Sintesis dan sifat magnetik kompleks ion

JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5

1

Sintesis dan Sifat Magnetik Kompleks Ion
Logam Cu(II) dengan Ligan 2-Feniletilamin
Lexy Nindia Swastika dan Fahimah Martak
Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111
E-mail: fahimahm@chem.its.ac.id
Abstrak—Kompleks tembaga(II) dengan 2-feniletilamin
telah disintesis melalui reaksi antara CuCl2.2H2O dan 2feniletilamin dengan perbandingan mol logam dan mol
ligan 1:2 dalam metanol. Senyawa kompleks yang
dihasilkan berupa kristal berwarna oranye dengan rumus
molekul [Cu(II)-(2-feniletilamin)2(H2O)2]Cl2.2H2O. Rumus
ini diperoleh dari hasil penentuan kadar Cu = 14,04%, C =
41,36%, H = 6,60% dan N = 6,06%. Spektra IR
menunjukkan serapan khas ikatan logam dengan ligan
yaitu vibrasi Cu-N muncul pada serapan 347,19 cm-1 dan
vibrasi Cu-O pada

serapan 300,90 cm-1. Analisis
DTA/TGA menunjukkan bahwa kompleks mengandung
dua molekul air hidrat. Senyawa kompleks bersifat
paramagnetik dengan nilai µeff sebesar 1,97 BM.
Suseptibilitas magnetik senyawa kompleks memiliki
interaksi feromagnetik, dengan konstanta Weiss,
θ
sebesar +9,72 dan terjadi pada suhu Curie, Tc, 15 K.
Kata Kunci— ion logam tembaga(II), ligan 2-feniletilamin,
feromagnetik, senyawa kompleks.

I. PENDAHULUAN
aterial magnetik banyak dipelajari dalam beberapa tahun
ini karena bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari,
terutama dalam dunia elektronik seperti display, saklar
molekular dan bahan penyimpan data. Pentingnya material
magnetik ini menyebabkan banyak penelitian untuk
merancang material baru dengan sifat yang lebih unggul [1].
Sifat magnetik suatu material dapat dirancang melalui
pembentukan senyawa kompleks. Senyawa kompleks dapat

bersifat diamagnetik atau paramagnetik. Senyawa kompleks
mononuklir umumnya bersifat paramagnetik dan memiliki
momen magnetik yang rendah yaitu 1,7 - 5,9 Bohr Magneton
(BM). Sifat paramagnetik suatu senyawa dapat berupa
feromagnetik dan antiferomagnetik [2]. Senyawa yang bersifat
feromagnetik atau antiferomagnetik disebabkan adanya
interaksi antar elektron tidak berpasangan yang terdapat pada
orbital d dari ion logam penyusun senyawa kompleks.
Interaksi feromagnetik
senyawa kompleks umumnya
ditunjukkan pada temperatur rendah.
Saat ini senyawa kompleks terus dikembangkan untuk
mendapatkan material bersifat feromagnetik [3]. Salah satu
upaya yang dilakukan adalah merancang suatu senyawa
kompleks agar terjadi interaksi hidrogen sehingga menaikkan

M

nilai Temperatur Curie Weiss (TCW) senyawa. Temperatur
Curie Weiss pada bahan merupakan indikasi bahwa senyawa

memiliki interaksi feromagnetik. Interaksi feromagnetik dapat
diidentifikasi melalui pengukuran nilai suseptibilitas magnetik
dengan variasi temperatur. Nilai suseptibilitas magnetik
senyawa feromagnet meningkat tajam dibawah Temperatur
Curie Weiss
Penelitian sebelumnya yaitu senyawa kompleks
menggunakan ligan pikolinat (2-piridin karboksilat), memiliki
rumus molekul [Cu(pic)2].2H2O . Kompleks tersebut bersifat
paramagnetik dan terjadi ikatan hidrogen[4]. Oleh karena itu,
pada penelitian ini dikembangkan senyawa kompleks dengan
menggunakan ligan 2-feniletilamin (C6H5CH2CH2NH2) dan
ion logam tembaga(II). Ion tembaga(II) memiliki satu elektron
yang tidak berpasangan pada orbital d dan diharapkan dapat
membentuk kompleks spin tinggi. Ligan 2-feniletilamin pada
Gambar 1, memiliki gugus amina dimana terdapat atom
nitrogen dengan pasangan elektron bebas sehingga dapat
mengisi orbital kosong ion logam dan terjadi ikatan kovalen
koordinasi. Gugus amina dapat berikatan hidrogen dengan
molekul air pada senyawa [5]. Ikatan kovalen koordinasi dan
ikatan hidrogen pada senyawa kompleks dapat membentuk

interaksi antar lapisan. Interaksi antar lapisan yang terjadi
yaitu antara senyawa kompleks mononuklir dengan senyawa
organik 2-feniletilamin. Dengan demikian, pembentukan
senyawa kompleks [Cu(II)-2-feniletilamin] diharapkan dapat
meningkatkan interaksi sehingga diperoleh sifat feromagnetik.

Gambar 1. Struktur ligan 2-feniletilamin
II. METODE PENELITIAN
A. Sintesis Senyawa Kompleks[Cu(II)-2-feniletilamin]
Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi
CuCl2.2H2O, 2-feniletilamin, metanol, asam klorida, kalium
klorida, magnesium klorida, besi (III) klorida, dan aqua DM.
Sebelum melakukan sintesis senyawa kompleks [Cu(II)-2feniletilamin], maka dilakukan penentuan panjang gelombang
maksimum dan penentuan rumus senyawa kompleks dengan
metode variasi kontinu. Hasil tersebut, kemudian disintesis

JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5
senyawa kompleks dengan melarutkan 5 mmol CuCl2.2H2O
dan 10 mmol ligan 2-feniletilamin masing-masing ke dalam
20 mL metanol. Kedua larutan direaksikan dalam satu wadah.

Larutan ini diaduk beberapa menit dan selanjutnya dipanaskan
sambil diaduk dengan magnetic stirrer selama 2 jam pada
suhu 40 °C [6]. Larutan yang diperoleh ditutup dengan
aluminium foil dan disimpan dalam desikator selama beberapa
hari hingga terbentuk kristal.
B. Karakterisasi
Formula senyawa kompleks ditentukan dari hasil analisis
kadar unsur C, H, N dan ion logam, FTIR, daya hantar larutan,
UV-VIS, termogravimetri dan momen magnet. Kadar ion
logam ditentukan dengan menggunakan Spektrofotometer
Serapan Atom (Atomic Absorption Spectroscopy) HITACHI
Z-2000. Kadar unsur C, H, N dengan menggunakan Fison EA
1108. Gugus yang terkandung dalam senyawa kompleks
diukur dengan Spektrofotometer FTIR SHIMADZU. Daya
hantar larutan senyawa kompleks dalam metanol dengan
konsentrasi 0,01 M diukur menggunakan alat Konduktometer
Mettler Toledo. Kadar air ditentukan secara analisis
termogravimetri menggunakan alat
DTA/TGA Mettler
Toledo. Penentuan panjang gelombang maksimum dengan

spektrofotometer UV-Vis tipe UV-1100 ECHCOMP
HITACHI. Sifat magnet senyawa kompleks dengan
menggunakan alat neraca kerentanan magnet Magway
Magnetic Susceptibility Balance (MSB) Sherwood Scientific
dan alat magnetometer Quantum Design SQUID
(Superconductor Quantum Interface Device) MPMS-7
(Magnetic Properties Measurement System).

2
Gambar 3. Pada gambar tersebut garis melewati titik potong
garis singgung kurva dengan sumbu X pada fraksi mol ligan
sebesar 0,7, sehingga diperoleh perbandingan fraksi mol
antara Cu2+ dan 2-feniletilamin sebesar 1:2. Hasil
perbandingan ini terlihat bahwa satu mol satu mol tembaga(II)
dapat berikatan dengan dua mol ligan 2-feniletilamin sesuai
dengan perbandingan mol tembaga(II) : 2-feniletilamin yaitu
1 : 2 membentuk senyawa koordinasi
[Cu(II)-(2feniletilamin)2].

Gambar 2. Panjang gelombang maksimum

Larutan [Cu(II)-2-feniletilamin]

III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Senyawa
Kompleks
Penelitian ini telah dilakukan penentuan panjang gelombang
maksimum dengan mencampurkan larutan Cu(II) dan larutan
2-feniletilamin dengan perbandingan mol logam : ligan yaitu
1:1, 1:2 dan 1:3. Kemudian, diukur panjang gelombangnya
menggunakan spektrofotometer UV-VIS pada panjang
gelombang 400-700 nm [7]. Hasil analisis diperoleh bahwa
panjang
gelombang
maksimum
larutan
[Cu(II)-2feniletilamin] adalah 595 nm pada perbandingan logam : ligan
sebesar 1:2, seperti pada Gambar 2. Hal ini sesuai teori warna
yang menyebutkan bahwa suatu senyawa yang berwarna akan
menyerap energi pada panjang gelombang warna
komplementer senyawanya. Larutan [Cu(II)-2-feniletilamin]

memiliki warna hijau, sehingga senyawa tersebut menyerap
panjang gelombang warna komplementer hijau yaitu warna
oranye (595–610 nm).
B. Penentuan Rumus Senyawa Kompleks dengan Metode
Variasi Kontinu
Stokiometri senyawa kompleks [Cu(II)-2-feniletilamin]
ditentukan melalui metode variasi kontinu. Dari penentuan
stoikiometri ini, akan didapatkan perbandingan mol antara
tembaga(II) dan ligan 2-feniletilamin yang digunakan untuk
melakukan
sintesis
senyawa
koordinasi
[Cu(II)-2feniletilamin]. Hasil penentuan stoikiometri terlihat pada

Gambar 3. Kurva metode variasi kontinu
C. Sintesis Kompleks [Cu(II)-2-feniletilamin]
Sintesis kompleks ion logam Cu(II) dengan ligan 2feniletilamin dilakukan pada perbandingan mol logam dan
ligan 1:2. Penelitian ini digunakan prekursor CuCl2·2H2O dan
pelarut yang sesuai adalah alkohol [8]. Pada penelitian ini,

pelarut yang dipilih adalah metanol karena metanol dapat
melarutkan logam dan ligan dengan baik. Masing-masing
logam dan ligan dilarutkan dalam metanol, lalu diaduk dan
dipanaskan hingga homogen membentuk larutan berwarna
hijau. Senyawa yang dihasilkan berbentuk kristal berwarna
oranye dengan rendemen sebesar 57,76%, seperti terlihat pada
Gambar 4.

Gambar 4. Kristal kompleks [Cu(II)-2-feniletilamin]

JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5

D. Analisis Kadar Unsur dalam Senyawa Kompleks
Kadar tembaga yang dihasilkan dalam senyawa kompleks
[Cu(II)-2-feniletilamin] sebesar 14,04%. Hasil pengukuran ini
mendekati kadar ion logam tembaga(II) secara teoritis yaitu
sebesar 14,16%.
E. Spektra Inframerah Kompleks [Cu(II)-2-feniletilamin]
Ada beberapa puncak khas yang muncul pada senyawa
kompleks ini, pada Gambar 5. Puncak pada daerah 3441,01

cm-1 yang merupakan puncak serapan vibrasi N-H dari 2feniletilamin sebagai ligan yang terikat pada ion logam Cu.
Serapan di daerah 3124, 68 cm-1 adalah karakteristik dari
gugus C–H. Karakteristik puncak serapan pembentukan
kompleks [Cu(II)-2-feniletilamin] dapat terlihat dengan
adanya puncak serapan baru yang tajam pada serapan 400–
300 cm-1 [9]. Adanya puncak serapan khas pada daerah 347,19
cm-1 terdapat vibrasi Cu-N. Sedangkan vibrasi Cu-O muncul
pada serapan 300,90 cm-1.

3
Maka dari hasil perhitungan, diketahui 8,65% merupakan dua
molekul air hidrat yang hilang pada temperatur tersebut.
Hilangnya molekul air hidrat tersebut menunjukkan puncak
eksotermis dimana panas akan dilepaskan oleh cuplikan [10].
Tahap kedua, pada temperatur yang lebih tinggi yaitu pada
230,35 °C terjadi dekomposisi yang lebih besar yaitu 38,61%.
Dekomposisi yang terjadi adalah molekul ligan 2feniletilamin, molekul air yang terikat sebagai ligan, dan
molekul klorin. Penurunan berat tersebut menunjukkan
terjadinya proses endotermis dimana panas yang diserap oleh
cuplikan diperlukan untuk memutus ikatan koordinasi ligan.

Tahap ketiga, cuplikan yang tersisa ialah ion logam Cu(II)
dan molekul ligan 2-feniletilamin yang terikat pada logam.
Berat cuplikan yang berkurang pada temperatur ini mencapai
24,51%.

Gambar 6. Kurva DTA-TGA kompleks
Gambar 5. Spektra IR senyawa kompleks
F. Daya Hantar Larutan Senyawa Kompleks
Data daya hantaran larutan standar dan kompleks dalam
metanol dapat dilihat pada Tabel 1. Senyawa kompleks
dibandingkan dengan daya hantaran standar yang paling
mendekati yaitu pada larutan MgCl2. Perbandingan muatan
kation dan anion yang dihasilkan adalah 2 : 1.
Perbandingan kation dan anion ini menunjukkan bahwa logam
Cu sebagai atom pusat menunjukkan muatan +2, sedangkan
Cl- tidak terkoordinasi pada atom pusat.
Tabel 1. Daya hantar larutan dan senyawa kompleks dan
senyawa pembanding
Rumus Senyawa
Metanol
KCl dalam metanol
MgCl2 dalam metanol
FeCl3 dalam metanol
Kompleks dalam metanol

Λm (S.cm2.mol-1)
2,45
85,45
135,75
58,85
141,05

Tipe elektrolit
1:1
2:1
3:1
2 : 1`

G. Analisis Termal Senyawa Kompleks dengan DTA-TGA
Kurva TGA pada Gambar 6 terlihat bahwa penurunan
berat cuplikan berlangsung melalui tiga tahap. Tahap pertama
terjadi pengurangan berat cuplikan sebanyak 8,65% pada
temperatur 160-220 °C. Rentang temperatur 100-200 °C
biasanya menunjukkan dekomposisi air sebagai air hidrat.

H. Analisis Unsur C, H, N
Jika dibandingkan dengan prediksi rumus molekul [Cu(II)(2-feniletilamin)2(H2O)2]Cl2, hasil pengukuran analisis unsur
pada Tabel 2, secara eksperimen menunjukkan nilai yang lebih
kecil. Hal tersebut dimungkinkan adanya atom atau molekul
lain yang terikat pada senyawa koordinasi. Kemungkinan
pertama adalah adanya inti tembaga(II) lebih dari satu dan
klorin dari CuCl2.2H2O. Namun kemungkinan ini sangat kecil
dikarenakan tembaga dan klorin mempunyai massa atom
relatif cukup besar dari massa molekul relatif [Cu(II)-(2feniletilamin)2(H2O)2]Cl2 yaitu masing-masing 15,40% dan
17,21%.
Kemungkinan yang kedua adalah adanya pelarut metanol
atau air hidrat. Air hidrat ini berasal dari senyawa tembaga
(CuCl2.2H2O). Namun kemungkinan terbesar yang
mempengaruhi adalah adanya air hidrat, bukan karena adanya
pelarut metanol karena dengan penambahan metanol justru
dapat meningkatkan prosentase karbon. Jumlah molekul air
hidrat yang sesuai adalah sebanyak dua molekul. Sehingga,
kesesuaian nilai kandungan unsur dan ion logam secara
eksperimen terhadap teori menunjukkan bahwa rumus
molekul kompleks yang diprediksikan adalah [Cu(II)-(2feniletilamin)2(H2O)2]Cl2.2H2O.
Tabel 2. Kadar unsur dalam senyawa kompleks
Rumus Molekul
Eksperimen
[Cu(II)-(2-feniletilamin)2(H2O)2]Cl2.2H2O

% Cu
14,04
14,16

%C
41,36
42,80

%H
6,60
6,69

%N
6,06
6,24

JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5

I. Prediksi Struktur Senyawa Kompleks
Berdasarkan seluruh analisis yang telah dilakukan
sebelumnya, senyawa kompleks yang dihasilkan diprediksi
memiliki struktur [Cu(II)-(2-feniletilamin)2(H2O)2]Cl2.2H2O
seperti pada Gambar 7. senyawa kompleks polimer dapat
disintesis dengan ligan 2-feniletilamin karena ligan 2feniletilamin merupakan ligan monodentat yang dapat
menyumbangkan satu pasang elektron bebas kepada ion
logam sebagai atom pusat. Jika ion Cu2+ dengan konfigurasi
elektron valensi 3d94s0 berinteraksi dengan ligan 2feniletilamin, maka akan menghasilkan hibridisasi d2sp. Oleh
karena itu, tembaga(II) sebagai atom pusat akan mengikat dua
gugus amino dan dua gugus hidroksil melalui ikatan
koordinasi terhadap atom pusat sehingga membentuk struktur
senyawa kompleks square planar.

4
Kurva 1/χM terhadap suhu pada Gambar 9, menghasilkan
cekungan ke atas yang menunjukkan interaksi feromagnet
pada senyawa kompleks. Persamaan garis lurus yang dibuat
melalui kurva 1/χM terhadap suhu dihasilkan garis dengan
persamaan y = 25,71x – 242,9. Dari persamaan ini dapat
diperoleh nilai tetapan Weiss, θ, sebesar +9,72. Nilai θ yang
positif menunjukkan interaksi magnet yang terjadi pada inti
ion Cu2+ dengan ligan 2-feniletilamin adalah feromagnetik.

Gambar 9. Kurva 1/ χm terhadap suhu

2+

H

H

O

NH2

IV. KESIMPULAN

Cu
H

NH2

Cl2.2H2O

O
H

Gambar 7. Prediksi struktur senyawa kompleks
J. Sifat Magnetik Senyawa Kompleks
Kompleks
[Cu(II)-(2-feniletilamin)2(H2O)2]Cl2.2H2O
memiliki nilai momen magnet efektif (µ eff) sebesar 1,97 BM
pada temperatur kamar. Hal ini menunjukkan bahwa kompleks
yang terbentuk bersifat paramagnetik. Nilai momen magnetik
senyawa kompleks [Cu(II)-(2 feniletilamin)2(H2O)2]Cl2.2H2O
lebih besar daripada nilai momen magnetik secara teoritis
yaitu 1,73 BM. Nilai momen magnetik hasil eksperimen lebih
besar daripada perhitungan momen magnetik secara
teoritisnya. Hal ini dikarenakan adanya sumbangan orbital
pada ion logam.
Hasil pengukuran suseptibilitas dengan variasi suhu
menunjukkan suseptibilitas menurun sejalan dengan
meningkatnya suhu. Kurva suseptibilitas terhadap suhu
senyawa kompleks Cu(II)-(2-feniletilamin)2(H2O)2]Cl2.2H2O
dapat dilihat pada Gambar 8. Pada suhu sekitar 15 K,
penurunan
suhu menyebabkan
terjadinya kenaikan
suseptibilitas molar secara drastis. Ini menunjukkan senyawa
kompleks memiliki suhu Curie, Tc, yaitu 15 K.

Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa senyawa
kompleks [Cu(II)-(2-feniletilamin)] telah berhasil disintesis
dengan perbandingan mol logam dan mol ligan = 1:2.
Senyawa ini diprediksi membentuk senyawa koordinasi
square planar dengan rumus molekul [Cu(II)-(2feniletilamin)2(H2O)2]Cl2.2H2O. Senyawa kompleks ini
bersifat paramagnetik dengan nilai µ eff 1,97 BM dan memiliki
interaksi feromagnetik, dengan kostanta Weiss, θ, +9,72 dan
suhu Curie, Tc, 15 K.
UCAPAN TERIMA KASIH
Saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Dr.
Fahimah Martak, M.Si selaku dosen pembimbing atas segala
bimbingannya, waktu dan segala diskusi serta semua ilmu
yang bermanfaat selama penyusunan penelitian ini. Seluruh
Bapak dan Ibu dosen di Jurusan Kimia FMIPA ITS Surabaya
yang telah membagi ilmu dan pengalamannya. Teman–teman
kimia angkatan 2008 dan mahasiswa kimia FMIPA ITS
Surabaya yang telah mendukung dan memberikan motivasi
serta berbagai pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1]

[2]
[3]

[4]

Gambar 8. Kurva suseptibilitas magnet terhadap suhu

Verdaguer, “Rational synthesis of molecular magnetic
materials: a tribute to Olivier Kahn”, Polyhedron, (2001)
20. 1115–1128.
Lee, J. D., “Concise Inorganic Chemistry”, Fourth
Edition, Chapmann and Hall, London (1994).
Han, X.Y., Ren, Y.T. and Zheng, Y.Q., “Synthesis,
Crystal Structures and Magnetic Properties of Two
Adamantine-1,3-dicarboxylato
Bridged
Cobalt(II)
Phenanthroline Complexes”, Inorganica Chimica Acta
(2010) 363, 353-359.
Martak, F., “Study Cooperativity of Polymetallic
Complexes Related Magnetic Properties”, Department of
Chemistry, Institut Teknologi Bandung (2008).

JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5
[5]

[6]

[7]

[8]

[9]

[10]

Arkenbout, A.H., Meetsma, A., Palstra, T.T.M., “Bis(2phenylethylammonium)
tetraaqua-dichloridonickel(II)
dichloride dehydrate”, Acta Crystallographica (2007)
1-14.
Martak, F., “Kompleks Besi(II) dengan Ligan 2Feniletilamin”, Seminar Nasional Kimia, Jurusan Kimia
FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
(2010).
Underwood, A.L. and Day, R.A, ”Analisis Kimia
Kuantitatif”, Edisi Keenam, Penerbit Erlangga, Jakarta
(2002).
Samath, S.A., Raman, N dan Jeyasubramanian, K., “New
β-diketon-(2-phenylethl)amine schiff base chelates of
copper(II), nickel(II) and cobalt(III) and their
electrophilic substitution products”, Polyhedron (1991)
10, 1687-1693.
Nakamoto, K., “Infrared and Raman Spectra of Inorganic
and Coordination Compounds”, Third Edition, John
Wiley & Sons, USA (1986).
Susnandar, D, “Sintesis dan Karakterisasi Senyawa
Koordinasi Besi(II) dengan Ligan Basa Schiff N,N’-bis(2-asetilpiridin)etilendiimino dan Tiosianat”, Skripsi,
ITB, Bandung (2008).

5