Peran Warisan Lisan dan Komunitas Adat

Peran Warisan Lisan dan Komunitas Adat Palu’e dalam Perlindungan Alam
Makalah Seminar Internasional dan Festival Tradisi Lisan ke IX, Manado 21-24 Sept 2014.
Merayakan Keragaman Tradisi sebagai Warisan Budaya.

Stefan Danerek, Dr.

Abstract:
This paper explores, based on the assumptions that Palu’e custom (Ind. adat) possesses traditional
ecological knowledge (TEK) and that ‘local wisdom’ (kearifan lokal) protects the environment, 1)
how Palu’e oral traditions relate to the protection of the environment 2) how adat figures and their
communities practise inherited rituals and prohibitions today 3) how they interpret these for the
purpose of developing their communities. Sources are mostly first hand and drawn from a body of
documented language material that includes oral tradition and ethno-botany. The inherited
worldview is first explained in order to have a comparative framework for modern ideas about the
environment. Customary taboos and prohibitions are found to directly relate to the protection of
the environment and management of natural resources. Ancient “superstitions” and prohibitions
reveal knowledge of ecology and the impact of humans. The adat community is influenced by
modern ideas of ecology that resonate with the inherited knowledge. Adat regulations are still
believed in but are adjusted to development, with consequences. Customary law is an efficient
alternative to state laws when dealing with the protection of the environment and management of
natural resources. Finally, suggestions on how to strengthen oral tradition and protect the

environment.

Kata kunci: tradisi lisan, adat, lingkungan

Latar Belakang
Di Indonesia hukum negara memberi perhatian terhadap peran masyarakat hukum adat (MHA)
dalam pelestarian lingkungan. 1 Masyarakat adat mempertahankan apa yang diturunkan dan
diwariskan leluhur, dan adalah asumsi biasa bahwa adat dan tradisi lisan mengandung kearifan
lokal2 dalam soal perlindungan alam dan pengelolaan sumber daya alam. Demikian juga dalam
makalah ini yang membahas hubungan adat dan perlindungan lingkungan di Pulau Palu’e, sebuah
pulau agak kecil (s. 72 km2), terbentuk dari gunung api dan dekat pesisir utara Flores. Di Palu’e
adat masih berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat. Jumlah penduduk pulau ini sekitar
10,000 terbagi antara 14 wilayah kelakimosaan.3 Lakimosa adalah tuan tanah, pemimpin spiritual
wilayah adat, dan salah satu sumber utama tradisi lisan. Pulau Palu’e punya beberapa
keistimewahan alam, di antaranya tidak ada sumber air yang berarti, dan zaman dulu sumber
utama air terdiri dari jus lontar dan air hasil kerok pohon pisang dan bambu. Sumber utama
makalah berupa hasil observasi, diskusi dan wawancara, serta didasari badan dokumentasi bahasa
yang mencakup ritual dan etno-botani.4 Data yang telah diperoleh lewat pendekatan etnografis
diolah untuk menjelaskan peran warisan tradisi lisan dalam melakukan konservasi lingkungan.


Permasalahan
Bagaimana peran tradisi lisan Palu’e dan komunitas penuturnya dalam upaya memelihara
lingkungan? Apa adat melindungi lingkungan, dan apa itu pernah disengajai oleh ketua adat
zaman dulu? Umumnya kita tidak heran jika adat berperan melindungi lingkungan karena sering
justru dianggap sebagai penghambat pembangunan – yang selain membawa kesejahteraan
mengakibatkan polusi. 5 Pulau Palu’e sebagai satu contoh sangat mengiyakan pernyataan itu:
Hukum adat memang melarang aktifitas pembangunan, termasuk perekonomian, dalam hampir
1

UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Keputusan Mahkamah

Konstitusi Republik 16 Mei 2013 mengakui keberadaan hutan adat. Lebih, UUD 1945 pasal 18B ayat (2):
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur.”
2

Local wisdom didefinisi oleh “Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan

masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari”, Pasal 1 huruf 30, UU

No. 32/2009.
3
4

Lebih dari lima ribu orang Palu’e menetap di Flores atau berada di perantauan.
Penulis tengah menjalankan proyek dokumentasi bahasa dan tradisi lisan Palu’e dan sempat tinggal di pulau itu

antara Dec 2013-Mar 2014 dan Juni 2014 dalam rangka tersebut.
5

Kata polusi dalam makalah ini merangkum segala jenis intervensi manusia dalam lingkungannya yang

mengakibatkan pengrusakan.

segala bentuk dalam periode tertentu dan yang bisa berlangsung lama. Misalnya, jalan untuk
membawa sepeda motor atau mobil belum lama mulai dibuat (s. 2004), karena salah satu faktor
terpenting, selain medan pulau yang berbukit-bukit, adat Palu’e yang tidak senang tanah
diganggu. Dengan demikian polusi dari kendaraan baru masuk dalam jumlah yang belum berarti6,
jumlah benda impor terbatas dan pembangunan terhambat. Banyak contoh bagaimana aturan adat
membatasi aktifitas manusia dan dengan demikian secara tidak langsung melindungi lingkungan.

Yang ingin saya membahas lebih lanjut adalah komunitas adat dan tradisi lisan sebagai kearifan
lokal dalam usaha melindungi alam. Sebelumnya saya ingin membahas pandangan dunia yang
melatar belakangi tradisi lisan Palu’e.7

Animisme dan Alam
Masyarat Palu’e, seperti kebanyakan masyarakat di NTT, sampai belum lama ini menganut
kepercayaan animisme.8 Artinya adat dan tradisi lisan berasal dari dunia yang boleh dikatakan
tersihir, dunia yang hidup dan dihidupi oleh roh penguasa alam semesta (Palu’e: Hera Wula, Watu
Dhana/Mata hari Bulan, Batu Tanah) yang menghidupi roh-roh di batu, pohon dsb, dan tidak ada
batas di antara isi alam. Pikiran dan bahasa mendapat mempengaruhi dunia, seperti halnya dengan
mantra. Kesadaran tentang ekosistem, sebuah istilah modern, tidak ada seperti sekarang, tapi
manusia menyatu dengan alamnya. Tradisi lisan mengungkapkan bahwa demikian situasi di pulau
Palu’e sampai masuk zaman kemerdekaan, dan warisan pandangan dunia ini masih berpengaruh.9
Salah satu ciri masyarakat animistis adalah berlakunya tabu sebagai bentuk larangan yang
meregulasi perilaku manusia, dan tabu bisa berperan dalam pelestarian sumber daya alam (Berkes
et al. 1995).10 Tabu inces adalah larangan mendasar dalam masyarakat animis. Di Palu’e semua
orang tahu cerita Noni Kare, tentang dua saudara yang perbuatan incesnya mengakibatkan

6
7


Sepeda motor sudah berjumlah puluhan. Jumlah mobil hanya satu pickup sampai tahun 2014.
Dalam buku panduan kajian tradisi lisan Danandjaja (2010: 60) menulis bahwa penelitian tentang tradisi lisan

perlu dijalankan dengan kesadaran akan kekhususan tradisi dan komunitas, yaitu folklor.
8

Animisme (kurang puas dengan definisinya di Kamus Besar Bahasa Indonesia): ‘1 the attribution of a living

soul to plants, inanimate objects, and natural phenomena. 2 the belief in a supernatural power that organizes and
animates the material universe’ (Oxford Dictionary of English. ed. A. Stevenson 2010).
9

Gereja Katolik baru menebar luas di tahun 1950an. “Zaman dulu, hantu banyak sekali di Palu’e ini”. Bapak

Sosu, Nara dalam intro rekaman cerita gaib “Ware Cane” (2014) yang sungguh-sungguh terjadi pada tahun
1970an.
10

Berkes et al. (1995) menjelaskan pembatasan sosial, seperti tabu, yang mengarah ke adat biologi


konservasi. Pembatasan ini termasuk memberikan perlindungan total kepada beberapa komunitas biologis,
habitat atau spesies tertentu.

bencana alam.11 Pelanggaran adat membuat bumi panas, dan tanah kembali dingin lewat upacara
yang menggunakan doa dan air kelapa atau darah kurban. Di wilayah Ko’a, Palu’e, telah pernah
dibuat upacara potong kerbau beberapa kali karena perbuatan atau pencurigaan akan inces
(Vischer 2009: 256-258). 12 Karena pulau Palu’e merupakan sebuah kosmos sendiri, komplit
dengan alam bakanya baik di dalam maupun di atas gunung, yang hidup, penggalian tanah
dianggap melukai organisme pulau, maka perlu diadakan beberapa jenis upacara pendinginan
dengan kurban berdarah. Karena itu setiap pembuatan rumah atau perahu baru dibuat upacara
pendinginan.
Beberapa larangan di Palu’e memang berupa tabu saja, dalam arti tidak ada sanksi hukum
masyarakat. Pembuatan arak haram (tapi minum tidak). Logika yang mendasari pamali itu,
menurut penulis, sederhana; sumber minum yang utama zaman dulu itu jus lontar, bahan dasar
penyulingan arak di Flores. Manusia Palu’e takut pohon lontar akan kering jika airnya digunakan
untuk arak, dan menurut orang lokal itu sudah terjadi. Artinya ada mitos, atau kekuatan gaib, yang
menjaga supaya jus lontar jangan disalahgunakan. Tanam padi juga tabu dan terekam dalam
mitos. Logikanya tidak persis sama seperti arak, karena air cukup untuk satu kali panen selama
musim hujan, dan sudah dicoba. Pelanggaran dua tabu ini menyebabkan bencana alam berupa

badai hujan.
Sanksi berupa gangguan, penyakit atau bencana terhadap pribadi bisa mengenai mereka yang
melanggar aturan adat. Pelaku utama adalah roh leluhur, makhluk yang paling dihormati dalam
kepercayaan zaman dulu dan yang tetap menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.13 Roh leluhur
berfungsi sebagai kontrol perilaku sosial terhadap pelanggaran adat dan tabu.

Phije (Haram) dalam Zaman Ekonomi Modern
Pulau Palu’e adalah pulau yang hijau dan pertanian di pulau ini umumnya bersifat tradisional.
Pesticida digunakan hanya dalam skala kecil, dan ladang-ladang biasanya tidak besar dan
dikelilingi pohon dan ada pohon berbuah di dalam. Cara bertani mirip agroforestry. Ini berarti
walaupun kebanyakan hutan sudah dibongkar, jumlah besar species-species pohon dan hewan asli
tetap ada. Demikian menurut pengamatan penulis.
Siklus bertani umumnya diatur secara adat. Ada bulan tanam kacang hijau, dan bulan panen
yang duanya dibuka dengan upacara oleh lakimosa. Adapun periode singkat, misalnya setelah
11

Satu efek dari perbuatan Noni Kare adalah terciptanya pulau Sukun yang kelihatan dari Palu’e. Satu versi

cerita inces itu berjudul Watu Noni (Aloysius 2014).
12

13

Vischer pernah menulis secara umum tentang pulau dan budaya Palu’e (1993: 204-209).
Anggota keluarga yang sudah meninggal diberi makan di kubur dan dinyalakan lilin untuk mereka. Kubur

keluarga selalu di depan rumah.

upacara Po’o dhubu14, waktu apapun di alam, daun pun, tidak boleh diambil selama tiga hari.
Baik upacara Po’o dhubu dan Ka toi dhubu dibuat karena kesadaran seseorang bahwa dia sudah
melanggar adat tentang alam, misalnya melanggar phije merusak pohon. Po’o dhubu lebih baik
dibuat sebelum pelaku jatuh sakit karena perbuatannya. Kalau Ka toi dhubu biasanya dibuat kalau
seseorang sudah jatuh sakit, dan tidak disusul dengan phije lain kecuali satu hari tidak makan nasi
putih bagi yang sakit, yang tidak boleh ikut makan daging kurban. Dua upacara ini dibuat untuk
kembali damai dengan alam. 15 Tabu/larangan seperti ini bisa sadarkan masyarakat akan
pentingnya hemat dengan sumber daya alam, dan tanam/panen pada tepat waktu supaya hasil
lebih baik.
Upacara terbesar di Palu’e adalah bagian dari siklus hidup bertani. Satu jenis hukum adat yang
jelas berhubungan dengan lingkungan adalah berlakunya phije wilayah adat sampai lima tahun
lamanya setelah upacara besar pembersihan tanah Pati Karapau (potong kerbau), puncak siklus
wilayah-wilayah adat kerbau.16 Mulai dengan lima hari di mana hampir segala aktifitas dilarang –

termasuk membuat bunyi besar seperti waktu Nyepi di Bali – dan orang-orang duduk sekitar
rumah saja. Kemudian akan berlaku sejumlah larangan yang bisa berlangsung sampai lima tahun,
atau sampai saat mau memuat kerbau baru (Pua Karapau) untuk dibesarkan selama kurang lebih
lima tahun. Siklus lima tahun yang menyusul ini adalah masa di mana aktifitas ekonomi wilayah
dibatasi; ekspor luar wilayah terbatas, pembangunan yang mengganggu tanah – mengubur orang
mati pun tidak bisa seperti pada masa Pua Karapau – dan penebangan pohon dilarang secara
total. Ini jelas periode lingkungan sempat pulih kembali. Aktifitas yang dibolehkan adalah
aktifitas yang menghidupkan, seperti bertani.
Roh leluhur memastikan jarang ada yang berani kerja rumah baru, menggali tanah dsb. selama
phije wilayah berlangsung. Faktor kedua ketaatan masyarakat pada aturan phije adalah sanksi
masyarakat adat berupa denda (babi, emas, uang). Sebagai contoh mutakhir, di akhir bulan Juli
tahun ini, orang luar wilayah ditangkap karena memotong satu pohon jati di wilayah Ndeo dekat
perbatasan. Denda yang ditentukan lakimosa dengan keterlibatan masyarakat (adat: hana halo wai
Walu), didampingi lakimosa wilayah sekutu Keli, cukup terasa; babi besar harga s. lima juta rp
dan emas adat atau babi besar dan uang 4 juta rp.
Siklus setelah memuat kerbau baru adalah siklus lebih ekspansif dan waktu modal dikumpulkan
14

Upacara sembelih babi dan persembahan padi, yang disusul dengan berlakunya 'phije' dalam satu wilayah


selama dua, tiga atau lima hari. Setelah Po'o dhubu berlaku phije kerja, petik buah dan pamali lain.
15
16

Komunikasi pribadi lewat E-mail dengan H. Ratu 1 Aug 2014.
Tujuh wilayah lakimosaan punya adat kerbau. Darah kerbau adalah darah tertinggi dalam adat (laja ca. BI.

darah besar), dan kerbau adalah hewan paling besar di pulau Flores. Di Palu’e tidak ada kerbau kecuali yang
dimuat ke sana untuk dipelihara buat upacara Pati Karapau.

untuk upacara Pati Karapau. Pemborosan bisa terjadi saat upacara besar, apalagi zaman dulu,
terlalu banyak hewan disembelih untuk beri tamu makan. Ekonomi modern telah memaksakan
pelonggaran terhadap aturan phije wilayah. Siklus phije dipersingkat atau dibuat perkecualian,
yang semuanya haruskan upacara kurban. Terjadi negosiasi di antara pemimpin adat, kepala desa
dan anggota masyarakat.17 Phije apa, bentuk dan berapa lama dimusyawarakan. Ada upaya untuk
menyesuaikan adat dengan pikiran dan kebutuhan zaman sekarang, tapi hukum adat harus ditaati.
Perkecualian bisa dibuat dengan dibeli hewan dan diadakan upacara penyembelihan untuk
kebutuhan tertentu. Mereka yang melawan atau melanggar phije dan tidak mau bayar denda
biasanya jatuh sakit atau kena celaka lain.


Sacred groves
Di Palu’e ada banyak tempat yang disebut “angker” dan yang keramat, tempat persembahan,
termasuk sacred groves, istilah “hutan kecil keramat” yang banyak ditemukan di India (Gadgil
and Vartak 1974). Sacred groves punya fungsi yang sangat penting dalam pelestarian alam
sebagai repositori spesies di daerah di mana hutan semakin diganti dengan lahan pertanian, seperti
sudah terjadi di Palu’e akibat tekanan penduduk. Fungsi repositori spesies tidak disengajai
leluhur.
Hutan kecil ‘sacred groove’ sekitar tempat persembahan yang paling penting di kampung
Tuanggeo (Wilayah Keli), Nunu Somba, telah dibongkar pada tahun 1980an untuk membuat
kebun pribadi, tinggal beberapa pohon saja. Kebun jadi, tapi kematian yang menyusul dalam
keluarga yang membongkar dipercaya masyarakat umum sebagai sanksi leluhur. Dengan
demikian tabu dan kepercayaan akan sanksi leluhur diperkuat. Begitu juga terjadi saat dibolehkan
pembangunan jalan oleh beberapa lakimosa s. tahun 2004. ‘Sacred grooves’ dalam arti
sesungguhnya tinggal beberapa saja.
Sisa hutan keramat dan yang tabu ditebang masih ada di wilayah Ko’a, Desa Rokirole. Di
dalamnya tinggal makhluk gaib yang dipanggil saat musim kemarau untuk mendatangkan hujan.
Seperti dalam tempat dan hal lain sanksi gaib menunggu mereka yang menebang pohon dalam
hutan ini. Demikian juga di rumpun pohon keramat di Ndeo, tempat yang dianggap angker karena
menurut kepercayaan orang lokal tempat itu merupakan rumah leluhur mereka, jadi tidak boleh
dirusakkan. Ada cerita bahwa di tempat itu (dhana wewa) ada seekor anjing besar yang sering
hilang muncul. Ada pula nama nenek moyang yang menghuni. Apabila ada yang melanggar tabu
dan membuat kerusakan di tempat itu dia akan jatuh sakit, dan harus membuat ritual Ka toi dhubu
supaya bisa sembuh.
17

Penulis sempat hadir dan berdiskusi dengan lakimosa Ndeo Anto Ropi dan kepala desa Ladolaka Mansoetus

Sosu 10-11 februari 2014. Catatan lapangan.

Hutan asli di Palu’e tinggal sedikit dekat gunung dan di lereng-lereng. ‘Hutan adat’ tidak ada di
Palu’e setelah hutan di atas gunung hancur dalam bencana alam 2012-2013.18 Dipercaya bahwa
hutan di atas gunung akan muncul kembali. Di hutan tersebut masyarakat boleh masuk sesudah
minta izin pada roh leluhur yang tinggal di situ. Tempatnya umum, siapa saja boleh mengambil
hasil dari hutan gunung berupa buah, ayam hutan dan burung lainnya. Menebang pohon dan
tanam-menanam dilarang.
Lakimosa muda Ndeo Anton Ropi sudah terserap kesadaran ekologi dan pentingnya pohon.Atas
inisatif sendiri dia sudah mulai menanam pohon dalam skala masih kecil. Penanaman pohon
didasari logika sederhana tentang keamanan. Gunung api Rokatenda, yang meletus tahun 20122013 dan mengakibatkan bencana dan pengungsian, meletus dalam siklus s. 30 tahun. Kalau
gagasannya bahwa pohon dan hutan berfungsi sebagai pendingin pulau, yang memang panas
dalam, tidak masuk akal secara ilmiah, idenya tentang pohon besar sebagai benteng kerikil panas
dan abu dari gunung sangat masuk akal. Zaman dulu, sampai sekarang, letusan gunung api,
walaupun dasyat, biasanya tidak mengakibatkan banyak korban manusia. Tanah longsor,
fenomena yang terjadi, juga berkurang dengan adanya pohon besar.

Larangan Bom Ikan
Negara sudah lama melarang penggunaan bom ikan, tapi kegiatan ini tetap berlangsung di banyak
tempat, termasuk di pulau Palu’e. Pengeboman telah mengakibatkan kerusakan karang dan
berkurangnya ikan dekat pesisir. Nelayan harus cari ikan semakin jauh dari pantai. Kesadaran
tentang situasi ini mendorong masyarakat dan pemerintah lokal untuk bertindak. Karena hukum
negara kurang bisa diterapkan – dan umumnya penyelesaian beberapa jenis masalah dianggap
lebih efektif secara adat – pada tahun 2008 dibuat kesepakatan dari seluruh lakimosa di Palu'e
untuk tidak lagi menggunakan bom ikan. Kesepakatan ini melibatkan baik sumpah sanksi leluhur
maupun sanksi kolektif, dan dipasang tugu peringatan: Jika ditemukan pelaku bom ikan sanksinya
adalah dipanah beramai-ramai. Orang dari seluruh kampung akan turun ke laut untuk mengejar
pelanggar. Dari pengamatan penulis sumpah bom ikan telah berjalan cukup efektif, tapi
pengeboman ikan masih terjadi di satu-dua wilayah dan hasilnya tetap dibeli di wilayah lain.
Pernah terjadi bahwa pelaku bom ikan ditangkap dan dipukul ramai-ramai.19 Tembakan panah
18

Hutan adat itu hutan yang dikelola dan dilindungi oleh masyarakat adat. Masyarakat Kajang di Sulawesi dan

hutan mereka bisa mencontohkan hutan adat baik karena diakui pemerintah daerah setempat dan karena fungsi
hutan sebagai tempat keramat dan repository spesies besar. Sebagian besar hutan asli Palu’e di atas gunung
terbakar dan tertutup abu dalam bencana alam yang mulai Oktober 2012. Daerah tandus ini akan ditumbuhi
hutan lagi seperti pernah terjadi zaman dulu.
19

Satu contoh dari komunikasi pribadi dengan H. Ratu 11 Aug 2014: Bapak Mbawa dan Mboy yang berasal dari

tidak dilaksanakan. Pelanggar dibawa ke depan pengadilan adat dan dihukum membayar denda
adat. Pemerintah daerah belum menegur mengenai kebijakan ini, karena tujuannya preventif.

Kesimpulan
Kearifan lokal soal perlindungan lingkungan jelas ada di Palu’e, baik langsung di aturan adat
maupun tidak langsung lewat mitos, tabu dan sanksi leluhur. Kesadaran akan butuh perlindungan
alam ada di masyarakat Palu’e hari ini, dan adat bisa berperan efisien dalam upaya
perlindungannya, misalnya phije bom ikan. Inovasi dalam adat bertolak belakang dengan tradisi,
dan tingkat larangan harus disetujui orang banyak. Dalam ekonomi modern yang individualis
manusia selamatkan dirinya dulu, dari kemiskinan, dan ide-ide tentang perlindungan alam
menyusul belakangan. Adat tetap lebih efisien dalam mengumpulkan dan menyatukan orang
banyak, dan lebih efisien menyelesaikan beberapa jenis kasus dan masalah. Demikian menurut
sumber di kampung-kampung di Palu’e.
Phije wilayah adalah satu jenis adat yang jelas melindungi lingkungan, tapi larangannya agak
ekstrim dan menghambat perkembangan. Di satu sisi pembangunan yang lambat lebih aman soal
lingkungan. Tapi satu akibat pembangunan yang lambat dan “aman” adalah bahwa perekonomian
yang baru tidak akan muncul, dengan akibat kemiskinan dan kurang peduli pada lingkungan.
Sanksi pelanggaran phije selain kemungkinan kena denda adalah gangguan arwah leluhur, yang
bisa berakibat fatal. Beberapa jenis phije wilayah berkontribusi besar dalam konservasi
lingkungan dan sumber daya alam di Palu’e. Uraian di atas telah menyebut beberapa contoh phije
yang mampu menyadari masyarakat akan pentingnya konservasi lingkungan dan penghematan
sumber alam.
Adat Palu’e belum mengembangkan hutan adat seperti masyarakat Kajang tapi ‘sacred grooves’,
walau kecil ukurannya, banyak. Hampir semua tempat keramat atau ‘angker’ ada mitosnya atau
sejarah yang berhubungan dengan tokoh hebat zaman dulu, sehingga tidak diganggu karena
dianggap bertuah. Tempat-tempat seperti ini bertahan karena telah menyatu dengan sistem
kepercayaan lokal. Mitos dan kepercayaan akan sanksi leluhur mengkonstruksi pemikiran bahwa
mereka yang melanggar atau menodai tempat keramat, atau ‘angker’, berisiko kena sanksi yang
membuat sakit ataupun mematikan.
Masyarakat Palu’e telah mengalami perubahan besar lewat sekolah dan agama modern mulai
dari tahun 1950an. Pikiran modern dan rasional, di luar desakan kebutuhan akan pangan, yang
membuat orang Palu’e berani mengabaikan larangan adat dan tuah lama. Akibatnya beberapa
desa Ladolaka pernah bom ikan di perairanan wilayah kelakimosaan Tomu, Mereka ditangkap oleh lakimosa
Tomu Bapak Tende, kemudian dibawah ke Tomu, dan mereka dipukul oleh masyarakat setempat.

tempat konservasi adat sudah dibongkar dan dijadikan kebun. Tapi yang terjadi di Palu’e adalah
bahwa kepercayaan akan sanksi leluhur akibat merusak tempat keramat tidak berkurang.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat adat Palu’e
mampu melakukan konservasi lingkungan melalui berbagai warisan. Namun perubahan pikiran
orang Palu’e telah menggeser pemaknaan terhadap berbagai mitos karena masyarakat semakin
rasional dan tidak selalu percaya lagi pada mitos yang mendukung tempat-tempat angker.
Masyarakat adat juga tidak mampu menghukum masyarakat yang melanggar sekuat seperti zaman
dulu. Akibatnya sisa hutan dan tempat sacred groves masih terdesak. Karena itu perlunya
rekulturasi nilai-nilai tradisional dalam melakukan konservasi. Untuk melestarikan hutan dan
alam dibutuhkan konservasi dua lapis, yaitu baik melawan amnesia lewat pendekatan pelestarian
warisan lisan maupun dengan cara menciptakan cagar alam, walau kecil, atau situs warisan
budaya sekitar tempat keramat. Penulis mengusulkan bahwa rekulturasi dibuat dengan cara yang
bisa diterima oleh mereka yang menganut pikiran modern dan rasional, yaitu menggandakan
status tempat-tempat keramat ke situs warisan budaya, lengkap dengan inventaris mitos dan
sejarah. Penelitian yang telah dibuat di Wakatobi menyimpulkan bahwa konservasi lingkungan
yang dibangun melalui proses pengkeramatan yang didukung mitos lokal “dapat menjadi salah
satu bentuk konservasi alternatif, di tengah hampir gagalnya wilayah-wilayah konservasi
konvensional seperti zonasi, taman nasional, dan cagar biosfer” (Udu 2013). Artinya lebih baik
menggunakan pendekatan budaya, adat dan peraturan pemerintah sekalian.
Sebaiknya zona lindung agak diperluas jika tempat keramat terlalu kecil supaya memanfaatkan
tempat yang ada dalam dua fungsi tersebut; lingkungan dan warisan budaya. Menurut penulis
perlu dibuat zonasi yang melindungi beberapa sisa hutan – termasuk sekitar gunung – sacred
groves dan daerah pesisir laut berkarang. Diusulkan bahwa tempat angker atau keramat dan sisa
hutan diberi status lindung yang lebih jelas. Dalam hal ini pemerintah lokal dan pemimpin adat
perlu kerja sama. Peran LSM menurut penulis belum ada, kecuali organisasi mahasiswa yang
pernah tanam mahony dan nimba sepanjang jalan dari Uwa ke Rokirole.

Daftar Pustaka
Berkes, F., C. Folke, and M. Gadgil. 1995. Traditional ecological knowledge, biodiversity,
resilience, and sustainability, hlm. 281-299. (eds. C. A. Perrings et al) Biodiversity
conservation: problems and policies. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.
Dandjaja, J. 2010. ‘Folklor dan Pembangunan Kalimantan Tengah: Merekonstruksi Nilai
Budaya Orang Dayak Ngaju dan Ot Danum Melalui Cerita Rakyat Mereka’, hlm. 57-69.
(ed. Pudentia Mpss) Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.
Gadgil, M., and V.D. Vartak. 1974. ‘The sacred groves of Western Ghats in India’, pp. 152- 160.
Economic Botany Vol. 30.
Stevenson, A (ed.). 2010. Oxford Dictionary of English. 3rd ed. Oxford: Oxford University
Press.(Ebook version for Apple computer)
Udu, S. Tradisi Lisan sebagai Media Konservasi Lingkungan dalam Masyarakat Adat
Wakatobi.

http://pusatstudiwakatobi.blogspot.se/2013/06/tradisi-lisan-sebagai-media-

konservasi.html. Akses 11 Aug 2014.
Vischer, M. P.2009. ‘Contestations: Dynamics ofprecedence in an eastern Indonesian
domain’, pp. 245-274. Precedence: social differentiation in the Austronesian world
(ed.Vischer, M. P.). Canberra: ANU E Press. http://press.anu.edu.au?p=79751.
Akses 10 Aug 2014.
____. 1993. ‘Palu’e’, hlm. 204-209. (ed. Hockings, P) Encyclopedia of World Cultures Vol. V
East and Southeast Asia. New York: G.K. Hall & Company.

Rekaman audio (ed. Danerek, S. 2014. Arsip lisan Palu’e file .waw. In process)
Watu Noni (dengan Bapak Cawa Aloysius Kinde-Phima 2014).
Ware Cane (dengan Bapak Sosu, Nara 2014).

Lain
Catatan lapangan dan komunikasi pribadi dengan anggota masyarakat Palu’e.
Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik mengakui keberadaan hutan adat. 16 Mei 2013.
UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
UUD 1945 pasal 18B ayat (2).