BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Problematika terhadap Pekerja dalam Proses Kepailitan Perseroan Terbatas

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pekerja memiliki peranan penting dalam suatu Perseroan Terbatas
(selanjutnya disebut perusahaan), dimana pekerja melaksanakan perintah dari
pengusaha untuk bekerja sebagai kewajiban dalam isi perjanjian kerja sehingga
tujuan dari kegiatan usaha yang dijalankan perusahaan dapat tercapai. Dalam
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (2) telah ditentukan bahwa: “Tiap-tiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”. Jadi, setiap pekerja berhak mendapatkan pekerjaan untuk
mencapai penghidupan yang layak seperti mendapatkan upah.
Adanya hubungan hukum antara pekerja dan perusahaan/pengusaha
didasarkan pada hubungan kerja. Hubungan kerja adalah hubungan antara
pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja,1 yang mempunyai unsur
pekerjaan, upah dan perintah.2 Sehingga adanya hubungan kausalitas antara
pekerja dan perusahaan. Hubungan kerja dapat berakhir karena suatu hal tertentu
sehingga mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan

perusahaan yang disebut dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).3

1

2
3

Yang dimaksud perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau
pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak (Pasal 1 angka
14 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).
Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal 1 angka 25 UU No. 13 Tahun 2003.

2

Dalam hukum perburuhan, secara teoritis pemutusan hubungan kerja
dibedakan menjadi empat macam, yaitu a). PHK demi hukum; b). PHK oleh
pengusaha; c). PHK oleh buruh; dan d). PHK oleh hakim. Masing-masing jenis
PHK tersebut memiliki konsekuensi yuridis yang berbeda.4 Dalam pembahasan
ini, memfokuskan pada PHK demi hukum, dan PHK oleh pengusaha/perusahaan

yang berimplikasi pada prosedur PHK serta cara memperoleh hak-hak normatif
yang seharusnya diterima oleh pekerja. Hak normatif5 yang dimaksud tercantum
dalam Pasal 156 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu:
“Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar
uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak
yang seharusnya diterima.”
Dalam hal pekerja mengundurkan diri baik status perusahaan sedang
dinyatakan pailit maupun tidak sedang dinyatakan pailit, maka tidak perlu
meminta penetapan lembaga penyelesaian perburuhan (sekarang dikenal dengan
nama Penyelesaian Hubungan Industrial atau PHI) serta pekerja tidak
mendapatkan uang pesangon melainkan hanya uang penggantian hak dan uang
pisah.6 Sedangkan jika pekerja di-PHK dengan alasan perusahaan pailit, maka
disamping perlu penetapan dari lembaga yang berwenang juga pekerja

4

5

6


M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Kencana,
Jakarta, 2008, h. 170.
Hak normatif adalah hak dasar buruh dalam hubungan kerja yang dilindungi dan dijamin
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut UU No. 13 Tahun 2003, hak
normatif sejatinya baru menjadi potensi hak buruh dan menjadi hak riil yang pemenuhannya
bisa diperjuangkan melalui hukum apabila terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pasal 162 ayat (1) jo. Pasal 156 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003.

3

memperoleh uang pesangon, uang penghargaan, dan hak-hak lainnya sebagaimana
diatur dalam Pasal 165 UU No. 13 Tahun 2003.7
Secara teoritis, hak pekerja telah mendapatkan perlindungan dari peraturanperundang-undangan yang ada. Akan tetapi, pada prakteknya tidak semua
perusahaan secara sukarela untuk memenuhi kewajibannya tersebut. Jika dilihat
dari perspektif pekerja, bagi pekerja pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan
awal hilangnya mata pencaharian, berarti pekerja kehilangan pekerjaan dan
penghasilan.8 Sehingga bagi perusahaan yang tidak memenuhi kewajibannya,
pekerja harus melakukan perbuatan yaitu dengan mengajukan upaya hukum untuk
dapat menerima dan melindungi hak-hak normatifnya. Upaya hukum yang dapat
dilakukan berupa mengajukan gugatan ke Penyelesaian Hubungan Industrial atau

mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga.
Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk
melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya.
Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi
keuangan dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan
kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas
seluruh kekayaan debitor pailit, baik telah ada maupun yang akan ada di
kemudian hari.9 Sehingga debitor dapat dinyatakan pailit setelah dikeluarkannya
putusan dari pengadilan. Sumber hukum dari kepailitan adalah Undang-Undang

7
8

9

M. Hadi Shubhan, Op. Cit., h. 171.
Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2014, h. 175.
Pasal 1 angka (1) UU No. 37 Tahun 2004.


4

Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang.
Apabila dilihat dari praktek dalam sejarah kepailitan, tidak banyak kasus
kepailitan yang dibawa ke pengadilan. Kondisi yang bertolak belakang terjadi
ketika Indonesia menghadapi krisis moneter mulai tahun 1997. Akibat dari krisis
tersebut diperkirakan 18.000 perusahaan mengalami kesulitan pembayaran utang
yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.10 Akan tetapi pada perkembangannya
sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, kepailitan digunakan sebagai
pranata hukum penyelesaian sengketa hutang-piutang oleh debitor, kreditor, atau
pihak yang berkepentingan lainnya.

Hal ini didukung oleh: pertama proses

beracara yang cepat karena jangka waktu dikeluarkannya putusan Pengadilan
Niaga

harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal


permohonan pernyataan pailit didaftarkan (Pasal 8 ayat (5) UU No. 37 Tahun
2004). Kedua, syarat pengajuan permohonan pailit yang sederhana yaitu debitor
mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu
utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih (Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun
2004).11 Ketiga, dalam hal pembuktian dimana permohonan pernyataan pailit
harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan terbukti secara sederhana
bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2
ayat (1) telah dipenuhi.
10

11

Tri Budiyono, Transplantasi Hukum: Harmonisasi dan Potensi Benturan, Griya Media, Salatiga,
2009, h. 52-53.
Yang dimaksud dengan “sudah jatuh waktu dan dapat ditagih” adalah kewajiban untuk
membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan
waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh
instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.


5

Untuk dapat mengajukan permohonan pailit, maka pekerja yang
memposisikan diri sebagai kreditor harus memiliki kedudukan hukum (legal
standing). Berdasarkan pada tingkatannya, kreditor terbagi menjadi 3 (tiga)
golongan, yaitu kreditor konkuren, kreditor preferen dan kreditor separatis.12
Pekerja

termasuk

sebagai

kreditor

preferen

umum

(vide


Bab

II:

Golongan/tingkatan Kreditor). Selain itu, pekerja juga memiliki kedudukan
sebagai kreditor dilihat dalam ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi: “Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit
atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka
upah dan hak-hak lainnya dari pekerja merupakan utang yang didahulukan
pembayarannya.” Sehingga berdasarkan uraian di atas, pekerja memiliki dasar
hukum untuk dapat berkedudukan sebagai kreditor dalam mempailitkan
perusahaan (debitor).
Dalam beberapa kasus kepailitan, dapat dilihat bahwa kepailitan digunakan
sebagai pranata hukum penyelesaian sengketa hutang-piutang oleh pekerja
terhadap Perseroan Terbatas tempat dimana mereka bekerja. Berikut ini adalah
gambaran 10 (sepuluh) kasus yang mengkonstruksikan problematika terhadap
pekerja dalam proses kepailitan Perseroan Terbatas.

12


Sunarmi, Hukum Kepailitan, PT. Softmedia, Jakarta, 2010, h. 42.

6

Bagan 1.
Skema permohonan pailit

PT
(BUMN)

Pekerja
No. 584 K/Pdt.Sus/2010

Penyelesaian
Hubungan
Industrial
No. 80 PK/Pdt.Sus/2009
No. 17/Pailit/2015/PNNiaga-SBY

No. 897 K/Pdt.Sus/2009

No. 106 K/Pdt.Sus/2012

Menteri
Keuangan
Eksekusi
Pengadilan
Negeri
Pengadilan
Niaga

No. 075 K/Pdt.Sus/2007
No. 447 K/Pdt.Sus/2016

No. 195 PK/Pdt.Sus/2012
No. 469 K/Pdt.Sus/2012

No. 246 K/Pdt.Sus/2012

Dilihat dari gambar di atas, 2 (dua) dari 10 (sepuluh) putusan yakni putusan
Pengadilan Niaga Surabaya, putusan Kasasi dan putusan Peninjauan Kembali oleh

Mahkamah Agung yang dalam amar putusannya mengabulkan permohonan
pernyataan pailit oleh pekerja terhadap perusahaan. Sedangkan 8 (delapan) dari 10
(sepuluh) putusan mengenai kepailitan, pada amar putusan menolak permohonan
dengan pertimbangan hakim yang berbeda-beda. Contohnya permohonan harus
diajukan ke Penyelesaian Hubungan Industrial, apabila perusahanan milik negara
(BUMN) maka yang dapat memohon adalah Menteri Keuangan, dan lain-lain

7

(Vide: Bab II). Beberapa contoh kasus kepailitan di bawah ini memberikan
gambaran singkat problematika terhadap pekerja dalam proses kepailitan
Perseroan Terbatas.

1. Kasus PT. Merpati Nusantara Airlines (Persero) melawan Sudiyarto.
Dalam kasus ini, Sudiyarto sebagai pemohon kasasi atau pemohon pailit
adalah pegawai yang diberhentikan dengan hormat oleh

PT. Merpati

Nusantara Airlines (selanjutnya disebut PT. MNA) sejak tanggal 17 Juli 2014.
Akibatnya, PT. MNA memiliki kewajiban memberikan uang sejumlah Rp.
406.674.590 (empat ratus enam juta enam ratus tujuh puluh empat ribu lima
ratus sembilan puluh rupiah) yang terdiri atas hak normatif (gaji, denda gaji,
iuran jamsostek) dan uang pesangon yang dianggap sebagai hutang. Akan
tetapi sampai permohonan pailit diajukan, PT. MNA belum memenuhi
kewajibannya. Selain itu, PT. MNA terbukti masih berhutang kepada 106
pegawai lainnya sehingga total hutang PT. MNA adalah Rp. 71.515.826.750
(tujuh puluh satu miliar lima ratus lima belas juta delapan ratus dua puluh
enam ribu tujuh ratus lima puluh rupiah). Sehingga terpenuhi syarat
permohonan pailit dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Berdasarkan permohonan pernyataan pailit oleh Sudiyarto, Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat dalam amar putusan No. 04/Pdt.Sus/2016/PN Niaga Jkt
Pst, tanggal 7 April 2016 menyatakan menolak permohonan. Dalam
pertimbangan hakim, PT. MNA terbukti milik Negara dan bergabung dalam
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sesuai maksud dan tujuannya PT. MNA

8

merupakan BUMN yang melayani kepentingan publik. Sehingga berdasarkan
Pasal 2 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004 yang berhak mengajukan permohonan
pernyataan pailit adalah Menteri Keuangan, maka Sudiyarto tidak memiliki
kedudukan hukum. Selain itu, hakim menimbang bahwa sengketa antara
Sudiyarto dan PT. MNA yang mempersoalkan tentang hak-hak Sudiyarto yang
tidak dibayarkan, sehingga berdasarkan pasal 1 angka 17 Jo. Pasal 2 huruf a
UU No. 2 Tahun 2004 merupakan sengketa yang diselesaikan oleh Pengadilan
Hubungan Industrial dan Pengadilan Niaga tidak berwenang menyelesaikan
perkara.
Berdasarkan pada putusan pengadilan Niaga, Sudiyarto mengajukan
permohonan kasasi, yang pada putusan kasasi MA No. 447 K/Pdt.Sus/2016
juga menyatakan menolak permohonan. Dalam pertimbangannya terhadap
keberatan Sudiyarto, hakim berpendapat bahwa Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
tidak salah menerapkan hukum dan perkara tidak bertentangan dengan hukum
dan/atau UU.

2. Kasus PT. Alogics Mandiri Coal melawan Ko Ik Whan dk.
Dalam kasus ini Ko Ik Whan sebagai pemohon kasasi I atau pemohon
pailit I telah bekerja sebagai direktur operasional pada PT. Alogics Mandiri
Coal (selanjutnya disebut PT. AMC) sejak bulan 8 Juli sampai Nopember
2010. PT. AMC memiliki hutang sebesar Rp. 310.720.000,- (tiga ratus sepuluh
juta tujuh ratus dua puluh ribu rupiah) kepada Ko Ik Whan, yang terdiri atas
upah atau gaji yang tidak dibayar selama 5 (lima) bulan bekerja dan pinjaman

9

yang diberikan untuk pembayaran gaji karyawan PT. AMC yang tidak
diberikan pelunasan atau pengembalian sisa pinjaman.
Selain itu, Lee Bong Kyoo sebagai pemohon kasasi II atau pemohon
pailit II juga telah bekerja sebagai Direktur keuangan pada PT. AMC sejak
bulan 8 Juli sampai Nopember 2010. PT. AMC memiliki hutang sebesar Rp.
422.543.417,- (empat ratus dua puluh dua juta lima ratus empat puluh tiga ribu
empat ratus tujuh belas rupiah) kepada Lee Bong Kyoo, yang terdiri atas upah
atau gaji yang tidak dibayar selama 5 (lima) bulan bekerja dan pinjaman yang
diberikan untuk pembayaran gaji karyawan PT. AMC yang tidak diberikan
pelunasan atau pengembalian sisa pinjaman. Sehingga terpenuhi syarat
permohonan pailit dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Berdasarkan permohonan pernyataan pailit oleh Ko Ik Whan dan Lee
Bong Kyoo, Pengadilan Niaga Makassar dalam amar putusan No.
66/Pailit/2011/Pn.Niaga.Mks tanggal 22 Februari 2012 menyatakan menolak
permohonan. Dalam pertimbangannya hakim menyatakan tidak terdapat bukti
yang secara konkrit besarnya gaji setiap bulan yang harus dibayarkan dan tidak
terdapat adanya bukti pinjaman oleh PT. AMC, bukti yang tidak dibubuhi
tanda tangan penanggung jawab sehingga tidak jelas penanggungjawabannya,
pengiriman surat somasi/tegoran kepada PT. AMC yang tidak berada lagi
dialamat yang dituju sehingga surat somasi tidak sampai kepada PT. AMC.
Sehingga menurut pertimbangannya tidak terbukti fakta sederhana adanya
hutang yang telah jatuh tempo dan tidak dibayar PT. AMC sehingga dapat
ditagih.

10

Berdasarkan pada putusan pengadilan Niaga, Ko Ik Whan dan Lee Bong
Kyoo mengajukan permohonan kasasi, yang pada putusan kasasi MA No. 246
K/Pdt.Sus/2012

juga

menyatakan

menolak

permohonan.

Dalam

pertimbangannya terhadap keberatan Ko Ik Whan dan Lee Bong Kyoo, hakim
berpendapat bahwa Pengadilan Niaga Makassar tidak salah menerapkan hukum
dan perkara tidak bertentangan dengan hukum dan/atau UU.

3. Kasus PT. Unggul Summit Particle Board Industry melawan Dewan
Pengurus Serikat Pekerja Indonesia PT. Unggul Summit Particle Board
Industry.
Dalam kasus ini Dewan Pengurus Serikat Pekerja Indonesia PT. Unggul
Summit Particle Board Industry (selanjutnya disebut Dewan SP PT. USPBI
sebagai Pemohon Pailit yang diwakili oleh 9 (sembilan) orang karyawan, yaitu
Astadi, Didik Suprayitno, Supriyadi, Tri Wahyudi, Suparno, Arifin, Iwan
Singgih Purbadi, Supramiyanto, Yusak Agung Jawoto yang bertindak untuk
dan atas nama diri sendiri dan 69 (enam puluh sembilan) karyawan PT. Unggul
Summit Particle Board Industry (selanjutnya disebut PT. USPBI). Berdasarkan
pada Surat Perjanjian Bersama tanggal 14 Mei 2013, PT. USPBI dan Dewan
SP PT. USPBI telah menyepakati kewajiban PT. USPBI berupa uang pesangon
Rp. 3.237.095.000,- (tiga milyard dua ratus tiga puluh tujuh juta sembilan
puluh lima ribu rupiah, uang penggantian hak sebesar Rp. 485.564.250,(empat ratus delapan puluh lima juta lima ratus enam puluh empat ribu dua
ratus lima puluh rupiah), upah terakhir yang belum dibayarkan sebesar Rp.
104.270.000 (seratus empat juta dua ratus tujuh puluh ribu rupiah) kepada

11

Dewan SP PT. USPBI, yang harus dibayar paling lambat rabu tanggal 14
Agustus 2013. Akan tetapi PT. USPBI tidak membayar kewajibannya baik
secara mengangsur maupun sekaligus kepada Dewan SP PT. USPBI, hingga
Dewan SP PT. USPBI telah menegur berulangkali sampai permohonan
diajukan. Selain itu, PT. USPBI juga memiliki utang kepada Haji Basuni Bahdi
sebagai suplier batubara ke pabrik PT. USPBI sebesar Rp. 61.440.000,- (enam
puluh satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah). Sehingga permohonan
memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun
2004.
Berdasarkan permohonan pernyataan pailit oleh Dewan SP PT. USPBI
dalam amar putusan No. 17/Pailit/2015/PN-Niaga-SBY tanggal 26 Nopember
2015 menyatakan mengabulkan permohonan. Dalam pertimbangannya hakim
menyatakan pemohon dalam permohonan pernyataan pailit telah memenuhi
persyaratan sebagai pemohon, berdasarkan fakta dalam persidangan telah
memenuhi pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004, yaitu
Dewan SP PT. USPBI yang mewakili karyawan PT. USPBI telah
menandatangani surat perjanjian bersama dengan PT. USPBI untuk membayar
uang pesangon, uang penggantian hak dan upah terakhir serta hutang
perorangan yg belum di bayar kepada H. Basuni Bahdi sebagai kreditur lain.
PT. USPBI membenarkan mempunyai utang dan juga belum dapat melakukan
pembayaran karena kinerja PT. USPBI terus menurun. Sehingga beralasan
hukum untuk menyatakan PT. USPBI pailit dengan segala hukumnya.

Dalam beberapa kasus kepailitan di atas, menarik untuk diteliti
pertimbangan hakim dengan amar putusan yang menolak atau mengabulkan

12

permohonan pailit yang diajukan pekerja sehingga menimbulkan problematika
dalam proses kepailitan Persertoan Terbatas. Berdasarkan latar belakang tersebut,
penulis tertarik untuk meneliti mengenai “PROBLEMATIKA TERHADAP
PEKERJA DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS”.
Berikut ini adalah uraian mengenai judul terpilih terebut :
1. Problematika
Problematika yang dimaksud adalah permasalahan yang timbul ketika pekerja
berstatus sebagai pemohon pailit menuntut pembayaran hak normatif akibat
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh Perseroan Terbatas (PT) dalam proses
kepailitan yang mana dalam amar putusannya hakim menolak atau
mengabulkan permohonan yang berimplikasi pada perlindungan terhadap hak
normatif pekerja.

2. Pekerja
Pekerja yang dimaksud adalah pekerja yang mengajukan permohonan
kepailitan ke Pengadilan Niaga atas tuntutan penerimaan hak normatif (hak
dasar buruh dalam hubungan kerja yang dilindungi dan dijamin dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya dalam UU No. 13
Tahun 2003) yang timbul sejak dilakukannya Pemutusan Hubungan Kerja
(selanjutnya disingkat PHK) baik secara sepihak maupun berdasarkan pada
perjanjian yang tidak dibayarkan oleh Perseroan Terbatas.

13

3. Proses Kepailitan
Kepailitan
Kepailitan yang dimaksud adalah kepailitan sebagaimana tercantum dalam
Pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 yaitu sita umum atas semua kekayaan
debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di
bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam UU No. 37
Tahun 2004.
Proses Kepailitan
Proses kepailitan yang dimaksud adalah proses permohonan pailit yang mana
pemohonnya adalah pekerja terhadap perseroan di tempat pekerja bekerja.
Proses kepailitan dilihat dari berbagai kasus kepailitan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap baik dari Pengadilan Niaga maupun Mahkamah Agung
khususnya pada pertimbangan hakim dan amar putusan terkait tuntutan hak
normatif oleh pekerja yang timbul sejak dilakukan pemutusan hubungan kerja
(PHK) dan tidak dibayarkan oleh perusahaan.

4. Perseroan Terbatas
Perseroan Terbatas yang dimaksud adalah perusahaan yang berdasarkan pada
kepemilikannya merupakan perusahaan milik negara (State Corporation)
maupun perusahaan milik swasta (Private Corporation)13 yang mempekerjakan
pekerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain sebagaimana
diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003.

13

Tri Budiyono, Hukum Perusahaan : Kajian Hukum terhadap Perseroan Terbatas, Griya Media,
Salatiga, 2011, h. 2.

14

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan pokok
penelitian mengenai: problematika pekerja dalam proses kepailitan perseroan
terbatas. Berdasarkan problematika tersebut, terdapat beberapa pertanyaan
penuntun yang tujuannya agar pokok penelitian dapat terjawab, yaitu :
1. Bagaimana variasi pertimbangan hukum dari hakim dalam menentukan
terpenuhi atau tidaknya syarat formil atau materil dalam kasus-kasus
kepailitan yang mana pemohonnya adalah pekerja?
2. Apakah dalam mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga perlu
mendapatkan penetapan PHI yang menentukan besarnya hak normatif yang
diterima pekerja akibat PHK?
3. Variasi apa yang dapat dilakukan oleh pekerja sehingga apabila mengajukan
permohonan kepailitan dapat dikabulkan ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah menjawab
problematika terhadap pekerja dalam proses kepailitan perseroan terbatas yang
didasarkan pada serangkaian jawaban dari beberapa pertanyaan penuntun dengan
tujuan:
1. Untuk mengetahui bagaimana variasi pertimbangan hukum dari hakim
dalam menentukan terpenuhi atau tidaknya syarat formil atau materil dalam
kasus-kasus kepailitan yang mana pemohonnya adalah pekerja.

15

2. Untuk mengetahui apakah dalam mengajukan permohonan pailit ke
Pengadilan Niaga perlu atau tidak untuk mendapatkan penetapan PHI yang
menentukan besarnya hak normatif yang diterima pekerja akibat PHK.
3. Untuk mengidentifikasi variasi apa yang dapat dilakukan oleh pekerja
sehingga apabila mengajukan permohonan kepailitan memiliki kesempatan
permohonan tersebut dapat diterima.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini bagi pihak-pihak terkait adalah :
1. Bagi Pekerja :
a. Untuk mengetahui variasi pertimbangan hakim dalam kepailitan
perseroan sehingga proses kepailitan dapat melindungi hak normatif dari
pekerja;
b. Untuk mengetahui variasi apa saja yang dapat dilakukan oleh pekerja
dalam mempailitkan Perseroan Terbatas apabila hak normatif tidak
dibayarkan oleh pihak perusahaan;
2. Bagi hakim : sebagai refleksi dalam merumuskan pertimbangan maupun
putusan apabila pemohon pailit adalah pekerja dalam kasus-kasus
kepailitan;
3. Bagi praktisi kepailitan : untuk memahami alur berpikir hakim dalam
merumuskan pertimbangan maupun putusan apabila subjek sebagai
pemohon pailit adalah pekerja.

16

4. Bagi akademisi maupun mahasiswa : menambah wawasan bagaimana
problematika kepailitan sebagai proses yang harus di jalankan oleh pekerja
sehingga hak normatifnya dapat dilindungi oleh negara.

E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan penulis terdiri dari jenis penelitian, metode
pendekatan, dan jenis bahan hukum yang digunakan.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan untuk menjawab pertanyaan yang telah
dirumuskan dalam skripsi ini yaitu menggunakan penelitian yuridis
normatif.14 Yuridis normatif adalah suatu proses untuk menemukan aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktri-doktrin hukum untuk menjawab
isu hukum yang akan diteliti. Selain itu, penulis juga menggunakan metode
secara eksploratif, yaitu penelitian yang mencoba membuka wawasan
terhadap suatu hal yang belum pernah diteliti sebelumnya dengan tujuan untuk
memperdalam pengetahuan mengenai suatu gejala tertentu, penelitian ini juga
digunakan untuk mendapatkan ide-ide baru mengenai masalah yang diteliti,
atau bahkan belum ada sama sekali.15 Penelitian ini berusaha memberikan
solusi dalam mempailitkan perusahaan apabila pemohonnya adalah pekerja
dimana tidak dipenuhinya hak normatif yang timbul akibat adanya PHK oleh
perusahaan.
14

15

Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Jawa
Timur, 2009, h. 45.
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2006, h. 25.

17

2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :
a. Pendekatan Kasus
Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasuskasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi dan telah menjadi putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.16 Kasus yang
digunakan penulis berjumlah 10 (sepuluh) kasus kepailitan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Kajian pokok dalam pendekatan kasus
adalah pertimbangan hakim (ratio decidendi) dan amar putusan yang
merupakan sumber penyusunan argumentasi dalam menjawab isu hukum
kepailitan berkaitan dengan perlindungan hak pekerja dalam proses
permohonan pailit.

b. Pendekatan Undang-Undang
Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undangundang dan regulasi yang bersangkut-paut dengan kasus yang ditangani.17
Dalam hal ini, undang-undang yang berkaitan dengan hak pekerja dan
Perseroan Terbatas dalam kasus-kasus kepailitan, yaitu :
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja / Serikat
Buruh;
16
17

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2005, h. 134.
Ibid, h. 93.

18

4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial.

3. Jenis Bahan Hukum
Berkaitan dengan data yang digunakan dalam penulisan ini, maka bahan
hukum yang digunakan meliputi :
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi
atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim.18 Dalam bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah peraturan
perundang-undangan dan putusan hakim.
Peraturan perundang-undangan yang digunakan:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja / Serikat
Buruh;
4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial.

18

Ibid, h. 181.

19

Putusan-putusan hakim berkekuatan hukum tetap yang mana pemohon pailit
terhadap perseroan adalah pekerja dalam kasus-kasus :
a) Kasus PT. Dirgantara Indonesia (Persero), PT. Perusahaan
Pengelola Aset (Persero) melawan Heryono, Nugroho dan Sayudi
(Putusan Pengadilan Niaga No. 41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst dan
Putusan Kasasi MA No. 075 K/Pdt.Sus/2007);
b) Kasus PT. Arta Glory Buana diwakili dikantor utama Willi Josep
Candra melawan Fakhur Khakam, dkk. (Putusan Pengadilan Niaga
No. 14/Pailit/2008/PN.Niaga.Sby, Putusan Kasasi MA No. 917
K/Pdt.Sus/2008 dan Putusan PK No. 080 PK/Pdt.Sus/2009);
c) Kasus PT. Lidi Manunggal Perkasa melawan Slamet Riyadi, dkk
(Putusan Pengadilan Niaga No. 12/Pailit/2009/PN.NIAGA.SMG. dan
Putusan Kasasi MA No. 897 K/PDT.SUS/2009);
d) Kasus PT. Ata Surya Wood Working Mantuil melawan Letti, dkk
(Putusan Pengadilan Niaga No. 03/Pailit/2010/PN-NIAGA SBY dan
Putusan Kasasi MA No. 469 K/Pdt.Sus/2010);
e) Kasus PT. Rasico Industry (dalam likuidasi) melawan Andreas
(Putusan Pengadilan Niaga No. 17/Pailit/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst dan
Putusan Kasasi MA No. 584 K/Pdt.Sus/2010);
f) Kasus PT. Welltekindo Nusantara melawan Sendy Nainggolan, dkk
(Putusan Pengadilan Niaga No. 77/Pailit/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst. dan
Putusan Kasasi MA No. 106 K/Pdt.Sus/2012);

20

g) Kasus PT. Alogics Mandiri Coal melawan Ko Ik Whan, dk (Putusan
Pengadilan Niaga No. 66/Pailit/2011/Pn.Niaga.Mks dan Putusan Kasasi
MA No. 246 K/Pdt.Sus/2012);
h) Kasus PT. Indah Pontjan melawan Rohani, dkk (Putusan Pengadilan
Niaga No. 01/Pailit/2012/PN.Niaga.Mdn, Putusan Kasasi MA No. 401
K/Pdt.Sus/2012 dan Putusan PK No. 195 PK/Pdt.Sus/2012);
i) Kasus PT. Unggul Summit Particle Board Industry melawan Dewan
Pengurus Serikat Pekerja Indonesia PT. Unggul Summit Particle
Board Industry (Putusan Pengadilan Niaga No. 17/Pailit/2015/PNNiaga-SBY);
j) Kasus PT. Merpati Nusantara Airlines (Persero) melawan Sudiyarto
(Putusan Pengadilan Niaga No. 04/Pdt.Sus/2016/PN Niaga Jkt Pst dan
Putusan Kasasi MA No. 447 K/Pdt.Sus/2016);

b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi tetapi berupa publikasi tentang
hukum, meliputi buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum dan komentarkomentar atas putusan pengadilan.19 Dalam penelitian ini menggunakan
buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan
pengadilan yang berkaitan dengan pekerja sebagai pemohon pailit.

19

Ibid.

21

F. Unit Amatan dan Unit Analisis

a. Unit Amatan
Unit amatannya adalah 10 (sepuluh) kasus kepailitan yang berkaitan dengan
pekerja sebagai pemohon pailit, dari 10 kasus tersebut dalam amar putusannya
menyatakan 2 (dua) kasus dikabulkan dan 8 (delapan) kasus ditolak.
Penyelesaian kasus dengan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang
berbasis pada ilmu hukum normatif (peraturan-perundang-undangan) dengan
mengkaji sistem suatu norma dalam peraturan yang digunakan sebagai dasar
pertimbangan hakim dalam memutuskan permohonan pailit sehingga dapat
menjawab problematika dalam proses kepailitan yang mana pemohonnya
adalah pekerja. Peraturan perundang-undangan yang digunakan yaitu UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.

b. Unit Analisis
Unit analisis pada penelitian ini adalah tentang problematika terhadap pekerja
dalam proses kepailitan perseroan terbatas khususnya variasi pertimbangan
hukum dari hakim dalam memutus kasus-kasus kepailitan yang mana
pemohonnya adalah pekerja serta variasi apa saja yang dapat dilakukan oleh
pekerja sebelum mengajukan permohonan kepailitan.