Paradigma dan Ontologi Telisik Eksistens
Paradigma dan Ontologi: Tesis “Hilangnya Kehormatan Katharina Blum Karya Heinrich
Boll (Tinjauan Filsafat Eksistensialisme Heidegger)” Karya Akbar K. Setiawan
Tugas Akhir Mata Kuliah Filsafat dan Paradigma dalam Ilmu Sastra
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Faruk, SU.
Oleh:
Muammar Kadafi
13/354095/PSA/7577
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014
Paradigma dan Ontologi: Tesis “Hilangnya Kehormatan Katharina Blum Karya Heinrich
Boll (Tinjauan Filsafat Eksistensialisme Heidegger)” Karya Akbar K. Setiawan
Pengantar
Filsafat merupakan dasar dari ilmu pengetahuan manusia. Secara mendasar, filsafat
berangkat dari pertanyaan mendasar tersebut yaitu apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan
mengapa (aksiologi). Ketiganya terjalin berkelindan dalam upaya manusia memahami alam dan
kehidupan di dalamnya. Dimana tugas utama filsafat menurut Wittgenstein (dalam
Suriasumantri, 2009: 30) adalah menyatakan sebuah pertanyaan sejelas mungkin, bukan sekedar
menyusun pernyataan filosofis.
Kritik sastra sebagai bagian dari ilmu pengetahuan manusia pun tak bisa melepaskan diri
dari filsafat. Namun dalam praktiknya, masih terdapat kesalahan dalam memandang teori-teori
sastra yang digunakan sebagai alat-alat analisis mengaji karya sastra. Kesalahan itu terlihat pada
kekakuan mehamami teori dan khususnya metode dalam kritik sastra sebagai sesuatu yang baku
dari
penelitian-penelitian
sebelumnya
tanpa
mempertimbangkan
alasan ontologi
dan
epistemologinya (Faruk, 2012: 10). Padahal seorang akademisi dituntut senantiasa bersikap logis
dan sistemastis.
Berangkat dari hal ini, penulis mencoba menelusuri tesis dari segi paradigma dan
ontologi pemikiran yang digunakan dalam suatu penelitian terhadap karya sastra. Tesis yang
dipilih sebagai objek analisis berjudul “Hilangnya Kehormatan Katharina Blum Karya Heinrich
Boll (Tinjauan Filsafat Eksistensialisme Heidegger) yang ditulis Akbar K. Setiawan (13621/IV4/1020/99) pada tahun 2004. Tesis ini bila dirunut dari teori yang digunakan sebagai pendekatan
terhadap karya sastra beranjak dari pandangan dunia dalam strukturalisme genetik Goldman.
Pandangan dunia yang menonjol dalam novel Hilangnya Kehormatan Katharina Blum (HKKB)
karya Heinrich Boll menurut Akbar adalah wujud dari filsafat eksistensialisme pengarang
melalui tokoh utama dalam novel HKKB. Filsafat eksistensialisme yang menjadi landasan teori
utama dalam tesis tersebut adalah filsafat eksistensialisme Heidegger. Sehingga yang menjadi
fokus pada paper ini adalah paradigma dan ontologi filsafat eksistensialisme Heidegger.
Eksistensialisme
Aliran eksistensialisme adalah reaksi terhadap dikotomi aliran idealisme dan
materialisme. Aliran idealisme mementingkan ide sebagai sumber kebenaran dan menganggap
bahwa manusia hanya sebagai subjek.
Sedangkan materialisme menganggap materi sebagai
sumber kebenaran kehidupan, mengabaikan manusia sebagai makhluk hidup yang mempunyai
kebenaran sendiri yang tidak sama dengan makhluk lainnya. Dengan kata lain, materialisme
lebih memandang manusia sebagai objek. Eksistensialisme sendiri menilai kedua pandangan
tersebut terlalu ekstrem dan mengambil pandangan bahwa manusia di satu sisi adalah subjek,
sekaligus di sisi lain sebagai objek dalam kehidupan (Tafsir, 1994: 193)
Meski terdapat perbedaan antara tokoh eksistensialisme satu dengan yang lain terhadap
apa itu eksistensialisme, namun dari inti makna yang terdalam, mereka mau menyatakan tentang
cara wujud manusia, cara berada manusia. Bahwa dia secara negatif bukan benda-benda lain dan
bukan subjek absolut, dan cara positif manusia adalah berada di tengah-tengah dunia sebagai
subyek, dan beradanya di sana selalu “terbuka bagi”, hal ini dimungkingkan sebab subyek itu
telah menjelma/membadan (Muzairi, 2002: 33).
Akbar dalam tesisnya menjabarkan bahwa HKKB berisi pandangan dunia dari Heinrich
Boll sebagai reaksi terhadap persoalan politik dan budaya di Jerman Barat sekitar tahun 19691977 karena adanya tindakan represif, penindasan dan pemaksaan yang dialami masyarakat.
Pengaruh gerakan Neue-Subjektivitat (Subjektivitas Baru) pada masyarakat Jerman Barat pada
tahun 70-an sangat kental dengan eksistensialisme yang dibawa oleh Martin Heidegger (2004:
36). Namun dalam pemaparan selanjutnya, eksistensialisme yang dibahas satu persatu dari
tokoh-tokoh filsafat eksistensialisme. Ini menjadi catatan awal karena seolah menunjukkan
bahwa paham-paham dalam filsafat eksistensialisme merupakan paham yang sama, baik secara
ontologi maupun epistemologi. Padahal dalam filsafat eksistensialisme sendiri terdapat
pembagian-pembagian seperti teis dan ateis. Sekiranya pemunculan beberapa pemikir
eksistensialisme dalam landasan teori dimaksud untuk melihat perbedaan sehingga semakin
menjelaskan kerangka pikir dalam tesis, namun yang tampak adalah kesan penyatuan semua
pemikiran tersebut dalam rangkuman besar filsafat eksistensialisme. Bahkan menurut Muzairi
(2002: 28), tokoh-tokoh seperti Jaspers dan Heidegger enggan dimasukkan ke dalam aliran
filsafat Eksistensialisme.
Pada bagian pembahasan eksistensialisme, Akbar (2004: 49) kemudian menyimpulkan
bahwa motif pokok manusia adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada.
Dengan memusatkan perhatian pada manusia, maka bersifat humanistis. Sehingga paradigma
filsafat eksistensialisme secara umum sendiri masih berada dalam paradigma humanisme.
Pendapat Akbar terkait paradigma ini sudah tepat bila yang dimaksud bahwa humanisme sebagai
doktrin atau cara hidup yang dipusatkan pada kepentingan atau nilai atau bahwa yang terpenting
dalam alam semseta adalah faktor manusia (Woolf dan Abey dalam Muzairi, 2002 49-50).
Eksistensialisme Heidegger
Inti filsafat eksistensialisme berputar pada “ada”-nya manusia. Dalam filsafat ini,
eksistensi itu mendahului esensi manusia, sehingga “ada” menjadi kata kunci untuk menjawab
apa ontologi dari filsafat eksistensialisme Heidegger. Pada tesis Akbar (2004: 51) gambaran awal
yang diberikan dapat dilihat dari kutipan paragraf berikut ini:
Untuk memahami ide Heidegger mengenai “Ada” adalah dengan meniadakan benda
atau dengan istilah “ketiadaan”. Begitu manusia berpikir “Ada”, maka dalam waktu
yang bersamaan dapat membayangkan kemungkinan tidak beradanya semua benda.
Jadi ketika manusia berpikir bahwa semua yang berada di dunia tidak ada, maka
manusia akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa semuanya itu “Ada”. Karena
kenyataannya semua itu sekarang ada di dunia. Dengan memahami pemikiran Tiada,
maka kita dapat memahami dan menghargai pentingnya “Ada”. “Ada” telah membuat
segala sesuatu pengada mungkin.
Kutipan di atas menerangkan salah satu cara sederhana untuk memahami konsep “Ada”
dalam pemikiran Heidegger. Proses “ada” lebih mengacu pada proses berpikir manusia untuk
menyadari dirinya dan objek-objek lain di sekitarnya. Pada proses tersebut, manusia kemudian
keluar dari dirinya sendiri untuk melihat posisinya dengan adanya yang lain. Dengan begitu,
manusia kemudian menyadari dirinya “berada” (dasein) dan bukan “yang berada” (seinde).
“Berada” memiliki sifat rangkap yaitu memiliki dunia dan berada di dunia. Sehingga eksistensi
manusia mendahului esensinya. Sedangkan esensi benda mendahului eksistensinya (Fadhillah,
2009: 29). Dari sini kemudian, “berada” bermakna positif, dinamis dan memiliki unsur
kepribadian. Sedangkan segala sesuatu dihubungkan dengan diri manusia, seperti mejaku,
kursiku, temanku, kekasihku, dan lain-lain.
Akbar kemudian memberikan penjabaran lebih lanjut bahwa Heidegger dalam bukunya
yang berjudul Sein Und Zeit (Ada dan Waktu) melihat manusia dalam kehidupannya sehari-hari.
Bagaimana manusia menempatkan diri dan benda-benda di sekitarnya, berinteraksi dengan
manusia lain bahkan menentukan pilihan kegunaan suatu benda menunjukkan keberadaan
manusia. Tidak seperti benda yang hanya vorhanden, atau terletak begitu saja. Ketika benda itu
tidak memiliki hubungan dengan manusia, maka itu tidak berarti apa. Benda itu hanya “ada” tapi
tidak “berada”. Dengan demikian, berada dalam dunia adalah cara dasein untuk menunjukkan
bahwa dirinya bereksistensi.
Sampai pada titik ini, penulis memahami bahwa ontologi filsafat eksistensialisme
Heidegger pada tesis ini adalah fenomenologi, seperti yang disinggung Akbar di bagian awal
landasan teori. Penulis sendiri sependapat dengan hal tersebut. Berangkat dari fenomenologi
Husserl (dalam Prasetyono, 2012: 2) yang hendak mengembalikan kemampuan rasional manusia
dalam bentuk kesadaran yang hadir dan mengarahkan objek, sedemikian hingga rasio
sesungguhnya selalu berada dalam relasi dengan objek-objek yang menampakkan diri kepadanya
(phenomenon).
Penulis hanya menemukan kesalah pahaman terkait dengan apa yang dimaksud faktisitas
(state of mind), kejatuhan (fallness), pemahaman (understanding) dan sorge (pemeliharaan atau
keterlibatan). Hal ini dapat terlihat pada kutipan tesis Akbar (2004: 58) berikut ini:
Heidegger membagi cara berada di dunia menjadi empat bagian. Cara eksistensi ini
adalah seperti suatu mode atau sikap yang dimiliki seseorang terhadap dunia. Cara
pertama adalah gaya faktisitas (state of mind) atau gaya tanpa perbedaan; kedua adalah
gaya kejatuhan (fallness) atau gaya tidak asli; ketiga pemahaman (understanding) atau
gaya asli. Heidegger kemudian mensintesiskan ketiga karakter atau gaya ini menjadi
satu kata yaitu sorge (pemeliharaan atau keterlibatan) sebagai gaya keempat.
Jadi menurut Akbar, faktisitas, kejatuhan dan pemahaman adalah gaya yang berbeda dan terpisah
dimana manusia dapat dikelompokkan pada salah satu gaya. Sedangkan sorge yang merupakan
gabungan ketiga gaya tersebut, dan sekaligus menjadi bagian dari pengelompokkan itu. Sehingga
ada empat gaya yang dimungkinkan manusia berada dalam salah satu gaya tersebut. Menurut
penulis, pengelompokkan gaya-gaya tersebut yang keliru dalam memahami ide dasein
Heidegger.
Menurut Hiedegger, dalam menyingkap mistik keseharian manusia dapat secara singkat
dijelaskan dengan sikap fundamental/purba dan total terhadap “Ada”-nya yang disebut sorge.
Sikap ini merupakan struktur total Ada “dasein” yang merangkum segala ketersituasiannya, baik
ontis maupun ontologis (Fadhillah, 2009: 33). Sorge dirumuskan dalam satu kata panjang yang
diucapkan dalam satu kata, yaitu: Sich-vorweg-schon-sein in-(der-Welt) als Sein-bei
(innerweltlich begegnendem Seinden). Sorge meliputi tiga arti yaitu:
1. Sich vorweg berarti ‘mendahului’, ini merupakan elemen eksistensialis Dasein.
2. Schon sein in der Welt berarti ‘sudah ada di dalam dunia’, dan ini faktisitas Dasein.
3. Sein bei innerweltlich begegnendem Seinden berarti ‘bermukim pada entitas yang dijumpai di
dunia ini, dan inilah kejatuhan Dasein.
Jadi jelas terlihat bahwa sorge mengandung mengantisipasi masa depan (eksistensialitas),
terlempar di dunia (faktisitas) dan larut dalam keseharian (kejatuhan). Semuanya berada secara
serentak, karena keterlemparan, antisipasi dan kelarutan utuh menjadi satu dalam sikap yang
paling mendasar sebagai manusia. Antisipasi di sini adalah padanan terhadap pemahaman yang
dikatakan oleh Akbar dalam tesisnya. Jadi jelas, tidak ada pembagian gaya yang memungkinkan
manusia hanya memiliki salah satunya saja, tetapi ketiganya langsung bersamaan dalam ide
Dasein Heidegger.
Penutup
Dari pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa tesis “Hilangnya Kehormatan
Katharina Blum Karya Heinrich Boll (Tinjauan Filsafat Eksistensialisme Heidegger)” Oleh
Akbar K. Setiawan menggunakan teori filsafat eksistensialisme Heidegger. Paradigma yang
ditemukan adalah paradigma humanisme dan ontologinya adalah fenomenologi. Dalam
pemaparan teori tersebut, penulis menganggap Akbar K. Setiawan telah menunjukkan dengan
jelas kerangka pikir yang dipahaminya untuk menjawab masalah penelitian dalam tesis tersebut.
Hanya saja pada bagian tertentu, khusunya dalam melihat “sorge” dalam konsep “dasein” ada
kesalahan persepsi. Kesalahan ini dapat menjadi fatal karena akan mempengaruhi proses dalam
menjawab rumusan masalah yang terkait dengan persoalan bentuk eksistensi manusia.
Daftar Pustaka
Fadhillah. 2009. Jurnal Madani (Edisi II/November): Hakikat Hidup Manusia dalam
Konsep Ruang dan Waktu Menurut Filsafat Eksistensialisme Heidegger. Surabaya:
Universitas Wijaya Kusuma. (sumber referensi: http://www.ejournal-unisma.net;
diakses pada tanggal 29 Desember 2012, pukul 13.35 WIB)
Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Muzairi.2002. Eksistensialisme Jean Paul Sartre. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suriasumantri, Jujun S. 2009. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Tafsir, Ahmad. 1994. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Prasetyono, Emanuel. 2012. Jurnal Filsafat Areté (Vol. I): Bertemu dengan Realitas:
Belajar dari Fenomenologi Husserl. Surabaya: Fakultas Filsafat Univ. Katolik
Widya
Mandala
Surabaya.
(sumber
referensi:
http://jurnalfilsafatarete.files.wordpress.com/2012/02/naskah-lengkap-arete_editnovimarked.pdf; diakses pada tanggal 29 Desember 2013, pukul 13.32 WIB)
Boll (Tinjauan Filsafat Eksistensialisme Heidegger)” Karya Akbar K. Setiawan
Tugas Akhir Mata Kuliah Filsafat dan Paradigma dalam Ilmu Sastra
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Faruk, SU.
Oleh:
Muammar Kadafi
13/354095/PSA/7577
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014
Paradigma dan Ontologi: Tesis “Hilangnya Kehormatan Katharina Blum Karya Heinrich
Boll (Tinjauan Filsafat Eksistensialisme Heidegger)” Karya Akbar K. Setiawan
Pengantar
Filsafat merupakan dasar dari ilmu pengetahuan manusia. Secara mendasar, filsafat
berangkat dari pertanyaan mendasar tersebut yaitu apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan
mengapa (aksiologi). Ketiganya terjalin berkelindan dalam upaya manusia memahami alam dan
kehidupan di dalamnya. Dimana tugas utama filsafat menurut Wittgenstein (dalam
Suriasumantri, 2009: 30) adalah menyatakan sebuah pertanyaan sejelas mungkin, bukan sekedar
menyusun pernyataan filosofis.
Kritik sastra sebagai bagian dari ilmu pengetahuan manusia pun tak bisa melepaskan diri
dari filsafat. Namun dalam praktiknya, masih terdapat kesalahan dalam memandang teori-teori
sastra yang digunakan sebagai alat-alat analisis mengaji karya sastra. Kesalahan itu terlihat pada
kekakuan mehamami teori dan khususnya metode dalam kritik sastra sebagai sesuatu yang baku
dari
penelitian-penelitian
sebelumnya
tanpa
mempertimbangkan
alasan ontologi
dan
epistemologinya (Faruk, 2012: 10). Padahal seorang akademisi dituntut senantiasa bersikap logis
dan sistemastis.
Berangkat dari hal ini, penulis mencoba menelusuri tesis dari segi paradigma dan
ontologi pemikiran yang digunakan dalam suatu penelitian terhadap karya sastra. Tesis yang
dipilih sebagai objek analisis berjudul “Hilangnya Kehormatan Katharina Blum Karya Heinrich
Boll (Tinjauan Filsafat Eksistensialisme Heidegger) yang ditulis Akbar K. Setiawan (13621/IV4/1020/99) pada tahun 2004. Tesis ini bila dirunut dari teori yang digunakan sebagai pendekatan
terhadap karya sastra beranjak dari pandangan dunia dalam strukturalisme genetik Goldman.
Pandangan dunia yang menonjol dalam novel Hilangnya Kehormatan Katharina Blum (HKKB)
karya Heinrich Boll menurut Akbar adalah wujud dari filsafat eksistensialisme pengarang
melalui tokoh utama dalam novel HKKB. Filsafat eksistensialisme yang menjadi landasan teori
utama dalam tesis tersebut adalah filsafat eksistensialisme Heidegger. Sehingga yang menjadi
fokus pada paper ini adalah paradigma dan ontologi filsafat eksistensialisme Heidegger.
Eksistensialisme
Aliran eksistensialisme adalah reaksi terhadap dikotomi aliran idealisme dan
materialisme. Aliran idealisme mementingkan ide sebagai sumber kebenaran dan menganggap
bahwa manusia hanya sebagai subjek.
Sedangkan materialisme menganggap materi sebagai
sumber kebenaran kehidupan, mengabaikan manusia sebagai makhluk hidup yang mempunyai
kebenaran sendiri yang tidak sama dengan makhluk lainnya. Dengan kata lain, materialisme
lebih memandang manusia sebagai objek. Eksistensialisme sendiri menilai kedua pandangan
tersebut terlalu ekstrem dan mengambil pandangan bahwa manusia di satu sisi adalah subjek,
sekaligus di sisi lain sebagai objek dalam kehidupan (Tafsir, 1994: 193)
Meski terdapat perbedaan antara tokoh eksistensialisme satu dengan yang lain terhadap
apa itu eksistensialisme, namun dari inti makna yang terdalam, mereka mau menyatakan tentang
cara wujud manusia, cara berada manusia. Bahwa dia secara negatif bukan benda-benda lain dan
bukan subjek absolut, dan cara positif manusia adalah berada di tengah-tengah dunia sebagai
subyek, dan beradanya di sana selalu “terbuka bagi”, hal ini dimungkingkan sebab subyek itu
telah menjelma/membadan (Muzairi, 2002: 33).
Akbar dalam tesisnya menjabarkan bahwa HKKB berisi pandangan dunia dari Heinrich
Boll sebagai reaksi terhadap persoalan politik dan budaya di Jerman Barat sekitar tahun 19691977 karena adanya tindakan represif, penindasan dan pemaksaan yang dialami masyarakat.
Pengaruh gerakan Neue-Subjektivitat (Subjektivitas Baru) pada masyarakat Jerman Barat pada
tahun 70-an sangat kental dengan eksistensialisme yang dibawa oleh Martin Heidegger (2004:
36). Namun dalam pemaparan selanjutnya, eksistensialisme yang dibahas satu persatu dari
tokoh-tokoh filsafat eksistensialisme. Ini menjadi catatan awal karena seolah menunjukkan
bahwa paham-paham dalam filsafat eksistensialisme merupakan paham yang sama, baik secara
ontologi maupun epistemologi. Padahal dalam filsafat eksistensialisme sendiri terdapat
pembagian-pembagian seperti teis dan ateis. Sekiranya pemunculan beberapa pemikir
eksistensialisme dalam landasan teori dimaksud untuk melihat perbedaan sehingga semakin
menjelaskan kerangka pikir dalam tesis, namun yang tampak adalah kesan penyatuan semua
pemikiran tersebut dalam rangkuman besar filsafat eksistensialisme. Bahkan menurut Muzairi
(2002: 28), tokoh-tokoh seperti Jaspers dan Heidegger enggan dimasukkan ke dalam aliran
filsafat Eksistensialisme.
Pada bagian pembahasan eksistensialisme, Akbar (2004: 49) kemudian menyimpulkan
bahwa motif pokok manusia adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada.
Dengan memusatkan perhatian pada manusia, maka bersifat humanistis. Sehingga paradigma
filsafat eksistensialisme secara umum sendiri masih berada dalam paradigma humanisme.
Pendapat Akbar terkait paradigma ini sudah tepat bila yang dimaksud bahwa humanisme sebagai
doktrin atau cara hidup yang dipusatkan pada kepentingan atau nilai atau bahwa yang terpenting
dalam alam semseta adalah faktor manusia (Woolf dan Abey dalam Muzairi, 2002 49-50).
Eksistensialisme Heidegger
Inti filsafat eksistensialisme berputar pada “ada”-nya manusia. Dalam filsafat ini,
eksistensi itu mendahului esensi manusia, sehingga “ada” menjadi kata kunci untuk menjawab
apa ontologi dari filsafat eksistensialisme Heidegger. Pada tesis Akbar (2004: 51) gambaran awal
yang diberikan dapat dilihat dari kutipan paragraf berikut ini:
Untuk memahami ide Heidegger mengenai “Ada” adalah dengan meniadakan benda
atau dengan istilah “ketiadaan”. Begitu manusia berpikir “Ada”, maka dalam waktu
yang bersamaan dapat membayangkan kemungkinan tidak beradanya semua benda.
Jadi ketika manusia berpikir bahwa semua yang berada di dunia tidak ada, maka
manusia akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa semuanya itu “Ada”. Karena
kenyataannya semua itu sekarang ada di dunia. Dengan memahami pemikiran Tiada,
maka kita dapat memahami dan menghargai pentingnya “Ada”. “Ada” telah membuat
segala sesuatu pengada mungkin.
Kutipan di atas menerangkan salah satu cara sederhana untuk memahami konsep “Ada”
dalam pemikiran Heidegger. Proses “ada” lebih mengacu pada proses berpikir manusia untuk
menyadari dirinya dan objek-objek lain di sekitarnya. Pada proses tersebut, manusia kemudian
keluar dari dirinya sendiri untuk melihat posisinya dengan adanya yang lain. Dengan begitu,
manusia kemudian menyadari dirinya “berada” (dasein) dan bukan “yang berada” (seinde).
“Berada” memiliki sifat rangkap yaitu memiliki dunia dan berada di dunia. Sehingga eksistensi
manusia mendahului esensinya. Sedangkan esensi benda mendahului eksistensinya (Fadhillah,
2009: 29). Dari sini kemudian, “berada” bermakna positif, dinamis dan memiliki unsur
kepribadian. Sedangkan segala sesuatu dihubungkan dengan diri manusia, seperti mejaku,
kursiku, temanku, kekasihku, dan lain-lain.
Akbar kemudian memberikan penjabaran lebih lanjut bahwa Heidegger dalam bukunya
yang berjudul Sein Und Zeit (Ada dan Waktu) melihat manusia dalam kehidupannya sehari-hari.
Bagaimana manusia menempatkan diri dan benda-benda di sekitarnya, berinteraksi dengan
manusia lain bahkan menentukan pilihan kegunaan suatu benda menunjukkan keberadaan
manusia. Tidak seperti benda yang hanya vorhanden, atau terletak begitu saja. Ketika benda itu
tidak memiliki hubungan dengan manusia, maka itu tidak berarti apa. Benda itu hanya “ada” tapi
tidak “berada”. Dengan demikian, berada dalam dunia adalah cara dasein untuk menunjukkan
bahwa dirinya bereksistensi.
Sampai pada titik ini, penulis memahami bahwa ontologi filsafat eksistensialisme
Heidegger pada tesis ini adalah fenomenologi, seperti yang disinggung Akbar di bagian awal
landasan teori. Penulis sendiri sependapat dengan hal tersebut. Berangkat dari fenomenologi
Husserl (dalam Prasetyono, 2012: 2) yang hendak mengembalikan kemampuan rasional manusia
dalam bentuk kesadaran yang hadir dan mengarahkan objek, sedemikian hingga rasio
sesungguhnya selalu berada dalam relasi dengan objek-objek yang menampakkan diri kepadanya
(phenomenon).
Penulis hanya menemukan kesalah pahaman terkait dengan apa yang dimaksud faktisitas
(state of mind), kejatuhan (fallness), pemahaman (understanding) dan sorge (pemeliharaan atau
keterlibatan). Hal ini dapat terlihat pada kutipan tesis Akbar (2004: 58) berikut ini:
Heidegger membagi cara berada di dunia menjadi empat bagian. Cara eksistensi ini
adalah seperti suatu mode atau sikap yang dimiliki seseorang terhadap dunia. Cara
pertama adalah gaya faktisitas (state of mind) atau gaya tanpa perbedaan; kedua adalah
gaya kejatuhan (fallness) atau gaya tidak asli; ketiga pemahaman (understanding) atau
gaya asli. Heidegger kemudian mensintesiskan ketiga karakter atau gaya ini menjadi
satu kata yaitu sorge (pemeliharaan atau keterlibatan) sebagai gaya keempat.
Jadi menurut Akbar, faktisitas, kejatuhan dan pemahaman adalah gaya yang berbeda dan terpisah
dimana manusia dapat dikelompokkan pada salah satu gaya. Sedangkan sorge yang merupakan
gabungan ketiga gaya tersebut, dan sekaligus menjadi bagian dari pengelompokkan itu. Sehingga
ada empat gaya yang dimungkinkan manusia berada dalam salah satu gaya tersebut. Menurut
penulis, pengelompokkan gaya-gaya tersebut yang keliru dalam memahami ide dasein
Heidegger.
Menurut Hiedegger, dalam menyingkap mistik keseharian manusia dapat secara singkat
dijelaskan dengan sikap fundamental/purba dan total terhadap “Ada”-nya yang disebut sorge.
Sikap ini merupakan struktur total Ada “dasein” yang merangkum segala ketersituasiannya, baik
ontis maupun ontologis (Fadhillah, 2009: 33). Sorge dirumuskan dalam satu kata panjang yang
diucapkan dalam satu kata, yaitu: Sich-vorweg-schon-sein in-(der-Welt) als Sein-bei
(innerweltlich begegnendem Seinden). Sorge meliputi tiga arti yaitu:
1. Sich vorweg berarti ‘mendahului’, ini merupakan elemen eksistensialis Dasein.
2. Schon sein in der Welt berarti ‘sudah ada di dalam dunia’, dan ini faktisitas Dasein.
3. Sein bei innerweltlich begegnendem Seinden berarti ‘bermukim pada entitas yang dijumpai di
dunia ini, dan inilah kejatuhan Dasein.
Jadi jelas terlihat bahwa sorge mengandung mengantisipasi masa depan (eksistensialitas),
terlempar di dunia (faktisitas) dan larut dalam keseharian (kejatuhan). Semuanya berada secara
serentak, karena keterlemparan, antisipasi dan kelarutan utuh menjadi satu dalam sikap yang
paling mendasar sebagai manusia. Antisipasi di sini adalah padanan terhadap pemahaman yang
dikatakan oleh Akbar dalam tesisnya. Jadi jelas, tidak ada pembagian gaya yang memungkinkan
manusia hanya memiliki salah satunya saja, tetapi ketiganya langsung bersamaan dalam ide
Dasein Heidegger.
Penutup
Dari pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa tesis “Hilangnya Kehormatan
Katharina Blum Karya Heinrich Boll (Tinjauan Filsafat Eksistensialisme Heidegger)” Oleh
Akbar K. Setiawan menggunakan teori filsafat eksistensialisme Heidegger. Paradigma yang
ditemukan adalah paradigma humanisme dan ontologinya adalah fenomenologi. Dalam
pemaparan teori tersebut, penulis menganggap Akbar K. Setiawan telah menunjukkan dengan
jelas kerangka pikir yang dipahaminya untuk menjawab masalah penelitian dalam tesis tersebut.
Hanya saja pada bagian tertentu, khusunya dalam melihat “sorge” dalam konsep “dasein” ada
kesalahan persepsi. Kesalahan ini dapat menjadi fatal karena akan mempengaruhi proses dalam
menjawab rumusan masalah yang terkait dengan persoalan bentuk eksistensi manusia.
Daftar Pustaka
Fadhillah. 2009. Jurnal Madani (Edisi II/November): Hakikat Hidup Manusia dalam
Konsep Ruang dan Waktu Menurut Filsafat Eksistensialisme Heidegger. Surabaya:
Universitas Wijaya Kusuma. (sumber referensi: http://www.ejournal-unisma.net;
diakses pada tanggal 29 Desember 2012, pukul 13.35 WIB)
Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Muzairi.2002. Eksistensialisme Jean Paul Sartre. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suriasumantri, Jujun S. 2009. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Tafsir, Ahmad. 1994. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Prasetyono, Emanuel. 2012. Jurnal Filsafat Areté (Vol. I): Bertemu dengan Realitas:
Belajar dari Fenomenologi Husserl. Surabaya: Fakultas Filsafat Univ. Katolik
Widya
Mandala
Surabaya.
(sumber
referensi:
http://jurnalfilsafatarete.files.wordpress.com/2012/02/naskah-lengkap-arete_editnovimarked.pdf; diakses pada tanggal 29 Desember 2013, pukul 13.32 WIB)