Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatkan Hasil Belajar IPS Melalui Model Pembelajaran Tipe Jingsaw pada Siswa Sekolah Dasar

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Kajian Teori

2.1.1 Hasil Belajar

  Ada empat unsur utama dalam proses belajar-mengajar, yakni tujuan bahan metode dan alat serta penilaian. Tujuan sebagai arah dari proses belajar mengajar yang diharapkan dapat dikuasai oleh siswa setelah menerima pembelajaran. Bahan adalah seperangkat pengetahuan ilmiah yang dijabarkan dari kurikulum untuk disampaikan dalam proses belajar mengajar. Metode dan alat adalah cara yang digunakan dalam mencapai tujuan. Sedangkan penilaian adalah upaya untuk mengetahui sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan tercapai atau tidak. Dengan kata lain penilaian berfungsi sebagai alat untuk mengetahui keberhasilan proses dan hasil belajar siswa.

  Hamalik (2008) hasil belajar adalah terjadinya perubahan tingkah laku pada diri seseorang yang dapat di amati dan di ukur dalam bentuk pengetahuan, sikap dan keterampilan. Menurut Nana Sudjana, (2011 : 22) hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah menerima pengalaman belajarnya. Pengalaman belajar ini akan menghasilkan kemampuan yang menurut Horwart Kingsley dalam buku Nana Sudjana, (2011 : 22) dibedakan menjadi tiga macam kemampuan (hasil belajar) yaitu: (1). Keterampilan dan kebiasaan, (2). Pengetahuan dan pengarahan, (3). Sikap dan cita-cita. Ketiga hasil belajar (kemampuan) itulah yang harus dimiliki oleh siswa. Hasil belajar dapat dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesaikannya bahan pelajaran.

  Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dikemukakan bahwa hasil belajar adalah perubahan perilaku pada diri seseorang akibat tindak belajar yang mencakup aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotorik.

2.1.2 Pengukuran Hasil Belajar

  Hasil belajar digunakan guru sebagai ukuran atau kriteria dalam mencapai suatu tujuan pendidikan. Ukuran hasil belajar dapat diperoleh dari aktivitas pengukuran. Pengukuran (measurement) adalah membandingkan sesuatu yang diukur dengan alat ukurnya dan kemudian menerapkan angka menurut sistem aturan tertentu menurut Kerlinger dalam Purwanto, (2010:2). Hopkins dan Antes dalam Purwanto (2010:2), mendefinisikan pengukuran sebagai pemberian angka pada atribut dari obyek, orang atau kejadian yang dilakukan untuk menunjukan perbedaan dalam jumlah. Untuk menetapkan angka dalam pengukuran, perlu sebuah alat ukur yang disebut dengan instrumen. Dalam dunia pendidikan instrumen yang sering digunakan untuk mengukur kemampuan siswa seperti tes, lembar observasi, panduan wawancara, skala sikap dan angket.

  Dari pengertian pengukuran di atas untuk mengukur hasil belajar peserta didik digunakan instrumen penilaian hasil belajar. Penilaian hasil belajar dapat diukur melalui teknik tes dan non tes.

  Tes menurut Nana Sudjana (2008:35) sebagai alat penilaian adalah pertanyaan pertanyaan yang diberikan kepada siswa untuk mendapat jawaban dari siswa dalam bentuk lisan (tes lisan), dalam bentuk tulisan (tes tulisan) atau dalam bentuk perbuatan (tes tindakan).

1. Tes Lisan

  Pada tes lisan, baik pertanyaan maupun jawaban (response) semuanya dalam bentuk lisan. Karenanya, tes lisan relatif tidak memiliki rambu-rambu penyelenggaraan tes yang baku, karena itu, hasil dari tes lisan biasanya tidak menjadi informasi pokok tetapi pelengkap dari instrument asesmen yang lain.

  2. Tes Tertulis Tes tertulis adalah tes yang dilakukan secara tertulis baik dalam hal soal maupun jawabannya misalnya tes formatif.

  3. Tes Tindakan Pada Tes ini peserta didik diminta untuk melakukan sesuatu sebagai indikator pencapaian kompetensi yang berupa kemampuan psikomotor misalnya unjuk kerja. Tes pada umumnya digunakan untuk menilai dan mengukur hasil belajar siswa, terutama hasil belajar kognitif berkenaan dengan penguasaan bahan pengajaran sesuai dengan tujuan pendidikan dan pengajaran, namun demikian dalam batas tertentu tes dapat pula digunakan untuk mengukur atau menilai hasil belajar bidang afektif dan psikomotoris. Menurut Endang Poerwanti, dkk. (2008:4), tes adalah serangkaian pertanyaan atau latihan atau alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensia, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Jadi kesimpulan dari pengertian tes di atas adalah alat penilaian yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik berupa pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada siswa untuk mengukur ketrampilan, pengetahuan dan sikap peserta didik dalam bentuk lisan, tulisan, dan perbuatan.

  Non tes adalah pertanyaan maupun pernyataan yang tidak memiliki jawaban benar atau salah. Teknik non tes sangat penting dalam mengukur kemampuan peserta didik pada ranah afektif dan psikomotor, berbeda dengan teknik tes yang lebih menekankan pada aspek kognitif. Ada beberapa macam teknik non tes menurut Endang Poerwanti (2008:3), yaitu: a.

  Observasi Observasi terkait dengan kegiatan evaluasi proses dan hasil belajar dapat dilakukan secara formal yaitu observasi dengan menggunakan instrumen yang sengaja dirancang untuk mengamati unjuk kerja dan kemajuan belajar peserta didik, maupun observasi informal yang dapat dilakukan oleh b.

  Wawancara Wawancara adalah cara untuk memperoleh informasi mendalam yang diberikan secara lisan dan spontan.

  c.

  Angket Angket adalah suatu teknik yang dipergunakan untuk memperoleh informasi yang berupa data deskriptif. Ketercapaian tujuan pembelajaran akan diketahui melalui teknik atau cara pengukuran yang sistematis dengan alat pengukuran seperti tes, observasi, wawancara, angket. Alat yang dipergunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran dinamakan dengan instrumen. Instrumen sebagai alat yang digunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran maupun kompetensi yang dimiliki peserta didik haruslah benar atau valid. Dari pendapat di atas disimpulkan bahwa hasil belajar dalam penelitian ini adalah besarnya skor siswa yang diperoleh dari skor tes (tes formatif) dan non tes

  (observasi keaktifan siswa menyimak materi dan keaktifan siswa ketika belajar bersama).

2.2 Model Pembelajaran Jigsaw

2.2.1 Pengertian Model Pembelajaran Jigsaw

  Model pembelajaran jigsaw merupakan bagian dari model pembelajran kooperatif, dimana akan dibentuk kelompok-kelompok menggunakan pola kelompok asal dan kelompok ahli. Pembelajaran ini disusun dengan tujuan untuk meningkatkan partisipasi siswa dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok, serta memberikan kesempatan pada siswa untuk berinteraski dan belajar bersama-sama siswa yang berbeda latar belakangnya Trianto (2007: 42) Seperti yang dikatakan Isjoni (2011: 54) bahwa model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling mendorong dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai tujuan yang maksimal.

  Jigsaw adalah salah satu dari metode-metode kooperatif yang paling fleksibel Slavin (2005:246). Model pembelajaran Jigsaw merupakan salah satu variasi model yaitu proses belajar kelompok dimana setiap anggota berhak

  Collaborative Learning

  mengemukakan pendapat, informasi, pengalaman, ide, sikap, kemampuan, dan keterampilan yang dimilikinya. Model pembelajaran jigsaw ini siswa memiliki banyak kesempatan untuk mengemukakan pendapat, dan mengelolah informasi yang dapat meningkatkan keterampilan berkomunikasi, anggota kelompok bertanggung jawab atas keberhasilan kelompoknya dan ketuntasan bagian materi yang dipelajari, dan dapat menyampaikan kepada kelompoknya.

2.2.2 Tujuan

  Model pembelajaran jigsaw dikembangkan untuk mencapai tiga tujuan pembelajaran yaitu:

  1. Hasil belajar akademik

  Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasi siswa. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar 2. Penerimaan terhadap perbedaan individu

  Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas dan belajar saling menghargai satu sama lain.

  3. Pengembangan keterampilan sosial Tujuan ketiga pembelajaran kooperatif adalah, mengajarkan kepada siswa oleh siswa sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial.

2.2.3 Langkah-Langkah Pembelajaran

  Slavin (2010: 237) mengemukakan bahwa: dalam pembelajaran jigsaw para

  siswa bekerja dalam tim yang heterogen. Para siswa tersebut diberikan tugas untuk membaca beberapa bab atau unit, dan diberikan “lembar ahli” yang terdiri atas topik- topik yang berbeda yang harus menjadi fokus perhatian masing-masing tim saat mereka membaca. Setelah semua anak selesai membaca, siswa-siswa dari tim berbeda yang mempunyai fokus topik yang sama bertemu dalam “kelompok ahli” untuk mendiskusikan topik mereka sekitar tiga puluh menit. Para ahli tersebut kemudian kembali pada tim mereka dan secara bergantian mengajari teman satu timnya mengenai topik mereka. Slavin (2010: 241) menjelaskan dalam pembelajaran jigsaw terdiri atas siklus regular dari kegiatan-kegiatan pengajaran yaitu: 1.

  Membaca. Para siswa menerima topik ahli dan membaca materi yang diminta untuk menemukan informasi.

  2. Diskusi kelompok ahli. Para siswa dengan keahlian yang sama, bertemu untuk mendiskusikannya dalam kelompok-kelompok ahli.

  3. Laporan tim. Para ahli kembali ke dalam kelompok mereka masing-masing untuk mengajari topik-topik mereka kepada teman satu timnya.

  4. Tes. Para siswa mengerjakan kuis-kuis individual yang mencakup semua topik.

  5. Rekognisi tim. Skor tim dihitung berdasarkan skor perkembangan individual. Pendapat Slavin tidak jauh berbeda dengan pendapat Aronson dkk dalam

  Saminanto (2010:31) bahwa dalam model pembelajaran jigsaw (Model Tim Ahli), setiap anggota kelompok mempunyai tugas dan peran yang sama dengan materi berbeda, namun bobotnya relatif sama. Semua anggota kelompak harus mendapat tugas agar semuanya aktif.

  Langkah-langkah model pembelajaran jigsaw oleh Aronson dkk dalam

  1. Siswa dikelompokkan ke dalam tim (kelompok asal).

  2. Setiap orang dalam tim diberi bagian materi yang berbeda.

  3. Anggota dari tim yang berbeda yang telah mempelajari bagian yang sama bertemu dalam kelompok baru (kelompok ahli) untuk mendiskusikan materi mereka.

  4. Setelah selesai diskusi sebagai tim ahli, tiap anggota kembali ke kelompok asal dan bergantian mengajar teman satu tim mereka tentang materri yang telah mereka kuasai dan teman yang mendengarkan dengan sungguh-sungguh kemudian tiap tim ahli mempresentasikan hasil diskusi.

  5. Guru memberi evaluasi.

  6. Penutup.

  Senada dengan Slavin dan Aronson, Zaini Hisyam (2010:59) mengemukakan bahwa strategi ini merupakan strategi yang menarik untuk digunakan jika materi yang akan dipelajari dapat dibagi menjadi beberapa bagian dan materi tersebut tidak mengharuskan urutan penyampaian. Kelebihan strategi ini adalah dapat melibatkan seluruh siswa dalam belajar dan sekaligus mengajarkan kepada orang lain. Langkah- langkah model pembelajaran jigsaw menurut Zaini Hisyam sebagai berikut:

  1. Pilih materi pelajaran yang dapat dibagi menjadi beberapa bagian 2.

  Bagi siswa menjadi beberapa kelompok sesuai jumlah bagian materi yang ada.

  3. Setiap kelompok mendapat tugas membaca dan memahami materi pelajaran yang berbeda-beda.

  4. Setiap kelompok mengirimkan anggotanya ke kelompok lain untuk menyampaikan apa yang telah mereka pelajari di kelompok.

  5. Beri siswa beberapa pertanyaan untuk mengecek pemahaman mereka terhadap materi.

  Dari ketiga pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran jigsaw merupakan model pembelajaran yang melibatkan seluruh siswa ketika pembelajaran dalam bentuk kelompok kecil, setiap anggotanya memiliki materi yang

2.3 Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)

2.3.1 Pengertian IPS

  IPS adalah bidang studi yang mempelajari, menelaah, menganalisis gejala dan masalah sosial di masyarakat dengan meninjau dari berbagai aspek kehidupan atau satu perpaduan. (Surdiyo, dkk, 2008: 1, 26). Seperti yang ditegaskan oleh Saidiharjo (1996:4) bahwa IPS merupakan kombinasi atau perpaduan dari beberapa mata pelajaran seperti: geografi, sejarah, ekonomi, polotik dan antropolgi.

  Jadi dapat di simpulankan bahwa IPS adalah gabungan dari beberapa aspek ilmu sosial yang bertujuan meningkatkan kemampuan, pengetahuan, menganalisis gejala dan masalah-masalah sosial yang ada di masyarakat.

  Pada jenjang pendidikan dasar, ruang lingkup pengajaran IPS dibatasi sampai pada gejala dan masalah sosial yang dapat dijangkau pada geografi dan sejarah. Terutama gejala dan masalah sosial kehidupan sehari-hari yang ada dilingkungan sekitar peserta didik di SD. Ruang lingkup mata pelajaran IPS di SD meliputi aspek- aspek sebagai berikut : 1.

  Manusia, Tempat, dan Lingkungan 2. Waktu, Keberlanjutan, dan Perubahan 3. Sistem Sosial dan Budaya 4. Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan.

  Menurut kurikulum 2006 mata pelajaran IPS bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut :

  1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya

  2. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial 3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan

4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.

  Pencapaian tujuan IPS dapat dimiliki oleh kemampuan peserta didik yang standar dinamakan dengan Standar Kompetensi (SK) dan dirinci ke dalam Kompetensi Dasar (KD). Kompetensi dasar ini merupakan standar minimum yang secara nasional harus dicapai oleh siswa dalam pengembangan kurikulum di setiap satuan pendidikan. Pencapaian SK dan KD didasarkan pada pemberdayaan peserta didik untuk membangun kemampuan, bekerja ilmiah, dan pengetahuan sendiri yang difasilitasi oleh guru. Secara rinci SK dan KD untuk mata pelajaran IPS yang ditujukan untuk siswa kelas IV SD disajikan melalui tabel 2.1 berikut ini :

Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS Kelas IV Semester II

  Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

2. Mengenal sumber daya alam,

  2.2. Mengenal pentingnya koperasi

kegiatan ekonomi, dan kemajuan dalam meningkatkan kesejahteraan

teknologi di lingkungan kabupaten/kota masyarakat. dan propinsi.

  2.3. Mengenal perkembangan teknologi komunikasi, dan transportasi serta pengalaman menggunakannya.

2.4 Penelitian yang Relavan

  Penelitian yang sejalan dengan penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini bertujuan untuk menguatkan hasil yang diperoleh tentang hasil belajar melalui model pembelajaran Jigsaw.

  Penelitian yang dilakukan oleh Mustofa (2012) yang berjudul “Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw sebagai upaya meningkatkan aktivitas belajar

  IPA peserta didik kelas VII E semester II pada tema pencemaran air di SMP N 4 wates”. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat meningkatkan keaktifan belajar peserta didik kelas VII E SMP Negeri 4 Wates. Hasil dari pengamatan dapat diketahui dari hasil observasi aktivitas belajar peserta didik yang mengalami peningkatan, di mana rata-rata aktivitas belajar peserta didik pada siklus I mencapai 65,46% sedangkan siklus II meningkat menjadi 85,86%.

  Penelitian yang dilakukan oleh Laila Mardhiyah (2009) yang berjudul Upaya Meningkatkan hasil belajar IPS melalui model pembelajaran tipe jigsaw kelas IV di SDN Blotongan 01 Salatiga. Dalam hasil penelitiannya terjadi peningkatan ketuntasan belajar siswa dari setiap siklus. Pada kondisi awal hanya 7 siswa yang tuntas setelah pembelajaran jigsaw hasil belajar meningkat pada siklus1 rata-rata 75,81 setelah diadakan tindak lanjut menjadi 76,96. Pada siklus 2 menjadi 77,22 ketuntasan belajar 100%. Kelebihan yang dicapai dari penelitian ini terletak pada pemilihan kelompok heterogen sehingga pada siklus 1 sudah nampak peningkatan belajarnya, karena sudah ada kelompok ahli yang bertugas menjelaskan materi kepada rekan-rekannya sedangkan kelemahannya pada kelompok tertentu siswa yang aktif lebih mendominasi diskusi, dan cenderung mengontrol jalannya diskusi.

  Penelitian yang dilakukan oleh Aang Taufik (2010) dalam tesisnya yang berjudul “Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Untuk Meningkatkan Motivasi, Aktivitas Dan Prestasi Belajar Siswa Kelas IX A SMP Negeri Cigugur”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dalam pembelajaran PAI mampu meningkatkan aktivitas belajar PAI siswa. Hal tersebut dapat terlihat dari presentase hasil perhitungan keaktifan siswa. Pada siklus I keaktifan siswa sebesar 76%, sedangkan pada siklus II sebesar 88%, dengan rata-rata siklus I dan siklus II sebesar 82%. Sesuai dengan judul yang peneliti pilih maka ada kesamaan antara penelitian yang dilakukan oleh Aang Taufik dengan penelitian yang peneliti lakukan yakni pada variabel input berupa penerapan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw , dan salah satu variabel outputnya yakni meningkatkan aktivitas belajar siswa.

  Penelitian yang dilakukan oleh Rinda Dwi Pratiwi (2013) yang berjudul “Peningkatan Keaktifan Belajar Melalui Cooperative Learning Metode Jigsaw Pada Mata Pelajaran IPS di Kelas VIII B SMP Negeri 1 Pandak”. Hasil penelitian ditempuh mulai dari merancang pembelajaran menggunakan metode jigsaw hingga penerapannya yang dipadukan dengan diskusi kelas dan pemberian penghargaan. Sedangkan, hasil peningkatan keaktifan belajar IPS dapat dibuktikan dengan adanya peningkatan rata-rata presentase observasi keaktifan belajar pada siklus I sampai dengan siklus III. Siklus I sebesar 57,29%, siklus II meningkat sebesar 13,28% menjadi 70,57% dan siklus III meningkat sebesar 12,24% menjadi 82,81%. Pada siklus III ratarata presentase tiap indikator keaktifan belajar sudah mencapai 75%.

  Berdasarkan penelitian-penelitian diatas, dapat memberikan gambaran peneliti untuk melaksanakan penelitian yang berhubungan dengan penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dalam pembelajaran IPS. Selain itu keempat penelitian yang telah disebutkan diatas juga terbukti menguatkan teori bahwa dalam kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat meningkatkan hasil belajar siswa, demikian pula dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu menggunakan model pembelajaran jigsaw untuk meningkatkan hasil belajar IPS siswa sebagai langkah perbaikan dari contoh penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya.

2.5 Kerangka Berpikir

  Dalam kegiatan mengajar guru, tidak menggunakan RPP dan tidak memakai Model pembelajaran tertentu seperti Model Jigsaw. Pelajaran IPS dianggap membosankan bagi peserta didik karena pembelajaran hanya mengandalkan komunikasi satu arah. Guru dianggap sebagai satu satunya sumber belajar. metode pembelajaran yang digunakan masih bersifat konvensional, dimana siswa hanya menyimak penjelasan guru, mencatat dan mengerjakan latihan saja serta pembelajaran yang monoton dan hanya menekankan pada penghafalan semata.

  Dalam kegiatan pembelajaran guru tidak membagikan siswa kedalam beberapa kelompok dengan anggota 4 sampai 5 orang, siswa tidak diberi materi yang berbeda untuk melakukan diskusi, tidak ada penugasan dari anggota tim yang berbeda dan materi yang sama, tidak ada kelompok yang berdiskusi dan kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan materi kepada anggota kelompok, tidak ada presentasi. Tidak menggunakan model tertentu seperti jigsaw.

  Model pembelajaran jigsaw diawali dengan pembentukan kelompok heterogen, siswa dibagi menjadi 9 kelompok asal contohnya (A, B, C, D, E, F, G, H, I), setiap siswa dalam kelompok memperoleh materi yang berbeda-beda (materi 1, 2, 3, 4, 5) kemudian siswa yang memperoleh materi sama berkumpul membentuk kelompok ahli 1 (A1, B1, C1, D1, E1, F1, G1, H1, I1) kelompok ahli 2 ( A2, B2, C2, D2, E2, F2, G2, H2, I2) dan seterusnya. Kemudian siswa belajar bersama membahas materi mereka dalam kelompok ahli. Setelah siswa selesai belajar bersama dalam kelompok ahli, siswa kembali ke kelompok asal mereka dan menjelaskan materi mereka kepada rekan satu kelompoknya. Dalam model pembelajaran jigsaw ini penilaian dibagi menjadi dua yaitu penilaian proses belajar dan penilaian hasil belajar. Penilaian proses diperoleh dari penilaian observasi yang dilakukan guru ketika pembelajaran yang terdiri dari penilaian dalam kelompok asal dan penilaian dalam kelompok ahli. Sedangkan dalam penilaian hasil belajar diperoleh dari tes formatif yang dilakukan guru setelah pembelajaran selesai. Penilaian proses belajar dan penilaian hasil belajar ini kemudian diolah menjadi nilai ahir siswa yang meningkat (KKM 70). Skor capaian pengukuran ini akan menunjukkan kenaikan skor yang signifikan. Untuk itu, perlu dilakukan dengan pemantapan tindakan yaitu mengulang kembali model pembelajaran jigsaw dengan kompetensi dasar yang sama sehingga tujuan pembelajaran yang ingin dicapai lebih meningkat.

2.6 Hipotesis Tindakan

  Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka penerapan model pembelajaran jigsaw dapat meningkatkan hasil belajar IPS bagi siswa kelas IV SDN Blotongan 01 semester II tahun ajaran 2016/2017.

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Karakteristik Agronomi Dan Kandungan Artemisinin Pada 9 Genotip Artemisia cina Poliploid Hasil Induksi Colchicine

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Persepsi, Preferensi dan Ekspektasi Untuk Pengembangan Welcome Area Agrowisata Salatiga

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Persepsi, Preferensi dan Ekspektasi Untuk Pengembangan Welcome Area Agrowisata Salatiga

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebutuhan Pupuk Mop Pada Tanah Inceptisols Bogor Dengan Status Hara K-Potensial dan K-Tersdia Rendah Untuk Tanaman Jagung

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penilaian Status Kesuburan Tanah Dan Pengelolaannya, di Kecamatan Karanggede, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penilaian Status Kesuburan Tanah Dan Pengelolaannya, di Kecamatan Karanggede, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah

0 1 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Kesesuaian Lahan Untuk Kedelai (Glycine max (L) Merill) di Kecamatan Karanggede, Kabupaten Boyolali

0 2 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Respon Tanaman Cabai Terhadap Pupuk Npk Majemuk Yang Diaplikasikan Secara Langsung Melalui Tanaman

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Efektivitas Penggunaan Pupuk Majemuk Npks Terhadap Peningkatan Produktivitas Tanaman Jagung di Daerah Bogor

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Komunikasi Komunitas WPAP (Wedha’s Pop Art Portrait) Chapter Semarang dalam Usaha Mempertahankan Eksistensi

0 0 14