Jurnalisme dan Organisasi Media Apa yang

Jurnalisme dan Organisasi Media

Apa yang Mempengaruhi Konstruksi Berita di Media Massa?

Disusun oleh
Indah Afif Khairunnisa
NPM 210110110251
Program Studi Ilmu Jurnalistik
Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Padjadjaran
TA 2014/2015

1

BAB I
Pendahuluan

1.1. Latar Belakang
Jurnalistik sebagai suatu keilmuan telah dipelajari di seluruh dunia melalui lembaga
pendidikan, baik formal maupun informal. Hingga masa mendatang ilmu jurnalistik
dapat lebih berkembang lagi sebab riset jurnalistik memiliki ruang lingkup yang luas.

Perkembangan ini tentu dibantu juga dengan perkembangan teknologi komunikasi
sebab secara kelimuan, jurnalistik berada dalam ranah ilmu komunikasi. Namun di sisi
lain, dengan luasnya ruang lingkup ini, lembaga pendidikan terkait perlu memegang
suatu pedoman sebagai acuan dalam mengkaji ilmu jurnalistik. Program Studi Ilmu
Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi di Universitas Padjadjaran, melalui lokakarya
Prodi Jurnalistik pada 13 September 2014, menetapkan acuan ruang lingkup jurnalistik
menurut buku Global Journalism Research: Theories, Method, Findings, Future karya
Martin Loffelholz dan David Weaver.
Buku tersebut menyebut lima pendekatan teoritis dalam ruang lingkup jurnalistik
yaitu (1) jurnalisme sebagai sistem sosial, (2) jurnalisme dan kajian budaya, (3)
jurnalisme dan organisasi media, (4) jurnalisme dan psikologi, dan (5) jurnalisme dan
gender. Dari kelima pendekatan itu, penulis memilih satu untuk diangkat dalam
makalah ini yakni jurnalisme dan organisasi media.
Berbagai produk jurnalistik terus diproduksi setiap hari dalam berbagai bentuk,
baik oleh media massa cetak maupun elektronik. Kegiatan produksi ini dikelola oleh
lembaga yang menganut prinsip-prinsip organisasi. Oleh karena mereka berada dalam
dunia media, mereka dapat kita sebut sebagai organisasi media.
Penulis memilih topik jurnalistik dan organisasi media karena penulis melihat
bahwa sebuah organisasi mempunyai iklim kerja yang khas yang dijaga oleh setiap
anggota organisasi dan itu mempengaruhi bagaimana mereka bekerja di dalamnya. Tak

luput dengan organisasi media. Apa yang ada dalam organisasi media akan mengatur
bagaimana orang-orang di dalamnya, mulai dari pemimpin redaksi hingga para
wartawan, bekerja dalam kegiatan jurnalisme. Struktur kerja organisasi media pun perlu
dipahami tak hanya oleh tiap individu di dalam media tetapi juga oleh khalayak umum,
gunanya untuk lebih dapat memahami fungsi dan peran pers.
Di era sekarang ini media pers seolah membaur dekat dengan masyarakat. Publik
tak lagi sekadar menjadi khalayak pasif sebagai penerima informasi (berita), tetapi juga
2

berlaku sebagai pemberi informasi. Publik telah aktif dalam pemberitaan. Ini salah
satunya dilatarbelakangi kenyataan bahwa wartawan tak selalu menjadi yang pertama
dan paling tahu. Dari situ kemudian dikenal nama baru dalam dunia jurnalisme, citizen
journalism atau jurnalisme warga.
Organisasi media tak hanya bertindak sebagai subjek aktif yang mempengaruhi
individu-individu dan kegiatan produksi di dalamnya. Organisasi media sekaligus
berada sebagai subjek pasif yang dipengaruhi, yaitu oleh pemilik media. Secara
struktur, organisasi media secara umum mungkin sama dan tak jauh berbeda satu sama
lain. Yang membedakannya ialah ideologi yang dianut oleh tiap-tiap organisasi media.
Ideologi ini datang dari pemilik media bersangkutan.


1.2. Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan makalah ini adalah untuk memenuhi nilai tugas akhir mata kuliah Kapita
Selekta Jurnalistik semester 7 di Program Studi Ilmu Jurnalistik Fakultas Ilmu
Komunikasi Universitas Padjadjaran Tahun Ajaran 2014/2015. Makalah ini sekaligus
bertujuan mengulas sedikit mengenai ruang lingkup jurnalistik, khususnya dengan
pendekatan jurnalistik dan organisasi media.
Dengan demikian, penulis berharap makalah ini dapat memberi manfaat secara
akademik dalam pembelajaran ruang lingkup jurnalistik. Lebih khusus lagi, manfaat
yang sekiranya dapat diperoleh dari makalah ini adalah pengetahuan tentang organisasi
media dalam hal pembentukan berita. Penulis berahrap makalah ini dapat bermanfaat
bagi siapa saja yang membacanya, tak terbatas pada kalangan mahasiswa jurnalistik.

3

BAB II
Pembahasan

2.1. Organisasi Media
Ada banyak sekali definisi organisasi. Max Weber mengatakan bahwa organisasi adalah
suatu kerangka hubungan yang berstruktur yang di dalamnya berisi wewenang,

tanggung jawab, dan pembagian kerja untuk menjalankan fungsi tertentu. Stephen P.
Robbins menyatakan bahwa organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang
dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi,
yang bekerja atas dasar yang terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama.
Sementara itu, kita dapat mendefinisikan organisasi media sebagai sebuah organisasi
yang bekerja untuk pengelolaan dan produksi media.
Pada umumnya di industri media, organisasi kerjanya dibagi menjadi dua yaitu
divisi perusahaan dan divisi redaksi. Divisi perusahaan mengelola perusahaan media
secara umumnya, termasuk di dalamnya mengenai sumber daya manusia dan keuangan.
Sementara divisi redaksi mengelola kegiatan produksi media, mulai dari perencanaan
peliputan, pembuatan/pengemasan, dan penyebarluasan.
Sama seperti organisasi pada umumnya, organisasi media juga menerapkan
fungsi manajer. Empat fungsi dasar manajerial yaitu perencanaan (planning),
pengorganisasian (organizing), memimpin (leading), dan pengendalian (controlling).
Proporsi untuk masing-masing fungsi itu tidak sama satu dengan yang lainnya,
tergantung pada tingkatan pekerjaan yang dilakukan. Untuk manajer puncak di industri
media seperti pemimpin redaksi/wakil pemimpin redaksi tentu memiliki deskripsi kerja
dan alokasi waktu kerja yang berbeda dengan manajer tingkat menengah seperti
produser eksekutif, koordinator liputan, dan sebagainya. Namun demikian, tanpa
memandang hierarkinya, orang yang bertindak sebagai manajer melakukan empat

fungsi manajerial itu secara sekaligus.
Dalam organisasi media dikenal sebuah istilah newsroom yang mengarah pada
sebuah struktur yang beroperasi di dalam organisasi media. Struktur ini mempengaruhi
cara berita diproduksi sebab struktur mempengaruhi apa yang dilakukan jurnalis, apa
yang ditulis editor, dan apa yang akan diterbitkan. Di dalam newsroom ini, nilai-nilai
berita dalam suatu media dipertaruhkan. Di dalam newsroom ini pula, kebijakan
redaksional suatu media dibuat dan diterapkan. Newsroom menjadi identitas penting
dalam organisasi media, sebab pusat kegiatan produksi jurnalistik bermula dari sini.
4

Pendekatan jurnalisme dan organisasi media dalam Global Journalism Research
mempunyai empat kajian organisasi media, yang meliputi perbandingan kerja di
organisasi media, identifikasi dan analisis kerja jurnalis di newsroom, identifikasi dan
analisis alur komunikasi, dan analisis interaksi antardepartemen dalam organisasi
media.
Meskipun pada dasarnya setiap organisasi memiliki fungsi yang sama, tetapi cara
kerja di dalamnya akan berbeda, tergantung pada bidang apa mereka bekerja. Seperti
yang sempat disinggung di atas, organisasi media mempunyai divisi redaksi yang
umumnya terdiri atas pemimpin redaksi, wakil pemimpin redaksi, redaktur pelaksana,
koordinator liputan, redaktur, wartawan, editor, dan seterusnya. Pimpinan redaksi

bertanggung jawab terhadap kebijakan redaksional sehari-hari, yang mewujudkan
secara riil kebijakan dasar perusahaan pers yang bersangkutan dalam produk
redaksional mereka. Redaktur pelaksana bertugas mengoordinasikan, mengawasi,
menilai, mengkoreksi, serta menyempurnakan pekerjaan redaksional para redaktur.
Selanjutnya redaktur memberikan tugas-tugas peliputan atau kerja jurnalistik lainnya
kepada wartawan berdasarkan rubrik masing-masing.
Tidak seperti organisasi pada umumnya. Organisasi media massa (pers) bekerja
sepanjang waktu, termasuk juga pada hari libur. Ini dikarenakan media massa harus
terus menjalankan fungsinya sebagai pemberi informasi (to inform). Informasi
merupakan kebutuhan manusia sehari-hari yang dikonsumsi kapan saja, di mana saja
dan oleh siapa saja. Selain itu media pers juga mempunyai peran yang penting dalam
keberpihakannya pada masyarakat. Komitmen kepada warga (citizen) lebih besar
ketimbang egoism profesional (Kovach, 2003:59). Masyarakat tentu menginginkan
informasi yang aktual setiap hari. Untuk itu jugalah pers hadir setiap saat.
Selanjutnya, newsroom menyusun informasi. Yang bertugas menyusun informasi
(berita) adalah bagian redaksi (editorial department), yakni para wartawan, mulai dari
pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, redaktur desk, reporter, fotografer, koresponden,
hingga kontributor. Di dalam newsroom, hasil peliputan (news gathering) yang
dilakukan oleh wartawan dipertimbangkan menurut kebijakan redaksional media. Di
sinilah ideologi yang dianut oleh media menjadi landasan untuk menentukan berita

yang akan diterbitkan; aspek apa yang ditonjolkan, bagian mana yang ditinggalkan, dan
seperti apa berita tersebut dikemas dan dikomunikasikan. Proses awal penyusunan
agenda media (agenda setting) dimulai di sini.

5

2.2. Pengaruh Struktur terhadap Konstruksi Berita
Penyusunan agenda terjadi karena media harus selektif dalam melaporkan berita
(Littlejohn, 2009:416). Media mempunyai kebijakan tentang apa yang harus dilaporkan
dan bagaimana melaporkannya. Ada dua tingkatan penyusunan agenda. Pertama,
menentukan isu-isu umum yang dianggap penting, dan kedua menentukan bagian atau
aspek dari isu tersebut yang dianggap penting. Tingkat kedua ini sama pentingnya
dengan tingkat pertama, karena memberi media cara untuk membuat kerangka isu yang
mendasari agenda masyarakat dan agenda media. Oleh karenanya, ketika kita
membahas mengenai agenda media, kita juga akan membahas soal pembingkaian berita
(framing). Istilah framing pertama kali dikenalkan oleh Todd Gitlin pada tahun 1960an. Gagasan pembingkaian ini digunakan para ahli teori media sebagai sebuah cara
alami penyusunan agenda tingkat kedua. Media membingkai kejadian dalam cara-cara
yang dapat membatasi bagaimana audiens menafsirkan kejadian tersebut. hal ini dapat
terjadi dengan berbagai muatan dalam berita seperti cara penceritaan, penguatan berita
utama, komponen audio-visual, dan metafora yang digunakan.

Stuart Hall (dalam Ishadi, 2014: 20) melihat bahwa pada proses produksi berita
terdapat tiga ideologi profesional jurnalis yang meliputi nilai berita, kategori berita, dan
objektivitas. Dengan nilai berita, jurnalis di lapangan akan memilah peristiwa yang
diberitakan. Redaktur di kantor pun akan memilah berita yang bernilai tinggi. Di sisi
lain, dengan adanya kategorisasi berira, aka nada suatu kontrol bagi jurnalis bagaimana
ia bertindak dalam situasi atau peristiwa tertentu. Objektivitas sebagai ideologi akan
menjadi suatu prosedur dan standar kerja jurnalis. Prosedur tersebut antara lain fakta
harus dicek ulang, laporan harus berimbang, dan meliput dua sisi (cover both sides).
Prosedur ini diperlukan untuk mendekati realitas yang sebenarnya.
Fungsi penyusunan agenda itu sendiri merupakan sebuah proses yang terdiri atas
tiga bagian. Pertama, isu yang akan dibahas dalam media atau agenda media (media
agenda), harus diatur. Kedua, agenda media mempengaruhi atau berinteraksi dengan
apa yang dipikirkan masyarakat, menciptakan agenda masyarakat (public agenda).
Terakhir, agenda masyarakat mempengaruhi atau berinteraksi dengan apa yang para
pembuat kebijakan anggap penting disebut agenda kebijakan (policy agenda).
Hingga kini, pertanyaan siapa yang pertama kali menentukan agenda media sulit
dijawab. Namun kita dapat melihat bahwa agenda media berasal dari tekanan, baik
dalam organisasi media dan dari sumber-sumber di luar organisasi tersebut.

6


Lebih jauh lagi, Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese mengonsepsi lima
faktor yang mempengaruhi isi media, yaitu individual level, media routines level,
organization level, extra media level, dan ideological level.
Individual level menyangkut sisi profesional jurnalis, seperti latar belakang
pendidikan dan keterampilannya. Media routines level berkaitan dengan perspektif
organisasi media, aturan yang berlaku menyangkut proses penentuan berita. Faktor ini
yang menjadi fokus pembahasan, dan berkaitan pula dengan faktor berikutnya, yakni
organization level yang menyangkut faktor struktur organisasi media; di sini dikaji pula
proses pengambilan keputusan di dalam organisasi media dan kebijakan apa yang
ditetapkan kemudian. Tak hanya faktor yang datang dari dalam, tetapi juga faktor dari
luar media itu sendiri. Inilah yang disebut sebagai extra media level atau faktor-faktor
di luar media seperti narasumber berita, sumber penghasilan media (iklan dan
pelanggan), dan lembaga lain di luar media (kalangan pebisnis, pemerintah, dan
lainnya). Terakhir, ideological level, yang menyoroti pihak yang berkuasa di
masyarakat, serta bagaimana kekuatan itu berperan menentukan agenda media.
Seperti yang disimpulkan Raymond WK Lau dalam jurnal Re-theorizing news’
construction of reality: A realist-discourse-theoretic Approach (2012 h.11):
This is a result of extra-discursive factors such as source media strategy, then it
constitutes construction of reality through news. It is only when this is mainly due

to the characteristics of the news-making process that we can speak of the
construction of reality by news.
Setelah informasi disusun, media melakukan penyebarluasan. Penyebarluasan
informasi ini tak terbatas pada berita, tetapi juga informasi lain seperti iklan dan
tentunya media itu sendiri. Tugas ini diakukan oleh bagian marketing atau bagian usaha
(business department), sirkulasi/distribusi, promosi, dan iklan. Bagian ini harus menjual
media tersebut dan mendapatkan iklan. Alur yang terbentuk adalah media menyediakan
ruang untuk iklan. Selanjunya pengiklan memasang iklannya dan membayar sejumlah
tarif kepada media. Media pun mendapatkan uang untuk melanjutkan kegiatan
produksinya.
Interaksi antardepartemen dalam organisasi media terus terjadi seiring kegiatan
produksi media berjalan. Seperti yang terjadi ketika memproduksi sebuah berita media
massa cetak; ketika wartawan bersama redaktur menyusun berita, departemen foto juga
menentukan gambar apa yang harus diambil oleh fotografer, dan foto mana yang
akhirnya dipilih untuk mendampingi teks berita. Di sisi lain, departemen iklan harus
7

berkoordinasi dengan editor untuk menyediakan batas ruang untuk pengiklan dan untuk
jumlah karakter berita (panjang-pendeknya tulisan).


2.3. Politisasi Lembaga Media Komunikasi
Lembaga media komunikasi dinilai sebagai bagian dari sistem ekonomi yang sekaligus
bertalian erat dengan sistem politik. Dari situ kemudian lahir sebuah kajian yang oleh
David Ricardo dan Adam Smith disebut sebagai ekonomi politik. Ekonomi politik ini
awalnya dipengaruhi oleh pemikiran Marxis tentang ekonomi, yang mempelajari basis
ekonomi masyarakat yang menentukan struktur, dan akibatnya mempengaruhi ruangruang budaya dan politik dalam masyarakat; tenaga kerja dan pembagian kerja,
kepemilikan serta mode produksi.
Pada tahun 1970-an, ekonomi politik media dikembangkan dalam kerangka
Marxis yang lebih eksplisit. Ekonomi politik media lebih tertarik mempelajari
komunikasi dan media sebagai komoditas yang dihasilkan oleh industri kapitalis. Media
dilihat sebagai entitas ekonomi dengan peranan langsung sebagai pencipta nilai surplus
dan peranan tidak langsung sebagai pencipta nilai surplus di dalam sektor produksi
komoditas lainnya (seperti iklan misalnya).
Lalu pada 1990, beberapa ekonom politik membuat pemikiran ulang mengenai
ekonomi politik, terutama karena adanya restrukturisasi politik dan ekonomi global.
Ekonomi politik dipikirkan ulang dalam hal komodifikasi (commodification) yakni
perubahan orientasi nilai suatu barang/jasa dari nilai guna menjadi niali tukarnya di
pasar, spasialisasi (spatialization) yakni peningkatan batas ruang dan waktu (ekspansi),
dan strukturasi (structuration) yakni berkaitan dengan hubungan antara gagasan agensi,
proses sosial, dan praktik sosial. Ekonomi politik juga dibahas dalam kaitannya dengan
kajian budaya dan kajian kebijakan.
Berbagai kepentingan tersebut berkaitan dengan kebutuhan untuk memperoleh
keuntungan dari hasil kerja lembaga media untuk memperoleh keuntungan, sebagai
akibat dari adanya kecenderungan monopolistis dan proses integrasi secara vertikal
maupun horizontal. Seperti dikemukakan Littlejohn (1999), isi media merupakan
komoditas untuk dijual di pasar, dan iformasi yang disebarkan dikendalikan oleh apa
yang ada di pasar. Sistem ini mengarah pada tindakan konservatif dan cenderung
menghindari kerugian. Pada akhirnya ini membuat media memproduksi informasi
tertentu menjadi dominan sementara yang lainnya terbatas.

8

Konsekuensi keadaan seperti ini tampak dalam wujud berkurangnya jumlah
sumber lembaga media yang bebas, terciptanya konsentrasi pada pasar besar,
munculnya sikap bodoh terhadap calon khalayak pada sektor kecil (Arianto, Ekonomi
Politik Lembaga Media Komunikasi, 2011 h. 5). Kita pun dapat melihat kini
konglomerasi media yang tercipta didasari dengan adanya kepemilikan modal, yakni
pemikiran berusaha melakukan ekspansi sebagai penyebaran kekuasaan ekonomi
sekaligus menuangkan pengaruh politiknya. Sebut saja tiga dari sekian media besar di
Indonesia saat ini: MNC Media Group (Harry Tanoesoedibjo), Jawa Pos Group (Dahlan
Iskan), dan Kompas Gramedia (Jakob Oetama). Mereka adalah salah satu bentuk nyata
dari kegiatan ekspansi perusahaan dengan menciptakan suatu konvergensi media, yang
kemudian mengarah pada terkonsentrasinya kepemilikan media.
Sikap bodoh itu sendiri penulis artikan sebagai dampak dari hegemoni. Konsep
hegemoni banyak digunakan oleh sosiolog untuk menjelaskan fenomena terjadinya
usaha untuk mempertahankan kekuasaan oleh pihak penguasa. Penguasa di sini
memiliki arti luas, tidak terbatas pada penguasa negara (pemerintah). Hegemoni bisa
didefinisikan sebagai dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan
atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok
dominan diterima sebagai sesuatu yang wajar (common sense) oleh kelompok yang
didominasi. Konsep hegemoni ini lahir dari paradigma kritis yang menurut Ishadi
(2014: 9) memandang media adalah sarana bagi kelompok dominan untuk mengontrol
kelompok yang tidak dominan, bahkan meminggirkan mereka dengan menguasai dan
mengontrol media.
Menurut Littlejohn (2009: 388), hegemoni bukanlah gerak kekuasaan yang
aksar, namun sebuah rencana yang “dikembangkan”. Dalam pandangan mazhab kritis,
terutama dalam studi-studi yang dikembangkan oleh Centre for Contemporary Cultural
Studies, Bringmiham University, media massa selalu dirasakan sebagai alat yang
“powerfull” dan ada ideologi dominan di dalamnya. Ini mengingatkan kita akan salah
satu teori komunikasi massa, yaitu teori peluru atau jarum hipodermik. Teori yang
dikemukakan oleh Wilbur Schramm ini mengasumsikan bahwa media memiliki
kekuatan yang sangat perkasa, dan komunikan dianggap pasif atau tidak tahu apa-apa.
Asumsi teori hegemoni media selalu diarahkan pada aspek-aspek yang
menyangkut ideologi organisasi media itu sendiri, bentuk ekspresi, cara penerapan,
serta mekanismenya dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan kepatuhan kaum
pekerja (wartawan dan karyawan) sebagai sasaran dari pemilik industri media.
9

Untuk menghindari kebodohan atau hegemoni itu, publik sebagai konsumen
media harus memahami struktur organisasi yang ada di balik media tersebut.
Kemampuan menggunakan media (literasi media) diperlukan agar khalayak tidak
menerima begitu saja segala informasi yang tersedia, akan tetapi harus mampu memilah
dan menelaah pesan-pesan yang ditampilkan oleh media. Tidak hanya untuk menjadi
konsumen informasi yang cerdas, tetapi juga untuk memahami hakikat dan fungsi
media massa itu sendiri dalam konteks kehidupan sosial dan bermasyarakat.

10

BAB III
Penutup

3.1. Simpulan
Adapun simpulan yang dapat ditarik dari makalah ini yaitu:
-

Jurnalisme dan organisasi media merupakan suatu tinjauan untuk mengkaji
jurnalisme secara organisasional, baik dilihat sebagai entitas bisnis maupun entitas
sosial.

-

Organisasi media mempengaruhi cara kerja produksi media, sejak perencanaa
peliputan, pelaksanaan peliputan, pengemasan informasi, hingga penyebaran
informasinya.

3.2. Saran
Penulis menyarankan sebagai berikut.
-

Jurnalisme dan organisasi media perlu dikaji lebih mutakhir lagi sebab organisasi
tak lepas dari dinamika organisasi, yang membuatnya dapat berevolusi dari masa ke
masa. Dengan kata lain, organisasi media kini telah berubah dibanding di masa lalu.

-

Pengetahuan mengenai organisasi media sebaiknya lebih disebarkan pada khalayak
media guna memberi pemahaman tentang fungsi pers, sehingga publik dapat turut
memantau jalannya penggunaan fungsi pers yang sebenarnya.

11

Daftar Pustaka

Ardianto, Elvinaro., dkk. 2009. Komunikasi Massa, Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media.
Artikel Pengorganisasian dan Struktur Organisasi di Industri Media oleh Satrio
Arismunandar,
https://www.academia.edu/5356866/Pengorganisasian_dan_Struktur_Organisasi_di_Industr
i_Media diakses Sabtu, 13 Desember 2014 pukul 17.47 WIB.
Jurnal Ilmu Komunikasi, Universitas Tadulako-Palu, Vol. 1, No.2, Oktober 2011. Ekonomi
Politik Lembaga Media Komunikasi oleh Arianto.
Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel. 2003. Sembilan Elemen Jurnalisme. Jakarta: Pantau.
Littlejohn, Stephen W. dan Karen A. Foss. 2009. Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba
Humanika.
Materi perkuliahan Struktur Organisasi Media, Unikom.
http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/466/jbptunikompp-gdl-reninuraen-23251-10-stuktura.pdf diakses Sabtu, 13 Desember 2014 pukul 20.01 WIB.
Robbins, Stephen P. 1994. Teori Organisasi Struktur, Desain, dan Aplikasi. Jakarta: Arcan.
Jurnal ilmiah The Open University of Hong Kong, Hong Kong, 2012. Re-theorizing news’
construction of reality:A realist-discourse-theoretic approach oleh Raymond WK Lau.
SK, Ishadi. 2014. Media & Kekuasaan, Televisi di Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

12