SPAT dan Kontribusinya untuk Pengembanga

Sistem IInovasi
novasi Daerah:
Teknologi dalam
Pengembangan Ekonomi Lokal

Sistem IInovasi
novasi Daerah:
Teknologi dalam
Pengembangan Ekonomi Lokal

Mohamad Ariin
Dudi Hidayat
Setiowiji Handoyo
Sri Mulatsih
Prakoso Bhairawa Putera
Dini Oktaviyanti
Galuh Syahbana Indraprahasta

Sistem Inovasi Daerah:
Inovasi Teknologi dalam Pengembangan Ekonomi Lokal
Penulis:

Mohamad Ariin
Dudi Hidayat
Setiowiji Handoyo
Sri Mulatsih
Prakoso Bhairawa Putera
Dini Oktaviyanti
Galuh Syahbana Indraprahasta
Copyright © 2013 IPB Press
Penyunting bahasa
Penata letak
Desainer sampul
Korektor

: Galuh Syahbana Indraprahasta dan Nia Januarini
: Noval Tensai
: Sani Etyarsah
: Dwi M Nastiti

PT Penerbit IPB Press
Kampus IPB Taman Kencana Bogor

Cetakan Pertama

: Mei 2013

Dicetak oleh Percetakan IPB
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Dilarang memperbanyak buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
- Anggota IKAPI
ISBN : 978-979-493-504-0

Kata Pengantar
Buku ini merupakan hasil penulisan kembali dari penelitian mengenai
Penguatan Inovasi Teknologi dalam Rangka Mendukung Pengembangan
Ekonomi Lokal (PEL). Penguatan inovasi yang berorientasi pada spesialisasi
kewilayahan menjadi kunci keberhasilan pengembangan riset dan aplikasinya.
Seiring dengan itu, pergeseran paradigma pembangunan dari yang bersifat
sentralistik top-down menjadi desentralisasi bottom-up telah menempatkan
daerah sebagai salah satu ujung tombak pembangunan nasional. Untuk
itu perlu dipetakan kegiatan inovasi teknologi yang dilakukan oleh UKM,
khususnya industri makanan dan minuman dalam rangka mendukung

PEL. Lokus kegiatan ini adalah Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Malang,
Kabupaten Pasuruan, dan Kota Salatiga. Keempat daerah tersebut dipilih
karena memiliki potensi daerah yang dapat dikembangkan untuk mendukung
ekonomi lokal dari hasil inovasi teknologi. Fokus kegiatannya meliputi a)
Sentra Pengembangan Agribisnis Terpadu (SPAT), industri berbahan baku
ketela; b) Agaricus Sido Makmur Sentosa (ASIMAS), industri berbahan baku
jamur; c) Bangkit Cassava Mandiri (BCM), industri berbahan baku singkong;
dan d) UKM Sehati, industri berbahan baku kedelai.
Industri yang dikelola oleh SPAT dan ASIMAS dalam mengembangkan
produk dari hasil inovasinya, tercermin dari tiga indikator inovasi yang baik,
yaitu (i) perusahaan ini mampu mengoptimalkan penggunaan teknologi dalam
meningkatkan eisiensi dan efektivitas produksi, termasuk menggunakan
teknologi dalam pembibitan; (ii) keinovatifan perusahaan yang ditandai dari
terbukanya manajemen terhadap ide-ide baru terkait dengan peningkatan
kualitas produk, terutama ide-ide varian produk dan pengemasan; dan (iii)
kapasitas berinovasi dari perusahaan ini terlihat sangat baik, tidak hanya dari
bagaimana perusahaan memaksimalkan produksi setiap tahunnya tetapi juga
mampu menghasilkan berbagai varian dari produk.
Sementara itu, kasus pengembangan mocaf yang dikembangkan oleh
BCM ditujukan untuk mengembangkan ekonomi pedesaan yang hanya

mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Selain itu,
inovasi yang terjadi tidak ada sharing pengetahuan kepada UKM lainnya

Kata Pengantar

serta teknologi packaging-nya masih rendah. Untuk kasus UKM Sehati
dalam pengembangan usaha tidak terlepas dari adanya keterbukaan pemilik
untuk selalu mencari berbagai informasi berkaitan dengan pengelolaan UKM
yang baik dan berusaha untuk terus mencoba menerapkan ide-ide kreatif
yang muncul ke dalam berbagai bentuk inovasi, mulai dari inovasi proses,
inovasi produk, dan inovasi pemasaran. Berbagai bentuk inovasi tersebut
pada akhirnya berperan dalam memajukan UKM yang ia kelola dan turut
mengangkat pengembangan ekonomi lokal, minimal di sekitar tempat UKM
Sehati berada.
Akhirnya tim penulis yang merupakan peneliti dari Pusat Penelitian
Perkembangan Iptek-LIPI mengucapkan terima kasih kepada Kementerian
Riset dan Teknologi yang telah memberikan dana kegiatan ini melalui
Program Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa. Tak
lupa tim penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu menyampaikan pemikirannya serta memberikan masukan

dalam penyusunan akhir buku ini.

Jakarta, Januari 2013
Tim Penulis

vi

Daftar Isi
Hal

Kata Pengantar .............................................................. v
Daftar Isi ..................................................................... vii
Daftar Tabel ............................................................... xiii
Daftar Gambar .............................................................xv
Prolog ........................................................................ xvii

Bab 1

Strategi Pengembangan Ekonomi Wilayah
dengan Pendekatan Sistem Inovasi Daerah

(SIDa): Hambatan dan Prospek..................1

1.1 Pendahuluan ........................................................................ 1
1.2 Konsep Sistem Inovasi dalam
Diskursus Ekonomi Wilayah................................................ 2
1.3 Pokok-pokok Konsep Sistem Inovasi ................................... 4
1.3.1 Pengertian SINas ......................................................................5
1.3.2 Dasar Pemikiran Perlunya Konsep SINas ................................6
1.3.3 Konsep SINas bagi Negara Berkembang ..................................8

1.4 Isu-isu Penting dan Permasalahan dalam
Pengembangan SIDa di Indonesia...................................... 11
1.5 Interaksi antara Praktik Inovasi, Kebijakan Inovasi,
dan Teori Inovasi ............................................................... 15
1.6 Penutup ............................................................................. 19
Daftar Pustaka ................................................................... 19

Daftar Isi

Bab 2


Kajian Potensi Sumber Daya Lokal dalam
Pengembangan Inovasi Daerah ................23

2.1 Pendahuluan ...................................................................... 23
2.2 Konsep Sistem Inovasi Daerah ........................................... 25
2.3 Inovasi dan Pertumbuhan Ekonomi ................................... 27
2.4 Kebijakan Inovasi dan Kebijakan Daerah ........................... 28
2.5 Potensi Daerah................................................................... 30
2.5.1 Kota Salatiga ...........................................................................31
2.5.2 Kabupaten Trenggalek ............................................................33
2.5.3 Kabupaten Malang ..................................................................36
2.5.4 Kabupaten Pasuruan ...............................................................39

2.6 Penutup ............................................................................. 41
Daftar Pustaka ................................................................... 42

Bab 3

Potensi Pengembangan Singkong sebagai

Pengganti Tepung Terigu: Kasus di
Kabupaten Trenggalek................................45

3.1 Awal Mula Pengembangan Mocaf
di Trenggalek ..................................................................... 45
3.2 Mocaf dan Potensi Kemandirian Bangsa ............................ 48
3.3 Konsep Pengembangan Mocaf
di Kabupaten Trenggalek ................................................... 53
3.4 Inovasi dan Pengembangan Ekonomi Lokal ....................... 55
3.5 Potensi Keberlanjutan Mocaf
di Kabupaten Trenggalek ................................................... 60
3.6 Penutup ............................................................................. 65
Daftar Pustaka ................................................................... 65

viii

Daftar Isi

Bab 4


Peran Inovasi Teknologi dan Potensi
Unggulan Daerah dalam Pengembangan
UKM Sehati Salatiga...................................67

4.1 Pendahuluan ...................................................................... 67
4.2 Inovasi Teknologi dan Potensi Keunggulan Daerah
sebagai Faktor Pendorong Pengembangan
Ekonomi Lokal .................................................................. 74
4.3 Perkembangan UKM Sehati, Salatiga
di Bidang Makanan Olahan ............................................... 76
4.4 Model Peran Inovasi Teknologi
dan Potensi Unggulan Daerah dalam Mendukung
Pengembangan UKM Sehati, Salatiga ................................ 80
4.4.1 Potensi Unggulan Daerah ......................................................81
4.4.2 Inovasi Teknologi...................................................................83
4.4.3 Kebijakan Pemerintah ............................................................88

4.5 Penutup ............................................................................. 91
Daftar Pustaka ................................................................... 91


Bab 5

Kinerja Bisnis Agaricus Sido Makmur
Sentosa dalam Penguatan Inovasi
Teknologi Mendukung Pengembangan
Ekonomi Lokal............................................93

5.1 Pendahuluan ...................................................................... 93
5.2 Proil Wilayah Lawang-Malang (Jawa Timur) .................... 95
5.3 Perspektif Sejarah Pembentukan
Agaricus Sido Makmur Sentosa .......................................... 99
5.4 Kegiatan Usaha dan Produksi........................................... 101
5.5 Penerapan Teknologi ....................................................... 103

ix

Daftar Isi

5.6 Pola Hubungan Kinerja
Bisnis-Inovasi-Mendukung Ekonomi Lokal ..................... 108

5.7 Penutup ........................................................................... 113
Daftar Pustaka ................................................................. 114

Bab 6

SPAT dan Kontribusinya untuk
Pengembangan Ekonomi Lokal..............117

6.1 Otonomi Daerah, Pengembangan Ekonomi Lokal,
dan SPAT ........................................................................ 117
6.2 SPAT dan Aktivitasnya .................................................... 121
6.2.1 Sejarah..................................................................................121
6.2.2 Kelembagaan ........................................................................122
6.2.3 Produk SPAT .......................................................................124

6.3 Inovasi dan Pengembangan Ekonomi Lokal ..................... 126
6.3.1 Pengembangan Inovasi.........................................................126
6.3.2 Pengembangan Ekonomi Lokal............................................128
6.3.3 Tantangan Pengembangan Inovasi
dalam Mendukung PEL .......................................................130

6.4 Kesimpulan ...................................................................... 131
Daftar Pustaka ................................................................. 131

Bab 7

Penerapan Teknologi Pascapanen (Studi
Kasus: Penerapan Teknologi Pascapanen
di Kabupaten Malang)..............................133

7.1 Pendahuluan .................................................................... 133
7.2 CV Agrindo Cipta Mandiri.............................................. 141
7.2.1 Inovasi Teknologi.................................................................142
7.2.2 Kompleksitas Aset Khusus ...................................................144
7.2.3 Diferensiasi Produk..............................................................145

x

Daftar Isi

7.3 CV Inovasi Anak Negeri (Susu Listrik) ............................ 146
7.3.1 Inovasi Teknologi.................................................................148
7.3.2 Kompleksitas Aset Khusus ...................................................150
7.3.3 Diferensiasi Produk..............................................................150

7.4 Dampak Inovasi Teknologi Pascapanen terhadap
Pengembangan Ekonomi Lokal
dan Permasalahannya ....................................................... 151
7.5 Penutup ........................................................................... 155
7.5.1 Kesimpulan ..........................................................................155
7.5.2 Saran ....................................................................................156

Daftar Pustaka ................................................................. 156

Bab 8

Inovasi Teknologi Industri Makanan
dan Minuman untuk Mendukung
Pengembangan Ekonomi Lokal..............159

8.1 Pendahuluan .................................................................... 159
8.2 Kompleksitas Alat Khusus ................................................ 163
8.3 Inovasi Teknologi di Industri Makanan
dan Minuman .................................................................. 164
8.4 Inovasi Teknologi dan Potensi Daerah
sebagai Faktor Pendorong Pengembangan
Ekonomi Lokal ................................................................ 171
8.4.1 Sumber Daya Alam...............................................................174
8.4.2 Inovasi Teknologi.................................................................174
8.4.3 Kompleksitas Aset Khusus ...................................................175
8.4.4 Diferensiasi Produk..............................................................175
8.4.5 Kebijakan Pemerintah ..........................................................176

8.5 Penutup ........................................................................... 178
Daftar Pustaka ................................................................. 179

xi

Daftar Isi

Epilog ........................................................................ 183
Proil Penulis ............................................................. 191

xii

Bab VI

SPAT dan Kontribusinya untuk
Pengembangan Ekonomi Lokal

Galuh Syahbana Indraprahasta

6.1 Otonomi Daerah, Pengembangan
Ekonomi Lokal, dan SPAT
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dan Nomor 24 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Daerah antara
Pemerintah Pusat dan Daerah yang kemudian direvisi menjadi UndangUndang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004 telah memberikan landasan legal
bagi terwujudnya otonomi daerah di Indonesia. Desentralisasi kewenangan
yang terjadi dalam otonomi daerah bermakna pemerintah daerah mempunyai
tanggung jawab lebih besar dalam membangun daerahnya masing-masing.
Konsekuensi dari perubahan sistem pemerintahan (dari sentralistik menjadi
desentralistik) ini tidaklah seragam: beberapa dampak positif bermunculan
dan dapat diambil sebagai pembelajaran yang baik, begitupun dengan
beberapa konsekuensi negatif yang perlu menjadi perhatian bersama. Salah
satu konsekuensi negatif dari pelaksanaan otonomi daerah ini adalah banyak
daerah bertindak seolah mereka adalah kerajaan-kerajaan kecil (Firman
2010).
Desentralisasi kewenangan dalam konteks otonomi daerah bermakna
daerah mempunyai peran yang lebih besar dalam mengembangkan potensi
ekonomi daerahnya. Daerah diharapkan dapat memanfaatkan potensi lokal
yang ada untuk dapat dikembangkan lebih lanjut, sehingga akan berdampak
positif terhadap daerah maupun masyarakatnya. Pengembangan ekonomi
lokal atau biasa disingkat dengan PEL1 menjadi sangat relevan untuk dapat
1

Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) dalam Bahasa Inggris secara akademik sering kali
diistilahkan dengan Local Economic Development (LED). Istilah ini tidak menjadi domain subjek

Sistem IInovasi
novasi Daerah:
Teknologi dalam
Pengembangan Ekonomi Lokal

dijadikan pendekatan pengembangan ekonomi daerah. Carroll and Blair
(2012) mengungkapkan bahwa PEL merupakan salah satu topik bahasan utama
(centerpiece) yang telah berlangsung lama dan produktif antara para ekonom
dan geografer. PEL sangat menekankan pada pemanfaatan potensi lokal di
suatu daerah tertentu yang kemudian pemanfaatan potensi tersebut dapat
meningkatkan kualitas pembangunan ekonomi daerah serta kesejahteraan
masyarakat di daerah tersebut (Swinburn et al. 2006; Zaaijer dan Sara 1993
dalam Nel 2001). Adapun deinisi PEL dari lembaga internasional seperti dari
World Bank dan UN-Habitat adalah sebagai berikut.
World Bank: “Local Economic Development (LED) is the process by which
public, business and nongovernmental sector partners work collectively to
create better conditions for economic growth and employment generation.
he aim is to improve the quality of life for all” (2003, p 7).
UN-HABITAT: “Local economic development (LED) is a participatory
process where local people from all sectors work together to stimulate local
commercial activity resulting in a resilient and sustainable economy. It is a
tool to help create decent jobs and improve the quality of life for everyone,
including the poor and marginalized” (Trousdale 2003, p 1).
PEL seharusnya berjalan lebih mudah seiring dengan otoritas pemerintah
daerah yang lebih besar dalam mengelola daerahnya. Namun keadaan seperti
ini tidak membuat isu pembangunan daerah sudah terselesaikan. Hal ini
terkait dengan bagaimana transformasi keorganisasian pemerintah daerah
dalam mengelola daerahnya terjadi. Ada 3 bentuk organisasi peran pemerintah
daerah yang berkembang dalam kaitannya dengan PEL (Valler 1996).
1.

Enabling authority. Pemerintah daerah dipandang sebagai pihak yang
mampu (enable) menyediakan pelayanan, bukan sebagai pihak yang
langsung mengoperasikan keseluruhan penyediaan pelayanan.

2.

Post-Fordist. Pemerintah daerah lebih banyak terlibat dalam PEL, mulai
munculnya kerja sama pemerintah-swasta (public-private partnership)
dan munculnya pergeseran dari pemerintah (government) menjadi
pemerintahan/tata kelola (governance).

3.

Local governance entrepreneurialism. Pemerintah daerah dan sektor swasta
mempunyai hubungan dan koalisi yang menguntungkan dalam bentuk
kerja sama pemerintah-swasta (public-private partnership).
akademik tertentu dan dipandang secara lintas disiplin, utamanya ekonomi, manajemen, dan bisnis,
geograi, serta perencanaan (kota dan wilayah)

118

SPAT dan Kontribusinya untuk Pengembangan Ekonomi Lokal

Pilihan bentuk organisasi pemerintah daerah, terutama dalam
mendukung PEL untuk Indonesia tidak bisa disamaratakan. Karakteristik
geograis, ekonomi, sosial-budaya yang berbeda membuat pola-pola
pengelolaan daerah berbeda. Satu hal yang tampaknya lebih menjadi prioritas
untuk diperhatikan adalah bagaimana otonomi daerah dapat menjadi
wadah bagi setiap pemangku kepentingan di daerah, termasuk sektor swasta
untuk lebih leluasa dalam mengembangkan usahanya sehingga berdampak
positif terhadap pembangunan daerah. Terkait dengan hal tersebut, Sentra
Pengembangan Agribisnis Terpadu (SPAT) yang merupakan salah satu aktor
bisnis di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur mampu melihat potensi lokal
untuk dapat dikembangkan menjadi produk yang bernilai guna sehingga
tidak hanya menghasilkan keuntungan bagi usahanya, tetapi juga berdampak
positif terhadap PEL di Kabupaten Pasuruan.
SPAT atau yang dalam 2–3 tahun terakhir juga dikenal dengan nama
lain “Repoeblik Telo” mencoba memanfaatkan ubi jalar (atau telo dalam
Bahasa Jawa) yang banyak tersedia untuk dikembangkan. Menurut Unggul
Abinowo (Direktur dan founder SPAT)2, hanya komoditas ubi jalar (telo)
yang keberadaannya masih tersedia di Indonesia dan tidak perlu mengimpor.
Tidak seperti kedelai yang sudah menjadi makanan sehari-hari (terutama
dalam bentuk produk tempe, tahu, kecap, dan beberapa produk lainnya),
tetapi masih saja perlu untuk mengimpor. Oleh karena itu, Unggul Abinowo
ingin mencoba memanfaatkan potensi lokal asli untuk dapat diolah dengan
proses yang dapat meningkatkan nilai tambah produk ini. Lebih lanjut lagi,
ia mengemukakan bahwa selama ini ubi jalar (telo) dianggap sebagai makanan
rendahan. Hal inilah yang membuatnya ingin mengangkat level makanan
dari level rendahan menjadi lebih bermartabat.
Berbicara ubi jalar berarti berbicara potensi pertanian di Kabupaten
Pasuruan. Sektor pertanian di Kabupaten Pasuruan relatif masih mempunyai
peran dominan dalam membentuk struktur PDRB. Pada tahun 2011 diketahui
bahwa sektor pertanian memberikan kontribusi terhadap PDRB (harga
konstan 2000) sebesar 24,95%. Kabupaten Pasuruan sendiri mempunyai
struktur PDRB yang cukup berimbang antarsektornya, yaitu dengan kontribusi
sektor industri pengolahan sebesar 31,96% dan sektor perdagangan, hotel,
dan restoran sebesar 20,17%. Untuk sektor pertanian, subsektor tanaman
pangan memberikan kontribusi sebesar 17,87% dari PDRB. Adapun untuk
sektor industri pengolahan, subsektor industri makanan, minuman, dan
2

Wawancara mendalam dengan Unggul Abinowo pada tanggal 31 Juli 2012 di SPAT,
Kabupaten Pasuruan

119

Sistem IInovasi
novasi Daerah:
Teknologi dalam
Pengembangan Ekonomi Lokal

tembakau membentuk 18,06% PDRB. Secara sekilas dapat terlihat bahwa ada
keterkaitan antara sumber daya lokal (potensi pertanian tanaman pangan) dan
kemampuan pembentukan nilai tambah (industri makanan dan minuman).
Secara struktur kependudukan, mayoritas penduduk bekerja di sektor
pertanian (28,10%). Proporsi ini sama dengan persentase pengangguran
di Kabupaten Pasuruan sebesar 28,10%. Angka ini relatif tinggi dan perlu
mendapatkan perhatian lebih dari para pemangku kepentingan daerah.
Sektor industri pengolahan serta jasa lainnya menempati urutan kedua
sebagai penyedia lapangan pekerjaan utama di Kabupaten Pasuruan dengan
persentase masing-masing 10,53% dan 10,07% (Tabel 6.1). Struktur ekonomi
dan ketenagakerjaan tersebut menunjukkan sektor pertanian di Kabupaten
Pasuruan menjadi sumber daya lokal yang dapat dikembangkan lebih lanjut.
Tabel 6.1 Struktur lapangan pekerjaan Kabupaten Pasuruan
No

Lapangan Pekerjaan

Tenaga Kerja
Orang
Persen

1

Tidak/Belum Bekerja

427.424

28,10

2

Pertanian

427.337

28,10

3

Pertambangan dan Penggalian

4.044

0,27

4

Industri Pengolahan

160.205

10,53

5

Perdagangan

100.811

6,63

6

Listrik dan Gas

1.965

0,13

7

Konstruksi

40.484

2,66

8

Hotel dan Restoran

11.190

0,74

9

Angkutan dan Komunikasi

33.724

2,22

10

Keuangan dan Asuransi

3.231

0,21

11

Jasa-jasa

153.102

10,07

12

Lainnya

157.461

10,35

1.520.978

100,00

Total
Sumber: BPS (2012), diolah

Meskipun luas panen ubi jalar tidak terlalu besar (252 ha tahun 2010)
dibandingkan dengan komoditas pangan lain seperti padi sawah (83.308 ha)
dan jagung (4.271 ha), potensinya sebagai komoditas lokal tetap tidak bisa
dikecilkan. Ada 4 kecamatan yang menjadi lokasi dibudidayakannya ubi jalar,
yaitu Purwodadi, Tutur, Pasrepan, dan Prigen. Kecamatan Purwodadi di

120

SPAT dan Kontribusinya untuk Pengembangan Ekonomi Lokal

mana SPAT berada merupakan kecamatan dengan luas panen ubi jalar terluas
(tahun 2010), yaitu sebesar 150 ha (59,52%) dari total 252 ha. Tentunya
SPAT mampu menjadikan komoditas ubi jalar yang sudah ada dan sengaja
ditanam di Kabupaten Pasuruan, khususnya Kecamatan Purwodadi menjadi
lebih bernilai ekonomis.
Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan, lokasi SPAT berada adalah
daerah di mana tenaga kerjanya banyak bergerak di sektor pertanian. Pada
tahun 2010, terdapat 16.568 orang yang bekerja di sektor pertanian dari total
37.808 tenaga kerja. Tenaga kerja sektor industri pengolahan menempati
urutan kedua terbanyak dengan jumlah 11.843 orang. Adapun tenaga
kerja terkecil pada sektor keuangan dan lembaga keuangan dengan jumlah
70 orang serta sektor hotel dan restoran dengan jumlah 77 orang. Secara
penggunaan lahan, Kecamatan Purwodadi didominasi oleh lahan pertanian
yang mempunyai luas 110.922 ha adalah luas pertanian bukan sawah dan
13.033 ha adalah luas pertanian sawah. Adapun sisanya yaitu 15.034 ha
adalah luas lahan bukan pertanian (termasuk hutan negara dan rawa-rawa).
Secara lebih detail, luas tegal/kebun (termasuk lahan pertanian bukan sawah)
mendominasi Kecamatan Purwodadi, seluas 48.237 ha. Luas perkebunan
menempati posisi kedua dengan luas 36.786 ha.
Latar belakang tersebut memberikan gambaran awal tentang bagaimana
eksplorasi lebih lanjut aktivitas SPAT di Kabupaten Pasuruan menjadi
menarik, khususnya terkait dengan PEL dan pengembangan inovasi yang
dilakukan. Adapun pembahasan tulisan ini dibagi menjadi 4 bagian utama.
Pertama, tulisan ini memberikan pendahuluan awal mengenai SPAT sebagai
salah satu aktor bisnis yang berpotensi memberikan kontribusi secara nyata
dalam PEL yang sudah dibahas di subbab ini. Kedua, tulisan ini mencoba
mengeksplorasi beberapa aktivitas yang dilakukan SPAT. Ketiga, tulisan ini
mencoba menganalisis keterkaitan antara inovasi dan PEL dalam konteks
SPAT. Keempat, tulisan ini akan memberikan kesimpulan berdasarkan
analisis dan pembahasan sebelumnya.

6.2 SPAT dan Aktivitasnya
6.2.1 Sejarah
Minat Unggul Abinowo (Pemilik SPAT saat ini) terhadap dunia
pertanian sudah ada sejak dia duduk di kelas 2 sekolah menengah atas.
Pengaruh ayahnya, Prof. Dr. Ir. Moeljadi Banoewidjojo (profesor bidang
121

Sistem IInovasi
novasi Daerah:
Teknologi dalam
Pengembangan Ekonomi Lokal

pertanian) sangat kuat bagi minat Unggul di bidang pertanian. Usahanya terus
berkembang saat Unggul menjadi mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas
Brawijaya tahun 1980-an. Saat menjadi mahasiswa, Unggul mulai merintis
usaha budi daya pertanian di Desa Parerejo, Kabupaten Pasuruan. Beragam
tanaman pangan dan hortikultura yang dia budidayakan, seperti padi, jagung,
ubi jalar, jeruk, tomat, melon, dan sayur-sayuran. Saat kuliah, Unggul sudah
mempunyai kendaraan dan supir pribadi serta sudah mengelola 22 ha lahan
dengan status sewa.
Periode 1990-an, Unggul semakin mengembangkan bisnisinya antara
lain dengan merintis usaha peternakan bebek dan sapi, pembangunan pabrik,
mengadakan magang serta pelatihan bagi petani, kelompok tani, LSM, dinas
pemerintah, dan lembaga lainnya. Beberapa prestasi/jabatan yang diperoleh
antara lain kursus singkat agribisnis di Australia Barat tahun 1991, Ketua
Litbang Asosiasi Pupuk Cair tahun 1993, Pemuda Pelopor tahun 1996,
Ketua Brigade Pemuda Pelopor Pembangunan Desa (BP3D) tahun 1997,
Sekjen KTNA Nasional tahun 1999.
Secara kelembagaan formal, SPAT berdiri tanggal 16 April 1999
yang diresmikan oleh Menteri Pemuda dan Olahraga dan ditandai dengan
peresmian Terminal Agribisnis di Desa Simping, Kabupaten Pasuruan.
Sebelum diresmikan, SPAT pernah menjadi Pusat Pelatihan Pertanian dan
Perdesaan Swadaya (P4S) oleh Menteri Pertanian tahun 1998. SPAT kembali
terpilih sebagai P4S pada tahun 2003. Sejak tahun 2000, SPAT mempunyai
struktur organisasi seperti saat ini, yaitu yang terbagai dalam 6 divisi.

6.2.2 Kelembagaan
SPAT seperti namanya mencoba untuk mengembangkan bisnisnya secara
terpadu. Hal ini tercermin dari visi yang diemban, yaitu “Menjadi industri
terkemuka di bidang agribisnis dengan model usaha pertanian terpadu yang
eisien, tangguh, modern, berkelanjutan, dan berdimensi kerakyatan”. Visi ini
kemudian diwujudkan dalam misi “Pemberdayaan segenap potensi sumber
daya alam dan manusia”. Visi dan misi SPAT kemudian diturunkan dalam 6
tujuan utama, yaitu:
1.

menghasilkan produk agribisnis yang mempunyai daya saing tinggi;

2.

menyejahterakan petani;

3.

menyejahterakan UKM;

4.

melatih dan mencetak petani yang handal;

122

SPAT dan Kontribusinya untuk Pengembangan Ekonomi Lokal

5.

rebuilding image produk lokal; dan

6.

berperan serta dalam pengembangan ekonomi daerah.

Sistem agribisnis terpadu mempunyai lini kegiatan dari hulu, usaha tani,
dan hilir. Subsistem hulu mempunyai aktivitas terkait dengan produksi dan
budi daya komoditas tertentu. Subsistem usaha tani mempunyai aktivitas
terkait dengan pengolahan ataupun peningkatan nilai tambah produk
pascapanen. Adapun subsistem hilir mempunyai aktivitas seputar pemasaran
produk. Dalam beberapa kondisi, hasil dari subsistem hulu bisa saja langsung
didistribusikan ke subsistem hilir (pemasaran) atau dengan proses penambahan
nilai melalui proses sederhana, seperti pemilahan kualitas (sorting-grading)
maupun pembungkusan (packaging).
Untuk menjamin terselenggaranya sistem agribisnis terpadu, SPAT
mempunyai 6 divisi yang berfungsi sebagai sistem penunjang.
1.

Divisi data & informasi

2.

Divisi pendidikan & latihan

3.

Divisi teknologi tepat guna

4.

Divisi kajian strategi pembangunan desa

5.

Divisi investasi & pembiayaan

6.

Divisi terminal agribisnis

Gambar 6.1 Kerangka kerja SPAT
123

Sistem IInovasi
novasi Daerah:
Teknologi dalam
Pengembangan Ekonomi Lokal

Selain kerangka kerja yang telah diterangkan di atas, SPAT mempunyai
3 prinsip strategi bisnis.
1.

Kompetisi. Menciptakan produk-produk yang kompetitif dan diminati
konsumen.

2.

Koneksi. Memperluas jaringan dengan pihak luar yang memiliki
kesepahaman dalam pembangunan pertanian.

3.

Kolaborasi. Melaksanakan kerja sama dengan pihak-pihak yang memiliki
visi dan misi sama untuk mencapai tujuan bersama.

Lebih detail mengenai kolaborasi, SPAT mengembangkan kerja sama
dalam 3 aspek, yaitu riset dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan,
serta kualitas pasar dan pertumbuhan pasar. Adapun aktor-aktor untuk setiap
bidang kerja sama adalah sebagai berikut.
1.

Riset dan pengembangan: universitas, lembaga penelitian, dan
pengembangan.

2.

Pendidikan dan pelatihan: kelompok tani, UKM, bank, sekolah, lembaga
pemerintah.

3.

Kualitas pasar dan pertumbuhan pasar: sertiikasi mutu (HACPP dan
halal), ITF-net, SIRIM Malaysia, UKM, bank.

6.2.3 Produk SPAT
Sistem agribisnis terpadu ini juga membuat jenis produk SPAT bervariasi.
Ubi jalar (telo) adalah produk pertama yang dikembangkan dan menjadi
trademark tersendiri bagi SPAT. Perkembangan lebih lanjut, membuat
SPAT tidak hanya berkembang pada pengolahan ubi jalar (telo), tetapi juga
merambah pada komoditas serta produk lainnya. Dengan beragam produk
yang ada, SPAT tetap memberikan penekanan bahwa produk pengolahan
pertanian tetap menjadi produk utama di mana ubi jalar (telo) menjadi ciri
khas. Produk pengolahan pertanian ini dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu
produk makanan, herbal, dan olahan hasil ubi jalar (telo). Produk makanan
utamanya berupa keripik buah dan sayur yang saat ini terdiri atas 9 jenis
produk; produk herbal berupa minuman instan (9 jenis produk) dan ekstrak
buah (3 jenis produk); serta adapun produk olahan ubi jalar (telo) terdiri atas
40 jenis produk (terbanyak di antara jenis produk olahan makanan lainnya).
Ada 3 jenis ubi jalar (telo) yang digunakan di SPAT, yaitu (berdasarkan
warna) oranye yang kaya akan β karoten, ungu anthosian, dan putih yang

124

SPAT dan Kontribusinya untuk Pengembangan Ekonomi Lokal

bagus untuk tepung. Ada beberapa alasan ilmiah yang dijadikan SPAT untuk
mengembangkan ubi jalar (telo).
1.

Peringkat 1 dari 58 jenis sayuran (Nutrition Action Health Letter,
USA)

2.

Kandungan Vit A 4 kali lebih banyak daripada wortel (World Health
Organization)

3.

Mengandung betacarotene (Dr. Sanjay Gupta in www.cnn.com)

4.

Kandungan gula relatif sedikit (www.cnn.com)

5.

Memiliki kandungan antioksidan (Jack. D. Osman, Towson
University)

6.

Kandungan Glycemix Index Carbohydrate (LGI, 54) yang rendah (Dr.
dr Elvina Karyadi, M.Sc., Pusat Gizi UI Indonesia)

7.

Kolesterol rendah (Dr. Robert Cordell, Wake Forest School of Medicine,
USA)

8.

Memiliki serat yang baik untuk pencernaan (World Health
Organization)

Beberapa variasi produk dari ubi jalar (telo) antara lain hamburger telo,
hotdog telo, jus telo, tepung telo, mi telo, nugget telo, pizza telo, dan kukis
(cookies) telo. Variasi produk ini ada yang langsung dikembangkan dari telo
seperti jus telo, ada juga yang perlu dikombinasikan dengan bahan-bahan
lainnya seperti pizza, hotdog, dan sebagainya (Gambar 6.2).

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 6.2 Beberapa produk SPAT (a) hotdog, (b) jus, (c) tepung, (d) mi
125

Sistem IInovasi
novasi Daerah:
Teknologi dalam
Pengembangan Ekonomi Lokal

Dari 90 varian produk telo, bakpia telo dan bakpao telo menjadi produk
yang paling favorit. Kedua produk ini juga merupakan produk awal yang
dikembangkan oleh SPAT. Untuk banyak produk unggulan seperti bakpia
dan bakpao, SPAT memperhatikan kualitas kemasan menjadi semenarik
mungkin dengan warna dominan ungu yang menjadi ciri khasnya (Gambar
6.3).

(a)

(b)

Gambar 6.3 Produk unggulan SPAT (a) bakpia telo, (b) bakpao telo

6.3 Inovasi dan Pengembangan Ekonomi
Lokal
6.3.1 Pengembangan Inovasi
Inovasi merupakan keharusan bagi setiap perusahaan untuk terus
berkembang dan bersaing, termasuk SPAT. Inovasi yang dilakukan tentunya
harus mempunyai dampak positif terhadap peningkatan nilai ekonomi bisnis
SPAT. Pengembangan inovasi yang dilakukan oleh SPAT berkisar pada inovasi
produk yang kemudian menghasilkan produk yang lebih beragam (diferensiasi
produk) serta inovasi teknologi yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk
yang lebih berkualitas dan beragam.
Di SPAT tidak ada bagian ataupun divisi khusus yang menangani
penelitian dan pengembangan. Semua orang yang terlibat di SPAT, terutama
bagian produksi dan pemasaran merupakan aktor utama dari inovasi produk.
Inovasi produk yang dikembangkan di SPAT tidak selalu merupakan produk
baru, tetapi juga dapat terinspirasi dari produk-produk yang dihasilkan oleh

126

SPAT dan Kontribusinya untuk Pengembangan Ekonomi Lokal

para pesaingnya. Tentunya produk-produk yang dihasilkan harus mempunyai
ciri khas, sehingga tidak terkesan hanya meng-copy dari produk-produk
pesaingnya. Dengan posisinya yang juga “merangkap” sebagai inovator jenis
produk, orang-orang yang bekerja di bagian produksi dan pemasaran dituntut
untuk bisa berpikir kreatif dan jeli dalam membaca perkembangan yang ada.
Untuk menjaga kualitas dari bagian produksi ini, sarjana teknologi pangan
ditempatkan sebagai pimpinannya. Adapun di bawah divisi kerjanya, ada
beberapa pekerja yang mempunyai latar belakang tata boga dengan lulusan ratarata dari sekolah menengah kejuruan (SMK). Status sarjana teknologi pangan
sebagai pimpinan dapat menjadi salah satu sumber dari inovasi produk, oleh
karena itu pendidikan sarjana banyak melatih proses dan pola berpikir yang
baru. Bagian ini juga tentunya turut berperan dalam menciptakan pembaruanpembaruan dalam komposisi bahan untuk membuat suatu produk tertentu.
Jika bagian pemasaran dapat memberi masukan mengenai produk-produk
baru apa yang mungkin dapat dikembangkan dan diterima pasar, bagian
produksi perlu menerjemahkannya dalam konteks rasionalitas pembuatan
dan komposisi bahan untuk menghasilkan produk-produk tersebut.
Untuk memproduksi suatu produk makanan tertentu dibutuhkan
teknologi dan permesinan, sehingga produk yang dihasilkan dapat diproduksi
massal dengan kualitas terjamin. Divisi teknologi tepat guna (TTG) hadir
di SPAT khususnya untuk mendukung hal ini. Beberapa teknologi masih
dibeli dari luar karena pertimbangan eisiensi dan kemampuan pembuatan;
beberapa sudah dibuat sendiri baik untuk keperluan produksi SPAT maupun
sebagai pesanan dari aktor usaha lainnya. Sebagai contoh, mesin vacuum
frying yang sudah diekspor ke Malaysia dan India, mesin granulasi pupuk
untuk PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang Cikampek, dan PT Pupuk
Kaltim Bontang.
Selain inovasi yang berasal dari sumber internal, SPAT membuka
diri sebagai wadah uji coba beberapa hasil penelitian dari perguruan tinggi
maupun lembaga penelitian dan pengembangan. Beberapa yang pernah
mengujicobakan hasil penelitiannya di SPAT adalah UGM untuk es krim
telo, Balitkabu untuk sari telo, IPB untuk snack darurat bencana, dan beberapa
lainnya. Tidak semua produk yang dikembangkan berhasil di pasaran dan pada
akhirnya berhenti untuk diproduksi, seperti pada kasus sari telo meskipun
mesin untuk mengolah dan memproduksinya sudah ada. Meskipun ada
beberapa kegagalan dalam pengembangan produk, hal ini tidak membuat
SPAT berhenti untuk mencari ide-ide baru. Pembelajaran dari kegagalan
maupun keberhasilan membuat SPAT justru semakin berkembang.
127

Sistem IInovasi
novasi Daerah:
Teknologi dalam
Pengembangan Ekonomi Lokal

Pembahasan tersebut memberikan gambaran bahwa inovasi produk
maupun teknologi pembuatan dan pengembangan produk di SPAT relatif
baik dan saling mendukung. Inovasi teknologi yang dikembangkan di SPAT
lebih bersifat teknologi tepat guna yang bisa langsung diaplikasikan. Beberapa
produk mesin yang dihasilkan oleh SPAT, yang kemudian digunakan oleh
pihak luar menjadi salah satu indikasi bahwa inovasi teknologi tepat guna
yang ada di SPAT telah berjalan dengan baik dan menjadi produk bisnis
tersendiri.

6.3.2 Pengembangan Ekonomi Lokal
Pengembangan ekonomi lokal mengandung arti bahwa potensi yang
dikembangkan berdasarkan keadaan lokal serta dapat memberikan dampak
yang positif terhadap meningkatnya aktivitas sosial ekonomi lokal. Filosoi
SPAT yang memanfaatkan ubi jalar (telo) sebagai sumber daya lokal menjadi
salah satu ciri bahwa PEL terjadi pada kasus ini. Selain sumber daya yang
tersedia, rasa dari ubi jalar (telo) sudah familiar bagi sebagian besar masyarakat.
Selain itu, budi daya ubi jalar (telo) tidak memerlukan keahlian yang sangat
rumit. Untuk mengetahui dampak dari pengembangan SPAT terhadap
ekonomi lokal dapat dilihat dari kontribusinya dalam menghidupkan petani
dan usaha kecil menengah (UKM) maupun tenaga kerja secara umum.
Ada 7 kelompok petani yang dilibatkan, khususnya dalam penyediaan ubi
jalar (telo) dalam wadah kerja sama berbentuk inti-plasma. SPAT berfungsi
sebagai inti, sedangkan para petani berfungsi sebagai plasma. Konsep intiplasma yang diterapkan di SPAT tidak seperti kebanyakan praktik pada
kasus perkebunan besar (estate) karena harga pembelian pada kasus SPAT
disesuaikan dengan harga pasar. Sebagai contoh lainnya adalah terkait dengan
pembelian pupuk untuk budi daya ubi jalar (telo). Prinsip dari pengembangan
komoditas di SPAT adalah organik. SPAT menyediakan pupuk organik yang
dapat digunakan/dibeli oleh para petani, tetapi SPAT juga memberikan
kebebasan kepada petani untuk membeli pupuk dari tempat lain dengan
syarat pupuk tersebut organik.
Selain petani, SPAT melibatkan sekitar 368 UKM dengan pola kerja
sama yang tidak sama. Ada UKM yang mempunyai produk dan merek
sendiri, ada pula SPAT yang membantu dalam pemasaran. Ada juga UKM
yang perlu di-rebranding dan menggunakan nama SPAT. Dalam model yang
terakhir, SPAT juga membantu dalam pemasaran produk ini. Dari semua
produk yang ada termasuk yang dibuat sendiri maupun produk dari UKM,

128

SPAT dan Kontribusinya untuk Pengembangan Ekonomi Lokal

produk bakpia dan bakpao telo merupakan 2 produk unggulan SPAT. Ada 9
jenis klasiikasi jenis produk dari 368 UKM yang bermitra dengan SPAT, di
mana banyak yang bergerak di aneka keripik (sejumlah 123 UKM). Adapun
produk dengan jumlah UKM terkecil adalah makanan siap saji (9 UKM) dan
minuman fermentasi (8 UKM). Lebih detail mengenai diversiikasi produk
per UKM disajikan pada Tabel 6.2 berikut ini.
Tabel 6.2 Klasiikasi UKM pangan terminal SPAT
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Jenis
Aneka keripik
Minuman instan
Makanan siap saji
Aneka cake
Jajanan basah
Makanan semi basah
Minuman segar
Aneka snack
Minuman fermentasi
Total

UKM
123
53
9
47
21
11
27
69
8
368

Sumber: SPAT (2012)

UKM dan petani mitra yang terlibat dengan SPAT tidak hanya berasal
dari Kabupaten Pasuruan. Beberapa mitra berasal dari wilayah sekitar dalam
Provinsi Jawa Timur, seperti Kabupaten Malang, Kota Malang, Kota Jember,
Kota Surabaya, Kota Madiun, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Blitar,
Kota Batu, Kabupaten Trenggalek, dan Kota Mojokerto. Keragaman mitra
ini menunjukkan keahlian SPAT dalam bidang yang saat ini menjadi lini
bisnis utamanya.
Selain terkait dengan penciptaan lapangan kerja bagi petani dan UKM,
SPAT juga mempunyai tenaga kerja di pabrik sejumlah 120 orang dan
pemasaran 50 orang. Upaya SPAT untuk terus mengembangkan produk
tentunya menjadi pengungkit (trigger) bagi terciptanya lapangan kerja baru
secara langsung. Beberapa usaha lainnya seperti wisata agribisnis, tempat
penginapan (cottage), budi daya tanaman hias, buah, sayuran, beras hitam,
dan beras merah tentunya secara langsung akan menyerap tenaga kerja baru.
Penciptaan lapangan kerja oleh SPAT juga berpotensi dilakukan secara
tidak langsung, terutama melalui pelatihan dan pendampingan kepada
para UKM, kelompok petani, dan purna tugas tidak hanya di Kabupaten

129

Sistem IInovasi
novasi Daerah:
Teknologi dalam
Pengembangan Ekonomi Lokal

Pasuruan, tetapi juga beberapa wilayah lainnya di luar Jawa. Pengembangan
ekonomi melalui Program Dana Abadi Umat yang bekerja sama dengan NU
Kabupaten Pasuruan juga menjadi potensi menciptakan akses permodalan
yang lebih baik bagi petani dan pelaku usaha kecil. Dapat dikatakan bahwa
dampak ekonomi yang dihasilkan dari aktivitas SPAT tidak hanya berdampak
untuk Kabupaten Pasuruan semata, tetapi juga sudah menjangkau luar daerah
(beyond administrative boundary).

6.3.3 Tantangan Pengembangan Inovasi dalam
Mendukung PEL
Keberadaan SPAT beserta aktivitasnya menunjukkan gejala positif, baik
secara bisnis maupun dalam meningkatkan perekonomian daerah. Inovasi
khususnya dalam produk dan teknologi tepat guna mempunyai relevansi
yang baik terhadap peningkatan kualitas ekonomi lokal. Keterbukaannya
untuk menjadi wadah bagi pengembangan produk dari perguruan tinggi
serta lembaga penelitian dan pengembangan menjadi indikasi kuat jika SPAT
terbuka untuk menerima inovasi dari sumber eksternal. Peningkatan kualitas
sumber daya manusia dan produk melalui beragam pelatihan yang diikuti
serta standarisasi produk juga menjadi penguat yang sangat baik terhadap
penciptaan sumber daya manusia yang inovatif serta kualitas produk yang
mampu berdaya saig secara bisnis.
Berkembangnya bisnis SPAT beserta jaringan yang dibentuknya
tentunya memberikan dampak positif terhadap peningkatan pendapatan
daerah. Namun, dukungan Pemerintah Kabupaten Pasuruan dirasa hampir
tidak ada3. SPAT dengan nama yang sudah besar dan reputasi yang baik
seharusnya dapat menjadi pemicu bagi Pemerintah Daerah untuk turut
memfasilitasi terciptanya bisnis dan aktivitas ekonomi yang lebih besar dan
dapat memberikan kontribusi positif untuk ekonomi daerah.
Jika merujuk pada klasiikasi organisasi pemerintah daerah menurut
Valler (1996), tampaknya peran pemerintah daerah belum mencapai bentuk
post-fordist maupun local governance entrepreneurialism. Justru SPAT-lah
yang cenderung berfungsi sebagai local governance entrepreneurialism dengan
melakukan beragam inisiasi dalam fasilitasi, pendampingan, pelatihan, serta
kerja sama dengan UKM, petani, dan pelaku bisnis lainnya baik di Kabupaten
Pasuruan maupun di luar daerah dalam meningkatkan kualitas dan aktivitas
bisnis. Kondisi yang terjadi pada SPAT dan Kabupaten Pasuruan sebenarnya
3

130

Wawancara mendalam dengan Direktur SPAT pada tanggal 31 Juli 2012 di SPAT, Kabupaten
Pasuruan

SPAT dan Kontribusinya untuk Pengembangan Ekonomi Lokal

sejalan dengan pendapat Stohr (1993) yang mengidentiikasi aspek “inisiatif”
dan “kewirausahaan (entrepreneurship)” sebagai dua konsep kunci PEL.
Dalam perspektif inilah dapat dikatakan bahwa SPAT telah berperan sebagai
inisiator dan penggiat PEL di Kabupaten Pasuruan.
Kondisi tersebut terjadi karena SPAT mempunyai komitmen yang besar
dalam pengembangan ekonomi masyarakat yang diiringi dengan kualiikasi
bisnis dan terus terasah. Sementara pemerintah daerah tampaknya perlu lebih
meningkatkan jiwa dan pemahaman tentang dunia usaha, sehingga dapat lebih
memahami kebutuhan pengembangan ekonomi lokal. Upaya pemerintah
daerah dengan mengajak SPAT untuk ikut serta dalam pameran bisnis
perlu membayar stand sendiri agar mencerminkan tingkat keseriusan yang
kurang. Sektor bisnis yang berkembang di suatu daerah seharusnya menjadi
bagian dari aktor daerah, bukan menjadi ladang dari aktivitas rent-seeking
(pendapatan daerah dan sponsor kegiatan). Pergeseran government menjadi
governance memberikan penekanan bahwa pemerintah daerah bukanlah satusatunya aktor yang dapat bertindak sebagai pengelola daerah.

6.4 Penutup
Pengembangan inovasi terutama produk dan teknologi tepat guna
serta ekonomi lokal yang dilakukan oleh SPAT berjalan dengan cukup
baik. Komitmen SPAT dalam mengembangkan ekonomi lokal, yang tidak
hanya sekadar berorientasi bisnis telah mampu menciptakan jaringan bisnis
UKM yang baik. Keterbukaannya terhadap produk perguruan tinggi serta
lembaga penelitian dan pengembangan membuatnya semakin berkembang.
Pengembangan ekonomi lokal akan lebih mempunyai dampak yang masif
jika pemerintah daerah mampu menempatkan dirinya sebagai fasilitator
ekonomi yang baik, bukan sekadar sebagai pihak yang mengambil keuntungan
(orientasi peningkatan pendapatan daerah) jika suatu aktivitas bisnis tumbuh
di wilayahnya.

Daftar Pustaka
BPS. 2012. Kabupaten Pasuruan dalam Angka. Pasuruan: BPS.
BPS. 2011. Kecamatan Purwodadi dalam Angka. Pasuruan: BPS.
Carroll MC, Blair JP. 2012. Local economic development and the academy.
Applied Geography. 32 (1): 51–53.

131

Sistem IInovasi
novasi Daerah:
Teknologi dalam
Pengembangan Ekonomi Lokal

Firman T. 2010. Multi local-government under Indonesia’s decentralization
reform: he case of Kertamantul (he Greater Yogyakarta). Habitat
International. 32 (4): 400–405.
Nel E. 2001. Local economic development: A review and assessment of its
current status in South Africa. Urban Studies. 8 (2): 277–293.
SPAT. 2012. Proil Sentra Pengembangan Agribisnis Terpadu (SPAT). Tidak
Dipublikasikan.
Stohr WB. 1990. Global Challenge and Local Response. (ed). London: Mansell
Publishing Limited.
Swinburn G, Soraya G, Murphy F. 2006. Local Economic Development. A
Primer. Developing and Implementing Local Economic Development
Strategies and Action Plans. Washington DC: World Bank Publication.
Trousdale W. 2003. Strategic Planning for Local Economic Development. he
Manual. Volume I: Concepts & Process. UN-Habitat and Ecoplan
International, Inc.
Valler D. 1996. Locality, local economic strategy, and private sector
involvement: case studies in Norwich and Cardif. Political Geography.
15 (5): 383–403.
World Bank. 2003. Local Economic Development. A Primer. Developing and
Implementing Local Economic Development Strategies and Action
Plans. Washington DC: World Bank Publication.

132