SUKU ACEH suku cadang krap

PAPER
KARAKTERISTIK DAN KEBUDAYAAN SUKU ACEH
Tugas ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Studi Masyarakat Indonesia
Dosen Pengampu : Drs. Wakino, M.S

Disusun oleh :
1.
2.
3.
4.
5.

Novika Adi Wibowo
Nur Indah Wahyuningsih
Nurul Hidayah Kobir
Oktavianus Kendar Puspoyo
Prihatin Wulandari

(K5413049)
(K5413050)
(K5413051)

(K5413052)
(K5413053)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk karena terdiri atas
berbagai suku bangsa, adat istiadat, bahasa daerah, serta agama yang berbedabeda. Keanekaragaman tersebut terdapat di berbagai wilayah yang tersebar dari
Sabang sampai Merauke. Setiap suku bangsa di Indonesia mempunyai kebiasaan
hidup yang berbeda-beda pula. Kebiasaan hidup itu menjadi budaya serta ciri khas
suku bangsa tertentu. Demi persatuan dan kesatuan, seharusnya kita menyadari
dan menghargai keanekaragaman tersebut sehingga dapat menjadi satu bangsa
yang tangguh. Dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, kita jadikan
keragaman suku bangsa dan budaya sebagai salah satu modal dasar dalam
pembangunan. Paper ini akan membahas salah satu dari sekian banyak suku

bangsa di Indonesia, yaitu suku yang berada di ujung pulau Sumatera,di Provinsi
Aceh, yakni suku Aceh.
Aceh yang sebelumnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa
Aceh (1959-2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) adalah sebuah
Provinsi di Indonesia dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Aceh
memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi
lain di Indonesia, karena alasan sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk
Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di
sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan. Ibu kota Aceh
ialah Banda Aceh. Aceh merupakan kawasan yang paling buruk dilanda gempa
dan tsunami pada 26 Desember 2004. Beberapa tempat di pesisir pantai musnah
sama sekali, yang terberat adalah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh
Barat, Singkil dan Simeulue. Propinsi Aceh memiliki 13 suku asli, yaitu: Aceh,
Tamiang, Gayo, Alas, Kluet, Singkil, Pakpak, Aneuk Jamee, Sigulai, Lekon,
Devayan, Haloban dan Nias. Paper ini akan membahas khusus untuk suku Aceh,
mulai dari letak fisiografis, asal keturunan, sejarah suku Aceh, budaya suku Aceh
bahasa daerah dan tarian adat yang termasuk kedalam kesenian suku Aceh, sistem
religi, sistem profesi, stratifikasi sosial,dan tokoh adat.
BAB II
PEMBAHASAN


A. Letak Fisiografis Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam didirikan pada tanggal 7
Desember 1956. Provinsi ini terletak pada 2⁰ LU – 6⁰ LU dan 95⁰ BT-98⁰
BT. Batas-batas wilayah dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah
sebagai berikut:
Utara : Selat Malaka
Timur : Provinsi Sumatera Utara
Selatan : Samudra Hindia
Barat : Samudra Hindia
Provinsi seluas 55.392 km2 ini memiliki 119 pulau besar dan kecil,
35 gunung, 73 sungai besar, dan dua buah danau (BPS, 2009; Bappeda
Provinsi NAD, 2007). Secara administratif terbagi ke dalam 18 Kabupaten
dan 5 Kota, 276 kecamatan, 731 mukim, dan 6.424 desa.
Aceh memiliki kebubudayan yang relatif tinggi, kebudayaan ini
pada dasarnya diwarnai oleh ajaran Islam, namun demikian pengaruh
agama Hindu yang telah berakar sebelum masuknya Islam masih tetap
berpengaruh. Hal ini terlihat baik dalam kehidupan adat istiadat, kesenian
maupun kehidupan sehari-hari. Pada Nanggroe Aceh Darussalam terdapat

beberapa suku yaitu suku bangsa Aceh, suku bangsa gayo, suku bangsa

aneuk jamee, suku bangsa singkel, suku bangsa tamiang, suku bangsa alas
dan suku bangsa kluet.
Dalam berkomunikasi sehari-hari masyarakat Aceh biasanya
menggunakan bahasa Aceh dan Indonesia. Selain bahasa Aceh dan
Indonesia ada beberapa bahasa yang berbeda dalam penggunaan bahasa.
Suku Aceh yang berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
juga memiliki nilai-nilai seni budaya sebagaimana yang dimiliki oleh
suku-suku bangsa lainnya di Indonesia. Kebudayaan merupakan wujud
dari setiap perilaku manusia yang dilakukan secara turun temurun dan
dipengaruhi oleh norma dan adat istiadat tersebut menusia belajar dan
bertindak untuk dapat memahami kebudayaan, Identitas bersama
berdasarkan ikatan kebudayaan dan agama mencerminkan kesatuan sukusuku bangsa di propinsi ini.
B. Sejarah Suku Aceh
Suku Aceh (bahasa Aceh: Ureuëng Acèh) adalah nama sebuah suku
penduduk asli yang mendiami wilayah pesisir dan sebagian pedalaman
Provinsi Aceh, Indonesia. Suku Aceh mayoritas beragama Islam Bahasa
yang dituturkan adalah bahasa Aceh, yang merupakan bagian dari rumpun
bahasa Melayu-Polinesia Barat dan berkerabat dekat dengan bahasa Cham

yang dipertuturkan di Vietnam dan Kamboja. Suku Aceh sesungguhnya
merupakan keturunan berbagai suku, kaum, dan bangsa yang menetap di
tanah Aceh. Pengikat kesatuan budaya suku Aceh terutama ialah dalam
bahasa, agama, dan adat khas Aceh.
Berdasarkan estimasi terkini, jumlah suku Aceh mencapai
4.477.000 jiwa, yang sebagian besar bertempat tinggal di Provinsi Aceh,
Indonesia. Sedangkan menurut hasil olahan data sensus BPS 2010 oleh
Aris Ananta dkk., jumlah suku Aceh di Indonesiaadalah sebanyak
3.404.000 jiwa. Selain di Indonesia, terdapat pula minoritas diaspora yang
cukup banyak di Malaysia, Australia, Kanada, Amerika Serikat dan
negara-negara Skandinavia.
Suku Aceh di masa pra-modern hidup secara matrilokal dan
komunal. Mereka tinggal di pemukiman yang disebut gampong.

Persekutuan dari gampong-gampong membentuk mukim. Masa keemasan
budaya Aceh dimulai pada abad ke-16, seiring kejayaan kerajaan
Islam Aceh Darussalam, dan kemudian mencapai puncaknya pada abad
ke-17.[5] Suku Aceh pada umumnya dikenal sebagai pemegang teguh
ajaran agama Islam, dan juga sebagai pejuang militan dalam melawan
penaklukan colonial Portugis dan Belanda.

C. Asal Keturunan
Bukti-bukti arkeologis terawal penghuni Aceh adalah dari masa
pasca Plestosen, di mana mereka tinggal di pantai timur Aceh
(daerah Langsa dan Tamiang),

dan

menunjukkan

ciri-

ciri Australomelanesid. Mereka terutama hidup dari hasil laut, terutama
berbagai jenis kerang, serta hewan-hewan darat seperti babi dan badak.
Mereka sudah memakai api dan menguburkan mayat dengan upacara
tertentu.
Selanjutnya terjadi perpindahan suku-suku asli Mantir dan Lhan
(proto Melayu), serta suku-suku Champa, Melayu, dan Minang (deutro
Melayu) yang datang belakangan turut membentuk penduduk pribumi
Aceh. Bangsa asing, terutama bangsa India selatan, serta sebagian kecil
bangsa Arab, Persia, Turki, dan Portugis juga adalah komponen

pembentuk suku Aceh. Posisi strategis Aceh di bagian utara pulau
Sumatra, selama beribu tahun telah menjadi tempat persinggahan dan
percampuran berbagai suku bangsa, yaitu dalam jalur perdagangan laut
dari Timur Tengah hingga ke Cina.
 Proto dan Deutero Melayu
Legenda rakyat Aceh menyebutkan bahwa penduduk Aceh terawal
berasal dari suku-suku asli; yaitu suku Mante (Mantir) dan suku
Lhan (Lanun). Suku Mante merupakan etnis lokal yang diduga
berkerabat rapat dengan suku Batak, suku Gayo, dan Alas sedangkan
suku Lhan diduga masih berkerabat dengan suku Semang yang
bermigrasi

dari Semenanjung

Malaya atau

Hindia

Belakang


(Champa, Burma). Suku Mante pada mulanya mendiami wilayah Aceh
Besar dan kemudian menyebar ke tempat-tempat lainnya. Ada pula
dugaan

secara etnologi tentang

hubungan

suku

Mante

dengan

bangsa Funisia di Babilonia atau Dravida di

lembah

sungai Indus dan Gangga, namun hal tersebut belum dapat ditetapkan
oleh para ahli kepastiannya

Ketika Kerajaan Sriwijaya memasuki

masa

kemundurannya,

diperkirakan sekelompok suku Melayu mulai berpindah ke tanah
Aceh. Di lembah sungai Tamiang yang subur mereka kemudian
menetap, dan selanjutnya dikenal dengan sebutan suku Tamiang.
Setelah mereka ditaklukkan oleh Kerajaan Samudera Pasai (1330),
mulailah integrasi mereka ke dalam masyarakat Aceh, walau secara adat
dan dialek tetap terdapat kedekatan dengan budaya Melayu.
Suku Minang yang bermigrasi ke Aceh banyak yang menetap di
sekitar Meulaboh dan lembah Krueng Seunagan. Umumnya daerah
subur ini mereka kelola sebagai persawahan basah dan kebun lada, serta
sebagian lagi juga berdagang. Penduduk campuran Aceh-Minang ini
banyak pula terdapat di wilayah bagian selatan, yaitu di daerah
sekitar Susoh, Tapaktuan, dan Labuhan Haji. Mereka banyak yang
sehari-harinya berbicara baik dalam bahasa Aceh maupun bahasa Aneuk
Jamee, yaitu dialek khusus mereka sendiri.

Akibat politik ekspansi dan hubungan diplomatik Kesultanan Aceh
Darussalam ke wilayah sekitarnya, maka suku Aceh juga bercampur
dengan

suku-suku Alas, Gayo, Karo, Nias,

dan Kluet.

Pengikat

kesatuan budaya suku Aceh yang berasal dari berbagai keturunan itu
terutama ialah dalam bahasa Aceh, agama Islam, dan adat-istiadat
khas setempat, sebagaimana yang dirumuskan oleh Sultan Iskandar
Muda dalam undang-undang Adat Makuta Alam.
 India
Banyak pula terdapat keturunan bangsa India di tanah Aceh, yang
erat hubungannya dengan perdagangan dan penyebaran agamaHinduBuddha dan Islam di tanah Aceh. Bangsa India kebanyakan dari Tamil
dan Gujarat, yang keturunannya dapat ditemukan tersebar di seluruh
Aceh. Pengaruh bangsa India terlihat antara lain dari penampilan
budaya dan fisik pada sebagian orang Aceh, serta variasi makanan Aceh

yang banyak menggunakan kari. Banyak pula nama-nama desa yang

diambil daribahasa Hindi, (contoh: Indra Puri), yang mencerminkan
warisan kebudayaan Hindu masa lalu.
 Arab, Persia, dan Turki
Bangsa Arab yang datang ke Aceh banyak yang berasal
dari Hadramaut, Yaman. Di antara para pendatang tersebut terdapat
antara lain marga-marga al-Aydrus, al-Habsyi, al-Attas, al-Kathiri,
Badjubier,

Sungkar,

Bawazier,

dan

lain-lain,

yang

semuanya

merupakan marga-marga bangsa Arab asal Yaman. Mereka datang
sebagai ulama penyebar agamaIslam dan sebagai perdagang.Daerah
Seunagan misalnya, hingga kini terkenal banyak memiliki ulama-ulama
keturunan sayyid, yang oleh masyarakat setempat dihormati dengan
sebutan Teungku Jet atau Habib. Demikian pula, sebagian Sultan
Aceh adalah juga keturunan sayyid. Keturunan mereka di masa kini
banyak yang sudah kawin campur dengan penduduk asli suku Aceh,
dan menghilangkan nama marganya.
Terdapat pula keturunan bangsa Persia yang umumnya datang
untuk

menyebarkan

agama

dan

berdagang,

sedangkan

bangsa Turki umumnya diundang datang untuk menjadi ulama,
pedagang senjata, pelatih prajurit, dan serdadu perang kerajaan Aceh.
Saat ini keturunan bangsa Persia dan Turki kebanyakan tersebar di
wilayah Aceh Besar. Nama-nama warisan Persia dan Turki masih
tetap digunakan oleh orang Aceh untuk menamai anak-anak mereka,
bahkan sebutan Banda dalam nama kota Banda Aceh juga adalah kata
serapan dari bahasa Persia (Bandar artinya "pelabuhan").


Portugis
Keturunan bangsa Portugis terutama terdapat di wilayah Kuala
Daya, Lam No (pesisir barat Aceh). Pelaut-pelaut Portugis di bawah
pimpinan

nakhoda

Kapten

Pinto,

yang

berlayar

hendak

menuju Malaka, sempat singgah dan berdagang di wilayah Lam No, di
mana sebagian di antara mereka lalu tinggal menetap di sana. Sejarah

mencatat peristiwa ini terjadi antara tahun 1492-1511, pada saat itu Lam
No di bawah kekuasaan kerajaan kecil Lam No, pimpinan Raja
Meureuhom Daya. Hingga saat ini, masih dapat dilihat keturunan
mereka yang masih memiliki profil wajah Eropa.
D. Bahasa
Bahasa Aceh termasuk dalam kelompok bahasa Aceh-Chamik,
cabang dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia, cabang dari rumpun bahasa
Austronesia. Bahasa-bahasa yang memiliki kekerabatan terdekat dengan
bahasa Aceh adalah bahasa Cham, Roglai, Jarai, Rhade, Chru, Utset dan
bahasa-bahasa lainnya dalam rumpun bahasa Chamik, yang dipertuturkan
di Kamboja, Vietnam, dan Hainan. Adanya kata-kata pinjaman dari bahasa
bahasa Mon-Khmer menunjukkan kemungkinan nenek-moyang suku Aceh
berdiam di Semenanjung Melayu atau Thailand selatan yang berbatasan
dengan para penutur Mon-Khmer, sebelum bermigrasi ke Sumatera.
Kosakata bahasa Aceh banyak diperkaya oleh serapan dari bahasa
Sanskerta dan bahasa Arab, yang terutama dalam bidang-bidang agama,
hukum, pemerintahan, perang, seni, dan ilmu. Selama berabad-abad
bahasa Aceh juga banyak menyerap dari bahasa Melayu. Bahasa Melayu
dan bahasa Minangkabau adalah kerabat bahasa Aceh-Chamik yang
selanjutnya, yaitu sama-sama tergolong dalam rumpun bahasa MelayuPolinesia Barat.
Sekelompok imigran berbahasa Chamik tersebut mulanya diduga
hanya menguasai daerah yang kecil saja, yaitu pelabuhan Banda Aceh di
Aceh Besar. Marco Polo (1292) menyatakan bahwa di Aceh saat itu
terdapat 8 kerajaan-kerajaan kecil, yang masing-masing memiliki
bahasanya sendiri. Perluasan kekuasaan terhadap kerajaan-kerajaan pantai
lainnya, terutama Pidie, Pasai, dan Daya, dan penyerapan penduduk secara
perlahan selama 400 tahun, akhirnya membuat bahasa penduduk Banda
Aceh ini menjadi dominan di daerah pesisir Aceh. Para penutur bahasa asli
lainnya, kemudian juga terdesak ke pedalaman oleh para penutur
berbahasa Aceh yang membuka perladangan

Dialek-dialek bahasa Aceh yang terdapat di lembah Aceh Besar
terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu Tunong untuk dialek-dialek di
dataran tinggi dan Baroh untuk dialek-dialek dataran rendah. Banyaknya
dialek yang terdapat di Aceh Besar dan Daya, menunjukkan lebih lamanya
wilayah-wilayah tersebut dihuni daripada wilayah-wilayah lainnya. Di
wilayah Pidie juga terdapat cukup banyak dialek, walaupun tidak sebanyak
di Aceh Besar atau Daya. Dialek-dialek di sebelah timur Pidie dan di
selatan Daya lebih homogen, sehingga dihubungkan dengan migrasi yang
datang kemudian seiring dengan peluasan kekuasaan Kerajaan Aceh pasca
tahun 1500.
Pemerintah daerah Aceh, antara lain melalui SK Gubernur No.
430/543/1986 dan Perda No. 2 tahun 1990 membentuk Lembaga Adat dan
Kebudayaan Aceh (LAKA), dengan mandat membina pengembangan
adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat dan lembaga adat di Aceh. Secara
tidak langsung lembaga ini turut menjaga lestarinya bahasa Aceh, karena
pada setiap kegiatan adat dan budaya, penyampaian kegiatan-kegiatan
tersebut adalah dalam bahasa Aceh. Demikian pula bahasa Aceh umum
digunakan dalam berbagai urusan sehari-hari yang diselenggarakan oleh
instansi-instansi pemerintahan di Aceh

E. Kesenian Suku Aceh

Gambar. Tari Saman

Kesenian Aceh banyak dipengaruhi oleh kebudayaa Islam, namun
telah dikembangkan dan disesuaikan dengan lingkungan sosial budaya
Aceh sendiri. Seni Kaligrafi Arab banyak juga berkembang di daerah ini,
seperti terlihat pada berbagai ukiran dan pada relief masjid, rumah dan
surau mereka. Unsur kesenian yang paling menonjol dari suku Aceh
adalah seni tari dan bela diri. Tarian tradisional Aceh menggambarkan
warisan adat, agama, dan cerita rakyat setempat.Tari-tarian Aceh
umumnya dibawakan secara berkelompok, di mana sekelompok penari
berasal dari jenis kelamin yang sama, dan posisi menarikannya ada yang
berdiri maupun duduk. Bila dilihat dari musik pengiringnya, tari-tarian
tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua macam; yaitu yang diiringi
dengan vokal dan perkusi tubuh penarinya sendiri, serta yang diiringi
dengan ensambel alat musik.
Beberapa jenis tarian yang terkenal adalah:
1. Tari Seudati, nama tarian ini berasal dari kata Syahadat, yang berarti
saksi/bersaksi/pengakuan terhadap Tiada Tuhan selain Allah, dan Nabi
Muhammad utusan Allah. Tarian ini juga termasuk kategori Tribal War
Dance atau Tari Perang, yang mana syairnya selalu membangkitkan
semangat pemuda Aceh untuk bangkit dan melawan penjajahan. Oleh
sebab itu tarian ini sempat dilarang pada zaman penjajahan Belanda,
tetapi sekarang tarian ini diperbolehkan kembali dan menjadi Kesenian
Nasional Indonesia.
2. Tari Ranub Lam Puan, yaitu tarian kehormatan dalam menyambut
tamu. Tari ini dimainkan oleh gadis-gadis dengan pakaian adat Aceh
sambil menyuguhkan “ranub” (peringkat sirih) kepada tamu.
3. Saman, tari yang dibawakan dengan diiringi syair-syair berisikan
ajaran-ajaran kebajikan. Dilakukan dalam posisi duduk berbanjar,
dengan irama dan gerak tari yang dinamis. Tarian ini terdapat di Aceh
tenggara, Tarian serupa tapi tidak sama juga terdapat di Aceh Tengah
dengan nama didong.
4. Rapa’i, yaitu satu-satunya kesenian yang memakai musik semacam
rebana besar. Rapa-i dimainkan sambil berdzikir. Rapa’i Pase
bentuknya lebih besar dan ditabuh dengan tangan sambil digantung. Di

Aceh barat terdapat Rapa’i Geleng yang merupakan perpaduan antara
rapa’I dengan saman.
5. Seni bela diri tradisional yang terkenal dari Aceh adalah pencak silat.
Kesenian ini merupakan perpaduan antara seni tari dan seni olah
tubuh. Tidak saja orang laki-laki yang boleh membawakan seni bela
diri ini, juga banyak kaum wanita yang melakukannya untuk melatih
gerak dan kelenturan tubuh serta membangkitkan keberanian. Pencak
silat diajarkan sejak masa kanak-kanak dan biasanya pengajarnya
menjadi satu dengan pengajaran mengaji di surau-surau atau masjid.
F. Makanan Khas
Masakan Aceh terkenal banyak menggunakan kombinasi rempahrempah sebagaimana yang biasa terdapat pada masakan India dan Arab,
yaitu jahe, merica, ketumbar, jintan, cengkeh, kayu manis, kapulaga, dan
adas. Berbagai macam makanan Aceh dimasak dengan bumbu gulai atau
bumbu kari serta santan, yang umumnya dikombinasikan dengan daging,
seperti daging kerbau, sapi, kambing, ikan, dan ayam. Beberapa resep
tertentu secara tradisional ada yang memakai ganja sebagai bumbu racikan
penyedap; hal mana juga ditemui pada beberapa masakan Asia Tenggara
lainnya seperti misalnya di Laos, namun kini bahan tersebut sudah tidak
lagi dipakai.
Adapun berbagai macam makanan khas suku aceh antara lain :
1. Manisan pala
Manisan pala merupakan salah satu jenis makanan khas aceh, dan
juga merupakan makanan ringan yang tergolong dalam kelompok
manisan buah-buahan. Manisan pala selain menjadi makanan ringan
yang disajikan pada saat perayaan hari-hari besar lebaran dan tahun
baru bagi masyarakat setempat juga dapat dijadikan buah tangan bagi
wisatawan yang berkunjung ke daerah ini.

Gambar : Manisan Pala
2. Sanger
Sanger adalah sejenis minuman yang hanya ada di Aceh.
Sanger atau juga sering di sebut kopi sanger ini secara umum mirip
dengan capucino, tapi menurut saya jauh lebih nikmat kopi sanger
ini. Selain itu jika kita melihat sekilas maka sanger ini akan
sangatlah tampak seperti kopi susu biasa, tetapi jika kita menilik
dari rasanya, kopi sanger ini memiliki rasa yang sangat khas dan
berbeda dari rasa kopi lainnya.

Gambar : Sanger

3. Pisang Sale
Pisang sale merupakan makanan ringan masyarakat Aceh
sejak zaman indatu dulu, yang sudah menjadi buah tangan dari

Aceh. Pisang sale bisa langsung dimakan atau digoreng dengan
tepung terlebih dahulu.

4. Kembang Loyang
Kue ini sering kita jumpai disaat ada acara hajatan, tidak
ketinggalan juga dipelosok-pelosok desa di Aceh kue sangat setia
untuk menemani pada hari-hari besar agama, seperti waktu lebaran,
serta cocok dinikmati pada waktu-waktu santai bersama keluarga.

Gambar : Kembang Loyang

5. Lepat
Lepat khusus di sajikan pada hari-hari tertentu pada
masyarakat Gayo terutama menjelang puasa (megang) dan lebaran,

makanan ini tahan lama jika di asapi dapat bertahan sampai 2
minggu.

Gambar : Lepat
6. Rujak Aceh Samalanga
Rujak Aceh Samalanga, disebut demikian karena rujak
Aceh tentunya banyak ditemukan di Aceh sampai dipelosokpelosok desa. Samalanga merupakan salah satu kecataman yang
terdapat di kabupaten Bireuen.
Keunikan rujak Aceh

pada

umumnya

memiliki

keistimewaannya yang terletak pada cita rasanya yang asam, manis
dan pedas. Bahan-bahan yang digunakan memang relatif sama
seperti pembuatan rujak pada umumnya, yang terdiri dari buah
mangga, pepaya, kedondong, bengkuang, jambu air, nenas, dan
timun, namun bumbu-bumbu yang digunakan, memiliki ciri khas
tersendiri seperti garam, cabe rawet, asam jawa, gula aren (merah)
yang cair, kacang tanah dan pisang monyet (pisang batu) atau
rumbia (salak Aceh).

Gambar : Rujak Aceh
7. Mie Aceh
Mie Aceh, satu jenis kuliner yang menggoda dari Aceh,
dapat dicicipi dengan dua cara, yakni di goreng atau direbus alias
menggunakan kuah. Untuk rasa bisa memilih sendiri, apakah ingin
pedas atau tidak. Sebagai variasi bisa meggunakan kepiting, daging
atau seafood

Gambar : Mie Aceh
G. Rumah Adat

Gambar Kesenian daerah Provinsi NAD
Rumah tradisonal suku Aceh dinamakan Rumoh Aceh. Rumah adat
ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian
tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë
(serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë likôt
(serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu
(rumah dapur).
H. Pakaian Adat
Dalam hal pakaian adat, pengaruh budaya Islam juga sangat
tampak. Seperti penjelasan mengenai pakaian adat daerah Aceh adalah
pakaian adat tradisional laki-laki Aceh (Linto Baro) dan baju adat
perempuan Aceh (Dara Baro). Pakaian tradisonal suku Aceh memiliki
seperangkat pakaian adat lazim dikenakan dalam penyelengaraan upacaraupacara adat. Pakain adat ini dibedakn atas pakaian yang dikenakan kaum
pria dan wanita. Unutk kaum pria, mereka mengenkan pakian adapt yang
terdiri atas jas dengan leher tertutup (biasa disebut jas tutup). Jenis pakian
ini tampaknya mendapat kebudayaan dari barat. Selain itu dikenakan
celana panjang (disebut cekak musang), kain sarung (pendua), kopiah
(makutup), serta sebilah rencong yang diselipkan pad bagian perut.
Sedangkan unutk pakaian wanita terdiri dari baju panjang sampai ke
pinggul, celan apnjang

(cekek musang), dan kain sarung (pendua),

sebagai pelengkap pakaian dikenakan beberapa perhiasan sperti, kalung
(kula), ikat punggang (pending), gelang tangan dan gelang kaki.

I. Senjata Tradisional

Gambar Rencong
Orang Aceh terkenal sebagai prajuri-prajurit tangguh penentang
penjajah, dengan bersenjatakan rencong, ruduh (kelewang), keumeurah
paneuk (bedil berlaras pendek), peudang (pedang), dan tameung (tameng).
Senjata-senjata tersebut umumnya dibuat sendiri. Rencong (reuncong)
adalah senjata tradisional suku Aceh, bentuknya menyerupai huruf L, dan
bila dilihat lebih dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan bismillah.
Rencong termasuk dalam kategori dagger atau belati (bukan pisau ataupun
pedang). Selain rencong, bangsa Aceh juga memiliki beberapa senjata khas
lainnya, seperti siwah, geuliwang dan peudeueng. Selain itu ada jenis
senjata tradisonal yang berupa pedang yang penggunaanya disesuaikan
denga kedudukan atau status pemakainya, seperti pedang daun tebu dan oo
ngom yang biasa digunakan oleh panglima-pangliam perang , serta pedang
reudeuh unutk para prajuit kerajaan.
J. Mata Pencaharian
Mata pencaharian pokok orang Aceh adalah bertani di sawah dan
ladang, dengan tanaman pokok berupa padi, cengkeh, lada, pala, kelapa,
dan lain-lain. Mereka yang berdiam di pesisir pantai atau sungai umumnya
bekerja sebagi nelayan. Pekerjaan-pekerjan tersebut mengunakan peralatan
sederhana seperti cangkoi (cangkul), langai (bajak yang ditarik kerbau atau
sapi), creuh (sikat untuk meratakan sawah), sadeub (sabit), dan gleem (aniani). Masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai pada umumnya
menjadi nelayan. Sebagian besar orang Alas hidup dari pertanian di sawah
atau ladang, terutama yang bermukim di kampung (kute). Tanam Alas

merupakan lumbung padi di Daerah Istimewa Aceh. Di samping itu
penduduk beternak kuda, kerbau, sapi, dan kambing, untuk dijual atau
dipekerjakan di sawah.
Mata pencaharian utama orang Aneuk Jamee adalah bersawah,
berkebun, dan berladang, serta mencari ikan bagi penduduk yang tinggal
di daerah pantai. Di samping itu ada yang melakukan kegiatan berdagang
secara tetap (baniago), salah satunya dengan cara menjajakan barang
dagangan dari kampung ke kampung (penggaleh). Matapencaharian pada
masyarakat Gayo yang dominan adalah berkebun, terutama tanaman kopi.
Mata pencaharian utama orang Tamiang adalah bercocok tanam padi di
sawah atau di ladang. Penduduk yang berdiam di daerah pantai
menangkap ikan dan membuat aran dari pohon bakau. Adapula yang
menjadi buruh perkebunan atau pedagang.
K. Sistem Religi
Orang Aceh adalah penganut agama Islam yang taat. Meskipun
demikian, di antara mereka ada yang masih menjalankan praktek
kepercayaan animisme dan dinamisme. Ada orang–orang tertentu yang
biasa mempraktekkan guna-guna atau ilmu gaib dan kelompok masyarakat
yang menjalankan beberapa uapacara tradisional yang bukan berasal dari
agama Islam, seperti kenduri blang dan kenduri laut. Kenduri blang adalah
upacara kesuburan yang biasa dilakukan setiap tahun oleh masyarakat
petani Aceh dan Gayo. Sedangkan kenduri laut atau upacars turun ke laut
diadakan oleh para nelayan Aceh dalam rangka meminta restu kepad
Penguas Laut. Upacara ini masih dapat ditemukan pada masyarakat desa
Ujong Pusong dan Ujong Blang di kabupaten Aceh Barat. Biasanya seekor
kerbau, kepalanya dibuang ke laut, sedangkan dagingnya dimasak untuk
kenduri setelah upacara selesai.
Orang Aceh menganggap dirinya identik dengan Islam. Oleh
sebab itu dalam kehidupan mereka hal-hal yang ada sangkut pautnya
dengan agama merupakan suatu hal yang paling sensitive, sehingga bagi
masyarakat Aceh pada umumnya, yang paling menyinggung perasaan atau
dianggap sebagi penghinaan adalah kalau seseorang disebut” kafir”.
Kendati yang bersangkutan belum tentu taat beribadah atau bahkan tidak

bertingkah laku sebagai seorang muslim, namun kalau disebut kafir pasti
akan berakibat panjang.
L. Sstem Kekerabatan
Dalam sistem kekerabatan, bentuk kekerabatan yang terpenting
adalah keluarga inti dengan prinsip keturunan bilateral. Adat menetap
sesudah menikah bersifat matrilokal, yaitu tinggal di rumah orangtua istri
selama beberapa waktu. Sedangkan anak merupakan tanggung jawab ayah
sepenuhnya.
Pada orang Alas garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip
patrilineal atau menurut garis keturunan laki-laki. Sistem perkawinan yang
berlaku adalah eksogami merge, yaitu mencari jodoh dari luar merge
sendiri. Adat menetap sesudah menikah yang berlaku bersifat virilokal,
yang terpusat di kediaman keluarga pihak laki-laki. Gabungan dari
beberapa keluarga luas disebut tumpuk. Kemudian beberapa tumpuk
bergabung membentuk suatu federasi adat yang disebut belah (paroh
masyarakat).
Dalam sistem kekerabatan tampaknya terdapat kombinasi antara
budaya Minangkabau dan Aceh. Garis keturunan diperhitungkan
berdasarkan prinsip bilateral, sedangkan adat menetap sesudah nikah
adalah uxorilikal (tinggal dalam lingkungan keluarga pihak wanita).
Kerabat pihak ayah mempunyai kedudukan yang kuat dalam hal pewarisan
dan perwalian, sedangkan ninik mamak berasal dari kerabat pihak ibu.
Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti yang disebut
rumah tanggo. Ayah berperan sebagai kepala keluarga yang mempunyai
kewajiban memenuhi kebutuhan keluarganya. Tanggung jawab seorang
ibu yang utama adalah mengasuh anak dan mengatur rumah tangga.
Pada masyarakat gayo, garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip
patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah
eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah. Kelompok
kekerabatan terkecil disebut saraine (keluarga inti). Kesatuan beberapa
keluarga inti disebut sara dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur
tinggal bersama dalam sebuah rumah panjang, sehingga disebut sara

umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu belah
(klen).
Dalam sistem kekerabatan masyarakat Tamiang digunakan prinsip
patrilineal, yaitu menarik garis keturunan berdasarkan garislaki-laki. Adat
menetap sesudah nikah yang umum dilakukan adalah adat matrilokal,
yaitu bertempat tinggal di lingkungan kerabat wanita.
M. Sistem Sosial
Bentuk kekerabatan yang utama dalam masyarakat Aceh adalah
keluarga inti, karena umumnya anggota rumah tangga terdiri dari ayah, ibu
dan anak-anknya saja. Prinsip garis keturunannya adalah bilineal dan
bilateral. Kelompok kerabat yang paling menonjol adalah keluarga luas
uksorilokal,

yaitu

pengelompokan

keluarga

di

lingkungan

pihak

perempuan. Karena setelah kawin anak akan tinggal beberapa bulan di
rumah orang tuanya, tapi biasanya segera akan membentuk rumah tangga
sendiri dekat lingkungan pihak istri.
Pada masa dulu masyarakat Aceh mengenal beberapa pelapisan
sosial. Di antaranya ada empat yang masih dikenal, yaitu: golongan
keluarga sultan, golongan uleebalang, golongan ulama, dan golongan
rakyat jelata. Bangsawan keturunan sultan yang laki-laki dipanggil ampon
dan yang perempuan dipanggil cut. Golongan uleeblang adalah keturunan
bawahan sultan yang biasanya bergelar teuku.
Pada hakikatnya masyarakat Aceh terikat oleh tata karma atau etika
yang tentunya berlandaskan ajaran Islam. Tata krama pergaulan suku Aceh
yang sampai sekarang masih dipegang teguh adalah tidak diperboehkan
memegang kepala orang lain, baik yang usianya lebih muda apalagi yang
lebih tua usianya, karena hal ini dianggap sebagai suatu penghinaan atau
menganggap rendah martabat orang lain, saling mengucapkan salam bila
bertemu atau berkunjung, bertutur kata santun dan lemah lembut kalau
berbicara dengan orang lain, terutama kepada yang lebih tua.
Sebagai sarana komunikasi sosial, orang Aceh mengembangkan
semacam suguhan “kapur sirih”. Seseorang yang bertamu pertama-tama
mendapat suguhan ini, baru ditawarkan minuman. Orang Aceh juga

mengembangkan nilai yang dapat menunjukkan kesetiakawanan atau
solidaritas dengan sesamanya, yaitu nilai gotong-royong.
N. Tokoh


Sultan Iskandar Muda, sultan Aceh terbesar



Teungku Chik Di Tiro, mujahid besar penghidup kembali perjuangan
Aceh melawan Belanda



Tuanku Hasyim Banta Muda, panglima besar angkatan perang Aceh
melawan Belanda



Teuku Umar, pahlawan melawan Belanda



Cut Nyak Dhien, pahlawan perempuan melawan Belanda



Cut Nyak Meutia, pahlawan perempuan melawan Belanda



Teungku Fakinah, ulama perempuan dan pahlawan Aceh melawan
Belanda



Daud Beureu'eh, pemimpin gerakan DI/TII Aceh



Teuku Mohammad Hasan, gubernur Sumatera pertama



Teuku Nyak Arief, gubernur pertama Aceh



Hasan Tiro, pendiri Gerakan Aceh Merdeka



Ismail al-Asyi, ulama besar Aceh



Teuku Jacob, bapak paleoantropologi Indonesia



Teuku Markam, pejuang kemerdekaan, pengusaha dan penyumbang
38 kg emas Monas



Ibrahim Alfian, sejarawan dan mantan dekan Fakultas Sastra, UGM



P. Ramlee, artis legenda Malaysia



Tan Sri Sanusi Juned, mantan menteri Malaysia

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Di Propinsi D.I. Aceh terdapat pula sedikitnya tujuh sukubangsa
lainnya, yaitu : Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Simeuleu, Kluet,
dan Gumbok Cadek. Identitas bersama berdasarkan ikatan kebudayaan
dan agama mencerminkan kesatuan suku-suku bangsa di propinsi ini.
Dalam pergaulan antarsuku bangsa jarang sekali penduduk asli Aceh
menyebut dirinya orang Gayo, Alas, Tamiang, dan seterusnya. Mereka
lebih suka menyebut diri sebagai "Orang Aceh.
2. Suku Aceh adalah salah satu suku bangsa Indonesia yang merupakan
penduduk mayoritas propinsi Nangroe Aceh Darussalam (Daerah
Istimewa Aceh). Suku bangsa Aceh merupakan hasil pembaharuan

beberapa bangsa pendatang dengan beberapa suku bangsa asli di
Sumatera, yaitu Arab, India, Parsi, Turki, Melayu, Minangkabau,
Batak, Nias, Jawa dan lain-lain.
3. Bahasa tradisional Aceh termasuk rumpun bahasa Austronesia, sub
rumpun bahasa Hesperonesia. Rencong merupakan senjata tradisional
yang terkenal suku Aceh. Orang Aceh adalah penganut agama Islam
yang fanatik dan taat. Meskipun demikian, di antara mereka ada yang
masih menjalankan praktik kepercayaan animisme dan dinamisme.
Kesenian yang menonjol dari suku ini adalah bela diri dan seni tari.

DAFTAR PUSTAKA
Hidayah, Zulyani. 1996. Esiklopedi: Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: PT.
Pustaka LP3ES
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Aceh (online) Diunduh pada 21 September
2015 Pukul 20.03 WIB
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbaceh/2014/02/10/aceh-memilikisukuadat-dan-bahasa-yang-berbeda/

(online)

Diunduh

pada

21

September 2015 Pukul 20.15 WIB
http://makalahpendidika.blogspot.co.id/2013/06/makalah-kebudayaan-aceh.html
(online) Diunduh pada 21 September 2015 Pukul 20.35 WIB

Nur,

Salim

Muhammad.

2010.

Suku

http://narutoiain.blogspot.co.id/2010/11/suku-aceh.html
Diunduh pada 22 September 2015 Pukul 05.03 WIB

Aceh.
(online)

Dokumen yang terkait

PERBEDAAN MOTIVASI BERPRESTASI ANTARA MAHASISWA SUKU JAWA DAN SUKU MADURA

6 144 7

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING BERORIENTASI HOTS (HIGHER ORDER THINKING SKILLS) UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS XI MATERI KELARUTAN DAN HASIL KALI KELARUTAN DI MA NEGERI 2 BANDA ACEH

5 44 1

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CIRCUIT LEARNING BERBANTU MEDIA GAMBAR DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR GEOGRAFI PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI 12 BANDA ACEH

3 43 1

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR SISWA MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TAKE AND GIVE DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE PADA MATA PELAJARAN GEOGRAFI KELAS XI-IIS DI SMA NEGERI 7 BANDA ACEH

0 47 1

ENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA MATA PELAJARAN IPS POKOK BAHASAN KERAGAMAN SUKU BANGSA DAN BUDAYA DI INDONESIA DENGAN MODEL PROBLEM POSING PADA SISWA KELAS V SDN GAMBIRAN 01 KALISAT JEMBER TAHUN PELAJARAN 2011/2012

1 24 17

IDENTIFIKASI TIPE TRIKOMATA PADA HELAIAN ( LAMJNA) DAUN SUKU SOLANACEAE

0 22 13

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN COLONG SUKU ADAT OSING BANYUWANGI

2 77 9

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Makna teologis upacara karo masyrakat suku tengger

8 73 77

Peningkatan Hasil Belajar Siswa Pada Pokok Bahasan menerima keragaman suku bangsa dan budaya melalui metode Role Playing di SD NU Wanasari Indramayu

1 53 173