Natal Tahun Baru dan Terorisme
NATAL, TAHUN BARU DAN TERORISME
Oleh Andi Admiral (Pemerhati Sosial Politik di NTB)
Fenomena Natal dan Tahun Baru dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia, bukan
lagi menjadi konsumsi privat bagi “umat beragama” tertentu yang merayakannya,
namun hal ini telah menjadi bagian dari konsumsi publik bagi seluruh Rakyat
Indonesia. Dahulu, moment perayaan Natal dan Tahun Baru merupakan bagian dari
rangkaian ritual beragama bagi “umat kristiani”. Saat ini, Natal dan Tahun Baru,
bukan sebatas ritual kegamaan, tetapi telah menjadi perhatian publik ketika
diperhadapkan dalam konteks ancaman dan permasalahan sosial yang muncul di
tengah masyarakat. Salah satu contonya, menguatnya isu terorisme yang terus
menjadi “momok menakutkan di negeri ini”. Hal ini tentu tidak terlepas dari
perkembangan gerakan terorisme di Indonesia dalam 13 tahun terakhir.
Pada setiap moment menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru, isu terorisme akan
selalu menimbulkan pertanyaan mendasar bagi publik. Betulkah perayaan Natal dan
Tahun Baru akan diwarnai aksi terorisme?, ataukah isu itu sengaja dihembuskan
oleh “pihak tertentu” sebagai bagian dari upaya membangun persepsi publik, bahwa
ancaman terorisme di Indonesia perlu dimusuhi”, ataukah isu terorisme hanya
menjadi sederetan panjang dari agenda “proyek nasional” yang di back up oleh
kepentingan negara-negara barat? Tentu pertanyaan-pertanyaan ini masing-masing
memiliki jawaban dan alasan mendasar. Namun terlepas dari itu, penulis tidak
berwenang memberikan jawaban pasti.
Bagi penulis, yang menarik dan perlu menjadi perhatian dalam tulisan ini adalah,
bagaimana memandang tiga isu fenomenal tersebut, yakni “Natal, Tahun Baru, dan
Terorisme” sebagai suatu rangkaian masalah publik dapat tampil menjadi suatu
kebijakan publik, baik oleh pemerintah pusat dan daerah. Sehingga dapat
terintegrasi menjadi suatu kesatuan kebijakan, guna mewujudkan pelayanan kepada
seluruh masyarakat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang
aman, damai dan tentram. Untuk mewujudkan hal tersebut, fenomena sosial
terhadap momentum Natal, Tahun Baru, dan Terorisme dapat dilihat dalam 3 (tiga)
perpektif untuk dijadikan instrumen suatu perumusan kebijakan publik. Pertama,
indikator perumusan masalah dan isu publik. Kedua, instrumen pengambilan
kebijakan, dan Ketiga, agenda dan tindak lanjut dari kebijakan untuk memberikan
pelayanan publik.
Sebagai Permasalahan dan Isu Publik
Menjelang Natal dan Tahun Baru 2014, salah seorang Pengamat Terorisme, Noor
Huda Ismail menilai ancaman terorisme pada perayaan Natal dan Tahun mendatang
masih cukup besar. Penyebabnya menurut Noor Huda Ismail adalah karena gerakan
jaringan teroris di Indonesia yang masih aktif dan diprediksi menggalang
kekuatannya. Menurutnya, untuk menunjukkan eksistensinya mereka bisa saja
melakukan serangan teror pada Natal dan Tahun Baru. Sebelumnya ancaman ini
juga telah terendus baik oleh Kapolri, Sutarman maupun Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) bahwa “ada kelompok teroris yang ingin
merusak perayaan Natal dan tahun baru 2014”.
Prediksi ancaman tersebut juga ditandai dengan penangkapan sejumlah jaringan
teroris selama Bulan Desember 2013 oleh Densus 88 Antiteror Polri. Menjelang
Natal dan Tahun Baru 2014, Densus telah menangkap 4 tersangka teroris, yakni
penangkapan di Lamongan (Jawa Timur), Bekasi (Jawa Barat), dan Kota Bima
(NTB) - khusus, penangkapan terduga jaringan teroris di Kota Bima, merupakan
yang kelima kalinya dilakukan sejak 2010. Polri mengindikasikan mereka akan
menebar teror menjelang Natal dan Tahun Baru. Bahkan Provinsi NTB dikategorikan
sebagai salah satu daerah sasaran aksi terorisme.
Pada sisi lain, muncul sikap sekelompok masyarakat yang juga terus menyebarkan
sikap intoleransi dan kebencian terhadap para pemeluk beragama tertentu
menjelang Natal dan Tahun Baru di Indonesia, baik melalui pemasagan spanduk di
sudut-sudut kota maupun pernyataan di media sosial lainnya yang berpotensi
menjadi ancaman nyata merusak kerukunan antar umat beragama maupun
kelangsungan hidup bermasyarakat.
Jika prediski dan fakta-fakta penangkapan teroris menjelang Natal dan Tahun Baru,
serta munculnya penyebaran sikap intoleransi dan kebencian terhadap kelompok
agama tertentu, menimbulkan keresahan dan ketakutan di tengah masyarakat pada
setiap momentum Natal dan Tahun Baru (cenderung berulang dalam setiap tahun),
maka permasalahan ini sudah seharusnya dapat dijadikan instrumen pembuatan
kebijakan oleh pemerintah daerah.
Hal ini sejalan dengan konsepsi William N. Dunn bahwa kebijakan publik dibuat
dikarenakan adanya masalah publik yang terjadi, sehingga permasalahan tersebut
dapat diantisipasi dan mencapai tujuan yang diharapkan. Dunn juga menjelaskan
bahw perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang
tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang
memungkinkan memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan, dan
merancang peluang-peluang kebijakan yang baru” (Dunn, 1993: 26).
Jika ancaman teror pada setiap moment Natal dan Tahun Baru disadari dan diyakini
sebagai masalah dan isu publik, karena memiliki dampak sangat luas bagi
masyarakat dan mencakup konsekuensi-konsekuensi tertentu bagi orang-orang
yang tidak secara langsung terlibat dengan masalah tersebut, maka diperlukan
langkah penanganannya secara tersruktur, terintegrasi, dan berbasis anggaran.
Dalam konteks ini, masalah Natal dan Tahun Baru sebagai masalah publik dapat di
bedakan dalam dua bagian, meminjam istilah Theodore Lowi, yakni masalah
prosedural dan masalah subtantif. Masalah prosedural berhubungan dengan
bagaimana pemerintah diorganisasikan, dan bagaimana pemerintah melaksanakan
tugas-tugasnya. Sedangkan masalah substantif berkenaan dengan akibat-akibat
nyata dari kegiatan manusia, seperti kebebasan menjalankan ibadah, memberikan
kenyamanan dalam beribadah dan kegiatan sosial kemasyarakat, serta memberikan
pelindungan kepada setiap warga negara.
Instrumen Pengambilan Kebijakan
Pertanyaan mendasar yang sering dimunculkan adalah kapan suatu masalah bisa
tampil menjadi masalah publik, masalah publik bisa tampil menjadi isu kebijakan,
dan isu kebijakan bisa masuk dalam agenda pemerintahan, sekaligus bisa menjadi
kebijakan publik.
Dalam kaitan dengan Perayaan Natal dan Baru yang masih diwarnai ancaman
terorisme dan sikap intoleran sebagian masyarakat, maka instrumen yang
diperlukan adalah seberapa jauh atau seberapa besar tingkat kesadaran dan
kepekaan masyarakat melihat masalahnya sendiri dan sampai seberapa besar
tingkat kesadaran, kepekaan, dan kemampuan pembuat keputusan melihat
masalah-masalah yang dihadapi masyarakat itu sebagai sesuatu yang menjadi
tanggungjawabnya untuk diatasi.
Menjawab pertanyaan tersebut, mengutip pendapat Charles O. Jones, bahwa
masalah-masalah publik (public problems) mempunyai dua tipe, yaitu masalahmasalah tersebut dikarakteristikkan oleh adanya perhatian kelompok dan warga kota
yang terorganisasi yang bertujuan untuk melakukan tindakan (action), serta
masalah-masalah tersebut tidak dapat dipecahkan secara individual/pribadi
(sehingga hal itu menjadi masalah publik), tetapi kurang terorganisasi dan kurang
mendapat dukungan. Pembedaan seperti ini, merupakan sesuatu yang kritis dalam
memahami kompleksitas proses yang berlangsung dimana beberapa masalah bisa
sampai kepada pemerintah, sedangkan beberapa masalah yang lain tidak.
Sementara Walker (dalam Widodo, 2007) menyatakan bahwa suatu masalah bisa
tampil menjadi masalah publik jika 1) issu tersebut mempunyai dampak yang besar
pada banyak orang, 2) ada bukti yang meyakinkan, agar lembaga legislatif mau
memperhatikan masalah tersebut sebagai masalah yang serius, dan 3) ada
pemecahan yang mudah dipahami terhadap masalah yang sedang diperhatikan.
Selain itu, masalah publik dapat tampil menjadi kebijakan, Charles O. Jones (1984)
mengemukakan bahwa masalah publik mudah menjadi isu kebijakan publik
manakala, scope dan kemungkinan dukungan terhadap issu-issu tersebut dapat
dikumpulkan, problem atau issu tersebut dinilai penting, serta ada kemungkinan
masalah (issues) tersebut dapat terpecahkan.
Dalam beberapa literatur lainnya, menyebutkan bahwa isu kebijakan publik dapat
masuk dalam agenda pemerintah sekaligus dapat menjadi kebijakan publik (Kimber,
1974; Salesbury, 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986), apabila
memenuhi beberapa kriteria tertentu, yakni : Pertama, isu tersebut telah mencapai
suatu titik kritis tertentu, sehingga ia praktis tidak lagi bisa diabaikan begitu saja atau
ia telah dipersepsikan sebagai suatu ancaman serius yang jika tak segera diatasi
justru akan menimbulkan luapan krisis baru yang jauh lebih hebat di masa datang.
Kedua, isu tersebut telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang dapat
menimbulkan dampak (impact) yang bersifat dramatik. Ketiga, Isu tersebut
menyangkut emosi tertentu dilihat dan sudut kepentingan orang banyak bahkan
umat manusia pada umumnya, dan mendapat dukungan berupa liputan media
massa yang luas. Keempat, isu tersebut menjangkau dampak yang amat luas.
Kelima, isu tersebut mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimasi)
dalam masyarakat. Dan Keenam, isu tersebut menyangkut suatu persediaan yang
fasionable, di mana posisinya sulit untuk dijelaskan tapi mudah dirasakan
kehadirannya.
Berdasarkan pada instrumen dan kriteria tersebut, maka sejatinya setiap Momentum
Perayaan Natal dan Tahun Baru, atau sama halnya momentum Perayaan Idul Fitri
yang diwarnai dengan “Mudik Lebaran”, sudah selayaknya pemerintah daerah dapat
menyikapinya melalui rumusan kebijakan tahunan, yang bersifat terstruktur,
terintegrasi, dan berbasis anggaran. Hal ini sebagai bentuk perwujudan dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang maksimal, tanpa harus “terdadak
dan terdesak”, ketika terjadi masalah krusial di masa mendatang.
AGENDA DAN TINDAK LANJUT KEBIJAKAN
Jika instrumen, kriteria, dan tingkat uregensi masalah sosial menjelang Perayaan
Hari-Hari Besar di Indonesia, sebagai konsekuensi dari kebutuhan masyarakat untuk
mendapatkan pelayanan yang nyaman, aman dan tenteram, serta bersifat
teintegrasi, terstruktur, dan berbasis anggaran, maka diperlukan angenda dan
langkah nyata dari seluruh stakeholder pemangku kebijakan di tingkat pemerintahan
pusat, provinsi maupun kabupaten/kota untuk menetapkannya dalam suatu
kebijakan sesuai tingkatannya. Dalam lingkup nasional tentu dirumuskan dalam
kebijakan APBN dan lingkup daerah dirumuskan dalam APBD. Harapan tersebut
hanya dapat diwujudkan melalui Political Will untuk memberikan pelayanan publik.
Sayangnya, fenomena sosial dalam setiap moment Natal dan Tahun Baru 2014
ataupun moment “Mudik Lebaran” sebagai bagian dari perwujudan pelayanan public
tahunan, belum sepenuhnya disikapi dan ditangani secara terintegrasi oleh
pemerintah daerah provinsi dan Kab/Kota (eksekutif dan legislatif). Fenomena
tersebut masih cenderung disikapi secara parsial, bahkan cenderung hanya
dikaitkan dalam aspek keamanan. Sehingga terkesan, masalah Natal dan Tahun
Baru 2014 hanya menjadi tugas Polisi dan TNI dalam memberikan rasa aman
kepada masyarakat Indonesia. Sementara pada aspek kenyamanan, belum
sepenuhnya melahirkan tanggung jawab pemerintah daerah. Hal ini dapat dilihat dari
lemahnya komitmen pemerintah daerah dalam pengalokasian anggaran dalam
APBD. Padahal sudah banyak instrumen hukum yang dapat dijadikan dasar pijakan
bagi pemerintah daerah untuk menetapkan kebijakan berbasis anggaran pada
momentum Natal dan Tahun Baru ataupun “Mudik Lebaran”. Tentu kedepan, kita
tidak ingin merasakan dampak dari lemahnya political willl dan kesadaran publik
pemerintah daerah, sehingga tidak jarang terjadi “pendadakan” kebijakan, yang
hasilnya kurang memuaskan rakyat. Semoga ...
Wallahua’lam bisshawab.
Mataram, 23 Desember 2013.
Oleh Andi Admiral (Pemerhati Sosial Politik di NTB)
Fenomena Natal dan Tahun Baru dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia, bukan
lagi menjadi konsumsi privat bagi “umat beragama” tertentu yang merayakannya,
namun hal ini telah menjadi bagian dari konsumsi publik bagi seluruh Rakyat
Indonesia. Dahulu, moment perayaan Natal dan Tahun Baru merupakan bagian dari
rangkaian ritual beragama bagi “umat kristiani”. Saat ini, Natal dan Tahun Baru,
bukan sebatas ritual kegamaan, tetapi telah menjadi perhatian publik ketika
diperhadapkan dalam konteks ancaman dan permasalahan sosial yang muncul di
tengah masyarakat. Salah satu contonya, menguatnya isu terorisme yang terus
menjadi “momok menakutkan di negeri ini”. Hal ini tentu tidak terlepas dari
perkembangan gerakan terorisme di Indonesia dalam 13 tahun terakhir.
Pada setiap moment menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru, isu terorisme akan
selalu menimbulkan pertanyaan mendasar bagi publik. Betulkah perayaan Natal dan
Tahun Baru akan diwarnai aksi terorisme?, ataukah isu itu sengaja dihembuskan
oleh “pihak tertentu” sebagai bagian dari upaya membangun persepsi publik, bahwa
ancaman terorisme di Indonesia perlu dimusuhi”, ataukah isu terorisme hanya
menjadi sederetan panjang dari agenda “proyek nasional” yang di back up oleh
kepentingan negara-negara barat? Tentu pertanyaan-pertanyaan ini masing-masing
memiliki jawaban dan alasan mendasar. Namun terlepas dari itu, penulis tidak
berwenang memberikan jawaban pasti.
Bagi penulis, yang menarik dan perlu menjadi perhatian dalam tulisan ini adalah,
bagaimana memandang tiga isu fenomenal tersebut, yakni “Natal, Tahun Baru, dan
Terorisme” sebagai suatu rangkaian masalah publik dapat tampil menjadi suatu
kebijakan publik, baik oleh pemerintah pusat dan daerah. Sehingga dapat
terintegrasi menjadi suatu kesatuan kebijakan, guna mewujudkan pelayanan kepada
seluruh masyarakat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang
aman, damai dan tentram. Untuk mewujudkan hal tersebut, fenomena sosial
terhadap momentum Natal, Tahun Baru, dan Terorisme dapat dilihat dalam 3 (tiga)
perpektif untuk dijadikan instrumen suatu perumusan kebijakan publik. Pertama,
indikator perumusan masalah dan isu publik. Kedua, instrumen pengambilan
kebijakan, dan Ketiga, agenda dan tindak lanjut dari kebijakan untuk memberikan
pelayanan publik.
Sebagai Permasalahan dan Isu Publik
Menjelang Natal dan Tahun Baru 2014, salah seorang Pengamat Terorisme, Noor
Huda Ismail menilai ancaman terorisme pada perayaan Natal dan Tahun mendatang
masih cukup besar. Penyebabnya menurut Noor Huda Ismail adalah karena gerakan
jaringan teroris di Indonesia yang masih aktif dan diprediksi menggalang
kekuatannya. Menurutnya, untuk menunjukkan eksistensinya mereka bisa saja
melakukan serangan teror pada Natal dan Tahun Baru. Sebelumnya ancaman ini
juga telah terendus baik oleh Kapolri, Sutarman maupun Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) bahwa “ada kelompok teroris yang ingin
merusak perayaan Natal dan tahun baru 2014”.
Prediksi ancaman tersebut juga ditandai dengan penangkapan sejumlah jaringan
teroris selama Bulan Desember 2013 oleh Densus 88 Antiteror Polri. Menjelang
Natal dan Tahun Baru 2014, Densus telah menangkap 4 tersangka teroris, yakni
penangkapan di Lamongan (Jawa Timur), Bekasi (Jawa Barat), dan Kota Bima
(NTB) - khusus, penangkapan terduga jaringan teroris di Kota Bima, merupakan
yang kelima kalinya dilakukan sejak 2010. Polri mengindikasikan mereka akan
menebar teror menjelang Natal dan Tahun Baru. Bahkan Provinsi NTB dikategorikan
sebagai salah satu daerah sasaran aksi terorisme.
Pada sisi lain, muncul sikap sekelompok masyarakat yang juga terus menyebarkan
sikap intoleransi dan kebencian terhadap para pemeluk beragama tertentu
menjelang Natal dan Tahun Baru di Indonesia, baik melalui pemasagan spanduk di
sudut-sudut kota maupun pernyataan di media sosial lainnya yang berpotensi
menjadi ancaman nyata merusak kerukunan antar umat beragama maupun
kelangsungan hidup bermasyarakat.
Jika prediski dan fakta-fakta penangkapan teroris menjelang Natal dan Tahun Baru,
serta munculnya penyebaran sikap intoleransi dan kebencian terhadap kelompok
agama tertentu, menimbulkan keresahan dan ketakutan di tengah masyarakat pada
setiap momentum Natal dan Tahun Baru (cenderung berulang dalam setiap tahun),
maka permasalahan ini sudah seharusnya dapat dijadikan instrumen pembuatan
kebijakan oleh pemerintah daerah.
Hal ini sejalan dengan konsepsi William N. Dunn bahwa kebijakan publik dibuat
dikarenakan adanya masalah publik yang terjadi, sehingga permasalahan tersebut
dapat diantisipasi dan mencapai tujuan yang diharapkan. Dunn juga menjelaskan
bahw perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang
tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang
memungkinkan memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan, dan
merancang peluang-peluang kebijakan yang baru” (Dunn, 1993: 26).
Jika ancaman teror pada setiap moment Natal dan Tahun Baru disadari dan diyakini
sebagai masalah dan isu publik, karena memiliki dampak sangat luas bagi
masyarakat dan mencakup konsekuensi-konsekuensi tertentu bagi orang-orang
yang tidak secara langsung terlibat dengan masalah tersebut, maka diperlukan
langkah penanganannya secara tersruktur, terintegrasi, dan berbasis anggaran.
Dalam konteks ini, masalah Natal dan Tahun Baru sebagai masalah publik dapat di
bedakan dalam dua bagian, meminjam istilah Theodore Lowi, yakni masalah
prosedural dan masalah subtantif. Masalah prosedural berhubungan dengan
bagaimana pemerintah diorganisasikan, dan bagaimana pemerintah melaksanakan
tugas-tugasnya. Sedangkan masalah substantif berkenaan dengan akibat-akibat
nyata dari kegiatan manusia, seperti kebebasan menjalankan ibadah, memberikan
kenyamanan dalam beribadah dan kegiatan sosial kemasyarakat, serta memberikan
pelindungan kepada setiap warga negara.
Instrumen Pengambilan Kebijakan
Pertanyaan mendasar yang sering dimunculkan adalah kapan suatu masalah bisa
tampil menjadi masalah publik, masalah publik bisa tampil menjadi isu kebijakan,
dan isu kebijakan bisa masuk dalam agenda pemerintahan, sekaligus bisa menjadi
kebijakan publik.
Dalam kaitan dengan Perayaan Natal dan Baru yang masih diwarnai ancaman
terorisme dan sikap intoleran sebagian masyarakat, maka instrumen yang
diperlukan adalah seberapa jauh atau seberapa besar tingkat kesadaran dan
kepekaan masyarakat melihat masalahnya sendiri dan sampai seberapa besar
tingkat kesadaran, kepekaan, dan kemampuan pembuat keputusan melihat
masalah-masalah yang dihadapi masyarakat itu sebagai sesuatu yang menjadi
tanggungjawabnya untuk diatasi.
Menjawab pertanyaan tersebut, mengutip pendapat Charles O. Jones, bahwa
masalah-masalah publik (public problems) mempunyai dua tipe, yaitu masalahmasalah tersebut dikarakteristikkan oleh adanya perhatian kelompok dan warga kota
yang terorganisasi yang bertujuan untuk melakukan tindakan (action), serta
masalah-masalah tersebut tidak dapat dipecahkan secara individual/pribadi
(sehingga hal itu menjadi masalah publik), tetapi kurang terorganisasi dan kurang
mendapat dukungan. Pembedaan seperti ini, merupakan sesuatu yang kritis dalam
memahami kompleksitas proses yang berlangsung dimana beberapa masalah bisa
sampai kepada pemerintah, sedangkan beberapa masalah yang lain tidak.
Sementara Walker (dalam Widodo, 2007) menyatakan bahwa suatu masalah bisa
tampil menjadi masalah publik jika 1) issu tersebut mempunyai dampak yang besar
pada banyak orang, 2) ada bukti yang meyakinkan, agar lembaga legislatif mau
memperhatikan masalah tersebut sebagai masalah yang serius, dan 3) ada
pemecahan yang mudah dipahami terhadap masalah yang sedang diperhatikan.
Selain itu, masalah publik dapat tampil menjadi kebijakan, Charles O. Jones (1984)
mengemukakan bahwa masalah publik mudah menjadi isu kebijakan publik
manakala, scope dan kemungkinan dukungan terhadap issu-issu tersebut dapat
dikumpulkan, problem atau issu tersebut dinilai penting, serta ada kemungkinan
masalah (issues) tersebut dapat terpecahkan.
Dalam beberapa literatur lainnya, menyebutkan bahwa isu kebijakan publik dapat
masuk dalam agenda pemerintah sekaligus dapat menjadi kebijakan publik (Kimber,
1974; Salesbury, 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986), apabila
memenuhi beberapa kriteria tertentu, yakni : Pertama, isu tersebut telah mencapai
suatu titik kritis tertentu, sehingga ia praktis tidak lagi bisa diabaikan begitu saja atau
ia telah dipersepsikan sebagai suatu ancaman serius yang jika tak segera diatasi
justru akan menimbulkan luapan krisis baru yang jauh lebih hebat di masa datang.
Kedua, isu tersebut telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang dapat
menimbulkan dampak (impact) yang bersifat dramatik. Ketiga, Isu tersebut
menyangkut emosi tertentu dilihat dan sudut kepentingan orang banyak bahkan
umat manusia pada umumnya, dan mendapat dukungan berupa liputan media
massa yang luas. Keempat, isu tersebut menjangkau dampak yang amat luas.
Kelima, isu tersebut mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimasi)
dalam masyarakat. Dan Keenam, isu tersebut menyangkut suatu persediaan yang
fasionable, di mana posisinya sulit untuk dijelaskan tapi mudah dirasakan
kehadirannya.
Berdasarkan pada instrumen dan kriteria tersebut, maka sejatinya setiap Momentum
Perayaan Natal dan Tahun Baru, atau sama halnya momentum Perayaan Idul Fitri
yang diwarnai dengan “Mudik Lebaran”, sudah selayaknya pemerintah daerah dapat
menyikapinya melalui rumusan kebijakan tahunan, yang bersifat terstruktur,
terintegrasi, dan berbasis anggaran. Hal ini sebagai bentuk perwujudan dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang maksimal, tanpa harus “terdadak
dan terdesak”, ketika terjadi masalah krusial di masa mendatang.
AGENDA DAN TINDAK LANJUT KEBIJAKAN
Jika instrumen, kriteria, dan tingkat uregensi masalah sosial menjelang Perayaan
Hari-Hari Besar di Indonesia, sebagai konsekuensi dari kebutuhan masyarakat untuk
mendapatkan pelayanan yang nyaman, aman dan tenteram, serta bersifat
teintegrasi, terstruktur, dan berbasis anggaran, maka diperlukan angenda dan
langkah nyata dari seluruh stakeholder pemangku kebijakan di tingkat pemerintahan
pusat, provinsi maupun kabupaten/kota untuk menetapkannya dalam suatu
kebijakan sesuai tingkatannya. Dalam lingkup nasional tentu dirumuskan dalam
kebijakan APBN dan lingkup daerah dirumuskan dalam APBD. Harapan tersebut
hanya dapat diwujudkan melalui Political Will untuk memberikan pelayanan publik.
Sayangnya, fenomena sosial dalam setiap moment Natal dan Tahun Baru 2014
ataupun moment “Mudik Lebaran” sebagai bagian dari perwujudan pelayanan public
tahunan, belum sepenuhnya disikapi dan ditangani secara terintegrasi oleh
pemerintah daerah provinsi dan Kab/Kota (eksekutif dan legislatif). Fenomena
tersebut masih cenderung disikapi secara parsial, bahkan cenderung hanya
dikaitkan dalam aspek keamanan. Sehingga terkesan, masalah Natal dan Tahun
Baru 2014 hanya menjadi tugas Polisi dan TNI dalam memberikan rasa aman
kepada masyarakat Indonesia. Sementara pada aspek kenyamanan, belum
sepenuhnya melahirkan tanggung jawab pemerintah daerah. Hal ini dapat dilihat dari
lemahnya komitmen pemerintah daerah dalam pengalokasian anggaran dalam
APBD. Padahal sudah banyak instrumen hukum yang dapat dijadikan dasar pijakan
bagi pemerintah daerah untuk menetapkan kebijakan berbasis anggaran pada
momentum Natal dan Tahun Baru ataupun “Mudik Lebaran”. Tentu kedepan, kita
tidak ingin merasakan dampak dari lemahnya political willl dan kesadaran publik
pemerintah daerah, sehingga tidak jarang terjadi “pendadakan” kebijakan, yang
hasilnya kurang memuaskan rakyat. Semoga ...
Wallahua’lam bisshawab.
Mataram, 23 Desember 2013.