Mengintegrasikan dan Reformasi Birokrasi den

Jurnal Analis Kebijakan | Vol 1 No 1 2017

MENGINTEGRASIKAN REFORMASI BIROKRASI DENGAN INOVASI SEKTOR PUBLIK

Antonius Galih Prasetyo
Lembaga Administrasi Negara
Abstrak
Kebijakan reformasi birokrasi diterapkan pemerintah dalam rangka mewujudkan birokrasi
berkelas dunia yang dinamis dan berdaya saing. Implementasinya telah memberikan beberapa
perbaikan, meskipun belum cukup signifikan. Karena pendekatannya yang terlalu formalistis
dan seragam, perubahan yang dihasilkan belum cukup memberikan dampak dan manfaat nyata
bagi publik. Inovasi sektor publik dihadirkan untuk melengkapi kekurangan tersebut. Hal ini
sesungguhnya juga telah dilakukan oleh instansi pemerintah, baik di level pusat maupun
daerah. Meski demikian, inovasi sektor publik masih perlu diakselerasi agar pelaksanaannya
berjalan lebih merata dan masif untuk mendorong reformasi. Tulisan ini menunjukkan
pentingnya untuk melengkapi dan mengaitkan reformasi birokrasi dengan inovasi sektor
publik. Hubungan di antara keduanya dapat dipandang baik sebagai hubungan integratif
maupun komplementer. Menjadikan inovasi sebagai bagian dari area perubahan dan
menyuntikkan dimensi inovasi dalam area perubahan yang selama ini telah ditetapkan adalah
dua contoh cara untuk mengintegrasikan keduanya. Reformasi birokrasi dan inovasi sektor
publik perlu dilakukan secara simultan untuk perbaikan penyelenggaraan pemerintahan yang

komprehensif.
Kata kunci: reformasi birokrasi, inovasi sektor publik, area perubahan, integrasi
Abstract
Bureaucratic reform policy has been implemented by the government in order to produce
competitive and dynamic world-class bureaucracy. Eventough the result indicates
improvement in the bureaucracy, it leaves much to be desired. Because of its overly formalistic
and uniform approach, the reforms have not brough significant advantages to the public.
Public sector innovation was introduced to complement these shortcomings. This has actually
been done by government agencies, both at the central and regional levels. Nevertheless, public
sector innovation needs to be accelerated in order to be implemented evenly and massively to
spur the reform. This paper argues the importance of complementing and linking bureaucratic
reform with public sector innovation. The relationship between the two can be viewed both as
an integrative and complementary relationship. Making innovation a part of the change area
and injecting the innovation dimension in the area of change are two examples of ways to
integrate bureaucratic reform and public sector innovation. This integration is essential to
achieve comprehensive improvement of governance.
Keywords: bureucratic reform, public sector innovation, areas of change, integration

49


Jurnal Analis Kebijakan | Vol 1 No1 2017

Pendahuluan

profil yang selama ini diharapkan, yakni
menjadi institusi yang memberikan
pelayanan publik dan mengungkit
kesejahteraan rakyat secara maksimal.
Untuk itu, tulisan ini akan
distrukturkan sebagai berikut. Pertama,
akan diulas dinamika pelaksanaan
reformasi birokrasi yang telah dilakukan
selama ini, mulai dari perjalanan
historisnya dari masa ke masa sampai
kepada landasan kebijakan atau peraturan
yang mendasarinya. Selanjutnya, diuraikan
evaluasi terhadap pelaksanaan reformasi
birokrasi untuk menunjukkan mengenai
pentingnya
melengkapi

pendekatan
reformasi birokrasi dengan pendekatan
inovasi sektor publik. Beranjak dari situ
kemudian diulas mengenai inovasi sektor
publik di Indonesia, mulai dari regulasi
yang mengatur tentang inovasi sektor
publik, dinamika pelaksanaannya selama
beberapa tahun terakhir, dan evaluasi
terhadapnya. Tulisan kemudian dilanjutkan
dengan uraian konseptual mengenai
pentingnya mengintegrasikan reformasi
birokrasi dengan inovasi sektor publik,
termasuk rekomendasi mengenai cara
untuk mengintegrasikan keduanya. Tulisan
diakhiri dengan bagian Penutup.

Setelah Indonesia menjalani era
demokrasi sejak tahun 1998, pemerintah
telah menjalankan beberapa perubahan
penting. Perubahan tersebut sebagian besar

disebabkan oleh tuntutan publik yang
menguat atas perbaikan dalam berbagai
bidang seperti pengakuan yang lebih luas
akan hak sosial-politik, pemilihan umum
yang bebas, keterbukaan informasi,
penegakan hukum yang baik, dan
sebagainya. Tidak kalah penting dari
tuntutan yang memberikan manfaat
langsung kepada masyarakat, tuntutan juga
diarahkan
kepada
pihak
internal
pemerintahan sendiri, khususnya dalam
aspek penyelenggaraan negara oleh
aparatur pemerintah.
Pada dimensi tersebut kemudian
mengemuka diskursus mengenai reformasi
birokrasi. Reformasi birokrasi dipandang
sebagai resep ampuh menuju birokrasi

berkelas dunia yang dinamis dan melayani
dengan prima. Pemerintah merespons
tuntutan tersebut dengan membuat
kebijakan yang terkait dengan reformasi
birokrasi. Semua organisasi publik
diwajibkan untuk menjalankan reformasi
birokrasi sesuai dengan yang digariskan
dalam berbagai kebijakan.
Dalam perjalanannya reformasi
birokrasi memperoleh berbagai catatan
positif. Meski demikian, masih ada
kelemahan dan kekurangan dalam
pelaksanaannya. Kekurangan ini, selain
diatasi dengan memperbaiki pengelolaan
reformasi birokrasi, baik dari sisi konsep
maupun praktik, juga dapat ditutup dengan
mengembangkan inovasi sektor publik.
Cara terakhir dipandang memberikan
kesempatan lebih luas bagi organisasi
publik untuk memperbaiki kinerja dan

pelayanannya secara lebih kreatif dan
fleksibel. Tulisan ini bertujuan untuk
menunjukkan
mengenai
pentingnya
mengintegrasikan reformasi birokrasi dan
inovasi sektor publik sebagai dua
pendekatan yang harus dijalankan secara
simultan agar birokrasi mampu mencapai

Reformasi Birokrasi dari Masa ke Masa

Reformasi birokrasi (bureaucratic
reform) atau yang seringkali dipertukarkan
dengan administrative reform dapat
dipahami sebagai a conscious, wellconsidered change that is carried out in a
public sector organization or system for the
purpose of improving its structure,
operation or the quality of its workforce
(Gow, 2012). Melalui reformasi birokrasi,

penyelenggaraan pemerintahan diharapkan
berjalan dengan lebih tertata dan bersih
sesuai dengan prinsip-prinsip good
governance.
Ini
artinya
birokrasi
diharapkan berubah dari sifat dan
streotipenya selama ini yang telah
dipersepsikan publik sejak lama seperti
korup, patrimonial, feodal, dan tidak
profesional. Praktik-praktik ini telah
50

Jurnal Analis Kebijakan | Vol 1 No 1 2017

berlangsung dan berakar lama bahkan sejak
masa kolonial ketika pertama kali sistem
administrasi
modern

diperkenalkan
(Sutherland, 1979).
Sesungguhnya
upaya
untuk
melakukan perbaikan birokrasi telah
diupayakan pada masa pasca-kolonial
meskipun tidak dikerangkai dalam tema
reformasi birokrasi. Hal ini ditandai dengan
pembentukan berbagai lembaga dan tim
yang ditugaskan untuk mengatasi berbagai
penyakit birokrasi. Pada masa kepresidenan
Soekarno dibentuk Panitia Negara untuk
Menyelidiki Organisasi Kementeriankementerian
(PANOK),
Lembaga
Administrasi Negara (LAN), Panitia
Retooling Aparatur Negara (PARAN), dan
Komando Tertinggi Retooling Aparatur
Revolusi (KOTRAR) (1964). Kemudian

pada masa Orde Baru (1967-1998)
dibentuk Tim Penertiban Aparatur/Administrasi Pemerintah (PAAP), Menteri
Negara untuk Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara (MENPAN), Badan
Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP), dan Operasi Tertib (Opstib)
(Wibawa, Prasetyo, dan Kautsar, 2012).
Semua upaya tersebut gagal dalam membawa perbaikan dalam tubuh birokrasi. Jika
pada masa Orde Lama disebabkan karena
negara masih bergelut dengan instabilitas
politik dan kekurangan sumber daya
sebagai negara baru sehingga tidak dapat
fokus menata birokrasi, maka pada Orde
Baru kegagalan disebabkan oleh tiadanya
niat yang sungguh-sungguh dari penguasa
untuk melakukan perbaikan, di mana
pembentukan berbagai lembaga hanyalah
kedok untuk menutupi praktik penyelenggaraan negara yang koruptif dan oligarkis.
Era demokrasi yang dimulai sejak
1998 tentulah membawa harapan. Meski
demikian, tuntutan untuk melakukan

reformasi birokrasi tidak terdengar kuat
gaungnya. Masyarakat dan pemerintah
lebih berminat untuk melakukan perbaikan
pada hal-hal yang lebih bersifat nonteknokratis. Beberapa kebijakan memang
dilahirkan untuk memperbaiki kondisi
birokrasi agar lebih bersih, akuntabel, dan

berkinerja seperti UU Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dari KKN, UU Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, dan UU Nomor 17 Tahun 2003
tentang
Keuangan
Negara
(yang
menekankan
tentang
penganggaran
berbasis kinerja) namun secara keseluruhan

upaya penataan melalui regulasi masih
dilakukan secara parsial alias tidak
terintegrasi (Rohdewold, 2005). Hasilnya,
tidak ada perbaikan yang terlalu berarti.
Baru pada masa pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono, tepatnya sejak tahun
2010, reformasi birokrasi mulai menjadi
bagian dari arus utama, setidaknya secara
diskursif dan regulatif. Ini diisyaratkan
ketika setahun sebelumnya Kementerian
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
mendapat
tambahan
nomenklatur
Reformasi
Birokrasi.
Sejak
2010
diterbitkan berbagai kebijakan yang
mengatur reformasi brokrasi secara makro
dan sistemik, yakni Perpres No. 81 Tahun
2010 tentang Grand Design Reformasi
Birokrasi 2010-2025, Permenpan & RB
No. 20 Tahun 2010 tentang Road Map
Reformasi Birokrasi 2010 – 2014
(diperbarui dengan Permenpan & RB No.
11 Tahun 2015 tentang Road Map
Reformasi Birokrasi 2015-2019), dan
PermenPAN RB No. 7 s/d 15 Tahun 2011
yang merupakan pedoman teknis tentang
berbagai hal terkait reformasi birokrasi.
Visi reformasi birokrasi sebagaimana
tertuang dalam Grand Design adalah
terwujudnya pemerintahan kelas dunia
yang bercirikan tata kelola pemerintahan
yang baik.
Reformasi birokrasi diakui oleh
pemerintah sebagai perjalanan yang
panjang. Oleh karenanya, tak heran bila
Grand Design Reformasi Birokrasi
mencakup masa selama 16 tahun (20102025). Trayektori transformasi yang
dicanangkan pemerintah dibagi dalam tiga
tahapan: rule-based bureaucracy (2013),
performance-based bureaucracy (2018),
dan
dynamics
governance (2025).
Sementara dalam Road Map yang berlaku
51

Jurnal Analis Kebijakan | Vol 1 No1 2017

saat ini, ditetapkan tiga sasaran reformasi
birokrasi, yakni birokrasi yang bersih dan
akuntabel, birokrasi yang efektif dan
efisien, dan birokrasi yang memiliki
pelayanan publik berkualitas. Untuk
mewujudkan ketiga sasaran tersebut,
dirumuskan delapan area reformasi
birokrasi yang terdiri dari: mental aparatur,
pengawasan, akuntabilitas, kelembagaan,
tata laksana, SDM aparatur, peraturan
perundang-undangan,
dan
pelayanan
publik. Banyaknya area perubahan yang
disasar melalui program reformasi birokrasi
menunjukkan bahwa birokrasi memiliki
kelemahan di banyak aspek, dari mulai
paradigma sampai pekerjaan teknis harian,
sehingga membutuhkan pembenahan yang
menyeluruh.

2.

Capaian Kebijakan Reformasi Birokrasi

Agar perbaikan dapat berjalan dengan
terarah dan sesuai dengan skala prioritas,
maka 8 area perubahan reformasi birokrasi
di atas diterjemahkan menjadi 9 program
percepatan reformasi birokrasi, yakni 1)
penataan struktur organisasi pemerintahan;
2) penataan jumlah dan distribusi PNS; 3)
pengembangan sistem seleksi CPNS dan
promosi PNS secara terbuka; 4)
peningkatan profesionalisasi PNS; 5)
pengembangan
sistem
pemerintahan
elektronik yang terintegrasi; 6) peningkatan
pelayanan publik; 7) peningkatan integritas
dan akuntabilitas kinerja aparatur; 8)
peningkatan kesejahteraan pegawai negeri;
dan 9) efisiensi belanja pegawai. Selama 7
tahun pelaksanaan reformasi birokrasi,
telah banyak capaian yang dihasilkan.
Beberapa capaian dapat dicatat sebagai
berikut:
1. Penataan
struktur
organisasi
pemerintahan
dilakukan
melalui
perampingan beberapa K/L yang
menghapus beberapa jabatan struktural
sehingga berefek pada perampingan
struktur dan penghematan anggaran.
Ini misalnya dilakukan oleh LAN yang
pada tahun 2014 mengurangi jumlah
Eselon I-nya dari 6 menjadi 4.

3.

4.

52

Kemudian dilakukan pula pembubaran
Lembaga Non Struktural (LNS) untuk
mengurangi
beban
anggaran
pemerintah dan menghapus tumpang
tindih kewenangan dengan K/L yang
sudah ada. Ini dilakukan melalui
penerbitan Perpes No. 116 Tahun 2016
yang mengatur mengenai pembubaran
9 LNS. Ke depan, diharapkan akan ada
kebih banyak LNS yang dibubarkan,
digabung, atau diintegrasikan ke dalam
K/L yang sudah ada sesuai dengan
hasil evaluasi
yang dilakukan
KemenPAN RB.
Penataan jumlah dan distribusi PNS
dilakukan dengan mengatur bahwa
pengajuan formasi baru harus
dilengkapi dengan analisis jabatan,
analisis beban kerja, evaluasi jabatan.
Dengan demikian, pengajuan formasi
dilakukan dengan basis yang rasional
dan terukur. Selain itu, dilakukan pula
pelaksanaan moratorium PNS yang
berjalan pada tahun 2011-2012 dan
2016-sekarang. Sebagian permasalahan tenaga honorer juga dituntaskan
dengan memberikan kesempatan
kepada tenaga honorer K1 dan K2
untuk mengikuti tes CPNS.
Telah dikembangkan sistem seleksi
CPNS dan promosi PNS yang terbuka.
Penerimaan CPNS kini dilakukan
secara terbuka dan tanpa biaya.
Pelaksanaannya
juga
transparan,
ditandai dengan pelaksanaan tes
berbasis Computer Assisted Test
(CAT) dan pengumuman nilai secara
terbuka. Sementara untuk promosi dan
mutasi PNS, melalui SE MenPAN RB
No. 16 Tahun 2012 telah diatur bahwa
mutasi dan promosi PNS dilakukan
dengan sistem merit. Untuk jabatan
eselon I dan II pengisiannya dilakukan
secara terbuka dan kompetitif melalui
mekanisme open bidding, di mana
peserta di luar Aparatur Sipil Negara
(ASN) yang telah memenuhi syarat
juga dapat mengikutinya.
Peningkatan profesionalisasi PNS
dilakukan dengan penerbitan UU

Jurnal Analis Kebijakan | Vol 1 No 1 2017

5.

Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN
yang mengakui ASN sebagai sebuah
profesi sehingga harus mengadopsi
nilai-nilai profesionalitas. Selain itu,
jumlah jabatan fungsional selaku
tenaga profesional di lingkungan
birokrasi diperbanyak. Diperkenalkan
juga jabatan fungsional baru yang
strategis, misalnya analis kebijakan
yang diharapkan dapat berkontribusi
dalam
memperbaiki
kualitas
kebijakan. Ada pula penerapan Sasaran
Kinerja Pegawai (SKP) melalui PP No.
46 Tahun 2011 tentang Penilaian
Prestasi Kerja PNS. Secara khusus,
LAN
banyak
berperan
dalam
peningkatan profesionalisasi PNS
melalui berbagai pembaruan diklat
yang dihasilkannya, antara lain Diklat
Prajabatan
Pola
Baru,
Diklat
Kepemimpinan (Diklatpim) Pola Baru,
dan Diklat Reform Leader Academy
(RLA). Dalam Diklat Prajabatan Pola
Baru, CPNS dididik untuk menerapkan
nilai-nilai dasar PNS (Akuntabilitas,
Nasionalisme, Etika Publik, Komitmen
Mutu, dan Anti-Korupsi) dalam
melakukan pekerjaannya sehingga
nilai-nilai tersebut terinternalisasi
dalam diri. Dalam Diklatpim Pola
Baru,
peserta
dituntut
untuk
menghasilkan inovasi melalui proyek
perubahan agar dirinya mampu
berperan sebagai agen perubahan.
Sementara melalui Diklat RLA,
dihasilkan
pemimpin
reformasi
melalui penyelenggaraan diklat yang
bersifat project based dan result
oriented dengan metode action
learning, di mana peserta secara
kolektif mengerjakan proyek tertentu
dan dituntut melakukan terobosan atau
inovasi dalam program atau pelayanan
publik yang berdampak luas.
Pengembangan
e-government
diwujudkan melalui penyelenggaraan
berbagai pelayanan publik melalui
teknologi informasi dan komunikasi
(TIK) seperti pengadaan barang dan
jasa secara elektonik (e-procurement)

6.

53

melalui LPSE, penerapan tata naskah
dinas elektronik, dan keterpaduan
sistem perencanaan, penganggaran,
dan evaluasi kinerja. Praktik baik
penyelenggaraan
e-government
banyak terjadi di level pemerintah
daerah, seperti misalnya yang
diterapkan di Pemerintah Kota
Surabaya dan Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta (Lihat Fanida dan Niswah,
2015; Ziadi, Supriyono, dan Wijaya,
2016).
Peningkatan
pelayanan
publik
berusaha
diwujudkan
dengan
menerbitkan sebuah peraturan induk
mengenainya, yakni UU Nomor 25
tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Dari situ kemudian dihasilkan berbagai
standar dan instrumen yang mampu
menjadi katalis bagi instansi publik
untuk memperbaiki pelayanannya
seperti Standar Pelayanan Publik,
Standar Pelayanan Minimal, Standar
Operasi Prosedur (SOP), Maklumat
Pelayanan,
Indeks
Kepuasan
Masyarakat,
dan
sebagainya.
Sementara pembentukan Ombudsman
Republik Indonesia (ORI) sejak tahun
2000 menjadi lembaga pengawas dan
penerima pengaduan atas pelayanan
publik yang dilakukan birokrasi.
Dalam dimensi ini juga patut
disebutkan amanat untuk membentuk
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP),
institusi yang memberikan pelayanan
perizinan dan non-perizinan yang
dalam keseluruhan prosesnya mulai
dari permohonan sampai terbitnya
sebuah dokumen dilakukan di satu
tempat.
Keberadaan
PTSP
memperpendek dan memperhemat
pelayanan yang selama ini dilakukan di
banyak tempat dengan prosedur
berbelit. Sampai dengan tahun 2015
telah terbentuk 498 PTSP (menurut
Kementerian Dalam Negeri) atau 508
(menurut
Badan
Koordinasi
Penanaman Modal) di seluruh
Indonesia (Pusat Inovasi Pelayanan
Publik LAN, 2015).

Jurnal Analis Kebijakan | Vol 1 No1 2017

7.

8.

9.

Peningkatan
integritas
dan
akuntabilitas
kinerja
aparatur
dilakukan dengan kewajiban bagi
instansi pemerinta untuk membuat
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah (LAKIP), kewajiban bagi
penyelengara
negara
untuk
menyerahkan Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara (LHKPN),
pembentukan zona integritas di
berbagai K/L/D, pemeriksaan dari
PPATK untuk pengangkatan pejabat
Eselon I, dan penerbitan regulasi yang
mendukung peningkatan integritas dan
akuntabilitas seperti Permenpan RB
Nomor 37 Tahun 2012 tentang
Pedoman
Umum
Penanganan
Benturan Kepentingan.
Peningkatan kesejahteraan pegawai
negeri dilakukan melalui penerapan
tunjangan kinerja yang besarannya
disesuaikan dengan persentase K/L
dalam memenuhi semua prasyarat
reformasi birokrasi. Beberapa daerah
yang memiliki APBD besar seperti
Jakarta juga memberikan tunjangan
daerah dalam jumlah yang besar bagi
pegawainya. Nantinya jika RPP
Penggajian diterapkan, ASN akan
mendapatkan peningkatan kesejahteraan yang lebih besar.
Efisiensi belanja pegawai dilakukan
melalui moratorium CPNS, optimalisasi penggunaan sarana dan fasilitas
yang
telah
dimiliki
instansi
pemerintah,
dan
pemotongan
pengeluaran yang berlebihan untuk pos
anggaran
tertentu
yang
tidak
bersentuhan
langsung
dengan
pelayanan publik (perjalanan dinas,
konsinyering, honorarium).

diniatkan untuk menyentuh seluruh aspek,
reformasi birokrasi masih lebih banyak
menyentuh perangkat keras berupa
penetapan standar, prosedur, dan tata
laksana. Akibatnya, implementasi dan
pemenuhan reformasi birokrasi pun lebih
banyak berkutat dengan melengkapi
berbagai dokumen yang dipersyaratkan.
Perubahan yang dihasilkan juga baru
sebatas pada perbaikan remunerasi dan
pembaruan superfisial seperti penerapan
absensi elektronik (Dwiyanto, 2015: 270).
Di sisi lain, masalah pembenahan mental,
etika, dan perilaku aparatur justru belum
banyak disentuh.
Tantangan lain yang menghadang
reformasi birokrasi adalah masih kuatnya
cengkeraman politik terhadap birokrasi.
Politisasi
birokrasi
banyak
terjadi
menjelang pemilihan kepala daerah yang
menyebabkan aparatur terjebak dalam
dilema dukung-mendukung. Praktik seperti
ini tentu mencederai semangat untuk
menegakkan integritas dan netralitas.
Komitmen yang rendah terhadap reformasi
dari para politisi yang ada di eksekutif dan
legislatif juga masih menjadi masalah. Hal
ini dapat ditunjukkan melalui berbagai
macam kasus seperti keengganan Presiden
Joko Widodo untuk merampingkan struktur
K/L di awal masa pemerintahannya karena
harus membagi jabatan kepada partai
pendukung (yang bertentangan dengan
retorika reformasi birokrasi yang dikatakan
pada masa kampanye), kontroversi revisi
UU ASN (yang di antaranya mengatur agar
tenaga honorer langsung diangkat menjadi
PNS tanpa tes dan pembubaran KASN),
dan kepala daerah yang menawarkan
jabatan di birokrasi dengan imbalan uang
(seperti yang belum lama ini diungkap di
Kabupaten Klaten).
Di sisi lain, pelaksanaan kebijakan
reformasi birokrasi juga tidak mencapai
target yang telah ditetapkan dalam RPJMN
2010-2014. Dalam evaluasi yang dilakukan
oleh Bappenas sebagaimana dikutip
Dwiyanto
(2015:
270-271),
target
penurunan tingkat korupsi, perbaikan
integritas pelayanan publik, kemudahan

Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi

Meskipun telah mencatat beberapa
capaian positif, secara umum kebijakan
reformasi birokrasi masih berjalan jauh dari
idealitas yang diharapkan. Dalam setiap
area reformasi birokrasi dan program
percepatan yang dicanangkan, masih
banyak masalah yang persisten. Meskipun
54

Jurnal Analis Kebijakan | Vol 1 No 1 2017

ketiga bukunya. Secara khusus dalam
hubungannya dengan pelayanan publik,
inovasi menjadi salah satu bagian dari arah
kebijakan dan strategi berupa peningkatan
kapasitas kelembagaan pemerintah daerah
untuk agenda pembangunan wilayah subagenda
pengembangan
tata
kelola
pemerintahan dan otonomi daerah, yang
secara lebih rinci dilakukan melalui: (a)
Optimalisasi
pemanfataan
teknologi
informatika guna menciptakan pelayanan
yang lebih cepat, murah dan efisien; (b)
Penerapan standar pelayanan dan sistem
pengaduan pada tiap pemerintah daerah
yang terintegrasi dengan manajemen
kinerja; dan (c) Penguatan peran PTSP
sebagai sarana penyederhanaan pelayanan
kepada masyarakat dan dunia usaha.”
(Lihat RPJMN 2015-2019 Buku III hal.
32).
Ini terkait erat dengan salah satu subagenda dari agenda pembangunan politik,
hukum, pertahanan, dan keamanan, yakni
percepatan reformasi birokrasi dan tata
kelola pemerintahan. Sasaran yang ingin
diwujudkan dari sub-agenda tersebut
adalah meningkatnya kualitas birokrasi dan
tata kelola pemerintahan yang baik dalam
mendukung daya saing dan kinerja
pembangunan nasional di berbagai bidang,
yang ditandai dengan: meningkatnya
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih
dan akuntabel; terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan
efisien; serta meningkatnya kualitas
pelayanan publik. Adapun arah kebijakan
dan strategi pembangunan yang ditetapkan
untuk mencapai sasaran tersebut adalah: 1)
mewujudkan kelembagaan pemerintah
efektif, efisien, dan sinergis; 2) penguatan
kapasitas pengelolaan reformasi birokrasi
nasional; 3) penerapan manajemen ASN
yang transparan, kompetitif, dan berbasis
merit; 4) peningkatan kualitas pelayanan
publik; 5) penerapan e-government untuk
mendukung bisnis proses pemerintahan dan
pembangunan yang efisien, efektif,
transparan, dan terintegrasi; 6) penerapan

berusaha, dan efektivitas pemerintahan
tidak tercapai. Ini dikonfirmasi oleh
kenyataan rendahnya peringkat Indonesia
dalam berbagai ranking yang terkait erat
dengan
kinerja
birokrasi
seperti
Government Effectiveness Index dan
Corruption Perception Index.
Dengan
kondisi seperti itu, maka perlu dilakukan
reorientasi reformasi birokrasi melalui
pendekatan yang berbeda dari yang telah
dilakukan selama ini. Pada titik inilah
inovasi sektor publik menjadi relevan dan
menemukan peranannya.
Regulasi Inovasi Sektor Publik

Inovasi merupakan sebuah istilah dan
konsep yang memiliki pengertian luas dan
beragam. Ada puluhan definisi yang
diajukan oleh berbagai ahli dan lembaga.
Namun demikian, garis besar dari banyak
definisi tersebut menyisakan dua karakter
pokok dari inovasi, yaitu “something fresh
(new, original, or improved) that creates
value”17. Dalam konteks sektor publik,
inovasi dispesifikkan sebagai inovasi
administrasi negara (public administration
innovation), yang didefinisikan sebagai
“proses memikirkan dan mengimplementasikan
kebijakan
penyelenggaraan
kepentingan publik yang original, penting,
dan berdampak” (Suripto dan Prasetyo,
2014: 18). Lebih lanjut, inovasi
administrasi negara tersebut dapat dibagi ke
dalam delapan jenis, yakni inovasi proses,
inovasi metode, inovasi produk, inovasi
konseptual, inovasi teknologi, inovasi
struktur organisasi, inovasi hubungan, dan
inovasi pengembangan sumber daya
manusia (Ibid.: 22-32).
Terkait dengan inovasi sektor publik,
telah dibuat dokumen resmi dan peraturan
yang mengatur dan mengakomodasi
inovasi sebagai hal yang strategis dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Dalam
Rencana Jangka Panjang Menengah
Nasional (RJPMN) 2015-2019 misalnya,
inovasi disebut sebanyak 131 kali dalam
17

https://www.freshconsulting.com/what-is-innovation/,
diakses 27 Januari 2017

55

Jurnal Analis Kebijakan | Vol 1 No1 2017

open government; 7) penguatan manajemen
kinerja pembangunan; dan 8) peningkatan
kualitas pelaksanaan desentralisasi dan
otonomi
daerah.
Meskipun
dalam
uraiannya inovasi tidak disebutkan secara
eksplisit, namun kita tahu bahwa inovasi
menjadi bagian tak terpisahkan dalam
pelaksanaan berbagai arah kebijakan dan
strategi pembangunan di atas.
Sementara dalam tataran kebijakan
yang lebih teknis, telah pula diterbitkan
PermenPAN RB Nomor 30 Tahun 2014
tentang Pedoman Inovasi Pelayanan Publik
dan beberapa Permenpan yang mengatur
tentang Kompetisi Inovasi Pelayanan
Publik (Sinovik) setiap tahunnya sejak
2014. Di level undang-undang, inovasi di
level pemerintah daerah diamanatkan
dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah-an Daerah (Pemda) meskipun
masih
harus
menunggu
Peraturan
Pemerintahnya.
Dalam UU 23/2014 tersebut,
ketentuan mengenai inovasi daerah dimuat
dalam satu bab tersendiri (Bab XXI) yang
diatur dalam 5 pasal. Pasal 386 UU Pemda
menyebutkan bahwa inovasi daerah adalah
semua bentuk pembaharuan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Prinsip-prinsip
perumusan
kebijakan
inovasi terdiri atas: peningkatan efisiensi;
perbaikan efektivitas; perbaikan kualitas
pelayanan; tidak ada konflik kepentingan;
berorientasi kepada kepentingan umum;
dilakukan secara terbuka; memenuhi nilainilai kepatutan; dan dapat dipertanggungjawabkan hasilnya tidak untuk kepentingan
diri sendiri. Ketentuan penting lain terkait
dengan inovasi daerah termuat dalam Pasal
389, yang menyebutkan bahwa “Dalam hal
pelaksanaan inovasi yang telah menjadi
kebijakan pemerintah Daerah dan inovasi
tersebut tidak mencapai sasaran yang telah
ditetapkan, aparatur sipil negara tidak dapat
dipidana.” Ini artinya, ASN mendapatkan
perlindungan dari “kriminalisasi” akibat
kegagalan inovasi yang tidak mencapai
target. Terlihat di sini bahwa pemerintah
memberikan penghargaan pada inisiasi dan
proses sehingga inovasi tidak melulu

diukur dari perspektif target atau output.
Dalam proposisi ini tersirat sebuah posisi
dasar bahwa sesungguhnya tidak ada
inovasi yang gagal, yang ada hanyalah
inovasi dengan dinamika beragam yang
kesemuanya
dapat
menjadi
bahan
pembelajaran. Perlindungan ini, bagaimanapun, tidak dapat dimaknai sebagai
kebebasan berinovasi secara manasuka
(arbitrary) sebab inovasi tetap tidak boleh
melanggar peraturan yang berlaku.
Praktik Inovasi Sektor Publik

Argumen mengenai pentingnya
pengembangan inovasi sektor publik adalah
bagian dari seruan umum akan perlunya
Indonesia meningkatkan level inovasinya.
Berbagai peringkat global yang terkait
dengan inovasi, baik langsung maupun tak
langsung, menunjukkan bahwa Indonesia
masih menempati posisi yang rendah dan
tertinggal dari negara-negara tetangga.
Dalam Indeks Inovasi Global tahun 2016,
Indonesia menempati ranking 88 dari 128
negara. Peringkat ini memang membaik
dibandingkan dengan tahun sebelumnya
yang berada di ranking 97. Namun
demikian, tetap saja posisi ini tertinggal
jika dibandingkan dengan banyak negara
ASEAN seperti Filipina (74), Vietnam
(59), Thailand (52), Malaysia (35), dan
Singapura (6). Sementara peringkat
kemudahan berbisnis Indonesia (Ease of
Doing Business Index) pada tahun 2016
berada di peringkat 109. Lagi-lagi,
meskipun
mengalami
peningkatan
progresif setiap tahun sejak 2013, namun
tetap saja lebih buruk dibandingkan dengan
lima negara ASEAN yang telah disebutkan
sebelumnya. Dalam Global Competitiveness Index 2015-2016 keadaannya juga
tidak lebih baik. Indonesia turun empat
peringkat dibandingkan tahun sebelumnya
menjadi urutan 37, tertinggal dari Thailand
(32), Malaysia (18), dan Singapura (2).
Meskipun tuntutan bagi birokrasi
untuk berinovasi tidak seformal tuntutan
untuk melakukan reformasi, namun
menariknya inovasi sesungguhnya telah
berjalan dengan cukup baik. Ini merupakan
56

Jurnal Analis Kebijakan | Vol 1 No 1 2017

hal yang positif karena baik tuntutan akan
inovasi maupun reformasi memiliki derajat
urgensi dan legitimasi yang sama. Bahkan
sesungguhnya momentum dan jendela
peluang untuk melakukan inovasi terjadi
pasca diluncurkannya program reformasi
birokrasi. Di sisi lain, rezim desentralisasi
yang diberlakukan setelah demokratisasi
juga membentangkan tanah lapang bagi
birokrasi di level daerah untuk berinovasi.
Dengan kewenangan semakin besar yang
dimilikinya, daerah memiliki kesempatan
untuk lebih mendengarkan aspirasi
masyarakatnya untuk diterjemahkan ke
dalam kebijakan dan program inovatif.
Indikasi dari mulai diarusutamakannya inovasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan terlihat dari semakin banyaknya penghargaan yang diberikan untuk
inovasi sektor publik, baik yang diberikan
oleh pemerintah maupun aktor nonpemerintah.
Dari
pemerintah
ada
Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik
(Sinovik) Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
yang berjalan sejak tahun 2014, di mana
setiap tahunnya dipilih 99 inovasi
pelayanan publik dari ratusan atau ribuan
proposal yang masuk. Ada pula
penghargaan
Innovative
Government
Award (IGA) oleh Kementerian Dalam
Negeri dan Kontes Inovasi Solusi serta
Kompetisi Open Government (yang
mencakup penghargaan layanan publik
terprogresif) yang keduanya diberikan oleh
Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan
dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).
Beberapa inovasi tersebut bahkan mampu
berkompetisi secara global. Misalnya, pada
tahun 2014 ada lima inovasi pelayanan
publik dari Indonesia yang masuk dalam
daftar nominasi inovasi United Nations
Public Service Awards (UNPSA). Ini
semua belum termasuk inovasi yang tidak
didaftarkan untuk meraih penghargaan,
seperti yang misalnya termuat dalam buku
kumpulan best practices pemerintah kota
yang diterbitkan Asosiasi Pemerintah Kota
Seluruh Indonesia (APEKSI) setiap tahun
sejak 2003, juga berita-berita inovasi sektor

publik dan pemimpin daerah inovatif di
media massa.
LAN juga turut menyumbang dalam
upaya akselerasi inovasi sektor publik. Hal
ini dilakukan melalui program yang disebut
dengan Laboratorium Inovasi yang dimulai
sejak tahun 2015. Program ini memfasilitasi SKPD untuk menciptakan inovasi
administrasi negara dengan metode orisinal
yang disebut dengan 5D (Drum-up,
Diagnose, Design, Deliver, dan Display).
Setelah berjalan selama dua tahun (20152016), Laboratorium Inovasi telah
dilaksanakan di 16 pemerintah daerah
dengan total ide inovasi sebanyak 1.840.
Jumlah ini tentu akan semakin bertambah
banyak di masa depan.
Tantangan Inovasi Sektor Publik

Dengan menilik pada kondisi dan
lanskap umum inovasi sektor publik yang
terjadi di Indonesia selama beberapa tahun
terakhir, didapati beberapa tantangan yang
harus diatasi apabila Indonesia menginginkan perluasan sekaligus akselerasi inovasi
demi kinerja pelayanan publik yang lebih
baik dan memuaskan. Tantangan-tantangan
tersebut antara lain:
Pertama, regulasi yang kurang
memadai.
Dalam
penyelenggaraan
pemerintahan, keberadaan regulasi sebagai
landasan hukum menjadi faktor yang
sangat penting. Sayangnya, dalam hal
inovasi sektor publik, regulasi yang ada
masih kurang memadai karena masih
terlalu sedikit dan umum. Belum ada
peraturan selevel UU yang mengatur secara
khusus mengenai inovasi sektor publik.
Sementara itu, berbagai regulasi yang lebih
teknis seperti (R)PP Inovasi Daerah
(sebagai turunan UU Pemda) dan
Permenpan tentang Pedoman Inovasi
Sektor Publik justru membatasi ruang gerak
karena terlalu kaku, prosedural, dan
hierarkis.
Kedua, adanya persepsi yang salah
mengenai inovasi, seperti bahwa inovasi itu
merupakan sesuatu yang rumit, membutuhkan biaya tinggi, dan kompleks. Padahal
sesungguhnya inovasi itu mudah, tidak
57

Jurnal Analis Kebijakan | Vol 1 No1 2017

mesti mahal, dan bisa dilakukan melalui
hal-hal sederhana. Ditambah lagi ada
stereotipe yang menyatakan bahwa inovasi
hanyalah domain sektor swasta yang harus
bertahan karena banyaknya persaingan,
sementara sektor publik hanya cukup
bekerja rutin karena tugas dan fungsinya
sudah baku dan tidak memiliki saingan di
luar dirinya. Ini keliru karena seiring
dengan peningkatan kritisisme dari
masyarakat, mereka pun menuntut sektor
publik untuk berbenah, salah satunya
melalui inovasi. Karena adanya berbagai
pandangan yang salah tersebut, maka tak
heran bahwa banyak pemimpin sektor
publik, baik di level pusat maupun daerah,
yang stagnan karena tidak mampu
menghasilkan terobosan berupa inovasi.
Ketiga, belum adanya sistem di
birokrasi yang secara inheren memberikan
reward bagi aparatur yang melakukan
inovasi. Ketiadaan reward menyebabkan
hanya
aparatur
yang
benar-benar
berkomitmen dan termotivasi sajalah yang
mau menginisiasi inovasi karena tidak ada
insentif yang diberikan sistem untuk
melakukannya. Pemberian reward lebih
banyak diberikan dalam bentuk kompetisi
dan bukannya secara otomatis, misalnya
Sinovik oleh KemenPAN RB, itu pun
diberikan atas nama instansi dan bukan
perorangan.
Keempat, minimnya instansi publik
yang mau melakukan replikasi inovasi.
Sesungguhnya selama ini telah tercipta
ratusan praktik baik inovasi sektor publik di
berbagai bidang dan jenis. Apa yang perlu
dilakukan oleh instansi publik yang belum
melakukan inovasi hanyalah melakukan
replikasi dari salah satu inovasi yang
menjadi praktik baik tersebut, tergantung
dengan
kebutuhannya.
Sayangnya,
replikasi ini masih jarang dilakukan.
Padahal dengan melakukannya dapat
menghemat tenaga, pikiran, dan dana. Ada
berbagai faktor yang melatarbelakangi
keengganan melakukan replikasi ini, mulai
dari minimnya informasi terkait praktikpraktik baik inovasi hingga ego pimpinan

birokrasi yang lebih suka berpikir sendiri
karena takut dicap meniru.
Kelima, masih banyak inovasi yang
belum melembaga. Inovasi muncul karena
inisiatif pribadi dari kepala daerah atau
kepala OPD. Akan tetapi, inovasi tersebut
belum diformalkan dalam bentuk regulasi.
Akibatnya,
inovasi
tersebut
tidak
berkelanjutan. Apabila pemimpin birokrasi
suatu saat meninggalkan jabatannya, maka
tidak ada jaminan bahwa inovasi akan terus
dilanjutkan atau dikembangkan.
Keterkaitan Reformasi Birokrasi dengan
Inovasi Sektor Publik

Reformasi birokrasi terkait erat
dengan inovasi. Hubungan di antara
keduanya dapat dilihat baik sebagai
hubungan integratif maupun komplementer. Inovasi dan reformasi birokrasi adalah
kesatuan integral bagaikan dua sisi dari
mata uang. Dalam upaya untuk menjadi
birokrasi berkelas dunia, baik reformasi
birokrasi maupun inovasi sektor publik
harus dilakukan secara simultan. Tidak ada
birokrasi reformatif tanpa birokrasi
inovatif. Perspektif ini memandang bahwa
setiap upaya reformasi birokrasi yang
otentik selalu mengandung pada dirinya
dimensi inovasi. Demikian pula sebaliknya
setiap inovasi yang dilakukan sektor publik
dengan sungguh-sungguh selalu dapat
dikaitkan dengan tujuan untuk mereformasi
birokrasi.
Sementara itu, dalam perspektif
hubungan komplementer, inovasi dapat
dipandang sebagai
pelengkap dari
kekurangan yang ada pada reformasi
birokrasi. Selama ini, reformasi birokrasi
dikritik sebagai konsep yang terlalu
formalistis dan uniformis. Kebijakan
reformasi birokrasi menerapkan prinsip one
size fits all dengan mengharuskan setiap
kementerian, lembaga, dan daerah (K/L/D)
melakukan perbaikan pada 8 area
perubahan, padahal masalah dan tantangan
yang dihadapi berbeda-beda. Reformasi
birokrasi menjadi kehilangan konteksnya.
Untuk mendapatkan konteksnya kembali,
reformasi birokrasi mestinya direaktuali58

Jurnal Analis Kebijakan | Vol 1 No 1 2017

sasikan dengan cara menentukan rencana
perubahan sesuai dengan kebutuhan
pemangku kepentingan setiap K/L/D
(Dwiyanto, 2015: 271-272). Kebutuhan
tersebut berbeda-beda dan bersifat dinamis
sehingga perubahan yang dilakukan pun
tidak mungkin bersifat seragam. Dengan
cara ini, maka orientasi kepada input
berupa kepatuhan terhadap 8 area
perubahan dan kelengkapan dokumen
diubah menjadi orientasi kepada outcome
berupa pemberian manfaat yang nyata dan
sesuai dengan kebutuhan pemangku
kepentingan (Ibid.: 274-275). Pendekatan
baru ini sesungguhnya dapat disebut
sebagai inovasi, yakni pemecahan masalah
secara baru sesuai dengan tantangan khas
yang dihadapi dan potensi yang dimiliki.
Inovasi adalah komplemen terhadap
reformasi birokrasi yang memungkinkan
birokrasi berubah dengan lebih luwes
dengan tidak melupakan kinerja organisasi
dan kepuasan masyarakat.
Mengaitkan erat antara reformasi
birokrasi dengan inovasi bukanlah suatu
gagasan dan praktik yang baru di dunia
internasional.
Cummings
(2015)
mengadvokasikan mengenai pentingnya
pendekatan baru yang lebih inovatif,
adaptif, dan entrepreneurial terhadap
reformasi birokrasi. Dengan cara itu,
reformasi birokrasi tidak lagi dilakukan
melalui program besar yang telah
ditentukan secara deduktif, melainkan
melalui penemuan solusi spesifik atas
masalah yang digali secara kontekstual.
Meskipun ada yang berpendapat bahwa
reformasi
birokrasi—terutama
yang
dilakukan
secara
repetitif
dan
berketerusan–memiliki pengaruh negatif
terhadap
budaya
organisasi
yang
berorientasi kepada inovasi (Wynen,
Verhoest, dan Kleizen, 2017), namun
hubungan di antara keduanya sesungguhnya dapat bersifat saling mendukung jika
diaransemen dan didudukkan secara benar.
Lee (1970) mengatakan bahwa meskipun
inovasi adalah pokok dari reformasi
administrasi, namun itu bukanlah hal yang
otomatis. Dibutuhkan strategi untuk

memfasilitasi adopsi dan persebaran
inovasi dalam organisasi publik.
Kualifikasi dan kondisi yang tepat
juga menjadi persyaratan yang harus
dipenuhi jika inovasi ingin diadopsi sebagai
bagian integral reformasi birokrasi. Dalam
studinya yang dilakukan selama dua tahun
terhadap 97 pelayanan publik yang
mengadopsi pendekatan inovasi dalam
reformasi manajemen publik, Boyne, dkk.
(2005) menemukan bahwa hal itu hanya
akan efektif apabila terdapat kondisikondisi berikut: terdapat populasi yang
tersebar, inovasi hanya dilakukan terhadap
layanan tertentu yang terbatas, dan
organisasi sebelumnya telah memiliki
pengalaman dalam menjalankan inovasi
dalam kerangka reformasi manajemen
publik. Sementara itu, studi di Inggris oleh
Maddock (2009) menjelaskan mengenai
karakteristik inovasi yang cocok untuk
diintegrasikan dalam reformasi birokrasi
yang kuat dan berkelanjutan, yakni inovasi
yang bertumpu pada jaringan dan hubungan
aktif, bukan yang diarahkan dari atas atau
melalui pendekatan sistem.
Inovasi juga dapat diposisikan
sebagai enabler yang membentuk iklim
serta kondisi yang kondusif bagi
berhasilnya reformasi birokrasi. Binci
(2011) meneliti mengenai krusialnya peran
iklim inovasi di organisasi publik dalam
menyokong keberhasilan pelaksanaan egovernment di Italia. Di negara itu,
reformasi birokrasi yang inovatif dilaporkan menunjukkan karakter durabilitas yang
memuaskan, berjalan selama lebih dari 10
tahun (Mele, 2010). Sementara di Amerika
Latin dan Karibia, inovasi disebutkan
sebagai mesin reformasi (engine of reform)
bagi beberapa pemerintah daerah di
wilayah itu (Campbell, 1997).
Dalam konteks Indonesia, bagaimana
cara yang dapat ditempuh untuk mengaitkan atau mengintegrasikan reformasi
birokrasi dengan inovasi sektor publik?
Ada berbagai cara yang dapat ditempuh
untuk itu. Salah satunya adalah menjadikan
inovasi sebagai bagian dari area reformasi
birokrasi, melengkapi 8 area yang sudah
59

Jurnal Analis Kebijakan | Vol 1 No1 2017

menjalankan reformasi birokrasi sekadar
untuk motif politik dan modernisasi
(Farazmand, 2002: 1-2). Reformasi birokrasi dirancang dengan lebih teknokratis
demi perbaikan sistem secara keseluruhan.
Untuk itu dibuatlah berbagai kebijakan,
road map, dan panduan.
Dalam implementasinya reformasi
birokrasi memang membuahkan berbagai
capaian positif. Namun, perubahan yang
dilakukan masih kurang besar dampaknya
dan tidak mampu menaikkan peringkat
pada berbagai penilaian global yang terkait
dengan kinerja birokrasi. Dengan tetap
mengakui bahwa peningkatan kapasitas
pengelolaan reformasi birokrasi masih
perlu ditingkatkan, pada arah yang lain
inovasi sektor publik mulai dilirik sebagai
jalan lain untuk melakukan reformasi
birokrasi dalam modus yang lebih kreatif
dan mandiri. Ini terutama banyak dilakukan
oleh pemerintah daerah yang memanfaatkan peluang desentralisasi dengan baik.
Dengan kesadaran tersebut, inovasi
sektor publik kemudian didorong untuk
terus dikembangkan dan diperluas di segala
level, baik secara kualitas maupun
kuantitas. Bagaimanapun, seperti hanya
reformasi birokrasi, praktik inovasi sektor
publik juga memiliki banyak tantangan.
Untuk itu pemerintah perlu terus didorong
agar mengembangkan kebijakan yang
semakin memudahkan organisasi publik
dalam berinovasi. Reformasi birokrasi dan
inovasi sektor publik adalah dua jalur yang
harus ditempuh secara simultan untuk
memperbaiki birokrasi secara keseluruhan.
Dengan mengakui inovasi sebagai
bagian dari reformasi birokrasi, maka
impian untuk menuju pemerintah berkelas
dunia mendapatkan aksentuasi baru dengan
perhatian kepada pencarian solusi atas
setiap masalah yang muncul dan
pembaruan tanpa henti terhadap penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya
dan pelayanan publik pada khususnya.
Strategi ini diharapkan memberi gairah
baru bagi pembuat dan pelaksana kebijakan
untuk menciptakan perubahan dalam arah
yang kreatif dan variatif.

ada. Untuk itu, perlu diciptakan instrumen
untuk mengukur penerapan dimensi inovasi
dalam reformasi birokrasi. LAN pernah
mengembangkan
indeks
inovasi
pemerintah daerah untuk mengukur kinerja
inovasi pada pemerintah daerah (Pusat
Inovasi Pelayanan Publik LAN, 2016).
Inisiatif serupa perlu dikembangkan demi
mengembangkan alat, metode, dan
instrumen yang lebih tepat serta sederhana
dalam menilai inovasi organisasi publik
dalam kerangka reformasi birokrasi. Jangan
sampai instrumen yang dikembangkan
terjebak pada orientasi akan kelengkapan
dokumen dan berbagai persyaratan teknis
yang sesungguhnya tidak berkaitan secara
langsung dengan inovasi.
Cara lain yang dapat ditempuh adalah
dengan menyuntikkan dosis inovasi kepada
8 area reformasi birokrasi. Melalui cara ini
inovasi diterapkan secara komprehensif di
semua area. Dengan demikian, pelaksanaan
reformasi birokrasi dapat dilakukan dengan
lebih fleksibel dan adaptif, sesuai dengan
kebutuhan dan kapasitas organisasi.
Namun, inovasi tersebut dijalankan dengan
tanpa melupakan standar dasar dan kriteria
kinerja yang telah ditetapkan pada setiap
area. Inovasi yang dilakukan tidak
mengorbankan kualitas pelayanan dan
profesionalisme, melainkan memberi nilai
tambah kepadanya.
Penutup

Penyelenggara negara menyadari
bahwa demokrasi yang telah menjadi
komitmen bersama mesti diiringi dengan
pelembagaan norma-norma lain yang
terkait dengannya, salah satunya pelayanan
publik yang baik. Hal ini diwujudkan
dengan melakukan perbaikan yang
menyeluruh kepada birokrasi selaku
instansi pemberi pelayanan publik.
Perbaikan
tersebut
diskenariokan
mencakup dimensi struktur maupun kultur.
Strategi reformasi birokrasi dipilih
untuk menjalankan perbaikan terhadap
birokrasi. Pemerintah sejak beberapa tahun
terakhir berusaha meninggalkan kecenderungan khas negara berkembang yang
60

Jurnal Analis Kebijakan | Vol 1 No 1 2017

Daftar Pustaka

Administration, Vol. 34, No. 2, hal.
49-53.
Boyne, George A dkk. 2005. “Explaining
the Adoption of Innovation: An
Empirical Analysis of Public
Management Reform”. Environment
and Planning C: Politics and Space,
Vol. 23, No. 5, hal. 419-435.
Campbell, Tim E.J., Innovations and Risk
Taking: The Engine of Reform in
Local Government in Latin America
and
the
Caribbean,
1997,
Washington, D.C.: World Bank.
Cummings, Clare. 2015. “Fostering
innovation and Entrepreneurialism in
Public Sector Reform”. Public
Administration and Development,
Vol. 35, No. 4, hal. 315-328.
Fanida, Eva Hany, dan Fitrotun Niswah.
2015.
“Government
Resource
Management
System
(GRMS):
Inovasi Layanan Publik dalam
Pengelolaan Keuangan Daerah di
Pemerintah Kota Surabaya.” Jurnal
Administrasi Publik, Vol. 12, No. 1.,
hal. 35-43.
Gow, James Iain. 2012. “Administrative
Reform”, dalam Louis Côté dan JeanFrançois Savard (ed). Encyclopedic
Dictionary of Public Administration
(online), www.dictionnaire.enap.ca.
https://www.freshconsulting.com/what-isinnovation/ (diakses 27 Januari 2017).
Lee, Hahn-Been. 1970. “An Application of
Innovation Theory to the Strategy of
Administrative
Reform
in
Developing
Countries.”
Policy
Sciences, Vol. 1, No. 2, hal. 177-189.
Maddock, Su. 2009. “Gender Still Matters
and Impacts on Public Value and
Innovations and the Public Reform
Process”.
Public
Policy
and
Administration, Vol. 24, No. 2, hal.
141-152.
Mele, Valentina. 2010. “Innovation Policy
in Italy (1993-2002): Understanding
the Invention and Persistence of a
Public
Management
Reform.”
Governance, Vol. 32, No. 2, hal. 251276.

Buku
Dwiyanto, Agus. 2015. Reformasi
Birokrasi Kontekstual: Kembali ke
Jalur yang Benar. Yogyakarta &
Jakarta: Gadjah Mada University
Press & LAN.
Farazmand, Ali. 2002. “Administrative
Reform and Development: An
Introduction”, dalam Ali Farazmand
(ed). Administrative Reform in
Developing
Nations.
Westport:
Praeger.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2015 – 2019 Buku I Agenda
Pembangunan Nasional.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2015 – 2019 Buku II
Agenda Pembangunan Bidang.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2015 – 2019 Buku III
Agenda Pembangunan Wilayah.
Rohdewold, Rainer. 2005. “Indonesia”,
dalam Jack Rabin (ed). Encyclopedia
of Public Administration and Public
Policy. Boca Raton: Taylor & Francis
Group.
Suripto dan Antonius Galih Prasetyo,
“Memahami Inovasi Administrasi
Negara”,
dalam
Septiana
Dwiputrianti dkk (ed), 2014,
Handbook Inovasi Administrasi
Negara, Jakarta: Pusat Inovasi Tata
Pemerintahan LAN.
Sutherland, Heather. 1979. The Making of
Bureaucratic Elite: The Colonial
Transformation of the Javanese
Priyayi. Singapore: Asian Studies
Association of Australia (ASAA) and
Heinemann Educational Books.
Artikel
Binci, Daniele. 2011. “Climate for
Innovation and ICT Implementation
Effectiveness: A Missing Link in
Italian E-government Projects.”
International Journal of Public

61

Jurnal Analis Kebijakan | Vol 1 No1 2017

Pusat Inovasi Pelayanan Publik LAN,
Penyusunan Profil Best Practices
PTSP Sintesa Model Pelayanan
Perizinan Beyond PTSP, 2015,
Jakarta: Pusat Inovasi Pelayanan
Publik LAN.
_________,
Penyusunan
Model
Pengukuran
Indeks
Inovasi
Pemerintah Daerah, 2016, Jakarta:
Pusat Inovasi Pelayanan Publik LAN.
Wibawa, Samodra, Antonius Galih
Prasetyo, dan Luqman Atyatur
Kautsar. 2012. “Sejarah Kebijakan
dan
Pemikiran
Reformasi
Administrasi di Indonesia’, dalam
Paulus
Israwan
dkk
(ed).
Transformasi Sosial dan Budaya di
Indonesia. Purwokerto: Universitas
Jenderal Soedirman.
Wynen, Jan, Koen Verhoest, dan Bjorn
Kleizen. 2017. “More Reforms, Less
Innovation? The Impact of Structural

Reform Histories on InnovationOriented
Cultures
in
Public
Organizations”. Public Management
Review, Vol. 19, No. 8, hal. 11421164.
Ziadi, Ahmad Rizka, Bambang Supriyono
& Andy Fefta Wijaya. 2016. “The
Effectiveness of Information System
in Public Complaint Service: An
Implementation of E-Government
Based on Jakarta Smart City
Applications.” International Journal
of Management and Administrative
Sciences, Vol. 3, No. 9, hal. 57-62.
Peraturan Perundangan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014
Pemerintahan Daerah. 30 September
2014. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244.
Jakarta.

62