Laporan Akhir Rencana Kebutuhan Investasi Metropolitan BODEBEKKARPUR 2016

ISEI BANDUNG BAPPEDA PROVINSI

JAWA BARAT

JAWA BARAT

Laporan Akhir Rencana Kebutuhan Investasi Metropolitan BODEBEKKARPUR 2016

DAFTAR ISI

Halaman BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Identifikasi Masalah dan Pertanyaan Penelitian

1.3 Tujuan dan Saran

1.4 Ruang Lingkup Kegiatan

BAB II STUDI KEPUSTAKAAN

2.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

2.2.1 Proses Investasi

2.2.2 Daya Tarik Investasi

2.2.3 Pendekatan Investasi

2.3 Pengertian Output dan Nilai Tambah

2.4 Rasio Modal Output (COR) dan Rasio Modal Output

27 Marginal (ICOR)

2.5 Penelitian Terdahulu

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Penelitian

3.2 Objek Penelitian

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Metode Pengumpulan Data

3.3.2 Metode Analisis Data

3.4 Metode Perhitungan

3.5 Metode Analisis ICOR (Incremental Capital Output

37 Ratio)

3.5.1 ICOR (Incremental Capital Output Ratio)

3.5.2 Formula Menghitung Rencana Kebutuhan Investasi

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH

4.1 Kondisi Fisik dan Geografis

4.2 Rencana Pengembangan wilayah Metropolitan

4.2.1 Isu Pengembangan Wilayah

4.2.2 Isu Investasi

4.3 Kondisi Sosial – Kependudukan

4.3.1 Ruang Lingkup Wilayah Dan Jumlah Penduduk

52 Metropolitan Bodebekkarpur Tahun 2010 Dan 2025

4.3.2 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Bodebekkarpur

53 Tahun 2010 – 2015

4.3.3 Kondisi Perekonomian

4.3.4 Analisis SWOT Kabupaten/Kota di Metropolitan

58 Bodebekkarpur

72 Gerbangkertosusilo, Dan Sarbagita

4.4 Kajian Komparatif Metropolitan Mebidangro,

4.4.1 Metropolitan Mebidangro

4.4.2 Analisis SWOT Metropolitan Mebidangro

4.4.3 Metropolitan Gerbangkertasusilo

4.4.4 Analisis SWOT Metropolitan Gerbangkertosusilo

4.4.5 Metropolitan Sarbagita

4.4.6 Analisis SWOT Metropolitan Sarbagita 103

BAB V KEBUTUHAN INVESTASI DI WILAYAH 106 BODEBEKKARPUR

5.1 Analisis Investasi Jawa Barat dan Kawasan Metropolitan

5.1.1 Analisis Investasi Jawa Barat 106

5.1.2 Analisis Investasi Wilayah Bodebekkarpur 114

5.1.3 Analisis Komparatif Pertumbuhan Investasi Jawa Barat

124 dengan Wilayah Bodebekkarpur

5.1.4 Analisis ICOR Kabupaten/Kota Metropolitan 127 Bodebekkarpur

5.2 Analisis SWOT Investasi Bodebekkarpur 133

ii

5.2.1 Strengths (Kekuatan) 134

5.2.2 Weaknesses (Kelemahan) 136

5.2.3 Opportunities (Kesempatan) 137

5.2.4 Threats (Hambatan) 141

5.2.5 Matriks IFAS EFAS 142

5.3 Road Map Kebutuhan Investasi Metropolitan 148 Bodebekkarpur

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 151

6.1 Kesimpulan 151

6.2 Rekomendasi Kebijakan 152

iii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Kaitan Investasi dalam Pertumbuhan Wilayah

2.1 Faktor Penarik Investasi

2.2 Pedoman Rancangan Rencana Investasi Provinsi Jawa

23 Barat

2.3 Bentuk Kerjasama Pemerintah-Swasta (Kemitraan)

3.1 Kerangka Pemikiran

3.2 Proses Penelitian Analisa Deskriptif

3.3 Analisa Data Deskriptif

4.1 Peta Metropolitan Bodebekkarpur 2010

4.2 Tiga Metropolitan di Jawa Barat

4.3 Potensi Bodebekkarpur

5.1 Metropolitan Bodebekkarpur Tahun 2020 116

5.2 Posisi Strategis Bodebekkarpur sebagai penghubung 134 DKI Jakarta dan Metropolitan Bandung Raya

5.3 Konsep Twin Metropolitan Bodebekkarpur 137

5.4 Jalur Kereta Cepat : Jakarta Sura Baya 138

5.5 Jumlah Perjalanan Harian Komuter dari Bodebekkarpur

140 ke Jakarta

5.6 Jumlah Orang Melakukan Perjalanan dari Bodetabek ke

140 DKI Jakarta (Tahun 2011)

5.7 Matrix SWOT Bodebekkarpur 146

iv

DAFTAR GRAFIK

Grafik Halaman

4.1 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Metropolitan

55 BodebekkarpurMenurut LapanganUsaha Tahun 2011 – 2015

4.2 Struktur Ekonomi Kabupaten/Kota di Bodebekkarpur Menurut

56 LapanganUsaha Tahun 2011 (%)

5.1 Pertumbuhan Investasi di Wilayah Bodebekkarpur Tahun 119 2011-2015

5.2 Distribusi Investasi di Wilayah Bodebekkarpur 120 Tahun 2011-2015

5.3 Pertumbuhan PMDN di Wilayah Bodebekkarpur 121 Tahun 2011 - 2015

5.4 Distribusi PMDN di Bodebekkarpur 122

5.5 Pertumbuhan PMA di Bodebekkarpur 123

5.6 Distribusi PMA di Bodebekkarpur 123

5.7 ICOR Bodebekkarpur 128

5.8 Distribusi Kebutuhan Investasi Metropolitan Bodebekkarpur 130

DAFTAR TABEL

TABEL Halaman

1.1 Perbandingan Laju Pertumbuhan Ekonomi dan IPM DKI

4 Jakarta dan Bodebekkarpur Tahun 2012-2015

1.3 Kondisi Investasi dan Penyerapan Tenaga Kerja Terbesar di

8 Jawa Barat (Triwulan I Tahun 2016)

4.1 Ruang Lingkup Wilayah Dan Jumlah Penduduk

52 Metropolitan Bodebekkarpur Tahun 2010 Dan 2025

4.2 IPM Bodebekkarpur Tahun 2010-2015

4.3 PDRB Bodebekkarpur Tahun 2010-2015

5.1 Realisasi Investasi di Jawa Barat Periode Tahun 2011 – 108 2015 (Dalam Juta Rupiah)

5.2 Jumlah Proyek Investasi dan Tenaga Kerja di Jawa Barat 111 Periode Tahun 2011 – 2015

5.3 Sektor Usaha Proyek Investasi di Jawa Barat Periode Tahun 112 2011 - 2015

5.4 Pertumbuhan dan Distribusi Investasi di Wilayah 119 Bodebekkarpur Selama Periode Tahun 2011 – 2015

5.5 Pertumbuhan dan Distribusi PMDN di Wilayah 120 BodebekkarpurSelama Periode Tahun 2011 – 2015

5.6 Pertumbuhan dan Distribusi PMA di Wilayah 122 Bodebekkarpur Selama Periode Tahun 2011 – 2015

5.7 Perbandingan Pertumbuhan dan Share Investasi Jawa Barat 125 dengan Bodebekkarpur Periode Tahun 2011 – 2015

5.8 Perbandingan Perkembangan PMDN dan PMA Jawa Barat 126 dengan Bodebekkarpur Periode Tahun 2011 – 2015

5.9 ICOR Kabupaten /Kota di Metropolitan Bodebekkarpur 127 Periode Tahun 2012-2015

5.10 Rencana Kebutuhan Investasi Kabupaten/Kota Metropolitan

vi

Bodebekkarpur Periode Tahun 2016-2020

5.11 Rencana Kebutuhan Investasi Kabupaten/Kota Metropolitan

130 Bodebekkarpur Periode Tahun 2021-2025

5.12 Internal Factor Analysis Summary (IFAS) 143

5.13 External Factor Analysis Summary (EFAS) 144

5.14 Road Map Kebutuhan Investasi Metropolitan 149 Bodebekkarpur

vii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peningkatkan kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan akhir pembangunan ekonomi. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah pusat hingga daerah diarahkan untuk menggunakan semua sumberdaya yang dimilikinya untuk mencapai tujuan tersebut yang diskenariokan dalam beragam bentuk serta bauran skenario kebijakan serta program pembangunan ekonomi. Dalam perkembangannya, skenario kebijakan serta program yang digagas oleh satu pemerintah daerah serta pemerintah daerah lainnya memungkinkan adanya perbedaan. Perbedaan tersebut terjadi karena permasalahan satu daerah dengan daerah lainnya juga berbeda, selain adanya faktor inovasi atau kreativitas masing- masing daerah dalam menyelesaikan permasalahan pembangunannya. Sebagai bentuk implementasi dari kreativitas kebijakan serta mencermati permasalahan yang ada, Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Bappeda Provinsi Jawa Barat berusaha merancang strategi peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui inovasi-inovasi dalam rencana-rencana teknis bidang perencanaan.

Kesejahteraan penduduk dipengaruhi oleh berbagai indikator seperti pertumbuhan ekonomi, investasi, inflasi, dan indikator makro ekonomi lainnya. Dalam hal ini pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator utama yang dapat merepresentasikan perubahan tingkat kesejahteraan penduduk. Oleh karena itu, tujuan dari pembangunan ekonomi di semua daerah berorientasi pada faktor-

faktor yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun pada kenyataannya dalam implementasi perencanaan pembangunan daerah dihadapkan pada sumber daya yang terbatas, baik itu anggaran pemerintah maupun ketersediaan sumber daya yang lain seperti: lahan, tenaga kerja, teknologi, wirausaha, dan modal. Dengan anggaran negara yang terbatas seharusnya mampu dioptimalkan guna mencapai laju pertumbuhan ekonomi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan yang relatif tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini diperlukan untuk mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan, namun demikian hal tersebut tidak selalu berjalan sebagaimana yang diharapkan.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga harus didukung oleh infrastruktur yang memadai serta kebijakan terkait yang dibuat daerah masing-masing, sedangkan salah satu syarat agar wilayah tersebut memiliki kondisi infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah dengan adanya peningkatan jumlah investasi yang ditanamkan. Dalam konteks Jawa Barat ada tiga wilayah metropolitan (Bodebekkarpur, Cirebon Raya dan Bandung Raya) yang akan didisain dalam pengembangan investasi. Wilayah Metropolitan didefinisikan merupakan wilayah cepat tumbuh penuh persaingan yang mempunyai peran penting dalam membangun ekonomi wilayah, mensejahterakan masyarakat, modernisasi, dan keberlanjutan pembangunan, sehingga perlu dikelola dengan baik dan dikembangkan sebagai penggerak percepatan pembangunan di daerah. Fenomena perkembangan metropolitan di Jawa Barat ditandai oleh aglomerasi ekonomi, aglomerasi penduduk, serta peningkatan intensitas lahan terbangun dan aktivitas sosial masyarakat.

Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Metropolitan dan Pusat Pertumbuhan di Jawa Barat, dijelaskan bahwa wilayah Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Purwakarta yang selanjutnya disebut Metropolitan Bodebekkarpur adalah kesatuan wilayah perkotaan yang terbentuk karena aglomerasi kegiatan ekonomi, aglomerasi aktivitas sosial masyarakat, aglomerasi lahan terbangun, dan aglomerasi penduduk mencapai 11,6 juta jiwa terletak di 82 kecamatan dalam 7 Kabupaten/Kota yaitu Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Bogor, sebagian wilayah Kabupaten Bekasi, sebagian wilayah Kabupaten Bogor, sebagian wilayah Kabupaten Karawang dan sebagian wilayah Kabupaten Purwakarta dengan total luas 314.840 Ha (Sumber: BPS Jawa Barat, 2011).

Metropolitan Bodebekkarpur berlokasi tepat bersebelahan dengan Metropolitan DKI Jakarta. Kedudukan Bodebekkarpur saat ini cenderung lebih bersifat sebagai metropolitan level kedua (2nd tier) dan (hinterland) bagi DKI Jakarta. Bodebekkarpur saat ini juga cenderung sering dikonotasikan sebagai kota kediaman (dormitory town), sedangkan berbagai kegiatan yang memberikan nilai tambah berlokasi di DKI Jakarta. Konsep Twin Metropolitan Bodebekkarpur dan DKI Jakarta yaitu mengembangkan Bodebekkarpur sebagai metropolitan tingkat pertama (1st tier) berdampingan dengan DKI Jakarta yang juga berperan sebagai kota metropolitan tingkat pertama (1st tier). Kedepan wilayah Metropolitan Bodebekkarpur dikembangkan sebagai metropolitan mandiri dengan sektor Metropolitan Bodebekkarpur berlokasi tepat bersebelahan dengan Metropolitan DKI Jakarta. Kedudukan Bodebekkarpur saat ini cenderung lebih bersifat sebagai metropolitan level kedua (2nd tier) dan (hinterland) bagi DKI Jakarta. Bodebekkarpur saat ini juga cenderung sering dikonotasikan sebagai kota kediaman (dormitory town), sedangkan berbagai kegiatan yang memberikan nilai tambah berlokasi di DKI Jakarta. Konsep Twin Metropolitan Bodebekkarpur dan DKI Jakarta yaitu mengembangkan Bodebekkarpur sebagai metropolitan tingkat pertama (1st tier) berdampingan dengan DKI Jakarta yang juga berperan sebagai kota metropolitan tingkat pertama (1st tier). Kedepan wilayah Metropolitan Bodebekkarpur dikembangkan sebagai metropolitan mandiri dengan sektor

Berikut ini kita dapat melihat data laju pertumbuhan ekonomi dan IndeksPembangunan Manusia (IPM) antara DKI Jakarta dan Metropolitan Bodebekkarpur. Berdasarkan tabel 1.1 dapat kita lihat bahwa laju pertumbuhan ekonomi Metropolitan Bodebekkarpur memiliki rata-rata pertumbuhan ekonomi di atas DKI Jakarta. Dimulai pada tahun 2013 sampai pada tahun 2015 Metropolitan Bodebekkarpur selalu tumbuh melebihi pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta. Sementara kalau dilihat dari perbandingan IPM, DKI Jakarta masih lebih tinggi dibandingkan Metropolitan Bodebekkarpur. Angka IPM ini dapat mewakili kondisi sumber daya manusia yang ada di wilayah tersebut.

Tabel 1.1 Perbandingan Laju Pertumbuhan Ekonomi dan IPM

DKI Jakarta dan Bodebekkarpur Tahun 2012-2015

Pertumbuhan Ekonomi (%)

IPM

Tahun DKI Jakarta

Rata-rata

DKI Jakarta

72,41 Sumber: BPS Tahun 2015 DKI Jakarta dan Jawa Barat (data diolah)

Konsep Twin Metropolitan antara DKI Jakarta dan Bodebekkarpur dapat direalisasikan salah satunya dengan cara meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sehingga tingkat kesejahteraan dan IPM di wilayah tersebut dapat meningkat. Salah satu penentu pertumbuhan ekonomi adalah investasi, maka agar target itu dapat ditentukan secara realistis diperlukan suatu indikator yang berkaitan dengan Konsep Twin Metropolitan antara DKI Jakarta dan Bodebekkarpur dapat direalisasikan salah satunya dengan cara meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sehingga tingkat kesejahteraan dan IPM di wilayah tersebut dapat meningkat. Salah satu penentu pertumbuhan ekonomi adalah investasi, maka agar target itu dapat ditentukan secara realistis diperlukan suatu indikator yang berkaitan dengan

Dengan melihat ICOR suatu wilayah, lembaga yang melakukan perencanaan ekonomi dapat memperkirakan berapa kebutuhan investasi yang diperlukan untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu. Apabila dari APBD setempat tidak dapat menunjang besarnya investasi yang diperlukan, maka sektor swasta harus dipacu untuk melengkapi. Agar pelaksanaan pembangunan dapat lebih operasional, maka target pertumbuhan harus dibuat lebih dahulu, sebagai akibatnya maka koefisien ICOR tiap-tiap sektor harus ditentukan, sehingga kebutuhan investasi di tiap-tiap sektor dapat ditentukan. Selain dampak Invetasi terhadap ekonomi juga perlu dilihat bagaimana penyerapannya terhadap tenaga kerja di wilayah Bodebekkarpur. Dengan demikian, ICOR memberikan gambaran tentang efisiensi dalam penggunaan modal (capital), memberikan gambaran tentang efisiensi penggunaan model produksi (capital intensive atau labour intensive ), dan merupakan alat perencanaan untuk memperkirakan kebutuhan investasi. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi, yakni melalui investasi yang didukung oleh produktivitas yang tinggi dan penyerapan tenaga kerja. Investasi akan memperkuat pertumbuhan ekonomi dengan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses Dengan melihat ICOR suatu wilayah, lembaga yang melakukan perencanaan ekonomi dapat memperkirakan berapa kebutuhan investasi yang diperlukan untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu. Apabila dari APBD setempat tidak dapat menunjang besarnya investasi yang diperlukan, maka sektor swasta harus dipacu untuk melengkapi. Agar pelaksanaan pembangunan dapat lebih operasional, maka target pertumbuhan harus dibuat lebih dahulu, sebagai akibatnya maka koefisien ICOR tiap-tiap sektor harus ditentukan, sehingga kebutuhan investasi di tiap-tiap sektor dapat ditentukan. Selain dampak Invetasi terhadap ekonomi juga perlu dilihat bagaimana penyerapannya terhadap tenaga kerja di wilayah Bodebekkarpur. Dengan demikian, ICOR memberikan gambaran tentang efisiensi dalam penggunaan modal (capital), memberikan gambaran tentang efisiensi penggunaan model produksi (capital intensive atau labour intensive ), dan merupakan alat perencanaan untuk memperkirakan kebutuhan investasi. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi, yakni melalui investasi yang didukung oleh produktivitas yang tinggi dan penyerapan tenaga kerja. Investasi akan memperkuat pertumbuhan ekonomi dengan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses

Infrastruktur

Daya Saing

Wilayah

Investasi

Lapangan Kerja

Pendapatan Pemerintah

X = Ekspor

C = Konsumsi

G = Pembiayaan Pemerintah

Pertumbuhan Wilayah PDRB = C + I + G + (X-M)

Gambar 1.1

Kaitan Investasi dalam Pertumbuhan Wilayah

Dari gambar 1.1 diatas kita dapat melihat bagaimana pengaruh investasi terhadap pertumbuhan wilayah dapat menyebabkan peningkatan lapangan kerja dan juga pendapatan pemerintah. Akan tetapi hal ini juga sangat ditentukan oleh kondisi infrastruktur dan juga daya saing wilayah itu sendiri. Oleh karena itulah kebijakan pemerintah memiliki peran yang sangat besar dalam menentukan berapa

besarnya investasi yang tertanam di wilayah tersebut. Perbaikan iklim investasi bukan hanya tanggungjawab pemerintah pusat, namun merupakan tanggung jawab seluruh jajaran pemerintahan dan masyarakat secara umum. Kebijakan desentralisasi pemerintahan di Indonesia yang mulai diterapkan sejak tahun 2001 telah mengamanatkan kepada pemerintah daerah untuk turut berperan besar dalam upaya penciptaan iklim investasi yang kondusif di daerahnya. Dengan kewenangan di bidang pemerintahan yang telah diserahkan kepada pemerintah daerah untuk lebih leluasa dalam menciptakan iklim investasi di daerahnya masing-masing. Proses pengambilan kebijakan pembangunan yang sebelumnya lebih banyak dikendalikan oleh pemerintah pusat, selanjutnya menjadi lebih dekat dengan masyarakat di daerah. Kesiapan dan kemampuan daerah dalam berkreasi, merupakan salah satu penentu keberhasilan pembangunan di daerah termasuk dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif. Untuk menjawab tantangan tersebut, langkah awal yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat adalah menghitung besarnya perkiraan investasi yang dibutuhkan untuk mencapai target pertumbuhan yang akan ditetapkan.

Investasi akan memperkuat pertumbuhan ekonomi dengan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi. Oleh karena memperbaiki iklim investasi merupakan suatu tugas yang penting bagi setiap pemerintah, terutama negara-negara yang memiliki daya saing investasi yang rendah seperti Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, kondisi iklim investasi di Indonesia dinilai masih memprihatinkan. Beberapa hasil survei lembaga internasional, memperlihatkan bahwa posisi peringkat daya saing investasi Indonesia masih berada pada Investasi akan memperkuat pertumbuhan ekonomi dengan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi. Oleh karena memperbaiki iklim investasi merupakan suatu tugas yang penting bagi setiap pemerintah, terutama negara-negara yang memiliki daya saing investasi yang rendah seperti Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, kondisi iklim investasi di Indonesia dinilai masih memprihatinkan. Beberapa hasil survei lembaga internasional, memperlihatkan bahwa posisi peringkat daya saing investasi Indonesia masih berada pada

Hal ini menunjukkan seriusnya persoalan iklim investasi di Indonesia yang harus segera disikapi oleh semua pihak. Di era globalisasi yang bercirikan liberalisasi perdagangan dan persaingan antar bangsa yang semakin sengit, segenap sektor ekonomi harus mampu menghasilkan barang dan jasa berdaya saing tinggi. Wilayah Bodebekkarpur memiliki potensi pembangunan yang besar dan beragam. Pengelolaan yang baik terhadap sektor-sektor tersebut dapat mengembangkan produk-produk unggulan. Berdasarkan paparan diatas investasi merupakan salah satu prasyarat untuk mendukung pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di wilayah Bodebekarpur agar dapat meningkatkan produktivitasnya dan dapat menjadi metropolitan mandiri dan menjadi Twin Metropolitan dari DKI Jakarta.

Tabel 1.2 Kondisi Investasi dan Penyerapan Tenaga Kerja Terbesar di Jawa Barat (Triwulan I Tahun 2016)

No.

Kab./Kota

Tenaga Kerja Jumlah (Rp Juta) Ratio (%) Jumlah (Orang) Ratio (%)

Investasi

1 Kab Bekasi

2 Kab Karawang

3 Kab Bogor

Sumber: BPMPT Jawa Barat

Berdasarkan data tabel 1.2 kita dapat melihat tingginya realisasi investasi yang ada di wilayah Bodebekkarpur. Peringkat pertama yang tertinggi adalah di Kabupaten Bekasi sebesar Rp.18,615 triliun dengan penyerapan tenaga kerja Berdasarkan data tabel 1.2 kita dapat melihat tingginya realisasi investasi yang ada di wilayah Bodebekkarpur. Peringkat pertama yang tertinggi adalah di Kabupaten Bekasi sebesar Rp.18,615 triliun dengan penyerapan tenaga kerja

Rencana teknis pengembangan metropolitan Bodebekkarpur sampai dengan tahap implementasinya, selain sudah dilengkapi dengan aturan hukum perundang-undangan dalam bentuk Perda, pada tahap selanjutnya diharapkan dapat didukung dengan adanya rencana kerja teknis maupun pentahapan implementasi kebijakan yang terstruktur dan terukur. Untuk itu, dalam kerangka tersebut salah satunya dibutuhkan desain perencanaan kebutuhan investasi di kawasan Bodebekkarpur. Perencanaan kebutuhan investasi di kawasan Bodebekkarpur diantaranya didasari pada pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan finansial dengan memperhatikan bahwa kawasan Bodebekkarpur merupakan bagian dari pusat penggerak perekonomian Jawa Barat, terutama dilihat dari indikator perkembangan investasi langsung (direct investment) di Jawa Barat.

Dengan adanya fenomena dan latar belakang tersebut perlu kiranya penyusunan kebutuhan investasi yang ada di wilayah Bodebekkarpur untuk meningkatkan pembangunan ekonomi, kesejahteraan, modernitas, peningkatan daya saing, dan keberlanjutan masyarakat melalui pengembangan metropolitan mandiri berbasis industri manufaktur, industri keuangan, jasa, perdagangan, hotel, Dengan adanya fenomena dan latar belakang tersebut perlu kiranya penyusunan kebutuhan investasi yang ada di wilayah Bodebekkarpur untuk meningkatkan pembangunan ekonomi, kesejahteraan, modernitas, peningkatan daya saing, dan keberlanjutan masyarakat melalui pengembangan metropolitan mandiri berbasis industri manufaktur, industri keuangan, jasa, perdagangan, hotel,

1.2 Identifikasi Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Sebagai wilayah yang berkembang cepat dan menuju status metropolitan kembar bersama DKI Jakarta, Metropolitan Bodebekkarpur akan memerlukan investasi yang berfungsi untuk mendukung status tersebut. Kebutuhan investasi ini masih memerlukan kalkulasi seberapa besar dan upaya yang dilakukan agar kebutuhan tersebut dapat dipenuhi. Oleh karena itu kajian ini dilaksanakan berdasarkan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

a) Bagaimana kondisi dan perkembangan investasi di Bodebekkarpur

selama lima tahun terakhir dari tahun 2011 – 2015. .

b) Bagaimana model penghitungan ekonomi khususnya besarnya kebutuhan

investasi di wilayah Metropolitan Bodebekkarpur.

c) Bagaimana kesiapan Metropolitan Bodebekkarpur dan secara khusus

strategi apa yang harus dilakukan untuk menarik investasi.

1.3 Tujuan dan Sasaran

Secara umum tujuan kajian ini adalah memperkirakan kebutuhan investasi secara makro untuk wilayah Bodebekkarpur dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan. Adapun secara khusus sasaran penyusunan analisis kebutuhan investasi wilayah Bodebekkarpur adalah sebagai berikut:

1) Teridentifikasinya gambaran perkembangan investasi selama lima tahun

terakhir dari tahun 2011 – 2015 di Bodebekkarpur.

2) Tersedianya model penghitungan ekonomi khususnya besarnya kebutuhan

investasi di wilayah Metropolitan Bodebekkarpur.

3) Teridentifikasinya kebijakan pemerintah terkait peran dan peluang Metropolitan Bodebekkarpur dalam posisinya sebagai Twin Metropolitan dengan DKI Jakarta.

1.4 Ruang Lingkup Kegiatan

a) Penyusunan dokumen berupa kajian Rencana Kebutuhan Investasi Metropolitan Bodebekkarpur.

b) Koordinasi dan sinergi antar stakeholders terkait perencanaan kebutuhan investasi Metropolitan Bodebekkarpur

c) Melakukan pengumpulan data berupa data sekunder dan primer, serta menghimpun informasi dari berbagai stakeholder terkait kajian melalui survey lapangan.

BAB II STUDI KEPUSTAKAAN

2.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDRB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu daerah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi pada suatu daerah.

PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun berjalan, sedang PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar. PDRB menurut harga berlaku digunakan untuk mengetahui kemampuan sumber daya ekonomi, pergeseran, dan struktur ekonomi suatu daerah.

Sementara itu, PDRB konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi secara riil dari tahun ke tahun atau pertumbuhan ekonomi yang tidak dipengaruhi oleh faktor harga. PDRB juga dapat digunakan untuk mengetahui perubahan harga dengan menghitung deflator PDRB (perubahan indeks implisit). Indeks harga implisit merupakan rasio antara PDRB menurut harga berlaku dan PDRB menurut harga konstan.

Perhitungan Produk Domestik Regional Bruto secara konseptual menggunakan tiga macam pendekatan, yaitu: pendekatan produksi, pendekatan pengeluaran dan pendekatan pendapatan.

1) Pendekatan Produksi

Produk Domestik Regional Bruto adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Unit-unit produksi dalam penyajian ini dikelompokkan dalam 9 lapangan usaha (sektor), yaitu: (1) pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, (2) pertambangan dan penggalian, (3) industri pengolahan, (4) listrik, gas dan air bersih, (5) konstruksi, (6) perdagangan, hotel dan restoran, (7) pengangkutan dan komunikasi, (8) keuangan, real estate dan jasa perusahaan, (9) jasa-jasa (termasuk jasa pemerintah).

2) Pendekatan Pengeluaran

Produk Domestik Regional Bruto adalah semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari : (1) Pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba, (2) konsumsi pemerintah, (3) pembentukan modal tetap domestik bruto, (4) perubahan inventori dan (5) ekspor neto (merupakan ekspor dikurangi impor).

3) Pendekatan Pendapatan

Produk Domestik Regional Bruto merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu Produk Domestik Regional Bruto merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu

PDRB perkapita sebagai proxy dari pendapatan perkapita merupakan gambaran nilai tambah yang dapat diciptakan oleh masing-masing penduduk akibat dan adanya aktivitas produksi. Sedangkan PDRN perkapita merupakan gambaran pendapatan yang diterima oleh masing-masing penduduk sebagai keikut sertaannya dalam proses produksi. Kedua indikator tersebut biasanya digunakan untuk mengukur tingkat kemakmuran penduduk suatu daerah. Apabila data tersebut disajikan secara berkala akan menunjukkan adanya perubahan kemakmuran.

2.2 Investasi

Dalam konsep ekonomi investasi merupakan tambahan terhadap stok kapital. Pengertian kapital secara fisik adalah seluruh barang modal yang digunakan dalam proses produksi seperti mesin, bangunan, kendaraan dan peralatan serta lainnya. Dalam sistem pembukuan neraca perusahaan, yang dimaksud kapital adalah harta tetap (fixed assets) suatu badan usaha. Secara umum kapital sering disebut sebagai Gross Capital Stocks merupakan akumulasi/penumpukan pembentukan modal bruto dari tahun ke tahun yang digunakan untuk menghasilkan produk baru.

Menurut konsep ekonomi mikro, penambahan asset perusahaan untuk meningkatkan skala operasi diartikan sebagai investasi. Asset yang dimaksud mencakup asset seperti bangunan, mesin, peralatan, dan sejenisnya dan asset lancar seperti uang serta asset lain yang dapat segera diuangkan. Sedangkan dalam konsep ekonomi makro, investasi dapat diartikan sebagai penambahan fisik atas barang-barang modal tetap dan perubahan stok (sesuai konsep penghitungan produk Domestik Bruto/PDB atau PDRB Pengertian lain investasi sebagaimana dijelaskan dalam System ofNational Accounts (SNA) adalah bahwa Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) identik dengan besarnya investasi fisik (real investment) yang direalisasikan di suatu Negara/wilayah pada suatu waktu tertentu (physical domestic investment). Disebut PMTB karena di dalamnya tidak termasuk perubahan stok (inventory). Sedangkan yang disebut sebagai pembentukan Modal Bruto (PMB) adalah bahwa apabila didalamnya termasuk perubahan stok. Selanjutnya dalam tulisan ini akan lebih difokuskan pada komponen PMTB.

Pembentukan barang-barang modal atau sering disebut dengan istilah PMTB, meliputi pembuatan dan pembelian barang modal baru baik dari dalam negeri/wilayah dan barang modal baru atau bekas dari luar negeri/wilayah. Untuk lebih jelasnya, cakupan pembentukan modal tetap secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Barang modal baru dalam bentuk konstruksi, mesin-mesin, alat pengangkutan dan perlengkapan yang mempunyai umur satu tahun atau lebih; a. Barang modal baru dalam bentuk konstruksi, mesin-mesin, alat pengangkutan dan perlengkapan yang mempunyai umur satu tahun atau lebih;

c. Pengeluaran untuk pengembangan dan pembukaan tanah, perluasan areal hutan dan daerah pertambangan serta penanaman dan peremajaan tanaman keras;

d. Pembelian ternak produktif untuk keperluan pembiakan, pemerahan susu, pengangkutan dan sebagainya, tidak termasuk untuk dipotong;

e. Margin perdagangan dan ongkos-ongkos lain yang berkenaan dengan transaksi jual beli tanah, sumber mineral, hak penguasaan hutan, hak paten,hak cipta dan barang-barang modal bekas.

Sedangkan stok (inventory) dapat diartikan sebagai penjumlahan dari barang-barang jadi yang belum terjual, barang-barang setengah jadi serta bahan- bahan yang belum terpakai/digunakan. Stok akhir tahun dikurangi stok awal tahun merupakan perubahan stok, yang merupakan bagian dari investasi sebagaimana dimaksud di atas.

Pada hakikatnya investasi merupakan penempatan sejumlah dana yang digunakan untuk membei barang – barang modal dan perlengkapan produksi guna menambah kemampuan produksi barang dan jasa saat ini dengan harapan memperoleh keuntungan di masa mendatang. Umumnya investasi dibedakan menjadi dua, yaitu :

a. Investasi pada financial assets, biasanya dilakukan di pasar uang, contohnya berupa sertifikat deposito, surat berharga pasar uang, commercial paper, dan sebagainya. Atau dapat juga dilalukan di pasar modal, seperti misalnya berupa obligasi, saham, waran, opsi, dan sebagainya.

b. Investasi pada real assets, dilakukan dalam bentuk pendirian pabrik, pembelian assets produktif, pembukaan perkebunan dan pembukaan tambang.

2.2.1 Proses Investasi

Proses investasi dilakukan melalui beberapa tahapan, proses ini menunjukkan bagaimana seharusnya seorang investor membuat keputusan investasi. Berikut tahapan proses investasi :

a. Menentukan tujuan investasi

Sebelum melakukan proses investasi, ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam hal ini, yaitu : tingkat resiko (rate of risk), tingkat pengembalian yang diharapkan (expected rate of return), dan ketersediaan jumlah dana yang diinvestasikan. Umumnya hubungan antara return dan risk bersifat linier, artinya semakin besar tingkat risiko (rate of risk), maka semakin besar pula tingkat pengembalian yang diharapkan (expected rate of return).

b. Melakukan Analisis

Investor harus melakukan analisis terhadap suatu efek atau sekelompok efek. Penilaian ini bertujuan salah satunya adalah untuk mengidentifikasi efek yang salah harga (mispriced), dengan kata lain apakah harganya terlalu tinggi atau terlalu rendah. Oleh karena itu ada dua pendekatan yang digunakan untuk mengetahuinya, yaitu:

1) Pendekatan Fundamental Pendekatan fundamental didasarkan pada informasi - informasi yang

dikeluarkan oleh administrator bursa efek maupun oleh emiten.

2) Pendekatan Teknikal

Pendekatan teknikal didasari pada data perubahan harga saham yang terjadi di masa lalu untuk memperkirakan harga saham di masa mendatang. Dengan kata lain para analis akan memperkirakan pergeseran demand dan supply dalam jangka pendek, serta berusaha untuk cenderung mengabaikan risiko dan pertumbuhan earning dalam menetapkan barometer dari supply dan demand.

c. Melakukan Pembentukan Portofolio

Pada tahap ini akan dilakukan proses identifikasi terhadap efek – efek mana yang akan dipilih serta berapa proporsi dana yang akan diinvestasikan pada masing – masing efek. Efek yang dipilih dalam pembentukan portofolio adalah efek yang memiliki koefisien korelasi negatif (hubungan berlawanan). Hal ini untuk memperkecil risiko.

d. Melakukan Evaluasi Kinerja Portofolio

Setelah portofolio terbentuk, selanjutnya melakukan evaluasi atas kinerja portofolio, baik pada tingkat keuntungan yang diharapakan maupun pada risiko yang ditanggung. Sebagai tolok ukurnya dapat menggunakan du acara, yaitu :

1) Measurement Assets, yaitu penilaian kerja portofolio atas dasar aset yang telah ditanamkan dalam portofolio, contohnya dengan menggunakan rate of return.

2) Comparison, yaitu penilaian atas dasar pembandingan dua set portofolio

yang memiliki risiko yang sama besar.

e. Melakukan Revisi Kinerja Portofolio

Tahap revisi kinerja portofolio merupakan tindak lanjut dari sebelumnya yaitu tahap evaluasi kinerja portofolio. Dari hasil evaluasi selanjutnya akan dilakukan revisi terhadap efek – efek yangmembnagun portofolio tersebut jika komposisi portofolio yang sudah dibentuk tidak sesuai dengan tujuan investasi, misalkan rate of return-nya lebih rendah dari yang diinginkan. Revisi tersebut dapat dilakukan secara total maksdunya melakukan likuidasi atas portofolio yang ada, kemudian membentuk portofolio yang baru. Atau dapat dilakukan secara terbatas, yaitu melakukan perubahan atas komposisi dana yang dialokasikan pada masing – masing efek yang membentuk portofolio tersebut.

2.2.2 Daya Tarik Investasi

Melihat bagaimana investasi itu ditanamkan, maka perlu adanya daya tarik investasi dalam suatu daerah guna meningkatkan nilai investasi itu sendiri. Berikut ini adalah daya tarik investasi bagi para investor :

1. Kelembagaan

a. Kepastian hukum

b. Aparatur dan pelayanan

c. Kebijakan daerah

d. Kepemimpinan lokal

2. Keamanan, Politik, Sosial Budaya

a . Keamanan

b. Politik dan Budaya

3. Ekonomi Daerah

a. Potensi dan Ekonomi

b. Struktur ekonomi

4. Tenaga Kerja

a. Ketersediaan tenaga kerja

b. Kualitas tenaga kerja

c. Biaya tenaga kerja

5. Infrastruktur Fisik

a. Ketersediaan infrastruktur fisik

b. Kualitas infrastruktur fisik

Gambar 2.1 Faktor penarik investasi

2.2.3 Pendekatan Investasi

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi dengan tetap mengedepankan aspek pemerataan adalah melalui percepatan investasi baik yang dilakukan oleh investor demestik maupun investor asing. Upaya untuk memberikan kepastian hukum terkandung di dalam undang-undang tersebut bertujuan untuk:

1) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi;

2) Menciptakan lapangan kerja;

3) Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;

4) Meningkatkan daya saing usaha;

5) Meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional;

6) Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan

7) Mengolah ekonomi potensial menjadi ekonomi riil;

8) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dalam pelaksanaan otonomi daerah, dalam Undang-Undang tersebut juga memuat kewenangan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan pembangunan di wilayah masing-masing yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Investasi dalam hal ini bertujuan untuk mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif, penguatan daya saing perekonomian baik secara lokal, nasional dan internasional. Dalam upaya untuk mewujudkan tujuan tersebut, terdapat empat hal pendekatan investasi, diantaranya:

A. Pendekatan Tata Ruang / Wilayah

Berdasarkan RTRW Kota Bekasi, pengembangan kawasan dapat terbagi menjadi kawasan permukiman, industri, perdagangan dan jasa, ruang terbuka hijau dan gas – energi. Pembagian kawasan berdasarkan kondisi potensial demografis dan geografis akan menjadi daya dukung investasi atau penanaman modal. Pada akhirnya, akan lebih mudah mendeskripsikan fasilitas penanaman modal, ketenagakerjaan, serta kemudahan lainnya untuk melaksanakan kemitraan antara pemerintah daerah dan swasta.

B. Pendekatan Pembangunan Daerah

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Jawa Barat merupakan pedoman dari penyusunan Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD) yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang disusun sesuai dengan tugas dan fungsi SKPD serta bersifat indikatif. Selain dari itu, RPJMD berfungsi sebagai dokumen publik yang merangkum rencana pembangunan daerah lima tahunan dibidang pelayanan umum pemerintahan.

Pedoman Rancangan Rencana Investasi Provinsi Jawa Barat

RPJP Nasional

RPJM Nasional

Rencana Investasi

RPJPD Provinsi

RPJMD Provinsi

Pedo

Provinsi

Jawa Barat

Jawa Barat

man

Jawa Barat

Gambar 2.2 Pedoman Rancangan Rencana Investasi Provinsi Jawa Barat

C. Pendekatan Publik-Private Partnership

Kerjasama (cooperation) telah lama dikenal dan dikonsepsikan sebagai suatu sumber efisiensi dalam kerangka perbaikan kualitas pelayanan. Kerjasama telah dikenal sebagai cara yang jitu untuk mengambil manfaat dari skala ekonomi (economies of scales). Dalam area praksis ekonomi, kerjasama dalam bentuk pembelanjaan atau pembeliaan, misalnya, telah membuktikan manfaat dimana pembelian dalam skala besar – melebihi “threshold points” akan lebih menguntungkan daripada dalam skala kecil. Dengan kerjasama tersebut biaya overhead ( overhead cost ) akan teratasi meskipun dalam skala yang kecil. Lebih lanjut, dalam konteks kerjasama, sharing dalam investasi, misalnya, akan memberikan hasil akhir yang lebih memuaskan seperti dalam penyediaan fasilitas dan peralatan, serta pengangkatan spesialis dan administrator.

Berkaitan dengan public service, kerjasama juga dapat meningkatkan kualitas pelayanan, misalnya dalam pemberian atau pengadaan fasilitas dimana masing-masing pihat tidak dapat membelinya sendiri. Dengan kerjasama, fasilitas pelayanan yang mahal harganyadapat dibeli dan dinikmati bersama, seperti pusat rekreasi, pendidikan orang dewasa, transportasi, dan sebagainya.

 Keterbatasan SDM

Kuantitas & Kualitas

 Keterbatasan Anggaran

Pelayanan

 Keterbatasan Teknologi

 Consortia : sharing sumber daya

 Efisiensi

 Joint Purchasing

 Perbaikan

 Equipment Sharing

Kualitas

 Cooperative Construction

Pelayanan

 Contract Service

Gambar 2.3 Bentuk Kerjasama Pemerintah-Swasta (Kemitraan)

Bentuk pengaturan kerjasama (forms of cooperation arrangements) antara lain :

1) Consortia; yaitu pengaturan kerjasama dalam sharing sumber daya, karena lebih mahal bila ditanggung sendiri – sendiri; misalnya pendirian perpustakaan dimana sumber daya seperti buku – buku, dan pelayanan lainnya dapat digunakan bersama – sama oleh mahasiswa, pelajar dan masyarakat public daripada masing – masing pihak mendirikan sendiri karena lebih mahal.

2) Joint Purchasing; yaitu pengaturan kerjasama dalam melakukan pembelian barang agar dapat menekan biaya karena skala pembelian lebih besar.

3) Equipment Sharing; yaitu pengaturan kerjasama dalam sharing peralatan

yang mahal, atau yang tidak setiap hari digunakan.

4) Cooperative Construction; yaitu pengaturan kerjasama dalam mendirikan bangunan, seperti pusat rekreasi, gedung perpusatakaan, lokasi parkir, gedung pertunjukan, dan sebagainya.

5) Joint Service; yaitu pengaturan kerjasama dalam memberikan pelayanan publik, seperti pusat pelayanan satu atap yang dimiliki bersama, dimana setiap pihak mengirim aparatnya untuk bekerja dalam pusat pelayanan tersebut.

6) Contract Service; yaitu pengaturan kerjasama dimana pihak yang satu mengontrak pihak yang lain untuk memberikan pelayanan tertentu, misalnya pelayanan air minum, persampahan, dan sebagainya. Jenis pengaturan ini lebih mudah dibuat dan dihentikan, atau ditransfer ke pihak lain.

7) Pengaturan kerjasama lain dapat dilakukan selama dapat menekan biaya, misalnya membuat pusat pendidikan dan pelatihan (DIKLAT), fasilitas pergudangan dan sebagainya.

D. Pendekatan Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi

Pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah dan kesejahteraan masyarakat karena usaha ini merupakan upaya strategis dalam rangka mewujudkan bagian terbesar dari aktivitas masyarakat Indonesia. UMKM memiliki peran sangat penting dalam menyerap tenaga kerja yang dimana tidak semua sektor formal dapat menampungnya.

2.3 Pengertian Output dan Nilai Tambah

Output adalah hasil yang diperoleh baik berbentuk barang atau jasa dari pemanfaatan seluruh faktor produksi seperti tanah, tenaga kerja, kapital dan kewirausahaan. Output ini merupakan seluruh nilai tambah neto atas dasar biaya faktor produksi yang dihasilkan dari seluruh kegiatan usaha, atau dari sudut produksi barang/jasa yang diminta disebut sebagai permintaan akhir. Dari segi ekonomi nasional, output merupakan nilai dari seluruh barang dan jasa yang dihasilkan oleh faktor-faktor produksi dalam negeri dalam suatu periode tertentu. Output nasional ini biasa disebut Produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan pada tingkat wilayah regional disebut Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Yang dimaksud output dalam pengertian ICOR adalah tambahan (flow) produk dari hasil kegiatan ekonomi dalam suatu periode tertentu. Dilihat dari sudut pandang Output adalah hasil yang diperoleh baik berbentuk barang atau jasa dari pemanfaatan seluruh faktor produksi seperti tanah, tenaga kerja, kapital dan kewirausahaan. Output ini merupakan seluruh nilai tambah neto atas dasar biaya faktor produksi yang dihasilkan dari seluruh kegiatan usaha, atau dari sudut produksi barang/jasa yang diminta disebut sebagai permintaan akhir. Dari segi ekonomi nasional, output merupakan nilai dari seluruh barang dan jasa yang dihasilkan oleh faktor-faktor produksi dalam negeri dalam suatu periode tertentu. Output nasional ini biasa disebut Produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan pada tingkat wilayah regional disebut Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Yang dimaksud output dalam pengertian ICOR adalah tambahan (flow) produk dari hasil kegiatan ekonomi dalam suatu periode tertentu. Dilihat dari sudut pandang

Output dinilai atas dasar harga produsen dan nilainya bersifat bruto karena masih mengandung nilai penyusutan. Konsep nilai tambah berkaitan erat dengan konsep penghitungan output. Keduanya merupakan konsep penghitungan neraca ekonomi yang berkaitan dengan kegiatan produksi. Nilai tambah adalah suatu tambahan nilai pada nilai input antara yang digunakan dalam proses menghasilkan barang dan jasa. Nilai input antara tersebut bertambah karena mengalami proses produksi yang mengubahnya menjadi barang yang nilainya lebih tinggi. Sedangkan input antara mencakup seluruh komoditi yang habis atau dianggap habis dalam suatu proses produksi, seperti bahan baku, bahan penolong, bahan bakar, listrik dan lain sebagainya. Penghitungan nilai tambah bruto atas dasar harga pasar dari suatu unit produksi adalah output bruto atas dasar harga produsen dikurangi input antara atas dasar harga pasar. Nilai tambah bruto inilah yang dipakai dalam penghitungan ICOR.

2.4 Rasio Modal Output (COR) dan Rasio Modal Output Marginal (ICOR)

Pengertian ICOR sebenarnya didasarkan pada konsep rasio modal terhadap Output atau Capital Output Ratio (COR), dimana konsep yang sama dikenal sebagai koefisien nilai modal (pembentukan modal) dengan nilai output. Koefisien modal output menunjukkan jumlah modal yang diperlukan untuk memproduksi satu unit output. Konsep ini mendasari pemikiran tentang tambahan modal (investasi) yang diperlukan untuk meningkatkan output sebanyak satu unit Pengertian ICOR sebenarnya didasarkan pada konsep rasio modal terhadap Output atau Capital Output Ratio (COR), dimana konsep yang sama dikenal sebagai koefisien nilai modal (pembentukan modal) dengan nilai output. Koefisien modal output menunjukkan jumlah modal yang diperlukan untuk memproduksi satu unit output. Konsep ini mendasari pemikiran tentang tambahan modal (investasi) yang diperlukan untuk meningkatkan output sebanyak satu unit

a. Rasio modal-output atau Capital Output Ratio (COR).

Rasio yang menunjukkan hubungan antara persediaan modal yang ada dengan output yang dihasilkan, yang sering dikenal dengan Average Capital Output Ratio(ACOR). Nilai COR diperoleh dengan cara membandingkan antara akumulasi modal yang digunakan dengan jumlah output yang dihasilkan pada suatu periode tertentu.

b. Rasio Modal-Output Marginal atau Incremental Capital Output Ratio (ICOR). Rasio yang menunjukkan besarnya tambahan kapasitas (investasi) baru yang dibutuhkan untuk menaikkan atau menambah satu unit output.

Perbedaan antara rasio modal dan rasio marginal adalah rasio modal bersifat statis, sedangkan rasio marginal bersifat dinamis karena menunjukkan tambahan atau kenaikan. Maka konsep yang sering digunakan untuk melihat perilaku investasi (efisiensi) dan kebutuhan investasi yang akan datang adalah konsep ICOR. Rasio modal output marginal mengacu kepada teori Harrod- Domard yaitu menunjukkan hubungan antara peningkatan stok kapasitas produksi dan kemampuan masyarakat untuk manghasilkan output. Semakin tinggi

peningkatan stok kapasitas produksi (ΔK), semakin tinggi pula kemampuan masyarakat untuk menghasilkan output atau tambahan output yang dihasilkan

(ΔY).

Memperkirakan koefisien COR atau ICOR untuk mendapatkan gambaran tentang kebutuhan investasi pada masa yang akan datang, bukan merupakan suatu hal yang mudah karena keadaan koefisien tidak hanya ditentukan oleh investasi yang ditanamkan saja tetapi akan dipengaruhi oleh tingkat penerapan dan perkembangan teknologi dalam proses produksi yang digunakan. Oleh sebab itu dalam pencapaiannya ICOR hanya digunakan untuk mengestimasi kebutuhan investasi dalam jangka yang tidak terlalu panjang. Secara matematis ICOR dinyatakan sebagai rasio antara pertumbuhan modal (investasi) terhadap tambahan output, atau dinotasikan sebagai berikut : Keterangan :

ICOR = ΔK / ΔY

ΔK = Investasi atau penambahan kapasitas ΔY = Pertumbuhan atau penambahan Output