Tata Kelola Pertanian Tentang Lahan Pert
Tata Kelola Pertanian
Tentang Lahan Pertanian dalam Pandangan Islam
November 27, 2015 Leave a comment 1,188 Views
Salah satu masalah dalam pertanian di Indonesia
adalah masalah lahan pertanian. Menurut Anton Apriantono, terdapat 5 (lima) masalah lahan di Indonesia,
yaitu : pertama, luas kepemilikan lahan petani yang sempit, sehingga sulit menyangga kehidupan keluarga
petani. Kedua, produktivitas lahan yang menurun terus, akibat intensifikasi berlebihan dan penggunaan
pupuk kimia secara terus menerus. Ketiga, terjadinya alih fungsi (konversi) lahan yang bertambah besar
untuk keperluan non-pertanian, misalnya untuk keperluan industri (pabrik) dan pemukiman. Keempat, belum
optimalnya implementasi pemetaan komoditas terkait dengan agroekosistem. Kelima, masih banyaknya
lahan tidur (idle land). (Anton Apriyantono, Pembangunan Pertanian di Indonesia, hlm. 13).
Solusi masalah-masalah itu, memang sudah digagas dan sebagiannya sudah diimplementasikan. Tetapi
solusi tersebut nampaknya hanya solusi yang sifatnya teknis belaka, tanpa memasukkan Syariah Islam
sebagai hukum yang mampu mengatasi masalah-masalah tersebut. Sebagai contoh, masalah kepemilikan
lahan petani yang sempit. Data menunjukkan umumnya para petani Indonesia tergolong petani gurem
dengan luas garapan kurang dari 1 ha. Menurut hasil sensus 1983, petani Indonesia rata-rata memiliki lahan
0,98 ha/petani. Namun sensus 2003, petani Indonesia hanya memiliki 0,7 ha/petani. Bahkan, di Pulau Jawa
petani hanya memiliki 0,3 ha dan luar Jawa memiliki 0,8 ha/petani (Sinar Harapan, 15 Juli 2011). Solusinya?
Ada yang menggagas, agroindustri pedesaan harus dibangun untuk merasionalisasi (mengurangi) jumlah
petani yang memiliki lahan sempit. Ini artinya, petani hanya dianjurkan alih profesi, sementara masalah
mendasarnya sendiri tidak terselesaikan, yaitu kepemilikan lahan yang sempit. Solusi ini juga jelas tidak
menggunakan Syariah Islam yang sebenarnya telah mengatur bagaimana seseorang dapat memiliki lahan.
Contoh lain, masalah lahan tidur. Solusinya kadang hanya dijelaskan secara global saja, yaitu misalnya
memanfaatlan lahan tidur untuk memberdayakan masyarakat. Tapi bagaimana caranya, dan apakah Syariah
Islam punya solusi untuk masalah itu, tidak dijelaskan. Padahal Syariah Islam punya solusi untuk mengatasi
lahan-lahan tidur yang ditelantarkan oleh pemiliknya. Tulisan ini bertujuan menerangkan hukum-hukum
syariah Islam terkait lahan pertanian dan kebijakan pertanian dalam Islam.
Hukum-Hukum Seputar Lahan Pertanian
Syaikh Abdurrahman Al-Maliki dalam As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla telah menerangkan 3 (tiga) hukum
syariah terpenting yang menyangkut lahan pertanian, yaitu : (1) hukum tentang kepemilikan lahan (milkiyah
al-ardh), (2) hukum mengelola lahan pertanian (istighlal al-ardh), dan (3) hukum menyewakan lahan
pertanian (ta`jir al-ardh). (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 59-69).
Hukum Kepemilikan Lahan
Syariah Islam telah menetapkan hukum-hukum khusus terkait lahan pertanian. Yang terpenting adalah
hukum kepemilikan lahan. Bagaimanakah seorang petani dapat memiliki lahan? Syariah Islam menjelaskan
bahwa ada 6 (enam) mekanisme hukum untuk memiliki lahan, yaitu : pertama, melalui jual beli. Kedua,
melalui waris. Ketiga, melalui hibah. Keempat, melalui Ihya`ul Mawat (menghidupkan tanah mati). Kelima,
melalui Tahjir (membuat batas pada suatu lahan). Keenam, melalui Iqtha’ (pemberian negara kepada rakyat).
(Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 59).
Mengenai mekanisme jual beli, waris, dan hibah, sudah jelas. Adapun Ihya`ul Mawat, adalah upaya
seseorang untuk menghidupkan tanah mati (al-ardhu al-maitah), yaitu tanah yang tidak ada pemiliknya dan
tidak dimanfaatkan oleh seorang pun. Menghidupkan tanah mati, artinya melakukan upaya untuk
menjadikan tanah itu menghasilkan manfaat, misalnya bercocok tanam pada tanah itu, menanam pohon
padanya, membangun bangunan di atasnya, dan sebagainya. Upaya seseorang menghidupkan tanah mati,
menjadi sebab baginya untuk memiliki tanah tersebut. Sabda Rasulullah SAW :
له فهي ميتة أرضا أحيا من
“Barangsiapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Bukhari). (Taqiyuddin AnNabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hlm. 79).
Adapun Tahjir, artinya adalah membuat batas pada suatu bidang tanah dengan batas-batas tertentu,
misalnya dengan meletakkan batu, membangun pagar, dan yang semisalnya. Sama dengan Ihya`ul Mawat,
aktivitas Tahjir juga dilakukan pada tanah mati. Aktivitas Tahjir menjadikan tanah yang dibatasi/dipagari itu
sebagai hak milik bagi yang melakukan Tahjir, sesuai sabda Rasulullah SAW :
له فهي أرض على حائطا أحاط من
“Barangsiapa memasang batas pada suatu tanah, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Ahmad, Thabrani,
dan Abu Dawud). (Lihat Athif Abu Zaid Sulaiman Ali, Ihya` Al-Aradhi Al-Mawat fi Al-Islam, hlm. 72).
Sedangkan Iqtha’, adalah kebijakan negara Khilafah memberikan tanah milik negara kepada rakyat secara
gratis. Tanah ini merupakan tanah yang sudah pernah dihidupkan, misalnya pernah ditanami, tapi karena
suatu hal tanah itu tidak ada lagi pemiliknya. Maka tanah seperti ini menjadi tanah milik negara (milkiyah aldaulah) bukan tanah mati (al-ardhu al-maitah) sehingga tidak dapat dimiliki dengan cara Ihya`ul Mawat atau
Tahjir. Tanah seperti ini tidak dapat dimiliki individu rakyat, kecuali melalui mekanisme pemberian (iqtha’)
oleh negara. Rasulullah SAW pernah memberikan sebidang tanah kepada Abu Bakar dan Umar. Ini
menunjukkan negara boleh dan mempunyai hak untuk memberikan tanah milik negara kepada rakyatnya.
(Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 60).
Hukum Mengelola Lahan Pertanian
Mengenai pengelolaan lahan yang sudah dimiliki, Syariah Islam mewajibkan para pemilik lahan, baik yang
dimiliki dengan cara Ihya`ul Mawat, Tahjir, maupun yang dimiliki dengan cara lainnya, untuk mengelola
tanah itu agar produktif. Artinya, kepemilikan identik dengan produktivitas. Prinsipnya, memiliki berarti
berproduksi (man yamliku yuntiju). Jadi pengelolaan lahan adalah bagian integral dari kepemilikan lahan itu
sendiri. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 61).
Maka dari itu, Syariah Islam tidak membenarkan orang memiliki lahan tapi lahannya tidak produktif. Islam
menetapkan siapa saja yang menelantarkan lahan pertanian miliknya selama 3 (tiga) tahun berturut-turut,
maka hak kepemilikannya gugur. Pada suatu saat Khalifah Umar bin Khaththab berbicara di atas mimbar :
سنين ثلث بعد حق لمحتجر وليس له فهي ميتة ارضا احيا من
“Barangsiapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya. Dan orang yang melakukan tahjir
tidak mempunyai hak lagi atas tanahnya setelah tiga tahun (tanah itu terlantar).” (Disebut oleh Abu Yusuf
dalam kitab Al-Kharaj. Lihat Muqaddimah Al-Dustur, Juz II hlm. 45).
Pidato Umar bin Khaththab itu didengar oleh para shahabat dan tak ada seorang pun dari mereka yang
mengingkarinya. Maka terdapat Ijma’ Shahabat bahwa hak milik orang yang melakukan tahjir (memasang
batas pada sebidang tanah) gugur jika dia menelantarkan tanahnya tiga tahun.
Tanah yang ditelantarkan tiga tahun itu selanjutnya akan diambil alih secara paksa oleh negara untuk
diberikan kepada orang lain yang mampu mengelolanya. Dalam kitab Al-Amwal, Imam Abu Ubaid
meriwayatkan dari Bilal bin Al-Haris Al-Muzni dari kakeknya, dia berkata,”Bahwa Rasulullah SAW pernah
memberikan kepadanya [Bilal] tanah di wilayah Al-Aqiq semuanya. Dia berkata,’Maka pada masa Umar,
berkatalah Umar kepada Bilal,’Sesungguhnya Rasulullah SAW tidak memberikan tanah itu agar kamu
membatasinya dari orang-orang, namun Rasulullah SAW memberikan tanah itu agar kamu mengelolanya.
Maka ambillah daripadanya yang mampu kamu kelola dan kembalikan sisanya.” (Lihat Athif Abu Zaid
Sulaiman Ali, Ihya` Al-Aradhi Al-Mawat fi Al-Islam, hlm. 73).
Namun gugurnya hak milik ini tidak terbatas pada tanah yang dimiliki lewat tahjir, tapi dapat diqiyaskan juga
pada tanah-tanah yang dimiliki melalui cara-cara lain, seperti jual beli atau waris. Hal itu karena gugurnya
hak milik orang yang melakukan tahjir didasarkan pada suatu illat (alasan hukum), yaitu penelantaran tanah
(ta’thil al-ardh). Maka berdasarkan Qiyas, tanah-tanah pertanian yang dimiliki dengan cara lain seperti jual
beli dan waris, juga gugur hak miliknya selama terdapat illat yang sama pada tanah itu, yaitu penelantaran
tanah (ta’thil al-ardh). (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hlm. 140).
Hukum Menyewakan Lahan Pertanian
Akad menyewakan lahan pertanian (ta`jir al-ardh) dalam fiqih disebut dengan istilah Muzara’ah atau
Mukhabarah. Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya akad tersebut. Namun pendapat yang
rajih (kuat) adalah yang mengharamkannya. Pentarjihan dalil yang rinci dapat dilihat dalam kitab
Muqaddimah Al-Dustur, Juz II hlm. 46-63.
Dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim disebutkan :
حظ أو أجر للرض يؤخذ عن وسلم عليه الله صلى الله رسول نهى
“Rasulullah SAW telah melarang untuk mengambil upah atau bagi hasil dari lahan pertanian.” (HR Muslim).
Hadits tersebut dengan jelas mengharamkan akad menyewakan lahan pertanian secara mutlak, baik tanah
Usyriyah maupun tanah Kharajiyah, baik tanah itu disewakan dengan imbalan uang, imbalan barang, atau
dengan cara bagi hasil (Jawa : maro). (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 68).
Tapi yang diharamkan adalah menyewakan lahan pertanian untuk keperluan bercocok tanam saja (li azzira’ah), misalnya untuk ditanami padi atau jagung. Adapun jika menyewakan lahan pertanian bukan untuk
bercocok tanam, hukumnya boleh, misalnya untuk dijadikan kandang ternak, gudang, tempat peristirahatan,
dan sebagainya. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hlm.143)
Kebijakan Pertanian dalam Islam
Selain hukum-hukum seputar lahan di atas, Islam juga telah menggariskan kebijakan pertanian (as-siyasah
az-zira’iyyah), yaitu sekumpulan kebijakan negara yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas
pertanian (al-intaj al-zira’iy) dan meningkatkan kualitas produksi pertanian. (Abdurrahman Al-Maliki, AsSiyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 185-190).
Kebijakan pertanian ini secara garis besar ditempuh dengan dua metode; pertama, intensifikasi (at-ta’miq),
misalnya dengan menggunakan pembasmi hama kimiawi, teknologi pertanian modern, atau bibit unggul.
Intensifikasi ini sepenuhnya akan dibantu oleh negara. Negara akan memberikan (bukan meminjamkan)
hartanya kepada para petani yang tidak mampu agar petani mampu membeli segala sarana dan teknologi
pertanian untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Ini sebagaimana yang pernah dilakukan Khalifah
Umar bin Khathab yang memberikan sarana produksi pertanian kepada para petani Irak untuk mengelola
tanah pertanian mereka. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hlm. 119).
Kedua, ekstensifikasi (at-tausi’). Ini ditempuh antara lain dengan menerapkan Ihya`ul Mawat, Tahjir, dan
Iqtha’ (memberikan tanah milik negara). Negara juga akan mengambil alih secara paksa lahan-lahan
pertanian yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun lalu memberikan kepada orang yang mampu
mengelolanya.
Syaikh Abdurrahman Al-Maliki juga menegaskan, selain dengan intensifikasi dan ekstensikasi di atas,
kebijakan pertanian juga harus bebas dari segala intervensi dan dominasi asing, khususnya dominasi
negara-negara Barat yang imperialis. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm.
187).
Jika hukum-hukum lahan pertanian dan kebijakan pertanian di atas diterapkan, masalah-masalah lahan di
Indonesia kiranya akan dapat diselesaikan dengan tuntas. Masalah lahan yang sempit misalnya, dapat
diselesaikan dengan menerapkan hukum Ihya`ul Mawat. Seluruh rakyat baik muslim maupun non muslim
akan mendapat kesempatan memiliki tanah dengan mekanisme Ihya`ul Mawat. Atau dapat pula dengan
menerapkan hukum iqtha’, yaitu negara memberikan tanah miliknya kepada rakyat. Dari mana negara
memperoleh lahan ini? Negara memiliki tanah dari lahan-lahan tidur yang ditelantarkan pemiliknya selama
tiga tahun berturut-turut. Negara akan mengambil alih lahan-lahan tidur yang terlantar itu secara paksa, lalu
diberikan secara gratis kepada petani yang mampu mengelolanya. Negara pun akan membantu petani jika
mereka tidak mampu mengelolanya.
Yang tak kalah penting dari itu, adalah mengatasi cengkeraman asing dalam dunia pertanian di Indonesia.
Selama 20 tahun terakhir (sejak 1990-an), pemerintah RI telah mengadopsi kebijakan pangan ala neo-liberal
yang sangat pro pasar bebas (free-market). Dengan kata lain, kebijakan itu tidak pro-petani atau pro-rakyat,
melainkan pro-kapitalis (imperialis). Kebijakan yang didiktekan IMF dan Bank Dunia itu pada faktanya sangat
destruktif. Antara lain: penghapusan dan atau pengurangan subsidi, penurunan tarif impor komoditi pangan
yang merupakan bahan pokok (beras, terigu, gula, dll.), dan pengurangan peran pemerintah dalam
perdagangan bahan pangan (contohnya mengubah BULOG dari lembaga pemerintah non-departemen
menjadi perusahaan umum yang dimiliki pemerintah).
Cengkeraman asing ini harus disikapi dengan tegas bertolak dari kebijakan pertanian dalam Islam di atas.
Kebijakan pertanian yang pro-kapitalis itu wajib dihentikan secara total, untuk selanjutnya diganti dengan
kebijakan pertanian Islami berdasarkan Syariah Islam semata. Wallahu a’lam [ ]
ZAKAT HASIL PERTANIAN DAN PERKEBUNAN
ZAKAT
ZAKAT HASIL PERTANIAN DAN PEREKEBUNAN
Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc
Allâh Azza wa Jalla telah memberikan karunia kepada kita dalam aneka ragam kenikmatan,
diantaranya hasil yang tumbuh dan keluar dari bumi. Bentuknya beragam, ada hasil pertanian dan
buah-buahan, madu, harta terpendam dan barang tambang. Semua ini tentunya ada hak-hak yang
harus ditunaikan. Tentunya semua harus dengan dasar syariat yang benar agar jangan sampai
mengambil yang bukan haknya atau menahan yang sudah menjadi hak Allâh Subhanahu wa Ta’ala
atasnya.
Berikut penjelasan singkat tentang permasalahan ini, semoga dapat memberikan pencerahan kepada
masyarakat Islam yang umumnya sudah jauh dari syariat Islam yang benar.
KEWAJIBAN ZAKAT HASIL PERTANIAN DAN BUAH-BUAHAN
Zakat Hasil pertanian disyariatkan dalam Islam berdasarkan al-Qur`ân dan as-Sunnah serta Ijmâ’.
Diantara dasar tersebut :
1. Firman Allâh Azza wa Jalla :
ي
عل غمموا أ غ يغن الل يغغه غ
غيا أ غي يمغها ال يغنذيغن آغممنوا أ غن عنفمقوا نمعن غط ني يغبانت غما ك غغسبعتمعم غونم ي غما أ غعخغرعجغنا ل غك معم نمغن ال عأ غعرنض غوغلا تغي غ ي غممموا ال ع غ
خنبي غ
غنن ي
ث نمن عمه تمن عنفمقوغن غول غعستمعم نبآنخنذينه نإ يغلا أ غعن تمعغنممضوا نفينه غوا ع
غحنميدي
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allâh) sebagian dari hasil usahamu yang baikbaik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih
yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allâh
Maha Kaya lagi Maha Terpuji. [al-Baqarah/2:267]
2. Firman Allâh Azza wa Jalla :
غي عغر ممتغغشانبهه ك مملوا نمعن ث غغمنرنه نإغذا أ غث عغمغر غوآمتوا غحيق غمه ي غعوغم غحغصاندنه
ختغلنهفا أ مك مل ممه غوال ي غزي عمتوغن غوال يمر ي غماغن ممتغغشانبهها غو غ
غومهغو ال يغنذي أ غن عغشأ غ غج يغناهت غمععمروغشاهت غو غ
خغل غوال ي غزعرغع مم ع
غي عغر غمععمروغشاهت غوالن يغ ع
ب ال عممعسنرنفيغن
غوغلا تمعسنرمفوا نإن ي غمه غلا ي منح يم
Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma,
tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan
warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia
berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir
miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan. [al-An’am/6:141]
3. Hadits Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
نفي عغما غسغق ن
ننعصمف ال عمعمشنر: غوغما مسنقغي بنالن يغعضنح، ال عمعمشمر: عغثري يا ه
أ غعو غكاغن غ،ت ال يغسغمامء غوال عمعي معومن
Pada pertanian yang tadah hujan atau mata air atau yang menggunakan penyerapan akar (Atsariyan)
diambil sepersepuluh dan yang disirami dengan penyiraman maka diambil seperduapuluh. [HR alBukhâri]
4. Hadits Jâbir bin Abdillah Radhiyallahu anhu bahwa beliau mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
نفي عغما غسغق ن
ننعصمف عالمعمشنر: غونفي عغما مسنقغي نبال يغسانني غنة، ال عمعمشعومر:ت ال غعنـغهامر غوال عغغي عمم
Semua yang diairi dengan sungai dan hujan maka diambil sepersepuluh dan yang diairi dengan
disiram dengan pengairan maka diambil seperduapuluh [HR Muslim]
5. Hadits Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu yang berbunyi :
نإغلى ال عي غغمنن غفأ غغمغرننعي أ غعن آمخغذ نم ي غما غسغق ن
بغغعثغننيي غرمسعومل اللنهn ننعصغف ال عمعمشنر: غونفي عغما مسنقغي بنال يغدغوالنعي، ال عمعمشغر:ت ال يغسغمامء
Rasûlullâh mengutusku ke negeri Yaman lalu memerintahkan aku untuk mengambil dari yang disirami
hujan sepersepuluh dan yang diairi dengan pengairan khusus maka seperduapuluh [HR. an-Nasâ’i dan
dishahihkan al-Albâni rahimahullah dalam Shahîh Sunan an-Nasâ`i 2/193]
Sedangkan Ijma’ telah menetapkan kewajiban zakat pada gandum, anggur kering dan kurma
sebagaimana dinukilkan oleh Ibnul Mundzir rahimahullah dan Ibnu Abdilbarr rahimahullah serta Ibnu
Qudâmah rahimahullah.[1]
SYARAT KEWAJIBAN ZAKAT PADA HASIL PERTANIAN DAN BUAH-BUAHAN
a. Berupa Biji-bijian atau Buah-buahan.
Ini berdasarkan hadits Abu Sa’îd al-Khudri Radhiyallahu anhu secara marfu’ yang berbunyi:
خعمغسغة أ غعومسهق
ب غول غ ث غغمهر غصغدغقية غح ي غتى ي غبعل مغغ غ
…ل غي عغس نفعي غح ه ي
Tidak ada (kewajiban) zakat pada biji-bijian dan buah kurma hingga mencapai 5 ausâq (lima wasaq)
[HR Muslim]
Hadits ini menunjukkan adanya kewajiban zakat pada biji-bijian dan buah kurma, selainnya tidak
dimasukkan disini. [Lihat al-Kâfi karya Ibnu Qudamah 2/131]
b. Bisa ditakar karena diukur dengan wasq yaitu satuan alat takar, seperti dalam hadits diatas. Syarat
ini masih diperselisihkan para ulama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyanggah
persyaratan dapat ditakar. Beliau rahimahullah menyatakan bahwa syarat “dapat ditakar” itu hanya
ada pada komoditi ribawi saja agar terwujud kesetaraan yang mu’tabar. Dan syarat ini tidak berlaku
dalam masalah zakat. Beliau rahimahullah merajihkan pendapat yang menetapkan syarat wajib zakat
pada barang yang keluar dari bumi hanyalah dapat disimpan (al-Iddikhâr), karena adanya pengertian
yang sesuai dengan kewajiban zakat. Berbeda dengan takaran, karena ia sekedar satuan ukuran
semata dan timbanganpun sama artinya dengannya. (lihat al-Ikhtiyârât al-fiqhiyat, hlm 149 dan Shahîh
Fiqhissunnah 2/42). Yang rajih –wallâhu a’lam- pensyaratan dapat ditakar adalah mu’tabar karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan takaran wasaq dalam menentukan nishab zakat hasil
pertanian dan perkebunan ini. Oleh karena itu, Syaikh Prof.DR. Shâlih bin Abdillah Al Fauzân –
hafizhahullâh- menyatakan, “Diwajibkan zakat pada hasil perkebunan seperti korma, Anggur kering
dan sejenisnya dari semua yang ditakar dan dapat disimpan lama (Iddikhâr). [al-Mulakhash al-Fiqh
1/233].
c. Dapat disimpan, karena semua komoditi yang disepakati dikenai kewajiban zakat berupa komoditi
yang bisa disimpan. Oleh karena itu diwajibkan zakat pada semua biji-bijian dan buah-buahan yang
dapat ditakar dan disimpan, seperti gandung, kurma, anggur kering (Zabib) dan lain-lainnya. (lihat alKâfi, 2/132).
d. Tumbuh dengan usaha dari manusia. Tanaman yang tumbuh liar tidak ada zakatnya, karena bukan
menjadi kepemilikannya secara resmi. Syarat ini diungkapkan dengan istilah:
غ
ب ال ي غزغكانة
ت مومجعو ن
ب غمعمل معوكا ه ل غمه غوعق غ
غوي مععتغبغمر أعن ي غك معوغن ال نن يغصا م
Dan nishab yang dianggap adalah nishab yang menjadi miliknya ketika waktu kewajiban zakat [lihat
asy-Syarhul Mumti’ 6/78].
e. Mencapai nishab yaitu seukuran 5 wasaq berdasarkan sabda beliau :
خعمغسغة أ غعومسهق
ب غول غ ث غغمهر غصغدغقية غح ي غتى ي غبعل مغغ غ
…ل غي عغس نفعي غح ه ي
Tidak ada kewajiban zakat pada biji-bijian dan buah kurma hingga mencapai 5 ausaaq (lima wasaq)
[HR Muslim].
Satu wasaq sama dengan enampuluh sha’ (60 sha’) dan satu sha’ sama dengan 4 mud. Satu mudnya
adalah seukuran penuh dua telapak tangan orang yang sedang. Lima wasaq yang dijadikan standar
adalah setelah pembersihan biji-bijian dan kering pada buah-buahan. [al-Mughni, 4/162]
Dalam masalah ukuran nishab ini para Ulama terjadi perbedaan pendapat dalam dua pendapat:
a. Zakat pertanian dan buah-buahan tidak diwajibkan hingga mencapai 5 wasaq. Ini adalah pendapat
mayoritas Ulama. Diantara mereka adalah Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , Jâbir Radhiyallahu anhu,
Abu Umâmah bin Sahl Radhiyallahu anhu, Umar bin Abdulaziz, Jâbir bin Zaid, al-Hasan al-Bashri, ‘Atha’,
Makhûl, al-Hakam, an-Nakhâ’i, Mâlik, ats-tsauri, al-‘Auza’i, Ibnu Abi Laila, asy-Syâfi’i, Abu Yûsuf ,
Muhammad bin al-Hasan dan banyak Ulama lainnya. Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan, “Kami
belum tahu seorangpun yang menyelisihi mereka kecuali Mujâhid dan Abu Hanîfah serta
pengikutnya.”[al-Mughni 4/161]
b. Mujâhid rahimahullah dan Abu Hanîfah rahimahullah serta pengikutnya berpendapat bahwa zakat
diwajibkan baik sedikit maupun banyak, karena keumuman sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
نفي عغما غسغق ن
ال عمعمشمر:ت ال يغسغمامء
Semua yang ditanam dengan tadah hujan dikenai seper sepuluh.
Juga karena dalam zakat hasil bumi ini tidak menggunakan standar haul (genap setahun) maka
tentunya juga tidak menggunakan standar nishab.
Sementara itu, Ibnu Qudâmah rahimahullah dengan tegas menyatakan pilihannya pada pendapat
pertama dengan menyatakan, “Kami memiliki dalil sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ل غي عغس نفي عغما مدعوغن غخعمغسنة أ غعومسهق غصغدغقية
Tidak ada kewajiban zakat pada biji-bijian dan buah kurma hingga mencapai 5 ausaaq (lima wasaq).
[Muttafaqun ‘Alahi]
Hadits yang bersifat ini khusus ini yang wajib didahulukan dan hadits ini mentakhsish
(mengkhususkan) keumuman yang mereka riwayatkan tersebut.” [al-Mughni, 4/161].
Oleh karena itu, jelaslah kebenaran pendapat pertama karena adanya dalil yang cukup tegas dalam
masalah nishab. Wallahu a’lam.
MENCAMPUR HASIL BUMI DALAM SETAHUN DALAM MENYEMPURNAKAN NISHAB
Sudah diketahui bersama bahwa buah kurma memiliki banyak spesies, ada sukkari, barkhi dan
khullash serta yang lainnya. Untuk menyempurnakan, maka spesies-spesies itu dicampur dan
disatukan. Demikian juga misalnya beras dengan ragam spesiesnya. Apabila seorang memiliki area
persawahan yang tersebar dibeberapa lokasi lalu ditanami padi dengan spesies yang berbeda-beda,
maka hasil panennya dihitung semuanya tanpa membedakan spesiesnya.. Apabila sudah mencapai
nishab, maka diwajibkan membayar zakat. Demikian juga bila panennya lebih dari sekali, maka
dicampurkan panen selama setahun lalu zakatnya ditunaikan.
Namun bila jenisnya berbeda seperti kurma dengan zabib (anggur kering/kismis), maka itu tidak
dicampur dalam menghitung nishabnya.
Ibnu Qudâmah rahimahullah berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat diantara para Ulama pada
selain biji-bijian dan atsman (emas dan perak) untuk tidak disatukan satu jenis dengan jenis yang
lainnya dalam penyempurnaan nishab. Hewan ternah ada tiga jenis yaitu onta, sapi dan kambing.
Tidak dicampur satu jenis dari hewan ternak tersebut dengan lainnya dan buah-buahan tidak dicampur
dengan buah lainnya. Sehingga kurma tidak dicampur dengan zabib (anggur kering) dan kacang (lauz)
tidak dicampur dengan kacang fustaq serta tidak sesuatu dari hal-hal ini dicampur kepada lainnya.
Atsmân (emas dan perak) tidak dicampur dengan hewan ternak dan tidak juga dengan biji-bijian dan
buah-buahan. Tidak ada perbedaan pendapat diantara mereka bahwa spesies dari jenis-jenis tersebut
dicampur dalam penyempurnaan nishab. Kami tidak mengetahui perbedan diantara mereka juga
dalam barang dagangan dicampur dengan atsmân dan atsmân dicampur dengan barang dagangan,
kecuali imam asy-Syâfi’i rahimahullah yang tidak menggabungnya kecuali kepada jenis yang dijadikan
barang dibeli; karena nishabnya mu’tabar”. [al-Mughni, 4/203-204]
Spesies biji-bijian dari satu jenis digabungkan, sehingga jenis gandum yang beragam digabungkan.
Demikian juga jenis beras dengan rajalele, sadani, mentik wangi, IR dan lainnya digabungkan untuk
menyempurnakan nishab. Demikian juga bila seorang memiliki beberapa lahan di tempat yang
berbeda, maka digabungkan hasil dari semua lahan yang ada untuk menyempurnakan nishab.
Ibnu Qudâmah rahimahullah menjelaskan bahwa Ulama berbeda pendapat dalam menggabungkan
biji-bijian untuk menyempurnakan nishab dan menyatukan emas dan perak kepada yang lainnya.
Diriwayatkan dari imam Ahmad tiga riwayat yaitu :
a. Riwayat pertama yaitu tidak digabung satu jenis biji-bijian dengan lainnya dan nishabnya dengan
standar dalam satu jenis tersebut saja. Ini adalah pendapat ‘Atha’, Makhûl, Ibnu Abi laila, al-Auzâ’i, atsTsauri, al-Hasan bin Shalih, Syuraik, asy-Syâfi’i, Abu Ubaid, Abu Tsaur dan ashâb ar-ra’i; karena bijibijian itu beda jenisnya sehingga nishabnya diperhitungkan dalam setiap jenisnya seperti buah-buahan
dan hewan ternak.
b. Riwayat kedua: biji-bijian seluruhnya digabungkan dalam menyempurnakan nishab. Ini adalah
pendapat Ikrimah dan Ibnu Mundzir menceritakannya dari Thawûs.
c. Riwayat ketiga: al-hinthah digabungkan dengan gandum dan al-quthniyat juga. al-Quthniyat adalah
jenis biji-bijian berupa ‘adas, al-himsh, beras, as-simsim, ad-dakhn dan kacang tanah. Ini disampaikan
al-Khiraqi dari Ahmad dan ini adalah madzhab imam Mâlik.
Setelah menyampaikan hal ini Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan, “Riwayat pertama lebih rajih
–insya Allâh-, karena biji-bijian tersebut beda jenisnya sehingga mungkin dibedakan, tidak
digabungkan seperti buah-buahan. [al-Mughni, 4/204-205. (Lihat juga asy-Syarhu al-Mumti’ 6/77)]
KAPAN ZAKAT HASIL PERTANIAN DAN PERKEBUNAN DITUNAIKAN?
Zakat pada biji-bijian mulai diwajibkan apabila biji-bijian itu sudah kuat dan tahan bila di tekan.
Sedangkan pada buah-buahan adabila sudah layak konsumsi seperti sudah memerah atau menguning
pada buah korma. Penjelasan tentang layak konsumsi ini ada dalam beberapa hadits diantaranya :
a. Hadits Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu secara marfû’ dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Haditsnya berbunyi :
حغما يمر وتمعصغفا يمر
تغ ع: غوغما غزعهغوغها؟ غقاغل: نقي عغل.ععن بغي عنع ال نثيغمانر غح ي غتى تمعزغهي
عل غي عنه غوغس يغلم غ
ن غغهى الن يغنب يمي غص يغلى اللمه غ
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli buah-buahan hingga matang. Ada yang bertanya,
‘Apa tanda matangnya?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Memerah dan menguning.’
[Muttafaqun ‘Alaih]
b. Hadits Anas Radhiyallahu anhu juga , beliau berkata:
ب غح ي غتى ي غعشتغ يغد
غو غ،ععن بغي عنع ال عنعن غنب غح ي غتى ي غعسغو يغد
عل غي عنه غوغس يغلم ن غغهى غ
أ غ يغن الن يغنب يغي غص يغلى اللمه غ
ععن بغي عنع عال غ
ح ني
Nabi melarang menjual anggur hingga berwarna kehitaman dan (melarang) dari jual beli biji-bijian
hingga masak. [HR Abu Daud, at-Tirmidzi dan Ibnu Mâjah dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh
Sunan Abi Daud 2/344]
c. Hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , beliau Radhiyallahu anhuma berkata :
ب
غونفعي ل غعفهظ لنل عبم غ. ن غغهى عالغبانئغع غوعالممبعغتاغع،ععن بغي عنع ال نثيغمانر غح ي غتى ي غبعمدغو غصل غمحغها
غكاغن نإغذا مسنئغل غ:خانرعي
عل غي عنه غوغس يغلم غ
ن غغهى غرمسعومل اللنه غص يغلى اللمه غ
غح ي غتى تغعذغه غ:ععن غصل غنحغها غقاغل
عاغهتمغها
غ
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli buah-buahan hingga nampak layak. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang yang jual dan yang membeli. (Dalam lafadz Imam al-Bukhâri) :
Apabila Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang layaknya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, ‘Hingga hamanya hilang’ [Mmuttafaqun ‘Alaihi].
Apabila buah-buahan sudah nampak layak dikonsumsi atau biji-bijian sudah matang, maka diwajibkan
padanya zakat, ini menurut pendapat yang rajih dalam hal ini. Sebagian Ulama ada yang berpegang
kepada keumuman firman Allâh Azza wa Jalla pada surat al-An’âm ayat ke-141 untuk mewajibkan
zakat pertanian pada saat panennya. Namun mayoritas Ulama memandang waktu wajibnya zakat
pertanian adalah ketika sudah matang dan pada hasil perkebunan ketika layak konsumsi. [lihat alMughni 4/169 dan Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’ 4/89].
Apa manfaat dari mengetahui waktu kewajiban zakat ini ? Manfaatnya adalah pemilik seandainya
beraktifitas pada buah-buahan atau biji-bijian tersebut sebelum terkena kewajiban zakat maka dia
tidak berdosa. Seperti seseorang yang mengkonsumsi hewan ternaknya atau menjualnya sebelum
genap setahun maka ia tidak mengapa dan tidak dikenai hukuman apapun. Dia tidak berdosa dengan
syarat tidak ada maksud atau niatan untuk lari dari kewajiban zakat. Apabila ia sengaja melakukan
sesuatu dengan niatan dan maksud lari dari kewajiban zakat maka kewajiban zakat tetap berlaku dan
tidak gugur. Tidak akan dianggap masuk masa wajib zakat hingga hasil bumi tersebut masuk
kelumbung atau tempat penyimpanan. Seandainya hasil bumi tersebut hilang atau berkurang sebelum
waktu tersebut tanpa ada kesengajaan, maka tidak ada zakat padanya (bila tidak sampai sisanya
nishab) walaupun sudah ditebas atau belum. Apabila hilang setelah masuk dalam penyimpanan,
menurut Ibnu Qudâmah hukumnya menjadi tanggungannya, karena kewajiban sudah masuk dalam
tanggung jawabnya, sehingga menjadi hutangnya. [lihat al-Mughni, 4/169-171]
Berdasarkan hal ini maka hasil pertanian dan perkebunan memiliki tiga keadaan:
a. Hilang atau lenyap sebelum masa kewajiban zakat yaitu sebelum biji-bijian menjadi masak dan
sebelum buah-buahan layak konsumsi, maka pemiliknya tidak dikenakan apa-apa, baik ada unsur
kesengajaan atau keteledoran atau tanpa keduanya, kecuali bila sengaja untuk lari dari kewajiban
zakat.
b. Hilang atau lenyap setelah masa wajib zakat namun belum sampai disimpan dalam lumbung atau
tempat penyimpanan. Maka hukumnya dirinci, bila karena kesengajaan atau keteledoran pemilik maka
ia wajib mengganti zakat tersebut dan bila tanpa kesengajaan dan keteledoran maka tidak ada
kewajiban mengganti zakat tsrebut.
c. Hilang atau lenyap setelah disimpan, maka imam Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan wajib
menunaikan zakatnya dalam semua keadaan, baik ada kesengajaan atau tidak, karena zakat sudah
masuk masa wajibnya dan menjadi tanggung jawabnya. (al-Mughni 4/170-171). Sedangkan syaikh
Ibnu Utsaimin menyatakan, “Yang benar dalam keadaan yang ketiga ini adalah tidak wajib zakat
selama tidak ada unsur kesengajaan atau keteledoran; karena harta yang ada padanya setelah
disimpan ditempat penyimpanan adalah amanah. Apabila ada kesengajaan atau keteledoran seperti
menunda-nunda pembayaran zakatnya sampai harta tersebut dicuri atau yang sejenisnya, maka ia
bertanggung jawab (menggantinya). Apabila tidak ada kesengajaan atau keteledoran dan telah
berusaha semampunya untuk segera membayarnya namun hilang juga dengan adanya usaha yang
benar dalam memelihara dan menjaganya, maka tidak ada kewajiban menggantinya.[asy-Syarhu alMumti’ 6/82].
UKURAN ZAKAT HASIL PERTANIAN DAN PERKEBUNAN
Ukuran zakat hasil pertanian dan perkebunan ini dapat dirinci dalam 5 keadaan:
1. Diwajibkan mengeluarkan seper sepuluh (10 %) apabila disiram tanpa pembiayaan (tadah hujan dan
sejenisnya), seperti pertanian tadah hujan, pertanian menggunakan sungai dan mata air
2. Wajib mengeluarkan seperduapuluh (5 %) apabila diairi dengan pembiayaan, berdasarkan hadits
Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
نفي عغما غسغق ن
ننعصمف ال عمعمشنر: غوغما مسنقغي نبالن يغعضنح، ال عمعمشمر: عغثري يا ه
أ غعو غكاغن غ،ت اليسمامء غوعالمعي معومن
Pada pertanian yang tadah hujan atau mata air atau yang menggunakan penyerapan akar (atsariyan)
diambil sepersepuluh dan yang disirami dengan penyiraman maka diambil seperduapuluh. [HR alBukhâri]
3. Diwajibkan mengeluarkan 7,5 % apabila diairi dengan pembiayaannya 50 % dan tadah hujannya 50
%. Hal ini sudah menjadi Ijma’ (kesepakatan) para Ulama sebagaimana disampaikan Ibnu Qudâmah
dalam al-Mughni 4/165. Lihat juga ar-Raudh al-Murbi’ dengan Hasyiyah Ibnu Qâsim 2/277.
4. Yang diairi dengan pembiayan dan non pembiayaan secara bergantian. Contohnya sawah yang diairi
dengan irigasi yang bayar dan juga terkena hujan, maka dilihat mana yang paling berpengaruh pada
pertumbuhan tanaman tersebut. Bila yang tadah hujan yang labih dominan maka diwajiban
mengeluarkan 10 % dan bila sebaliknya maka diwajibkan 5 % saja.
5. Apabila tidak diketahui ukuran mana yang dominan maka diwajibkan mengeluarkan 10 %, karena
pada asalnya diwajibkan zakat 10 % hingga diketahui dengan jelas bahwa itu diairi dengan
pembiayaan. (al-Mughni 4/166).
Demikian beberapa hukum seputar zakat hasil pertanian dan perkebunan, semoga bermanfaat
JUAL BELI
B. Hadits Mengenai Larangan Jual Beli Binatang Dalam Kandungan
عن عبد الله بن عمر رضى الله عنهما ان رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى عن
بيع حبل الحبلة وكان بيعا يتبا يعه اهل الجاهلية كان الرجل يبتع الجزور الى ان تنتج
.اااااااااااااااااا
ه
اااااااااااااااىاا بطن
ف
ااااااااااااااام تناااااااااااااااتجاا ااااااااااااااااتلااى
ث
اااااااااااااااةاا
ق
النا
[2
Dari Abdullah bin Umar r.a. bahwasannya Rosululloh saw melarang dari menjual apa (janin)
yang masih dalam perut onta, hal itu merupakan jual beli yang berjalan dimasa jahiliyah, dulu,
seseorang menjual onta sampai dilahirkannya anak onta, kemudian (menjual) apa yang didalam
perutnya.(Muttafaq ‘Alaih dan lafadznya adalah lafadz Bukhori)[3]
ان النبي صلى,, عن ابن عمر, عن نا فع, عن ايوب, حدثنا حما دبن زيد.حدثنا قتيبة
حبل
بيع
عن
نهى
وسلم
عليه
الله
.الحبلة
Qutaibah menceritakan kepada kami, Hammad bin Zaid menceritakan kepada kami dari Ayyub
dari Nafi’ dari Ibnu Umar: bahwasannya Rosululloh saw melarang menjual anaknya hewan yang
berada dalam kandungan.
Didalam bab ini ada hadist yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas dan Abu Said AlKhudzriy. Hadistnya ibnu umar hadist hasan shahih. Yang mengamalkan hadist ini adalah
sebagian ulama’. Adapun habalul habalah adalah Menjual anak dari anaknya binatang yang akan
dilahirkan, atau penjualan anak hewan dengan harga yang akan diserahkan ketika anaknya
beranak. Akad ini tidak sah. Jual beli semacam ini menurut ulama’ adalah jual beli yang rusak
(batal) dan termasuk tipuan. Syu’bah telah meriwayatkan hadist ini dari ayyub dari sa’id bin
jubair dari ibnu Abbas. Abdul Wahhab As tsaqafi dan yang lainnya meriwayatkan hadist ini dari
ayyub dari sa’id bin jubair dan nafi’ dari umar dari nabi .saw. Hadist inilah yang paling shohih.
[4]
C. Hukum Jual Beli Binatang dalam Kandungan
Jual beli anak binatang dalam kandungan termasuk jual beli gharar, karena terdapat dua perkara yang tidak
jelas. Jual beli gharar adalah Transaksi yang mengandung tipuan dari salah satu pihak sehingga pihak yang lain dirugikan.
[5] Oleh sebab itu, tidak boleh dipraktekkan. Dan hukum jual beli gharar dalam syari’at Islam,termasuk
jual beli terlarang,
dengan dasar sabda: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi.“Artinya :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar”.(HR.Muslim)
Selain At-tirmidzi, Al-Baghawipun berkata dalam Syarhus Sunnah(VIII/137), "Inilah
pendapat yang diamalkan oleh mayoritas ahli ilmu, yaitu menjual anak unta yang masih dalam
kandungan tidak boleh karena barang yang dijual masih belum jelas dan belum ada. Jual beli ini
termasuk jual beli Jahiliyyah. Andai kata ia menjual binatang dengan harga tertentu hingga
binatang tersebut lahir juga bathil karena belum ada kejelasannya."dan juga Ibnu Hibban berkata
(XI/323), "Larangan jual beli habalul habalah adalah seseorang membeli unta (dengan
pembayaran bertempo) yang harus ia lunasi pembayarannya sampai unta tersebut beranak
kemudian anak yang dilahirkannya itu beranak pula. Terdapat dua bentuk ketidakjelasan dalam
jual beli ini dan tidak boleh dipraktekkan.[6]
. Menjual barang yang tidak jelas adalah terlarang setiap transaksi perdagangan yang
memberi peluang terjadinya persengketaan, karena barang yang dijual itu tidak diketahui atau
karena ada unsur penipuan yang dapat menimbulkan pertentangan antara si penjual dan pembeli,
atau karena karena ditakutkan salah satu ada yang menipu. Cara ini dilarang oleh Rasulullah
sebagai uasah menutup pintu perbuatan maksiat. Larangan ini berkisar karena beberapa sebab:
a. karena ada usaha membantu perbuatan maksiat
b. karena ada unsur-unsur penipuan
c. karena ada unsur-unsur pemaksaan
d. karena adanya perbuatan zalim oleh salah satu pihak yang sedang mengadakan perjanjian dan
sebagainya.
Karena itu, dilarang pula menjual binatang yang masih dalam kandungan, menjual
burung yang terbang di udara, dan semua macam jual beli yang terdapat unsur-unsur yang masih
samar. Ini semua karena tidak diketahui secara pasti benda yang dijual itu.
Akan tetapi, tidak semua yang masih samar itu terlarang. Sebab sebagian barang ada
yang tidak lepas dari kesamaran. Misalnya orang yang akan membeli sebuah rumah, tidak
mungkin ia dapat mengetahui pondasi dan apa yang ada didalam temboknya itu. Tetapi yang
dilarang ialah kesamaran yang ada unsur-unsur kejahatan yang memungkinkan dapat membawa
kepada permusuhan dan pertentangan atau memakan harta orang lain dengan cara yang batil.[7]
Apa Hukumnya Jual-Beli Ijon (Yang
Belum Siap Dipanen), Halal atau
Haram?
08.28 Bisnis , Fiqih , Hukum , Jual-Beli , Muamalah
ل
ه
صل ل ه
مرر ل
أ ت
ح ه
ن ب لي برع الث ت ل
حتتى ي لب بد هول ل
ي صلى الله عليه وسلم ن للهى ع ل ب
ن الن تب ر ت
Sesungguhnya Nabi saw. telah melarang untuk menjual buah hingga mulai tampak
kelayakannya (HR Muslim, an-Nasa’i, Ibn Majah dan Ahmad).
Imam Muslim meriwayatkan hadis ini dari Yahya bin Yahya, Yahya bin Ayyub, Qutaibah dan
Ibn Hujrin; semuanya dari Ismail bin Ja’far, dari Abdullah bin Dinar, dari Ibn Umar. Dari jalur
Ahmad bin Utsman an-Nawfali dari Abu ‘Ashim; dari Muhammad bin Hatim, dari Rawh, dan
keduanya (Rawh dan Abu ‘Ashim) dari Zakariya’ bin Ishaq, dari Amru bin Dinar, dari Jabir bin
Abdullah.
Imam Ahmad meriwayatkannya dari Abdullah bin al-Harits, dari Siblun, dari Amru bin Dinar,
dari Jabir bin Abdullah, Ibn Umar dan Ibn Abbas. An-Nasai meriwayatkannya dari Qutaibah
bin Said, dari Sufyan dari az-Zuhri, dari Salim, dari Ibn Umar.
Ibn Majah meriwayatkannya dari Hisyam bin ‘Amar, dari Sufyan, dari Ibn Juraij, dari ‘Atha’,
dari Jabir bin Abdullah.
Defenisinya
Manthûq (makna tekstual) hadis ini menunjukkan larangan menjual buah ( ats-tsamar [hasil
tanaman]) yang masih berada di pohonnya kalau belum mulai tampak kelayakannya.
Sebaliknya, mafhûm al-mukhâlafah(pemahaman kebalikannya) hadis ini menunjukkan, dalam
Islam boleh hukumnya menjual buah yang masih di pohonnya kalau telah mulai tampak
kelayakannya.
Maksud yabduwa shalâhuhu (mulai tampak kelayakannya) dijelaskan oleh riwayat lainnya.
Dalam riwayat dari Jabir bin Abdullah ra. dikatakan “hatta yathîba (hingga masak)” (HR alBukhari dan Muslim), atau “hatta yuth’ama (hingga bisa dimakan) (HR Muslim dan an-Nasa’i).
Dalam riwayat yang lain, Jabir ra., menuturkan:
ل
ح لقا ل
قي ل
ما ت ه ب
حتتى ت ه ب
ل
ش ر
ح فل ر
ش ر
ق ه
ق ل
ملرة ه ل
ي صلى الله عليه وسلم أ ب
ل ول ل
ن ت هلباع ل الث ت ل
ن للهى الن تب ر ي
فاير ولي هؤ بك ل ه
من بلها
ص ل
ل ر
تل ب
ح ل
ماير ولت ل ب
Nabi saw. melarang buah dijual hingga tusyqih, Ditanyakan, “Apa tusyqih itu?” Beliau menjawab,
“Memerah dan menghijau serta (bisa) dimakan darinya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ibn ‘Abbas menuturkan:
ه أ لوب ي لأ بك ه ل
حتتى ي هؤ بك ل ل
حتتى
ن ب لي برع الن ت ب
ل ر
ل ر
ه ول ل
ل ل
من ب ه
من ب ه
خ ر
ي صلى الله عليه وسلم ع ل ب
»ن للهى الن تب ر ي
ن
هيولز ل
Nabi saw. telah melarang menjual kurma hingga bisa dimakan darinya atau orang bisa
makan darinya dan hingga bisa ditimbang (HR al-Bukhari).
Jadi, batasan buah yang masih ada di pohonnya bisa dijual ialah kalau telah layak
dimakan. Tanda-tanda buah itu sudah bisa dimakan berbeda-beda sesuai dengan jenis
buahnya. Hal itu telah diisyaratkan di dalam riwayat Anas bin Malik ra.:
ل
سو ل
ب
ح ب
ن ب لي برع ال ب ل
ب ل
»أ ت
حتتى ي ل ب
ن لر ه
ن ب لي برع ال بعرن ل ر
سولد ت ولع ل ب
ل الل تهر صلى الله عليه وسلم ن للهى ع ل ب
حتتى ي ل ب
شت لد ت
ل
Rasulullah saw. melarang menjual anggur hitam hingga warnanya menghitam dan menjual
biji-bijian hingga sudah keras (HR Abu Dawud).
Dalam hal buah-buahan, secara umum terdapat dua jenis. Pertama: buah-buahan yang ketika
sudah tua/cukup umur bisa dipetik dan selanjutnya bisa masak, seperti mangga, pisang,
pepaya,
dsb.
Kalau telah ada semburat warna merah atau kuning yang menandakan sudah cukup tua,
buah itu bisa dipetik dan nantinya akan masak kalau belum tampak tanda-tanda seperti itu
buah dipetik maka tidak bisa masak. Buah-buahan jenis ini, kalau telah tampak tanda-tanda
perubahan warna itu, yakni sudah cukup tua untuk dipetik, maka sudah boleh dijual meski
masih
di
pohonnya.
Kedua, buah-buahan yang harus dipetik ketika sudah masak seperti semangka, jambu,
salak, jeruk, anggur, rambutan dan sejenisnya. Kalau telah seperti itu maka buah yang
masih dipohonnya boleh dijual. Halal hukumnya. Batas tersebut bisa diketahui dengan
mudah oleh orang yang berpengalaman tentangnya.
Ada juga tanaman yang kebanyakan dari jenis sayuran seperti ketimun, buncis, kacang
panjang, dsb, yang sekiranya bunganya sudah berubah menjadi buah, maka saat itu sudah
mulai layak untuk dikonsumsi. Buah tanaman sejenis ini, andai bunga sudah berubah
menjadi buah, sudah boleh dijual. Halal hukumnya dalam Islam. Adapun jenis biji-bijian,
seperti padi, kedelai, jagung dan sebagainya, maka sesusai hadis Anas di atas, sudah boleh
dijual
ketika
sudah
keras.
Tampaknya kelayakan buah untuk dikonsumsi itu tidak harus terpenuhi pada seluruh buah di
kebun. Hal itu sukar sekali. Sebabnya, buah di satu kebun bahkan satu pohon memang
tidak memiliki tingkat ketuaan yang sama dan tidak bisa masak secara bersamaan. Ketuaan
dan menjadi masak itu terjadi secara bertahap hingga seluruh buah di kebun menjadi
tua/masak.
Karena itu, maksud yabduwa shalâhuhu itu adalah kalau ada sebagian buah sudah layak
dikonsumsi, maka buah yang sama di satu kebun itu boleh dijual semuanya, baik yang
sudah mulai masak maupun yang belum. Batas mulai layak dikonsumsi itu bergantung pada
masing-masing jenis buah. Misalnya kalau telah ada sebagian mangga yang masak maka
semua
mangga
yang
ada
di
satu
kebun
itu
boleh
dijual.
Jika ada sebagian semangka yang sudah layak dikonsumsi maka seluruh semangka jenis
yang sama di kebun itu boleh dijual, termasuk yang masih muda. Jika sudah ada sebagian
bunga ketimun yang berubah menjadi buah maka semua ketimun di seluruh kebun itu boleh
dijual. Sekiranya ada ada sebagian tongkol jagung manis sudah layak dipetik, maka semua
jagung manis di kebun itu boleh dijual. Begitulah hukumnya dalam Islam, halal.
Jika buah yang masih di pohon itu dijual, lalu terjadi bencana cuaca seperti hujan, angin,
hawa dingin, angin kering/panas, dsb, maka penjual wajib menarik diri dari harga buah yang
mengalami cacat atau rusak dan mengembalikannya kepada pembeli. Jabir ra. menuturkan
bahwa
Nabi
saw.
pernah
bersabda:
ب
ب
ل
ل لل ل ل
خي ل
ما ل
ح ي
ه ل
ل
م ت لأ ه
ن ت لأ ه
ة فلل ل ي ل ر
ح ة
ن أل ر
خذ ل ر
ت ر
كأ ب
جائ ر ل
ه ل
إر ب
خذ ه ل
شي بئئا ب ر ل
من ب ه
صاب لت ب ه
ك ثل ل
ن ب رعب ل
مئرا فلأ ل
م ب
خي ل
أل ر
ك ب رغلي برر ل
حق ق
Jika engkau menjual buah kepada saudaramu, lalu terkena bencana, maka tidak halal
bagimu mengambil sesuatu pun darinya karena (ketika itu) engkau mengambil harta
saudaramu tidak secara haq (HR Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i).
ISLAM DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN
II. Pelestarian Alam dan Lingkungan dalam al-Quran
Dalam al-Quran, dijelaskan mengenai dimensi alam semesta yang secara makro berpusat pada dua tempat, bumi dan
langit, dan menyatakan bahwa semua yang diciptakan adalah untuk manusia. Allah telah menggariskan takdirnya atas
bumi, yaitu: Pertama kalinya, Allah memberikan fasilitas terbaik bagi semua penghuni bumi.
Dan Allah swt ciptakan lautan yang maha luas dengan segala kekayaan di dalamnya
Allah swt berfirman:
Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar
(ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya,
dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur. (QS. an-Nahl : 14)
Dan air hujan yang menghidupkan bumi setelah masa-masa keringnya.
Allah swt berfirman:
Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan,
maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau
itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan
(Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya
berbuah, dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi orang-orang yang beriman. (QS. Al-An’am : 99)
Dan dalam surat Ibrahim Allah swt berfirman:
Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan
dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezeki untukmu, dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya
bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.
(QS. Ibrahim : 32).
Tak sekedar itu, Allah
Tentang Lahan Pertanian dalam Pandangan Islam
November 27, 2015 Leave a comment 1,188 Views
Salah satu masalah dalam pertanian di Indonesia
adalah masalah lahan pertanian. Menurut Anton Apriantono, terdapat 5 (lima) masalah lahan di Indonesia,
yaitu : pertama, luas kepemilikan lahan petani yang sempit, sehingga sulit menyangga kehidupan keluarga
petani. Kedua, produktivitas lahan yang menurun terus, akibat intensifikasi berlebihan dan penggunaan
pupuk kimia secara terus menerus. Ketiga, terjadinya alih fungsi (konversi) lahan yang bertambah besar
untuk keperluan non-pertanian, misalnya untuk keperluan industri (pabrik) dan pemukiman. Keempat, belum
optimalnya implementasi pemetaan komoditas terkait dengan agroekosistem. Kelima, masih banyaknya
lahan tidur (idle land). (Anton Apriyantono, Pembangunan Pertanian di Indonesia, hlm. 13).
Solusi masalah-masalah itu, memang sudah digagas dan sebagiannya sudah diimplementasikan. Tetapi
solusi tersebut nampaknya hanya solusi yang sifatnya teknis belaka, tanpa memasukkan Syariah Islam
sebagai hukum yang mampu mengatasi masalah-masalah tersebut. Sebagai contoh, masalah kepemilikan
lahan petani yang sempit. Data menunjukkan umumnya para petani Indonesia tergolong petani gurem
dengan luas garapan kurang dari 1 ha. Menurut hasil sensus 1983, petani Indonesia rata-rata memiliki lahan
0,98 ha/petani. Namun sensus 2003, petani Indonesia hanya memiliki 0,7 ha/petani. Bahkan, di Pulau Jawa
petani hanya memiliki 0,3 ha dan luar Jawa memiliki 0,8 ha/petani (Sinar Harapan, 15 Juli 2011). Solusinya?
Ada yang menggagas, agroindustri pedesaan harus dibangun untuk merasionalisasi (mengurangi) jumlah
petani yang memiliki lahan sempit. Ini artinya, petani hanya dianjurkan alih profesi, sementara masalah
mendasarnya sendiri tidak terselesaikan, yaitu kepemilikan lahan yang sempit. Solusi ini juga jelas tidak
menggunakan Syariah Islam yang sebenarnya telah mengatur bagaimana seseorang dapat memiliki lahan.
Contoh lain, masalah lahan tidur. Solusinya kadang hanya dijelaskan secara global saja, yaitu misalnya
memanfaatlan lahan tidur untuk memberdayakan masyarakat. Tapi bagaimana caranya, dan apakah Syariah
Islam punya solusi untuk masalah itu, tidak dijelaskan. Padahal Syariah Islam punya solusi untuk mengatasi
lahan-lahan tidur yang ditelantarkan oleh pemiliknya. Tulisan ini bertujuan menerangkan hukum-hukum
syariah Islam terkait lahan pertanian dan kebijakan pertanian dalam Islam.
Hukum-Hukum Seputar Lahan Pertanian
Syaikh Abdurrahman Al-Maliki dalam As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla telah menerangkan 3 (tiga) hukum
syariah terpenting yang menyangkut lahan pertanian, yaitu : (1) hukum tentang kepemilikan lahan (milkiyah
al-ardh), (2) hukum mengelola lahan pertanian (istighlal al-ardh), dan (3) hukum menyewakan lahan
pertanian (ta`jir al-ardh). (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 59-69).
Hukum Kepemilikan Lahan
Syariah Islam telah menetapkan hukum-hukum khusus terkait lahan pertanian. Yang terpenting adalah
hukum kepemilikan lahan. Bagaimanakah seorang petani dapat memiliki lahan? Syariah Islam menjelaskan
bahwa ada 6 (enam) mekanisme hukum untuk memiliki lahan, yaitu : pertama, melalui jual beli. Kedua,
melalui waris. Ketiga, melalui hibah. Keempat, melalui Ihya`ul Mawat (menghidupkan tanah mati). Kelima,
melalui Tahjir (membuat batas pada suatu lahan). Keenam, melalui Iqtha’ (pemberian negara kepada rakyat).
(Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 59).
Mengenai mekanisme jual beli, waris, dan hibah, sudah jelas. Adapun Ihya`ul Mawat, adalah upaya
seseorang untuk menghidupkan tanah mati (al-ardhu al-maitah), yaitu tanah yang tidak ada pemiliknya dan
tidak dimanfaatkan oleh seorang pun. Menghidupkan tanah mati, artinya melakukan upaya untuk
menjadikan tanah itu menghasilkan manfaat, misalnya bercocok tanam pada tanah itu, menanam pohon
padanya, membangun bangunan di atasnya, dan sebagainya. Upaya seseorang menghidupkan tanah mati,
menjadi sebab baginya untuk memiliki tanah tersebut. Sabda Rasulullah SAW :
له فهي ميتة أرضا أحيا من
“Barangsiapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Bukhari). (Taqiyuddin AnNabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hlm. 79).
Adapun Tahjir, artinya adalah membuat batas pada suatu bidang tanah dengan batas-batas tertentu,
misalnya dengan meletakkan batu, membangun pagar, dan yang semisalnya. Sama dengan Ihya`ul Mawat,
aktivitas Tahjir juga dilakukan pada tanah mati. Aktivitas Tahjir menjadikan tanah yang dibatasi/dipagari itu
sebagai hak milik bagi yang melakukan Tahjir, sesuai sabda Rasulullah SAW :
له فهي أرض على حائطا أحاط من
“Barangsiapa memasang batas pada suatu tanah, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Ahmad, Thabrani,
dan Abu Dawud). (Lihat Athif Abu Zaid Sulaiman Ali, Ihya` Al-Aradhi Al-Mawat fi Al-Islam, hlm. 72).
Sedangkan Iqtha’, adalah kebijakan negara Khilafah memberikan tanah milik negara kepada rakyat secara
gratis. Tanah ini merupakan tanah yang sudah pernah dihidupkan, misalnya pernah ditanami, tapi karena
suatu hal tanah itu tidak ada lagi pemiliknya. Maka tanah seperti ini menjadi tanah milik negara (milkiyah aldaulah) bukan tanah mati (al-ardhu al-maitah) sehingga tidak dapat dimiliki dengan cara Ihya`ul Mawat atau
Tahjir. Tanah seperti ini tidak dapat dimiliki individu rakyat, kecuali melalui mekanisme pemberian (iqtha’)
oleh negara. Rasulullah SAW pernah memberikan sebidang tanah kepada Abu Bakar dan Umar. Ini
menunjukkan negara boleh dan mempunyai hak untuk memberikan tanah milik negara kepada rakyatnya.
(Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 60).
Hukum Mengelola Lahan Pertanian
Mengenai pengelolaan lahan yang sudah dimiliki, Syariah Islam mewajibkan para pemilik lahan, baik yang
dimiliki dengan cara Ihya`ul Mawat, Tahjir, maupun yang dimiliki dengan cara lainnya, untuk mengelola
tanah itu agar produktif. Artinya, kepemilikan identik dengan produktivitas. Prinsipnya, memiliki berarti
berproduksi (man yamliku yuntiju). Jadi pengelolaan lahan adalah bagian integral dari kepemilikan lahan itu
sendiri. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 61).
Maka dari itu, Syariah Islam tidak membenarkan orang memiliki lahan tapi lahannya tidak produktif. Islam
menetapkan siapa saja yang menelantarkan lahan pertanian miliknya selama 3 (tiga) tahun berturut-turut,
maka hak kepemilikannya gugur. Pada suatu saat Khalifah Umar bin Khaththab berbicara di atas mimbar :
سنين ثلث بعد حق لمحتجر وليس له فهي ميتة ارضا احيا من
“Barangsiapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya. Dan orang yang melakukan tahjir
tidak mempunyai hak lagi atas tanahnya setelah tiga tahun (tanah itu terlantar).” (Disebut oleh Abu Yusuf
dalam kitab Al-Kharaj. Lihat Muqaddimah Al-Dustur, Juz II hlm. 45).
Pidato Umar bin Khaththab itu didengar oleh para shahabat dan tak ada seorang pun dari mereka yang
mengingkarinya. Maka terdapat Ijma’ Shahabat bahwa hak milik orang yang melakukan tahjir (memasang
batas pada sebidang tanah) gugur jika dia menelantarkan tanahnya tiga tahun.
Tanah yang ditelantarkan tiga tahun itu selanjutnya akan diambil alih secara paksa oleh negara untuk
diberikan kepada orang lain yang mampu mengelolanya. Dalam kitab Al-Amwal, Imam Abu Ubaid
meriwayatkan dari Bilal bin Al-Haris Al-Muzni dari kakeknya, dia berkata,”Bahwa Rasulullah SAW pernah
memberikan kepadanya [Bilal] tanah di wilayah Al-Aqiq semuanya. Dia berkata,’Maka pada masa Umar,
berkatalah Umar kepada Bilal,’Sesungguhnya Rasulullah SAW tidak memberikan tanah itu agar kamu
membatasinya dari orang-orang, namun Rasulullah SAW memberikan tanah itu agar kamu mengelolanya.
Maka ambillah daripadanya yang mampu kamu kelola dan kembalikan sisanya.” (Lihat Athif Abu Zaid
Sulaiman Ali, Ihya` Al-Aradhi Al-Mawat fi Al-Islam, hlm. 73).
Namun gugurnya hak milik ini tidak terbatas pada tanah yang dimiliki lewat tahjir, tapi dapat diqiyaskan juga
pada tanah-tanah yang dimiliki melalui cara-cara lain, seperti jual beli atau waris. Hal itu karena gugurnya
hak milik orang yang melakukan tahjir didasarkan pada suatu illat (alasan hukum), yaitu penelantaran tanah
(ta’thil al-ardh). Maka berdasarkan Qiyas, tanah-tanah pertanian yang dimiliki dengan cara lain seperti jual
beli dan waris, juga gugur hak miliknya selama terdapat illat yang sama pada tanah itu, yaitu penelantaran
tanah (ta’thil al-ardh). (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hlm. 140).
Hukum Menyewakan Lahan Pertanian
Akad menyewakan lahan pertanian (ta`jir al-ardh) dalam fiqih disebut dengan istilah Muzara’ah atau
Mukhabarah. Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya akad tersebut. Namun pendapat yang
rajih (kuat) adalah yang mengharamkannya. Pentarjihan dalil yang rinci dapat dilihat dalam kitab
Muqaddimah Al-Dustur, Juz II hlm. 46-63.
Dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim disebutkan :
حظ أو أجر للرض يؤخذ عن وسلم عليه الله صلى الله رسول نهى
“Rasulullah SAW telah melarang untuk mengambil upah atau bagi hasil dari lahan pertanian.” (HR Muslim).
Hadits tersebut dengan jelas mengharamkan akad menyewakan lahan pertanian secara mutlak, baik tanah
Usyriyah maupun tanah Kharajiyah, baik tanah itu disewakan dengan imbalan uang, imbalan barang, atau
dengan cara bagi hasil (Jawa : maro). (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 68).
Tapi yang diharamkan adalah menyewakan lahan pertanian untuk keperluan bercocok tanam saja (li azzira’ah), misalnya untuk ditanami padi atau jagung. Adapun jika menyewakan lahan pertanian bukan untuk
bercocok tanam, hukumnya boleh, misalnya untuk dijadikan kandang ternak, gudang, tempat peristirahatan,
dan sebagainya. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hlm.143)
Kebijakan Pertanian dalam Islam
Selain hukum-hukum seputar lahan di atas, Islam juga telah menggariskan kebijakan pertanian (as-siyasah
az-zira’iyyah), yaitu sekumpulan kebijakan negara yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas
pertanian (al-intaj al-zira’iy) dan meningkatkan kualitas produksi pertanian. (Abdurrahman Al-Maliki, AsSiyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 185-190).
Kebijakan pertanian ini secara garis besar ditempuh dengan dua metode; pertama, intensifikasi (at-ta’miq),
misalnya dengan menggunakan pembasmi hama kimiawi, teknologi pertanian modern, atau bibit unggul.
Intensifikasi ini sepenuhnya akan dibantu oleh negara. Negara akan memberikan (bukan meminjamkan)
hartanya kepada para petani yang tidak mampu agar petani mampu membeli segala sarana dan teknologi
pertanian untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Ini sebagaimana yang pernah dilakukan Khalifah
Umar bin Khathab yang memberikan sarana produksi pertanian kepada para petani Irak untuk mengelola
tanah pertanian mereka. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hlm. 119).
Kedua, ekstensifikasi (at-tausi’). Ini ditempuh antara lain dengan menerapkan Ihya`ul Mawat, Tahjir, dan
Iqtha’ (memberikan tanah milik negara). Negara juga akan mengambil alih secara paksa lahan-lahan
pertanian yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun lalu memberikan kepada orang yang mampu
mengelolanya.
Syaikh Abdurrahman Al-Maliki juga menegaskan, selain dengan intensifikasi dan ekstensikasi di atas,
kebijakan pertanian juga harus bebas dari segala intervensi dan dominasi asing, khususnya dominasi
negara-negara Barat yang imperialis. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm.
187).
Jika hukum-hukum lahan pertanian dan kebijakan pertanian di atas diterapkan, masalah-masalah lahan di
Indonesia kiranya akan dapat diselesaikan dengan tuntas. Masalah lahan yang sempit misalnya, dapat
diselesaikan dengan menerapkan hukum Ihya`ul Mawat. Seluruh rakyat baik muslim maupun non muslim
akan mendapat kesempatan memiliki tanah dengan mekanisme Ihya`ul Mawat. Atau dapat pula dengan
menerapkan hukum iqtha’, yaitu negara memberikan tanah miliknya kepada rakyat. Dari mana negara
memperoleh lahan ini? Negara memiliki tanah dari lahan-lahan tidur yang ditelantarkan pemiliknya selama
tiga tahun berturut-turut. Negara akan mengambil alih lahan-lahan tidur yang terlantar itu secara paksa, lalu
diberikan secara gratis kepada petani yang mampu mengelolanya. Negara pun akan membantu petani jika
mereka tidak mampu mengelolanya.
Yang tak kalah penting dari itu, adalah mengatasi cengkeraman asing dalam dunia pertanian di Indonesia.
Selama 20 tahun terakhir (sejak 1990-an), pemerintah RI telah mengadopsi kebijakan pangan ala neo-liberal
yang sangat pro pasar bebas (free-market). Dengan kata lain, kebijakan itu tidak pro-petani atau pro-rakyat,
melainkan pro-kapitalis (imperialis). Kebijakan yang didiktekan IMF dan Bank Dunia itu pada faktanya sangat
destruktif. Antara lain: penghapusan dan atau pengurangan subsidi, penurunan tarif impor komoditi pangan
yang merupakan bahan pokok (beras, terigu, gula, dll.), dan pengurangan peran pemerintah dalam
perdagangan bahan pangan (contohnya mengubah BULOG dari lembaga pemerintah non-departemen
menjadi perusahaan umum yang dimiliki pemerintah).
Cengkeraman asing ini harus disikapi dengan tegas bertolak dari kebijakan pertanian dalam Islam di atas.
Kebijakan pertanian yang pro-kapitalis itu wajib dihentikan secara total, untuk selanjutnya diganti dengan
kebijakan pertanian Islami berdasarkan Syariah Islam semata. Wallahu a’lam [ ]
ZAKAT HASIL PERTANIAN DAN PERKEBUNAN
ZAKAT
ZAKAT HASIL PERTANIAN DAN PEREKEBUNAN
Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc
Allâh Azza wa Jalla telah memberikan karunia kepada kita dalam aneka ragam kenikmatan,
diantaranya hasil yang tumbuh dan keluar dari bumi. Bentuknya beragam, ada hasil pertanian dan
buah-buahan, madu, harta terpendam dan barang tambang. Semua ini tentunya ada hak-hak yang
harus ditunaikan. Tentunya semua harus dengan dasar syariat yang benar agar jangan sampai
mengambil yang bukan haknya atau menahan yang sudah menjadi hak Allâh Subhanahu wa Ta’ala
atasnya.
Berikut penjelasan singkat tentang permasalahan ini, semoga dapat memberikan pencerahan kepada
masyarakat Islam yang umumnya sudah jauh dari syariat Islam yang benar.
KEWAJIBAN ZAKAT HASIL PERTANIAN DAN BUAH-BUAHAN
Zakat Hasil pertanian disyariatkan dalam Islam berdasarkan al-Qur`ân dan as-Sunnah serta Ijmâ’.
Diantara dasar tersebut :
1. Firman Allâh Azza wa Jalla :
ي
عل غمموا أ غ يغن الل يغغه غ
غيا أ غي يمغها ال يغنذيغن آغممنوا أ غن عنفمقوا نمعن غط ني يغبانت غما ك غغسبعتمعم غونم ي غما أ غعخغرعجغنا ل غك معم نمغن ال عأ غعرنض غوغلا تغي غ ي غممموا ال ع غ
خنبي غ
غنن ي
ث نمن عمه تمن عنفمقوغن غول غعستمعم نبآنخنذينه نإ يغلا أ غعن تمعغنممضوا نفينه غوا ع
غحنميدي
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allâh) sebagian dari hasil usahamu yang baikbaik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih
yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allâh
Maha Kaya lagi Maha Terpuji. [al-Baqarah/2:267]
2. Firman Allâh Azza wa Jalla :
غي عغر ممتغغشانبهه ك مملوا نمعن ث غغمنرنه نإغذا أ غث عغمغر غوآمتوا غحيق غمه ي غعوغم غحغصاندنه
ختغلنهفا أ مك مل ممه غوال ي غزي عمتوغن غوال يمر ي غماغن ممتغغشانبهها غو غ
غومهغو ال يغنذي أ غن عغشأ غ غج يغناهت غمععمروغشاهت غو غ
خغل غوال ي غزعرغع مم ع
غي عغر غمععمروغشاهت غوالن يغ ع
ب ال عممعسنرنفيغن
غوغلا تمعسنرمفوا نإن ي غمه غلا ي منح يم
Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma,
tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan
warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia
berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir
miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan. [al-An’am/6:141]
3. Hadits Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
نفي عغما غسغق ن
ننعصمف ال عمعمشنر: غوغما مسنقغي بنالن يغعضنح، ال عمعمشمر: عغثري يا ه
أ غعو غكاغن غ،ت ال يغسغمامء غوال عمعي معومن
Pada pertanian yang tadah hujan atau mata air atau yang menggunakan penyerapan akar (Atsariyan)
diambil sepersepuluh dan yang disirami dengan penyiraman maka diambil seperduapuluh. [HR alBukhâri]
4. Hadits Jâbir bin Abdillah Radhiyallahu anhu bahwa beliau mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
نفي عغما غسغق ن
ننعصمف عالمعمشنر: غونفي عغما مسنقغي نبال يغسانني غنة، ال عمعمشعومر:ت ال غعنـغهامر غوال عغغي عمم
Semua yang diairi dengan sungai dan hujan maka diambil sepersepuluh dan yang diairi dengan
disiram dengan pengairan maka diambil seperduapuluh [HR Muslim]
5. Hadits Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu yang berbunyi :
نإغلى ال عي غغمنن غفأ غغمغرننعي أ غعن آمخغذ نم ي غما غسغق ن
بغغعثغننيي غرمسعومل اللنهn ننعصغف ال عمعمشنر: غونفي عغما مسنقغي بنال يغدغوالنعي، ال عمعمشغر:ت ال يغسغمامء
Rasûlullâh mengutusku ke negeri Yaman lalu memerintahkan aku untuk mengambil dari yang disirami
hujan sepersepuluh dan yang diairi dengan pengairan khusus maka seperduapuluh [HR. an-Nasâ’i dan
dishahihkan al-Albâni rahimahullah dalam Shahîh Sunan an-Nasâ`i 2/193]
Sedangkan Ijma’ telah menetapkan kewajiban zakat pada gandum, anggur kering dan kurma
sebagaimana dinukilkan oleh Ibnul Mundzir rahimahullah dan Ibnu Abdilbarr rahimahullah serta Ibnu
Qudâmah rahimahullah.[1]
SYARAT KEWAJIBAN ZAKAT PADA HASIL PERTANIAN DAN BUAH-BUAHAN
a. Berupa Biji-bijian atau Buah-buahan.
Ini berdasarkan hadits Abu Sa’îd al-Khudri Radhiyallahu anhu secara marfu’ yang berbunyi:
خعمغسغة أ غعومسهق
ب غول غ ث غغمهر غصغدغقية غح ي غتى ي غبعل مغغ غ
…ل غي عغس نفعي غح ه ي
Tidak ada (kewajiban) zakat pada biji-bijian dan buah kurma hingga mencapai 5 ausâq (lima wasaq)
[HR Muslim]
Hadits ini menunjukkan adanya kewajiban zakat pada biji-bijian dan buah kurma, selainnya tidak
dimasukkan disini. [Lihat al-Kâfi karya Ibnu Qudamah 2/131]
b. Bisa ditakar karena diukur dengan wasq yaitu satuan alat takar, seperti dalam hadits diatas. Syarat
ini masih diperselisihkan para ulama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyanggah
persyaratan dapat ditakar. Beliau rahimahullah menyatakan bahwa syarat “dapat ditakar” itu hanya
ada pada komoditi ribawi saja agar terwujud kesetaraan yang mu’tabar. Dan syarat ini tidak berlaku
dalam masalah zakat. Beliau rahimahullah merajihkan pendapat yang menetapkan syarat wajib zakat
pada barang yang keluar dari bumi hanyalah dapat disimpan (al-Iddikhâr), karena adanya pengertian
yang sesuai dengan kewajiban zakat. Berbeda dengan takaran, karena ia sekedar satuan ukuran
semata dan timbanganpun sama artinya dengannya. (lihat al-Ikhtiyârât al-fiqhiyat, hlm 149 dan Shahîh
Fiqhissunnah 2/42). Yang rajih –wallâhu a’lam- pensyaratan dapat ditakar adalah mu’tabar karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan takaran wasaq dalam menentukan nishab zakat hasil
pertanian dan perkebunan ini. Oleh karena itu, Syaikh Prof.DR. Shâlih bin Abdillah Al Fauzân –
hafizhahullâh- menyatakan, “Diwajibkan zakat pada hasil perkebunan seperti korma, Anggur kering
dan sejenisnya dari semua yang ditakar dan dapat disimpan lama (Iddikhâr). [al-Mulakhash al-Fiqh
1/233].
c. Dapat disimpan, karena semua komoditi yang disepakati dikenai kewajiban zakat berupa komoditi
yang bisa disimpan. Oleh karena itu diwajibkan zakat pada semua biji-bijian dan buah-buahan yang
dapat ditakar dan disimpan, seperti gandung, kurma, anggur kering (Zabib) dan lain-lainnya. (lihat alKâfi, 2/132).
d. Tumbuh dengan usaha dari manusia. Tanaman yang tumbuh liar tidak ada zakatnya, karena bukan
menjadi kepemilikannya secara resmi. Syarat ini diungkapkan dengan istilah:
غ
ب ال ي غزغكانة
ت مومجعو ن
ب غمعمل معوكا ه ل غمه غوعق غ
غوي مععتغبغمر أعن ي غك معوغن ال نن يغصا م
Dan nishab yang dianggap adalah nishab yang menjadi miliknya ketika waktu kewajiban zakat [lihat
asy-Syarhul Mumti’ 6/78].
e. Mencapai nishab yaitu seukuran 5 wasaq berdasarkan sabda beliau :
خعمغسغة أ غعومسهق
ب غول غ ث غغمهر غصغدغقية غح ي غتى ي غبعل مغغ غ
…ل غي عغس نفعي غح ه ي
Tidak ada kewajiban zakat pada biji-bijian dan buah kurma hingga mencapai 5 ausaaq (lima wasaq)
[HR Muslim].
Satu wasaq sama dengan enampuluh sha’ (60 sha’) dan satu sha’ sama dengan 4 mud. Satu mudnya
adalah seukuran penuh dua telapak tangan orang yang sedang. Lima wasaq yang dijadikan standar
adalah setelah pembersihan biji-bijian dan kering pada buah-buahan. [al-Mughni, 4/162]
Dalam masalah ukuran nishab ini para Ulama terjadi perbedaan pendapat dalam dua pendapat:
a. Zakat pertanian dan buah-buahan tidak diwajibkan hingga mencapai 5 wasaq. Ini adalah pendapat
mayoritas Ulama. Diantara mereka adalah Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , Jâbir Radhiyallahu anhu,
Abu Umâmah bin Sahl Radhiyallahu anhu, Umar bin Abdulaziz, Jâbir bin Zaid, al-Hasan al-Bashri, ‘Atha’,
Makhûl, al-Hakam, an-Nakhâ’i, Mâlik, ats-tsauri, al-‘Auza’i, Ibnu Abi Laila, asy-Syâfi’i, Abu Yûsuf ,
Muhammad bin al-Hasan dan banyak Ulama lainnya. Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan, “Kami
belum tahu seorangpun yang menyelisihi mereka kecuali Mujâhid dan Abu Hanîfah serta
pengikutnya.”[al-Mughni 4/161]
b. Mujâhid rahimahullah dan Abu Hanîfah rahimahullah serta pengikutnya berpendapat bahwa zakat
diwajibkan baik sedikit maupun banyak, karena keumuman sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
نفي عغما غسغق ن
ال عمعمشمر:ت ال يغسغمامء
Semua yang ditanam dengan tadah hujan dikenai seper sepuluh.
Juga karena dalam zakat hasil bumi ini tidak menggunakan standar haul (genap setahun) maka
tentunya juga tidak menggunakan standar nishab.
Sementara itu, Ibnu Qudâmah rahimahullah dengan tegas menyatakan pilihannya pada pendapat
pertama dengan menyatakan, “Kami memiliki dalil sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ل غي عغس نفي عغما مدعوغن غخعمغسنة أ غعومسهق غصغدغقية
Tidak ada kewajiban zakat pada biji-bijian dan buah kurma hingga mencapai 5 ausaaq (lima wasaq).
[Muttafaqun ‘Alahi]
Hadits yang bersifat ini khusus ini yang wajib didahulukan dan hadits ini mentakhsish
(mengkhususkan) keumuman yang mereka riwayatkan tersebut.” [al-Mughni, 4/161].
Oleh karena itu, jelaslah kebenaran pendapat pertama karena adanya dalil yang cukup tegas dalam
masalah nishab. Wallahu a’lam.
MENCAMPUR HASIL BUMI DALAM SETAHUN DALAM MENYEMPURNAKAN NISHAB
Sudah diketahui bersama bahwa buah kurma memiliki banyak spesies, ada sukkari, barkhi dan
khullash serta yang lainnya. Untuk menyempurnakan, maka spesies-spesies itu dicampur dan
disatukan. Demikian juga misalnya beras dengan ragam spesiesnya. Apabila seorang memiliki area
persawahan yang tersebar dibeberapa lokasi lalu ditanami padi dengan spesies yang berbeda-beda,
maka hasil panennya dihitung semuanya tanpa membedakan spesiesnya.. Apabila sudah mencapai
nishab, maka diwajibkan membayar zakat. Demikian juga bila panennya lebih dari sekali, maka
dicampurkan panen selama setahun lalu zakatnya ditunaikan.
Namun bila jenisnya berbeda seperti kurma dengan zabib (anggur kering/kismis), maka itu tidak
dicampur dalam menghitung nishabnya.
Ibnu Qudâmah rahimahullah berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat diantara para Ulama pada
selain biji-bijian dan atsman (emas dan perak) untuk tidak disatukan satu jenis dengan jenis yang
lainnya dalam penyempurnaan nishab. Hewan ternah ada tiga jenis yaitu onta, sapi dan kambing.
Tidak dicampur satu jenis dari hewan ternak tersebut dengan lainnya dan buah-buahan tidak dicampur
dengan buah lainnya. Sehingga kurma tidak dicampur dengan zabib (anggur kering) dan kacang (lauz)
tidak dicampur dengan kacang fustaq serta tidak sesuatu dari hal-hal ini dicampur kepada lainnya.
Atsmân (emas dan perak) tidak dicampur dengan hewan ternak dan tidak juga dengan biji-bijian dan
buah-buahan. Tidak ada perbedaan pendapat diantara mereka bahwa spesies dari jenis-jenis tersebut
dicampur dalam penyempurnaan nishab. Kami tidak mengetahui perbedan diantara mereka juga
dalam barang dagangan dicampur dengan atsmân dan atsmân dicampur dengan barang dagangan,
kecuali imam asy-Syâfi’i rahimahullah yang tidak menggabungnya kecuali kepada jenis yang dijadikan
barang dibeli; karena nishabnya mu’tabar”. [al-Mughni, 4/203-204]
Spesies biji-bijian dari satu jenis digabungkan, sehingga jenis gandum yang beragam digabungkan.
Demikian juga jenis beras dengan rajalele, sadani, mentik wangi, IR dan lainnya digabungkan untuk
menyempurnakan nishab. Demikian juga bila seorang memiliki beberapa lahan di tempat yang
berbeda, maka digabungkan hasil dari semua lahan yang ada untuk menyempurnakan nishab.
Ibnu Qudâmah rahimahullah menjelaskan bahwa Ulama berbeda pendapat dalam menggabungkan
biji-bijian untuk menyempurnakan nishab dan menyatukan emas dan perak kepada yang lainnya.
Diriwayatkan dari imam Ahmad tiga riwayat yaitu :
a. Riwayat pertama yaitu tidak digabung satu jenis biji-bijian dengan lainnya dan nishabnya dengan
standar dalam satu jenis tersebut saja. Ini adalah pendapat ‘Atha’, Makhûl, Ibnu Abi laila, al-Auzâ’i, atsTsauri, al-Hasan bin Shalih, Syuraik, asy-Syâfi’i, Abu Ubaid, Abu Tsaur dan ashâb ar-ra’i; karena bijibijian itu beda jenisnya sehingga nishabnya diperhitungkan dalam setiap jenisnya seperti buah-buahan
dan hewan ternak.
b. Riwayat kedua: biji-bijian seluruhnya digabungkan dalam menyempurnakan nishab. Ini adalah
pendapat Ikrimah dan Ibnu Mundzir menceritakannya dari Thawûs.
c. Riwayat ketiga: al-hinthah digabungkan dengan gandum dan al-quthniyat juga. al-Quthniyat adalah
jenis biji-bijian berupa ‘adas, al-himsh, beras, as-simsim, ad-dakhn dan kacang tanah. Ini disampaikan
al-Khiraqi dari Ahmad dan ini adalah madzhab imam Mâlik.
Setelah menyampaikan hal ini Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan, “Riwayat pertama lebih rajih
–insya Allâh-, karena biji-bijian tersebut beda jenisnya sehingga mungkin dibedakan, tidak
digabungkan seperti buah-buahan. [al-Mughni, 4/204-205. (Lihat juga asy-Syarhu al-Mumti’ 6/77)]
KAPAN ZAKAT HASIL PERTANIAN DAN PERKEBUNAN DITUNAIKAN?
Zakat pada biji-bijian mulai diwajibkan apabila biji-bijian itu sudah kuat dan tahan bila di tekan.
Sedangkan pada buah-buahan adabila sudah layak konsumsi seperti sudah memerah atau menguning
pada buah korma. Penjelasan tentang layak konsumsi ini ada dalam beberapa hadits diantaranya :
a. Hadits Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu secara marfû’ dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Haditsnya berbunyi :
حغما يمر وتمعصغفا يمر
تغ ع: غوغما غزعهغوغها؟ غقاغل: نقي عغل.ععن بغي عنع ال نثيغمانر غح ي غتى تمعزغهي
عل غي عنه غوغس يغلم غ
ن غغهى الن يغنب يمي غص يغلى اللمه غ
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli buah-buahan hingga matang. Ada yang bertanya,
‘Apa tanda matangnya?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Memerah dan menguning.’
[Muttafaqun ‘Alaih]
b. Hadits Anas Radhiyallahu anhu juga , beliau berkata:
ب غح ي غتى ي غعشتغ يغد
غو غ،ععن بغي عنع ال عنعن غنب غح ي غتى ي غعسغو يغد
عل غي عنه غوغس يغلم ن غغهى غ
أ غ يغن الن يغنب يغي غص يغلى اللمه غ
ععن بغي عنع عال غ
ح ني
Nabi melarang menjual anggur hingga berwarna kehitaman dan (melarang) dari jual beli biji-bijian
hingga masak. [HR Abu Daud, at-Tirmidzi dan Ibnu Mâjah dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh
Sunan Abi Daud 2/344]
c. Hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , beliau Radhiyallahu anhuma berkata :
ب
غونفعي ل غعفهظ لنل عبم غ. ن غغهى عالغبانئغع غوعالممبعغتاغع،ععن بغي عنع ال نثيغمانر غح ي غتى ي غبعمدغو غصل غمحغها
غكاغن نإغذا مسنئغل غ:خانرعي
عل غي عنه غوغس يغلم غ
ن غغهى غرمسعومل اللنه غص يغلى اللمه غ
غح ي غتى تغعذغه غ:ععن غصل غنحغها غقاغل
عاغهتمغها
غ
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli buah-buahan hingga nampak layak. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang yang jual dan yang membeli. (Dalam lafadz Imam al-Bukhâri) :
Apabila Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang layaknya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, ‘Hingga hamanya hilang’ [Mmuttafaqun ‘Alaihi].
Apabila buah-buahan sudah nampak layak dikonsumsi atau biji-bijian sudah matang, maka diwajibkan
padanya zakat, ini menurut pendapat yang rajih dalam hal ini. Sebagian Ulama ada yang berpegang
kepada keumuman firman Allâh Azza wa Jalla pada surat al-An’âm ayat ke-141 untuk mewajibkan
zakat pertanian pada saat panennya. Namun mayoritas Ulama memandang waktu wajibnya zakat
pertanian adalah ketika sudah matang dan pada hasil perkebunan ketika layak konsumsi. [lihat alMughni 4/169 dan Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’ 4/89].
Apa manfaat dari mengetahui waktu kewajiban zakat ini ? Manfaatnya adalah pemilik seandainya
beraktifitas pada buah-buahan atau biji-bijian tersebut sebelum terkena kewajiban zakat maka dia
tidak berdosa. Seperti seseorang yang mengkonsumsi hewan ternaknya atau menjualnya sebelum
genap setahun maka ia tidak mengapa dan tidak dikenai hukuman apapun. Dia tidak berdosa dengan
syarat tidak ada maksud atau niatan untuk lari dari kewajiban zakat. Apabila ia sengaja melakukan
sesuatu dengan niatan dan maksud lari dari kewajiban zakat maka kewajiban zakat tetap berlaku dan
tidak gugur. Tidak akan dianggap masuk masa wajib zakat hingga hasil bumi tersebut masuk
kelumbung atau tempat penyimpanan. Seandainya hasil bumi tersebut hilang atau berkurang sebelum
waktu tersebut tanpa ada kesengajaan, maka tidak ada zakat padanya (bila tidak sampai sisanya
nishab) walaupun sudah ditebas atau belum. Apabila hilang setelah masuk dalam penyimpanan,
menurut Ibnu Qudâmah hukumnya menjadi tanggungannya, karena kewajiban sudah masuk dalam
tanggung jawabnya, sehingga menjadi hutangnya. [lihat al-Mughni, 4/169-171]
Berdasarkan hal ini maka hasil pertanian dan perkebunan memiliki tiga keadaan:
a. Hilang atau lenyap sebelum masa kewajiban zakat yaitu sebelum biji-bijian menjadi masak dan
sebelum buah-buahan layak konsumsi, maka pemiliknya tidak dikenakan apa-apa, baik ada unsur
kesengajaan atau keteledoran atau tanpa keduanya, kecuali bila sengaja untuk lari dari kewajiban
zakat.
b. Hilang atau lenyap setelah masa wajib zakat namun belum sampai disimpan dalam lumbung atau
tempat penyimpanan. Maka hukumnya dirinci, bila karena kesengajaan atau keteledoran pemilik maka
ia wajib mengganti zakat tersebut dan bila tanpa kesengajaan dan keteledoran maka tidak ada
kewajiban mengganti zakat tsrebut.
c. Hilang atau lenyap setelah disimpan, maka imam Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan wajib
menunaikan zakatnya dalam semua keadaan, baik ada kesengajaan atau tidak, karena zakat sudah
masuk masa wajibnya dan menjadi tanggung jawabnya. (al-Mughni 4/170-171). Sedangkan syaikh
Ibnu Utsaimin menyatakan, “Yang benar dalam keadaan yang ketiga ini adalah tidak wajib zakat
selama tidak ada unsur kesengajaan atau keteledoran; karena harta yang ada padanya setelah
disimpan ditempat penyimpanan adalah amanah. Apabila ada kesengajaan atau keteledoran seperti
menunda-nunda pembayaran zakatnya sampai harta tersebut dicuri atau yang sejenisnya, maka ia
bertanggung jawab (menggantinya). Apabila tidak ada kesengajaan atau keteledoran dan telah
berusaha semampunya untuk segera membayarnya namun hilang juga dengan adanya usaha yang
benar dalam memelihara dan menjaganya, maka tidak ada kewajiban menggantinya.[asy-Syarhu alMumti’ 6/82].
UKURAN ZAKAT HASIL PERTANIAN DAN PERKEBUNAN
Ukuran zakat hasil pertanian dan perkebunan ini dapat dirinci dalam 5 keadaan:
1. Diwajibkan mengeluarkan seper sepuluh (10 %) apabila disiram tanpa pembiayaan (tadah hujan dan
sejenisnya), seperti pertanian tadah hujan, pertanian menggunakan sungai dan mata air
2. Wajib mengeluarkan seperduapuluh (5 %) apabila diairi dengan pembiayaan, berdasarkan hadits
Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
نفي عغما غسغق ن
ننعصمف ال عمعمشنر: غوغما مسنقغي نبالن يغعضنح، ال عمعمشمر: عغثري يا ه
أ غعو غكاغن غ،ت اليسمامء غوعالمعي معومن
Pada pertanian yang tadah hujan atau mata air atau yang menggunakan penyerapan akar (atsariyan)
diambil sepersepuluh dan yang disirami dengan penyiraman maka diambil seperduapuluh. [HR alBukhâri]
3. Diwajibkan mengeluarkan 7,5 % apabila diairi dengan pembiayaannya 50 % dan tadah hujannya 50
%. Hal ini sudah menjadi Ijma’ (kesepakatan) para Ulama sebagaimana disampaikan Ibnu Qudâmah
dalam al-Mughni 4/165. Lihat juga ar-Raudh al-Murbi’ dengan Hasyiyah Ibnu Qâsim 2/277.
4. Yang diairi dengan pembiayan dan non pembiayaan secara bergantian. Contohnya sawah yang diairi
dengan irigasi yang bayar dan juga terkena hujan, maka dilihat mana yang paling berpengaruh pada
pertumbuhan tanaman tersebut. Bila yang tadah hujan yang labih dominan maka diwajiban
mengeluarkan 10 % dan bila sebaliknya maka diwajibkan 5 % saja.
5. Apabila tidak diketahui ukuran mana yang dominan maka diwajibkan mengeluarkan 10 %, karena
pada asalnya diwajibkan zakat 10 % hingga diketahui dengan jelas bahwa itu diairi dengan
pembiayaan. (al-Mughni 4/166).
Demikian beberapa hukum seputar zakat hasil pertanian dan perkebunan, semoga bermanfaat
JUAL BELI
B. Hadits Mengenai Larangan Jual Beli Binatang Dalam Kandungan
عن عبد الله بن عمر رضى الله عنهما ان رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى عن
بيع حبل الحبلة وكان بيعا يتبا يعه اهل الجاهلية كان الرجل يبتع الجزور الى ان تنتج
.اااااااااااااااااا
ه
اااااااااااااااىاا بطن
ف
ااااااااااااااام تناااااااااااااااتجاا ااااااااااااااااتلااى
ث
اااااااااااااااةاا
ق
النا
[2
Dari Abdullah bin Umar r.a. bahwasannya Rosululloh saw melarang dari menjual apa (janin)
yang masih dalam perut onta, hal itu merupakan jual beli yang berjalan dimasa jahiliyah, dulu,
seseorang menjual onta sampai dilahirkannya anak onta, kemudian (menjual) apa yang didalam
perutnya.(Muttafaq ‘Alaih dan lafadznya adalah lafadz Bukhori)[3]
ان النبي صلى,, عن ابن عمر, عن نا فع, عن ايوب, حدثنا حما دبن زيد.حدثنا قتيبة
حبل
بيع
عن
نهى
وسلم
عليه
الله
.الحبلة
Qutaibah menceritakan kepada kami, Hammad bin Zaid menceritakan kepada kami dari Ayyub
dari Nafi’ dari Ibnu Umar: bahwasannya Rosululloh saw melarang menjual anaknya hewan yang
berada dalam kandungan.
Didalam bab ini ada hadist yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas dan Abu Said AlKhudzriy. Hadistnya ibnu umar hadist hasan shahih. Yang mengamalkan hadist ini adalah
sebagian ulama’. Adapun habalul habalah adalah Menjual anak dari anaknya binatang yang akan
dilahirkan, atau penjualan anak hewan dengan harga yang akan diserahkan ketika anaknya
beranak. Akad ini tidak sah. Jual beli semacam ini menurut ulama’ adalah jual beli yang rusak
(batal) dan termasuk tipuan. Syu’bah telah meriwayatkan hadist ini dari ayyub dari sa’id bin
jubair dari ibnu Abbas. Abdul Wahhab As tsaqafi dan yang lainnya meriwayatkan hadist ini dari
ayyub dari sa’id bin jubair dan nafi’ dari umar dari nabi .saw. Hadist inilah yang paling shohih.
[4]
C. Hukum Jual Beli Binatang dalam Kandungan
Jual beli anak binatang dalam kandungan termasuk jual beli gharar, karena terdapat dua perkara yang tidak
jelas. Jual beli gharar adalah Transaksi yang mengandung tipuan dari salah satu pihak sehingga pihak yang lain dirugikan.
[5] Oleh sebab itu, tidak boleh dipraktekkan. Dan hukum jual beli gharar dalam syari’at Islam,termasuk
jual beli terlarang,
dengan dasar sabda: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi.“Artinya :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar”.(HR.Muslim)
Selain At-tirmidzi, Al-Baghawipun berkata dalam Syarhus Sunnah(VIII/137), "Inilah
pendapat yang diamalkan oleh mayoritas ahli ilmu, yaitu menjual anak unta yang masih dalam
kandungan tidak boleh karena barang yang dijual masih belum jelas dan belum ada. Jual beli ini
termasuk jual beli Jahiliyyah. Andai kata ia menjual binatang dengan harga tertentu hingga
binatang tersebut lahir juga bathil karena belum ada kejelasannya."dan juga Ibnu Hibban berkata
(XI/323), "Larangan jual beli habalul habalah adalah seseorang membeli unta (dengan
pembayaran bertempo) yang harus ia lunasi pembayarannya sampai unta tersebut beranak
kemudian anak yang dilahirkannya itu beranak pula. Terdapat dua bentuk ketidakjelasan dalam
jual beli ini dan tidak boleh dipraktekkan.[6]
. Menjual barang yang tidak jelas adalah terlarang setiap transaksi perdagangan yang
memberi peluang terjadinya persengketaan, karena barang yang dijual itu tidak diketahui atau
karena ada unsur penipuan yang dapat menimbulkan pertentangan antara si penjual dan pembeli,
atau karena karena ditakutkan salah satu ada yang menipu. Cara ini dilarang oleh Rasulullah
sebagai uasah menutup pintu perbuatan maksiat. Larangan ini berkisar karena beberapa sebab:
a. karena ada usaha membantu perbuatan maksiat
b. karena ada unsur-unsur penipuan
c. karena ada unsur-unsur pemaksaan
d. karena adanya perbuatan zalim oleh salah satu pihak yang sedang mengadakan perjanjian dan
sebagainya.
Karena itu, dilarang pula menjual binatang yang masih dalam kandungan, menjual
burung yang terbang di udara, dan semua macam jual beli yang terdapat unsur-unsur yang masih
samar. Ini semua karena tidak diketahui secara pasti benda yang dijual itu.
Akan tetapi, tidak semua yang masih samar itu terlarang. Sebab sebagian barang ada
yang tidak lepas dari kesamaran. Misalnya orang yang akan membeli sebuah rumah, tidak
mungkin ia dapat mengetahui pondasi dan apa yang ada didalam temboknya itu. Tetapi yang
dilarang ialah kesamaran yang ada unsur-unsur kejahatan yang memungkinkan dapat membawa
kepada permusuhan dan pertentangan atau memakan harta orang lain dengan cara yang batil.[7]
Apa Hukumnya Jual-Beli Ijon (Yang
Belum Siap Dipanen), Halal atau
Haram?
08.28 Bisnis , Fiqih , Hukum , Jual-Beli , Muamalah
ل
ه
صل ل ه
مرر ل
أ ت
ح ه
ن ب لي برع الث ت ل
حتتى ي لب بد هول ل
ي صلى الله عليه وسلم ن للهى ع ل ب
ن الن تب ر ت
Sesungguhnya Nabi saw. telah melarang untuk menjual buah hingga mulai tampak
kelayakannya (HR Muslim, an-Nasa’i, Ibn Majah dan Ahmad).
Imam Muslim meriwayatkan hadis ini dari Yahya bin Yahya, Yahya bin Ayyub, Qutaibah dan
Ibn Hujrin; semuanya dari Ismail bin Ja’far, dari Abdullah bin Dinar, dari Ibn Umar. Dari jalur
Ahmad bin Utsman an-Nawfali dari Abu ‘Ashim; dari Muhammad bin Hatim, dari Rawh, dan
keduanya (Rawh dan Abu ‘Ashim) dari Zakariya’ bin Ishaq, dari Amru bin Dinar, dari Jabir bin
Abdullah.
Imam Ahmad meriwayatkannya dari Abdullah bin al-Harits, dari Siblun, dari Amru bin Dinar,
dari Jabir bin Abdullah, Ibn Umar dan Ibn Abbas. An-Nasai meriwayatkannya dari Qutaibah
bin Said, dari Sufyan dari az-Zuhri, dari Salim, dari Ibn Umar.
Ibn Majah meriwayatkannya dari Hisyam bin ‘Amar, dari Sufyan, dari Ibn Juraij, dari ‘Atha’,
dari Jabir bin Abdullah.
Defenisinya
Manthûq (makna tekstual) hadis ini menunjukkan larangan menjual buah ( ats-tsamar [hasil
tanaman]) yang masih berada di pohonnya kalau belum mulai tampak kelayakannya.
Sebaliknya, mafhûm al-mukhâlafah(pemahaman kebalikannya) hadis ini menunjukkan, dalam
Islam boleh hukumnya menjual buah yang masih di pohonnya kalau telah mulai tampak
kelayakannya.
Maksud yabduwa shalâhuhu (mulai tampak kelayakannya) dijelaskan oleh riwayat lainnya.
Dalam riwayat dari Jabir bin Abdullah ra. dikatakan “hatta yathîba (hingga masak)” (HR alBukhari dan Muslim), atau “hatta yuth’ama (hingga bisa dimakan) (HR Muslim dan an-Nasa’i).
Dalam riwayat yang lain, Jabir ra., menuturkan:
ل
ح لقا ل
قي ل
ما ت ه ب
حتتى ت ه ب
ل
ش ر
ح فل ر
ش ر
ق ه
ق ل
ملرة ه ل
ي صلى الله عليه وسلم أ ب
ل ول ل
ن ت هلباع ل الث ت ل
ن للهى الن تب ر ي
فاير ولي هؤ بك ل ه
من بلها
ص ل
ل ر
تل ب
ح ل
ماير ولت ل ب
Nabi saw. melarang buah dijual hingga tusyqih, Ditanyakan, “Apa tusyqih itu?” Beliau menjawab,
“Memerah dan menghijau serta (bisa) dimakan darinya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ibn ‘Abbas menuturkan:
ه أ لوب ي لأ بك ه ل
حتتى ي هؤ بك ل ل
حتتى
ن ب لي برع الن ت ب
ل ر
ل ر
ه ول ل
ل ل
من ب ه
من ب ه
خ ر
ي صلى الله عليه وسلم ع ل ب
»ن للهى الن تب ر ي
ن
هيولز ل
Nabi saw. telah melarang menjual kurma hingga bisa dimakan darinya atau orang bisa
makan darinya dan hingga bisa ditimbang (HR al-Bukhari).
Jadi, batasan buah yang masih ada di pohonnya bisa dijual ialah kalau telah layak
dimakan. Tanda-tanda buah itu sudah bisa dimakan berbeda-beda sesuai dengan jenis
buahnya. Hal itu telah diisyaratkan di dalam riwayat Anas bin Malik ra.:
ل
سو ل
ب
ح ب
ن ب لي برع ال ب ل
ب ل
»أ ت
حتتى ي ل ب
ن لر ه
ن ب لي برع ال بعرن ل ر
سولد ت ولع ل ب
ل الل تهر صلى الله عليه وسلم ن للهى ع ل ب
حتتى ي ل ب
شت لد ت
ل
Rasulullah saw. melarang menjual anggur hitam hingga warnanya menghitam dan menjual
biji-bijian hingga sudah keras (HR Abu Dawud).
Dalam hal buah-buahan, secara umum terdapat dua jenis. Pertama: buah-buahan yang ketika
sudah tua/cukup umur bisa dipetik dan selanjutnya bisa masak, seperti mangga, pisang,
pepaya,
dsb.
Kalau telah ada semburat warna merah atau kuning yang menandakan sudah cukup tua,
buah itu bisa dipetik dan nantinya akan masak kalau belum tampak tanda-tanda seperti itu
buah dipetik maka tidak bisa masak. Buah-buahan jenis ini, kalau telah tampak tanda-tanda
perubahan warna itu, yakni sudah cukup tua untuk dipetik, maka sudah boleh dijual meski
masih
di
pohonnya.
Kedua, buah-buahan yang harus dipetik ketika sudah masak seperti semangka, jambu,
salak, jeruk, anggur, rambutan dan sejenisnya. Kalau telah seperti itu maka buah yang
masih dipohonnya boleh dijual. Halal hukumnya. Batas tersebut bisa diketahui dengan
mudah oleh orang yang berpengalaman tentangnya.
Ada juga tanaman yang kebanyakan dari jenis sayuran seperti ketimun, buncis, kacang
panjang, dsb, yang sekiranya bunganya sudah berubah menjadi buah, maka saat itu sudah
mulai layak untuk dikonsumsi. Buah tanaman sejenis ini, andai bunga sudah berubah
menjadi buah, sudah boleh dijual. Halal hukumnya dalam Islam. Adapun jenis biji-bijian,
seperti padi, kedelai, jagung dan sebagainya, maka sesusai hadis Anas di atas, sudah boleh
dijual
ketika
sudah
keras.
Tampaknya kelayakan buah untuk dikonsumsi itu tidak harus terpenuhi pada seluruh buah di
kebun. Hal itu sukar sekali. Sebabnya, buah di satu kebun bahkan satu pohon memang
tidak memiliki tingkat ketuaan yang sama dan tidak bisa masak secara bersamaan. Ketuaan
dan menjadi masak itu terjadi secara bertahap hingga seluruh buah di kebun menjadi
tua/masak.
Karena itu, maksud yabduwa shalâhuhu itu adalah kalau ada sebagian buah sudah layak
dikonsumsi, maka buah yang sama di satu kebun itu boleh dijual semuanya, baik yang
sudah mulai masak maupun yang belum. Batas mulai layak dikonsumsi itu bergantung pada
masing-masing jenis buah. Misalnya kalau telah ada sebagian mangga yang masak maka
semua
mangga
yang
ada
di
satu
kebun
itu
boleh
dijual.
Jika ada sebagian semangka yang sudah layak dikonsumsi maka seluruh semangka jenis
yang sama di kebun itu boleh dijual, termasuk yang masih muda. Jika sudah ada sebagian
bunga ketimun yang berubah menjadi buah maka semua ketimun di seluruh kebun itu boleh
dijual. Sekiranya ada ada sebagian tongkol jagung manis sudah layak dipetik, maka semua
jagung manis di kebun itu boleh dijual. Begitulah hukumnya dalam Islam, halal.
Jika buah yang masih di pohon itu dijual, lalu terjadi bencana cuaca seperti hujan, angin,
hawa dingin, angin kering/panas, dsb, maka penjual wajib menarik diri dari harga buah yang
mengalami cacat atau rusak dan mengembalikannya kepada pembeli. Jabir ra. menuturkan
bahwa
Nabi
saw.
pernah
bersabda:
ب
ب
ل
ل لل ل ل
خي ل
ما ل
ح ي
ه ل
ل
م ت لأ ه
ن ت لأ ه
ة فلل ل ي ل ر
ح ة
ن أل ر
خذ ل ر
ت ر
كأ ب
جائ ر ل
ه ل
إر ب
خذ ه ل
شي بئئا ب ر ل
من ب ه
صاب لت ب ه
ك ثل ل
ن ب رعب ل
مئرا فلأ ل
م ب
خي ل
أل ر
ك ب رغلي برر ل
حق ق
Jika engkau menjual buah kepada saudaramu, lalu terkena bencana, maka tidak halal
bagimu mengambil sesuatu pun darinya karena (ketika itu) engkau mengambil harta
saudaramu tidak secara haq (HR Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i).
ISLAM DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN
II. Pelestarian Alam dan Lingkungan dalam al-Quran
Dalam al-Quran, dijelaskan mengenai dimensi alam semesta yang secara makro berpusat pada dua tempat, bumi dan
langit, dan menyatakan bahwa semua yang diciptakan adalah untuk manusia. Allah telah menggariskan takdirnya atas
bumi, yaitu: Pertama kalinya, Allah memberikan fasilitas terbaik bagi semua penghuni bumi.
Dan Allah swt ciptakan lautan yang maha luas dengan segala kekayaan di dalamnya
Allah swt berfirman:
Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar
(ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya,
dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur. (QS. an-Nahl : 14)
Dan air hujan yang menghidupkan bumi setelah masa-masa keringnya.
Allah swt berfirman:
Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan,
maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau
itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan
(Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya
berbuah, dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi orang-orang yang beriman. (QS. Al-An’am : 99)
Dan dalam surat Ibrahim Allah swt berfirman:
Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan
dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezeki untukmu, dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya
bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.
(QS. Ibrahim : 32).
Tak sekedar itu, Allah