Zakat dan Keadilan Ekonomi

  • Zakat dan Keadilan Ekonomi

  Oleh Syafruddin Karimi Ph.D Sebagai sebuah sistem ekonomi, Islam memberi peran sentral pada aspek keadilan. Ketidakadilan ekonomi adalah musuh yang harus dilawan. Ketidakadilan bukanlah fenomena temporal, tetapi bersifat permanen. Karena itu instrumen untuk mengatasi ketidakadilan mesti pula bersifat permanen. Islam memperkenalkan zakat dan melarang pembungaan uang sebagai kebijakan ekonomi makro yang memiliki fondasi mikro. Islam memberi tempat kepada pemerintah sebagai pengambil kebijakan yang bertanggungjawab menegakkan keadilan distribusi. Pemerintah memiliki kekuasaan mengumpulkan sumberdaya dari masyarakat dan membagikannya kembali kepada masyarakat dengan menggunakan instrumen fiskal. Pemerintah juga memiliki kekuasaan untuk menambah atau mengurangi uang yang beredar di dalam masyarakat melalui instrumen moneter.

  Tulisan ini hanya akan mendiskusikan peran zakat sebagai instrumen fiskal. Di dalam sistem ekonomi di mana kita hidup sekarang, kebijakan fiskal memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk memungut pajak dari rakyat. Kemudian mengeluarkan kembali pendapatan dari pajak untuk membiayai proyek proyek kepentingan masyarakat.

  Indonesia dengan penduduk sekitar 210 juta jiwa, sebanyak 90% di antaranya adalah penduduk yang memeluk agama Islam. Setelah krisis ekonomi sekitar 100 juta penduduk Indonesia menjadi miskin. Dengan proporsi Muslim sebesar 90% berarti * pemeluk Islam yang masuk kategori miskin berjumlah sekitar 90 juta jiwa.

  Disampaikan dalam Muzakkarah Ramadan 1420, Universitas Andalas, 24 Desember 1999.

  Penduduk miskin sering dianggap sebagai parasit di dalam masyarakat. Karena itu pemerintah mengambil kebijakan membasmi kemiskinan. Upaya pembasmian kemiskinan bukan suatu hal baru bagi Indonesia. Sejak tiga dasawarsa yang lalu, kita telah melibatkan diri dalam upaya membasmi kemiskinan. Selama ini kita memiliki paradigma bahwa penyebab utama kemiskinan adalah tingkat kelahiran yang disebut program KB. Jumlah anak yang layak dimiliki setiap keluarga harus dibatasi. Paradigma lama yang mengatakan bahwa banyak anak banyak rezki yang lahir dari nilai yang menyatakan bahwa setiap makluk hidup dijamin rezkinya oleh Allah kita coba menggoyahkan. Norma baru yang kita bangun adalah keluarga kecil keluarga bahagia, laki-laki atau perempuan sama saja. Semua ini kita lakukan dengan menggunakan pinjaman luar negeri.

  Tingkat kelahiran penduduk agaknya sudah turun sangat besar dibanding tidak ada program KB. Tetapi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi masih merupakan ancaman bagi stabilitas masyarakat kita. Penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi telah pula menjadi program pemerintah sejak dari rezim orba, reformasi, dan demokrasi. Hingga kini program program dimaksud masih dominan dibiayai dari pinjaman luar negeri. Kelihatannya hal ini akan berlanjut. Karena lembaga-lembaga keuangan dan pembangunan internasional sedang melihat bahwa proyek proyek kemiskinan menguntungkan untuk dimasuki. Pendekatan yang akan diperkenalkan adalah alternatif terhadap pendekatan rembesan ke bawah yang diakui kegagalannya oleh Bank Dunia. Pendekatan pembangunan komprehensif yang telah disebut sebagai alternatif memberi tempat sentral bagi peran masyarakat madani dan modal masyarakat.

  Apakah kita perlu melanjutkan program penanggulangan kemiskinan dengan pinjaman luar negeri? Program penanggulangan kemiskinan yang dibiayai dari utang luar negeri selama ini gagal memenuhi janjinya. Kemiskinan pernah berkurang jumlah absolutnya, tetapi tidak kemiskinan dalam arti relatif. Kemiskinan relatif tetap meningkat, walaupun kemiskinan absolut menurun. Tambahan pula penurunan tingkat sangat dominan dipengaruhi oleh reaksi aliran modal luar negeri, nilai tukar rupiah, dan politik global. Akibatnya nasib saudara kita yang miskin kita serahkan kepada orang asing.

  Selama ini peran masyarakat tidak mendapat tempat otonom sehingga sulit mencari solusi sendiri terhadap persoalan yang dihadapinya. Peran pemerintah lebih dominan sebagai agen pembangunan. Sayangnya peran yang dimainkan pemerintah sangat diwarnai oleh kepentingan pemberi pinjaman. Akibatnya masyarakat yang semestinya berdaulat hanya menjadi objek pembangunan. Karena itu pembangunan dalam abad baru akan mengembalikan peran masyarakat sebagai subjek yang otonom dan pro-aktif.

  Kalau kita melihat perubahan global yang terjadi dan kondisi objektif bangsa kita, maka ummat Islam perlu menyadari kembali posisinya baik sebagai individu maupun kolektif masyarakat. Ummat Islam harus menjadi yang tidak terpisahkan dengan ajaran Islam yang bersifat komprenhensif mengatur setiap aspek kehidupan bermasyarakat. Ajaran Islam harus menjadi bagian dari etika kehidupan publik di mana ummat Islam menjadi mesinnya. Bahwa Islam adalah rahmat bagi sekalian alam harus menjadi tanggung jawab ummat Islam sebagai kelompok mayoritas untuk membuktikannya. Besarnya ummat Islam yang berada dalam kondisi kemiskinan mewajibkan ummat Islam mencari solusi fundamental dan permanen. Dalam hal ini zakat memegang peran yang sangat penting dan strategis. Kelembagaan zakat harus segera dibenahi sebagai milik masyarakat yang otonom. Pembenahannya harus mulai secara operasional dari bawah, dari kelompok jamaah. Sementara pembenahan strategis kebijakan harus mulai dari pusat. Organisasi ummat akan menjadi penting untuk mengembalikan misi dan orientasinya kepada tempat yang betul betul Jangan mengurus politik. Organisasi ummat harus bebas dari segala bentuk intervensi politik atau alat politik penguasa dan siapa saja yang berminat menjadi penguasa.

  Dengan demikian aliansi antar organisasi ummat akan terjadi.

  Zakat sebagai alat membasmi kemiskinan tidak akan dapat kita gerakkan secara efektif bila organisasi ummat tidak profesional dan tidak efektif. Organisasi ummat harus menjadi pelayan ummat, bukan kendaraan untuk menuju kekuasaan. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa organisasi ummat kurang memiliki orientasi keummatan. Lebih menonjol orientasi untuk dukung mendukung calon penguasa. Sementara persoalan ummat yang menderita kemiskinan terabaikan seperti tanpa sengaja. Ketika pedagang kemurtadan berhasil membeli kemiskinan ummat, kita baru tersentak dan kita sadar telah terjual. Apakah kita benar benar terbangun dari tidur pulas kita? Kalau kita benar benar sudah bangun, maka harus kita buktikan dengan menyusun langkah strategis untuk menyusun kekuatan ummat yang mandiri, otonom dan pro-aktif tanpa menciptakan utang buat anak bangsa. Zakat harus kita lembagakan sebagai kewajiban bagi sebagian ummat dan hak bagi sebagian ummat yang lain. Dengan cara itu kita kembali membangun persaudaraan Islam yang kurang dirasakan oleh sebagian saudara kita yang kurang beruntung. Tidak perlu kita menyampaikan kelemahan kita ke hadapan publik seperti terjadi akhir-akhir ini.

  Karena itu hanya akan memperlemah posisi strategis kita sebagai pemegang saham mayoritas dalam republik ini. Yang perlu kita lakukan adalah membuat aliansi kekuatan ummat, lalu menyusun rencana strategis dan program aksi.

  Dari mana kita harus memulai aliansi kekuatan ummat? Mesjid sebagai pusat kehidupan ummat harus efektifkan fungsinya. Kita memahami bahwa mesjid bukan hanya tempat ritual melaksanakan shalat berjama'ah saja. Tetapi ia berperan juga sebagai rujukan setiap warga sekitar, tempat berbagi suka dan duka di dalam kehidupan religius, sosial dan ekonomi. Fakta yang kita hadapi belum memperlihatkan fungsi mesjid seperti yang kita pahami dan kita harapkan. Masjid adalah unit kelembagaan kaum Muslimin sedunia yang dapat berfungsi secara global kalau kita menyadari dan punya kemauan.

  Lalu kita harus mulai dari mana? Kita mulai dari kelembagaan mesjid pada tingkat lokal. Kita gerakkan fungsi mesjid lokal secara perlahan untuk menjawab persoalan masyarakat sekitar yang berada di dalam jangkauan pengaruhnya. Pertama organisasi dan manajemen mesjid harus memiliki good governance. Pengurusnya harus menampakkan akhlak yang mulia dalam setiap aspek kehidupan, terutama yang berkaitan dengan masalah publik jamaah mesjid. Organisasinya berjalan stabil, akuntabel, transparan dan mendapat dukungan warga secara luas. Rasa memiliki mesjid harus sudah berjalan secara spontan. Mesjid harus sensitif dengan kebutuhan warga sekitar, baik kebutuhan sosial maupun kebutuhan ekonomi. Informasi tentang warga harus menjadi kepedulian mesjid sebagai lembaga milik ummat. Mesjid harus menjadi basisi pengumpulan dan pendistribusian zakat. Untuk itu masjid harus memiliki informasi yang lengkap tentang warga. Berapa banyak warga yang telah berada dalam posisi wajib zakat, berapa banyak pula yang berhak menerima zakat.

  Bila mesjid bisa berperan membantu warga sekitar memenuhi kebutuhannya mulai dari aspek spiritual keimanan dan ketaqwaan sampai kepada aspek material bisnis, ekonomi dan sosial, kekuatan ummat akan muncul. Ummat Islam akan merasakan bahwa ia memiliki sebuah masyarakat yang mempedulikan dirinya sebagai pribadi. Rasa memiliki masyarakatpun akan tumbuh pula dari ummat secara berorientasi kepada perbaikan kehidupan ummat yang sehat secara lahir dan batin.

  Partisipasi setiap warga harus digerakkan, dibangun dan dipelihara hingga spontan berkelanjutan untuk membangun ummat dari bawah. Pesaudaraan Islam harus dimulai dari lapisan kelembagaan palaing bawah, yaitu mesjid. Pengurus mesjid harus mulai meengindentifikasi kapasitas warga sekitarnya dari semua aspek, baik spiritual maupun material. Dengan pengetahuan itu, rencana strategis pengembangan masyarakat akan dapat disusun bersama warga.