IDENTIFICATION OF ZOONOTIC HELMINTH EGGS ON Rattus tanezumi RAT DROPPINGS IN BANJARNEGARA CITY MARKET

Virus West Nile .......................(Bina Ikawati, dkk.)

22. Shiryaev SA, Ratnikov BI, Chekanov AV, Sikora S,
Rozanov DV, Godzik A, et al. Cleavage targets and
the D-arginine-based inhibitors of the West Nile virus
NS3 processing proteinase. Biochem J. 2006; 393:
503-11.
23. Wengler G, Czaya G, Farber PM, Hegemann JH. In
vitro synthesis of west nile virus proteins indicates
that the amino-terminal segment of the NS3 protein
contains the active centre of the protease which
cleaves the viral polyprotein after multiple basic
amino acids. J Gen Virol. 1991; 72 (4): 851-8.
24. Borowski P, Niebuhr A, Mueller O, Bretner M,
Felczak K, Kulikowski T, et al. Puri? cation and
characterization of west nile virus nucleoside
triphosphatase (NTPase)/helicase: evidence for
dissociation of the NTPase and helicase activities of
the enzyme. J. Virol. 2001; 75 (7): 3220-9.
25. Chernov AV, Shiryaev SA, Aleshin AE, Ratnikov BI,
Smith JW, Liddington RC, et al. The two-component

NS2B-NS3 proteinase represses DNA unwinding
activity of the west nile virus NS3 helicase. J Biol
Chem. 2008; 283: 17270-8.
26. Shiryaev SA, Chernov AV, Aleshin AE, Shiryaeva
TN, Strongin AY. NS4A regulates the ATPase activity
of the NS3 helicase: a novel cofactor role of the
nonstructural protein NS4A from West Nile virus. J.
Gen. Virol. 2009; 90 (9): 2081-5.

27. Ambrose RL, Mackenzie JM.West nile virus
differentially modulates the unfolded protein
response to facilitate replication and immune evasion.
J. Virol. 2011; 85: 2723–32.
28. Egloff MP, Benarroch D, Selisko B, Romette JL,
Canard B. An RNA cap (nucleoside-2'-O-)methyltransferase in the flavivirus RNA polymerase
NS5: crystal structure and functional
characterization. EMBO J. 2002; 21 (11): 2757-68.
29. Grun JB, Brinton MA. Characterization of west nile
virus RNA-dependent RNA polymerase and cellular
terminal adenylyl and uridylyl transferases in cellfree extracts. J. Virol. 1986; 60 (3): 1113-24.

30. Valiakos G, Athanasiou LV, Touloudi A, Papatsiros V,
Spyrou V, Petrovska L, et al. West nile virus: basic
principles, replication mechanism, immune response
and important genetic determinants of virulence.
Chapter 2. 2013.
31. Chu JJH, Ng ML. Infectious entry of west nile virus
occurs through a clathrin-mediated endocytic
pathway. J. Virol. 2004; 78 (19): 10543-55.
32. Smit JM, Moesker B, Rodenhuis-Zybert I, Wilschut J.
Flavivirus cell entry and membrane fusion. Viruses.
2011; 3(2): 160-71.

BALABA Vol. 10 No. 02, Desember 2014: 53-58

IDENTIFIKASI TELUR CACING ZOONOTIK PADA FESES Rattus tanezumi
DI PASAR KOTA BANJARNEGARA
IDENTIFICATION OF ZOONOTIC HELMINTH EGGS ON Rattus tanezumi RAT DROPPINGS
IN BANJARNEGARA CITY MARKET
Dyah Widiastuti*, Nova Pramestuti, Novia Tri Astuti
Balai Litbang P2B2 Banjarnegara

Jl. Selamanik No. 16 A Banjarnegara, Jawa Tengah, Indonesia
*E_mail: umi.azki@gmail.com
Received date: 3/1/2014, Revised date: 31/10/2014, Accepted date: 3/11/2014

ABSTRAK
Tikus dikenal sebagai reservoir alami dari beberapa infeksi cacing yang penting bagi kesehatan masyarakat. Tikus
mengandung mikroorganisme tersebut yang dapat ditularkan melalui kontak dengan kotoran tikus yang terinfeksi atau
melalui ektoparasit. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi telur cacing zoonotik pada Rattus spp. di Pasar Kota
Banjarnegara. Penelitian ini merupakan studi observasional yang dilakukan di Pasar Kota Banjarnegara pada bulan Agustus
2013. Penangkapan tikus dilakukan selama tiga malam berturut-turut menggunakan 200 perangkap hidup yang dipasang
pada tempat yang berbeda, yaitu kios buah, kios sembako dan kios beras. Prevalensi cacing zoonotik pada feses tikus
R. tanezumi sebesar 10% Capilaria hepatica; 5% Hymenolepis diminuta dan 5% Sypachia muris. Pencemaran telur cacing
zoonotik dalam feses tikus perlu diwaspadai sebagai investigasi awal sumber penularan penyakit kecacingan melalui tikus.
Kata kunci: telur cacing zoonotik, feses, tikus
ABSTRACT
Rats are known to be natural reservoirs of some helminth infections of public health importance. Rats may harbour these
microorganisms that can be transmitted either through contact with infected rodent droppings or through ectoparasites. This
research aimed to identify zoonotic helminth eggs in Rattus spp. in Banjarnegara city market. An observational study was
conducted in Banjarnegara city market on August 2013. The trapping of rats was carried out for 3 days using 200 single live
traps posted in different place i.e. fruit stall, groceries and rice stall were sampled for commensal rats and mice. The result

showed that prevalence of zoonotic helmints of R. tanezumi droppings i.e C. hepatica 10%; H. diminuta 5% and Sypachia
muris 5%. Contamination of rat droppings with zoonotic helminth eggs need to be aware as an early investigation of zoonotic
helminths transmission source.
Keywords: zoonotic helminth eggs, feces, rats

PENDAHULUAN
Tikus memiliki peran yang penting dalam
kesehatan masyarakat sebagai carrier atau reservoir
penyakit menular zoonotik. Beberapa diantaranya
diakibatkan oleh adanya kelompok cacing
(helminth) yang terdapat pada feses tikus. Tiga
spesies utama yang sering dijumpai menginfeksi
tikus serta berpotensi sebagai penyakit zoonosis
adalah Capillaria hepatica, Hymenolepis spp. dan
Trichinella spiralis.1,2 Penularan infeksi oleh ketiga
spesies ini dari tikus ke manusia dapat terjadi melalui
kontak langsung dengan feses tikus infektif atau
melalui vektor yang berupa pinjal ataupun tungau.3
Battersby, et al.4 menyatakan bahwa Rattus
norvegicus dapat menjadi reservoir beberapa

penyakit zoonosis dan menimbulkan resiko yang

102

serius bagi kesehatan masyarakat. Capillaria
hepatica biasanya ditemukan di organ hati dari
hewan seperti tikus, kucing, anjing, babi dan kera,
adapun manusia dapat berperan sebagai accidental
hosts bagi cacing ini.5,6 Trichinella spiralis dewasa
dapat ditemukan di usus halus, sedangkan larvanya
terdapat di otot lurik inangnya yang terdiri dari babi,
tikus dan manusia.7
Abu Madi, et al. 8 melaporkan bahwa
R. norvegicus dari Doha, Qatar telah terinfestasi
Hymenolepis diminuta. Dari 43 ekor R. norvegicus
yang tertangkap di Chunchon-Korea, 11 ekor
mengandung telur C. hepatica, 14 ekor mengandung
telur Hymenolepis diminuta dan 28 ekor
mengandung metacestoda Taenia taeniformis.9
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi telur


53

Identifikasi Telur Cacing........(Dyah Widiastuti, dkk.)

cacing zoonotik pada Rattus spp. yang tertangkap di
Pasar Kota Banjarnegara sebagai investigasi awal
sumber penularan penyakit kecacingan zoonotik di
Kabupaten Banjarnegara.
METODE
Penangkapan tikus dilakukan selama tiga
malam berturut-turut pada bulan Agustus 2013
menggunakan 200 single live trap di Pasar Kota
Banjarnegara. Perangkap dipasang berdasarkan jenis
barang yang dijual yaitu terdiri dari kios buah, kios
sembako dan kios beras. Ketiga jenis kios ini
mewakili kios dengan komoditi bahan pangan di
Pasar Kota Banjarnegara. Feses tikus diambil dari
tikus yang tertangkap dengan perangkap, kemudian
diidentifikasi spesiesnya.

Feses dari masing-masing tikus dimasukkan
dalam kantong plastik dan diperiksa di Laboratorium
Parasitologi Balai Litbang P2B2 Banjarnegara.
Isolasi telur cacing dari sampel feses dilakukan
dengan metode pengapungan sebagaimana yang
dijelaskan oleh MAFF. 10 Telur cacing yang
ditemukan diidentifikasi spesies berdasarkan
morfologinya. Identifikasi telur cacing C. hepatica
berdasarkan Fuehrer,11 H. diminuta berdasarkan
12
13
Goswami dan S. muris berdasarkan Souza.
HASIL
Jumlah tikus yang tertangkap sebanyak 29
ekor terdiri dari 28 ekor R. tanezumi dan 1 ekor
R. norvegicus dengan jenis kelamin 15 ekor tikus
jantan dan 14 ekor tikus betina. Prevalensi telur
cacing zoonotik pada feses tikus yang tertangkap
secara keseluruhan ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1 menunjukkan spesies yang tertangkap

didominasi oleh R. tanezumi. Rattus norvegicus
hanya ditemukan 1 ekor dan fesesnya tidak
mengandung telur cacing. Telur cacing zoonotik
hanya terdapat pada spesies R. tanezumi. Prevalensi
C. hepatica mencapai dua kali lipat dibandingkan
dengan spesies H. diminuta dan S. muris.

Berdasarkan bentuk morfologi telur yang
teramati, dalam penelitian ini ditemukan 3 spesies
cacing yaitu C. hepatica, H. diminuta dan Syphacia
muris (Gambar 1).

A

54

No

Spesies tikus


1
2

R. tanezumi
R. norvegicus
Total

Myint KS, Kosasih H, Artika IM, Perkasa A, Puspita
M, Ma'roef CN, et al. West nile virus documented in
Indonesia from acute febrile illness specimens. Am J
Trop Med Hyg. 2014; 90 (2): 260-2.

3.

Nurcahyani DI. 12 warga Surabaya terinfeksi virus
west nile. [Diakses 25 April 2014]. Diunduh dari:
http://health.okezone.com/read/2014/01/09/482/924
113/dua-warga-surabaya-terinfeksi-virus-west-nile.

5. Turell MJ, Dohm DJ, Sardelis MR, Oguinn ML,

Andreadis TG, Blow JA. An update on the potential of
north American mosquitoes (Diptera: Culicidae) to
transmit west nile virus. J Med Entomol. 2005; 42 (1):
57–62.

B

C

Gambar 1. Morfologi Telur Cacing pada Feses Tikus yang
Ditemukan

Gambar 1 menunjukkan bahwa telur
C. hepatica memiliki cangkang berlapis ganda yang
berstriae dengan penonjolan di kedua ujungnya (A).
Telur H. diminuta berbentuk bulat dengan cangkang

10,5
0
10


1
0
1

5,3
0
5

1
0
1

%

5,3
0
5

13. Chung KM, Nybakken GE, Thompson BS, Engle MJ,
Marri A, Fremont DH, et al. Diamond, antibodies
against west nile virus nonstructural protein NS1
prevent lethal infection through Fc ã receptor
dependent and independent mechanisms. Journal of
Virology. 2006; 1340–51.
14. Macdonald J, Tonry J, Hall RA, Williams B, Palacios
G, Ashok MS, et al. NS1 protein secretion during the
acute phase of west nile virus infection. J. Virol. 2005;
79 (22): 13924-33.
15. Chang HH, Shyu HF, Wang YM, Sun DS, Shyu RH,
Tang SS, et al. Facilitation of cell adhesion by
immobilized dengue viral nonstructural protein 1
(NS1): arginineglycine-aspartic acid structural
mimicry within the dengue viral NS1 antigen. 2002. J.
Infect.Dis. 2002; 186 (6): 743-51.

6. Sendow I, Noor SM. Virus west nile sebagai salah
satu penyakit
emerging zoonosis. Lokakarya
Nasional Penyakit Zoonosis.

16. Lin CF, Lei HY, Shiau AL, Liu HS, Yeh TM, Chen SH,
et al. Endothelial cell apoptosis induced by antibodies
against dengue virus nonstructural protein 1 via
production of nitric oxide. J Immunol; 2002; 169:
657-64.

7. International Committee on Taxonomy of Viruses
[homepage on the Internet]. USA,Virology Division
of the International Union of Microbiological
Societies [cited 2014 April 30]. Available from:
http://ictvonline.org/index.asp.

17. Chung KM, Liszewski MK, Nybakken G, Davis AE,
Townsend RR, Fremont DH, et al. West nile virus
nonstructural protein NS1 inhibits complement
activation by binding the regulatory protein factor H.
Proc. Natl. Acad. Sci. USA 2006; 103 (50): 19111-6.

8. Margo AB. Replication cycle and molecular biology
of the west nile virus. Viruses. 2014; 6: 13-53.

18. Liu WJ, Chen HB, Khromykh AA Molecular and
functional analyses of Kunjin virus infectious cDNA
clones demonstrate the essential roles for NS2A in
virus assembly and for a nonconservative residue in
NS3 in RNA replication. J. Virol. 2003; 77 (14): 780413.

9. Lyle RP, Roehirig JT. West nile virus: a reemerging
global pathogen. Emerging Infectious Diseases.
2001; 7 (4).

Jumlah sampel feses positif telur cacing
C. hep atica
%
H. diminuta
%
Syphacia
muris
2
0
2

2.

4. Gray TJ, Cameron EW. A review of the
epidemiological and clinical aspect of west nile
virusses. Internatioanl Journal of General Medicine.
[Diakses 2 Mei 2014]. Diunduh dari:
http://dx.doi.org/10.2147/IJGM.S59902.

Tabel 1. Prevalensi Telur Cacing Zoonotik pada Feses Tikus yang Tertangkap di Pasar Kota Banjarnegara
Jumlah
sampel
feses
diperiksa
19
1
20

BALABA Vol. 10 No. 21, Desember 2014: 97-102

10. Chambers TJ, Halevy M, Nestorowicz A, Rice CM,
Lustig S. West nile virus envelope proteins:
nucleotide sequence analysis of strains differing in
mouse neuroinvasiveness. Journal of General
Virology. 1998; 79: 2375–80.
11. Zhang W, Chipman PR, Corver J, Johnson PR, Zhang
Y, Mukhopadhyay S, et al. Visualization of
membrane protein domains by cryo-electron
microscopy of dengue virus. Nat. Struct. Biol. 2003;
10: 907–12.
12. Kiermayr S, Kofler RM, Mandl CW, Messner P,
Heinz FX. Isolation of capsid protein dimers from the
tick-borne encephalitis flavivirus and in vitro
assembly of capsid-like particles. J. Virol. 2004; 78:
8078–84.

19. Liu WJ, Wang XJ, Clark DC, Lobigs M, Hall RA,
Khromykh AA. A single amino acid substitution in
the West Nile virus nonstructural protein NS2A
disables its ability to inhibit alpha/beta interferon
induction and attenuates virus virulence in mice.
J.Virol. 2006; 80 (5): 2396-404.
20. Chambers TJ, Grakoui A, Rice CM. Processing of the
yellow fever virus nonstructural polyprotein: a
catalytically active NS3 proteinase domain and NS2B
are required for cleavages at dibasic sites. J Virol.
1991; 65: 6042-50.
21. Condotta SA. Molecular and cellular studies of the
west nile virus NS2B/NS3 protease. Thesis. The
Faculty Of Graduate Studies (Microbiology and
Immunology). University Of British Columbia;
2010.

101

Virus West Nile .......................(Bina Ikawati, dkk.)

NS3 merupakan protein yang cukup besar
dengan berat molekul 70 kDa dan memiliki dua
23
fungsi enzimatis yaitu sebagai protease dan sebagai
ATPase.24 Protease memediasi proses proteolitik
prekursor poliprotein dengan cara memotong pada
bagian C-terminal.23 Sedangkan ATPase berperan
dalam proses replikasi RNA virus dengan cara
memfasilitasi aktivitas polymerase protein NS5.25
Fungsi protein NS4A belum diketahui secara
pasti namun telah ditemukan beberapa bukti bahwa
protein ini berperan sebagai “organizer” proses
replikasi kelompok Flavivirus. NS4A bertindak
sebagai kofaktor untuk enzim ATPase dari protein
NS3.26
NS4B merupakan protein hidrofobik dengan
berat molekul sekitar 27 kDa yang fungsinya juga
belum banyak diketahui. Salah satu fungsinya adalah
menghambat interferon-signaling cascade sehingga
menurunkan respon imunitas inang terinfeksi.27
NS5 merupakan protein yang berkedudukan
di bagian C-terminal dari poliprotein virus west nile.
Protein ini memiliki ukuran yang paling besar dan
paling conserved diantara virus-virus dalam
kelompok Flavivirus. Bagian N-terminal protein
NS5 mengandung domain S-adenosyl methionine
methyltransferase (MTase) yang merupakan
penyusun cap RNA virus. Cap RNA merupakan
struktur unik yang ditemukan pada ujung 5' RNA
virus dan mRNA sel eukariot, yang berfungsi
menjaga stabilitas RNA dan menjadi tempat
perlekatan dengan ribosom pada saat proses
translasi. 28 Adapun bagian C-terminal NS5
mengandung enzim RNA-dependent RNA
polymerase yang sangat dibutuhkan pada sintesis
29
RNA genom.
Siklus replikasi
Virus WN mampu bereplikasi di berbagai
kultur sel dari berbagai spesies (mamalia, aves,
amfibi dan serangga). Tahap pertama dalam proses
masuknya virus ke dalam sel inang adalah perlekatan
protein E virus pada molekul reseptor selular.30
Setelah melekat melalui reseptor selular, virus
memasuki sel melalui clathrin-mediated endocytosis
dan membentuk endosome (Gambar 2).31 Endosom
tersebut berada dalam kondisi pH rendah yang
kemudian memicu konformasi molekul glikoprotein
dari protein E sehingga protein E berubah dari
bentuk homodimer menjadi monomer. Protein E
memasukkan lekukan fusi (fusion loops) ke dalam
membran endosom hingga membentuk lubang fusi

100

BALABA Vol. 10 No. 02, Desember 2014: 53-58

yang tipis. Embrio cacing (onchosphere) H. diminuta
terlihat tidak memiliki filamen polar dan kedua
ujungnya tidak menebal (B). Telur S. muris
bercangkang tipis, namun bentuknya ellipsoidal
dengan kedua ujungnya terlihat pipih (C).

(fusion pore). Lubang fusi tersebut akan semakin
membesar sehingga nukleokapsid virus ke luar dari
envelop virion dan masuk ke sitoplasma sel inang.
Lepasnya nukleokapsid dari envelop virion dikenal
dengan proses uncoating. Selanjutnya RNA virus
akan dikeluarkan oleh nukleokapsid kemudian
ditranslasi menghasilkan poliprotein dan dilanjutkan
dengan proses perakitan virion-virion baru yang siap
dikeluarkan dari dalam sel inang.32

Gambar 2. Siklus27 Replikasi Virus West Nile dalam Sel
Inang

KESIMPULAN
Secara epidemiologi virus WN
A dapat
N tersebar
O
dengan vektor nyamuk utamanya Culex sp., namun
demikian Aedes sp. juga berpotensi sebagai vektor.
Keberadaan virus ini di alam terpelihara pada
burung/unggas. Menyerang semua golongan umur
dan jenis kelamin, bersifat asimptomatis atau
menimbulkan gejala klinik. Manifestasi terberat
adalah encephalitis dan meningitis. Virus west nile
merupakan anggota famili Flaviviridae dari genus
Flavivirus. Virus ini memiliki genom yang terdiri
dari satu single-stranded (ss) RNA yang dikelilingi
suatu nucleocapsid berbentuk icosahedral atau
isometric. Genom virus west nile memiliki panjang
11.029 nukleotida.
Upaya pencegahan adalah mengendalikan
populasi nyamuk, mengurangi gigitan nyamuk, dan
secara berkala melakukan survei pada
unggas/burung utamanya yang dipelihara dalam
skala besar maupun yang sedang bermigrasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Nasronudin. Kini saatnya Indonesia mewaspadai
penyakit virus west nile. Kompas. 29 Oktober 2013;
halaman 14.

P

H

PEMBAHASAN
Cacing merupakan makhluk hidup
kosmopolitan dan berperan penting dalam kesehatan
masyarakat. Infeksi kecacingan dapat menimbulkan
angka kesakitan dan bahkan angka kematian bagi
masyarakat di berbagai belahan dunia, khususnya
di negara-negara berkembang dengan tingkat
sanitasi yang rendah. Tikus dapat menjadi reservoir
alami dari infeksi parasit zoonosis yang serius
termasuk cacing zoonosis. Pemeriksaan mikroskopis
pada feses tikus dapat digunakan untuk
mengidentifikasi spesies cacing zoonosis.
Prevalensi C. hepatica dalam penelitian ini
relatif rendah (10,5%) jika dibandingkan dengan
prevalensi yang dilaporkan oleh Webster dan
McDonald1 di Inggris sebesar 23%, Ceruti, et al.14 di
Italia sebesar 36%, Seong, et al.9 di Korea sebesar
25,6%, Davoust, et al.15 di Marseille sebesar 44% dan
Farhang-Azad 16 di Baltimore sebesar 75%.
EPenelitian lain oleh Ahmad, et al.17 di Pakistan
ditemukan C. hepatica pada R. rattus dan
Mus musculus sebesar 7% dan penelitian Stojcevic,
et al.18 di Croatia ditemukan telur C. hepatica pada
tikus R. norvegicus sebesar 3,91%. Perbedaan
prevalensi C. hepatica pada beberapa penelitian
dapat disebabkan oleh perbedaan dalam perilaku
sosial, perkembangan fisiologis, status kebersihan,
kesadaran masyarakat tentang risiko tertular infeksi
dari reservoir dan kebiasaan makan tikus.19
Telur cacing C. hepatica berbentuk seperti
gendang dengan kutub di kedua ujungnya. Telur ini
memiliki struktur yang berstriae dengan banyak
minipores pada bagian cangkangnya.11 Capillaria
hepatica juga memiliki peran yang penting dibidang
kesehatan, karena telah diketahui dapat
menyebabkan penyakit infeksi yang disebut
capillariasis. Gejala yang ditunjukkan pada penyakit
ini antara lain demam tinggi yang persisten,
hepatomegali dan peningkatan eosinofil.20 Kejadian
capillariasis pada manusia pertama kali dilaporkan
pada tahun 1923 yang menginfeksi seorang tentara
Inggris yang sedang bertugas di India. Kasus tersebut
ditetapkan sebagai kasus capillariasis karena setelah
dilakukan pemeriksaan mikroskopis pada jaringan
terlihat adanya telur-telur cacing dalam jumlah yang

banyak. Telur tersebut menunjukkan kesamaan
ukuran, bentuk dan struktur dengan telur C. hepatica
yang ditemukan pada tikus yang terkena
capillariasis.21 Infeksi dapat terjadi secara kebetulan
karena menelan telur C. hepatica infektif yang
terdapat di tanah yang berasal dari kotoran hewan
yang terinfeksi cacing tersebut.22
Kasus capillariasis pada manusia telah
dilaporkan di Eropa (Jerman, Switzerland, Italia,
Inggris, Jerman, Czechoslovakia, Yugoslavia dan
Turki), Amerika Utara dan Selatan (USA, Kanada,
Meksiko dan Brazil), Asia (India, Korea, Jepang dan
Thailand), Afrika dan New Zealand. Enam puluh
persen dari semua laporan pada anak di bawah usia
8 tahun dan 59% diantaranya terjadi pada
23
perempuan.
Cacing H. diminuta dalam penelitian ini
prevalensinya lebih rendah (5%) daripada yang
dilaporkan oleh Seong, et al.9 di Korea sebesar
32,6%, Webster dan Macdonald1 di Inggris sebesar
22% dan Stojcevic, et al.2 di Croatia sebesar 36,9%.
Penelitian Al-Zihiry24 di Irak menyatakan bahwa
H. diminuta ditemukan pada tikus R. norvegicus
(25,4%). Hymenolepis diminuta dikenal sebagai
parasit umum dari tikus di seluruh dunia. Tikus
dikenal sebagai host alami dari parasit ini. Ciri
morfologi dari telur H. diminuta antara lain
berbentuk bulat dengan ukuran sekitar 72 mm. Telur
berwarna kuning dengan membran dalam yang tipis
dan membran luar berstriae. Ciri yang membedakan
antara telur H. diminuta dan H. nana adalah adanya
filamen polar yang terlihat jelas pada telur H. nana
dan tidak ditemukan pada telur H. diminuta.12
Genus Hymenolepis paling terkenal
menyebabkan efek patologis pada kesehatan
manusia. Hymenolepis diminuta diketahui
ditemukan pada organ berbagai jenis mamalia,
terutama pada tikus. Penelitian Tutsyntain
di Bandung tahun 2013 menemukan spesies cacing
ini pada organ lambung dan usus R. tanezumi.12
Infeksi H. diminuta pada manusia jarang
ditemukan di negara berkembang. Survei dari
populasi yang berbeda telah dilaporkan tingkat
parasit berkisar antara 0,001% dan 5,5%. Di Spanyol
dilaporkan tujuh kasus infeksi H. diminuta pada
manusia dan mereka semua anak-anak. Di Amerika
26
Serikat sebanyak 48 kasus telah dilaporkan. Infeksi
H. diminuta pada manusia seringkali tanpa gejala,
namun pada beberapa kasus, gejala seperti nyeri
perut, iritabilitas, gatal-gatal dan peningkatan jumlah
27
eosinofil juga dapat muncul.

55

Identifikasi Telur Cacing........(Dyah Widiastuti, dkk.)

Reservoir alami dan host definitif H. diminuta
adalah tikus dan hewan pengerat lainnya. Sementara
arthropoda coprophilic, seperti kutu, lepidoptera,
dan coleoptera, bertindak sebagai intermediate host
ketika makan telur H. diminuta dari feses tikus. Telur
berkembang menjadi larva cysticercoid dalam
rongga tubuh mereka. Jika arthropoda infektif
dimakan oleh host definitif, cysticercoid yang
tertelan masuk ke dalam perut tikus dan berkembang
menjadi cacing dewasa dimana telur berasal dari
kotoran binatang pengerat tersebut.28
Prevalensi cacing S. muris dalam penelitian
ini sebesar 5%, hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilaporkan oleh Stojcevic, et al.2 di Croatia
ditemukan S. muris sebesar 3,53%. Penelitian lain
oleh Ahmed, et al.29 ditemukan S. muris sebesar
24% pada R. norvegicus albino. Penelitian
30
Fitriyanto di permukiman di Kabupaten
Banjarnegara tahun 2012 menemukan spesies
cacing ini pada organ sekum tikus. Ciri morfologi
dari telur S. muris antara lain berbentuk asimetris,
berwarna kekuningan dengan ujung menajam, dan
membran telur bertekstur halus dengan dilapisi dua
dinding berbentuk silinder. Bagian dalam telur terisi
penuh dengan embrio yang terdiri dari beberapa
segmen.
Menurut penelitian Kia, et al.31 di Ahvaz, Iran,
jenis nematoda yang ditemukan dalam penelitian
tersebut yaitu spesies S. muris dan G. neoplasticum.
Syphacia muris pernah ditemukan pada seorang
wanita yang bermukim di rumah dengan kondisi
lingkungan sanitasi yang tidak baik dan
G. neoplasticum ditemukan juga pada mulut seorang
wanita.
Penelitian Paramsvaran, et al.32 pada lima
pasar di Kualalumpur ditemukan spesies cacing
C. hepatica, H. diminuta dan S. muris. Kasus
pertama infeksi C. hepatica pada manusia
ditemukan pada tentara dari India.33 Penelitian
Battersby ditemukan 30 kasus C. hepatica pada
manusia dan sebagian besar terjadi pada anak-anak
usia 1-5 tahun. Parasit ini dapat menyebabkan
hepatitis akut atau sub-akut ditandai dengan
eosinofilia dan demam persisten pada manusia.
Hepatomegali dapat terjadi dengan telur di parenkim
hati merangsang nekrosis dan abses pada manusia
32
yang terinfeksi.
Penelitian Kataranovski, et al.34 di Serbia
menemukan Capillaria spp., S. muris dan prevalensi
parasit paling banyak yaitu H. diminuta (30,5%)
pada R. norvegicus. Penelitian Tung, et al.35 pada

56

pasar tradisional di Taiwan menemukan H. diminuta
sebesar 6,25% pada R. norvegicus dan 18,18% pada
R. rattus, C. hepatica sebesar 62,50% pada
R. norvegicus dan 18,18% pada R. rattus, dan
S. muris sebesar 27,27% pada R. rattus.
Pasar merupakan tempat jual beli yang setiap
hari didatangi masyarakat dalam jumlah yang relatif
banyak. Peran dalam dunia kesehatan, pasar dapat
menjadi sumber penularan berbagai penyakit,
terutama pasar yang kebersihannya kurang
diperhatikan (pembuangan sampah, air kotor dan
lain- lain).
Infestasi tikus di lingkungan pasar dapat
menyebabkan beberapa masalah, termasuk
kontaminasi makanan dan penularan penyakit. Tikus
dapat menghasilkan 12-16 mililiter urin dan sampai
lima puluh kotoran tinja dalam waktu 24 jam.
Kontaminasi makanan oleh kotoran tikus selama
penyimpanan di dalam kios pasar dapat menjadi
sarana penularan penyakit ke manusia ataupun
hewan peliharaan.36
KESIMPULAN
Hasil identifikasi telur cacing zoonotik yang
ditemukan pada feses R. tanezumi terdiri dari
C. hepatica, H. diminuta dan S. muris. Hal tersebut
perlu diwaspadai sebagai investigasi awal sumber
penularan penyakit kecacingan zoonotik.
SARAN
Masyarakat lebih waspada terhadap
kebersihan dan proses pengolahan bahan-bahan
makanan yang diperoleh dari pasar untuk
menghindari penularan penyakit yang diakibatkan
kontaminasi telur cacing zoonotik dari feses tikus.

BALABA Vol. 10 No. 21, Desember 2014: 97-102

Border Disease Virus dan Classical Swine Fever
Virus. Genus Hepacivirus hanya terdiri dari satu
spesies yaitu virus Hepatitis C. Genus Flavivirus
memiliki anggota yang paling banyak yaitu lebih
dari 53 spesies, yang terbagi menjadi 12 kelompok
yang saling berhubungan secara serologis. Virus
West Nile merupakan salah satu spesies dari genus
Flavivirus selain beberapa spesies yang lain seperti
virus Dengue, Japanese Encephalitis, St. Louis
Encephalitis, Murray Valley Encephalitis.7 Seluruh
isolat virus West Nile berasal dari satu serotip namun
terbagi dalam dua lineage (garis keturunan) yaitu
lineage 1 dan 2.8 Perbedaan antar lineage 1 dan 2
terletak pada substitusi dan delesi asam amino yang
menyusun protein envelope. Virus west nile lineage
1 berasosiasi dengan penyakit pada manusia di
dunia, sedangkan lineage 2 hanya menginfeksi di
9
daerah endemis enzootik Afrika.
Dasar Molekuler
Genom dan protein virus
Virus west nile memiliki genom yang terdiri
dari satu single-stranded (ss) RNA yang dikelilingi
suatu nucleocapsid berbentuk icosahedral atau
isometrik. Genom virus west nile memiliki panjang
11.029 nukleotida. Sekuen nukleotida dari virus
West Nile telah diketahui mengkode tiga protein
struktural yang meliputi protein kapsid (C), protein
membrane (M), dan envelope (E). Selain itu, genom
virus West Nile juga mengkode tujuh protein non
struktural (NS). Secara keseluruhan, protein yang
dikode oleh genom virus West Nile adalah 5'-C-prM7
E-NS1-NS2A-NS2BNS3-NS4A-NS4B-NS5-3'.

UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Dinas Pasar Banjarnegara dan rekan-rekan semua
yang telah membantu pelaksanaan penelitian
sehingga berjalan lancar.
DAFTAR PUSTAKA
1.

Webster J, Macdonald D. Parasitic of wild brown rats
(Rattus norvegicus) on UK farms. Parasitology.
1995; 111: 247–55.

2. Stojcevic D, Mihaljevic Z, Marinculic A.
Parasitological survey of rats in rural regions of
Croatia. Vet Med - Czech. 2004; 3: 70–4.

Gambar 1. Struktur Virus West Nile yang Diamati di
Bawah Cryo-Electron Microskop.
Permukaan virion dengan salah satu unit
icosahedron asimetris yang ditandai dengan
gambar segitiga. Arah pelipatan icosahedron
ditunjukkan dengan label 5 dan 3 (A).
Potongan melintang menunjukkan lapisan
concentric yang padat. Virion core, lipid
bilayer dan protein E serta30protein M dapat
dibedakan dengan jelas (B).

Beberapa penelitian virus WN difokuskan
pada gen penyandi protein E yang berperan penting
dalam proses perlekatan virus dan proses masuknya
virus dalam sel inang. Protein E bertindak sebagai
target sistem imun dan memiliki variasi genetik yang
tinggi.10 Protein M disintesis dalam bentuk prekursor
protein (preM). Prekursor ini akan diproses menjadi
protein M dengan enzim convertase (furin) ketika
virus telah mengalami maturasi.11 Kapsid virus West
Nile berdiameter sekitar 30 nm dan terdiri dari dimer
protein C yang merupakan komponen dasar
penyusun nukleokapsid.8 Protein C ini terletak di
dalam virion dan tidak berhubungan dengan protein
E dan M yang berada di sisi dalam envelop virion.
Walaupun partikel nukleokapsid terdiri dari protein
C, namun dimer protein ini dapat dipisahkan dari
struktur nukleokapsid dengan perlakuan garam
12
dalam konsentrasi tinggi.
Protein NS1 merupakan suatu glikoprotein
yang berperan penting dalam viability virus karena
memiliki ikatan disulfida.13 NS1 berfungsi sebagai
kofaktor dalam proses replikasi RNA virus dan
merupakan satu-satunya protein nonstruktural yang
disekresi dalam jumlah yang banyak (lebih dari 50
ìg/ml) dalam serum pasien yang terinfeksi. Protein
ini juga diketahui berhubungan dengan tingkat
keparahan penyakit. 1 4 Banyak teori telah
dikembangkan terkait kontribusi protein NS1
terhadap mekanisme patogenik virus West Nile
diantaranya bahwa [1] protein tersebut dapat
memicu terbentuknya reaksi autoantibodi yang
berbahaya dalam tubuh inang,14 [2] antibodi anti NS1
akan menyerang sel-sel dalam jaringan tubuh inang
itu sendiri16 atau [3] adanya protein NS1 akan
menurunkan respon imun pasien terhadap virus West
Nile dengan mengurangi pengenalan terhadap sel
terinfeksi melalui sistem komplemen.17
NS2A merupakan protein membran
hidrofobik yang berperan penting dalam replikasi
RNA dan proses perakitan partikel virus.18 NS2A
juga merupakan suppressor utama proses transkripsi
interferon beta (IFN-â). Protein ini akan
menghambat respon interferon yang pada dasarnya
merupakan pertahanan awal di tubuh inang.19
NS2B merupakan protein dengan berat
molekul 15 kDa yang berperan untuk memfasilitsi
aktivitas protease protein NS3.20 NS2B berfungsi
memfasilitasi proses folding protein NS3 berjalan
secara ideal sehingga protein tersebut dapat bekerja
21,22
sebagai enzim protease.

99

Virus West Nile .......................(Bina Ikawati, dkk.)

Tengah, Eropa, dan terutama di Amerika Serikat
yang pada tahun 2012 mengalami wabah terburuk.
Pada tahun 2012, virus west nile (WN)
menewaskan 286 orang di Amerika Serikat, dengan
negara bagian Texas merupakan kawasan paling
parah terinfeksi oleh virus ini.1
Hasil penelitian Mynt menunjukkan bahwa
virus WN ditemukan pada serum pasien demam
akut di Pulau Jawa yang dikoleksi sejak tahun 2004
hingga 2005. Secara genotip, virus tersebut
2
teridentifikasi sebagai virus WN lineage 2.
Keberadaan virus west nile di Indonesia harus
diperhatikan karena pada tahun 2014 virus tersebut
telah menginfeksi 12 warga Surabaya yang dirawat
intensif di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya
melalui gigitan nyamuk Culex. Virus West Nile ini
terindikasi oleh dokter yang tergabung dalam
Institute of Tropical Disease Universitas Airlangga,
Surabaya.3
METODE
Review dilakukan dengan mengumpulkan
informasi dari berbagai jurnal, artikel ilmiah dan
buku teks mengenai virus west nile. Seluruh data
dikompilasi dan disusun secara sistematis
deskriptif untuk memberikan gambaran
menyeluruh mengenai virus west nile yang meliputi
epidemiologi, klasifikasi, dan dasar molekuler.
PEMBAHASAN
Epidemiologi
Pada manusia, masa inkubasi virus WN
antara 1-6 hari. Umumnya penyakit ini ringan
dengan gejala klinik demam, menggigil, nyeri
kepala, nyeri punggung, nyeri otot secara
menyeluruh, dan sulit tidur. Disamping itu, dapat
pula ditemukan gejala gangguan gastrointestinal
seperti mual, muntah, diare, dan nyeri lambung.
Kemudian suhu badan penderita dapat mencapai
40°C atau lebih. Pada umumnya, penderita akan
pulih sepenuhnya. Pada beberapa kasus, terutama
pada orang-orang berusia lanjut, akan berkembang
menjadi ensefalitis ataupun meningitis (infeksi
pada lapisan otak dan urat saraf tulang belakang)
yang berisiko menyebabkan kematian. Diagnosis
yang akurat akan membantu penderita untuk tidak
mengalami tahap yang lebih parah dari infeksi virus
3
West Nile.
Virus WN dapat menyebabkan komplikasi
berat pada semua golongan usia dan kondisi
kesehatan apapun sehingga sangat penting untuk

98

mengurangi risiko terjadinya infeksi. Virus ini
Serba
Serbi Parasit
keberadaannya di alam
terpelihara
oleh burung dan
nyamuk. Terdapat lebih dari 60 spesies nyamuk
yang dapat menularkan virus WN. Di Amerika
Utara dan Eropa ditemukan nyamuk penular
utamanya dari genus Culex, yaitu Culex pipiens
complex yang ornithophilic (menyukai darah
4
burung/unggas). Hasil penelitian di laboratorium
menunjukkan Aedes spp. berpotensi pula sebagai
vektor virus WN.5 Penularan virus WN harus
melalui vektor yaitu nyamuk. Unggas yang
terinfeksi berinteraksi dengan vektor agar dapat
menularkan ke hewan lain dan manusia. Kontak
langsung antara unggas yang diinfeksi virus WN
tidak terjadi karena tidak ditemukannya antibodi
dan virus pada tubuh unggas.5 Vektor akan
terinfeksi bila menghisap darah unggas yang
terinfeksi virus WN dan virus akan
berkembangbiak dalam beberapa hari pada tubuh
nyamuk, dan membawanya ke kelenjar air liur yang
siap ditularkan ke unggas atau manusia melalui
gigitannya. Pada unggas yang telah terinfeksi,
viremia dapat bertahan selama 4 hari, dan bila
burung tersebut sembuh maka antibodi akan
terbentuk dan bertahan sangat lama. 6
Pencegahan penularan virus WN dapat
dilakukan melalui peningkatan kegiatan surveilans.
Surveilans vektor dapat dilakukan melalui
pengendalian populasi nyamuk serta mencegah
gigitan nyamuk. Pengamatan terhadap lingkungan
utamanya pada unggas yang dipelihara dalam
jumlah banyak (ekstensif) dan burung liar perlu
pula diwaspadai adanya virus WN. Hasil penelitian
menunjukkan burung yang dipelihara secara
intensif lebih sedikit kemungkinan untuk positif
virus WN. Unggas yang terkena virus WN dapat
tidak menimbulkan gejala sakit dan apabila
bergejala mempunyai ciri gejala syaraf seperti,
perdarahan pada miokardium, dan perdarahan dan
nekrosis pada saluran pencernaan. Unggas yang
terkena virus WN tidak dapat menularkan virus
tersebut secara langsung. 6
Klasifikasi
Virus West Nile merupakan anggota family
Flaviviridae dari genus Flavivirus. Famili
Flaviviridae terbagi menjadi 3 genera yaitu:
Flavivirus, Pestivirus dan Hepacivirus. Genus
Pestivirus terdiri dari 4 spesies virus yang
merupakan kelompok patogen pada hewan antara
lain: Bovine Viral Diarrhea Virus tipe 1 dan 2,

BALABA Vol. 10 No. 02, Desember 2014: 53-58

3. Ruiz. Rodents in disasters. USA: Pan American
Health Org.; 2004:18.
4.

Battersby SA, Parsons R, Webster JP. Urban rat
infestations and the risk to public health. J Environ
Hlth Res. 2002; 1: 4–12.

5. Belding DL. Capillaria Hepatica. In: Textbook Of
Parasitology. 3rd Edition. New York: AppletonCentury-Crofts; 1965: 402–3.
6. Lloyds S, Elwood CM, Smith KC. Capillaria
hepatica infection in a British dog. Vet Rec. 2002;
151: 419-20.

Baltimore, Maryland. J O Parasitol. 1977; 63: 117 –
22.
17. Ahmad MS, Maqbool A, Mahmood-ul-Hassan M,
Mushtaq-ul-Hassan M, Anjum AA. Capillaria
hepatica (nematode) in rodents of the lahore
metropolis corporation-Pakistan. J Anim Plant Sci.
2011; 21 (4): 787–93.
18. Stojcevic D, Marinculic A, Mihaljevic Z. Prevalence
of Capillaria hepatica in norway rats (Rattus
norvegicus) in Croatia. Vet Arh. 2002; 72 (3): 141–9.

7. Urquhart GM, Armour J, Duncan AM, Dunn JL,
Jennings SW. Textbook of veterinary parasitology.
United Kingdom: Longman; 1987.

19. Claveria FG, Causapin J, Guzman MA, Toledo MG,
Salibay C. Parasite biodiversity in Rattus spp. caught
in wet markets. Southeast Asian J Trop Med Public
Heal. 2005; 36: 146–8.

8. Abu-Madi MA, Lewis JW, Mikhail M, El-Nagger
ME, Behnke JM. Monospecific helminths and
arthropod infections. J Helminthol. 2001; 75: 313–20.

20. Stojcevic D, Marinculic A, Mihaljevic Z. Prevalence
of Capillaria hepatica in norway rats (Rattus
norvegicus) in Croatia. Vet Arh. 2002; 72 (3): 141–9.

9.

21. Kumar V, Brandt J, Mortelmans J. Hepatic
capillariasis may simulate the syndrome of visceral
larva migrans, an analysis. Ann Soc Belge Med Trop.
1985; 65: 101–4.

Seong J, Huh S, Lee J, Oh Y. Helminth in Rattus
norvegicus capture in Chunchon, Korea. Korean J
Parasitol. 1995; 33 (3): 235–7.

10. Maff. Ministry of agriculture, fisheries and food.
Manual Of Veterinary Parasitology. UK: Her
Majesty’s Stationery Office; 1971.

22. Sandjaja B. Helmintologi Kedokteran. Jakarta:
Prestasi Pustaka; 2007.

11. Fuehrer H-P, Igel P, Auer H. Capillaria hepatica in
man: an overview of hepatic capillariosis and
spurious infections. Parasitol Res.

23. Fuehrer H-P, Igel P, Auer H. Capillaria hepatica in
man-an overview of hepatic capillariosis and
spurious infections. Parasitol Res. 2011; 109 (4):
969–79.

12. Goswami R, Singh SM, Kataria M, Somvanshi R.
Clinicopathological studies on spontaneous
Hymenolepis diminuta infection in wild and
laboratory rats. Braz J Vet Pathol. 2011; 4 (2): 103–11.
13. Souza MV de, Sianto L, Chame M, Ferreira LF,
Araujo A. Syphacia sp. (Nematoda: Oxyuridae) in
coprolites of Kerodon rupestris Wied, 1820
(Rodentia: Caviidae) from 5,300 years BP in
Northeastern Brazil. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio
Janeiro. 2012; 107 (4): 539–42.
14. Ceruti R, Sonzogni O, Origgi F, et al. Capillaria
hepatica infection in wild brown rats (Rattus
norvegicus) from the urban area of Millan, Italy. J Vet
Med. 2001; 48: 235-40.
15. Davoust B, Boni M, Branquet D, Ducos De Lahitte J,
Martet G. Research on three parasitic infestations in
rats captured in Marseille: evaluation of the zoonotic
risk. Bull Natl Acad Med. 1997; 181: 887 – 97.
16. Farhang-Azad A. Ecology of Capillaria hepatica
(Bancroft, 1893) (Nematoda): dynamics of infection
among norway rat populations of the Baltimore Zoo,

24. Al-Zihiry K. Some intestinal helminths of norway rat
Rattus norvegicus (Berkenhout, 1769) in Basrah,
Iraq. J Univ Thi-Qar. 2006; 2 (1): 45–56.
25. Tutsyntain R. Pemeriksaan endoparasit pada tikus
(Rattus spp.) di Desa Citereup Kecamatan Dayeuh
Kolot Kabupaten Bandung Jawa Barat tahun 2013.
Data tidak dipublikasikan. Banjarnegara: Balai
Litbang P2B2 Banjarnegara; 2013.
26. Tena D, Gimeno C, Pomata TP, et al. Human infection
with Hymenolepis diminuta: Case Report from Spain.
J Clin Microbiol. 1998; 36 (8): 2375–77.
27. Marangi M, Zechini B, Fileti A, Quaranta G, Aceti A.
Hymenolepis diminuta infection in a child living in
the urban area of Rome, Italy. J Clin Microbiol. 2003;
41 (8): 3994–5.
28. Patamia I, Cappello E, Castellano-Chiodo D, Greco F,
Nigro L, Cacopardo B. A human case of Hymenolepis
diminuta in a child from eastern Sicily. Korean J
Parasitol. 2010; 48 (2): 167–9.

57

Identifikasi Telur Cacing........(Dyah Widiastuti, dkk.)

29. Ahmed RK, Koyee QMK, Rahemo ZIF. Intestinal
parasites of experimental rodents with testing the
efficacy of diagnostic methods. Int Res J Pharm.
2012; 2 (3): 77–81.
30. Fitriyanto B. Pemeriksaan endoparasit pada tikus di
Balai Litbang P2B2 Banjarnegara. Data tidak
dipublikasikan. Banjarnegara: Balai Litbang P2B2
Banjarnegara; 2012.

33. Sinniah B, Manmohan S, Khairul A. Preliminary
survey of Capillaria hepatica (Bancroft, 1893) in
Malaysia. J Helminthol. 1979; 53: 147–52.
34. Kataranovski M, Mirkov I, Belij S, et al. Intestinal
helminths infection of rats (Rattus norvegicus) in the
Belgrade area (Serbia): the effect of sex, age and
habitat. Parasite. 2011; 18: 189–96.

31. Kia E, Homayouni M, Farahnak A, Mohebali M,
Shojai S. Study of endoparasites of rodents and their
zoonotic importance In Ahvaz, South West Iran. Iran J
Publ Heal. 2001; 30 (1-2): 49–52.

35. Tung K-C, Hsiao F-C, Wang K-S, Yang C-H, Lai CH. Study of the endoparasitic fauna of commensal
rats and shrews caught in traditional wet markets in
Taichung City, Taiwan. J Microbiol Immunol Infect.
2013; 46: 85–8.

32. Paramasvaran S, Sani R., Hassan L, et al.
Endoparasite fauna of rodents caught in five wet
markets in Kuala Lumpur and its potential zoonotic
implications. Trop Biomed. 2009; 26 (1): 67–72.

36. NPMA. Why rodents are a danger to health and home.
2013. [cited 2013 August 21]. Available at:
http://www.pestworld.org/news-and-views/pestarticles/articles/health-threats-posed-by-rodents/.

BALABA Vol. 10 No. 21, Desember 2014: 97-102

VIRUS WEST NILE: EPIDEMIOLOGI, KLASIFIKASI DAN DASAR MOLEKULER
WEST NILE VIRUS: EPIDEMIOLOGY, CLASSIFICATION AND MOLECULAR BASIC
Bina Ikawati, Dyah Widiastuti, Puji Astuti
Balai Litbang P2B2 Banjarnegara
Jl. Selamanik No. 16A Banjarnegara, Jawa Tengah, Indonesia
E_mail: bina.ikawati@gmail.com
Received date: 16/5/2014, Revised date: 11/11/2014, Accepted date: 13/11/2014

ABSTRAK
Virus west nile (WN) dapat menimbulkan penyakit yang ditularkan melalui nyamuk. Di Indonesia virus west nile mulai
diperhatikan karena menginfeksi 12 warga Surabaya pada tahun 2014. Pemahaman mengenai virus west nile ditinjau dari
aspek epidemiologi, klasifikasi dan dasar molekuler diperlukan untuk mengenal apa dan bagaimana sifat dari virus WN
dalam rangka upaya deteksi dini dan pencegahan terjadinya KLB virus WN. Tulisan ini merupakan telaah dengan
mengumpulkan informasi dari berbagai jurnal dan buku teks mengenai virus west nile. Secara epidemiologi virus dapat
tersebar melalui vektor nyamuk utamanya Culex sp., dan Aedes sp. sebagai vektor sekunder. Virus ini di alam juga
ditemukan pada burung/unggas. Penularan virus melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi ke hewan dan manusia. Virus west
nile merupakan anggota famili Flaviviridae dari genus Flavivirus. Virus ini memiliki genom yang terdiri dari satu singlestranded (ss) RNA yang dikelilingi suatu nucleocapsid berbentuk icosahedral atau isometric. Genom virus west nile
memiliki panjang 11.029 nukleotida. Upaya pencegahan terhadap infeksi virus WN dapat dilakukan dengan mengendalikan
populasi nyamuk, mengurangi gigitan nyamuk, dan secara berkala melakukan survei pada unggas/burung utamanya yang
dipelihara dalam skala besar maupun yang sedang bermigrasi.
Kata kunci: virus west nile, epidemiologi, klasifikasi, dasar molekuler
ABSTRACT
West nile (WN) virus can cause a disease transmitted by mosquitoes. West nile virus in Indonesia should be noted because it
has infected 12 people in the early 2014. A good understanding of west nile virus in terms of epidemiology, classification and
molecular basis was needed to know about WN virus properties and ultimately early detection and prevention of WN virus
outbreaks can be performed precisely. A literature review was arranged by collecting information from various journals and
textbooks about west nile Virus. WN virus can be transmitted by Culex sp. as the main mosquito vector, however Aedes sp.
also potential as secondary vector. WN virus presence was maintained in nature through its life cycle in birds or poultry. The
transmission can only occure through an infected mosquito bitting to other animals and humans. West nile virus is a member
of genus Flavivirus from family Flaviviridae. West nile virus has a genome consisted of a single-stranded (ss) RNA
surrounded by an icosahedral nucleocapsid. West nile virus genome has 11,029 nucleotides. Prevention efforts toward WN
virus infection can be done by performing mosquito control, reducing mosquito bites, and conducting periodical surveys in
migrating birds or large-scale poultry.
Key words: west nile virus, epidemiology, classification, molecular basic

PENDAHULUAN
Virus west nile adalah virus yang dapat
menimbulkan penyakit dan ditularkan melalui
nyamuk di daerah beriklim sedang dan tropis. Virus
ini pertama kali diidentifikasi di sungai Nil bagian
barat Uganda, Afrika Timur, pada tahun 1937.
Sebelum pertengahan 1990-an, penyakit ini hanya
terjadi sporadis dan hanya berisiko kecil bagi
manusia, sampai terjadi wabah di Aljazair pada tahun
1994 dan wabah besar di Rumania pada tahun 1996

58

dengan kasus ensefalitis (peradangan akut pada
otak). 1
Virus west nile saat ini telah menyebar secara
global, dengan kasus pertama di bagian barat
diidentifikasi di New York City pada tahun 1999.
Penyebaran virus di benua Amerika Serikat, dari
utara Kanada sampai kepulauan Karibia dan
Amerika Latin. Virus ini juga telah menyebar ke
Eropa, di daerah luar Mediterania. Virus west nile
kini endemik di Afrika, Asia, Australia, Timur

97

Dokumen yang terkait

FAKTOR RISIKO KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) DEMAM CHIKUNGUNYA DI KECAMATAN BATANG TORU, KABUPATEN TAPANULI SELATAN SUMATERA UTARA TAHUN 2014 RISK FACTORS OF CHIKUNGUNYA FEVER OUTBREAK IN BATANG TORU SUB-DISTRICT, SOUTH TAPANULI DISTRICT, NORTH SUMATERA, 2014

0 0 8

GAMBARAN PEMANFAATAN KARTU PENDERITA MALARIA SEBAGAI UPAYA PEMANTAUAN PENGOBATAN MALARIA VIVAX (STUDI KASUS DI PUSKESMAS WANADADI I DAN BANJARMANGU I, KABUPATEN BANJARNEGARA) DESCRIPTION OF MALARIA CARD UTILIZE AS EFFORT TO CONTROL OF MALARIA VIVAX THERAP

0 0 6

KEWASPADAAN DINI KEJADIAN LEPTOSPIROSIS DI DESA SELANDAKA KECAMATAN SUMPIUH KABUPATEN BANYUMAS TAHUN 2013 EARLY WARNING OF LEPTOSPIROSIS IN SELANDAKA VILLAGE, SUMPIUH SUB DISTRICT, BANYUMAS DISTRICT AT 2013

0 0 6

EFEKTIVITAS EKSTRAK BIJI JARAK MERAH (Jatropha gossypiifolia), JARAK PAGAR (J. curcas) DAN JARAK KASTOR (Riccinus communis) FAMILI EUPHORBIACEAE TERHADAP HOSPES PERANTARA SCHISTOSOMIASIS, KEONG Oncomelania hupensis lindoensis THE EFFECTIVITY OF Jatropha g

0 1 6

DISTRIBUSI SPASIAL DEMAM BERDARAH DENGUE DI KABUPATEN BANYUMAS, PROVINSI JAWA TENGAH SPATIAL DISTRIBUTION OF DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER CASES IN BANYUMAS DISTRICT, CENTRAL JAVA PROVINCE

0 0 8

HEALTH PROMOTION IN THE CONTROL OF FILARIASIS

0 0 8

EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN KETEPENG (Cassia alata L.) DAN KETEPENG KECIL (Cassia tora L.)TERHADAP Plasmodium Falciparum SECARA IN VITRO

1 1 6

LOTION PREPARATION FROM Piper betle L. ESSENTIAL OIL WITH THE ADDITION OF PATCHOULI OIL AS AN Aedes aegypti REPELLENT

0 0 6

LARVAE DENSITY OF DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF) VECTOR Aedes sp. IN ENDEMIC, SPORADIC AND POTENTIAL AREA IN SEMARANG CITY, CENTRAL JAVA PROVINCE

0 1 6

SEROPOSITIVE OF TOXOPLASMOSIS ON STRAY CATS IN BANJARNEGARA DISTRICT PUBLIC PLACES

0 0 6