2000 ) berpendapat bahwa sensitivitas antar budaya
merupakan salah satu faktor penting dalam komunikasi antar budaya yang terdiri
dari
lima kemampuan yang menjadi komponen pembentuk Intercultural
Sensitivity, komponen tersebut antara lain:
a) Interaction Engagement.
Interaction
menyangkut
Engangement
merupakan
tentang perasaan peserta
keterlibatan
dalam
interaksi
yang
proses komunikasi
antarbudaya.
b) Respect for Cultural Differences
Dalam hal ini Respect for Cultural Differences mengacu pada bagaimana
peserta mengarahkan atau mentolerir perbedaan budaya yang ada pada
rekan-rekan mereka .
c) Interaction Confidence
Interaction Confidence ini mengacu pada tingkat
kepercayaan dari
seseorang selama interaksi antarbudaya berlangsung.
d) Interaction Enjoyment
Dalam interaksi yang terjadi, hal ini mengacu pada kenikmatan
berinteraksi yang berhubungan dengan reaksi peserta komunikasi antar
budaya.
e) Interaction Attentiveness
Perhatian terhadap interaksi yang terjadi mencerminkan upaya peserta
untuk memahami apa yang terjadi di dalam komunikasi antarbudaya .
18
Universitas Sumatera Utara
Studi yang dilakukan oleh Chen dan Starosta ' s (2000) mengindikasikan
bahwa individu dengan sensitivitas antar budaya yang berkembang dengan
baikakan menjadi lebih perhatian , lebih mampu bersosialisasi dengan baik,
memiliki hubungan interpersonal yang baik sehingga dapat menyesuaikan
perilaku mereka , dapat menunjukkan harga diri dan kepercayaan diri yang tinggi,
lebih empatik , dan lebih efektif dalam interaksi antarbudaya .
B. Sekolah Homogen (Monokultural)
Grendi Hendrastomo mengatakandalam “Homogenisasi pendidikan:
Potret
Eksklusifitas
Pendidikan
Modern”
(2012)
bahwa
sekolah
homogenmerupakan suatu sekolah yang memiliki ciri kesamaan karakteristik
peserta didik baik secara persamaan ekonomi,golongan,agama,maupun etnisitas.
Grendi
Hendrastomo
(2012)
berkesimpulan
bahwa
homogenitas
pendidikan tampak nyata dalam pendidikan,ditengah banyaknya sekolah yang
menawarkan keragaman,sekolah homogen menciptakan suatu pandangan sama
yang memunculkan realitas yang tidak sesuai dengan keadaan di dalam
lingkungan nyata di tengah masyarakat yang cenderung heterogen. Pendidikan
homogen ini dianggap berbahaya karena tidak membiasakan siswa dengan
lingkungan dengan tantangan yang beragam.
Aris Saefulloh (2009) dalam “Paradigma pendidikan dalam bingkai
Multicultural” juga menambahkan Sekolah negeri atau swasta yang berbasis
Islam menjadi identik bagi sekolah kaum pribumi. Sedangkan sekolah-sekolah
yang berbasis Kristen menjadi identik dengan sekolah bagi anak-anak keturunan
China. Kondisi dan realitas ini melahirkan segregasi yang membentuk sikap
19
Universitas Sumatera Utara
eksklusivisme dan dapat melahirkan sikap anti toleran terhadap kemajemukan.
Aris Saefulloh (2009) juga menambahkan bahwa pada sekolah yang berbasis
homogen (monokultural) akan cenderung memiliki budaya yang sama didalam
lingkungan sekolah dan akan menciptakan budaya yang homogen di lingkungan
sekolah dan dalam diri para siswa dan siswi.
Homogenitas pendidikan kemudian diartikan sebagai keseragaman,
harmonisasi yang “dipaksakan”, kesamaan, kesebandingan, sesuatu hal yang
dibuat sama dan seragam dalam dunia pendidikan, termasuk didalamnya
kesamaan status sosial, kesamaan agama, hingga etnis para peserta didiknya.
Homogenitas disini secara tidak langsung sama artinya dengan diskriminasi
terhadap siswa yang berbeda dalam hal status sosial, agama atau etnis. Anwar
Effendi (2012)
C. Sekolah Heterogen (Multikultural)
Secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefenisikan sebagai
“pendidikan tentang keberagaman budaya yang ada didalam lingkungan
masyarakat tertentu atau bahkan lingkungan umum secara keselurahan”. Dimana
hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Paulo freire (effendi, A.,
2012) bahwa pendidikan harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang
terdidik dan berpendidikan secara luas kepada setiap warga negara. Anderson dan
Custer (1994) berpendapat bahwa pendidikan multicultural dapat diartikan
sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Sekolah yang berbasis
pendidikan multikultural merupakan respons terhadap perkembangan keragaman
populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok.
20
Universitas Sumatera Utara
(Hilliard 1992). Banks (1993) menyatakan bahwa pengertian pendidikan
multicultural sebagai pendidikan untuk people of color . Artinya, pendidikan
multikultural ingin mengekplorasi perbedaan sebagai keniscayaan, kemudian
memberi apresiasi perbedaan itu dengan semangat egaliter dan toleran.
Multikulturalisme dipahami sebagai konsep yang berkaitan dengan aspek
sosial, politik,ekonomi, dan budaya. Aspek-aspek tersebut memberikan relasi
baru dalam mewujudkan masyarakat yang harmonis dan terintegrasi. Secara
sederhana, multikulturalisme didefinisikan sebagai suatu pemahaman dalam
peningkatan drajat manusia dan kemanusiaannya yang mencakup, keyakinan,
keberagamaan, kebersamaan dalam perbedaaan yang sederajat,kesukubangsaan,
kebersamaan perolehan pendidikan, dsb (Yuni Widia Bella dalam jurnal Studi
Deskriptif SekolahMulticultural Di SMA Sultan Iskandar Muda )
Menurut Fay (1996) multikulturalisme sebagai suatu ideologi yang akan
mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara
kebudayaan
individu
maupun
secara
kolektivitas.
Dengan
demikian
mulitikulturalisme dapat mewujudkan masyarakat yang rukun dan menjunjung
nilai-nilai kesederajatan. Dalam konteks pendidikan, multikulturalisme sangat
penting diajarkan di sekolah-sekolah. Hal ini berkenaan dengan Indonesia sebagai
bangsa yang besar yang terdiri dari keanekaragaman masyarakat dan budaya.
Kemajemukan itu harus di internalisasi dalam muatan pendidikan yang
menekankan pada aspek kesederajatan dalam pemenuhan hak - hak bagi warga
negara, sehingga benturan-benturan sosial dan politik dapat diminimalisasikan.
21
Universitas Sumatera Utara
Menurut James A. Banks (1997) pendidikan multikultural adalah konsep,
ide atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan ( set of believe ) dan
penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di
dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatankesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.
Pendidikan multikultural dapat dipahami sebagai proses atau strategi
pendidikan yang melibatkan lebih dari satu budaya yang ditunjukkan melalui
kebangsaan, bahasa, etnik, dan lain-lain. Pendidikan multikultural diarahkan
untuk mewujudkan kesadaran, toleransi, pemahaman dan pengetahuan yang
mempertimbangkan perbedaan cultural dan juga perbedaan dan persamaan antar
budaya dan kaitannya dengan kosep, nilai, dankeyakinan serta sikap (Lawrence J.
Saha, 1997:348).
Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan guna meminimalisasi
dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis
multicultural, sikap dan pemikiran siswa akan lebih terbuka dalam memahami
dan menghargai keberagaman yang ada sehingga menjadi salah satu metode
efektif dalam meredam konflik yang ditimbulkan oleh keberagaman yang ada.
Semua diarahkan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, masyarakat Indonesia yang
beriman, bertaqwa dan berbudi pekerti luhur, kepribadian yang mantap, mandiri
serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (UUSPN Bab II, Pasal
4)
22
Universitas Sumatera Utara
D. Perbedaan Intercultural Sensitivity pada siswa-siswi sekolah yang
homogen
(monokultural)
dengan
sekolah
yang
heterogen
(multikultural)
Sekolah berbasis pendidikan homogen (monokultural) merupakan sekolah
yang memiliki karakteristik yang sama pada peserta didiknya baik dalam hal
suku, agama,ras,golongan maupun etnisitas (Grendi Hendrastomo 2012). Aris
Saefulloh (2009) juga menambahkan bahwa sekolah negeri atau swasta yang
berbasis Islam menjadi identik bagi sekolah kaum pribumi. Sedangkan sekolahsekolah yang berbasis Kristen menjadi identik dengan sekolah bagi anak-anak
keturunan China. Kondisi dan realitas ini melahirkan segregasi yang membentuk
sikap eksklusivisme dan dapat melahirkan sikap anti toleran terhadap
kemajemukan.
Sekolah berbasis pendidikan heterogen (multikultural) merupakan sekolah
yang memiliki proses atau strategi pendidikan yangmelibatkan lebih dari satu
budaya yang ditunjukkan melalui kebangsaan, bahasa, etnik,dan lain-lain.
Pendidikan multikultural diarahkan untuk mewujudkan kesadaran,toleransi,
pemahaman dan pengetahuan yang mempertimbangkan perbedaan cultural
danjuga perbedaan dan persamaan antar budaya dan kaitannya dengan kosep,
nilai, dan keyakinan serta sikap (Lawrence J. Saha, 1997:348). Multikulturalisme
pada saat ini sangat penting bagi masyarakat-masyarakat luas,umumnya bagi
23
Universitas Sumatera Utara
masyarakat yang memiliki berbagai macam karakteristik identitas, sepertiagama,
sosial, budaya dan bahasa. Dengan memahami konsep multikulturalisme ini maka
akan terciptalah rasa toleransi dan solidaritas yang tinggi terhadap sesama yang
berbedadengan kita.
Uraian diatas menunjukkan bahwa pendidikan berbasis homogen
(monokultural) cenderung melemahkan kesadaran akan pentingnya nilai
kebersamaan, sikap toleransi,dan perilaku yang mampu menghargai, memahami,
serta peka terhadap potensi kemajemukan, pluralitas bangsa, dalam bidang etnik,
agama, dan budaya yang ada.
Sementara pendidikan berbasis heterogen
(multikultural) diarahkan untuk mewujudkan kesadaran, toleransi, pemahaman
dan pengetahuan yang mempertimbangkan perbedaan dan persamaan antar
budaya yang berkaitan dengan kosep, nilai, keyakinan serta sikap yang ada
(Lawrence J. Saha, 1997). Menurut Ekstrand, L.H. dalam Saha, Lawrence J.
1997, kesadaran, toleransi, pemahaman dan pengetahuan tentang pendidikan
menjadi suatu alat yang memainkan peranan penting dalam pembelajaran tentang
kemajemukan perbedaan dan persamaan antar budaya yang dikaitkan dengan
konsep, nilai,keyakinan dan sikap ini akan diajarkan, dipelajari, diarahkan dan
diwujudkan didalam proses pendidikan.
Chen (1997) telah mendefinisikan bahwa "Intericultural Sensitivity"
adalahsalah
satu
kemampuan
mengembangkan
emosi
positif
terhadap
pemahaman perbedaan budaya dan menghargai perbedaan budaya yang ada
sehingga kita dapat menampilkan perilaku yang tepat dan efektif dalam
komunikasi antarbudaya. Dalam studinya Chen (1997) juga mengidentifikasi
Interaction
Engagement,
Respect
for
Cultural
Differences,
Interaction
24
Universitas Sumatera Utara
Confidence, Interaction Enjoyment, Interaction Attentivenesssebagai komponen
dasar Intercultural Sensitivity. Zhao (2002) mendefinisikan Intercultural
Sensitivity sebagai kemampuan kunci untuk hidup dan bekerja sama secara efektif
dengan orang-orang dari budaya yang berbeda.
Intercultural Sensitivity merupakan suatu kemampuan mengembangkan
emosi positif terhadap pemahaman dan penghargaan terhadap perbedaan budaya
sehingga dapat memunculkan prilaku yang tepat dan efektif dalam komunikasi
antar budaya. Dengan Intercultural Sensitivity ini kita dapat menjadi masyarakat
yang multikuturalisme,menikmati perbedaan, hidup rukun berdampingan dan
bekerja sama secara efektif dengan orang-orang dari budaya yang berbeda.
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan Intercultural
Sensitivity pada sekolah homogen (monocultural) dan sekolah heterogen
(multicultural)
E. HIPOTESA PENELITIAN
Berdasarkan pemaparan diatas, maka hipotesa yang di ajukan dalam
penelitian ini adalah “ Ada Perbedaan Intercultural Sensitivity
pada siswa
sekolah homogen (monocultural) dan sekolah heterogen (multicultural)
25
Universitas Sumatera Utara