Multi Tafsir UU Lalu Lintas (1)

Multitafsir Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan
Oleh:
Muhammad Zainal Abidin
I. Pendahuluan
Di dalam Undang-Undang No.22 Tahun 2009 Tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan
disebutkan Pasal 203 ayat (1) bahwa, “Pemerintah bertanggung jawab atas terjaminnya
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan” dan di Pasal 24 ayat (1), Penyelenggara Jalan
wajib segera dan patut untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan
Kecelakaan Lalu Lintas. Dan di ayat (2)-nya. Dalam hal belum dapat dilakukan perbaikan Jalan
yang rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara Jalan wajib memberi tanda
atau rambu pada Jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas. bahkan di
Pasal 273 yang memuat ketentuan Pidana ini menyebutkan bahwa, untuk Penyelenggara Jalan
yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak dapat di berikan sanksi pidana
apabila, Pertama, menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau
barang, dipidana penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp 12 juta. Kedua,
mengakibatkan luka berat, dipidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 24
juta. Ketiga, mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana penjara paling lama 5 tahun
atau denda paling banyak Rp 120 juta. Dan Keempat, tidak memberi tanda atau rambu pada Jalan
yang rusak dan belum diperbaiki dipidana penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak
Rp 1,5 juta.
Di dalam UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalulintas Dan Angkutan Jalan tersebut hanya

disebutkan sebagai penyelenggara jalan, tetapi tidak secara langsung disebutkan lembaganya.
Jadi, dalam hal ini masih sumir mengenai siapa yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan
jalan itu. Ketidakpastian hal tersebut bisa berdampak pada penerapan pasal 273 tersebut oleh
penegak hukum, sehingga Pasal 273 ini tidak bisa dilaksanakan dilapangan pada prakteknya,
atau bahkan penegak hukum harus menunggu Peraturan Pemerintah yang mengatur secara lebih
rinci tentang masalah penyelenggara jalan tersebut.
Didalam pasal tersebut dikemukakan tentang tanggungjawab pidana penyelenggara
jalan, akan tetapi rumusan pasal tersebut tidak menjelaskan siapa penyelenggara jalan tersebut,
pasal tersebut bila kita analisis menggunakan asas-asas Pembentukan Peraturan Perudangundangan yang baik dalam Pasal 5 Undang-Undang No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, maka isi pasal tersebut tidak memenuhi Asas Kejelasan
rumusan.
Dalam Pasal 16 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
berbunyi :“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Dengan dasar hukum tersebut, maka dapat menggunakan metode penafsiran atau
metode penemuan hukum yang ada, Sehingga Undang-Undang No.22 tahun 2009 ini bisa
diterapkan tanpa harus menunggu Peraturan Pemerintah untuk pelaksanaannya.
Isu hukum dalam hal ini adalah siapakah yang dimaksud penyelenggara jalan pada

Pasal 273 UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan menurut UU No. 22
Tahun 2009.
II. Ketentuan UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan
Pasal 273 Ayat (1) “Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut
memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan
dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).” Dalam Penjelasan berbunyi “cukup Jelas”.

III.Pertanyaan Hukum
Siapakah yang dimaksud penyelenggara jalan pada Pasal 273 UU No.22 Tahun 2009
Tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan ?

IV. Analisis
A. Dasar Hukum
1. UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan
2. Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 Tentang Jalan
B. Pengertian Penyelenggara Jalan

Menurut Mochtar Kusumaatmadja ada 7 macam penafsiran hukum , yaitu :

1.

Interpretasi bahasa atau tata bahasa

2.

Interpretasi sejarah

3.

Interpretasi sistematis

4.

nterpretasi sosiologis

5.

Interpretasi teleologis


6.

Tafsir otentik

7.

Teleluasaan interpretasi oleh hakim : kebalikan dari interpretasi otentik

Sedangkan C.S.T.Kansil menyebutkan ada 10 macam cara penafsiran, yaitu :
1) Penafsiran Tata Bahasa : Cara penafsiran berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang,
dengan beredoman pada arti perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat
kalimat-kalimat yang dipakai oleh undang-undang dengan menggunakan arti perkataan
menurut tata bahasa atau menurut kebiasaan, yakni arti dalam pemakaian sehari-hari.
2) Penafsiran Sahih (autentik, resmi) : Penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu
sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk undang-undang.
3) Penafsiran Historis : penafsiran berdasarkan sejarah terjadinya undang-undang tersebut, atau
maksud pembentuk undang-undang pada waktu itu.
4) Penafsiran Sistematis (dogmatis) : Penafsiran menilik dari susunan yang berhubungan
dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu, maupun dengan undangundang yang lain.
5) Penafsiran Nasional : Penafsiran menilik sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang

berlaku.
6) Penafsiran Teleologis (Sosiologis) : Penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undngundnag ini.
7) Penafsiran Ekstensif : Memberi tafsirn dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan
itu
8) Penafsiran Restriktif : Penafsiran dengan membatasi (mempersempit) arti kata-kata dalam
peraturan itu.
9) Penafsiran analogis : Memberi tafsiran pada sesuatu peraturn hukum dengan memberi ibarat
(kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa
yang sebenarnya tidak dapat dimasukan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan
tersebut.

10) Penafsiran a contrario (menurut pengingkaran) : Suatu cara menafsirkan undang-undang
yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur
dalam suatu pasal undang-undang.
Dalam mengulas Pasal 273 UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan
Jalan penulis menggunakan pendekatan signifikasi penafsiran hukum sebagai penyelesaian yakni
(1) the golden rule yakni suatu penafsiran perbaikan dengan pemahaman situasinya dengan
melihat makna dibalik kata tersebut dengan melihat tujuan Undang-undang dibuat. (2) the literal
rule yakni berkaitan dengan pengertian kata-kata dalam isi Undang-undang.
Lalu bagaimana dengan isi Pasal 273 Undang-Undang No.22 tahun 2009 tentang Lalu

lintas dan Angkutan Jalan, Siapakah yang dimaksud penyelenggara jalan tersebut ?
Bila kita menggunakan metode penafsiran otentik atau resmi, ternyata di dalam
Undang-Undang No.22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan tersebut tidak
dijelaskan definisi atau siapa penyelenggara jalan tersebut UU hanya menyebut “cukup jelas”.
Lalu selanjutnya bila kita menggunakan metode penafsiran sistematis, maka kita bisa temukan
definisi penyelenggara jalan tersebut di pada Undang-Undang No. 38 tahun 2004 Tentang Jalan,
Pasal 1 huruf 14 UU tersebut mendefinisikan Penyelenggara jalan adalah pihak yang melakukan
pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan sesuai dengan kewenangannya.
Dari pasal tersebut di atas yang harus kita ketahui selanjutnya yaitu masalah
kewenangannya.

Untuk

masalah

kewenangannya

bisa

kita


lihat

pada,

Pasal 13 yakni :
1. Penguasaan atas jalan ada pada negara.
2. Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada
Pemerintah dan pemerintah daerah untuk melaksanakan penyelenggaraan jalan.
Kemudian Pasal 14
1.

Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan secara
umum dan penyelenggaraan jalan nasional.

2.

Wewenang penyelenggaraan jalan secara umum dan penyelenggaraan jalan nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan
pengawasan.

Pasal 15 :

1.

Wewenang pemerintah provinsi dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan
provinsi.

2.

Wewenang penyelenggaraan jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan provinsi.

3. Dalam hal pemerintah provinsi belum dapat melaksanakan sebagian wewenangnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pemerintah provinsi dapat menyerahkan wewenang tersebut kepada
Pemerintah.
4.

Ketentuan lebih lanjut mengenai wewenang penyelenggaraan jalan provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan penyerahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dalam peraturan pemerintah.

Pasal 16

1. Wewenang pemerintah kabupaten dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan
kabupaten dan jalan desa.
2. Wewenang pemerintah kota dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan kota.
3. Wewenang penyelenggaraan jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan.
4. Dalam hal pemerintah kabupaten/kota belum dapat melaksanakan sebagian wewenangnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pemerintah kabupaten/kota dapat
menyerahkan wewenang tersebut kepada pemerintah provinsi.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai wewenang penyelengaraan jalan kabupaten sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), wewenang penyelengaraan jalan kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), dan penyerahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam peraturan
pemerintah
Pasal 45
1. Wewenang penyelenggaraan jalan tol berada pada Pemerintah.
2. Wewenang penyelenggaraan jalan tol meliputi pengaturan, pembinaan, pengusahaan, dan
pengawasan jalan tol.
3. Sebagian wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan jalan tol sebagaimana dimaksud pada
4.


ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh BPJT.
BPJT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibentuk oleh Menteri, berada di bawah, dan

5.

bertanggung jawab kepada Menteri.
Keanggotaan BPJT sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas unsur Pemerintah, unsur
pemangku kepentingan, dan unsur masyarakat.

Dengan menggunakan metode penafsiran sistematis dan dilihat dari isi pasal-pasal di
atas maka bisa kita ketahui siapakah yang di maksud dengan “Penyelenggara Jalan” dalam Pasal
273 Undang-Undang No.22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan, yaitu :
1.

Untuk jalan nasional sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah
Pemerintah Pusat.

2.


Untuk jalan propinsi sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah
Pemerintah Propinsi

3.

Untuk jalan kota sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah
Pemerintah Kota.

4.

Untuk jalan kabupaten dan jalan desa sesuai dengan kewenangannya, maka yang
bertanggungjawab adalah Pemerintah Kabupaten.

5. Untuk jalan tol sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah
Pusat.
V.Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dengan menggunakan menggunakan metode penafsiran
sistematis dapat disimpulkan bahwa penyelenggara jalan yang dimaksud dalam Pasal 273
Undang-Undang No.22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan, yaitu :
1.

Untuk jalan nasional sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah
Pemerintah Pusat.

2.

Untuk jalan propinsi sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah
Pemerintah Propinsi

3.

Untuk jalan kota sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah
Pemerintah Kota.

4.

Untuk jalan kabupaten dan jalan desa sesuai dengan kewenangannya, maka yang
bertanggungjawab adalah Pemerintah Kabupaten.

5. Untuk jalan tol sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah
Pusat.

Contoh Pasal Multitafsir 2

PENAFSIRAN TERHADAP MAKSUD
SETIAP ORANG YANG MEMBERIKAN IJAZAH MENURUT KETENTUAN PASAL 67
AYAT (1) UU NO. 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
I. Latar Belakang
Menurut Pasal 67 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
“Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertikat kompetensi, gelar akademik, profesi
dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan, di pidana dengan
pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000
(lima ratus juta).” Dalam penjelasan “cukup jelas”.
Didalam pasal tersebut disebutkan ancaman di pidana penjara paling lama lima tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta) bagi setiap orang yang
membantu memberikan ijazah, sertikat kompetensi, gelar akademik, profesi dan/atau vokasi dari
satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan, akan tetapi rumusan pasal tersebut masih
adanya multi tafsir terhadap adanya kata “setiap orang yang membantu memberikan ijazah”.
Apakah pengertian “membantu memberikan ijazah” dapat disamakan dengan orang
yang “membantu menyerahkankan ijazah?, orang yang membantu ikut menerbitkan ijazah?
Ataukah orang yang membantu membuat ijazah? Dalam hal ini pembuat Undang-undang tidak
memberikan penjelasan yang tegas, baik didalam ketentuan umum maupun dibagian penjelasan
hanya tertulis “cukup jelas”. Hal ini dapat menimbulkan multitafsir. Karena orang dapat saja
mengatakan ; “Saya tidak membantu memberikan, tetapi hanya sebatas menyerahkan”!....
Undang-undang tersebut harus ada kepastian pengertian yang dimaksud dengan kata
“membantu memberikan ijazah” karena kalau sampai teks Undang-undang tidak tegas dan jelas
maka dikawatirkan akan terjadi salah penerapan. Misalnya A mendapat titipan untuk
memberikan ijazah ke B, namun A ternyata tidak tahu kalau isi titipan tersebut ternyata ijazah
dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan. Apakah A dapat dianggap ikut
membantu memberikan ijazah? Apakah yang dimaksud kata “membantu memberikan” oleh
pembuat Undang-undang adalah “yang membantu menerbitkan” atau “yang membuat membuat”
Ijazah? atau apakah termasuk orang yang ikut menyerahakan. Hal ini harus ada kejelasan.
II. Pertanyaan Hukum

Apakah pengertian kata yang dimaksud dengan kalimat “Setiap orang yang membantu
memberikan ijazah di dalam ketentuan Pasal 67 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional?
III. Pembahasan
Menurut Simons sebagaimana disitir Ateng Syafrudin bahwa kepercayaan atau yang
diperintah terhadap peraturan perundang-undangan itu hanya dapat dipertahankan, bilamana
peraturan perundang-undangan itu memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan.
Selain daripada adil, suatu peraturan perundang-undangan harus pula memenuhi persyaratanpersyaratan teknis, tepat, cocok untuk mencapai maksud dan tujuannya tanpa menghamburkan
energi (tenaga) yang tidak perlu .
Di dalam Pasal 5 Undang-Undang No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan disebutkan bahwa, Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan
harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perudang-undangan yang baik yang
meliputi:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Kejelasan tujuan;
Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
Dapat dilaksanakan;
Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
Kejelasan rumusan; dan
Keterbukaan.
Selain Undang-Undang tersebut di atas, para ahli juga mengemukan pendapatnya tentang asasasas pembentukan peraturan perundang-undangan, di antaranya yaitu I.C. van der Vlies dan
A.Hamid.S.Attamimi. Didalam bukunya yang berjudul ”Het wetsbegrip en beginselen van
behoorlijke regelgeving” I.C.van der Vlies membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan
negara yang baik ke dalam asas-asas yang formal dan materiil.

1.
2.
3.
4.
5.

Asas-asas yang formal meliputi :
Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);
Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);
Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
Asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);
Asas konsensus (het beginsel van consensus).
Asas-asas yang materiil meliputi :

Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke terminology en
1.
2.
3.
4.

duidelijke systematiek);
Asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheidsbeginsel);
Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van de individuele
rechtsbedeling).
Ada 7 macam cara penafsiran/ Interpretasi yang bisa dilakukan, yaitu :

1. Interpretasi bahasa atau tata bahasa
2.

interpretasi sejarah

3. Interpretasi sistematis
4. interpretasi sosiologis
5.

interpretasi teleologis

6. tafsir otentik
7. keleluasaan interpretasi oleh hakim : kebalikan dari interpretasi otentik

Sedangkan C.S.T.Kansil menyebutkan bahwa ada 10 macam cara penafsiran, yaitu :
1.

Penafsiran Tata Bahasa : Cara penafsiran berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang,
dengan beredoman pada arti perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat
kalimat-kalimat yang dipakai oleh undang-undang dengan menggunakan arti perkataan menurut
tata bahasa atau menurut kebiasaan, yakni arti dalam pemakaian sehari-hari.

2. Penafsiran Sahih (autentik, resmi) : Penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana
yang diberikan oleh pembentuk undang-undang.
3.

Penafsiran Historis : penafsiran berdasarkan sejarah terjadinya undang-undang tersebut, atau
maksud pembentuk undang-undang pada waktu itu.

4.

Penafsiran Sistematis (dogmatis) : Penafsiran menilik dari susunan yang berhubungan dengan
bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu, maupun dengan undang-undang yang
lain.

5. Penafsiran Nasional : Penafsiran menilik sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku.
6.

Penafsiran Teleologis (Sosiologis) : Penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undngundnag ini.

7. Penafsiran Ekstensif : Memeberi tafsirn dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu
sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukannya.
8.

Penafsiran Restriktif : Penafsiran dengan membatasi (mempersempit) arti kata-kata dalam
peraturan itu.

9.
Penafsiran analogis : Memberi tafsiran pada sesuatu peraturn hukum dengan memberi ibarat
(kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang
sebenarnya tidak dapat dimasukan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.
10. Penafsiran a contrario (menurut pengingkaran) : Suatu cara menafsirkan undang-undang yang
didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam
suatu pasal undang-undang.
Dari berbagai macam cara penafsiran di atas penulis berpendapat bahwa cara penafsiran
otentik,sahih, atau resmi dan sistematik harus di dahulukan dibanding dengan cara penafsiran
yang lainnya, karena penafsiran otentik,sahih, atau resmi dan Penafsiran sistematik
penafsirannya akan lebih kuat secara hukum karena berdasarkan isi peraturan perundangundangan juga. Penafsiran otentik adalah penafsiran yang diberikan oleh pembuat Undangundang sebagaimana yang biasa dilampirkan dalam penjelasan jadi sumbernya ada didalam
Undang-undang itu sendiri mengikat secara umum.
Lalu bagaimana dengan isi Pasal 67 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang dimaksud dengan kalimat “Setiap orang yang membantu memberikan ijazah”
Siapakah yang dimaksud Setiap orang yang membantu memberikan ijazah tersebut? Pertama,
bila kita menggunakan metode penafsiran otentik atau resmi, ternyata di dalam Undang-Undang
No.20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut tidak dijelaskan definisi yang
membantu memberikan ijazah tersebut. Kedua, bila kita menggunakan signifikansi penafsiran
hukum “the literal rule” yakni berkaitan dengan pengertian kata-kata dan dengan menggunakan
metode Penafsiran Tata Bahasa (gramatikal) yaitu cara penafsiran berdasarkan pada bunyi
ketentuan undang-undang, dengan berpedoman pada arti perkataan dalam hubungannya satu
sama lain dalam kalimat kalimat-kalimat yang dipakai oleh undang-undang dengan
menggunakan arti perkataan menurut tata bahasa atau menurut kebiasaan, yakni arti dalam
pemakaian sehari-hari. Misalnya “membantu memberikan ijazah” adalah tidak dapat disamakan

dengan “membantu membuat ijazah” dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan.
Hal ini untuk memberi pembedaan antara kalimat “memberikan“ dengan kalimat “membuat”
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 263 KUHP mengenai tindak pidana pemalsuan surat
(termasuk ijazah/surat tanda tamat belajar).Maka kita bisa temukan definisi kata membantu
memberikan ijazah tersebut adalah hanya bagi orang yang berkaitan dengan kedudukan serta
kompetensi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan karena ia ikut mengetahui
perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 67 Ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003.
Dan kata “membantu memberikan ijazah” adalah hendaknya orang yang membantu ikut
berperan menerbitkan atau berperan ikut membantu “membuat” ijazah. sedangkan A yang tidak
ada kaitanya atau hubungannya dengan perbuatan pembuatan ijazah namun ia mendapat titipan
untuk memberikan ijazah tersebut ke B maka menurut penulis tidak dapat dikategorikan Pasal 67
Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
IV. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dengan menggunakan menggunakan metode penafsiran Tata
Bahasa (gramatikal) dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kalimat “Setiap orang
yang membantu memberikan ijazah” dalam arti membantu terhadap satuan pendidikan yang
tidak memenuhi persyaratan sebagaimana di dalam ketentuan Pasal 67 Ayat (1) UU No. 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu :
1. Berlaku hanya bagi orang yang berkaitan dengan kedudukan serta kompetensi dari satuan atau
lembaga pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan karena ia ikut mengetahui perbuatan
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 67 Ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003.
2.

Orang yang membantu memberikan ijazah namun ia tidak ada kaitannya dengan kedudukan
serta kompetensi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan, tidak dapat dianggap
memenuhi Pasal 67 Ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003.
V. Saran
Harus ada ketegasan pengertian antara kata-kata “memberikan“, “membuat”, dan kata
“menerbitkan” dalam Pasal 67 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 agar tidak salah penerapan.

Daftar Pustaka
Buku :
1. C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesiam
Balai Pustaka, Jakarta, 2002.
2.

Haposan Siallagan dan Efik Yusdiansyah, Ilmu Perundang-undangan Indonesia, UHN Press,
Medan 2008.

3. Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu hukum, Buku I, Alumni, Bandung,
2000.
Peraturan Perundang-undangan :
1. KUHP, Pustaka Yustisia, 2010
2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem pendidikan Nasional
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan
4. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan