Agama islam dan agama rukhshah

Sumber 1
Bait Syair Kelima Belas
Kesulitan Sebab Datangnya Kemudahan
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir rahimahullah berkata pada kaidah berikutnya:
‫س ْي ُر‬
ِ ‫فِي ُك ّل أَ ْم ٍر نابَهُ تَ ْع‬

‫س ْي ُر‬
ّ ‫َو ِمنْ قَوا ِع ِد ال‬
ِ ‫ش ِر ْي َع ِة التّ ْي‬

[Terjemah]
Di antara kaidah syariat adalah memberikan kemudahan dalam setiap perkara yang terdapat
kesulitan padanya.
[Syarh]
Ini adalah salah satu dari lima kaidah terbesar dalam Islam yang dikategorikan sebagai tiangtiang syariat Islam dan dibangun di atasnya sebagian besar masalah-masalah fiqhiah. Penjabaran
dan pengamalan kaidah ini adalah semua rukhshah yang Allah Ta’ala telah syariatkan -sebagai
rahmat dan keringanan- kepada para hamba-Nya, dikarenakan adanya sebab tertentu yang
mengharuskan adanya rukhshah tersebut. Hal itu karena pada dasarnya semua bentuk kesusahan
dan kesulitan itu ditolak keberadaannya dari agama Islam. Karenanya, setiap kali hamba
mendapatkan kesulitan dalam kehidupan mereka maka syariat pasti datang untuk memberikan

kemudahan, sebagai hikmah dan rahmat dari Allah kepada mereka.
Dalil-Dalil Kaidah.
Ada banyak dalil dari Al-Qur`an dan as-sunnah yang menunjukkan kaidah ini, di antaranya
firman Allah Ta’ala:
ّ ‫يُ ِري ُد‬
‫س َر‬
ْ ‫س َر َو َل يُ ِري ُد بِ ُك ُم ا ْل ُع‬
ْ ُ‫اُ بِ ُك ُم ا ْلي‬
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. AlBaqarah: 185)
Allah Ta’ala juga berfirman:
ّ ُ‫َل يُ َكلّف‬
‫س َع َها‬
ْ ‫سا إِ ّل ُو‬
ً ‫اُ نَ ْف‬
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. AlBaqarah: 286)
Adapun dari as-sunnah, maka ada beberapa hadits yang menjelaskan tentangnya, di antaranya:
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ْ ُ‫إِنّ الدّينَ ي‬
ُ‫س ٌر َولَنْ يُشَا ّد الدّينَ أَ َح ٌد إِ ّل َغلَبَه‬


“Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan
dikalahkan (semakin berat dan sulit).” (HR. Al-Bukhari no. 38)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di rahimahullah berkata setelah membawakan
sebagian dalil-dalil di atas, “Semua syariat Islam adalah bersifat hanif lagi mudah. Hanif dalam
ketauhidan, dimana syariatnya dibangun di atas penyembahan hanya kepada Allah semata dan
tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan mudah dalam semua hukum dan amalan yang disyariatkan di
dalamnya. Shalat wajib -misalnya-, hanya lima kali sehari semalam yang jelas tidak memakan
banyak waktu seorang hamba. Jumlah zakat (mal) yang dikeluarkan hanyalah sebagian kecil dari
total harta yang dimiliki seorang hamba, itu pun hanya dikenakan pada harta yang sifatnya
berkembang dan tidak dikenakan pada harta yang tidak bisa berkembang, itu pun hanya
dikeluarkan sekali dalam setahun. Demikian halnya haji tidak diwajibkan kecuali sekali dalam
seumur hidup, itu pun hanya wajib bagi mereka yang mampu. Demikian seluruh kewajiban, pasti
ada kemudahan di dalamnya sesuai dengan adanya sebab-sebab rukhshah. Semua kewajiban
dalam syariat mencapai puncak kemudahan dan gampang dikerjakan. Namun bersamaan dengan
kemudahan amalan-amalan tersebut, Allah tetap mensyariatkan sebab-sebab tertentu pada
banyak amalan yang bisa membantu dan menyemangati hamba dalam mengerjakan amalan
tersebut.
Sebagaimana disyariatkannya berjamaah dalam pelaksanaan shalat lima waktu, shalat jumat, dan
shalat id. Demikian halnya berpuasa, dimana kaum mukminin bersama-sama berpuasa pada satu
bulan yang sama, dan tidak ada yang tidak mengerjakannya kecuali orang yang mempunyai

udzur seperti sakit atau safar atau selain keduanya. Demikian halnya haji disyariatkan berjamaah.
Karena tidak diragukan bahwa mengerjakan sesuatu secara berjamaah itu bisa menghilangkan
kesulitan dalam ibadah, bisa menyemangati orang-orang yang mengerjakannya, dan bisa
melahirkan persaingan sportif dalam berlomba mengerjakan kebaikan. Sebagaimana Allah
Ta’ala juga menjadikan adanya balasan yang segera diberikan di dunia dan balasan (pahala) yang
akan diberikan di akhirat yang tidak diketahui banyaknya, sebagai motifator terbesar yang
membantu seorang hamba dalam mengerjakan kebaikan dan meninggalkan semua yang dilarang.
Pembahasan selanjutnya:
1. Dalil-dalil kaidah ini selain dari yang tersebut di atas.
2. Kelanjutan ucapan As-Si’di rahimahullah yang kami nukil di atas.
3. Batasan Kesulitan yang Mendapatkan Kemudahan dalam syariat.

4. 8 Sebab Datangnya Rukhshah (Keringanan) syariat.
5. 7 bentuk rukhshah dalam syariat Islam.
6. Rukhshah ada yang wajib dikerjakan, ada yang sunnah dikerjakan, ada yang boleh
ditinggalkan, dan ada yang sebaiknya ditinggalkan. Bagaimana cara membedakannya?

Sumber 2 http://almanhaj.or.id/content/3000/slash/0/makna-rukhshah-dan-pembagiannya/
MAKNA RUKHSHAH DAN PEMBAGIANNYA
Oleh

Ustadz Nurul Mukhlisin Asyrafuddin

Rukhshah secara bahasa, berarti izin pengurangan atau keringanan. Sedangkan menurut ulama
ushul diartikan dengan:
ُ ِ‫ْال ُح ْك ُم الثّاب‬
‫ف ال ّدلِ ْي ِل لِع ُْذ ٍر‬
ِ َ‫ت َعلَى ِخل‬
Hukum yang berlaku berdasarkan dalil yang menyalahi dalil yang ada karena adanya udzur.
Dari pengertian di atas dipahami tiga syarat dari rukhshah yaitu:
1. Rukhshah (keringanan) hendaknya berdasarkan dalil al-Qur’an dan Sunnah baik secara
tekstual maupun konstektual melalui qiyas (analogi) atau ijtihad, bukan berdasarkan kemauan
dan dugaan sendiri.
2. Kata hukum mencakup semua hukum dan dalil hukum yang ada seperti wajib, sunnah, haram
dan mubah semuanya bisa terjadi rukhshah di dalamnya.
3. Adanya udzur baik berupa kesukaran atau keberatan dalam melakukannya.

HIKMAH ADANYA RUKHSHAH.
Adanya rukhshah (keringanan) merupakan bagian dari kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta'ala
pada hamba-Nya dan bukti bahwa Islam adalah agama yang mudah dan tidak memberatkan
sebagaimana firman -Nya:


ّ ‫} ي ُِري ُد‬
{ ‫اُ بِ ُك ْم ْاليُ ْس َر َو َل ي ُِري ُد بِ ُك ْم ْال ُع ْس َر‬
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. [al Baqarah/
2:185]
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

ّ ‫} ي ُِري ُد‬
ُ ‫ال ْن َس‬
{ ‫ض ِعيفًا‬
َ ِ‫ف َع ْن ُك ْم َو ُخل‬
َ ّ‫اُ أَ ْن يُ َخف‬
َ ‫ان‬
ِْ ‫ق‬
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. [an
Nisaa/4:28].
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:

ّ }

{ ُ‫ين أَ َح ٌد ّإل َغلَبَه‬
َ ‫ين يُ ْس ٌر َولَ ْن يُ َشا ّد ال ّد‬
َ ‫إن ال ّد‬
Sesungguhnya agama ini mudah dan tidak ada orang yang berlebih-lebihan dalam agama ini
kecuali akan mengalahkannya (tidak mampu melakukannya)”.[HR. Bukhari]
PEMBAGIAN RUKHSHAH.
Ditinjau dari segi bentuknya rukhshah dibagi menjadi tujuh macam yaitu:

1. Rukhshah dengan menggugurkan kewajiban seperti boleh meninggalkan perbuatan wajib atau
sunnah karena berat dalam melaksanakannya atau membahayakan dirinya apabila melakukan
perbuatan tersebut, misalnya orang sakit atau dalam perjalanan boleh meninggalkan puasa
Ramadhan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Jika di antara kamu ada yang
sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain". [al-Baqarah/2:184].
Rukhshah juga diberikan kepada wanita untuk meninggalkan shalat ketika sedang haid atau
nifas, tidak berpuasa ketika hamil atau menyusui. Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata :
Diberikan rukhshah kepada orang tua jompo untuk tidak berpuasa dan menggantinya dengan
memberi makan orang miskin setiap hari dan tidak wajib qadha (mengulangi) puasanya, begitu
juga kepada wanita hamil dan menyusui kalau dia khawatir akan dirinya maka boleh tidak
berpuasa dan memberikan makan seorang miskin setiap hari selama tidak berpuasa. Ibnu Abbas

juga berkata: Apabila perempuan hamil khawatir atas kesehatan dirinya atau ibu menyusui yang
khawatir atas anaknya maka mereka berdua boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan
setiap hari seorang miskin dan tidak mengqadha’ puasanya [1].
Pada kitab yang sama Syaikh Nashiruddin Albany menyebutkan riwayat Nafi’ bahwa puteri
Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu menikah dengan seorang dari Qurays. Dalam keadaan
hamil ia puasa Ramadhan dan mengalami kehausan. Abdullah bin Umar memerintahkan untuk
berbuka dan menyuruhnya untuk memberi makan seorang miskin.
Contoh rukhshah yang lain seperti bolehnya meninggalkan shalat jumat karena uzur musafir atau
sakit tetapi menggantinya dengan shalat zuhur. Dari Thariq bin Syihab Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
ٌ ‫اجبٌ َعلَى ُك ّل ُم ْسلِ ٍم فِي َج َما َع ٍة إِ ّل أَرْ بَ َعةً َع ْب ٌد َم ْملُو‬
ّ ‫ْال ُج ُم َعةُ َح‬
ٌ‫صبِ ّي أَوْ َم ِريض‬
َ ْ‫ك أَوْ ا ْم َرأَةٌ أَو‬
ِ ‫ق َو‬
Shalat Jumat wajib bagi setiap muslim dengan berjamaah kecuali empat orang: hamba sahaya,
perempuan, anak-anak dan orang sakit. [HR.Abu Daud, Baihaqi-Shahih].

Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ٌ‫ْس َعلَى ْال ُم َسافِ ِر ُج ُم َعة‬

َ ‫لَي‬
Tidak wajib shalat jumat bagi orang yang musafir” [2]
Rukhshah tidak shalat jumat juga diberikan kepada orang yang sedang menjaga sesuatu yang
sangat vital. Salah seorang yang bertugas di bagian sentral imformasi yang bertanggungjawab
terhadap keamanan dan kebutuhan orang banyak pernah bertanya kepada Lajnah Daimah di
Saudi Arabia apakah dia boleh tidak ikut shalat berjamaah atau shalat jumat?. Lajnah Daimah
menjawab sebagai berikut: Hukum asal melakukan shalat Jum’at bagi setiap orang muslim yang
berakal dan muqim adalah wajib, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : “Wahai
orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka
bersegerahlah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [al-Jum’ah/62:9]
Dan hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Muslim dari Ibn Mas’ud Radhiyallahu anhu
bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda terhadap kaum yang tidak melakukan shalat
Jum’at:
ُ ‫لَقَ ْد هَ َم ْم‬
‫ال يَتَ َخلّفُونَ ع َْن ْال ُج ُم َع ِة بُيُوتَهُ ْم‬
َ ّ‫اس ثُ ّم أُ َحر‬
َ ُ‫ت أَ ْن آ ُم َر َرج ًُل ي‬
ٍ ‫ق َعلَى ِر َج‬
ِ ّ‫صلّي بِالن‬

Sesungguhnya aku ingin menyuruh seseorang menggantikanku menjadi imam shalat bersama
orang-orang, kemudian aku akan membakar rumah-rumah orang-orang yang tertinggal shalat
Jum’at.”
Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah dan Ibn Umar keduanya mendengar Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda di atas mimbar:
ّ ‫ت أَوْ لَيَ ْختِ َم ّن‬
َ‫اُ َعلَى قُلُوبِ ِه ْم ثُ ّم لَيَ ُكونُ ّن ِم ْن ْالغَافِلِين‬
ِ ‫لَيَ ْنتَ ِهيَ ّن أَ ْق َوا ٌم ع َْن َو ْد ِع ِه ْم ْال ُج ُم َعا‬

Hendaknya kaum-kaum itu berhenti meninggalkan shalat Jum’at atau Allah benar-benar akan
mengunci hati mereka kemudian mereka benar-benar termasuk golongan orang-orang yang
lengah.
Dan ulama sepakat bahwa jika teradapat udzur syar’i bagi orang yang wajib Jum’at, misalnya
sebagai penanggungjawab langsung pekerjaan yang berhubungan dengan keamanan umat dan
menjaga kesejahteraan mereka yang diharuskan untuk tetap dilaksanakan pada waktu shalat
Jum’at juga seperti petugas lalu lintas atau petugas sentral keamanan dan semacamnya, maka
mereka boleh meninggalkan shalat Jum’at dan jama’ah berdasarkan keumuman firman Allah
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” [at-Thaghabun/64: 16]
Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
‫َما نَهَ ْيتُ ُك ْم َع ْنهُ فَاجْ تَنِبُوهُ َو َما أَ َمرْ تُ ُك ْم بِ ِه فَا ْف َعلُوا ِم ْنهُ َما ا ْستَطَ ْعتُ ْم‬

Apa yang aku larang untukmu melakukannya maka tinggalkanlah, dan apa yang aku perintahkan
melakukannya maka lakukanlah sesuai kesanggupan kamu.”
Hanya saja hal itu tidak menggugurkan kewajiban shalat dhuhur dan harus melakukannya pada
waktunya. [3]
2. Rukhshah dalam bentuk mengurangi kadar kewajiban, seperti mengurangi jumlah rakaat
shalat yang empat pada waktu qashar atau mengurangi waktunya pada shalat jama’ karena
musafir, Allah Subahnahu wa Ta'ala, berfirman : "Dan apabila kamu bepergian di muka bumi,
maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu [an-Nisaa/4:101].
Rukhshah menjama’ shalat juga diberikan karena ada uzur mendesak sebagaimana yang
disebutkan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
menjamak shalat Zuhur dan Ashar di Madinah bukan karena takut atau musafir. Abu Zubair
bekata; saya bertanya kepada Said kenapa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbuat

demikian?. Said menjawab; saya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas sebagaimana yang anda
tanyakan dan beliau menjawab : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin agar tidak
memberatkan umatnya". Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, dalam
mengomentari hadits ini mengatakan : “Mayoritas ulama membolehkan menjamak shalat bagi
mereka yang tidak musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak
menjadikan yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan)". Pendapat demikian juga dikatakan oleh
Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas

ketika mendengarkan hadist Nabi di atas, “Beliau tidak ingin memberatkan umatnya, sehingga
beliau tidak menjelaskan alasan menjamak shalatnya, apakah karena sakit atau musafir”.[4]
3. Rukhshah dalam bentuk mengganti kewajiban dengan kewajiban lain yang lebih ringan seperti
mengganti wudhu’ dan mandi dengan tayamum karena tidak ada air atau tidak bisa atau tidak
boleh menggunakan air karena sakit dan lainnya, mengganti shalat berdiri dengan duduk,
berbaring atau isyarat, mengganti puasa wajib dengan memberikan makan kepada fakir miskin
bagi orang tua yang tidak bisa berpuasa atau orang sakit yang tidak ada harapan sembuhnya.
4. Rukhshah dalam bentuk penangguhan pelaksanaannya kewajiban seperti penangguhan shalat
Zuhur ke shalat Ashar ketika jama’ ta’khir atau menangguhkan pelaksanaan puasa ke luar bulan
Ramadhan bagi orang yang sakit atau musafir.
5. Rukhshah dalam bentuk mendahulukan pelakasanaan kewajiban seperti membayar zakat
fithrah beberapa hari sebelum hari raya padahal wajibnya adalah pada akhir Ramadhan,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nafi’ bahwa Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu
mengeluarkan zakat sehari atau dua hari sebelum hari raya [HR.Bukhari].
Atau seperti mendahulukan pelaksanaan shalat Ashar di waktu Zuhur ketika jama’ taqdim.
6. Rukhshah dalam bentuk merubah kewajiban seperti merubah cara melaksasnakan shalat ketika
sakit atau dalam keadaan perang, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
ّ ‫َوإِ َذا ُكنتَ فِي ِه ْم فَأَقَ ْمتَ لَهُ ُم ال‬
‫ت طَآئِفَةٌ أُ ْخ َرى‬
َ ‫صلَةَ فَ ْلتَقُ ْم طَآئِفَةُُ ّم ْنهُم ّم َع‬
ِ ْ‫ك َولِيَأْ ُخ ُذوا أَ ْسلِ َحتَهُ ْم فَإ ِ َذا َس َجدُوا فَ ْليَ ُكونُوا ِمن َو َرآئِ ُك ْم َو ْلتَأ‬

‫صلّوا َم َعكَ َو ْليَأْ ُخ ُذوا ِح ْذ َرهُ ْم َوأَ ْسلِ َحتَهُ ْم‬
َ ُ‫صلّوا فَ ْلي‬
َ ُ‫لَ ْم ي‬
Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan
salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu
dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang salat besertamu) sujud (telah
menyempurnakan seraka'at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk
menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersalat,lalu
bersalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata…..
[an-Nisaa/4: 102].
7. Rukhshah dalam bentuk membolehkan melakukan perbuatan yang haram dan meninggalkan
perbuatan yang wajib karena adanya uzur syar'i seperti bolehnya memakan memakan bangkai,
darah, dan daging babi pada asalnya haram, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
ُ
‫ّحي ٌم‬
ِ ‫اغ َولَ عَا ٍد فَلَ إِ ْث َم َعلَ ْي ِه إِ ّن اَ َغفُو ُُر ر‬
ِ ‫نز‬
ِ ‫إِنّ َما َح ّر َم َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةَ َوال ّد َم َولَحْ َم ْال ِخ‬
ٍ َ‫ير َو َمآأ ِه ّل بِ ِه لِ َغي ِْر اِ فَ َم ِن اضْ طُ ّر َغ ْي َر ب‬
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang
(yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan
terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [alBaqarah/4: 173].
Melakukan jual beli salam dengan memberikan harga (pembayaran) terlebih dahulu dan
barangnya menyusul dengan syarat ditentukan jumlah, sifat, dan tempat penerimaannya juga
termasuk rukhshah, misalnya seorang petani menerima uang harga gabahnya yang belum dia
panen karena dia butuh kepada uang, hal ini pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu.
ّ ‫صلّى‬
ْ ِ‫ار ال ّسنَةَ َوال ّسنَتَ ْي ِن فَقَا َل َم ْن أَ ْسلَفَ فِي تَ ْم ٍر فَ ْليُ ْسل‬
‫وم‬
َ ‫قَ ِد َم النّبِ ّي‬
ٍ ُ‫ف فِي َكي ٍْل َم ْعل‬
ِ ‫اُ َعلَ ْي ِه َو َسلّ َم ْال َم ِدينَةَ َوهُ ْم يُ ْسلِفُونَ فِي الثّ َم‬
‫وم‬
ٍ ُ‫وم إِلَى أَ َج ٍل َم ْعل‬
ٍ ُ‫َو َو ْز ٍن َم ْعل‬

Rasulullah tiba di Madinah dan mereka sedang melakukan jual beli salam pada buah-buahan
setahun atau dua tahun, beliau bersabda,” Barangsiapa yang melakukan jual beli salam pada
buah-buahan maka hendaknya melakukannya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas
dan waktu yang jelas”. [HR Bukhari dan Muslim].
Padahal hukum asal dalam jual beli adalah al-taqabudh yaitu serah terima barang dan harganya
dan tidak boleh ada yang ditunda.
Ada juga rukhshah yang diberikan karena adanya uzur ketererpaksaan misalnya bolehnya
mengucapkan kata-kata yang mengkafirkan dengan syarat hatinya masih tetap beriman, Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman :"Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia
mendapat kemurkaan Allah), kecuali orangyang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang
dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk
kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”. [an-Nahl/16:
106].
HUKUM MENGGUNAKAN RUKHSHAH.
Apakah orang yang mendapatkan rukhshah karena uzur seperti di atas wajib melakukan rukhsah
tersebut atau hukumnya ibahah (boleh mengamalnya atau meninggalkannya)?. Masalah ini
menjadi perbincangan di kalangan para ulama. Imam Abu Ishaq Al-Syathibi dalam kitabnya alMuwafaaqat menyebutkan hukum menggunakan rukhsah adalah mubah, artinya boleh dilakukan
atau tidak. Alasannya karena pada dasarnya rukhshah itu hanyalah keringanan agar tidak
menyulitkan dan memberatkan, maka seseorang boleh memilih antara mengamalkan rukhshah
tersebut atau tidak tergantung uzur kesulitan atau keberatan yang dia hadapi, misalnya orang
musafir dia diberikan kelapangan untuk memilih apakah ia mau mengqashar shalatnya atau
itmam (menyempurnakannya empat rakaat) tergantung kepada uzurnya. Kalau menggunakan
rukhshah itu diperintahkan baik secara wajib maupun sunnah maka bukan lagi sebuah
keringanan, tetapi kewajiban yang harus dilakukan dan tidak boleh ada pilihan lain.
Pendapat dan argumentasi al-Syatibi di atas dibantah oleh Jumhur Ulama yang mengatakan
bahwa menggunakan rukhsah adalah harus dan kembali kepada hukum asalnya apakah ia wajib

atau sunat, misalnya menjaga jiwa agar tidak binasa adalah wajib, maka memakan babi bagi
mereka yang terpaksa agar tidak mati kelaparan adalah wajib bukan mubah. Karena kalau
dikatakan mubah maka orang tersebut boleh memilih antara makan atau membiarkan dirinya
tidak makan walaupun dirinya mati kelaparan.
Dalam kasus mengqashar dan menjama’ shalat bagi orang musafir, syaikh Abdul Adzim alKhulaify mengatakan wajib bagi orang musafir untuk melakukannya. Ini artinya orang yang
musafir wajib melakukan qashar shalat sekalipun dalam perjalanannya itu ia tidak mendapatkan
kesulitan atau tidak berat melakukan shalat secara sempurna. Beliau memberikan beberapa dalil
di antaranya:
Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas beliau berkata:
ّ ‫صلّى‬
ّ ‫ض‬
ً‫ف َر ْك َعة‬
َ ‫اُ َعلَ ْي ِه َو َسلّ َم فِي ْال َح‬
َ ‫اُ الص َّلةَ َعلَى ِل َسا ِن نَبِيّ ُك ْم‬
َ ‫فَ َر‬
ِ ْ‫ض ِر أَرْ بَعًا َوفِي ال ّسفَ ِر َر ْك َعتَي ِِْن َوفِي ْالخَ و‬
Allah mewajibkan shalat melalui lisan nabimu ketika muqim empat rakaat, ketika dalam
perjalanan dua rakaat dan ketika dalam keadaan takut satu rakaat” [HR Muslim].
Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu berkata:
ْ ِ‫ص َلةُ ْال ُج ُم َع ِة َر ْك َعتَا ِن َو ْالف‬
ّ ‫صلّى‬
‫اُ َعلَ ْي ِه َو َسلّ َم‬
َ ‫ان ُم َح ّم ٍد‬
َ ‫ص َلةُ ال ّسفَ ِر َر ْك َعتَا ِن َو‬
َ
ِ ‫ط ُر َو ْالَضْ َحى َر ْك َعتَا ِن تَ َما ٌم َغ ْي ُر قَصْ ٍر َعلَى لِ َس‬
Shalat dalam perjalanan dua rakaat, shalat Jumat dua rakaat, shalat idul fithri dan idul adha dua
rakaat, secara sempurna bukan dikurangi menurut perintah Rasulullah. [HR. Ibnu Majah dan
Nasa’i].
Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata:
ْ ‫ص َلةُ ال ّسفَ ِر َوأُتِ ّم‬
ْ ‫ت َر ْك َعتَي ِْن فَأُقِر‬
ْ ‫ض‬
‫ض ِر‬
َ ‫ص َلةُ ْال َح‬
َ ‫ت‬
َ ‫ّت‬
َ ‫أَ ّن الص َّلةَ أَ ّو َل َما فُ ِر‬
Pertama kali shalat difardhukan dua rakaat, kemudian ditetapkan demikian pada shalat musafir
dan mengenapkan (empat rakaat) ketika tidak musafir. [HR.Bukhari dan Muslim].

Lajnah Da’imah (Majlis Ulama ) di Saudi Arabia ketika ditanya apakah yang lebih afdhal bagi
orang yang musafir berpuasa atau tidak?, menjawab : Banyak sekali hadits yang shahih dan
perbuatan Rasulullah sendiri yang menunjukkan bahwa berbuka (tidak berpuasa) lebih baik bagi
orang yang musafir, baik dalam keadaan berat atau tidak. Walaupun demikian boleh saja mereka
berpusa sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Hamzah bin Umar al-Aslamy
berkata; Ya Rasulullah di antara kami ada yang kuat melaksanakan puasa ketika musafir apakah
mereka salah (kalau berpuasa)? Rasulullah menjawab: Itu adalah rukhshah dari Allah
barangsiapa yang mengambilnya maka itu lebih baik, barangsiapa yang ingin berpuasa maka
tidak ada dosa baginya. [HR Muslim].
Wallahu ‘A’lam pendapat mayoritas ulama yang menyatakan keharusan mengamalkan rukhshah
adalah baik itu wajib atau sunnah adalah yang rajih (kuat) dengan alasan :
a). Sesuai dengan karakterisitik Islam yang mudah dan tidak memberatkan.
b). Rukhshah merupakan shadaqah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang diperintahkan oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menerimanya, sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Ya’la bin Umayyah ia bertanya kepada Umar bin Khatab tentang firman Allah Subhanahu
wa Ta'ala : Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqasar
salat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu
musuh yang nyata bagimu. (an-Nisaa/4:101). Dan sekarang kita sudah aman. (tidak perlu
qashar).Umar bin Khatab berkata:
‫ فاقبلوا صدقته‬، ‫ صدقة تصدق ا بها عليكم‬: ‫ فقال‬. ‫ فسألت رسول ا صلى ا عليه وسلم عن ذلك‬، ‫ عجب مما عجبت منه‬.
Saya juga heran sebagaimana anda heran dan saya bertanya kepada Rasulullah masalah itu dan
bersabda,” Shadaqah yang diberikan oleh Allah kepadamu dan terimalah shadaqah-Nya”.
c). Karena itu merupakan shadaqah dari-Nya, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala senang kalau
shadaqah-Nya diamalkan oleh hamba-Nya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
‫ إن ا يحب أن تؤتى رخصه كما يحب أن تترك معصيته‬.
Sesungguhnya Allah Senang untuk diambil keringanan-Nya sebagaimana Dia senang di
tinggalkan maksiat kepada-Nya. [HR.Ibnu Hibban dan Ibnu Huzaimah].
d). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri sebagai teladan kita selalu mengambil dan
mengamalkan sesuatu yang paling mudah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah
Radhiyallahu 'anha ia berkata : "Rasulullah (tidak pernah memilih antara dua masalah kecuali
mengambil yang paling mudah selama itu tidak berdosa, kalau itu dosa maka beliau orang yang
paling menjauhi masalah tersebut dan Rasulullah (tidak pernah balas dendam karena pribadinya
kecuali kalau melanggar syariat Allah maka beliau membalasnya karena Allah [HR.Bukhari dan
Muslim].
Wallahu ‘A’lam.
Sumber 3 http://www.tengkuazhar.com/rukhshah-sebuah-anugerah-yang-terzhalimi.html
Rukhshah, Sebuah Anugerah Yang Terzhalimi
Prolog
Syariat Islam yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasul-Nya Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merupakan syariat yang rahmatan lil’alamin. Ke-rahmatannya
terkadang sering disalahgunakan oleh sebagian kaum muslimin untuk mengais keuntungan dunia
dengan menjual ayat-ayat Allah atas nama rahmatan lil’alamin. Hal ini merupakan sebuah
tindakan yang dapat menjerumuskan seorang muslim ke dalam kekufuran. Di antara rahmat
syariat Islam yang diemban oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada umatnya
adalah memberikan kemudahan dan menghilangkan kesukaran. Di antara bentuk kemudahan
yang Allah berikan kepada kaum muslimin adalah pensyariatan rukhshah (keringanan) khusus
dalam ibadah-ibadah tertentu bagi orang-orang tertentu pula. Dalam kajian bulletin YDSUI kali

ini, kita akan mengupas apa itu rukhshah? Dan bagaimana penerapannya dalam kehidupan
sehari-hari bagi kaum muslimin?
Permudahlah dan jangan memberatkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan bahwa syariat yang diturunkan olehNya adalah memberikan kemudahan kepada umat manusia dan bukan memberatkan mereka.
Tetapi, tidak sedikit kaum muslimin yang memberat-beratkan diri mereka dan melemparkan diri
mereka ke dalam kebinasaan. Karenanya, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
mendengar berita bahwa ada tiga orang shahabat beliau yang ingin shalat terus menerus tanpa
beristirahat, ingin berpuasa terus menerus tanpa berbuka, dan ingin beribadah terus menerus
tanpa menikah, maka beliau sagat marah, dan mengingatkan para shahabat tersebut bahwa beliau
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling bertaqwa dan paling takut kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala di muka bumi ini. Kemudian beliau bersabda, “Tetapi, aku shalat
dan akupun beristirahat, aku berpuasa dan aku berbuka, dan menikah dengan wanita. Maka
barangsiapa yang membenci sunnahku, maka dia bukan golonganku.”
Perhatikanlah, bagaimana Rasulullah mendidik para shahabatnya bahwa prilaku memberatberatkan diri sehingga menyampakkan seseorang ke dalam kebinasaan bukanlah dari sunnah dan
tuntunan beliau.
Sangat ironis, ketika kita menyaksikan sekelompok kaum muslimin berdzikir dengan suara
mekik-mekik, meraung-raung, membuatnya kepayahan, suaranya habis, tidak tidur malam,
dianggap sebagai sunnah Rasulullah dan tuntunannya.

Sangat menggelikan, ketika kita menyaksikan seseorang melaksanakan shalat dengan seribu
rakaat, membaca surat Al-Fatihah seribu kali, membaca surat Al-Ikhlash seribu kali, membaca
ayat kursi seribu kali, dianggap ajaran Rasulullah dan sunnahnya.
Justru mereka telah menyelisihi sunnah Rasulullah yang menyukai kemudahan, pertengahan dan
tidak berlebih-lebihan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
“Sesungguhnya dien ini (Islam), adalah dien yang memberikan kemudahan.” (HR. Al-Bukhari).
Beliau juga bersabda :
“Amalan Islam yang paling disukai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah amalan yang
memberikan kemudahan dan toleransi.” (HR. Al-Bukhari).
Jadi jelaslah, bahwa salah satu karakteristik dien ini adalah memberikan kemudahan dan
menghilangkan kesukaran dan keberatan. Karenanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan
nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran
dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At-Taghabun : 16)
Definisi Rukhshah
Rukhshah secara bahasa adalah keringanan atau kemudahan.
Secara istilah rukhshah adalah sebuah hukum tetap yang menyelisihi dalil syar’i dikarenakan ada
sebab-sebab yang rajih.
Imam Ar-Razi mengatakan : rukhshah adalah sesuatu yang boleh dikerjakan atau dilaksanakan
sekalipun pada hukum asalnya perbuatan itu dilarang.
Imam Al-Hindi mengatakan : rukhshah adalah meninggalkan atau mengerjakan sesuatu yang
pada hukum asalnya dilarang dikarenakan ada sebab-sebab yang rajih.
Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an dan Rasulullah dalam sunnah-sunnahnya telah
memberikan beberapa keringanan kepada kaum muslimin apabila terpenuhi syarat dan sebabsebabnya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat suka apabila keringanan-keringanan yang
telah Dia berikan dan tetapkan dijalankan dan dilaksanakan oleh umat-Nya.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala suka apabila keringanan-keringanan dari-Nya
dilaksanakan sebagaimana Dia suka ‘azimah-Nya dilaksanakan.”
Sikap umat Islam terhadap rukhshah
Dalam masalah rukhshah kaum muslimin terbagi kepada tiga kelompok.

Pertama : Kelompok yang berlebih-lebihan dalam menyikapi rukhshah. Sehingga, mereka sering
meninggalkan yang wajib atau bahkan mengerjakan yang haram karena alasan rukhshah, padahal
sebab-sebab dan syarat-syaratnya belum terpenuhi dengan sempurna. Bahkan kelompok ini
sering mencari-cari rukhshah, padahal dia bukanlah orang yang berhak untuk mengamalkan
rukhshah tersebut. Lebih jelasnya pada akhir bab ini akan kita jelaskan tentang kelompok yang
ketiga ini.
Kedua : Kelompok yang meremehkan rukhshah. Kelompok ini tidak peduli dengan keringanankeringanan yang telah Allah berikan kepada mereka, sekalipun terpenuhi syarat dan sebabsebabnya. Menurut mereka, mengambil keringanan adalah bentuk peremehan terhadap agama
Allah dan mempermainkannya. Kelompok ini jelas berada dalam kekeliruan yang besar dan
nyata.
Ketiga : Kelompok yang berada antara yang berlebih-lebihan dan yang meremehkan. Mereka
mengambil keringanan yang telah Allah dan Rasul-Nya berikana sesuai dengan sebab dan syaratsyarat yang telah disepakati oleh para ulama.
Contoh-contoh Rukhshah dan Hukumnya
Para ulama menjelaskan, bahwa hukum rukhshah berbeda-beda. Terkadang rukhshah menjadi
wajib hukumnya untuk diamalkan. Seperti memakan bangkai atau babi bagi orang yang dalam
kondisi darurat tidak mendapatkan makanan. Jika dia tidak memakan bangkai atau daging babi
itu dia akan binasa atau mati. Para ulama menjelaskan bahwa mengambil rukhshah ini hukumnya
wajib. Contoh lain adalah bahwa menutup aurat hukumnya wajib dan menampakkannya kepada
yang bukan mahram adalah haram hukumnya. Tetapi, ketika seseorang ini melakukan operasi
(karena penyakit tertentu), dan tim dokter menyatakan bahwa untuk mengobati penyakitnya
harus dilakukan tindakan operasi bedah, maka tidak masalah bagi orang tersebut membuka aurat
dan memperlihatkannya kepada yang bukan mahramnya jika hal itu terpaksa harus dilaksanakan.
Terkadang rukhshah hukumnya adalah sunnah. Seperti mengqashar shalat (shalat empat rakaat
diqashar menjadi dua rakaat) bagi orang yang musafir, atau meninggalkan shaum Ramadhan
bagi seorang musafir dan menggantikannya pada hari-hari lain. Dan masih banyak contoh-contoh
rukhshah lainnya yang telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Hukum mencari-cari Rukhshah
Sesungguhnya syaithan senantiasa berusaha menggelincirkan manusia dan menyesatkan mereka
dari jalan kebenaran dengan wasilah yang beraneka ragam. Di antara pintu-pintu kejelekan yang

telah dibuka oleh syaithan untuk menusia adalah :”Mencari rukhsah (pendapat paling ringan)
dari para fuqaha’ dan mengikuti kesalahan-kesalahan mereka”. Dengan cara ini syaithan menipu
banyak kaum muslimin yang bodoh. Sehingga hal-hal yang haram dilanggar, dan hal-hal yang
wajib ditinggalkan karena bergantung kepada pendapat atau rukhsah yang palsu. Maka jadilah
orang-orang bodoh tersebut menjadikan hawa nafsu mereka sebagai hakim dalam masahmasalah khilafiyah (perselisihan). Mereka memilih pendapat yang paling mudah dan yang paling
enak menurut hawa nafsu mereka tanpa bersandar kepada dalil syar’i. Bahkan karena taqlid
kepada kesalahan seorang alim, yang seandainya orang alim tersebut mengetahui kebenaran
maka dia akan meninggalkan pendapatnya (yang salah tersebut) tanpa ragu-ragu.
Ketika tidak ada seorangpun yang mengingkari orang-orang bodoh tersebut maka mereka akan
beralasan bahwa mereka tidaklah melakukan hal tersebut berdasarkan pendapat mereka semata,
tetapi ada ulama yang memfatwakan bolehnya apa yang telah mereka lakukan. Dan bahwa
mereka bukanlah yang dimintai pertanggung jawaban adalah pada ulama yang memfatwakannya,
jika benar atau salah. Bahkan mereka mengambil rukhsah dari para fuqaha’ pada suatu
permasalahan dan meninggalkan pendapat-pendapat para fuqaha itu pada permasalahan yang
lain.

Mereka menyesuaikan antara madzhab-madzhab dan menggabungkan pendapat-

pendapat (menurut hawa nafsu mereka -pent). Mereka menyangka telah melakukan amalan yang
sebaik-baiknya (padahal malah sebaliknya, -pent)
Syaithan telah menyebarkan pada orang-orang bodoh tersebut perkataan :”Letakkanlah dia di
leher orang alim, dan keluarlah darinya dalam keadaan selamat”. (Maksudnya yaitu serahkan
tanggung jawab akibat perbuatan kalian kepada orang alim yang memfatwakan hal itu, maka
kalian akan keluar dengan selamat tanpa beban -pent). Ketika timbul suatu masalah pada salah
seorang di antara orang-orang bodoh tersebut, maka dia akan pergi kepada sebagian ulama yang
tasahul (mudah memberikan jawaban yang ringan dan enak, -pent) dalam berfatwa, lalu mereka
(sebagian ulama yang tasahul, -pent) mencarikan untuknya rukhsah yang telah difatwakan oleh
seseorang, lalu mereka berfatwa dengan rukhsah tersebut padahal rukhsah itu menyelesihi dalil
dan kebenaran yang telah mereka yakini..
Kebanyak orang-orang bodoh itu terdiri dari dua golongan, yaitu (pertama) orang awam yang
pergi ke ulama yang tasahul dalam berfatwa. Dan (yang kedua) mufti yang mencari keridhaan
manusia yang tidak berfatwa dengan dalil.
Apakah yang dimaksud dengan rukhsah di sini ?

Yang dimaksud dengan rukhsah di sini adalah pendapat para ulama dalam masalah khilafiyah
yang paling ringan (paling enak, -pent) yang tidak bersandar kepada dalil yang shahih. Atau
kesalahan seorang alim mujtahid yang kesalahannya tersebut diselisihi oleh para mujtahid yang
lain. Dan inilah makna rukhsah menurut bahasa.
Adapun makna syar’i yaitu istilah terhadap sesuatu yang berubah dari perkara yang asal karena
adanya halangan, atau untuk kemudahan dan keringanan. Seperti diqasharnya shalat ketika safar
dan kesalahan-kesalahan padanya yang rukhsah-rukhsah syar’i yang lainnya.
Contoh-contoh rukhsah para ahli fiqih.
1. Pendapat bolehnya mencukur jenggot
1. Pendapat bolehnya membayar zakat fitrah dengan uang.
1. Pendapat bolehnya meminum semua yang memabukkan kecuali yang dari anggur.
1. Pendapat bahwasanya tidak ada shalat Jum’at kecuali pada tujuh wilayah.
1. Pendapat tentang diakhirkannya shalat asar hingga (panjang) bayangan setiap benda
adalah empat kalinya.
1. Pendapat bolehnya lari pada saat bertemu dengan musuh (ketika jihad, -pent).
1. Pendapat bolehnya mendengarkan nyanyian dan alat-alat musik.
1. Pendapat bolehnya nikah mut’ah.
1. Pendapat bolehnya menukar satu dirham dengan dua dirham secara kontan/tunai.
1. Pendapat bolehnya menjima’i istri dari duburnya.
1. Pendapat sahnya nikah tanpa wali dan tanpa mahar.
1. Pendapat tidak disyariatkannya dua saksi dalam nikah.
Mengikuti rukhsah para fuqaha’ menimbulkan mafsadah yang banyak. Di antaranya hilangnya
kemulian agama (Islam), dan jadilah agama ini permainan ditangan manusia. Di antaranya juga
meremehkan hal-hal yang haram dan meremehkan batasan-batasan syari’at.
Imam Asy-Syatibi telah menyebutkan sejumlah kerusakan-kerusakan ini, lalu menyebutkan
kerusakan-kerusakan yang lain, dia berkata :”Seperti memisahkan diri dari (ajaran) agama
dengan tidak mengikuti dalil beralih mengikuti khilaf (perselisihan), meremehkan agama,
meninggalkan apa-apa yang telah diketahui (kebenarannya), rusaknya kaedah politik yang syar’i,
yaitu dengan tidak adanya ketegasan amar ma’ruf (sehingga para hakimpun berbuat sewenangwenang dalam keputusan-keputusan hukum mereka, maka seorang hakim berfatwa dengan
rukhsah kepada orang yang dia senangi dan berfatwa yang menyulitkan kepada yang dia tidak

sukai. Maka tersebarlah kekacauan dan kedzaliman-kedzaliman, dan seperti menjadi sarana
menuju pendapat mengabung-gabungkan madzhab-madzhab dengan cara yang merusak ijma.”
Penutup
Dari apa yang telah kami jelaskan di atas, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya
telah menetapkan beberapa rukhshah bagi umat-Nya. Karenanya, kita mengambil rukhshahrukhshah yang telah jelas dalil-dalil syar’inya, sehingga kita tidak termasuk orang yang mencaricari rukhshah, sehingga mengandalkan akal, hawa nafsu, dan perkataan segelintir ulama yang
tidak berdasarkan kepada dalil. Wallahu Ta’ala A’lamu bish Shawab.
Reference :
1. Ma’alim Ushul Fiqh, Syaikh Muhammad bin Husain Al-Jizani.
2. Ahkam Tatabbu’ir Rukhash, Syaikh Abu Abdirrahmhman Ibrahim bin Abdillah AlMazru’i.
3. Dan lain-lain.