Korupsi dan Defisit Tata Kelola

Korupsi dan Defisit Tata Kelola
Oleh : Teddy Lesmana

Corruption
perpetuates
discrimination,
prevents the full realization of economic,
social, and cultural rights, and contributes to
the infringement of numerous civil and
political rights (Peter Eigen, 2002)
Abstract
This paper tries to draw an analysis about the relationship between poor governance
and rampant corruption. One of dimensions good governance parameter is control of
corruption. Low control on corruption reflects poor governance. In this case, Indonesia
has been plagued by massive corruption in almost every line of bureaucracy. Therefore,
the commitment to enforce anti corruption and raising awareness of corruption is a must.
This paper also directs future research for the formation special governance zones for
better quality of governance.

Pendahuluan
Sejak bergulirnya reformasi di Indonesia yang ditandai dengan turunnya Presiden

Soeharto pada dari tampuk pemerintahan pada tahun 1998, selama sepuluh tahun usia era
yang dinamakan reformasi, belum nampak arah dari perubahan ke arah yang lebih baik
yang diharapkan akan tercipta dari reformasi tersebut. Salah satu ‘penyakit’ yang masih
menjakiti bangsa kita adalah tindak korupsi yang dilakukan oleh kalangan legislatif,
eksekutif, penegak hukum dan kalangan birokrasi mulai dari pusat hingga daerah.
Bahkan, sejak berlakunya era otonomi 1999 daerah terlihat terjadinya ‘penyebaran’
korupsi yang tadinya lebih terkonsentrasi di kalangan birokrasi tingkat pusat, kini korupsi
pun meruyak di berbagai daerah. Salah satu premis yang mengemuka adalah adanya
kelemahan jika tidak mau dikatakan belum hadirnya praktik tata kelola (governance)

1

yang baik di setiap lini birokrasi kita. Korupsi dalam bentuk apapun merupakan suatu
bahaya yang patut diwaspadai sebagimana dikatakan oleh Caiden (2001: 227):
. . . corruption in all its manifest forms gnaws at, undermines, and contradicts all
the democratic elements. It embodies the antidemocratic ethos, for it embraces
selfishness, self-centredness, particularism, unfair privilege, exploitation of
weaknesses and loopholes, unscrupulous advantage of the weak, the exploitable
and the defenseless, and all manner of shady dealings. It is undeserved, unfair,
unjust, and immoral.

Pentingnya tata kelola dalam peran negara (state role) dan fungsi-fungsi negara sejak
zaman Plato atau bahkan lebih awal telah didengungkan sebagaimana yang dinyatakan
oleh Plato dalam The Republic:
...but when the guardians of the laws and of the government are only seeming and not
real guardians, then see how they turn the State upside down; and on the other hand they
alone have the power of giving order and happiness to the State. We mean our guardians
to be true saviours and not the destroyers of the State....
Walaupun batas antara pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan tidaklah begitu tegas
digambarkan pada zamannya Plato, pengawal hukum dan pemerintahan baik wakil-wakil
politik (political representatives) yang membuat kebijakan dan aparatur birokrasi yang
melaksanakan kebijakan memiliki pengaruh langsung kepada berfungsinya negara. Lebih
jauh, dengan adanya kekuasaan akan fungsi-fungsi negara di tangan mereka, pada
gilirannya, kebijakan-kebijakan yang mereka hasilkan akan berpengaruh kepada
kehidupan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Tulisan ini akan membahas mengenai
hubungan antara tindak korupsi dan ketiadaan tata kelola yang baik di mana pada kasus
tertentu bisa dikatakan telah terjadi defisit tata kelola yang baik sehingga korupsi makin
merajalela.
Konsepsi Tata Kelola
Pada awal dekade 90-an isu mengenai tata kelola (governance) muncul ke permukaan
dan menjadi penting setelah Bank Dunia menemukan banyak kegagalan pembangunan

yang terjadi di negara-negara sub-Sahara Afrika. Kegagalan pembangunan yang terjadi di
negara-negara berkembang tak terlepas dari ketiadaan tata kelola dan kualitas

2

kelembagaan baik. Isu mengenai tata kelola dan korupsi kerap diabaikan dan tak
termasuk dalam prinsip sound macroeconomic policy kala itu.
Konsep good governance pun pada dekade itu relatif masih baru. Konsep ini mulai
dikenal dalam laporan Bank Dunia seperti yang telah disebutkan di atas mengenai
negara-negara di Sub-Sahara Afrika di mana krisis yang menerpa negara-negara di
kawasan tersebut diakibatkan oleh apa yang disebut sebagai “crisis of governance”
(World Bank, 1989). Menurut definisi Bank Dunia dalam Santiso (2001), tata kelola
(governance) mencakup bentuk dari rejim politik suatu negara yakni proses dimana
kekuasaan dijalankan dalam mengelola sumberdaya-sumberdaya ekonomi dan sosial
untuk pembangunan; dan kapasitas pemerintah untuk mendisain, menformulasikan, dan
mengimplementasikan

kebijakan-kebijakan

serta


menjalankan

fungsi-fungsi

pemerintahan. Terkait dengan rejim politik suatu negara apakah demokratis atau tidak
merupakan sesuatu di luar fokus dari penekanan Bank Dunia.
Sedangkan tata kelola menurut Kamus American Heritage adalah aksi, proses atau
kekuasaan untuk memerintah dan mengatur: pemerintah. Oleh karenanya apa yang
disebut sebagai tata kelola yang baik adalah tata pemerintahan yang baik dan sebaliknya
yang disebut sebagai tata kelola yang buruk adalah adalah apa yang merupakan tata
pemerintahan yang buruk. Konsep mengenai tata kelola sangat luas digunakan untuk
menyebutkan suatu rentang praktik-praktik baru (new pactices) administrasi publik.
Umumnya praktik-praktik tata kelola yang baik terkait dengan adanya pergeseran dari
birokrasi yang sangat hierarkis menuju birokrasi yang kompatibel dengan dinamika pasar
dan jejaring (networks) dalam kehidupan masyarakat.
Konsep tata kelola juga berkaitan dengan dimensi-dimensi ekonomi yang memiliki arti
sebagai ‘sound development management’. Oleh karenanya, dorongan utama aktivitasaktivitas yang berbasis tata kelola adalah manajemen sektor publik (birokrasi
pemerintahan), pengelolaan keuangan negara, modernisasi administrasi publik, dan
privatisasi BUMN. Pergeseran konsep tata kelola menjadi tata kelola yang baik juga

memasukkan suatu dimensi normatif mengenai kualitas tata kelola. Sistem tata kelola

3

yang baik menetapkan lebih jauh

persyaratan-persyaratan pada proses pembuatan

keputusan dan formulasi kebijakan publik.
Tata kelola yang baik juga lebih dari sekedar kapasitas sektor publik dan mencakup
kaidah aturan yang menciptakan suatu legitimasi, kerangka kerja yang efektif dan efisien
dalam melaksanakan kebijakan publik. Tata kelola yang baik berimplikasi pada
pengelolaan urusan masyarakat dengan cara yang transparan, akuntabel, partisipatif dan
berkesetaraan.

Lebih lanjut, tata kelola yang baik juga mencakup partisipasi dalam

pembuan kebijakan publik yang efektif, penegakan hukum dan sistem peradilan yang
independen, checks and balances melalui pemisahan kekuasaan secara horisontal dan
vertikal, dan adanya lembaga-lembaga pengawas yang efektif. Para peneliti Bank Dunia

(Kaufmann, Kraay and Zoido-Lobaton 1999) menyebutkan enam dimensi utama dari tata
kelola (good governance):


Suara dan akuntabilitas yang mencakup kebebasan-kebebasan sipil dan stabilitas
politik;



Efektivitas pemerintahan yang mencakup kualitas pembuatan keputusan dan
pelayanan publik;



Kebutuhan tanggung jawab pengawasan;



Kaidah hukum yang mencakup perlindungan akan hak-hak kepemilikan; dan




Independensi peradilan; dan



Kontrol korupsi.

Quibria (2006) mengungkapkan bahwa definisi yang beragam mengenai apa yang
dimaksud dengan tata kelola akan berimplikasi kepada aspek-aspek apa saja yang
dipandang penting sebagai unsur daripada tata kelola tersebut. Alhasil, perbedaan cara
pandang mengenai tata kelola akan menghasilkan pandangan berbeda mengenai apa yag
dianggap penting mengenai definisi tata kelola yang dianut. Rhodes (1996) menyatakan
bahwa konsep tata kelola mengindikasikan suatu perubahan dalam makna mengenai
pemerintah yang merujuk kepada suatu proses baru dalam memerintah/mengatur, atau
4

suatu kondisi yang berubah dari susunan aturan; atau metode baru dimana masyarakat
diatur. Proses dan efek dari tata kelola paralel dengan institusi tradisional pemerintah.
Tata kelola berkaitan dengan penciptaan kondisi bagi susunan aturan and collective

action. Output dari tata kelola (governance) oleh karenanya tidak berbeda dengan yang
dilakukan oleh pemerintah. Perbedaannya hanya terletak dalam proses.
Sedangkan menurut teori politik Anglo-Amerika (Stoker, 1998) menggunakan
terminologi ‘government’ yang merujuk kepada institusi-institusi formal negara dan
monopoli kekuasaan pemaksa yang mereka miliki. Pemerintah dicirikan dengan
kemampuannya

untuk

membuat

keputusan-keputusan

dan

kapasitasnya

untuk

melaksanakannya. Secara lebih khusus lagi, pemerintah dipahami dengan merujuk

kepada proses kelembagaan dan formal yang dilakukan pada level negara bangsa untuk
memelihara ketertiban masyarakat (public order) dan memfasilitasi collective action.
Landell-Mills and Serageldin (1992) secara lebih tegas mendefinisikan tata kelola sebagai
berikut:
Governance may be taken as denoting how people are ruled and how the affairs of
a stateare administered and regulated. It refers to a nation’s system of politics and
how this functions in relation to public administration and law. Thus, the concept of
governance goes beyond that of “government” to include a political dimension.
Kaitan tata kelola dengan pemerintahan yang baik juga diungkapkan oleh La Porta et al
(1998) yang mendefinisikan good government yakni pemerintahan yang cocok bagi
pembangunan di negara-negara kapitalis. Namum demikian, dalam pandangan yang
sempit ini good government juga dapat dimanifestasikan dalam situasi dimana
ketimpangan antar kalangan masyarakat rendah, menghargai kemajemukan, dan tradisi
positif yang terpelihara. Bahkan dalam pandangan yang sempit ini, ada banyak dimensi
yang berbeda mengenai performa pemerintahan yang baik. Montesquieu (1748) dan
Smith (1776) memfokuskan pada jaminan akan hak-hak kepemilikan, intevensi
pemerintah yang minim, regulasi yang lunak, pajak rendah sebagai ukuran yang penting
dari good government. Kalangan lain berpendapat bahwa pemerintah yang berfungsi baik
adalah pemerintah yang memiliki birokrasi berkualitas tinggi, sukses dalam menyediakan
layanan publik yang esensial, pemanfaatan anggaran yang efektif, dan demokratis.


5

Quibria (2006) menyebutkan beberapa kalangan memiliki pandangan yang berbeda
mengenai tata kelola (governance). Kalangan pertama memfokuskan definisi tata kelola
dengan rejim politik yakni yang terkait dengan kontestasi dan proses politik, kebebasan
sipil dan politik, dan legitimasi pemerintah. Dari perspektif ini demokrasi, hak azasi
manusia, partisipasi dan kebebasan pers adalah elemen yang penting dari tata kelola.
Kalangan yang kedua menitikberatkan pengelolaan ekonomi (economic management).
Definisi governance dalam konteks ini difokuskan kepada pelaksanaan yang baik
terhadap tata kelola sumberdaya ekonomi dan sosial

yang dilakukan pemerintah.

Menurut perspektif ini, pengelolaan ekonomi yang reliable memerlukan dukungan dari
birokrasi yang efisien dan didasarkan pada proses pembuatan keputusan yang transparan,
partisipatif, dan akuntabel. Oleh karenanya, tata kelola yang baik dipandang akan
meningkatkan pelayanan dan penyediaan fasilitas publik dan manajemen ekonomi yang
efektif guna menghindari penundaan dalam pelaksanaan tugas pemeritah, penyimpangan
dan korupsi serta distorsi-distorsi lainnya.

Kalangan ketiga menekankan pengertian tata-kelola pada substansi kebijakan ekonomi
untuk mengatasi masalah-masalah pembangunan yang dihadapi suatu negara. Dari
perspektif ini, kualitas tata-kelola direfleksikan dalam kapasitas pemerintah untuk
merancang, memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan yang tepat. Namun
demikian, perancangan kebijakan-kebijakan yang baik adalah jauh lebih mudah jika
dibandingkan dengan mewujudkan kebijakan tersebut dalam praktiknya untuk mengatasi
permasalahan dalam pembangunan. Hal ini bergantung tidak hanya kepada tujuan khusus
pembangunan apakah itu pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan atau
mengurangi ketimpangan ekonomi akan tetapi juga bergantung kepada konteks politik,
budaya dan sejarah. Dengan kata lain tidak ada kebijakan yang seperti ‘magic bullets’
yang dapat diterapkan di semua negara pada tahap pembangunan yang berbeda atau
dengan kata lain tidak ada kebijakan yang ‘one size fits all’ (Quibria, 2006).
Pandangan klasik diantara para ekonom yang diartikulasikan oleh Adam Smith (1776)
memahami pemerintahan yang baik (good government) melindungi hak-hak kepemilikan

6

dan membuat regulasi serta menurunkan pajak. Dengan kata lain pemerintahan yang baik
adalah pemerintah secara relatif non-interventionist. Namun demikian, pandangan akan
minimnya peran pemerintah telah banyak digantikan oleh pandangan yang lebih ortodoks
di mana peranan pemerintah dalam mengatur kehidupan masyarakatnya dipandang harus
lebih luas. Dalam dekade-dekade terakhir, lembaga-lembaga keuangan internasional
mengavokasikan seperangkat kebijakan neo-liberal yang dikenal dengan istilah
‘Washington Consensus1’ (Williamson, 1990).
Korupsi: Tinjauan teoritis
Korupsi telah banyak didefinisikan dalam berbagai pandangan dan setiap definisi tersebut
mengandung beberapa aspek kelemahan. Dalam banyak kasus, berbagai pengamat
sepakat bahwa suatu perilaku tertentu dapat dikatakan sebagai korupsi. Namun demikian,
perilaku yang dianggap merupakan tindak korupsi kerap sulit untuk diamati karena
umumnya korupsi dilakukan tak kasat mata.
Definisi yang paling popular dan sederhana mengenai korupsi adalah definisi yang
digunakan oleh Bank Dunia yakni penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan yang dimiliki
birokrasi pemerintah untuk kepentingan pribadi. Dari definisi ini, bukan berarti korupsi
tidak ada dalam aktivitas sektor swasta (contohnya, dalam hal perolehan input dan
bahkan dalam proses perekrutan personel). Korupsi juga hadir dalam aktivitas-aktivitas
bisnis/usaha yang diregulasi oleh pemerintah. Penyalahgunaan wewenang yang dilakukan
oleh aparatur pemerintah tidak selalu untuk kepentingan pribadi tetapi juga kerap terjadi
untuk kepentingan kelompok, keluarga, suku dan lain-lain.

1

Konsep dan nama Washington Consensus pertama kali dikenalkan oleh John Williamson, seorang ekonom
dari Institute for Internationl Economics, think-tank ekonomi internasional yag berbasis di Washington
D.C. Williamon menggunakan istilah ini untuk menggambarkan tema umum dari kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan oleh lembaga-lembaga keuangan yang berbasis di Washington seperti IMF, Bank Dunia, dan
Departemen Keuangan AS yang dipercayai diperlukan untuk pemulihan krisis di Amerika Latin pada
dekade 1980-an. Williamson menolak untuk menggunakan istilah ini untuk melegitimasi agenda-agenda
kebijakan neo-liberal di berbagai belahan dunia.

7

Perspektif Korupsi Sektor Publik dalam Model Klasik
Korupsi umumnya dipandang sebagai salah satu hambatan serius bagi pembangunan
suatu negara. Studi yang dilakukan oleh Mauro (1995) dan Burki dan Perry (1998)
mengungkapkan bahwa korupsi mengurangi dan menghambat pertumbuhan ekonomi
karena menurunnya investasi yang dilakukan oleh sektor swasta. Sementara itu, Kaufman
et al (1999) menemukan di mana korupsi menyebabkan terbatasnya dan turunnya
manfaat pembangunan sebagaimana terlihat dari ukuran pendapatan per capita, kematian
bayi, dan tingkat melek huruf. Lebih jauh Bai dan Wei (2000) berargumentasi bahwa
korupsi mempengaruhi pembuatan kebijakan ekonomi
Korupsi di kalangan sektor publik (birokrasi) menurut beberapa ekonom seperti Bayley
(1966), Huntington (1968), Leff (1964), Morgan (1964), dan Nye (1967) berpendapat
bahwa korupsi merupakan mekanisme pendorong efisiensi (efficiency-enhancing
mechanism). Argumentasi yang disebut sebagi efficiency-enhancing ini bertolak dari
premis dimana korupsi dapat mengatasi permasalahan ketidakefisienan yang diakibatkan
oleh regulasi yang memberatkan dan kerap dirasakan terlalu berbelit-belit yang
disebabkan oleh rantai mekanisme dan meja birokrasi yang demikian panjang. Dalam
konteks ini, korupsi dapat dikatakan sebagai ‘grease wheel’ untuk memperlancar urusan
dalam berbinis ketika pelaku usaha berhadapan dengan aparatur pemerintah yang
memiliki kewenangan yang terkait dengan hajat sang pelaku bisnis atau masyarakat.
Namun demikian argumetasi di atas memiliki kelemahan. Argumentasi efficiencyenhancing tersebut tidak memasukkan konsekuensi distributional dan kesejahteraan dari
proses korupsi. Kelemahan dari argumentasi efficiency-enhancing ini juga disoroti oleh
Khan dan Akif (2005) yang mempertanyakan jika hanya melihat korupsi sebagai jalan
‘pelicin’, pertanyaan yang perlu dikaji lebih dalam selanjutnya adalah siapa yang
membayar suap dan apakah si pemberi suap itu memperoleh hasilnya? Konklusi dari
argumentasi efficiency-enhancing ini hanya berdasarkan asumsi dimana setelah
membayar membayar suap, koruptor akan menyelesaikan kewajibannya sesuai dengan
apa yang dituntut oleh persyaratan-persyaratan kontrak suatu proyek. Namun demikian,

8

asumsi ini dalam kenyataan dan prakteknya tidaklah demikian. Mengapa? Karena setelah
para koruptor yang lolos dan dianggap telah memenuhi persyaratan seperti yang sudah
digariskan oleh pihak yang berwenang, umumnya para koruptor akan mencoba untuk
tidak melaksanakan apa-apa yang sudah disepakati dalam proses suap-menyuap tadi dan
hasil dari pelaksanaan suatu proyek biasnya lebih buruk daripada yang sudah disepakati
dalam kesepakatan jahat tersebut. Magnitude kerugiannya akan semakin besar karena
kesepakatan kontrak yang fair sudahlah tak dipenuhi dan untuk kemudian diselesaikan
dengan kesepakatan jahat. Kesapakatan jahat ini pun akhirnya acap kali dilanggar pula.
Pendekatan Principal-Agent2 Mengenai Korupsi Birokrasi
Rose-Ackerman (1978), Jain (1998), dan Klitgaard (1988) memandang korupsi dari
pendekatan principal-agent untuk memahami dampak korupsi yang dilakukan oleh
birokrasi. Dalam model principal agent, prinsipal yang dalam hal ini pemerintah
menciptakan aturan-aturan dan menugaskan agen (aparatur yang menjalankan fungsifungsi yang sudah digariskan prinsipal) untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam
memenuhi layanan publik kepada klien (masyarakat). Dalam hal ini, agen biasanya
memiliki informasi yang lebih banyak dari yang dimiliki oleh prinsipal sehingga
memungkinkan untuk berlaku tidak jujur (Besley and McLaren 1993). Gambar di bawah
ini menggambarkan apa yang dimaksud dengan principal-agent model.

2

Dalam ilmu ekonomi, masalah principal-agent menjelaskan kesulitan yang akan muncul dalam situasi di
mana adanya ketidakseimbangan dan ketidaklengkapan informasi ketika prinsipal menugaskan agen.
Masalah principal-agent ditemukan di hampir segala bentuk relasi principal-agent baik dalam dunia
birokrasi maupun swasta (Wikipedia).

9

Gambar 1. Skema Principal-Agent Model

Sumber: file://localhost/wiki/Image:Principal_agent.png

Dilihat dari tipologinya, ada dua tipe tindak korupsi yang biasanya terjadi di birokrasi
pemerintahan yakni korupsi yang kasat mata (apparent) dan korupsi yang tersembunyi
(hidden). Korupsi tipe pertama yakni korupsi yang skalanya dan signifikansinya kecil
misalnya pungutan liar yang dilakukan aparat pemerintah dengan alasan untuk mencari
tambahan pendapatan. Korupsi jenis ini yang tiap hari tampak di depan mata dan
dirasakan sudah menjadi penyakit masyarakat, tidak lebih berbahaya jika dibandingkan
dengan korupsi jenis kedua yakni tindak korupsi yang dilakukan secara tak kasat mata
(hidden corruption). Dalam ranah korupsi yang tak nampak ini, skala dan signifikansi
korupsinya sudah sistemik dan besar. Tindak korupsi yang sudah sistemik ini sudah jauh
memasuki dan berpotensi merusak operasionalisasi negara dan memainkan peran penting
akan penguasaan segelintir elit atas negara di mana proses formulasi kebijakan dibuat
hanya untuk menguntungkan segelintir elit tertentu. Adanya tindak korupsi dalam
konteks ini sering merupakan suatu ‘manifestasi dari kurangnya penghormatan terhadap
aturan main yang mengatur hubungan interaksi mereka baik oleh si pelaku tindak korupsi

10

(masyarakat, swasta, dan aparat pemerintah) dan oknum/institusi yang dikorupsi (oknum
pemerintah yang menerima suap dan melakukan penyelewengan dan pejabat pemegang
kekuasaan resmi di institusi tersebut). Pelanggaran aturan main dan kaidah yang mestinya
dijunjung tinggi ini menggambarka gagalnya tata kelola untuk dijalankan dengan baik
dan sebagaimana mestinya (Kaufmann, Kraay, and Mastruzzi 2005).
Korupsi dan Lemahnya Tata Kelola
Meskipun ada perhatian mengenai etika, tata kelola dan kontrol korupsi belum
menempati dan merupakan prioritas utama terhadap pembangunan ekonomi. Bahkan
beberapa pengamat mengatakan bahwa korupsi merupakan “the grease-of-the-wheels-ofcommerce” yang justru “bermanfaat” dalam memperlancar aktivitas ekonomi.
Dalam terminologi yang luas, korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan atau fasilitas
publik untuk kepentingan pribadi. Definisi ini meliputi penyalahgunaan-penyalahgunaan
unilateral oleh pejabat pemerintah seperti nepotisme dan penyelewengan wewenang serta
penyalahgunaan yang terkait dengan penyuapan, pemerasan dan penipuan yang
meelibatkan aktor dari kalangan birokrat dan swasta.
Negara dimana sektor publik atau birokrasinya besar cenderung berkorupsi dibandingkan
dengan negara yang entitas birokrasinya lebih kecil. Asumsinya di sini adalah korupsi
yang dilakukan oleh birokrasi jauh lebih buruk dibandingkan dengan korupsi yang
dilakukan oleh kalangan swasta/bisnis meskipun asumsi ini tidaklah memiliki bukti yang
cukup kuat. Mengapa? Karena korupsi yang dilakukan oleh sektor swasta tersembunyi
dengan lebih baik dan tak kentara seperti tindak korupsi yang dilakukan oleh kalangan
sektor publik/birokrasi yang kerap memperoleh ekspos yang berlebihan. Sektor swasta
membenci skandal yang bisa menyebabkan citra mereka jatuh di hadapan klient,
konsumen, mitra, dan tenaga kerja potensial. Mereka kerap menyembunyikan rapat-rapat
skandal menyingkirkan orang yang berpotensi sebagai peniup peluit (whistleblower).

11

Sementara di lan pihak, sektor publik/birokrat berada dalam situasi yang lebih mudah
terlihat di era yang mengedepankan transparansi publik ini sehingga mudah terpantau
oleh media yang mengeksposnya kepada masyarakat. Dalam ranah tata kelola, kedua dua
dunia ini tak bisa dipilah-pilah lagi dalam memandang tindak korupsi yang mereka
lakukan. Sering ditemukan dimana aktor pelaku tindak korupsi berasal dari kedua belah
pihak (Caiden, 2003). Menurut Klitgaard (1988), ada tiga dimensi dari institusi
pemerintah yang sangat rentan terhadap terciptanya korupsi: kekuasaan monopoli pejabat
pemerintahan, tingkat diskresi yang diijinkan untuk dilakukan, dan lemahnya
akuntabilitas dan transparansi di dalam suatu institusi.

Tanzi (2000) mengungkapkan bahwa banyak perhatian diarahkan dewasa ini mengenai
peran pemerintah. Tata kelola (governance) secara umum dan korupsi khususnya karena
keterkaitan diantara kedua hal tersebut. Governance itu sendiri kerap didefinisikan
sebagai government. Sehingga good governance adalah good government. Tata kelola
yang baik merupakan bagian yang esensial terhadap pengelolaan ekonomi dan keuangan
yang meliputi stabilitas makroekonomi; komitmen kepada keadilan ekonomi dan sosial;
dorongan untuk menciptakan lembaga-lembaga yang efisien melalui reformasi struktural
seperti liberalisasi perdagangan dan deregulasi domestik.
Lebih lanjut Tanzi (2000) menyebutkan bahwa minimnya kehadiran tata kelola yang baik
disebabkan oleh beberapa faktor seperti inkompetensi, pengabaian, institusi yang tak
efisien, dan model perencanaan ekonomi yang salah arah (misguided economic models).
Tindak korupsi pun sering dikaitkan dengan perilaku memburu rente (rent-seeking
behvior). Harus dipahami bahwa tindak korupsi tidaklah identik dengan lemahnya tata
kelola (poor governance). Namun demikian lemahnya penerapan tata kelola yang baik
cenderung menyuburkan korupsi dan korupsi merupakan unsur yang penting dari
lemanya tata kelola yang baik.
Ada konsensus umum dalam pembangunan masyarakat dimana tata kelola yang baik
memiliki pengaruh yang penting pada pembangunan ekonomi dan sosial. Tata kelola

12

yang baik merupakan unsur yang penting bagi pertumbuhan ekonomi dimana
peningkatan efisiensi dari penyebarab tenaga kerja, investasi yang lebih produktif dan
implementasi kebijakan-kebijakan ekonomi dan sosial yang lebih cepat akan mendorong
laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi (United Nations, 2005).
Tata Kelola dan Korupsi di Indonesia
Lemahnya tata-kelola birokrasi di Indonesia dan maraknya tindak korupsi baik ilegal
maupun yang dilegalkan dengan aturan-aturan yang dibuat oleh penyelenggara negara
merupakan tantangan besar yang masih harus dihadapi negara ini. Kualitas tata kelola
yang buruk ini tidak saja telah menurunkan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara,
tetapi juga telah banyak memakan korban jiwa dan bahkan ancaman akan terjadinya the
lost generation bagi Indonesia. Efek dari buruknya tata kelola di negara ini mulai terlihat
seperti tingkat kemiskinan yang relatif masih tinggi, pengangguran, gizi buruk,
rendahnya kualitas pelayanan publik, rendahnya penerapan standard keselamatan moda
transportasi serta ketimpangan antar kalangan masyarakat yang semakin nyata. Salah satu
ketimpangan itu adalah kemewahan yang diberikan kepada elit eksekutif baik dan wakil
rakyat baik di tingkat pusat maupun daerah.

Beberapa manifestasi buruknya tata kelola
Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta (17,75
persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah
35,10 juta (15,97 persen), berarti jumlah penduduk miskin meningkat
sebesar 3,95 juta.
Jumlah pengangguran terbuka menurut catatan BPS juga menunjukkan naiknya jumlah
pengangguran terbuka dari 10,9 juta orang (10, 3 persen) pada Februari 2005 menjadi
11,1 juta (10,4 persen) pada Februari 2006 dan dari jumlah tersebut sekitar 64,1 persen

13

tenaga kerja ada di sektor informal yang sangat rentan karena minimnya perlindungan
yang menjamin kontinuitas akses ekonomi mereka yang serba tak pasti. Meskipun di
penghujung tahun 2006 pemerintah mengklaim telah berhasil menurunkan jumlah
pengangguran sebesar 1 juta orang, namun laju pertumbuhan angkatan kerja baru yang
mencapai 2,5 juta orang (Umar Juoro, Republika 18 Desember 2006), tetap menyisakan
pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah dalam hal penyediaan lapangan kerja baru.
Sementara itu, Indonesia pun masih menempati posisi teratas negara-negara yang korup.
Keadaan ini menyiratkan perlunya perbaikan akan tata kelola pemerintah.
Pemerintah yang berfungsi baik adalah pemerintah yang memiliki birokrasi berkualitas
tinggi, sukses dalam menyediakan layanan publik yang esensial, dapat mengelola
anggaran negara yang efektif, tepat sasaran dan betul-betul untuk kemaslahatan rakyat
kebanyakan, serta demokratis. Oleh karenanya, pemerintah sudah seyogyanya harus
berpacu dengan waktu dan berupaya untuk memperbaiki kualitas tata kelolanya sehingga
ancaman terwujudnya Indonesia sebagai negara yang gagal (failed state) tidak terjadi.
Survei tahunan yang dilakukan oleh para peneliti Bank Dunia (2005) menunjukkan
bahwa Indonesia masih menempati posisi yang buruk dari enam dimensi tata kelola yakni
kebebasan berpendapat dan akuntabilitas, instabilitas politik dan kerusuhan, efektivitas
pemerintahan, tanggung jawab pengawasan, dan kaidah hukum. Khusus pada dimensi
kontrol terhadap tindak korupsi. Korupsi dan lemahnya tata kelola birokrasi bagaikan dua
sisi mata uang. Maraknya korupsi merupakan cerminan buruknya tata kelola birokrasi
(lihat appendix).
Meskipun pemerintahan di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
sudah menunjukkan tekad yang kuat untuk memberantas tindak korupsi, namun usaha
tersebut belum nampak optimal. Kesan yang tertangkap di muka publik adalah
pemberantasan korupsi yang masih tebang pilih. Bahkan yang terjadi akhir-akhir ini
adanya upaya untuk membalikkan arah jarum jam upaya pemberantasan korupsi dengan
melakukan upaya judicial review terhadap UU KPK dan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor). Judicial review UU KPK ini juga membuktikan rendahnya kualitas

14

pembuatan perundang-undangan yang dilakukan oleh DPR yang memiliki tugas dan
fungsi legislasi. Namun maraknya permintaan untuk meninjau kembali UU yang
bertujuan untuk memberantas korupsi dari kalangan yang merasa terancam juga
mengindikasikan adanya upaya mempolitisasi upaya pemberantasan korupi yang
sejatinya harus tetap menjunjung tinggi penegakkan hukum.
Sementara itu, di lain pihak, kualitas aparatur pemerintah masih menunjukkan kinerja
yang memprihatinkan. Sinyalemen ini bahkan datang dari salah satu menteri Kabinet
Yudhoyono yang mengatakan 55 persen PNS berkinerja buruk. Sinyalemen ini
sebetulnya sudah diungkapkan oleh mantan Presiden Megawati Soekarnoputri yang
pernah mengatakan bahwa birokrasi yang kita miliki merupakan keranjang sampah.
Kualitas tata kelola pemerintahan dan birokrasi yang rendah mengakibatkan Indonesia
banyak mengalami lost of opportunities. Kasus di mana banyak investor yang hengkang
akibat ketidakjelasan peraturan dan perundang-undangan adalah salah satu bukti nyata
masih lemahnya kualitas birokrasi dan minimnya tata kelola yang baik.
Langkah ke Depan
Shang Ji Wei (1999) menyarankan suatu ide untuk membentuk kawasan tata kelola
khusus (special governance zone). Ide ini sangat relevan jika melihat buruknya kualitas
birokrasi dan minimnya tata kelola yang baik. Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk
memperbaiki kualitas tata kelola birokrasi di negara kita mencakup beberapa aspek.
1. Peran pemerintah yang disederhanakan
Peran pemerintah perlu di rancang ulang. Peran-peran pemerintah tersebut secara drastis
harus disederhanakan dan menutup celah yang memungkinkan terjadinya tindak korupsi
(misalnya persyaratan dalam proses perijinan atau diskresi pengecualian dalam
menerapkan suatu peraturan, artinya jangan ada lagi pilih-pilih dan perbedaan perlakuan
yang didasarkan atas suap). Di lain pihak, peran pemerintah yang lain seperti menjaga
ketertiban dan keamanan serta penegakkan hukum harus diperkuat. Prinsip yang

15

menggunakan mekanisme pasar harus dioptimalkan dalam mengalokasikan sumberdaya
dan mengatur perilaku sektor swasta. Segala persyaratan yang tidak perlu dikurangi.
Semua pajak, tarif dan biaya harus disederhanakan dengan tujuan yakni meminimalkan
dan menyeragamkan biaya yang taat asas. Segala diskresi alias perbedaan eksekusi
kewenangan yang dimiliki aparatur pemerintah yang didasarkan atas suap dan korupsi
harus dihilangkan.
2. Perbaikan kualitas pegawai negeri
Pejabat kunci di kawasan tata kelola khuus haruslah individu yang memiliki kaliber dan
integritas tinggi yang dipilih oleh pemerintah pusat melalui pemilihan lokal. Pegawai
negeri harus direkrut berdasarkan asas meritokrasi.
3. Perbaikan gaji pegawai negeri
Gaji pegawai negeri di kawasan tata kelola khusus ini harus sejajar dengan tingkat gaji
yang berlaku di perusahaan-perusahaan swasta bonafide. Administrasi SGZ haruslah
ramping dan efisien.
4. Penegakan hukum
Jika SGZ ini didirikan, proses auditing dan investigasi dilakukan terhadap integritas dan
efisiensi PNS. Pelanggaran hukum seperti suap dan korupsi akan diproses di muka
hukum tanpa kecuali dengan tingkat hukuman yang berat dan tanpa memandang alasan
apa pun di luar hukum dalam proses penyidikan dan peradilan.
Jika pemerintah tak melakukan langkah-langkah yang strategis, maka biaya yang terjadi
akibat merajalelanya korupsi akan membunuh banyak orang. Meningkatnya jumlah orang
miskin dan maraknya pengangguran akibat kegagalan dalam menciptakan akses yang
berkesetaraan bagi semua elemen masyarakat merupakan perwujudan dari efek tata
kelola yang lemah.

16

Penyediaan infrastuktur dasar bagi pemenuhan hajat hidup rakyat merupaka kewajiban
negara. Pengabaian akan hal ini merupakan pelanggaran terhadp hak azasi manusia dan
hak hidup setiap orang. Secara singkat Hertel (2006) menyimpulkan ada tiga hal mendasar
definisi hak-hak ekonomi bagi setiap orang yakni:

1) Hak untuk terhadap kecukupan standard hidup (termasuk subsistence rights);
2) Hak untuk mendapat pekerjaan; dan
3) Hak untuk mendapat pendapatan dasar yang menjamin mereka-mereka yang tidak
mampu

(anak-anak,

penganggur,

dan

lansia)

untuk

dapat

menopang

kehidupannya.

17

Appendix

3

Control of Corruption - 2005

(Chosen com parator also show n for selected countries)

HIGH

1

0

INDONESIA

Normalized Control of Corruption Index

2

Note: Blue dots represent estimates for the 2005
governance indicators. The thin vertical lines
represent standard errors around these estimates
for each country in w orld-w ide sample. Black dot
-1
represents the chosen year comparator (if any).
To add or delete countries from the chart, click on
LOW
Source: "Governance Matters V: Governance Indicators for 1996-2005 " by Daniel Kaufmann, Aart Kraay and
theMassimo
"CountryMastruzzi.
Selection" tab below .
Disclaim er: The governance indicators presented here reflect the statistical compilation of responses on the quality of governance given by a large number of enterprise, citizen and expert
-2 respondents in industrial and developing countries, as reported by a number of survey institutes, think tanks, non-governmental organizations, and international organizations. The
survey
aggregate indicators in no w ay reflect the official position of the World Bank, its Executive Directors, or the countries they represent. As discussed in detail in the accompanying papers,
countries' relative positions on these indicators are subject to margins of error that are clearly indicated. Consequently, precise country rankings should not be inferred from this data.

-3

204 Countries

18

Referensi:
Caiden, G.E, 2003, VIII Congreso Internacional del CLAD sobre la Reforma del Estado
y de la Administración Pública, Panamá, 28-31 Oct. 2003
Bai, C. E. and S. J. Wei, 2000, Quality of bureaucracy and open-economy macro policies,
NBER Working Paper No. 7766, Cambridge, MA.
Bayley, D. H. 1966, The Effects of Corruption in a Developing Nation, The Western
Political Quarterly 19(4): 719–732.
Burki, S. and G. Perry, 1998, Beyond the Washington Consensus: Institutions Matter,
World Bank, Washington, DC.
Caiden, Gerald, 2001, Corruption and Democracy, in G. Caiden, O. P. Dwivedi and J.
Habbra (eds) Where Corruption Lives, pp. 227–44. Bloomfield, CT: Kumarian Press.
Hertel, Shareen, (2006). Why Bother? Measuring Economic Rights: The Research
Agenda, International Studies Perspectives (2006) 7, 215–230.
Eigen, Peter, 2002, Corruption in a Globalized World, SAIS Review vol. XXII no. 1
Winter–Spring.
Kaufman, D. and P. Zoido-Lobato´ n, 1999, Governance matters, World Bank Policy
Research Working Paper No. 2196, World Bank, Washington, DC.
Kaufmann D., A. Kraay, and M. Mastruzzi, 2005, Governance Matters IV: Governance
Indicators for1996–2004.
http://info.worldbank.org/etools/docs/library/206973/GovMatters_IV_main.pdf
Khan, M. K Nadeem and Akif, S.A. Ahmad, 2005, The Quality of Public Sector
Management and Economic Inequality in The Role of Public Administration in
Building A Harmonious Society, Network of Asia-Pacific Schools and Institutes of

Public Administration and Governance, ADB.
Klitgaard, Robert,1988, Controlling Corruption, Berkeley, CA University of California
Press.
La Porta, Rafael, Florencio Lopez-de-Silanes, Andrei Shleifer, and Robert W. Vishny,
(1998), The Quality of Government, Mimeo.
Landell-Mills, P., and I. Serageldin,1991, Governance and the external factor. Staff Paper,
World Bank Annual Conference on Development Economics 1991. Washington, DC:
World Bank.

19

Leff, N. H.,1964, Economic Development through Bureaucratic Corruption, American
Behavioral Scientist 8(3): 8–14.
Montesquieu, Charles de Secondat (1748), The Spirit of the Laws, Paris.
Morgan, Th.,1964, The Theory of Error in Centrally-Directed Economic Systems,
Quarterly Journal of Economics 78(3): 395–419.
Nye, J. S.,1967, Corruption and Political Development: A Cost Benefit Analysis,
American Political Science Review 61(2): 417–427.
Quibria, M.G.,2006, Does Governance Matter? Yes, No orMaybe: Some Evidence from
Developing Asia, KYKLOS, Vol. 59 No. 1, 99–114
Santiso, Carlos, 2001, Good Governance and Aid Effectiveness: The World Bank and
Conditionality, The Georgetown Public Policy Review, Volume 7 Number 1 Fall 2001,
pp.1-22
Smith, Adam, 1976 (1776), An Enquiry into the Nature and Causes of the Wealth of
Nations.Chicago:University of Chicago Press.
Tanzi, Vito, 2001, Governance, Corruption, and Public Finance: An Overview, ADB
Institute.
Williamson, J.,1990, What Washington Means by Policy Reform, in: J. Williamson (ed.),
Latin American Adjustment: How Much Has Happened? Washington, DC: Institute for
International Economics: 7–38.
United Nations, 2005, Investing in Development. A practical Plan to Achieve the
Millennium Development Goals, Millennium Project Report to the UN Secretary General,
New York. NY.
/http://www.unmillenniumproject.org/reports/index.htmS.

20

21