Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Efekt

UNIVERSITAS INDONESIA
MAKALAH

Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah: Efektivitas Dana Otonomi
Khusus Provinsi Papua dan Papua Barat

Tugas Makalah
Mata Kuliah Keuangan Negara
Oleh:
Anggita Shaskia Permata Putri 1206213012

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI
DEPOK
JUNI 2014

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang

Hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah merupakan salah satu

bentuk dari sekian banyak hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam
rangka pelaksanaan otonomi daerah yang memiliki tujuan untuk mengatasi
ketimpangan fiskal secara vertikal dan horizontal agar proses desentralisasi dapat
berjalan mulus dan baik. Hubungan tersebut juga akan menjaga tercapainya standar
pelayanan minimum disetiap daerah dan stabilisasi serta persoalan yang timbul dari
penyelenggaraan pelayanan pubik. Hubungan keuangan pusat dan daerah juga
berusaha mewujudkan tatanan penyelenggaraan yang lebih baik menuju clean
government dan good governance. Hal ini menjadikan hubungan keuangan
pemerintah pusat dan daerah menjadi sangat krusial karena apabila hubungan yang
terjalin kurang baik dapat berpotensi menjadi pemicu perpecahan bangsa diakibatkan
daerah kurang puas dan merasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuangan
oleh pemerintahan pusat. Munculnya berbagai gerakan separatis yang ingin
memisahkan diri dari Indonesia sedikit banyak disebakan karena daerah yang merasa
memiliki sumber daya alam yang melimpah menginginkan jatah yang lebih besar
sesau dengan proporsi yang disumbangkan daerahnya. Berkembanglah isu bahwa
pemerintahan pusat hanya mementingkan dirinya sendiri ataulebih berpihak kepada
daerah tertentu (Yani, 2008).
Pemerintah mencoba meredam persoalan perpecahan bangsa terebut dengan

memberikan otonomi khusus (otsus) bagi beberapa provinsi, salah satunya kepada
Provinsi Papua yang secara pemerintahan daerah sudah berpisah dengan Papua Barat.
Otonomi khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya merupakan pemberian
kewenangan yang lebih luas bagi provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan
mengurus diri sendiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kewenangan yang lebih luas juga berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi
provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur

2

pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar besarnya bagi
kemakmuran rakyat Papua (Yani, 2008:333).
Konsekuensi dari pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Papua dan Papua
Barat ialah dialokasikannya dana untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus yang
diberikan oleh pemerintah pusat (Ranu, 2011). Hal ini dikarenakan skema otonomi
pada dasarnya bukan sekedar mengenai pengaturan kembali kekuasaan melainkan
perlu menyetuh dimensi pembiayaan yang dalam konteks ini adalah dana otonomi
khusus (Yani, 2008). Pemberian dana otonomi khusus bagi Provinsi Papua, ditujukan
untuk menunjang percepatan pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua,
dalam rangka mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan

terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan
kemajuan masyarakat Papua dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan
kemajuan provinsi lain di Indonesia. Dalam bidang keuangan daerah, kekhususan
yang diberikan kepada Provinsi Papua terkait dengan pelaksanaan otonomi khusus
adalah berupa adanya (1) Pos Penerimaan Khusus Dalam Rangka Pelaksanaan
Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana
Alokasi Umum Nasional selama 25 tahun, yang terutama ditujukan untuk
pembiayaan pendidikan dan kesehatan serta (2) Pos Dana Tambahan Infrastruktur
dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang besarnya ditetapkan antara
Pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran,
yang

terutama

ditujukan

untuk

pembiayaan


pembangunan

infrastruktur

(bpkad.papua.go.id).
Berdasarkan data dari Badan Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah
Provinsi Papua, selama Periode tahun 2002-2013 secara kumulatif jumlah dana otsus
yang telah diterima oleh Provinsi Papua mencapai sebesar Rp.38,6 triliun, yang
terdiri dari sebesar Rp.32,7 triliun berupa dana otsus Papua dan sebesar Rp.5,8 triliun
berupa dana tambahan infrastruktur dalam rangka otsus Papua (bpkad.papua.go.id).
Besarnya dana tersebut menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat tentang dampak
dana Otsus terhadap kesejahteraan masyarakat Papua karena menurut ketua BPK,

3

Rizal Djalil dana otsus tidak menurunkan angka kemiskinan di Papua dan tidak
meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua (jdih.bpk.go.id, 2014).
1.2

Rumusan Masalah

1. Bagaimana mekanisme aturan sumber dana desentralisasi Provinsi Papua dan
Papua Barat?
2. Bagaimana efektivitas dana otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua
Barat dan apa penyebabnya?

1.3

Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan sumber dana

desentralisasi Provinsi Papua dan Papua Barat dan menggambarkan efektivitas dana
otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat dalam rangka desentralisasi fiskal
yang dilakukan pemerintah dalam Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah.
1.4

Sistematika Penulisan
Untuk memudahan dalam pemahaman masalah yang akan dibahas, penulis

membuat makalah ini dengan sistematika sebagai berikut:
Bab 1 Pendahuluan. Dalam bab ini menjelaskan secara singkat tentang latar

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan dan sistematika penulisan.
Bab 2 Kerangka Teori. Bab ini menjelaskan landasan teori mengenai
Desentralisasi , Desentralisasi Fiskal serta Otonomi Daerah.
Bab 3 Pembahasan. Bab ini menjelaskan tentang bagaimana efektifitas dari
tinngginya dana otonomi khusus yang diberikan pemerintah kepada Provinsi Papua
dan Papua Barat.
Bab 4 Kesimpulan dan Rekomendasi. Bab ini berisi kesimpulan yang dapat
diambil dari dana otonomi khusus yang diimplementasika di Provinsi Papua dan
Papua Barat dan rekomendasi dari penulis yang didapat dari hasil penulisan.

4

BAB II
KERANGKA TEORI
2.1

Desentralisasi
Menurut Bryan & White (dalam Dewi, 2011) daerah akan mempunyai

kemampuan yang kecil saja jika semata-mata ditugaskan untuk mengikuti kebijakan

pusat. Jika diserahi tanggung jawab dan sumber daya, kemampuan badan-badan lokal
akan meningkat. Disamping itu, asas demokrasi dapat terwujud di daerah dengan
adanya kesempatan rakyat untuk ikut serta dalam pemerintahan dan pembangunan
serta pemerintah daerah wajib bertanggungjawab kepada rakyat setempat dan kepada
tingkat pemerintahan yang lebih tinggi. Sedangkan pegertian desentralisasi lainnya
datang dari Sadu Wasistiono (2002:15) yang mengutip pandangan Litvack yaitu
desentralisasi adalah transfer kewenangan dan tanggung jawab fungsi-fungsi publik.
Transfer ini dilakukan dari pemerintah pusat kepada pihak lain, baik kepada daerah
bawahan, organisasi pemerintahan yang semi bebas ataupun kepada sektor swasta.
Lebih lanjut ia juga mengemukakan bahwa desentralisasi terbagi menjadi empat tipe
yaitu :
1. Desentralisasi politik
2. Desentralisasi administratif, yaitu memiliki tiga bentuk utama yaitu :
a) Dekonsentrasi;
b) Delegasi;
c) Devolusi
3. Desentralisasi fiskal;
4. Desentralisasi ekonomi atau pasar
2.2


Desentralisasi Fiskal
Menurut Robert A. Simanjuntak (dalam Yani, 2008:347) pada dasarnya

desentralisasi fiskal di Indonesia mempunya beberapa sasaran umum, yaitu : 1) untuk

5

memenuhi aspirasi daerah menyangkut penguasaan atas sumber-sumber keuangan
negara; 2) mendorong akuntabilitas dan transparansi pemerintahan daerah; 3)
meningkatkan partispasi masyarakat dalam pembangunan daerah; 4) mengurangi
ketimpangan antar daerah; 5) menjamin terselenggaranya pelayanan publik minimum
di setiap daerah; 6) meningkatkan kesejahteraan masyrakat secara umum.
Desentralisasi fiskal meningkatkan pendapatan dan meningkatkan efisiensi dalam
sektor publik dan memotong defisit anggaran, serta menaikkan pertumbuhan
ekonomi. Desentralisasi fiskal dalam hal ini dapat dikatakan berhasil jika daerah
tersebut dapat mengelola keuangan daerahnya secara efektif dan efisien. Keuangan
daerah merupakan semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala
bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.
2.3


Otonomi Daerah
Desentralisasi yang dilakukan pemerintah Indonesia akan menimbulkan

otonomi bagi rakyat di daerah tersebut. Menurut encyclopedia of Social Science,
dalam pengertiannya yang orisinil, otonomi adalah "the legal self suffiency of social
body and its actual independence". Sementara itu, Black's Law Dictionary
mendefiinisikan autonomy sebagai "The political independence of a nation; the right
(and condition) of power of self government. The negotion of a state of political
influence from without or from foreign powers"(upi.edu.com).
Dalam kepustakaan Belanda, otonomi berarti "pemerintahan sendiri"
(zelfregering). Van Vollenhoven membagi otonomi lebih lanjut dalam zelfwetgeving
(membuat

undang-undang

sendiri),

zelfuitvoering


(melaksanakan

sendiri),

zelfrechtspraak (mengadili sendiri) zelfpolitie (menindaki sendiri). Melihat pengertian
di atas dapat disimpulkan bahwa otonomi adalah salah satu kewenangan daerah
dalam mengurus dan mengatur sendiri daerahnya. (Yani, 2008:5). Menurut Benyamin
Hoesein, otonomi daerah adalah pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian
wilayah nasional suatu negara secara informal berada di luar pemerintah pusat.

6

Dengan adanya otonomi daerah maka daerah otonom dapat mengembangkan potensi
daerahnya sendiri berdasarkan aspirasi masyarakatnya.
Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah menurut Mardiasmo
(2002:46)

adalah

untuk


meningkatkan

pelayanan

publik

dan

memajukan

perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan
otonomi daerah yaitu: (1) meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan
kesejahteraan masyarakat, (2) menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan
sumber daya daerah, dan (3) memberdayakan dan menciptakan ruang bagi
masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Menurut Deddy S.B. &
Dadang Solihin (2004:32), tujuan peletakan kewenangan dalam penyelenggaraan
otonomi daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan,
demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya lokal dan memperhatikan potensi
dan keanekaragaman daerah. Dengan demikian pada intinya tujuan otonomi daerah
adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan cara meningkatkan
pelayanan publik kepada masyarakat dan memberdayakan masyarakat untuk
berpartisipasi dalam proses pembangunan.

7

BAB III
PEMBAHASAN
3.1

Sumber dana desentralisasi Provinsi Papua dan Papua Barat
Sumber dana desentralisasi Provinsi Papua dan Papua Barat diatur di dalam

UU No. 21 Tahun 2001. Pertama, dalam hal dana perimbangan, sesuai mandat UU
Otsus, Provinsi Papua dan Papua Barat mendapat perlakuan istimewa dalam hal bagi
hasil sumber daya alam minyak dan gas,yaitu 70%. Sementara untuk sumber daya
alam lain, keduanya menerima persentase sama seperti provinsi lain. Untuk Bagi
Hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), keduanya menerima 90%, Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80%, dan Pajak Penghasilan (PPh) Orang
Pribadi sebesar 20%.4. Kedua, ada penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan
Otsus yang besarnya dinilai 2% dari Dana Alokasi Umum Nasional, inilah yang
disebut sebagai dana Otsus. Ketiga, ada dana tambahan pembangunan infrastruktur.
Penerimaan kedua dan ketiga ini berlaku selama 20 tahun, dan setelahnya nihil.
Khusus untuk ketentuan istimewa bagi hasil minyak dan gas akan berubah menjadi
50% setelah 25 tahun. Sepanjang 2002 sampai 2012, Provinsi Papua menerima Rp
28,445 triliun dana Otsus dan Rp 5,271 triliun dana infrastruktur. Adapun Provinsi
Papua Barat yang terbentuk sejak 2008, sudah menerima Rp 5,409 triliun dana Otsus
dan Rp 2,962 triliun dana infrastruktur. Keempat, Dana Alokasi Umum sebagai block
grant dari pemerintah pusat untuk menutup celah kemampuan fiskal antar wilayah.
Selain keiistimewaan dengan adanya dana Otsus, dana khusus infrastruktur,
dan dana perimbangan sebenarnya Dana Alokasi Umum (DAU) Papua sendiri sudah
sangat besar. Pada tahun 2005 misalnya, nilainya mencapai 25,5% dari pendapatan
nasional, atau sekitar Rp 88,8 triliun. Maka tidak heran jika dibandingkan dengan
kawasan lain, Papua saat itu menerima 5 kali yang diterima Jawa Timur dan 4 kali
yang diterima Nusa Tenggara Barat. Selain itu Provinsi Papua juga dapat menerima

8

bantuan asing setelah memberitahukan terlebih dahulu kepada pemerintah dan harus
mendapat persetujuan dari DPRD. Total kumulatif pinjaman besarnya tidak melebihi
prresentase tertentu dari jumlah APBD sesuai dengan peratuan perundag-undangan.
3.2

Efektivitas dana otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat
Dampak dana otsus terhadap kesejahteraan masyarakat Papua dan Papua

Barat dari sisi implementasi yaitu adanya peningkatan pada angka partisipasi sekolah,
angka melek huruf, dan rata-rata lama sekolah, penambahan infrastruktur kesehatan
dan tenaga medis, serta penurunan persentase penduduk miskin. Pada 2011,
persentase penduduk miskin di Papua 31,98 persen, sedangkan di Papua Barat 28,2
persen. Namun meski ada penurunan persentase penduduk miskin, Papua Barat masih
menempati urutan kedua provinsi termiskin. Jumlah pengangguran terbuka juga
masih berkisar 5,5 persen, walaupun telah menurun dibandingkan tahun 2009 sebesar
7,73 persen. Jika melihat tren penduduk miskin sebenarnya dana otsus tidak
berdampak signifikan karena dengan dana yang pemerintah berikan, Papua tetap
menempati urutan teratas dalam kemiskinan. Terdapat dua level kelemahan
implementasi otsus yang perlu segera dibenahi, pertama pada level kebijakan yang
terlihat dari belum adanya petunjuk teknis sebagai penjabaran dari UU otsus, belum
ditetapkannya Perdasus tentang pembagian, pengelolaan serta penerimaan keuangan
sebagai bagian dari implementasi otsus, dan pola hubungan kerja yang belum
terbangun secara sinergis antara eksekutif, legislatif dan Majelis Rakyat Papua (MRP)
di daerah.
Kedua terletak pada level implementasi kebijakan. Hal ini terlihat pada
kurangnya pemahaman masyarakat terhadap pelaksanaan otsus, kuantitas dan kualitas
pelaksana otsus yang masih terbatas, MRP yang masih multitafsir dan upaya yang
dilakukan oleh Pemda dalam implementasi otsus belum maksimal. Untuk itu
pemerintah pusat perlu mengevaluasi implementasi otsus setiap tahun. Pada awalnya,
otsus sangat didukung oleh pemangku kebijakan publik di Papua karena sekitar 75%
warga Papua diperkirakan masih hidup di bawah garis kemiskinan akibat
keterbatasan sarana dan prasarana transportasi laut, darat, dan udara di daerah

9

tersebut. Sarana dan prasarana transportasi di Papua sangat berpengaruh terhadap
kehidupan warga masyarakat Papua. Sebelumnya Gubernur dan masyarakat merasa
optimis dengan pemberlakuan UU No 21 Tahun 2001 tentang otsus Papua dapat
mengangkat ketertinggalan dan kemiskinan masyarakat di Tanah Papua. Sayangnya
alokasi tidak mampu menjadi alat pengungkit yang signifikan, hal ini terlihat dari
jumlah penduduk miskin masih tinggi, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
masih jauh di bawah rata-rata nasional, yaitu 72 sedangkan IPM provinsi Papua dan
Papua Barat hanya sekitar 60. Dari uraian sebelumnya sebenarnya dapat terlihat
bahwa yang terjadi bukanlah efektivitas dana melainkan inefektivitas bagi Provinsi
Papua dan Papua Barat. Inefetivitas terjadi karena:


Ruang partisipasi masyarakat dalam pengawasan masih terbatas

Salah satu indikasinya ialah akses masyarakat sipil terhadap dokumen publik terkait
perencanaan dan penganggaran di Papua dan Papua Barat. Di satu sisi otsus memberi
peluang bagi Majelis Rakyat Papua (MRP). Namun, lembaga ini harus lebih banyak
diberi peran dalam memfasilitasi masyarakat sipil dalam mendapatkan hak atas
informasi publik. Prinsip transparansi dalam tata pemerintahan yang baik akan
memberi kesempatan bagi masyarakat untuk dapat terlibat dalam memantau
pelayanan publik agar lebih berkualitas. Partisipasi ini akan memungkinkan
terjadinya verifikasi kualitas pelayanan publik, sekaligus meningkatkan rasa memiliki
masyarakat terhadap hasil-hasil pembangunan. Tidak tersedianya data yang dapat
diakses oleh masyarakat sipil dan bahkan pemerintah pusat semakin menimbulkan
pertanyaan lanjutan bagaimana dana otsus dikelola oleh Pemerintah Provinsi Papua
dan Papua Barat. Dengan indikasi penyelewengan dana Otsus sebesar Rp 4,12 triliun.
sebagaimana temuan BPK maka aspek transparansi ini patut menjadi prioritas untuk
diselesaikan.


Mekanisme transfer bersifat tanpa syarat tertentu.

Peraturan Menteri Keuangan mengenai besaran dana otsus Papua dan Papua Barat
setiap tahun memang menyebutkan prioritas penggunaan untuk pendidikan dan
kesehatan, namun tidak disertai prasyarat tertentu supaya pemerintah di kedua
provinsi dan kabupaten / kota tidak mendapatkan transfer terlalu mudah. Pengalaman

10

di banyak tempat dan berbagai negara berkembang dan negara maju menunjukkan
transfer tanpa syarat cenderung menjadi disinsentif karena membuat pemerintah
daerah lebih mengandalkan dana tersebut ketimbang penerimaan daerah. Dampak
lanjutannya ialah kondisi ilusi fiskal, di mana dana transfer khusus ini tidak mampu
meningkatkan perekonomian daerah, dan hingga masa waktu 25 tahun yang berarti
berarti tersisa 13 tahun lagi, berpotensi kedua provinsi tetap bergantung pada
anggaran dari pusat.


Koordinasi

lintas

Kementerian/Lembaga

dalam

pengawasan

perlu

ditingkatkan
Koordinasi

perlu

ditingkatkan

karena

masing-masing

Kementerian/Lembaga

melakukan monitoring dan evaluasi yang terpisah untuk kepentingan yang berbeda.
Sebagai contoh Kementerian Dalam Negeri secara berkala melakukan evaluasi
terhadap pelaksanaan otsus, bekerjasama dengan organisasi non pemerintah.
Sementara dalam bidang kesehatan, evaluasi dilakukan untuk mengetahui Standar
Pelayanan Minimum (SPM) sebagai salah satu tujuan adanya desentralisasi dimana
(SPM) di Provinsi Papua dan Papua Barat baru mencapai 15%. Ini sangat jauh
tertinggal disbanding daerah lain yang kini sudah mencapai 100%. Seharusnya
meskipun Kementerian/Lembaga melakukan pengawasan pada bidang masingmasing, tetap ada keselarasan data sehingga dalam masing-masing bidang dapat
diketahui sejauh mana dana otsus telah dipergunakan.

11

BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
4.1

Kesimpulan
Setiap tahun dana otonomi khusus untuk Provinsi Papua dan Papua Barat

terus bertambah, namun sebagian besar warga Papua belum pernah merasakan
manfaat dana otsus tersebut, padahal dana ini telah digelontorkan sejak 2001 lalu dan
sampai sekarang dana tersebut tidak efektif dalam penggunaannya. Hal ini
dikarenakan (1) Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua yang masih
menempati urutan paling rendah dari semua provinsi yang ada di Indonesia. IPM di
Papua memang semakin membaik dari tahun ke tahun. Misalnya pada 2001, IPM
Papua masih 60,1. Kenaikan dana otsus setiap tahunnya ikut berpengaruh terhadap
perbaikan IPM Papua. Namun, korelasi antara kenaikan Dana Otsus dan IPM ternyata
sangat kecil. (2) Angka kemiskinan. Ini pun sebenarnya semakin membaik karena
pada 2002 angka kemiskinan di Papua masih 51,21% dan kemudian terus menurun
hingga 30,66% pada 2012. Namun ternyata korelasi kenaikan dana otsus dengan
penurunan angka kemiskinan tidak signifikan. Besarnya dana otsus yang telah
diberikan ini perlu ditelusuri penggunaannya karena hingga tahun 2014 ini belum ada
perubahan yang. menonjol baik pada infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan pada
bidang lainnya. Apabila kondisi ini terus berlarut-larut dikhawatirkan tindakan
separatisme yang dilakukan oleh rakyat Papua yang menginginkan kemerdekaan
sendiri kembali terulang. Kondisi ini juga memperlihatkan bahwa sousi utuk

12

meredam perpecahan bangsa tidak dapat ditepuh dengan memberikan dana otonomi
khusus yang besar, namun pemerintah juga harus melakukan pendekatan lain yang
dirasa perlu untuk menjaga kesatuan dan persatuan NKRI.
4.2

Rekomendasi
Berdasarkan hasil pembahasan sebelumnya, penulis memberikan beberapa

rekomendasi yaitu:
1.

Pemerintah pusat dan daerah perlu memastikan ruang lebih terbuka bagi

partisipasi masyarakat dalam perencanaan, penganggaran, dan pemantauan dana
Otsus. Partisipasi ini paralel dengan upaya pemerintah pusat dalam menjamin
keterbukaan informasi publik. Partisipasi masyarakat dilakukan untuk menilai 3 hal di
masing-masing tahap pelaksanaan kegiatan, yaitu (a) efektivitas, atau sejauh mana
manfaat program dengan menggunakan dana Otsus dapat dirasakan masyarakat (b)
kepatuhan terhadap prosedur, atau apakah ada sanksi terhadap kecurangan dan
penyelewengan dan (c) akses, atau apakah masyarakat mudah mendapatkan informasi
penting yang diperlukan. MRP perlu berperan lebih strategis dengan memfasilitasi
masyarakat sipil dalam melakukan pengawasan di setiap tahap program.
2. Perbaikan mekanisme transfer. Pemerintah pusat perlu merumuskan perbaikan
mekanisme transfer dari tanpa syarat menjadi bersyarat. Prasyarat yang digunakan
dibuat secara bertahap sesuai situasi di Papua dan Papua Barat yang memang
memerlukan kebijakan afirmatif. Sebagai contoh, pada tahun pertama pemerintah
pusat mengenakan persyaratan pelaporan monev SPM pendidikan dan kesehatan
minimal 70%, kemudian tahun kedua target dinaikkan mencapai 100%, lalu tahun
ketiga dan berikutnya dikaitkan dengan validitas data. Dapat juga ditambahkan pada
3 tahun terakhir masa otsus, syarat pencapaian SPM diberlakukan.
3. Koordinasi lintas K/L dalam melakukan monitoring dan evaluasi. Kementerian
Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Keuangan, Badan Pengawas Keuangan
Pembangunan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi. Pemerintah pusat dapat membentuk tim lintas K/L dalam memantau dan
mengevaluasi program dan penggunaan dana Otsus dan dikaitkan dengan syarat

13

dalam perubahan mekanisme transfer. Setiap temuan bermasalah harus diusut, agar
tidak ada dugaaan bahwa dana otonomi khusus tidak boleh diusik karena sebagai
sumbangan pemerintah pusat agar Papua tidak memerdekaan tanah mereka sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Yani, Ahmad. (2008). Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di
Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Website:
Agus,

P

Linggar.

(2012).

Tinjauan

Otonomi

Daerah.

Diakes

dari

http://eprints.uny.ac.id/8631/3/BAB%202%20-%2008401241011.pdf, pada 6
Juni 2014 pukul 21.00 wib.
Anonim. 2010. Otonomi Daerah Dan Skenario Indonesia 2010: Dalam Konteks
Pembangunan

Daerah

Development

Dengan

Pendekatan

Approach).

Kewilayahan
Diunduh

(Regional
di

http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/LAINNYA/DIDITARMIDI/Paper_Otonomi
Daerah.pdf, pada 2 Juni 2014 pukul 20.00 wib.
Badan Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah Provinsi Papua. (tanpa tahun)
Penerimaan Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Papua.

Diakses

dari

http://bpkad.papua.go.id/page/31/penerimaan-amp-

pengalokasian-dana-otsus-papua.htm/lang/in, pada 4 Juni 2014 pukul 20.00
wib.

14

Dewi,

R.

(2011).

Otonomi

Daerah.

Diakses

dari

http://education-

lili.com/2011/04/makalah-otonomi-daerah.html,pada 7 Juni 2014 pukul 21.00
wib
Jaringan Dokumentasi dan Informasi. (2014). Dana Triliunan Ke Papua, Rakyat
Tetap

Miskin.

Diakses

dari

http://jdih.bpk.go.id/wp-

content/uploads/2014/06/Dana-Triliunan-ke-Papua-Rakyat-tetap-Miskin.pdf,
pada 6 Juni 2014 pukul 20.30 wib.
Ranu, Agus. (2011). Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian 2011. Diakses
dari http://agusranu.blogspot.com/2011/06/dana-otonomi-khusus-dan-dana.html
pada 2 Juni 2014 pukul 15.30 wib.

15