SANGIRAN KEKAYAAN SEJARAH BANGSA SEBAGAI

SANGIRAN: KEKAYAAN SEJARAH BANGSA
SEBAGAI WARISAN BUDAYA DUNIA

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Metodologi dan Historiografi II yang
diampu oleh Bapak Drs. Tri Yunianto, M. Pd.

Oleh :
Eka Ayu Widuri
K4411022

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014

SITUS SANGIRAN: KEKAYAAN SEJARAH BANGSA
SEBAGAI WARISAN BUDAYA DUNIA

Situs adalah suatu wilayah yang menyimpan benda-benda peninggalan sejarah

yang bermanfaat untuk penelitian, ilmu pengetahuan dan teknologi. Sangiran
merupakan sebuah situs manusia purba terpenting di Indonesia, bahkan terkemuka di
dunia karena termasuk salah satu dari sedikit situs hominid dunia. Letak Situs Sangiran
berada 15 Km di sebelah utara Kota Solo. Luas Situs Sangiran meliputi empat wilayah
administratif yaitu Kalijambe, Gemolong, dan Plupuh yang masuk Kabupaten Sragen,
serta wilayah Gondangrejo yang masuk Kabupaten Karanganyar (Simanjuntak, dkk.,
1998).
Situs ini memiliki luas kurang lebih 56 km2 dan banyak menyimpan
peninggalan masa lalu berupa sisa-sisa kehidupan manusia purba, fosil fauna, fosil
tumbuhan, artefak, dan data lapisan tanah yang terendapkan secara alamiah tidak
kurang dari 2 juta tahun silam yang merupakan sumber ilmu pengetahuan untuk
memahami kehidupan masa lalu. Besarnya potensi kandungan Situs Sangiran yang
sangat signifikan bagi pemahaman evolusi manusia, lingkungan, dan budayanya
selama 2 juta tahun tanpa terputus, membuat situs ini ditetapkan oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia sebagai cagar budaya tahun 1977, dan bahkan
pada tahun 1996 mendapatkan pengakuan dunia sebagai situs yang terdaftar dalam
World Heritage List (Warisan Budaya Dunia) UNESCO nomor C593 pada tahun 1996

dengan nama The Sangiran Early man Site.
Prestasi Sangiran yang mendunia ini tidak dapat dilepaskan dari kerja keras

para peneliti. G.H.R. Von Koenigswald merupakan orang pertama yang menemukan
Situa Sangiran pada tahun 1934 berdasarkan penemuan alat-alat serpih di Desa
Ngebung. Dua tahun kemudian ditemukan fosil manusia purba yang kelak dikemudian
hari dinamakan Homo Erectus.
Pada era setelah kemerdekaan, muncul anak-anak bangsa yang mempunyai
perhatian khusus terhadap penelitian di Sangiran. Mereka asalah Prof. Dr. RP.
Soejono, Prof. Dr. T. Jacob, dan Prof. Dr. R. Sartono yang masing-masing menekuni
bidang prasejarah, paleanthropologi, dan geologi. Ketiga ilmu tersebut berkaitan dan

bersifat melengkapi untuk mengungkap aspek-aspek kehidupan dan lingkungan purba
Sangiran. Hingga sekarang tokoh-tokoh di atas telah diganti oleh generasi penerus
mereka, yaitu Prof. Dr. Truman Simanjuntak menekuni bidang artefak, Dr. Hary
Widiantoro membidangi manusia purba, serta Prof. Dr. Yahdi Zaim dan Dr. Tony
Djubiantoro yang menekuni bidang geologi Sangiran.
Situs Sangiran berada pada bentang Solo Depression yang dibatasi oleh
Gunung Lawu di timur dan Gunung Merapi-Merbabu di barat, serta Pegunungan
Kendeng di utara dan Pegunungan Sewu di selatan. Situs ini merupakan sebuah kubah
yang dinamakan Kubah Sangiran. Secara geomorfologis, kubah ini terbentuk oleh
proses pengangkatan akibat tenaga endogen dan kemudian bagian puncak kubah
terbuka melalui proses erosi, sehingga membentuk cekungan besar di pusat kubah

yang diwarnai oleh perbukitan bergelombang. Pada cekungan itulah dapat ditemukan
lapisan tanah yang mengandung informasi tentang kehidupan di masa lampau, ditinjau
dari aspek paleoantropologis, paleontologis, geologis maupun arkeologis. (Widianto
dan Simanjuntak, 2009).
Di Situs Sangiran terekam rangkaian lapisan litologi yang lengkap serta
berkelanjutan mulai sejak akhir Kala Pliosen Atas hingga lapisan resen. Mulai dari
formasi Kalibeng yang tertua berumur sekitar 2,4-1,8 Juta tahun berupa lempung biru
dari lingkungan laut dalam. Diatasnya adalah formasi Pucangan yang berasal dari Kala
Plestosen Bawah berumur 1,8-0,73 Juta tahun berupa lahar serta endapan lempung
hitam berfasies vulkanik dan rawa. Disusul oleh formasi kabuh yang berasal dari Kala
Plestosen Tengah berumur 0,73-0,20 Juta tahun berupa endapan pasir fluvio-volkanik
yang mencerminkan lingkungan daratan. Setelah itu adalah formasi Notopuro yang
berasal dari Kala Plestosen Akhir berumur 0,25-0,12 Juta tahun berupa lahar dan pasirgravel fluvio-volkanik. Di bagian paling atas Situs Sangiran berupa endapan resen
alluvial Kali Cemoro, Brangkal dan Pohjajar.

A. Terbentuknya Kubah Sangiran
Kekayaan jejak paleontologi dan paleontropologi Pulau Jawa mulai terungkap
sejak tahun 1931 ketika van Es dan Koenigswal tahun 1934 melakukan penelitian di
Sangiran. Penemuan-penemuan fosil di Sangiran sebagai akibat dari tersingkapnya


Kubah Sangiran. Singkapan Kubah Sangiran ini memperlihatkan lapisan-lapisan
(formasi) yang menunjukkan urutan pertanggalan bagian awal dari kehidupan manusia
dan lingkungannya. Dalam lapisan di Sangiran ini ditemukan berbagai fosil dan sisasisa kehidupan dari jutaan tahun yang lalu, yang menjadi satu-satunya sumber otentik
untuk menyusun sejarah kehidupan yang telah berusia ratusan ribu sampai jutaan tahun
yang telah lalu. Pembentukan Kubah ini melalui tahapan yang panjang, Kartodirdjo,
Poesponegoro, dan Notosusanto (1997) menjelaskan:
Pada waktu itu Pulau Jawa sedang mengalami pembentukan; letusan gunung
berapi terjadi yang diselingi oleh genang laut. Hasil kegiatan vulkanik dari
gunung Lawu tua itu mencapai pula pegunungan Kendeng yang terletak
disebelah utara Sangiran, yang kemudian bendungan untuk air sungai yang
mengalir dari lereng gunung Lawu tua, pegunungan Kendeng serta
pegunungan selatan sehingga mengakibatkan terjadinya danau luas di
Sangiran. Endapan danau yang berupa lempung hitam merupakan salah satu
unsur dalam formasi Pucangan (Plestosen Bawah). Formasi Pucangan yang
tebal seluruhnya 540 m ini terletak di atas formasi Kalibeng (Pliosin Atas)
dan dibawah formasi Kabuh (Plestosin Tengah) (hlm. 35-36).
Di formasi-formasi inilah banyak ditemukan fosil dari zaman purbakala, baik
berupa fosil tumbuh-tumbuhan, vertebrata, binatang air tawar dan air laut, hingga fosil
manusia purba. Pada tahun 1936-1941 Von Koenigswald menemukan fosil-fosil
rahang, gigi dan tengkorak. Ditemukan bagian-bagian tubuh Pithecanthropus erectus,

Pithecanthropus soloensis, dan Meganthropus paloejavanicus. Selain itu ditemukan

pula fosil-fosil binatang vertebrata seperti gajah purba (Stegodon trigonocephalus),
kerbau purba (Bubalus paleokarabau), harimau purba (Felis paleojavanica ). Terdapat
pula binatang air seperti kerang air tawar, kerang air laut, moluska, hingga gigi ikan
hiu. Sisa-sisa peralatan manusia purba juga ditemukan di Sangiran seperti alat-alat
serpih yang dapat dibedakan menjadi serut, lancipan dan gurdi. Ditemukan pula alatalat bilah yang meliputi jenis-jenis pisau dan serut (Kartodirdjo, dkk., 1997).
Secara rinci Harmadi, dkk., (2012) menjelaskan terbentuknya Kubah
Sangiran, yaitu sebagai berikut. Selama kurun waktu 2 juta tahun, Sangiran telah
mengalami perubahan lingkungan. Melalui proses geologi berupa pergeseran lempeng
tektonik, aktivitas gunung api, dan perubahan muka air laut. Sangiran setidaknya telah
mengalami tiga perubahan lingkungan laut menjadi lingkungan rawa, dan kemudian

berubah menjadi lingkungan daratan seperti sekarang ini. Informasi perubahan
lingkungan ini diperoeleh dengan mencermati lapisan-lapisan tanah yang ada di
Sangiran, karena setiap lapisan tanah di Sangiran menyimpan informasi yang berbeda
mengenai lingkungan saat itu. Perubahan lingkungan Sangiran secara garis besar dapat
dideskripsikan sebagai berikut: Formasi Kalibeng berusia 2,4 juta tahun silam
menunjukkan lingkungan Sangiran saat itu merupakan lingkungan laut dalam pada
Cekungan Solo (Solo Depresion diantara Gunung Lawu dan Merapi Purba).

Pada 1,8 juta tahun silam diendapkan lahar Gunung Lawu Purba, tempat
berdirinya Museum Sangiran saat ini. Berikutnya diendapkan endapan rawa pada 1,8 –
0,9 juta tahun yang lalu, dan kedua jenis lapisan tanah tersebut disebut formasi
Pucangan. Formasi ini mencerminkan lingkungan rawa di Sangiran yang berlangsung
lebih dari 1 juta tahun. Pada sekitar 0,9 juta tahun yang lalu, terjadi erosi dari
Pegunungan Kendeng di bagian utara berupa pasir dan kerikil, serta gamping dari
Pegunungan Selatan yang diendapkan di Sangiran dan membentuk konkresi keras
yang saat ini disebut dengan grenzbank. Dengan diendapkannya grenzbank tersebut
Sangiran berubah dari lingkungan pengendapan laut menjadi pengendapan darat. Sejak
saat itu laut telah mundur untuk selamanya dari Sangiran.
Selama kurang lebih 2,4 juta tahun, teah terbentuk lima formasi tanah di
Sangiran, yaitu Formasi Kalibeng (2,4 juta tahun silam). Formasi Pucangan (1,8 juta
tahun silam), grenzbank (900.000 tahun silam). Formasi Kabuh (700.000 tahun silam),
dan Formasi Notopuro (250.000 tahun silam). Proses geologi pun terus bekerja di
Sangiran. Sekitar 100 ribu tahun silam terjadi deformasi perlapisan tanah akibat
pergerakkan endogen maupun eksogen, sehingga terbentuk kubah. Erosi yang terjadi
di puncak kubah pada tahap selanjutnya telah memberikan singkapan-singkapan tanah,
sehingga lapisan-lapisan tanah purbanya dapat ditemukan dipermukaan tanah
sekarang. Sisa-sisa kehidupan masa lalu berupa fosil manusia dan binatang, serta alatalat batu sebagai aspek budaya mereka kemudian bermunculan di permukaan tanah.


B. Karakterisitik Lingkungan Purba Sangiran
1. Lingkungan Lautan
Bentuk rupa bumi selalu berubah dari waktu ke waktu, namun perubahan
tersebut berlangsung secara perlahan sehingga baru kita sadari perubahan tersebut
setelah melewati masa yang sangat panjang. Sangiran yang sekarang kita lihat
ternyata pernah menjadi lautan. Fosil-fosil seperti cangkang kerang, gigi-gigi ikan
hiu, cangkang kura-kura laut, koral dan lain sebagainya yang ditemukan pada
lapisan lempung biru. Formasi Kalibeng membuktikan bahwa Sangiran pernah
menjadi lautan pada sekitar 2,4 juta tahun silam.
Kehidupan yang ada masa lingkungan laut ini hanyalah sebatas flora dan
fauna laut saja. Belum ditemukan bukti-bukti kehidupan manusia didalamnya.
Setelah bukti-bukti fosil fauna laut, terdapat sumber air laut yang bercampur dengan
lumpur vulkanik yang saat ini masih dapat dilihat di Dusun Pablengan, di dekat
Museum Sangiran. Ketika terjadi pengendaan di Sangiran, lumpur vulkanik dengan
lingkungan laut tersebut terjebak di cekungan-cekungan pengendapan. Ketika
terjadi retakan tanah, air asin dan endapan lumpur vulkanik tersebut keluar dengan
sendirinya. Lingkungan laut yang terjebak inilah yang pada akhirnya menjadikan
Sangiran berubah menjadi lingkungan rawa.
2. Lingkungan Rawa
Pada 1,8 juta hingga 900.000 tahun silam, lingkungan Sangiran berubah dari

lingkungan laut menjadi lingkungan rawa karena adanya pengendapan material
vulkanik akibat aktivitas gunung api. Beberapa jenis buaya saat itu hidup
berdampingan dengan mamalia lainnya seperti kuda sungai (Hippopotamus sp.).
Saat itu lingkungan Sangiran masih miskin spesies binatang. Manusia (Homo
erectus arkaik) mulai datang di Sangiran pada 1,5 juta tahun yang lalu, hidup

ditepian sungai yang mengalir di tengah-tengah hamparan rawa. Mereka telah
menciptakan budaya berupa alat-alat serpih dari batu kalsedon.
3. Lingkungan Daratan
Lingkungan hutan terbuka yang dialiri oleh sungai-sungai ditengahnya
merupakan pemandangan umum yang terlihat di Sangiran pada 900.000 sampai
300.000 tahu yang lalu. Masa inilah Sangiran mencapai lingkungan yang paling

indah dilengkapi dengan maraknya kehiduan Homo erectus (tipik) yang
berdampingan dengan fauna-fauna dari berbagai spesies. Gajah purba jenis
Mastodon sp. telah diganikan oleh bentuk yang lebih modern yaitu Stegodon sp.

dan Elephas sp. Cervidae dan Bovidae semakin bnyak jumlahnya, dan disusul oleh
pendatang baru yaitu badak (Rhinoceros sp.), babi (Sus sp.) maupun harimau
(Panthera tigris). Manusia purba (Homo erectus tipik) sudah canggih menciptakan

alat batu berupa serpih dan kapak genggam. Inilah jaman keemasan Sangiran yang
berlangsung lebih dari 500.000 tahun lamanya.
Terdapat tiga jenis gajah yang pernah hidup di Sangiran, yaitu Mastodon,
Stegodon, dan Elephas. Ciri fisik yang membedakan ketiganya adalah tiga tipe gigi

dan bentuk gadingnya. Penjelasan dari masing-masing fauna ini adalah:
a. Mastodon adalah hewan penjelajah hutan dan merupakan jenis gajah paling
primitif di Sangiran. Gigi geraham Mastodon bertipe bunodent yang merupakan
tipe gigi herbivora sederhana.
b. Stegodon memiliki gading berbentuk membulat dan agak melengkung.
Sementara itu, gigi Stegodon bertipe brachydent atau tipe gigi dengan mahkota
yang rendah. Jenis gigi ini merupakan jenis gigi yang sesuai untuk melumat
dedaunan yang lembut.
c. Elephas sp. merupakan jenis gajah paling modern. Bentuk gading Elephas relatif
luru dan digunakan untuk menumbangkan pepohonan yang akar dan cabangnya
menjadi makanan. Gigi Elephas bertipe Hymodent yang merupakan tipe gigi
dengan mahkota gigi yang tinggi. Jenis gigi ini sangat sesuai untuk mengunyah
makanan yang eras seperti rumput kering dan biji-bijian.

C. Penemuan Fosil di Sangiran

Di antara situs-situs Plestosen di Kepulauan Nusantara, Pulau Jawa
merupakan satu-satunya tempat penemuan fosil manusia purba di Indonesia. Sejak
penemuannya yang pertama kali di Trinil tahun 1891, hingga penemuan fragmen
cranial manusia bagian belakang sebelah kiri pada endapan grenzbank di Glagahombo
tahun 2005, tercatat telah lebih dari 110 individu manusia purba dihasilkan oleh
berbagai endapan purba di seluruh penjuru Pulau Jawa (Widianto, 2006). Tidak

diragukan lagi, lokasi penyumbang terbesar koleksi tersebut adalah Sangiran dan
bahkan hingga tahun 2009 di lokasi ini telah ditemukan lebih dari 100 individu
manusia purba yang juga berarti mewakili lebih dari 50 % populasi temuan Homo
erectus di dunia (Widianto, 2009). Potensi tersebut menjadikan Sangiran sebagai

lokasi penemuan fosil Homo erectus yang paling signifikan di muka bumi.
Widianto telah melakukan studi perbandingan karakter morfologi dan
biometric serta relevansinya dengan data stratigrafis, mencakup seluruh koleksi
tengkorak Homo erectus dari Jawa yang pernah ditemukan hingga tahun 1998
menyimpulkan bahwa terdapat tiga tahapan evolusi Homo erectus di Jawa dari yang
paling arkaik hingga progresif yaitu kelompok kekar (Homo erectus archaic),
kelompok Trinil-Sangiran (Homo erectus typical) dan kelompok Ngandong (Homo
erectus progressif). Kelompok kekar berasal dari Formasi Pucangan yang berumur

Plestosen Bawah sekitar 1,5-1 Juta tahun, kelompok Trinil-Sangiran berasal dari
Formasi Kabuh bawah dan tengah berumur Plestosen Tengah rentang 0,9-0,3 Juta
tahun, sedangkan kelompok Ngandong berasal dari Ngandong, Sambungmacan dan
Ngawi berumur antara 0,2-0,1 Juta tahun (dalam Noerwidi dan Siswanto, 2013).
Sangiran 17, atau sering disebut S17 adalah temuan fosil tengkorak Homo
erectus paling terkenal di dunia karena temuan ini relatif lengkap sehingga wajah
Homo erectus dapat direkonstruksi secara utuh. Duplikasi S17 ditemukan hampir di

berbagai museum prasejarah utama di dunia. Bentuk muka Homo erectus, dahi sangat
datar, tulang kening menonjol, orbit mata persegi, pipi lebar menonjol, mulut
menjorok ke depan, tengkorak pendek memanjang. Berdasarkan morfologi tengkorak
S17 adalah individu laki-laki dewasa, yang hidup di Sangiran pada saat Sangiran
didominasi lingkungan sungai yang luas sekitar 700.000 tahun yang lalu (Harmadi,
2012).
Homo erectus yang ditemukan di Sangiran dibedakan menjadi dua jenis

yakni, Homo erectus arkaik (1,5 – 1 juta tahun lalu) dan Homo erectus tipik (0,9 – 0,3
juta tahun lalu). Jika diihat daerah yang lebih luas lagi, terdapat Homo erectus
progresif yang hidup antara 0,2 hingga 0,1 juta tahun silam di Ngandung (Blora),
Sambungmacan (Sragen), dan Selopuro (Ngawi). Penjelasan mengenai jenis-jenis
Homo erectus ini sebagai berikut:

1. Homo erectus arkaik
Memiliki ciri fisik yang paling kekar, dengan geligi yang kuat. Tengkoraknya tebal
kadang mencapai 1,2 cm pada bagian parietal, volume otak sekitar 850 cm.
2. Homo erectus tipik
Ciri fisiknya tidak sekekar jenis arkaik, volume otaknya rata-rata 1.000 cc,
tengkoraknya lebih ramping dan tinggi dengan atap tengkorak yang lebih bulat, gigi
geliginya juga lebih kecil.
3. Homo erectus progresif
Jenis Homo erectus yang paling maju dan yang aling akhir hidup di Jawa sebelum
mereka punah pada 100.000 tahun yang lalu. Tengkoraknya paling tinggi dan bulat
dibanding dua jenis pendahulunya, dengan kapasitas otak 1.100 cc. Homo erectus di
Sangiran telah membuat berbagai macam alat-alat dari batu dengan berbagai
ukuran. Artefak-artefak batu tersebut di dominasi oleh jenis alat-alat serpih yang
kecil sekitar 2-4 cm, tipis, dan tajam yang sebagaian besar dibuat dari batuan
kalsedon. Dominasi alat serpih tersebut menyebabkan sebutan yang terkenal yaitu
“Industri Serpih Sangiran” (Sangiran Flakes Industry). Jenis alat serpih ini
ditemukan di setiap tingkatan perlapisan tanah, mulai dari 1,2 – 0,2 juta tahun yang
lalu. Selain itu juga ditemukan alat-alat yang lebih besar, umumnya dibuat dari batu
andesit kersikan, berupa kapak penetak, kapak perimbas, kapak genggam, dan bola
batu. Alat tulang berupa penusuk yang dibuat dari tulang-tulang binatang besar juga
sering ditemukan.
Selain jenis Homo erectus, pada awalnya di Sangiran banyak ditemukan fosill
fauna. Sebagian besar fosil ditemukan pada lapisan Plestosen, yang terdiri dari fauna
mamalia (kebanyakan herbifora), dan juga reptilia. Fosil gigi buaya merupakan jejak
vertebrata tertua di Sangiran yang berasal dari formasi Pucangan. Lapisan ini tidak
terlalu kaya akan fosil seperti lapisan Kabuh di atasnya, karena lingkungan
pengendapannya tidak kondusif untuk preservasi fosil dengan baik. Lapisan
Grenzbank yang berada ditengahnya merupakan campuran antara komponen laut dan
fragmen materi hasil erosi dari pegunungan disekitarnya. Karakter fosil tulang
mamalia yang berada pada lapisan ini ditemukan dalam kondisi tertutup material
konkresi (Noerwidi dan Siswanto, 2013: 6).

Berdasarkan hasil penelitian Bouteaux dalam Noerwidi dan Siswanto (2013)
mengenai paleontologi kubah Sangiran pada Plestosen Tengah, dapat diketahui kondisi
lingkungan purba pada masa tersebut. Jejak fauna dari Tanjung, Grogol, Bukuran,
Ngrejeng dan Sendangbusik mengindikasikan bahwa dalam kronologi masa
pembentukan formasi Kabuh, manusia purba tinggal di lingkungan hutan terbuka
(savana) yang dekat dengan sumber air (sungai) yang cukup besar. Fauna Bukuran
merepresentasikan lingkungan air, fauna Grogol-Tanjung 82 dan NgrajengSendangbusik merepresentasikan lingkungan dataran banjir di kedua sisinya,
sedangkan fauna Tanjung 63-64 merepresentasikan lingkungan hutan terbuka. Hasil
penelitian tersebut sejalan dengan pendapat Belwood (2000) yang menempatkan
hominid Sangiran dalam lingkungan mosaik. Perubahan iklim yang cukup signifikan
memungkinkan migrasi mamalia ke pulau Jawa, khusus Sangiran. Pada saat itu, ada
cukup ruang terbuka yang memiliki sumber air untuk mendukung kehidupan mamalia
dan Homo erectus.

D. Situs Sangiran sebagai Warisan Budaya Dunia
Warisan Dunia (World Heritage), adalah peninggalan dari masa lampau di
seluruh penjuru bumi yang kita saksikan hari ini untuk diwariskan pada anak cucu di
masa depan sebagai kekayaan tak tergantikan. Warisan Dunia menurut UNESCO
dibagi menjadi tiga macam, yaitu kategori Budaya (Cultural World Heritage), Alam
(Natural World Heritage), dan gabungan Budaya-Alam (Cultural Lanscape). Ketiga
kategori ini harus memiliki nilai universal yang luar biasa (Outstanding Universal
Value) yang ditetapkan UNESCO.

Perjuangan Indonesia untuk mendapatkan pengakuan Sangiran sebagai
Warisan Dunia oleh UNESCO telah dimulai sejak tahun 1995. Melalui proposal,
verifikasi dan sidang penetapan Warisan Dunia tanggal 6 Desember 1996 di Kota
Marida, Meksiko, yang dilakukan UNESCO akhirnya secara aklamasi Situs Sangian
ditetapkan sebagai Warisan Dunia nomor C. 593 dan diberi nama “The Sangiran Early
Man Site”. Sejak saat itu Situs Sangiran bukan saja untuk bangsa Indonesia, tetapi juga

telah menjadi hak milik dunia.

Daerah Sangiran merupakan Kawasan Cagar Budaya Internasional,
sehubungan dengan itu, Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk melestarikan situs
dan mensosialisasikan kepada masyarakat luas baik nasional maupun internasional.
Pada tahun anggaran 1998/1999 terselenggara lokakarya pelestarian dan pemanfaatan
warisan dunia Situs Prasejarah Sangiran. Tahun berikutnya terselenggara sarasehan
peningkatan kepedulian masyarakat terhadap Sangiran sebagai warisan budaya dunia.

E. Pelestarian Sangiran
Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar
Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan.
Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran (BPSMP Sangiran), mempunyai tugas
untuk melaksanakan penelitian, pelestarian, dan pemanfaatan Situs Sangiran dan situssitus sejenis lainnya. Namun demikian, keberadaan dan kelestarian Situs Sangiran
menjadi tanggung jawab kita bersama. Hal-hal yang mendukung pelestarian Situs
Sangiran adalah sebagai berikut:
1. Melaporkan kepada petugas jika menemukan fosil atau benda yang diduga fosil,
agar dapat segera diambil tindakan terhadap penemuan tersebut.
2. Tidak melakukan penggalian atau pencarian fosil, karena fosil yang telah diambil
dari lokasi temuannya akan kehilangan informasi penting yang mungkin ada
disekitarnya.
3. Tidak melakukan penambangan tanah karena dapat merusak lapisan-lapisan tanah
serta data lingkungan masa lalu.
4. Tidak menjual temuan fosil kepada siapapun, karena fosil-fosil di Situs Sangiran
merupakan benda berharga bukan hanya untuk kita sekarang melainkan juga untuk
anak cucu kita kelak.
5. Sisa-sisa masa lalu tersebut, termasuk fosil-fosil manusia, binatang, dan tumbuhan
adalah Cagar Budaya yang dilindungi Undang-undang RI No. 11 tahun 2010
tentang Cagar Budaya.
Sebagai Warisan Budaya Dunia, Situs Sangiran merupakan tujuan pariwisata
dunia yang bertumpu pada daya tarik dan informasi peradaban manusia. Selain dapat
dimanfaatkan sebagai laboratorium dan pusat informasi untuk mendukung

pengembangan ilmu pengetahuan, sejarah dan kebudayaan. Dalam pengembangannya
sebagai tujuan pariwisata, terdapat empat kluster pengembangan Sangiran sebagi
Tujuan Wisata Dunia, yaitu:
1. Klaster Krikilan
Merupakan pusat informasi tentang kehidupan manusia purba, tidak hanya di
Sangiran melainkan di Indonesia.
2. Klaster Ngebung
Secara khusus akan menyajikan informasi tentang sejarah penemuan Situs Sangiran
sejak ditemukannya alat-alat serpih yang pertama oleh G.H.R von Koenigswald
pada tahun 1934 dan fosil manusia purba pertama pada tahun 1936.
3. Klaster Bukuran
Klaster ini berisikan informasi mengenai karakterisik manusia purba.
4. Klaster Dayu
Klaster ini dikembangkan sebagai sebuah pondok informasi mengenai hasil-hasil
penelitian mutakhir.
Sementara, Museum Situs Prasejarah Sangiran berdiri di Klaster Krikilan,
terletak di Desa Ngampon, Krikilan, Kecamatan Kalijambe di atas tanah seluas 16.675
m2. Museum Sangiran ini dikembangkan sebagai visitor-center yang memayungi
ketiga klaster lainnya. Museum ini menyimpan lebih dari 15.000 buah koleksi baik
berupa fosil, alat batu, meteor, dan beberapa buah copy fosil manusia purba yang
pernah ditemukan di Sangiran. Museum ini selain berfungsi untuk mengkonservasi
temuan yang ada dan juga sebagai pusat perlindungan dan pelestarian kawasan
Sangiran.
Sebagai visitor-center Klaster Krikilan merupakan klaster yang paling besar
yang dilengkapi berbagai fasilitas umumnya sebuah museum modern. Keempat klaster
lainnya, kedepannya akan berperan sebagai “empat-dalam-satu”, satu kesatuan
kunjungan keempatnya aan dihubungkan satu jalur kunjungan, sehingga publik tidak
saja hanya akan melihat sajian museum di Klaster Krikilan, akan tetapi juga bisa
mengunjungi klasteran-klasteran lain yang berbeda tema itu. Dalam Master Plan,
Klaster Krikilan diselesaikan akhir tahun 2011, Klaster Dayu dijadwalkan selesai
2012. Klaster Ngebung dan Klaster Bukuran direncanakan selesai tahun 2014. Di

Klaster Krikilan lembaga pengembangan penelitian, pemanfaatan dan pengembangan
situs dibentuk, yang telah aktif beroperasional sejak tahun 2009, dibawah nomenklatur
“Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran”. Lembaga ini mengelola sumber
daya manusia purba dari hulu ke hilir.
Museum Sangiran yang dibangun merepresentasikan tiga sajian kronologis,
yaitu “Kekayaan Sangiran” yang menghadirkan fosil-fosil asli dalam berbagai diorama
yang menunjukkan betapa kayanya Sangiran. “Langkah-langkah Kemanusiaan”
bercerita tentang peciptaan alam semesta, evolusi makhluk hidup hingga manusia,
penciptaan

kepulauan

Indonesiahingga

Nusantara,

penyebarannya

kedatangan

dengan

manusia

penjelasan

purba

perubahan

pertama
budaya

di
dan

lingkungannya. Serta “Jaman Keemasan Sangiran 500.000 tahun silam” dipajang
diorama raksasa yang melukiskan kehidupan Homo erectus di jaman keemasan
Sangiran, dilengkapi dengan manekin Sangiran 17 dan Manusia Flores.
Museum ini dibangun secara intensif sejak 2008, sebagai pengganti museum
yang lama. Diselesaikan dan diresmikan pemanfaatannya untuk publik pada 15
Desember 2011 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,
melalui Wakil Menteri Bidang Kebudayaan Republik Indonesia, Prof. Wiendu
Nuryanti, Ph.D. Hal ini menjadi babak baru bagi Sangiran sebagai loncatan status yang
sangat signifikan, dari museum klasik ke museum modern, dari museum statis ke
museum dinamis. Di lain pihak peresmian Museum Sangiran juga merepresentasikan
arti secara internasional. Peresmian museum ini diwarnai dengan beberaa even
berbobot internasional seperti seminar internasional dengan tema “75 Years After the
First Hominid Discovery”, penyerahan sumbangan reonstruksi temuan kuda air

bukuran, Hippopotamus sp., dari Pemerintah Perancis untuk Museum Manusia Purba
Sangiran dan International Field-school berupa ekskavasi arkeologis di atas formasi
Kabuh di Pucung (Desa Dayu) yang dilaksanakan bersama oleh Balai Pelestarian Situs
Manusia Purba Sangiran, Museum National d’Historie Naturelle Perancis, dan Pusat
Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Harmadi dkk, 2012).
Kunjungan Presiden dan Ibu Negara beserta rombongan 12 menteri Kabinet
Indonesia Bersatu II tanggal 17 Februari 2012 memberikan arti tersendiri bagi
Sangiran. Kunjungan selama dua jam yang juga didampingi jajaran instansi

Pemerintah Daerah mulai dari tingkat provinsi hingga tingkat kecamatan, semakin
memberikan semangat baru bagi Sangiran dalam melaksanakan tugas dan fungsi
kelembagaan, terutama apabila dikaitkan dengan strategi diplomasi budaya Indonesia.
Di akhir kunjungan, Presiden mengadakan konferensi pers di halaman utama.
Kata pertama yang diucapkan adalah “Harus saya katakan bahwa Museum Manusia
Purba Sagiran ini excellent, penataannya bagus dan profesional …”. Presiden
menyatakan keterkesanannya terhadap Museum Sangiran, dan kekayaan sejarah
bangsa yang tersimpan di Situs Sangiran. Pidato yang selanjutnya mengatakan,
“Dengan mencermati informasi yang dimiliki Sangiran, negeri kita segera tampak
sebagai negeri yang mempunyai peradaban cemerlang di masa lalu, yang harus
diketahui oleh putra-putri bangsa.” Presiden sangat sadar akan potensi Sangiran yang

merupakan sebuah pusat kehidupan di masa silam beserta ekosistemnya, sehingga
diharapkan situs dan museum ini untuk dikembangkan sebagai centre of study, dalam
bentuk pusat kajian manusia purba Sangiran, yang dapat mewariskan kekayaan budaya
dan sejarah bangsa yang sangat unggul pada masanya.

SUMBER PRIMER:

Sumber primer yaitu peninggalan asli sejarah seperti prasasti, kronik, piagam,
candi yang benar-benar berasal dari zamannya. Sumber Primer dalam kajian ini adalah
bukti-bukti arkeologis yang masih tersimpan di Sangiran baik di Museum Sangiran
sendiri dan secara luas di Situs Sangiran. Bukti-bukti arkeologis tersebut berupa fosilfosil yang ditemukan di Situs Sangiran serta termasuk lapisan-lapisan tanah (stratigrafi
tanah) yang telah tersingkap di Kubah Sangiran.
Sumber primer dapat berupa Koran atau Majalah yang memuat informasi
mengenai peristiwa sejarah. Sumber dari Koran atau Majalah yang berkaitan dengan
tema ini adalah:
Bramantyo. (2014, 4 Juni). Kalijambe “Pemasok” Fosil Purba Terbanyak di Indonesia.
OKEZONE. Diperoleh pada 18 Juni 2014, dari http://www.okezone.com.
Budi R, Muchus. (2012, 16 Februari). Kunjungi Sangiran, Presiden Minta Anaka
Muda Cintai Benda Purbakala. DETIK News. Diperoleh pada 18 Juni 2014,
dari http://news.detik.com
Desk Informasi. (2012, 17 Februari). Presiden Dukung Pengembangan Kawasan
Museum Sangiran. SETKAB RI. Diperoleh pada 18 Juni 2014, dari
http://www.setkab.go.id
Nuh, Muhammad. (2013, Juli). Pentingnya Menggali Nilai Budaya. DIKBUD , 04 (1).
Rejeki, Sri. (2012, 16 Februari). Presiden Kunjungi Sangiran dan Panen Raya di
Sragen.
KOMPAS.
Diperoleh
pada
18
Juni
2014,
dari
http://www.kompas.com
Senjaya, Immanuel Citra. (2012, 07 Februari). Presiden dijadwalkan Resmikan Situs
Sangiran. ANTARA Jateng. Diperoleh pada 18 Juni 2014, dari
http://www.antarajateng.com
Wahyu, Genta. (2012, 16 Februari). Presiden Kunjungi Museum Purba di Sangiran.
OKEZONE. Diperoleh pada 18 Juni 2012, dari http://www.okezone.com
Widiastuti, Eni. (2012, 16 Februari). Museum Sangiran Luar Biasa. SOLOPOS.Com.
Diperoleh pada 18 Juni 2014, dari http://www.solopos.com

Yudhoyono, Susilo Bambang. (2012, 16 Februari). Jadikan Situs Sangiran sebagai
Temat Kajian dan Wisata Sejarah Dunia. PRESIDEN RI. Diperoleh pada 18
Juni 2014, dari http://www.presidenri.go.id

SUMBER SEKUNDER:
Sumber sekunder yaitu benda benda tiruan dari benda aslinya atau sumber
pustaka hasil penelitian para ahli ahli sejarah, laporan penelitian, dan terjemahan kitab
kitab kuno.

A. Buku:
Simanjuntak, Truman., Prasetyo, Bagyo., dan Handini, Retno. (Ed). (1998). Sangiran:
Man, Culture and Environment in Pleistocene Times. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Widianto, Harry dan Iwan Setiawan Bimas. (2011). Sangiran Situs Prasejarah Dunia.
Sangiran: BPSMP
Widianto, Harry dan Truman Simanjuntak. (2009). Sangiran Menjawab Dunia.
Sangiran: BPSMP
B. Hasil Penelitian:
Direktorat Museum Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata. (2006). Konsep Pedoman Museum Situs Cagar
Budaya (Versi elektronik). Diperoleh pada 5 Juni 2014, dari
http://xa.yimg.com/kq/groups/23466284/190103495/name/KONSEPMUSEUM-SITUS-FIX.pdf
Harmadi., Rahardjo, Mugi., dan Agung, Wahyu. (2012). Faktor-faktor Percepatan
Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat di Kawasan Sangiran. Surakarta:
UNS (Laporan Penelitian Dosen Fakultas Ekonomi).
Noerwidi, Sofwan dan Siswanto. (2013). Sangiran-Patiayam: Perbandingan Karakter
Dua Situs Plestosen di Jawa . Yogyakarta: Balai Arkeologi.
Kartodirdjo, Sartono., Poesponegoro, Marwati Djoened., dan Notosusanto, Nugroho.
(1975). Sejarah Nasional Indonesia Jilid I. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.

Satrio, Janus A. (2011). Pelestarian Kawasan Purbakala antara Konsep dan Realita
(Versi elektronik). Direktorat Peninggalan Purbakala Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata. Diperoleh pada 4 Juni 2014, dari
http://www.penataanruang.net/ bulletin/ upload/ data_artikel/ pelestariankawasan-2011.pdf
Widianto, Harry. (2006). “Dari Pithecanthropus ke Homo erectus : Situs, Stratigrafi
dan Pertanggalan Temuan Fosil Manusia di Indonesia”, Berkala Arkeologi
Tahun XXVI Edisi No. 2 / November, pp. 114-129, Yogyakarta: Balai
Arkeologi

C. Internet
Menyusuri Jejak Manusia Purba di Sangiran Jawa Tengah. (2013). Diperoleh pada 25
Mei
2014,
dari
http://nationalgeographic.co.id/menyusuri_jejak_
manusia_purba_di_sangiran_jawa_tengah.html
Sangiran. (2014). Diperoleh pada 4 Juni 2014, dari http://id.wikipedia.org/
wiki/Sangiran.html.