Hukum Islam Yang Disepakati dan Tidak Di

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang

Dalam ilmu Ushul Fiqih kita akan banyak diperkenalkan pada pembahasan tentang berbagai
macam dalil hukum atau metode ijtihad para ulama dalam mengambil keputusan suatu
hukum.
Dalil – dalil hukum tersebut para jumhur ulama ada dalil hukum yang sepakati dan ada juga
yang tidak sepakati. Dalil hukum yang disepakati adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan
Qiyas tetapi antara Ijma dan Qiyas ada yang sepakat ada juga yang tidak akan tetapi yang
tidak sepakat hanya sebagian kecil yang tidak menyepakati adanya dalil hukum qiyas.
Sedangkan dalil hukum yang tidak disepakati adalah Isthisan, isthisab, Maslahah Mursalah,
Urf, Mahzab Shahabi, dan syaru man Qoblama. Sebagian jumhur ulama ada yang
menjadikan dalil-dalil tersebut sebagai sumber hukum dan ada juga yang tidak sepakat, maka
disinilah terjadi 2 bagian, yang sebagian sepakat dan yang sebagian lagi tidak sepakat
mengenai dalil yang dijadikan sebagai sumber hukum.
Tentunya kita sebagai ummat Islam harus mengetahui mana saja dalil hukum yang disepakati
dan mana saja dalil hukum yang tidak disepakati, untuk membekali diri kita dalam
mengambil sebuah hukum, apakah yang dalam kehidupan kita sehari-hari telah mengacu

kepada dalil-dalil tersebut atau tidak. Jangan sampai ada keraguan dalam diri kita mengenai
sesuatu hukum.
1. B.

Rumusan Masalah

Adapun remusan masalah dalam judul hukum yang disepakati dan tidak disepakati dapat
pemakalah rumusan
1. Apa definisi dalil itu?
2. Apa saja dalil hukum yang disepakati?
3. Apa saja dalil hukum yang tidak disepakati?

BAB II
PEMBAHASAN
1. A.

Definisi Dalil

Ilmu Ushul Fiqih memiliki dua tema kajian yang utama, yakni; (1) menetapkan suatu hukum
berdasarkan dalil; dan (2) menetapkan dalil bagi suatu hukum. Dengan demikian, ilmu Ushul

Fiqih tidak dapat lepas dari dua aspek pembahasan, yakni dalil dan hukum. Istilah dalil
menurut pengertian bahasa mengandung beberapa makna, yakni: penunjuk, buku petunjuk,
tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti, dan saksi. Ringkasnya, dalil ialah penunjuk
(petunjuk) kepada sesuatu, baik yang material (hissi) maupun yang non material (ma’nawi).
Sedangkan secara istilah, para ulama ushul fiqih mengemukakan mengenai definisi dalil yaitu
: sesuatu yang dijadikan sebagai dalil terhadap hukum syara’ yang berkenaan
dengan perbuatan manusia yang didasarkan pada pandangan yang benar mengenainya, baik
secara qathi (pasti) atau Zhanni (kuat).
Selain itu beberapa definisi tentang dalil menurut para Ushul Fiqh mengemukakan, di
antaranya adalah sebagai berikut.
1. Menurut Abd al-Wahhab al-Subki, dalil adalah sesuatu yang mungkin dapat
mengantarkan (orang) dengan menggunakan pikiran yang benar untuk mencapai
objek informatif yang diinginkannya.
2. Menurut Al-Amidi, para ahli Ushul Fiqih biasa memberi definisi dalil dengan
“sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan [orang] kepada pengetahuan yang pasti
menyangkut objek informatif”.
3. Menurut Wahbah al-Zuhaili dan Abd al-Wahhab Khallaf, dalil adalah sesuatu yang
dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara yang bersifat
praktis.
Dalam hal ini, para ulama sepakat menempatkan al-Quran dan As-Sunnah sebagai dalil dan

berbeda pendapat tentang dalil-dalil selebihnya; ada yang menerimanya sebagai dalil dan ada
yang menolaknya; atau, ada yang menerima sebagiannya dan menolak yang selebihnya.
Dari sini dapat penulis simpulkan bahwa dalil adalah merupakan sesuatu yang daripadanya
diambil hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia secara mutlak, baik dengan
jalan qathi atau dengan jalanzhanni mengenai pandangan kebenaran.
1. B.

Dalil Hukum yang Disepakati

Berdasarkan penelitian dapat dipastikan para jumhur ulama bersepakat menetapkan empat
sumber dalil (al-Quran, as-Sunnah, al-Ijma, dan al-Qiyas) sebagai dalil yang disepakati. Akan
tetapi, ada beberapa ulama yang tidak menyepakati dua sumber yang terakhir (Ijma dan

Qiyas). A. Hassan, guru Persatuan Islam, menganggap musykil terjadinya Ijma, terutama
setelah masa sahabat. Demikian juga Muhammad Hudhari Bek. Para ulama dari kalangan
madzhab Zhahiri (di antara tokohnya adalah Imam Daud dan Ibnu Hazm al-Andalusi) dan
para ulama Syiah dari kalangan Akhbari tidak mengakui al-Qiyas sebagai dalil yang
disepakati.
Untuk lebih jelasnya berikut kami sajikan dalil yang disepakati yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah,
Ijma’ dan Qiyas.

1. a.

Al-Qur’an
1. 1.

Definisi

Dari segi bahasa Lafadz Al-Quran berasal dari lafadz qira’ah, yaitu mashdar (infinitif) dari
lafadz qara’a, qira’atan, qur’anan. Dari aspek bahasa, lafadz ini memiliki arti
“mengumpulkan dan menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam
suatu ucapan yang tersusun rapih”. Sedangkan secara istilah al-Qur’an ialah kitab yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang ditulis dalam mushaf yang diriwayatkan
sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir, tanpa ada keraguan.
Al-Qur’an ( ‫ ) القرآن‬adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam memercayai bahwa Al-Qur’an
merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, yang
disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril.
Jadi dapat disimpulkan Al-Qur’an Al-Qur’an ialah wahyu berupa kalamullah yang
diamanatkan kepada malaikat jibril, disampaikannya kepada Nabi Muhammad Saw, isinya
tak dapat ditandingi oleh siapapun dan diturunkan secara bertahap, lalu disampaikan kepada
umatnya dengan jalan mutawatir dan dimushafkan serta membacanya dihukumkan sebagai

suatu ibadah.
1. 2.

Kedudukan Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum

Al-Qur’an berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya kehidupan manusia
agar berjalan lurus. Itulah sebabnya ketika umat Islam berselisih dalam segala urusan
hendaknya ia berhakim kepada al-Qur’an. Al-Qur’an lebih lanjut memerankan fungsi sebagai
pengontrol dan pengoreksi tehadap perjalanan hidup manusia di masa lalu. Misalnya kaum
Bani Israil yang telah dikoreksi oleh Allah.
Al-Qur‘an juga mampu memecahkan problem-problem kemanusiaan dengan berbagai segi
kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial, ekonomi, maupun politik dengan pemecahan yang
bijaksana, karena ia diturunkan oleh yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.
Pada setiap problem itu al-Qur’an meletakkan sentuhannya yang mujarab dengan dasar-dasar
yang umum yang dapat dijadikan landasan untuk langkah-langkah manusia dan yang sesuai
pula dengan zaman. Dengan demikian, al-Qur’an selalu memperoleh kelayakannya di setiap
waktu dan tempat, karena Islam adalah agama yang abadi. Alangkah menariknya apa yang
dikatakan oleh seorang juru dakwah abad ke-14 ini, “Islam adalah suatu sistem yang lengkap,
ia dapat mengatasi segala gejala kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air atau pemerintah
dan bangsa. Ia adalah moral dan potensi atau rahmat dan keadilan. Ia adalah undang-undang

atau ilmu dan keputusan. Ia adalah materi dan kekayaan atau pendapatan dan kesejahteraan.

Ia adalah jihad dan dakwah atau tentara dan ide. Begitu pula ia adalah akidah yang benar dan
ibadah yang sah”.
1. 3.

Hukum-hukum dalam Al-Qur’an

Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an itu ada 3 macam, yaitu:Pertama, hukumhukumi’tiqadiyah. Yakni, hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para mukallaf
untuk beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya. Rasul-rasul-Nya dan
hari pembalasan.
Kedua, hukum-hukum akhlaq. Yakni, tingkah laku yang berhubungan dengan kewajiban
mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dan
sifat-sifat yang tercela.
Ketiga, hukum-hukum amaliah. Yakni, yang berkaitan dengan perkataan-perkataan,
perbuatan-perbuatan, perjanjian-perjanjian dan mu’amalah (kerja sama) sesama manusia.
Kategori yang ketiga inilah yang disebut Fiqhul Qur’an dan itulah yang hendak dicapai oleh
Ilmu Ushul Fiqih.
Hukum-hukum amaliah di dalam Al-Qur’an itu terdiri atas dua macam, yakni:
1)

Hukum ibadat. Misalnya, shalat, shaum, zakat, haji dan sebagainya. Hukum-hukum ini
diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan hamba dengan Tuhan.
2)
Hukum-hukum mu’amalat. Misalnya, segala macam perikatan, transaksi-transaksi
kebendaan, jinayat dan ‘uqubat (hukum pidana dan sanksi-sanksinya). Hukum-hukum
mu’amalah ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia,
baik sebagai perseorangan maupun sebagai anggota masyarakat.Hukum-hukum selain ibadat
menurut syara’ disebut dengan hukum mu’amalat.
Hasil penyelidikan para ulama tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan
hukum-hukum menunjukkan bahwa hukum-hukum Al-Qur’an yang berkaitan dengan ibadat
dan ahwalus-syakhshiyahsudah terperinci. Kebanyakan dari hukum-hukum ini bersifat
ta’abudi (ibadat) sehingga tidak banyak memberikan kesempatan ahli pikir untuk
menganalisanya dan hukum ini bersifat permanen, tetap tidak berubah-ubah lantaran
perubahan suasana dan lingkungan.
Adapun selain hukum-hukum ibadat dan ahwal al-syakhshiyah, seperti hukum perdata,
pidana (jinayat), perundang-undangan (dusturiyah), internasional (dauliyah) dan ekonomi
dan keuangan (iqtishadiyah wa al-maliyah), maka dalil-dalil hukumnya masih merupakan
ketentuan yang umum atau masih merupakan dasar-dasar yang asasi. Sedikit sekali yang
sudah terperinci. Hal itu disebabkan karena hukum-hukum tersebut berkembang sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan kemaslahatan yang sangat dihajatkan.

Dalam hal ini Al-Qur’an hanya memberi ketentuan-ketentuan umum dan dasar-dasar yang
asasi saja agar penguasa setiap saat mempunyai kebebasan dalam menciptakan perundangundangan dan melaksanakannya sesuai dengan kemaslahatan yang dihajatkan pada saat itu,
asal tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan (dalil-dalil) dan jiwa syari’at.
1. b.

As-Sunnah

1. 1.

Definisi As-Sunnah

As-Sunnah atau al-hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, baik
berupa qaul (ucapan), fi’il (perbuatan) maupun taqrir (sikap diam tanda setuju) Nabi Saw.
Sesuai dengan tiga hal tersebut yang disandarkan kepada Rasulullah Saw, maka sunnah itu
dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
1)
Sunnah qauliyyah ialah sabda yang beliau sampaikan dalam beraneka tujuan dan
kejadian. Misalnya sabda beliau sebagai berikut.
Tidak ada kemudharatan dan tidak pula memudharatkan. (HR. Malik).
Hadis di atas termasuk sunnah qauliyyah yang bertujuan memberikan sugesti kepada umat

Islam agar tidak membuat kemudharatan kepada dirinya sendiri dan orang lain.
2)
Sunnah fi’liyyah ialah segala tindakan Rasulullah Saw. Misalnya tindakan beliau
melaksanakan shalat 5 waktu dengan menyempurnakan cara-cara, syarat-syarat dan rukunrukunnya, menjalankan ibadah haji, dan sebagainya.
3)
Sunnah taqririyah ialah perkataan atau perbuatan sebagian sahabat, baik di hadapannya
maupun tidak di hadapannya, yang tidak diingkari oleh Rasulullah Saw atau bahkan disetujui
melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap perkataan atau perbuatan yang
dilakukan oleh sahabat itu dianggap sebagai perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh
beliau sendiri.
1. 2.

Kehujjahan As-Sunnah

Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, selain didasarkan pada keterangan ayatayat al-Qur’an dan hadits, juga didasarkan kepada kesepakatan para sahabat. Para sahabat
telah bersepakat menetapkan kewajiban mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Para ulama telah
sepakat bahwa As-Sunnah dapat dijadikan hujjah (alasan) dalam menentukan hukum. Namun
demikian, ada yang sifatnya mutaba’ah(diikuti) yaitu tha’ah dan qurbah (dalam taat dan
taqarrub kepada Allah) misalnya dalam urusan aqidah dan ibadah, tetapi ada juga yang ghair
mutaba’ah (tidak diikuti) yaitu jibiliyyah (budaya) dan khushushiyyah (yang dikhususkan

bagi Nabi). Contoh jibiliyyah seperti mode pakaian, cara berjalan, makanan yang disukai.
Adapun contoh khushushiyyah adalah beristri lebih dari empat, shaum wishal sampai 2 hari
dan shalat 2 rakaat ba’da Ashar.
Hukum-hukum yang dipetik dari As-Sunnah wajib ditaati sebagaimana hukum-hukum yang
diistinbathkan dari al-Qur’an sebagaimana diungkapkan dalam QS Ali- Imran: 32, An- Nisa:
80, 59 dan 65, dan Al- ahzab: 36.
1. 3.

Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an

As-Sunnah, dalam tinjauan hukum dan penafsiran, dapat dilihat dari dua aspek, yakni
hubungannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang bersifat mandiri. Dari aspek
hubungannya dengan al-Quran, As-Sunnah adalah sumber hukum yang kedua setelah AlQur’an. Hubungan ini disebut hubungan struktural. Sementara dari aspek lain, As-Sunnah
sebagai penjelas bagi Al-Qur’an disebut hubungan fungsional. Di antara dasarnya adalah
firman Allah Ta’ala dalam QS. al- Hasyr: 7, an- Nahl: 44, dan an- Nahl: 64.

1. 4.

Fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an


Fungsi As-Sunnah terhadap al-Qur’an dari segi kandungan hukum mempunyai 3 fungsi
sebagai berikut.
1)
As-Sunnah berfungsi sebagai ta’kid (penguat) hukum-hukum yang telah ada dalam AlQur’an. Hukum tersebut mempunyai 2 dasar hukum, yaitu Al-Qur’an sebagai penetap hukum
dan As-Sunnah sebagai penguat dan pendukungnya. Misalnya, perintah mendirikan shalat,
mengeluarkan zakat, larangan syirik, riba dan sebagainya.
2)

As-Sunnah sebagai bayan (penjelas)

3)
takhshish (pengkhusus) dan taqyid (pengikat) terhadap ayat-ayat yang masih mujmal
(global), ‘am (umum) atau muthlaq (tidak terbatasi), yaitu ayat-ayat Al-Qur’an yang belum
jelas petunjuk pelaksanaannya, kapan dan bagaimana, dijelaskan dan dijabarkan dalam AsSunnah. Misalnya, perintah shalat yang bersifat mujmal dijabarkan dengan As-Sunnah. Nabi
Saw bersabda: “Shalatlah kalian seperti kalian melihat (mendapatkan) aku shalat.” (HR.
Bukhari)
1. c.

Ijma’
1. 1.

Definisi

Menurut ulama Ushul Fiqh, ijma adalah kesepakatan para imam mujtahid di antara umat
Islam pada suatu masa setelah Rasulullah saw wafat, terhadap hukum syara tentang suatu
masalah. Karena itu, jika terdapat suatu kejadian yang dihadapkan kepada seluruh mujtahid di
kalangan umat Islam pada suatu waktu, mereka kemudian bersepakat terhadap suatu hukum
mengenai kejadian tersebut. Kesepakatan mereka itulah yang disebut ijma.
1. 2.

Kehujjahan Ijma’

Apabila keempat rukun ijma’ terpenuhi (1. Adanya sejumlah mujtahid saat terjadinya
peristiwa, 2. Adanya kesepakatan mujtahid tentang peristiwa tanpa memandang latar
belakang, 3. Adanya pendapat dari masing-masing mujtahid, 4. Realisasi dari kesepakatan
mujtahid) dengan diadakan perhitungan pada suatu masa diantara masa-masa sesudah
Rasulullah SAW wafat terhadap semua mujtahid Umat Islam menurut perbedaan latar
belakang para mujtahid, kemudian mereka dihadapkan kepada suatu kejadian untuk
diketahui hukum syara’nya dan masing-masing mujtahid mengemukakan pendapat , baik
secara kolektif ataupun secara individual, kemudia mereka sepakat atas suatu hukum
mengenai suatu peristiwa maka hukum yang disepakati ini adalah suatu undang-undang
syar’I yang wajib diikuti dan tidak boleh ditentang.
Jadi kehujjahan ijma’ sebagaimana dalam Qur’an Surat An-Nisa ayat 59, Allah
memerintahkan orang yang beriman untuk menaati Perintah-Nya, Rasul, dan juga Ulil
Amri. Ibnu Abbas menafsirkan Ulil Amrisebagai Ulama’, jika ulama’ telah sepakat mengenai
sesuatu hukum hendaknya hukum itu diikuti dan ditaati.
1. 3.

Macam-Macam Ijma’

Dilihat dari segi melakukan ijtihadnya, ijma itu ada dua bagian yaitu :

1)
Ijma Sharih yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu terhadap suatu kejadian
dengan menyajikan pendapat masing-masing secara jelas yang dilakukan dengan cara
memberi fatwa atau memberi keputusan.
2)
Ijma Syukuty yaitu sebagian mujtahid pada satu waktu mengemukakan pendapatnya
secara jelas terhadap suatu kejadian yang dilakukan dengan cara memberi fatwa dan mujtahid
lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut dalam hal persesuaiannya atau perbedaannya.
Sedangkan dilihat dari segi qath’i dan zhanni dalalah hukumnya, ijma ini terbagi menjadi dua
bagian juga yaitu sebagai berikut.
1)
Ijma Qoth’i. Dalalah hukumnya ijma sharih, hukumnya telah dipastikan dan tidak ada
jalan lain untuk mengeluarkan hukum yang bertentangan serta tidak boleh mengadakan
ijtihad hukum syara mengenai suatu kejadian setelah adanya ijma sharih.
2)
Ijma Zhanni. Dalalah hukumnya ijma syukuty, hukumnya diduga berdasarkan dugaan
kuat mengenai suatu kejadian. Oleh sebab itu masih memungkinkan adanya ijtihad lain,
sebab hasil ijtihad bukan merupakan pendapat seluruh mujtahid.
1. d.

Qiyas

2. Pengertian
Al-Qiyas menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain yang bisa
menyamainya. Contohnya, mengukur pakaian dengan meteran. Sedangkan menurut ulama
Ushul Fiqh, Qiyas adalah menyamakan satu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian
lain yang ada nashnya pada hukum yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaan di
antara dua kejadian itu dalam illat hukumnya. Misalnya, masalah meminum khamr
merupakan suatu perbuatan yang hukumnya telah ditetapkan dalam nash. Hukumnya haram
berdasarkan QS Al-Maidah ayat 90. Dengan illat memabukkan. Oleh karena itu setiap
minuman yang terdapat illat memabukkan hukumnya sama dengan khamr dan haram
meminumnya.
1. Rukun-Rukun Al-Qiyas
Setiap Qiyas terdiri dari empat rukun sebagai berikut
1) Al-Ashl ialah sesuatu yang hukumnya terdapat dalam nash. Rukun ini biasanya disebut
Maqis ‘Alaih (yang dipakai sebagai ukuran).
2) Al-Far’u ialah sesuatu yamg hukumnya tidak terdapat di dalam nash dan hukumnya
disamakan kepada al-ashl, biasa disebut juga Al Maqis (yang diukur)
3)
Hukmul Ashl ialah hukum syara yang terdapat nashnya menurut al ashl dan dipakai
sebagai hukum asal bagi al-Far’u.
4) Al-Illat ialah keadaan tertentu yang dipakai dasar bagi hukum ashl, kemudian al-Far’u
itu disamakan kepada ashl dalam hal hukumnya.
1. C.

Dalil Hukum yang Tidak Disepakati

Selain dari empat dalil hukum diatas yang mana para ulama sepakat, akan tetapi ada juga
dalil hukum yangmana mayoritas ulama Islam tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil
tersebut. Sebagian diantara mereka. Ada yang menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan
penetapan hukum syara’, dan sebagian yang lain mengingkarinya. Oleh karena itu ada dalil
yang depakati dan dalil yang tidak disepakati, dalil-dalil yang diperselisihkan pemakaiannya
ada enam : Al-Istihsan, Al-Maslahah Mursalah, Al-Ihtishhab, Al-Urf, Madzhab
Shahabi, danSyaru Man Qablana.
1. Isthisan
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut
ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang
lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara”.
1. 1.

Khilaf Tentang Dasar Hukum Istihsan

Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Al-Imam AsSyafi”i dan mazhabnya. Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya berdasarkan
keinginan hawa nafsu. Imam Syafi”i berkata, “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia
telah menetapkan sendiri hukum syara” berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang
berhak menetapkan hukum syara” hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah
Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan, “Perumpamaan orang yang melakukan istihsan
adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut
istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka”bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara”
untuk menentukan arah Ka”bah itu.”
Namun kalau diteliti lebih dalam, ternyata pengertian istihsan menurut pendapat Madzhab
Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi”i. Menurut Madzhab Hanafi
istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa
nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi”i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak,
kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.
Maka seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian
yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi
dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan, “orang yang menetapkan hukum berdasarkan
istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah
berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT
menciptakan syara” dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara” yang umum.
1. 2.

Kehujjahan Isthisan

Menurut Abdul Wahab Kallaf Dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh menyatakan bahwa “Pada
hakikatnya Isthisan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri,
karena sesungguhnya hukum isthisan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan
qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena adanya
beberapa factor yang menenangkannya yang membuat hati mujtahid tenang. Sedangkan
bentuk yang kedua dari isthisan adalah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut
pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum) dan ini juga yang disebut dengan segi
Isthisan”.

1. Isthisab
Secara terminologi Ushul Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam
disiplin ilmu ini- ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih,
diantaranya adalah Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab)
adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas
dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang
mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut)”.
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau
pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari alQur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang
ulama yang mengatakan: “Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika
seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam alQur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan
(hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik
pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak
berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku”.
1. Jenis-jenis Istishhab
Para ulama menyebutkan banyak sekali jenis-jenis istishhab ini. Dan berikut ini akan
disebutkan yang terpenting diantaranya, yaitu:
1)
Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain yang menjelaskannya;
yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram jika ia membawa mudharat -dengan perbedaan
pendapat yang masyhur di kalangan para ulama tentangnya; yaitu apakah hukum asal sesuatu
itu adalah mubah atau haram-. Salah satu contohnya adalah jenis makanan dan minuman
yang tidak ditemukan dalil yang menjelaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah,
atau dalil lainnya seperti ijma’ dan qiyas
2)
Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyah, atau bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas
dan bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang
membebankan ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu
3)
Istishhab hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat berhadapan dengan masalah yang
masih diperselisihkan.
1. Kehujjahan Isthisab
Isthisab merupakan akhir dalil syar’I yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk
mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya. Oleh karena itu, maka para ahli ilmu
ushul fiqh berkata :”Sesungguhnya Isthisab merupakan akhir tempat beredarnya fatwa. Ia
adalah penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap baginya, sepanjang
tidak ada dalil yang merubahnya”.
1. Maslahah Mursalah (kemaslahatan umum)
Mashalihul mursalah terdiri dari dua kalimat yaitu maslahat dan mursalah. Maslahat sendiri
secara etimologi didefinisikan sebagai upaya mengambil manfaat dan

menghilangkan mafsadat/madharat. Dari sini dapat dipahami, bahwa maslahat mamiliki dua
terma yaitu adanya manfaat (‫ )إجابي‬dan menjauhkan madharat (‫)سلبي‬. Terkadang maslahat
ini ditinjau dari aspek ijab-nya saja, ini menjadi qorinah menghilangkan mafsadat. Seperti
pendapat fuqaha bahwasanya “ menghilangkan mafsadat didahulukan dalam menegakan
maslahat” .
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa maslahat merupakan inti dari setiap syari’at yang
diturunkan oleh Allah kepada manusia untuk menjaga maksud syari’at (ushulul khomsah).
Adapun mursalah dipahami sebagai sesuatu yang mutlak ‫ غير مقيد‬yaitu maslahat yang secara
khusus tidak dijabarkan oleh nash atau tidak ada perintah maupun larangan. Dengan tidak
adanya qorinah tersebut, maka maslahat bisa menjadi acuan dalam menentukan suatu hukum.
Syarat-syarat mashalihul mursalah menurut Imam Syatibi memberikan 3 syarat yang berbeda
dengan Imam Ghazali.
1)
Rasional. Ketika mashalihul mursalah dihadapkan dengan akal, maka akalpun bisa
menerimanya. Dengan syarat ini perkara-perkara prinsip (ibadah) tidak masuk kepada
mashlahat mursalah.
2)

Sinergi dengan maqhasid syari’ah

3)

Menjaga prinsip dasar (dharuri) untuk menanggalkan kesulitan (raf’ul haraj).
1. Kehujjahan Maslahah Mursalah

Masih menurut Abdul Wahab Kallaf menyatakan bahwa Jumhur Ulama Ummat Islam
berpendapat, bahwasannya maslahah mursalah adalah Hujjah Syar’iyyah yang dijadikan
dasar pembentukan hukum, dan bahwasannya kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash
atau Ijma’ atau qiyas, ataupun Isthisan disayri’atkan kepadanya hukum yang dikehendaki
oleh kemaslahatan umum. Pembentukan hukum tersebut atas dasar kemaslahatan ini tidak
boleh ditangguhkan sampai ada bukti pengakuan dari syara’”.
Akan tetapi masih banyak juga yang menolak mengenai kehujahan Maslahah Mursalah
mereka berpendapat bahwa maslahah mursalah yang tidak ada bukti syar’I yang
membuktikan terhadap pengakuan terhadapnya maupun pembatalannya, dan tidak bisa
dijadikan sebagai dasar pembentukan hukum.
Yang jelas mentarjihkan pendasaran pembentukan hukum atas maslahah mursalah dapat
dilakukan, karena apabila tidak dibuka maka akan terjadi stagnasi pembentukan hukum Islam
dan akan berhenti mengikuti perjalanan situasi dan kondisi serta lingkungan.
Adapun terhadap kehujjahan maslahah al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama
menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’, sekalipun dalam
penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat. Ulama Hanafiyyah
mengatakan bahwa untuk menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil disyaratkan
maslahah tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits atau ijma’ yang
menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat (motivasi
hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut
dipergunakan oleh nash sebagai motivasi suatu hukum. Ulama Malikiyyah dan Hanabilah

menerima maslahah al-mursalah sebagi dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka
dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya.
1. ‘Urf
2. Pengertian
Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang yang
diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh
manusia dan mereka maenjadikan tradisi.
1. Pembagian urf
1)

Ditinjau dari bentuknya ada dua macam

i.
Al Urf al Qualiyah ialah kebiasaan yang berupa perkataan, seperti kata lahm
( daging) dalam hal ini tidak termasuk daging ikan
ii.
Al Urf al Fi’ly, ialah kebiaasaan yang berupa perbuaatan, seperti perbuatab jual beli
dalam masyarakat tampa mengucaplan akad jual-beli.
2)

Ditinjau dari segi nilainya, ada dua macam :

i.
Al Urf As Shahih, yaitu urf’ yang baik dan dapat ditrima, karena tidak bertentangan
dengan nash hukum syara’
ii.
Al Urf al Fasid ialah urf yang tidak dapat diteima, karena bertentangan dengan
hukum syara
3)

Ditinjau dari luasnya berlakunya, ada dua macam :

i.
Al Urf Am, ialah Urf’ yang berlaku untuk seluruh tempat sejaka dahulu hingga
sekarang
ii.
Al urf al Khas, yaitu urf yang yang berlaku hanya dikenal pada suatu tempat saja,
urf adalah kebiasaan masyarakat tetentu.
4)

Syarat-syarat urf dapat diterima oleh hukum islam

i.
Tidak ada dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam al Qur’an atau as
Sunnah.
ii.
Pemakian tidak mengankibatkan dikesampingkanya nas syari’at termasuk juga tidak
mengakibatkan masadat, kesulitan atau kesempitan.
iii.

Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang saja.
1. Kehujjahan ’urf

Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan
mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk
madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber
hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’
Imam Safi’i terkenal denagan Qoul Qadim dan qoul jadidnya, karena melihat pratek yang
belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak
dapat diterima , hal itu jelas karena bertentangan dengan syara nas maupun ketentuan umum
nas

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dalam penyajian makalah ini makadapat kami simpulkan bahwa hukum islam itu ada yang
disepakati dan ada juga yang tidak disepakati. Hukum islam yang disepakati itu ada empat
yaitu : Al-qur’an, Sunnah, Ijtima’ dan Qias. Sedangkan hukum islam yang tidak disepakati
yaitu : Ihtishab, Ihtisan, masalul mursal, U’ruf. Inilah hukum-hukum Islam yag ada baik
yang disepakati maupun tidak menurut ilmu ushul fiqh
1. Saran
Untuk mengetahui hukum-hukum Islam yang tepat hendaklah kita benar-benar mengetahui
apa yang menjadi landasan hukum itu saran pemakalah setiap perlakuan hendaklah memiliki
dasar yang kuat agar tidak terjadi kekeliruan dikemudian hari.

Daftar Pustaka
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di
Indonesia,(Jakarta: Logos, 1999)
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di
Indonesia,(Jakarta: Logos, 1999),
Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama, 1999)
Departemen Agama RI. 1971. Al-Qur’an dan terjemahnya: Jakarta
Abdullah, sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. Jambi : Sinar Grafika.
Bakry Nazar. 2003. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada..

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65