Revolusi Hijau dan Ambivalensi Modernita

Revolusi Hijau dan Ambivalensi Modernitas

Latar Belakang Masalah
Pada pertengahan tahun 1968, terjadi wabah kelaparan dan malnutrisi di daerah Asia.
Sedangkan di India terjadi wabah kekeringan yang luar biasa.

Wabah tersebut tak pelak

menimbulkan angka kematian yang cukup signifikan akibat kelaparan. USAID (U.S. Agency for
International Development) menyatakan bahwa wabah ini mencapai puncaknya di sepanjang
sejarah manusia. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu upaya inovatif untuk menanggulangi wabah
tersebut. RockFeller dan Ford Foundation lantas berinisiatif untuk mendirikan sistem pertanian
yang canggih untuk mengatasi wabah tersebut di sejumlah Negara di Asia dan Amerika Latin 1.
Selanjutnya, tercetuslah ide tentang Revolusi Hijau (Green revolution) sebagai wujud inovasi
sistem pertanian canggih yang dianggap mampu mengatasi permasalahan tersebut.
Revolusi Hijau pertama kali diintrodusir oleh seorang administrator dari USAID (U.S.
Agency for International Development), Willam Graud, pada tahun 1968. Revolusi hijau
kemudian menandai pertumbuhan massif produk pertanian seperti gandum dan padi. Pembiakan
varietas unggul tersebut kemudian disertai dengan penggunaaan pupuk, input bahan-bahan
kimiawi serta irigasi yang telah menyebar di kawasan Amerika Latin pada tahun 1960. Pada
tahun 1970, sekitar 20% lahan gandum dan 30% lahan padi ditanami dengan varietas unggul

(high yielding varieties). Tak disangkal bahwa terjadi pertumbuhan cukup signifikan pada hasil
panen varietas tersebut. International Food Policy Research Institute (IFPRI) melaporkan bahwa
Tahun 1990 terjadi peningkatan hasil panen sebanyak 70% di kedua lahan. Hal ini berarti bahwa
kedua varietas, baik gandum dan padi meningkat dua kali lipat. Proses peningkatan ini kemudian
berlangsung tiap tahunnya. Sedangkan di daerah Asia, pada tahun 1977-1995 terjadi peningkatan
1 International Food Policy Research Institute (IFPRI)
Website: http://www.ifpri.org/sites/default/files/pubs/pubs/ib/ib11.pdf

sebanyak 60%. Hal ini menjadi kabar gembira bagi masyarakat Negara berkembang yang begitu
bergantung pada konsumsi varietas ini. Harga gandum dan padi kemudian menjadi terjangkau
sehingga kebutuhan kalori masyarakat pun terpenuhi. Selain itu pihak yang diuntungkan juga
termasuk para petani karena cost produksi menjadi murah dengan hasil panen yang berlipat
ganda, sehingga berimbas pada pendapatan petani yang turut meningkat. Begitu pula di
Indonesia. Dampak positif Revolusi Hijau kemudian menjadikan Indonesia sebagai Negara yang
mampu melakukan swasembada pangan pada tahun 1984. Hal ini berkenaan dengan
diberlakukannya kebijakan Pemerintah berupa Panca Usaha Tani (penggunaan bibit unggul,
pengolahan tanah, pemupukan, penggunaan pestisida, dan irigasi)2.
Namun permasalahan baru terjadi ketika Revolusi Hijau ini berdampak buruk pada
lingkungan. Penggunaan zat kimia pada pupuk, pestisida, dan lainnya justru menimbulkan
kerusakan tanah3. Tidak hanya itu, ia juga turut menimbulkan kesenjangan sosial antara petani.

Revolusi Hijau sebagai produk modernitas dan sebagai proyek pencerahan memang merekayasa
hidup menjadi lebih mudah, namun di sisi lain menimbulkan masalah. Oleh karena itu, melalui
paper ini saya ingin menjelaskan mengenai ambiguitas atau ambivalensi yang terjadi pada
proyek Revolusi Hijau yang pada mulanya menjadi solusi akan ketahanan pangan, namun pada
akhirnya, ia tak kalah menimbulkan sejumlah permasalahan baik di lingukungan alam dan sosial.
Permasalahan ini kemudian dianalisis dengan teori kritik dari Adorno dan Horkheimer tentang
dialektika pencerahan (dialectics of enlightenment), yang fokus akan kritik terhadap pemikiran
positivis berikut proyek modernisasi.

Analisis Revolusi Hijau: Berkah atau Musibah (?)

2 Salikin, Karwan A. 2003. Sistem Pertania Berkelanjutan. Yogyakarta: Kanisius
3 Ibid

Fakta mengenai wabah kelaparan yang dihadapi sekitar 786 juta penduduk dunia di tahun
1990 kemudian menarik sejumlah praktisi dalam bidang sosial dan pertanian untuk
merealisasikan proyek Revolusi Hijau jilid II . Sejumlah perusahaan bioteknologi berskala
internasional seperti DuPont, Monsanto, Novartis, AgrEvo, bekerja sama dengan Bank Dunia
dan agensi internasional lainnya menjalankan proyek anti-kelaparan yang diaplikasikan dengan
menambah lebih banyak hasil panen yang berwawasan rekayasa genetika dan agrokimia4.

Mitos mengenai keberhasilan Revolusi Hijau yang diterapkan pertama kali sekitar tahun
1968 lalu agaknya masih diminati oleh sebagian stake holders sehingga ingin mewujudkan
program tersebut untuk kedua kalinya. Latar belakang kekhawatiran akan permasalahan
ketahanan pangan dan wabah kelaparan memang masih memiliki tempat utama dalam agenda
internasional hari ini.
Dalam buku Dialectic of Enlightenment, Adorno dan Horkheimer berkata:
Enlightenment, understood in the widest sense as the advance of thought, has
always aimed at liberating human beings from fear and installing them as
masters. Yet, the wholly enlightened earth is radiant with triumphant calamity.
(Adorno, Horkheimer, 1944: 1)
Revolusi Hijau pada masa lampau memang menjadi solusi nyata atas wabah kelaparan
dunia. “Keajaiban” bibit unggul yang diciptakan dengan rekayasa genetika memang menaikkan
hasil panen dan dipercaya dapat mengakhiri wabah kelaparan. Tidak hanya itu, kenaikan hasil
panen lantas berdampak juga akan penghasilan para petani, sehingga ia turut membebaskan
masyarakat dari kemiskinan. Hingga sampai tahun 1970, istilah “revolusi” ditujukan kepada
penggunaan bibit unggul, pupuk kimia, pestisida, irigasi modern yang menggantikan sistem
irigasi tradisional yang diterapkan oleh petani dunia ke tiga, yang oleh karenanya, kita berterima
4 Rosset. Peter. 2000. Lesson from The Green Revolution. France: Grove Press.

kasih karena berpuluh-puluh juta ton padi-padian dapat dipanen. Dari hal inilah dapat dimengerti

bahwa proyek modern ini sejalan dengan tujuan pencerahan, yaitu untuk membebaskan manusia
dari ketakutan, kekhawatiran akan masa depan ketahanan pangan manusia.
Namun, Revolusi Hijau yang pada mulanya menjadi solusi atas ketakutan manusia akan
wabah kelaparan, justru menimbulkan permasalahan baru. Produksi varietas unggul dengan
rekayasa genetik justru menyebabkan hancurnya ekosistem dan daur kehidupan yang telah ada.
Serangan hama meningkat, produksi menurun hingga ketergantungan akan pupuk, bibit, dan
pestisida juga turut meningkat. Hal ini terjadi di Indonesia, ketika diberlakukan homogenisasi
sistem tanam monokultur yang mematikan jenis bibit lokal serta menyebabkan mewabahnya
penyakit tanaman dan menuntut petani untuk semakin bergantung pada pestisida 5. Akibatnya,
terjadi degradasi lingkungan, penggunaaan pestisida menghasilkan polutan, penggunaan mesin
berbahan bakar minyak juga menghasilkan hal yang serupa. Air tanah pun tercemar akibat polusi
dari pestisida berikut efek penggunaan pupuk kimia yang tak terkontrol. Pada akhirnya berbagai
masalah tersebut sampai berdampak pada kesehatan manusia yang mengkonsumsi air berikut
produk hewani yang hidupnya telah tercemari oleh polutan pestisida dan zat kimia pupuk6.
Dalam dialektika pencerahan, Adorno dan Horkheimer berpendapat bahwa pencerahan
sampai pada penemuan bahwa kedaulatan manusia terdapat pada pengetahuannya sendiri.
Manusia dengan pengetahuannya, berusaha menghancurkan mitos-mitos irrasional dan
menguasai alam dengan rasionalitas (Hardiman 2003). Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa
demitologisasi tersebut kemudian beralih, terjebak dalam mitos baru. Dalam pencerahan, akal
dan cara berpikir positivistis menjadi mitologi modern, yang oleh karenanya, manusia berusaha

mengejar tujuan efisiensi di segala bidang. Cara berpikir positivistis dan penguasaan ilmu alam
5 Salikin, Karwan A. 2003. Sistem Pertania Berkelanjutan. Yogyakarta: Kanisius
6 International Food Policy Research Institute (IFPRI)
Website: http://www.ifpri.org/sites/default/files/pubs/pubs/ib/ib11.pdf

ini pada akhirnya menjadi mitos baru yang lahir dari mitos lama setelah terjadi penaklukan
padanya. Keduanya tidak berbeda jauh, dimana pengetahuan rasional dan cara berpikir positivis
ini diterapkan dengan sejumlah prosedur matematis sehingga ia bekerja di bawah aturan pasti 7.
Mitos ini dapat kita baca pada proyek revolusi hijau. Ketika manusia tak lagi percaya bahwa
alam tidak memiliki siklus teratur dalam memenuhi kebutuhan pangan manusia, maka justru
pemikiran positivistis yang mengacu pada perihal kalkulasi obyek yang kemudian diterapkan.
Menurut Adorno dan Horkheimer (dalam Hardiman) bahwa “karena misteri telah diusir, manusia
tidak lagi menghadapi alam dengan ketakutan, melainkan dengan kalkulasi. Segala sesuatu yang
ingin diketahui manusia ditundukkan dengan perhitungan dan kegunaan..”. Dus, alam
direkayasa, ditundukkan sedemikian rupa dengan menciptakan varietas unggul berbasis rekayasa
genetika, penggunaan mesin dalam pengairan, pembajakan tanah, juga pestisida. Maka, di sinilah
teori kritis berperan dalam mengkritik cara berpikir positivis dan mencoba membongkar
keterlibatannya dalam suatu dominasi8, yaitu dominasi pikiran yang bersandar pada segala hal
yang bersifat kalkulasi.
Berbicara mengenai dampak negatif dari Revolusi Hijau, ia tidak hanya menimbulkan

degradasi lingkungan, namun juga berdampak pada lingkungan sosial, khususnya kehidupan
petani kecil. Revolusi Hijau ternyata tidak menjangkau para petani yang berada di Afrika oleh
karena keterbatasan infrastruktur di sana. Kesenjangan pun terjadi antara petani kaya, yakni yang
memiliki lahan yang luas daripada petani miskin, oleh karena timpangnya penghasilan yang
diterima dari upaya revolusi Hijau ini 9. Selain itu, keberhasilan hasil panen dari Revolusi Hijau
ternyata tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang kelaparan di berbagai belahan dunia.
7 Hardiman, Budi. 2003. Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas.
Yogyakarta: Penerbit Buku Baik
8 Max Horkheimer dan Theodor Adorno, Dialectics of Enlightenment. hlm. 20
9 International Food Policy Research Institute (IFPRI)
Website: http://www.ifpri.org/sites/default/files/pubs/pubs/ib/ib11.pdf

Artinya, Revolusi Hijau yang selama ini dipercaya sebagai solusi atas ketahanan pangan berikut
sebagai upaya meminimalisir impor bahan pangan, tetap saja belum dapat menyelesaikan wabah
kelaparan yang terus meningkat. Business Week Magazine pernah melaporkan bahwa walaupun
di India penerapan teknologi Revolusi Hijau mampu meningkatkan jumlah hasil panen, namun di
saat yang sama, 5000 anak meninggal per hari oleh karena malnutrisi. Sebanyak sepertiga jumlah
penduduk India yang terdiri dari kelas bawah ternyata tidak mampu membeli hasil panen yang
diproduksi (Rosset 2000). Artikel tersebut menyimpulkan bahwa memang Revolusi Hijau
mampu mengendalikan impor bahan pangan, namun ia tidak menjadi jawaban dalam mengurangi

wabah kelaparan yang melanda selama ini.
Disebutkan pula oleh Peter Rosset, direktur The Institute for Food and Development
Policy bahwa kebijakan mengenai Revolusi Hijau bergantung pada peraturan berbasis ekonomi,
politik, dan budaya yang sengaja dibuat oleh pemegang otoritas. Sayangnya, peraturan tersebut
hanya mengatur dan bahkan memihak kepada mereka yang menjadi supplier kalangan atas dan
memiliki lahan luas, berikut segelintir konsumen yang memiliki daya beli yang kuat. Maka,
dalam hal ini, yang dirugikan adalah para petani dan konsumen yang miskin. Para petani miskin
kemudian tidak mampu membeli pupuk dan produk-produk hasil Revolusi Hijau lainnya
sehingga panen yang dihasilkan tertinggal jauh dengan petani kaya yang dapat menjangkau
produk Revolusi Hijau (Rosset 2000).
Dari sinilah tampak bagaimana proyek pencerahan dalam Revolusi Hijau justru
menimbulkan kesenjangan sosial. Alam kali ini tidak hanya direkayasa dan dijajah oleh cara
berpikir positivis saja, namun hasil darinya juga dimonopoli oleh mereka yang berpikir secara
kapitalis. Adorno dan Horkheimer (dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy) berpendapat
bahwa segala bentuk konsumsi mesin sebagai bentuk penguasaan manusia akan ilmu alam di

zaman modern, kini menjadi bagian dari proses penyebaran ekonomi kapitalis, yang ditopang
oleh riset-riset ilmiah dan teknologi mutakhir10.

Kesimpulan

Dalam kasus green revolution, oleh karena wabah kelaparan yang berkepanjangan dan
kekeringan yang terjadi di beberapa belahan dunia, maka diperlukan suatu revolusi pertanian,
yang hasilnya mampu menjangkau kebutuhan pangan dunia secara cepat dan instan, serta
menghasilkan panen berlipat ganda. Maka diterapkanlah rekayasa genetika dalam menciptakan
varietas dan bibit unggul.
Sejalan dengan tujuan proyek pencerahan yang dijelaskan oleh Adorno dan Horkheimer,
Revolusi Hijau menjadi salah satu prototype solusi ketahanan pangan di berbagai belahan dunia,
sebagai contoh yang pernah terjadi di India dan Indonesia. Peningkatan jumlah hasil panen yang
signifikan melebihi dari sistem pertanian biasa kemudian menjadi jawaban akan kekhawatiran
manusia mengenai wabah kelaparan selama ini. Akan tetapi, di sisi lain, proyek ini justru
menimbulkan permasalahan lebih kompleks lagi di bidang lingkungan dan sosial. Penggunaan
zat kimia, rekayasa genetika, juga masifikasi mesin dalam bertani kemudian berdampak buruk
pada ekosistem tanah, biota laut, dan hasil varietas yang direkayasa genetiknya. Selain itu, hasil
peningkatan panen ternyata tidak mengimbangi jumlah penderita kelaparan yang terus
meningkat. Penerapan sistem ini juga tidak dapat dijangkau oleh para petani kelas bawah seperti
yang terjadi di Afrika Selatan. Hal ini disebabkan oleh karena harga produk panen berikut
teknologi Revolusi Hijau yang tak dapat dijangkau kalangan bawah.
Oleh para pemikir positivis dalam Revolusi Hijau meyakini bahwa alam kini tidak lagi
dipercaya memiliki siklus teratur dalam memproduksi kebutuhan pangan manusia. Ia hanya
10 Lih. Standford Encyclopedia of Philoshopy. “Theodor W. Adorno”. http://plato.stanford.edu/entries/adorno/


menjadi mitos belaka. Sedangkan manusia, dengan kehebatan akalnya, berusaha merekayasa,
memaksakan pengetahuan berikut cara berpikir positivistisnya, untuk menundukkan alam demi
mencapai tujuan pencerahan.
Revolusi Hijau kemudian mengundang kritik dari berbagai pakar lingkungan, bahwa
alam sebenarnya telah memiliki siklus dan kapabilitas tersendiri dalam memproduksi segala
varietas yang dibutuhkan manusia. Siklus dan rekayasa yang dipaksakan justru akan
menimbulkan kerugian terhadap manusia itu sendiri.

Referensi
Adorno and Horkheimer. 2002. Dialectics of Enlightenment: Philosophical Fragments.
California: Standford University Press

Hardiman, Budi. 2003. Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama
Jurgen Habermas. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik
Rosset. Peter. 2000. Lesson from The Green Revolution. France: Grove Press
Salikin, Karwan A. 2003. Sistem Pertania Berkelanjutan. Yogyakarta: Kanisius

Website:
www.ifpri.org/sites/default/files/pubs/pubs/ib/ib11.pdf (International Food Policy

Research Institute (IFPRI)
www.plato.stanford.edu/entries/adorno (Standford Encyclopedia of Philoshopy. “Theodor
W. Adorno”.)

Revolusi Hijau dan Ambivalensi Modernitas
(UAS Teori Kritis)

Dosen Pengampu:
Prof. Heru Nugroho

Oleh:
Maulida
(12/338712/PMU/07376)

JURUSAN KAJIAN MEDIA DAN BUDAYA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS GAJAH MADA
2012