perlindungan hukum terhadap konsumen dan

A. JUDUL PENELITIAN : Perlindungan hukum terhadap konsumen dan
juga pelaku usaha dalam melakukan transaksi jual beli secara online (ECommerce) di Indonesia
B. Latar Belakang
Jual beli (e-commerce) adalah sebuah kegiatan yang mungkin
hampir setiap hari kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai
macam transaksi jual beli pun dapat kita jumpai dimana-mana bahkan sudah
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan manusia sebagai mahluk
sosial dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun pada zaman dahulu
praktek barter atau tukar menukar digunakan oleh masyarakat dalam
bertransaksi satu sama lain. Seiring dengan berjalannya waktu dewasa ini
transaksi jual beli pun sekarang menjadi sebuah transaksi yang dahulunya
sangat sederhana

sekarang menjadi sebuah transaksi modern serta

kompleks.
Di dalam jual beli ada dua pihak yaitu pihak penjual dan pihak
pembeli dimana dalam hal ini pembeli disebut sebagai konsumen sedangkan
penjual adalah pelaku usaha. Konsumen dan pelaku usaha dalam jual beli
biasanya mengadakan sebuah negosiasi tergantung dari apa yang menjadi
objek yang diperjualbelikan.dalam jual beli biasanya penju

Di indonesia sendiri jual beli adalah sesuatu yang tak terpisahkan
dari kehidupan masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman jual
belipun akhirnya menjadi sebuah transaksi yang dirasa untuk perlu
diberikan rambu-rambu. Sebagaimana kita ketahui bersama berdasarkan
Pasal 1 ayat (3) undang-undang dasar Negara Republik Indonesia bahwa “
Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum” maka dari
itu hukum muncul untuk mengatur setiap aspek kehidupan masyarakat yang
mana dimana hukum itu diharapkann bisa mengakomodir kepentingan
semua pihak sehingga semua orang bisa menggunakan haknya tanpa
melupakan kewajiban tentunya. Hal ini sangat penting agar tidak terjadi
kesewenang-wenangan sehingga jelas mengenai batasan-batasan dalam
bertingkah laku.

Transaksi jual beli pada era modern ini telah bertransformasi dari
kegiatan jual beli secara bertemu langsung kemudian sekarang karena
perkembaangan teknologi yang semakin maju mengakibatkan manusia
semakin mudah dalam menjalankan aktivitasnya dan tentunya semakin
efisien dan tepat guna, termasuk tentunya disini adalah transaksi jual beli.
Di era canggih seperti saat ini siapa yang tidak mengenal internet,
keberadaan internet semakin memudahkan manusia untuk berhubungan satu

sama lain,

mendapatkan konten-konten yang dibutuhkan dalam waktu

singkat, informasi yang lebih cepat, dan juga semakin membuka mata kita
tentang dunia. Tak terlepas dari keberadaan internet yang kemudian
digunakan oleh banyak orang untuk bertransaksi secara online, dimana
kelebihannya tentu dari segi efisiensi waktu sehingga dapat menghemat
waktu serta lebih memudahkan masyarakat.
Kemunculan internet sebagai salah satu terobosan yang sangat maju
telah membuka cakrawala kita tentang adanya ruang,informasi dan
komunikasi yang telah menembus batas-batas antarnegara. Dengan
kecanggihan yang membuat kemudahan bagi semua orang akan tetapi di
satu sisi internet tak luput dari pelaku kejahatan untuk menjadikannya
sarana untuk melakukan tindak kejahatan yang dinamakan cyber crime.
Jual beli sendiri terdapat pada buku III bab V burgelijk wetboek (bw)
Indonesia dimana pada Pasal 1457 BW “ jual beli adalah suatu perjanjian,
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan
suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah
ditentukan. Dalam BW kewajiabn penjual tercantum dalam pasal 1473-1512

BW , sedangkan kewajiban pembeli terdapat dalam Pasal 1513-1518 BW.1
Kemunculan transaksi jual beli secara online tentunya perlu
mendapatkan sebuah regulasi yang berisikan rambu-rambu agar tercipta lalu
lintas transaksi yang aman yang mampu mengakomodir kepentingan para
stake holder. Adapun dalam jual beli antara penjual dan konsumen pada
dasarnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan oleh karena itu
kepentingan dari para pihak harus dilindungi oleh hukum dan mendapat
1Periksa buku III Bab V Burgelijk Wetboek tentang jual beli

persamaan yang sama sebagaimana dalam Pasal 2 undang-undang Nomor 8
tahun 1999 tentang perlindungan konsumen bahwa perlindungan konsumen
berdasarkan manfaat,keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan
konsumen, serta kepastian hukum.2 Meskipun ada undang-undang nomor 8
tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan juga undang-undang nomor
11 Tahun 2008 tentang informasi transaksi elektronik, tapi menurut hemat
saya banyak aturan-atuaran yang tidak tercantum yang kurang mampu untuk
memayungi transaksi secara online.
Berdasarkan Pasal 3 undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang
informasi dan transaksi elektronik bahwa pemanfaatan teknologi informasi
dan transaksi elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum,

manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologiatau
netral teknologi. Akan tetapi pada keseluruhan norma dalam undang-undang
ITE tidak ada aturan yang mengatur tentang sebuah prosedur dalam
transaksi jual beli online.
Adanya undang-undang perlindungan konsumen pada dasarnya telah
menjadi semangat baru dalam perlindungan hak-hak konsumen.akan tetapi
dalam hal ini kita harus tahu mengenai prosedur jual beli secara online
berbeda dengan jual beli yang dilakukan secara bertemu langsung. Karena
semakin maraknya kejahatan lewat internet berupa penipuan, maka
kemudian lahirlah undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang transaksi
elektronik. Akan tetapi undang-undang tentang informasi transaksi
elektronik lebih kepada aturan-aturan tentang larangan penyalahgunaan
media elektronik, dalam hal ini tidak ada regulasi khusus yang mengatur
tentang jual beli secara online.
Menurut Joseph Luhukay (Presiden Director,Capital Market Society)
sebagaimana dikutip oleh majalah Infokomputer edisi Oktober 1999,
keuntungan bagi pedagang (merchant) antara lain :
a) Dapat digunakan sebagai lahan untuk menciptakan pendapatan
(revenue generation) yang sulit atau tidak dapat diperoleh melaluai
cara konvensional, seperti memasarkan langsung produk atau

2Periksa undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

jasa;menjual informasi,iklan (banner), membuka cybermall, dan
sebagainya;
b) Menurunkan biaya operasional. Berhubungan langsung dengan
pelanggan melalui internet dapat menghemat kertas dan biaya
telepon, tidak perlu menyiapkan tempat ruang pamer (outlet), staf
operasional yang banyak, gudang yang besar dan sebagainya;
c) Memperpendek product cycle dan management supplier. Perusahaan
dapat memesan bahan baku atau produk supplier langsung ketika ada
pemesanan sehingga perputaran barang lebih cepat dan tidak perlu
gudang besar untuk menyimpan produk – produk tersebut;
d) Melebarkan

jangkauan

(global

reach).


Pelanggan

dapat

menghubungi perusahaan /penjual dari manapun di seluruh dunia;
e) Waktu operasi tidak terbatas. Bisnis melalui internet dapat dilakukan
selama 24 jam per hari, 7 hari per minggu;
f) Pelayanan ke pelanggan lebih baik. Melalui internet pelanggan bisa
menyampaikan kebutuhan maupun keluahan secara langsung
sehingga perusahaan dapat meningkatkan pelayanannya.
Sedangkan keuntungan bagi pembeli antara lain :
a) Home Shopping. Pembeli dapat melakukan transaksi dari rumah
sehingga dapat menghemat waktu, menghindari kemacetan, dan
menjangkau toko – toko yang jauh dari lokasi;
b) Mudah melakukan. Tidak perlu pelatihan khusus untuk bisa belanja
atau melakukan transaksi melalui internet;
c) Pembeli

memiliki


pilihan

yang

sangat

luas

dan

dapat

membandingkan produk maupun jasa yang ingin dibelinya;
d) Tidak dibatasi waktu. Pembeli dapat melakukan transaksi kapan saja
selama 24 jam per hari, 7 hari per minggu;
e) Pembeli dapat mencari produk yang tidak tersedia atau sulit
diperoleh di outlet – outlet/pasar tradisional.3
3Dikdi M Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law (Aspek Hukum Teknologi), Refika
Aditama.Bandung.2005. Hlm. 150.


Munculnya banyak situs belanja online di satu sisi membuat
masyarakat senang, situs-situs seperti jual beli pakaian,elektronik, tiket dan
lain-lain. banyaknya kemudahan yang didapat dari berbelnja via online
menyebabkan situs-situs belanja online semakin menjamur hal ini karena
berbelanja via online membuat kita dapat berbelanja kapanpun dan
dimanapun tanpa harus datang ke toko yang biasanya memakan waktu yang
lama menjadikan berbelanja jauh lebih muda dan lebih efisien. akan tetapi
dibalik banyaknya kemudahan yang didapatkan dari berbelanja via online
tak sedikit pula kelemahan dari sistem belanja online diantaranya, seringkali
barang yang dipajang di situsnya berbeda dengan aslinya, barang yang
dipesan tidak sama dengan barang yang dikirimkan artinya barangnya
terkadang tidak sesuai dengan apa yang digambarkan. Hal tersebut masih
lebih baik dibandingkan banyaknya konsumen yang menjadi korban
penipuan berkedok toko online alias toko online fiktif.
Transaksi elektronik yang terkadang menggunakan perjanjian baku
sebagai dasar perjanjian jual beli sangat berpotensi merugikan hak-hak
konsumen, karena konsumen tidak dapat mebatalkan perjanjian jika penjual
melakukan wanprestasi atau cidera janji.dalam beberapa kasus, penjual
sering melanggar perjanjian yang mereka buat sendiri.contoh dari persoalan
ini antara lain adalah barang dan jasa yang diberikan tidak sesuai dengan

apa yang diperjanjikan, bahkan barang atau jasa yang sudah dilunasi juga
tidak sampai ke tangan konsumen.4
Berbicara mengenai prosedur tentunya tak terlepas dari satu aspek
yang menjadi pertimbangan adanya suatu prosedur tertentu yaitu aspek
keamanan. Aspek keamanan sendiri adalah hal yang sangat penting dalam
upaya perlindungan konsumen, dimana dalam jual beli secara online para
pihak penjual dan pembeli hanya bernegosiasi/berkomunikasi dari jarak
yang jauh, sehingga dalam hal ini kepercayaan trust menjadi hal yang sangat
penting dalam berjalan jadi tidaknya suatu proses jual beli. Dalam
bertransaksi tentunya pihak penjual dan pembeli ingin hak-hak mereka
4Iman Sjahputra, Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi elektronik,Alumni,
Bandung,2010. Hlm 1

dipenuhi, disamping pelaksanaan kewajiban tentunya, berangkat dari situ
dirasa penting adanya sebuah regulasi khusus dalam jual beli secara online
yang bisa mengakomodi hak-hak para pihak. Demi sebuah jaminan
keamanan bagi konsumen dan penjual maka tentu penting sekiranya ada
regulasi tentang prosedur dalam transaksi jual beli secara online.prosedur
jangan kita anggap sepele karena dari sinilah terkadang dimanfaatkan oleh
oknum-oknum tertentu. setidaknya ketika ada sebuah regulasi maka

konsumen dan juga pelaku usaha mempunyai payung hukum ketika terjadi
sengketa di kemudian hari.
Perlindungan konsumen dalam transaksi elektronik untuk keamanan
bertransaksi diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika
Nomor 29/PERM/KOMINFO/11/26 tentang pedoman penyelenggaraan
Certification Authority (CA): bahwa untuk memberi kepastian hukum dan
melindungi para pihak yang melakukan transaksi elektronik diperlukan
sistem pengamanan. 5pembentukan Lembaga Certification Authority oleh
Departemen Komunikasi dan Informatika RI akibat dengan mudahnya
dilakukan perubahan pesan-pesan elektronik dan tidak terdeteksi yang
mengakibatkan tingginya resiko manipulasi. Lembaga ini secara otoritatif
akan menerbitkan Digital Certificate yang digunakan oleh para pihak untuk
menyatakan identitasnya dalam melakukan transaksi elektronik.6
Akan tetapi, kehadiran lembaga itu saja tidak cukup melindungi hak
konsumen yang melakukan transaksi bisnis secara online karen tidak
mempunyai wewenang untuk melakukan akreditasi barang-barang yang
dipasarkan di internet. Jadi meskipun pemilik website telah memperoleh
Digital Certificate yang diterbitkan CA , terdapat kemungkinan barang tidak
sesuai dengan seperti yang dipromosikan, sehingga konsumen berotensi
dirugikan oleh pelaku usaha.7

C. Rumusan Masalah
5Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 29/PER/M.KOMINFO/11/2006
tentang pedoman penyelenggaraan Certification Authority (CA) di Indonesia
6Pedoman penyelenggaraan Certification Authority di Indonesia. Departemen Komunikasi
dan Informatika Republik Indonesia. Hlm. 2.
7Iman Sjahputra, Op.Cit. hlm. 4.

Berdasarkan Latar belakang yang telah dijabarkan diatas, maka
kemudian isu hukum dan permasalahan yang akan diteliti antara lain
sebagai berikut :
1. Apakah prinsip tanggung jawab dalam Perlindungan Konsumen bagi
pelaku usaha mampu melindungi hak-hak konsumen terhadap
barang yang tidak sesuai dengan yang ada pada situs penyedia online
shop ?
2. Apakah peraturan perundang-undangan yang ada dalam bidang
perlindungan

konsumen

mampu

mengakomodir

kepentingan,

keamanan dan kepastian hukum konsumen dan pelaku usaha dalam
melakukan transaksi jual beli secara online (e-commerce) ?
3. Perlukah sebuah aturan khusus tersendiri yang mengatur lalu lintas
transaksi jual beli secara online (e-commerce) di Indonesia ?
D. Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian hukum ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan Menganalisis peraturan perundangundangan yang terkait dengan jual beli online terutama aspek
perlindungan konsumen dan juga pelaku usaha apakah mampu
untuk mengakomodir hak-hak para pihak, menciptakan transaksi
yang aman, serta adanya status hukum yang jelas dari sebuah
transaksi yang dilakukan secara elektronik.
2. Menyusun suatu argumentasi hukum tentang perlindungan hakhak konsumen juga pelaku usaha sebagai upaya perlakuan yang
sama antara konsumen dan pelaku usaha sebagaimana asas
keseimbangan dalam kaitannya dengan persamaan di depan
hukum.
E. Manfaat penelitian
Manfaat dari penelitian hukum ini antara lain :
1. Manfaat praktis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi
dalam kesadaran akan pentingnya hak hak konsumen dan pelaku
usaha untuk diakomodir, adanya tanggung jawab dari pelaku
usaha berdasarkan prinsip tanggung jawab, sehingga terciptanya
lalu lintas transaksi elektronik yang aman, nyaman, dan adanya
kepastian hukum. Dan juga diharapkan konsumen melakukan
transaksi online berdasarkan prinsip kehati-hatian.
2. Manfaat penyusunan aturan hukum
Hasil penelitian ini juga saya harap dapat memberikan sedikit
kontribusi

dalam

hal

pembentukan

aturan-aturan

terkait

perlindungan konsumen dan pelaku usaha dalam era ecommerce. Yang mengakomodir kepentingan dari konsumen dan
pelaku usaha sehingga terjadi keseimbangan posisi antara
keduanya sebagaimana asas keseimbangan.
F. Kajian Pustaka
1. Konsumen dan Pelaku usaha
Istilah konsumen berasal dari kata consumer, secara harfiah
arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang
menggunakan barang. Konsumen secara sederhana digambarkan
sebagai setiap orang yang menjadi pengguna barang atau jasa.
Kamus umum bahasa Indonesia sendiri mendefinisikan konsumen
sebagai lawan podusen, yakni barang-barang industri, bahan
makanan, dan sebagainya.8 Berdasarkan pengertian dari Pasal 1 ayat
(2) undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen “ konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan jasa
yang tersedia dalam masyrakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain maupun mahluk hidup lainnya dan tidak untuk
diperdagangkan”.

8 WJS. Poerwardaminta, kamus Umum Bahasa Indonesia, Gramedia . jakarta. 1995. Hlm.
521

Dalam Black’s Law Dictionary mendefinisikan konsumen
sebagai berikut : a persson who buys goods or service for personal,
family, or household use, with no intention or resale; a natural
person who use produects for personal rather than business
purpose.9
Berdasarkan dari beberapa pengertian konsumen yang telah
dikemukakan diatas, maka konsumen dapat dibedakan kepada tiga
batasan, yaitu:
a) Konsumen komersial (commercial consumer), adalah setiap
orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan
untuk memproduksi barang/ dan atau jasa lain dengan tujuan
untuk mendapatkan keuntungan.
b) Konsumen antara(intermediate consumer), adalah setiap orang
yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk
diperdagangkan kembali juga dengan tujuan untuk memperoleh
keuntungan.
c) Konsumen akhir (ultimate cosumer/ end user) adalah setiap
orang yang mendapatkan dan menggunakan

barang dan/atau

jasaa untuk tujuan memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga dan
orang lain, dan mahluk hidup lainnya dan tidak untuk
diperdagangkan kembali dan/atau untuk mencari keuntungan.10
Pelaku usaha secara sederhana digambarkan sebagai setiap
orang atau kelompok yang melakukan suatu usaha yang dilakukan
untuk suatu tujuan tertentu. Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) undangundang nomor 8 tahun 1999 “ pelaku usaha adalah setiap orang
perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badaan hukum
maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayag hukum Negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
9 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary Eight edition , west Publishing, St. Paul,
minnosta. Hlm. 335
10 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana. Jakarta. 2013. Hlm. 17

2. Hak dan kewajiban dari konsumen pelaku usaha
2.1 Hak Konsumen
Secara internasional hak konsumen dapat dibedakan menjadi 4
(empat) hak utama yang telah diakui secara global yaitu:11
a) hak untuk mendapatkan keamanan
b) hak untuk mendapatkan informasi
c) hak untuk memilih
d) hak untuk didengar
Dalam perkembangannya terdapat penambahan hak konsumen
dalam International Organization of Consumer Union (IOCU)12
yaitu hak mendapat pendidikan, hak mendapatkan ganti rugi dan
hak mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat.
Sedangkan dalam Pasal 4 UUPK terdapat beberapa hak
konsumen yaitu:13
a) Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi
barang dan/atau jasa
b) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan
barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan
c) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa
d) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan
e) Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut
f)

Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen

g) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif
11 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika,
Jakarta,2011, hlm. 30-31.
12 Ibid
13 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen,Grafindo,
Jakarta, 2004. hlm. 38.

h) Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinyaa
i)

Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya

2.2 Kewajiban konsumen
Selain memiliki hak, konsumen juga memiliki kewajiban, hal ini
bertujuan untuk mengimbangi hak konsumen, sehinggga
kewajiban ini diatur dalam Pasal 5 UUPK yang mencantumkan
5 (lima) macam kewajiban konsumen, yaitu:14
a) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan;
b) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa;
c) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
2.3 Hak Pelaku Usaha
Menurut Pasal 6 UUPK tercantum 5 (lima) hak-hak dari
(pelaku usaha) sebagai berikut:15
a) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan
b) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang beritikad tidak baik
c) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen

14 Ibid, hlm. 47.
15 Ibid, hlm. 50.

d) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara
hukum bahwa kerugian konsumen tidak berakibatkan oleh
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
e) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan
lainnya
2.4 kewajiban pelaku usaha
Menurut Pasal 7 UUPK kewajiban produsen (pelaku usaha)
adalah:16
a) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
b) Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan
c) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif
d) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi
dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu
barang dan/atau jasa yang berlaku
e) Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji
dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta
memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan
f)

Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan

g) Memberikan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian
apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan
tidak sesuai dengan perjanjian.
3. Jual Beli Online E-Commerce
Jual beli secara sederhana adalah suatu perjanjian yang dilakukan
oleh dua pihak dimana salah satu pihak sebagai penjual yang
16 Ibid, hlm. 51.

mempunyai sesuatu untuk dijual dan pihak lainnya sebagai pembeli
yang berniat untuk membeli sesuatu. Jual beli tidak anya terjadi di pasar
akan tetapi jual beli dapat dilakukan dimana saja kapan saja sehingga
dikatakan jual beli sebagai suatu perjanjian antara pihak yang
mengikatkan dirinya dalam suatu ikatan antara konsumen dan pelaku
usaha. Sedangkan berdasarkan Pasal 1457 BW bahwa “ jual-beli adalah
suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya
untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk
membayar harga yang telah diperjanjikan. dalam jual beli biasanya yang
mempunyai daya tawar yang tinggi adalah penjual sehingga dalam
praktinya seringkali pembeli (konsumen) hanya mempunyai 2 pilihan
yaitu take it or leave it (ambil atau tinggalkan) sehingga jarang sekali
pembeli mempunyai pilihan untuk mengambil hak hak sebagia
konsumen. E-commerce adalah segala transaksi perjanjian jual beli sewa
menyewa dan lain lain yang dilakukan melalu media internet. Jual beli
secara elektronik atau E-commerce seringkali menyulitkan dalam hal
perlindungan keamanan transaksi dalam melindungi hak-hak konsumen.
4. Hukum Konsumen dan Hukum perlindungan Konsumen
Sesungguhnya peranan hukum dalam konteks ekonomi adalah
menciptakan ekonomi pasaar yang kompetitif. Terkait dengan hal
inipula, bahwa tidak ada pelaku usaha atau podusen tunggal yang
mampu mendominasi pasar, selam konsumen memiliki ha untuk
memilih produk mana menawarkan nilai terbaik, baik dalam harga
maupun mutu.17 Perlindungan konsumen harus mendapat perhatian
lebih, karena investasi asing telah menjadi bagian pembangunan
ekonomi Indonesia, dimana ekonomi Indonesia juag berkaitan dengan
ekonomi dunia. Persaingan internasional dapat membawa implikasi
negatif bagi konsumen.18
17 Zulham, Ibid,. Hlm. 21
18 Erman Rajagukguk, Pentingnya Hukum Perlindungan Konsumen dalam Era
Perdagangan bebas,dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati (Penyunting), Hukum
Perlindungan Konsumen, maju Mandar, Bandung, 2002, hlm. 2

Karena posisi konsumen yang sangat lemah maka ia harus dilindungi
oelh hukum, salah satu sifat , sekaligus tujuan hukum itu adalah
memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Jadi,
sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen
adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya.19
Ada juga yang berpendapat, hukum perlindungan konsumenn
merupakan bagian dari hukum konsumen ang lebih luas. Az. Nasution,
misalnya berpendapat bahwa hukum konsumen memuat asas-asas atau
kaidah-kaidah

bersifat

mengatur, juga

mengandung

sifat yang

melindungi konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan
dengan barang dan/atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.20
Cakupan perlindungan konsumen itu dapat dibedakan dalam dua
aspek, yaitu:21
a) Perlindungan terhadap kemungkinan barang yang diserahkan kepada
konsumen tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati.
b) Perlindungan terhadap diberlakukannya syarat-syarat yang tidak adil
kepada konsumen.
Tindakan-tindakan yang dilakukan dalam melindungi hak-hak
konsumen tidak hanya dilakukan upaya tindakan preventif (pencegahan)
tetapi juga adanya tindakan refresif (penindakan) hal ini berkaitan sangat
erat dalam tercapainya hak-hak konsumen. Maka pengaturan terhadap
perlindungan konsumen dilakukan dengan :22
a) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur keterbukaan akses informasi, serta menjamin kepastian
hukum.
b) Melindungi

kepentingan

konsumen

pada

khussusnya

kepentingan seluruh pelaku usaha.
19 Celina Tri Siwi Kristayanti,Opcit, hlm. 3
20 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, 2000. Hlm. 9-10
21 Zulham, Op.cit., hlm. 22.
22 Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Op.cit,. hlm. 7

dan

c) Meningkatkan kualitas barang dn pelayanan jasa.
d) Memberikan perlindungan kkepada konsumen dari praktik usaha
yang meenipu dan menyesatkan.
e) Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaaturan
perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada
bidang-bidang lainnya.
Maka, hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas
dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam
hubungan masalah penyediaan dan penggunann produk konsumen
antara penyediaan dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat.23
Dalam

penyederhanaan

bahasanya

bahwa

hukum

perlindungan

konsumen meliputi segala ketentuan peraturan perundang-undangan lain
yag mengatur tentang perlindungan hak-hak konsumen. hal ini terkait
dengan Pasal 64 undang-undang perlindungan konsumen yang berbunyi
“ segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan
melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang-undang ini
diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara
khusus dan atau tidak bertentengan dengaan ketentuan dalam undangundang ini.
Dalam perlindungan konsumen dikenal adanya prinsip-prinsip
hukum diantaranya adalah prinsip tanggung jawab. Secara umum,
prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai
berikut :24
a) Kesalahan (liability based on fault);
b) Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability);
c) Praduga selalu tidak bertanggung

jawab (presumption of

nonliability);
d) Tanggung jawab mutlak (strict liability);
e) Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability);

23 Az Nasution, hukum Perlindungan Konsumen (suatu Pengantar), Diadit Media, Jakarta,
2002. Hlm. 22-23
24 Celina Tri Siwi Kristayanti, Opcit,. Hlm. 92.

5. Perlindungan konsumen E-Commerce
Salah satu faktor terpenting mendorong lahirnya undang-undang
nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen adalah tingginya
derajat pelanggaran hak konsumen dalam dasaawarsa sebelumnya.
Berbagai pelanggaran ini menjadi sangat intesif pada awal tahun 1970
hingga 1998. Hal ini disebabkan bahwa pelaku ussaha menikmati
kebijakan-kebijakan politik hukum yang digariskan dalam polaa
pembangunan jangka panjang 25 (dua puluh lima tahun). Meskipun
karaktteristik sasaran pokok dari strategi pembagnunan growth-equity
adalah pertumbuhan dan pemerataan, pemerintahan pada waktu itu (orde
baru) tetap menyokong pelaku usaha (konlomerat) untu memenuhi
kebutuhan pokok masyarakat dan pembangunan di segala sektor. 25
Perkembangan pesat teknologi teknologi informasi telah melahirkan
bentuk transaksi baru antara konsumen dengan pelaku usaha. Transaksi
yang terjadi antara kedua subjek hukum ini pada dasarnya adalah pasar
yang sangat potensial , karena konsumen dapat melakukan transaksi
dengan pelaku usaha di seluruh penjuru dunia dengan biaya yang relatif
mudah dan dengan efisiensi waktu. Masalahnya yang timbul adalah
bahwa dalam Pasal 1 ayat (1) undang-undang perlindungan konsumen
mendefinisikan kata perlindungan konsumen dalam pengertiannya yang
limitatif, karena ketentuan ini hanya menyebutkan bahwa: perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk

memberi

perlindungan

konsumen.

Tafsiran

atas

makna

perlindungan konsumen yang tersebut dalam pasal 1 ayat (1) UUPK
perlu diperluas, sehingga perlindungan konsumen, menyangkut seluruh
aspek perlindungan konsumen yang termasuk di dalamnya perlindungan
konsumen yang melakukan transaksi secara elektronik.
Tentu saja perluasan tafsiran makna perlindungan konsumen yang
tercantum dalam UUPK memiliki tujuan yang lebih luas daripada
sekedar melindungi konsumen yang melakukan transaksi seperti yang
berlangsung dalam perdagangan konvensional (Offline), karena fakta
25 Iman Sjahputra, Op,cit,.hlm. 135-136.

yang menunjukkan bahwa konsumen yang melakukan transaksi secara
elektronik sering tidak dapat meneliti barang atau jasa

yang

dipromosikan oleh pelaku usaha dalam website toko online nya.
Dengan harapan memberikan perlindungan yang maksimal (more
protection) kepada konsumen. Memang, UUPK menyebutkan bahwa
konsumen antara lain memiliki hak untuk memperoleh informasi yang
benar, jelas dan jujur tentang kondisi dan jaminan barang ataupun jasa
(Pasal 4 Huruf h). Persoalan ini kemudian kembali ditegaskan daalam
Pasal ( undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
transaksi elektronik yang menyebutkan bahwa pelaku usaha yang
meenawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan
informasi yang lengkap dan benar terkait dengan syarat kontrak, atas
produk yang ditawarkan oleh pelaku usaha.26 Akibat banyaknya terdapat
tindakan-tindakan oknum pengguna internet yang sangat merugikan
konsumen seperti kasus—kasus situs jual beli online yang fiktif
merupakan suatu hal yang harus dipecahkan

oleh hukum untuk

menjangkau segala aspek.
Untuk mengatasi persoalan situs yang berkedok penjualan barang
atau jasaa fiktif, undang-undang ITE sebenarnya sudah mendesain
ketentuan yang bersifat preventif dan kelembagaa (institusional)
terutama

untuk

menghadapi

maraknya

situs-situs

palsu

yang

menyesatkan konsumen. Salah satu upaya tersebut dapat dilihat dari
ketentuan Pasal 10 ayat (1) undang-undang ITE yang mengatakan
bahwa : setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan transaksi
elektronik

dapt

disertifikasi

oleh

lembaga

srtifikasi

keandalan

(certifivation Authority). Lembaga ini akan menerbitkan sertifikasi
kepada pelaku usaha sebagai buki bahwa mereka yang melakukan
perdagangan secara elektronik memang layak berusaha. Agar dapat
memperoleh sertifikat keandalan, pengguna (user) harus melewati tahap

26 Penjelasan Pasal 9 undang-undang ITE

penilaian dan audit dari badan yang berwenang menerbitkan sertifikasi
keandalan.27
Dalam konteks Lex Electronica’ Article 11 model hukum
UNICITRAL, UU ITE dan naskah akademisnya, masing-masing
rujukan ini secara jelas mengatakan bahwa perjanjian ini E-commerce
adalah bentuk perjanjian jual beli yang memiliki kekuatan hukum yang
sama dengan perjanjian konvensional, namun memiliki karakteristik dn
aksentuasi berbeda dengan perjanjian yang lazim berlaku

dalam

transaksi jual bel konvensional. Hal ini menggambarkan bahwa dalam
E-commerce kesepakatan antara pembeli dan penjual dilakukan secara
elektronik.28 Hal ini menyebabkan sehingga prinsip-prinsip dalam
hukum perjanjian secara konvensional, terkait dengan keabsahan suatu
perjanjian harus mengalami perubahan yang cukup mendasar, dalam hal
perjanjian jual beli secara online dalam tataran E-commerce berlangsung
dalam pranata click and point agrrement.
6. Tanda tangan digital (Digital Signature)
Dalam bidang lembaga hukum siber (cyber Law) masalah otensitas
dapat diwujudkan dengan menggunakan tanda tangan digital (Digital
Signature).29 Untuk melindungi kepentingan konsumen dan pelaku usaha
yang melakukan transaksi secara eektronik keberadaan tanda tangan
digital jelas sangat penting karena dapat menunjukkan sumber data
elketronik yang sesungguhnya.30 Dengan instrumen ini integritas pesan
antara para pihak yang melakukan transaksi terjamin orisinalitasnya
karena adanya sertifikat digital (digital certificate).31 Sertifikat digital
akan diperoleh Pasca pengguna (user/subscriber) melakukan aplikasi
kepada lembaga CA. Pada hakikatnya, sertifikat digital berisikan
27 Iman Sjahputra, Ibid,. Hlm. 153
28 Iman Sjahputra, mengutip dari Inggrid Winternitz dalam Electronic Publishing
Agreements, Precedent with Commentary and disk. Oxford University Press. 2005 hlm. 93.
29 Pasal 11 ayat (1) tentang ITE terkait dengan tanda tangan elektronik
30 Baca ketentuan Umum Pasal 1 butir ke-12 UU nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi
dan transaksi elektronik
31 Baca pedoman penyelenggaraan CA di indonesia yang diterbitkan departemen
KOMINFO RI tahun 2006

informasi yang berkaitan tentang: identitas, kewenangan, kedudukan
hukum, dan statsu dari pengguna (user). Disini dapatlah ditari sebuah
kesimpulaaan bahwa tanda tangan digital adalah sebuah item data yang
terkait dengan sistem pengkodean pesan digital yang betujuan untuk
memberikan jaminan atas keaslian data dan memastikan data tersebut
tidak termodiifikasi.
Jika digital signature atau tanda tangan digital seperti yang telah
dijabarkan diatas dihubungkan dengan perlindungaan konsumen,
jelaaslah bahwa e-commerce juga sangat dipengaruhi oelh implementasi
prinsip non-repudation. Dengan diterapkannya prinsip tersebut secara
teoritis dapat diprediksi bahwa para pihak tidak lagi dapat menyangkal
telah melakukan transaksi.32
7. Perlindungan konsumen e-commerce dalam sistem keamanan
teknologi informasi
7.1 Sertifikat digital
Penggunaan teknologi kriptografi memainkan peran besar dalam
upaya melindungi konsumen yang melakukan transaksi seccara
elektronik. Para ahli hukum siber terutama menyadari bahwa bahwa
aplikasi tanda tangan elektronik akan menjamin kerahasiaan dan
integritas pesan yang dikirim melalui jaringan telekomunikasi
terbuka seperti world wide web.menurut para ahli hukum teknologi
informasi masalah tersebut dapat diatasi dengan memberikan
sertifikat digital epada kunci publik (publik key). Sertifikat digital ini
diterbitkan (issued) oleh badan pemegang otoritas sertifikasi dalam
hal ini CA (certificate authority).
7.2 Tugas dan wewenang Certificate Authority (CA)
Dalam pedoman penyelenggaraan CA di indonesia secara jelas
dikatakan bahwa CA memiliki fungsi sebagai berikut: 33

32 Iman Sjahputra, Ibid,.hlm. 156
33 Baca pedoman Penyelenggaraan CA di indonesia dari Departemen KOMINFO RI tahun
2006

a) Memfasilitasi transaksi elektronik antara pihak pertama dan
kedua melalui penertiban SD yang berisi kunci publik dan
konfirmasi terhadap identitas pemegang kunci publik atau
pelanggan;
b) Memberikan otentifikasi terhadap kunci publik para pihak yang
melakukan transsaksi ellektronik;
c) Memastiakn identitas dan status subjek hukum penandatangan
selama masa berlakunya tanda tangan digital;
d) Melakukan verifikasi, pemeriksaan dan pembuktian identitass
para pengguna dan pelanggan serta mensahkan pasangan kunci
publik dengan identitas pemiliknya;
e) Administratif mencakup registrasi, otentifikasi fisik, pembuatan
dan pengelolaan kunci, pengelolaan dan pembekuan kunci;
f)

Menyediakan directory tentang status SD yang diterbitkannya;

g) Dapat dilengkapi dengan lembaga pelaksanaan regisstrasi yang
menjalankan fungsi administratif;
h) Dapat melakukan fungsi registrasi dan publikasi kepada seluruh
otoritas registrasi dan penyedia jasa repository (tempat untuk
menyimpan dan menngumumkan SD yang diakses oleh publik),
tetapi tanggung jawab tetap berada pada CA;
7.3 Teknologi Kriptografi dalam Internet
Kriptografi berasal dari bahasa yunani kuno yaitu krypto (rahasia)
dan graphos (tulisan). Teknologi yang berhasil membuat tulisan
rahasia atau yang disebut kriptografi itu terdiri dari 2 jenis. Yang
pertamaa adalah kriptografi simetrik yang memungkinkan suatu
pesan dienkrip dan didekrip dengan menggunakan kunci yang sama
dan kunci tersebut diidentifikasi sebagi kuncci pribadi yang
berfungsi untuk mengunci data dan membuka data.34 Yang kedua
adalah kriptografi asimetrik, yang merupakan dua kunci yang

34 Iman Sjahputra, kutipan dari Mohd Shanudin dan Azizi Abdullah, E-commerce;problem
and solution under digital signature act 1997. Hlm. 197.

berbeda, yaitu kunci publik untuk proses enkripsi dan kunci pribadi
untuk proses deskripsi.
7.4 Teknologi secure Socket Layer
Teknologi Secure socket layer SSL yang merupakan suatu teknologi
yang sudah umum digunakan oleh pemilik website pedagang online.
Teknologi ini dapat menjaga keamanan suatu pesan elektronik
dengan menggunakan jalur enkripsi diantaraa web server dan
browser.35
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan dalam Penelitian hukum
Dalam peneltian ini pendekatan yang dilakukan terhadap
kegiatan penelitian hukum ini adalah pendekatan Perundangundangan

(statue

approach)

(conceeptual approach).
pendekatan

yang

dan

Pendekatan

Konseptual

36

Pendekatan perundang-undangan yaitu

dillakukan

dengan

mengkaji

teori

yang

berhubungan dengan judul yang diangkat yang kemudian diuji
terhadap

peraturan

perudang-undangan

yang

mengaturnya.

Pendekatan konseptual yaitu pendekatan yang dilakukan dengan
merujuk kepada prinsip-prinsip hukum yang dapat ditemukan dalam
doktri-doktrin hukum.
2. Sumber bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang dipergunakan dalam sistematika
penulisan tesis ini terdiri dari :
a) Bahan Hukum primer
Bahan Hukum Primer adalah sumber bahan hukum yang
diperoleh

dengan pengumpulan peraturan perundang-undangan

yang terdiri dari :
1.) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;
2.) Kitab undang-undang hukum Perdata (burgelijk wetboek);
35 Baca SSL.com dalam http://www.ssl.com yang diakses pada tanggal 27 september 2014
36 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (edisi revisi), Kencana, Jakarta, 2014, hlm.
136 dan 137.

3.) Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen;
4.) Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan
transaksi elektronik;
5.) Peraturan

Menteri

Komunikasi

dan

Informatika

Nomor

29/PERM/KOMINFO/11/26 tentang pedoman penyelenggaraan
Certification Authority (CA)
b) Bahan Hukum Sekunder
Bahan

hukum

sekunder

adalah

bahan

hukum

yang

dikumpulkan dari buku buku hukum, jurnal-jurnal hukum, kamuskamus hukum, website, dan bahan-bahan lain yang terkait dengan
isu hukum dalam penulisan.
H. Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini saya
menggunakan cara melalui studi kepustakaan dengan menggunaakan
cara sistem kartu, yaitu suatu cara dengan menginventarisir peraturang
perundang-undangan, dan buku-buku. untuk memperoleh bahan hukum
yang sesuai dengan objek penelitian dan selanjutnya disusun secara
sistematis berdasarkan pokok bahasan dalam penelitian ini.
Bahan hukum primer berupa perundang-undangan dikumpulkan
dengan metode inventarisasi dan kategorisasi. Dan bahan hukum
sekunder dikumpulkan dengan cara sistem kartu catatan. Bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder yang telah dikumpulkan kemudian
dikelompokkan dan dkaji dengan penddekataan perundang-undangan
guna memperoleh gambaran sinkronisasi dari semua bahan hukum.
Selanjutnya dilakukan sistematisasi dan klasifikasi dan dikaji serta
dibandingkn dengan teori dan prinsip hukum, untuk dianalisis secara
normatif.
I. Analisis Bahan hukum

Analisa bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis ketentuan dengan menarik kesimpulan yang umum ke khusus
(deduktif) atau dari yang khusus ke umum (induktif), keduanya
digunakan berbarengan cara berpikir demikian tersebut diatas, maka
bahan hukum itu

dapat diinterpretasikan dan apabila diperlukan

dievaluasi dengan tetap berpegangan pada hukum sebagai suatu sistem.
J. Pertanggungjawaban Sistematika
Pertanggungjawaban sitematika adalah uraian sistematis tentang
sistematika bab subbab. Dimana dalam penulisan penelitian ini dibagi
dalam bab, yaitu:
Pertama-tama adalah bab I dimana dalam bab I terdapat latar
belakang masalah yang di dalamnya merupakan merupakan awal
penjelasan untuk masuk kepada rumusan masalah selanjutnya ada
rumusan masalah yang berasal dari penarikan isu hukum terkait objek
yang diteliti. Dalam bab ini juga terdapat tujuan penelitian, manfaat
penelitian,kajian pustaka, metode penelitian dan pertanggungjawaban
sistematika.
Pada bab II berisikan dengan pembahasan mengenai rumusah
masalah dan rumusan masalah yang kedua, terkait dengan relevansi
undang-undang perlindungan konsumen dan undang-undang informasi
transaksi elektronik terkait dengan perlindungan konsumen dan pelaku
usaha dalam transaksi e-commerce.
Bab III berisikan dengan rumusan masalah yang ketiga yang terkait
hasil dari analisis rumusan masalah pertama dan yang kedua, dari hasil
analisis tersebut maka akan dilanjutkan dengan pembahasan rumusan
masalah yang ketiga.
Bab IV merupakan penutup dari semua rangkaian penelitian, dimana
dalam bab ini berisikan kesimpulan dan saran. Kesimpulan dari
penelitian ini berasal dari ringkasan poin-poin dari objek penelitian
sedangkan saran merupakan Hasil penelitian yang berupa preskripsi.

DAFTAR PUSTAKA

A Garner, Bryan, Black’s Law Dictionary Eight Edition, West Publishing,
Minnesota, 2004.

Kristayanti, Celina Tri Siwi, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar
Grafika, Jakarta, 2011.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum (edisi revisi), Kencana, Jakarta,
2014.
M Arief Mansur, Dikdi & Gultom Elisatris, Cyber Law (Aspek Hukum
Teknologi), Refika Aditama, Bandung, 2005.
Miru, Ahmadi & Yodo, Sutarman, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Poerwadarminta, WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Gramedia, Jakarta,
1995.
Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, 2000.
Sjahputra, Iman, Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Elektronik,
Alumni, Bandung, 2010.
Syawali, husni & Sri, Imaniyati Neni, Hukum Perlindungan Konsumen,
Maju Mandar, Bandung, 2002.
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana, Jakarta, 2013.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-undang hukum Perdata
Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi Transaksi
Elektronik
Peraturan Menteri Nomor 29/PER/M.KOMINFO/11/2006 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Certification Authority (CA) di Indonesia
Website
http://www.ssl.com