92f98 panggilan tanah air

  . Noer Fauzi Rachman, Ph.D Prakarsa Desa

  Panggilan Tanah Air Penulis : Noer Fauzi Rachman, Ph.D Penyelaras bahasa : Haslinda Qodariah Tata letak : Prasetyo Desain cover : Yayak Adya Yatmaka Gambar cover : Yayak Adya Yatmaka Prakarsa Desa

(Badan Prakarsa Pemberdayaan Desa dan Kawasan, BP2DK)

Gedung Permata Kuningan Lt 17 Jl. Kuningan Mulia, Kav. 9C Jakarta Selatan 12910 Jl. Tebet Utara III-H No. 17 Jakarta Selatan 10240 t/f. +6221 8378 9729 m. +62821 2188 5876

  e. office@bp2dk.id w. www.prakarsadesa.id Cetakan Pertama, 2015 Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Noer Fauzi Rachman (penulis) Panggilan Tanah Air Cet. 1—Jakarta: 144 hal., 14 X 20 cm

  ISBN: 978-602-0873-00-8 © Hak Cipta dilindungi undang-undang All Rights Reserved

Pengantar Penerbit

  Bagaimana nasib desa di masa depan? Apakah setelah terbitnya UU Desa, yakni UU No. 6 tahun 2014, maka akan dengan sendirinya nasib desa berubah, dan akan dengan sendirinya gerak pembangunan menempatkan desa sebagai subyek? Apa dasar dari pandangan tersebut? Jika kita yakin akan kerja undang- undang, maka yang menjadi pertanyaan besarnya adalah apakah ada dasar dari keyakinan kita tersebut? Bagaimana kondisi desa saat ini? Bagaimana kondisi kampung-kampung dewasa ini? Apakah dalam keadaan ideal? Ataukah desa, kampung dan atau dengan nama lainnya, telah berada dalam suatu situasi yang membuatnya tidak mudah untuk mengubah arah nasibnya? Jika demikian, apa yang harus dilakukan? Naskah ini adalah hasil refleksi panjang Noer Fauzi Rachman,

  panggilan tanah air

  Ph.D., seorang guru pendidikan rakyat, yang telah bekerja demikian lama dalam urusan keagrariaan, pedesaan dan pemberdayaan masyarakat secara luas. Noer Fauzi Rachman, hendak memperlihatkan suatu keadaan “gawat”, yakni keadaan yang dilukiskannya sebagai keadaan porak-poranda, ketika tanah air Indonesia porak-poranda. Tentu saja naskah ini bukan jenis naskah yang mengundang kita untuk bersedih meratapi keadaan. Sebaliknya, naskah ini dimaksudkan untuk mengundang keterlibatan, mengundang agar kita bersedia menjadi pandu tanah air, sebagaimana yang tertuang dalam lagu Indonesia Raya. Mengapa naskah ini terbit, di dalam rute pembangunan Sistem Informasi Desa dan Kawasan (SIDEKA)? Sebagaimana disebut di atas, bahwa naskah ini dimaksudkan menjadi energi bagi suatu semangat baru. Dengan semangat tersebut, maka sangat diharapkan lahirnya suatu cara pandang baru, sedemikian rupa sehingga SIDEKA tidak diperlakukan hanya sebagai teknologi (aplikasi yang sempit), melainkan menjadi “teknologi pemberdayaan” yang baru, dan karenanya disebut sebagai cara baru menghadirkan negara. Untuk karena itu pula, diucapkan terima kasih kepada semua pihak yang mendukung terbitnya naskah ini, yang kelak akan ditempatkan sebagai bahan pokok pembelajaran bagi para Pandu Desa yang akan menggerakkan pembangunan SIDEKA. Diucapkan terima kasih kepada

  

Departement of Foreign Affairs and Trade-DFAT Australia, yang

  memungkinkan penerbitan naskah ini. Pun semua pihak, baik dari perguruan tinggi, organisasi masyarakat sipil, maupun komunitas, yang langsung maupun tidak, ikut memberikan

  pengantar penerbit

  kontribusi bagi terbitnya naskah ini, dan juga penyebarannya. Akhirnya, selamat membaca, merenungi nasib bangsa, dan menjawab panggilan kepanduan: menyelamatkan tanah air, dan membawanya kepada masa depan baru, yang lebih baik dan lebih bermakna, sebagaimana maksud dari proklamasi kemerdekaan

  17 Agustus 1945. Jakarta, April 2015.

  .

Pengantar Penulis

  Sebagai pembuka dari apa yang saya uraikan secara panjang lebar dalam buku ini, mari kita bayangkan apa yang masih sering dibicarakan banyak orang mengenai tanah air kita ini. Biarkan diri dan imajinasi kita bersafari pada keindahan kampung- kampung halaman yang beragam, apakah itu di pulau-pulau kecil, di pantai-pantai, hutan-hutan, ladang-ladang pertanian, permukiman kaki gunung, di dalam hutan dataran tinggi, maupun sabana-sabana? Kemudian tariklah nafas dalam-dalam sembari memejamkan mata sambil membayangkan semua keindahan keanekaragaman bentang alam itu. Sungguh mempesona dan tiada taranya bukan? Selanjutnya bacalah nyanyian “Rayuan Pulau Kelapa” karya pujangga Ismail Marzuki (1914-1958) berikut ini:

  panggilan tanah air Tanah Airku Indonesia Negeri elok amat kucinta Tanah tumpah darahku yang mulia Yang kupuja sepanjang masa Tanah airku aman dan makmur Pulau kelapa yang amat subur Pulau melati pujaan bangsa Sejak dulu kala Melambai-lambai, nyiur di pantai Berbisik-bisik, raja klana Memuja pulau, nan indah permai Tanah airku, Indonesia

  Ternyata kita bisa juga membaca sambil menyanyikannya. Bagaimanakah rasa takjub dan imajinasi yang ditimbulkannya? Karya dari Ismail Marzuki yang senada adalah “Indonesia Tanah Air Beta” berikut ini.

  Indonesia tanah air beta Pusaka abadi nan jaya Indonesia sejak dulu kala Tetap dipuja-puja bangsa Di sana tempat lahir beta Dibuai dibesarkan bunda Tempat berlindung di hari tua Sampai akhir menutup mata

  pengantar penulis

  Satu lagi, mari kita pelajari lagu “Tanah Airku” karya pujangga lain Saridjah Niung Bintang Soedibio (1908-1993), yang lebih terkenal dengan panggilan Ibu Sud.

  Tanah airku tidak kulupakan Kan terkenang selama hidupku Biarpun saya pergi jauh Tidakkan hilang dari kalbu Tanahku yang kucintai Engkau kuhargai Walaupun banyak negeri kujalani yang masyhur permai dikata orang Tetapi kampung dan rumahku Disanalah ku m’rasa senang Tanahku tak kulupakan

  Engkau kubanggakan Betapa istimewanya bila kita bisa menyanyikan dengan perlahan dan penuh perasaan lagu itu. Lagu Ibu Sud di atas berusaha menggambarkan masyhur dan permainya Indonesia kepada orang yang telah atau sedang berkelana di negeri orang. Mereka yang telah jauh bertualang, menjelajah berbagai negeri dan menyeberangi berbagai lautan, akhirnya sadar bahwa tidak ada negeri yang lebih indah yang bisa ditemukan selain negerinya sendiri: Indonesia. Maka, sekali pun mungkin menetap selamanya di negeri orang, tidak akan hilang tanah air tersebut dari kalbunya, malahan membangga-banggakannya pada siapa pun yang ia temui.

  panggilan tanah air

  Generasi saya mempelajari lagu-lagu itu melalui mata pelajaran “Seni Suara” semasa kami berada di Sekolah Dasar (SD) di tahun 1970-an, dan melalui acara televisi. Saat itu kami baru mengenal televisi sebagai produk teknologi baru dan menjadi sumber media hiburan yang segera saja populer di kalangan anak-anak. Pada saat itu, menyanyi menjadi salah satu acara idaman kami di Televisi Republik Indonesia (TVRI) dengan pengarah acara A.T.

  Mahmud dan pengasuh acara Ibu Mul untuk “Lagu Pilihanku” dan Ibu Fat untuk “Ayo Menyanyi”. Kedua acara itu diiringi oleh Ibu Meinar yang memainkan piano. Acara lomba menyanyi pun semarak di Radio Republik Indonesia (RRI) maupun radio-radio swasta. Karena di sekolah, siaran TVRI, RRI maupun radio-radio swasta sering memperdengarkan berbagai nyanyian seperti itu, kami pun menjadi pandai menyanyikannya. Siapakah di antara para orang tua yang bisa ditanyakan situasi dan pengaruh dari pengajaran menyanyi dan siaran-siaran itu? Siapakah kini yang masih sering melantunkan lagu-lagu itu? Atau, di manakah kita masih dapat mendengarkan lagu-lagu itu sekarang? Seolah semuanya sudah hilang dan terlupakan begitu saja. Dimana kita bisa temukan tanda-tanda jejak bahwa kita pernah memiliki imaji bersama tentang apa itu tanah air, sebagaimana tergambar begitu mempesona dalam lagu-lagu di atas. Memulai dengan pembukaan tersebut, naskah buku ini hendak mengangkat tema tanah air sebagai kampung halaman rakyat. Bukan “tanah air” sebagai imaji ideal yang simbolik, umum dan abstrak, yang dijadikan rujukan dalam romantisme atas alam yang

  pengantar penulis

  indah melalui tamasya. Tanah air yang saya maksudkan di sini adalah tempat nyata dimana rakyat Indonesia benar-benar hidup dan mempertahankannya. Sudah lebih dari seperempat abad saya belajar dan menjadi saksi dari porak-porandanya tanah air melalui “perampasan- perampasan tanah” yang nyata di kampung-kampung halaman rakyat di seantero Nusantara. Salah satu tonggak penting yang tidak bisa saya lupakan adalah Lokakarya Advokasi Kasus-Kasus

  Pertanahan, 8-11 November 1993, yang diselenggarakan secara

  bersama oleh Yayasan Sintesa - Kisaran, LBH Pos - Bandar Lampung, Lembaga Pengembangan Pendidikan Pedesaan (LPPP)

  • Bandung, Lembaga Kajian Hak-hak Masyarakat (LEKHAT) - Yogyakarta, dan Yayasan Manikaya Kauci - Denpasar. Pertemuan itu dihadiri oleh lebih 100 aktivis agraria dari lebih tujuh puluh (70) kelompok/lembaga, dan menghasilkan sebanyak 27 naskah yang mengungkapkan pengalaman advokasi dan pengorganisasi rakyat di kasus-kasus pertanahan. Naskah-naskah ini kemudian dibukukan dalam Benny K. Harman dkk (1995), dan Noer Fauzi dan Boy Fidro (1998). Hingga kini saya masih terus mempelajari situasi porak-porandanya tanah air rakyat akibat perampasan- perampasan tanah. Saat mengedit akhir naskah ini, saya baru saja selesai pulang dari Banda Aceh, setelah bersama pengacara dan paralegal Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh mempelajari karakteristik empat kasus konflik agraria yang tersebar di empat kabupaten sehubungan dengan perluasan wilayah konsesi perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit. Kasus-kasus itu penting dipelajari dalam konteks provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) berstatus wilayah “Otonomi

  panggilan tanah air

  Khusus” sebagai hasil dari Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani di Helsinki, 2005. Apakah semaraknya demokrasi politik yang terbuka, dan pengaturan pembagian kewenangan pemerintah Pusat dan Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam dapat menyelesaikan konflik-konflik agraria dengan mengakui klaim-klaim rakyat dan memulihkan situasi tanah air kampung halamannya yang porak poranda itu.

  Buku kecil ini hendak mengajak kita semua membuka mata melihat situasi sebagian dari tanah air, kampung halaman tempat hidup rakyat di desa-desa, di seantero Nusantara (nusaantara, artinya gugusan pulau-pulau). Saya merasa tugas utama buku kecil ini adalah, pertama-tama, menunjukkan perlunya kita memperhatikan bagaimana reorganisasi ruang untuk meluaskan cara/sistem produksi kapitalis yang menghasilkan komoditas- komoditas global. Selanjutnya, naskah ini akan berhasil menjalankan tugasnya, bila pembaca dapat mengidamkan dan membayangkan suatu cara pengabdian untuk memperbaiki situasi tanah air kampung halaman rakyat. Saya menyampaikan terima kasih kepada Gunawan Wiradi, Roem Topatimasang, Mia Siscawati, Hendro Sangkoyo, Hilmar Farid, R. Yando Zakaria, Dadang Juliantara, Haslinda, Yuslam Fikri, Rachmi Diyah Larasati, Sandra Moniaga, Abdon Nababan, Usep Setiawan, Ahmad Nashih Luthf i, Eko Cahyono, Bosman Batubara, Iwan Nurdin, Dewi Kartika, Siti Maimunah, Siti Rachma Herwati, Samuel Pangerapan, Raharja Waluya Jati, Ignatius Kristanto, Yohanes Krisnawan, Isnaini, Paskah Irianto,

  pengantar penulis

  Budi Supriatna, Sapei Rusin, dan banyak teman lain yang tertinggal di daftar dan tidak bisa saya masukkan dalam daftar itu, termasuk semua yang telah mengundang saya menyampaikan ceramah/kuliah dan mereka yang menyampai- kan pertanyaan, komentar kritis, dan pujian untuk ceramah- ceramah saya di berbagai tempat dan kesempatan yang berbeda- beda. Terima kasih khusus pada Hendro Sangkoyo yang mengijinkan penggunaan karyanya untuk dimuat di bab V, Parakitri T. Simbolon yang mengijinkan pemuatan ringkasan yang dibuatnya atas Tan Malaka, Hatta dan Sukarno untuk Lampiran 1a, 1b, dan 1c. Tidak lupa juga banyak terima kasih untuk Haslinda untuk memeriksa dan memperbaiki tata bahasa dan kalimat naskah buku ini. Istri saya tercinta, Budi Prawitasari, dan kedua putra kami, Tirta Wening dan Lintang Pradipta, berkorban tidak terkira untuk keleluasaan yang saya dapatkan selama ini, termasuk untuk menuliskan naskah ini. Saya tidak tahu cara menyampaikan terima kasih yang layak untuk pengorbanan yang mereka berikan. Pengabdian saya untuk rakyat dan tanah air Indonesia adalah pengabdian kalian juga. Terakhir rasa terima kasih kepada penerbit yang mengusahakan membuat buku ini sampai ke tangan pembaca sekalian. Selamat menikmati. Studio Tanah Air Kita, Bogor, 2015

  .

  

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum,

kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka”

(Al Quran, surah Ar-Ra’d ayat 11)

Daftar Isi

  Pengantar Penerbit ~~ v Pengantar Penulis ~~ ix

  I. Pembuka ~~ 1

  II. Situasi Umum Tanah Air Kita ~~ 5

  III. Reorganisasi Ruang ~~ 15

  IV. Merasani “Kutukan Kolonial” ~~ 25

  V. Masa Depan Tanah Air, Tanah Air Masa Depan ~~ 39

  VI. Penutup: Panggilan Ideologis untuk Pandu ~~ 57

  Lampiran-lampiran

  Tan Malaka (1925) Naar de “Republiek Indonesia” ~~ 65 Mohammad Hatta (1932) Ke Arah Indonesia Merdeka ~~

  76 Soekarno (1933) ”Mencapai Indonesia Merdeka” ~~ 88

  panggilan tanah air

  Naskah Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 ~~ 103 Pidato Soekarno Memproklamasikan Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 ~~ 105 Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia ~~ 107 Lirik Lagu “Indonesia Raya” versi asal (1928) ~~ 110 Lirik Lagu Kebangsaan Indonesia Raya versi Resmi (1958, 2009) ~~ 112 Lirik Lagu Kebangsaan Indonesia Raya versi Resmi (dengan Ejaan Yang Disempurnakan) ~~ 114

  Daftar Pustaka ~~ 117

  • - I -

Pembuka

  Naskah ini dibuat dalam situasi di mana banyak orang Indonesia sudah terbiasa dan dibiasakan memenuhi kebutuhan hidupnya melalui transaksi jual beli. Semua cenderung menganggap transaksi jual-beli itu normal dan alamiah. Lebih dari itu, untuk berhasil memenuhi kepentingan memperoleh pendapatan atau keuntungan, cara jual beli merupakan sesuatu yang sudah lazim ditempuh. Pasar pun dianggap penyedia kesempatan. Di Indo- nesia sekarang ini kita tidak memiliki rujukan yang otoritatif mengenai batas apa-apa yang boleh atau tidak boleh diperjual- belikan. Bukankah demikian? Berbeda dengan mereka yang menganggap pasar sebagai kesempatan, saya hendak menunjukkan sisi lain dari pasar sebagai mekanisme yang sering dianggap normal, alamiah dan sudah seharusnya demikian itu. Jarang orang memikirkan secara sungguh-sungguh bagaimana pasar pada mulanya dibentuk oleh perusahaan raksasa dan dengan cara bagaimana perusahaan- perusahaan raksasa pada mulanya memperoleh modal untuk produksi barang-barang dagangan yang kemudian dipasarkan.

  panggilan tanah air

  Naskah ini berangkat dari pengalaman-pengalaman saya, selama hampir tiga puluh tahun, menyaksikan bagaimana rakyat menghadapi operasi-operasi kekerasan, yang dijalankan oleh berbagai kekuatan, dalam rangka menciptakan modal bagi perusahaan-perusahaan raksasa. Terutama perusahaan- perusahaan yang bergerak dalam bidang pertambangan, kehutanan, dan perkebunan untuk membangun sistem produksi kapitalisme, yang menghasilkan barang dagangan untuk diperjualbelikan di pasar bagi sebesar-besar keuntungan perusahaan.

  Operasi kekerasan yang dimaksud di atas terutama mencakup pelepasan hubungan kepemilikan rakyat terhadap tanah, sumber daya alam dan wilayah, perubahan secara drastis tata guna dari tanah, sumber daya alam dan wilayah, serta perubahan posisi kelas dari rakyat dalam hubungannya dengan keberadaan sistem produksi baru yang berdiri dan bekerja atas tanah, sumber daya alam dan wilayah itu. Operasi kekerasan itu, selain menghasilkan modal bagi perusahaan-perusahaan untuk pertama kalinya, sesungguhnya di kalangan rakyat melahirkan ketegangan hingga pertengkaran sosial, dislokasi sosial hingga migrasi, bahkan perasaan tercerabut yang dapat melahirkan protes berkelanjutan. Namun sebagian besar rakyat mengalah dan kalah. Mereka menyingkir, atau meninggalkan kampung halamannya, dan tidak lagi bisa mengandalkan hidup dari tanah, sumber daya alam, dan wilayah yang telah dikapling perusahaan- perusahaan itu. Ada sedikit saja rakyat yang berhasil mempertahankan diri atau menghalau perusahaan-perusahaan yang mengkapling tanah-tanah mereka itu.

  pembuka

  Bagaimana sesungguhnya kita menyikapi semua ini? Pendek kata, naskah ini bermaksud menggugah bagaimana kita bersikap menghadapi porak-porandanya tanah air, kampung halaman rakyat akibat reorganisasi ruang untuk perluasan cara/sistem produksi kapitalisme yang menghasilkan komoditas-komoditas global. Lebih lanjut, saya berharap naskah ini dapat membuat kita mengidamkan, memikirkan, dan merintis usaha-usaha memulihkan rakyat dan alam yang porak-poranda itu. Terbuka kemungkinan rakyat memilih dan menjadikan kampung atau desa (apapun namanya) sebagai tempat berangkat dan sekaligus tujuan pengabdian. Kita berangkat dari apa yang pernah dikemukakan Muhammad Yamin dalam perdebatan pembuatan pasal 18-B UUD 1945, yakni:

  “... kesanggupan dan kecakapan bangsa Indonesia dalam mengurus tata negara dan hak atas tanah sudah muncul beribu-ribu tahun yang lalu, dapat diperhatikan pada susunan persekutuan hukum seperti 21.000 desa di Pulau Jawa, 700 Nagari di Minangkabau, susunan Negeri Sembilan di Malaya, begitu pula di Borneo, di tanah Bugis, di Ambon, di Minahasa, dan lain sebagainya.”

  .

  • - II -

Situasi Umum Tanah Air Kita

  Masalah agraria dan pengelolaan sumber daya alam bangsa In- donesia secara umum pernah dirumuskan secara sederhana oleh elite pemerintahan nasional di zaman Reformasi melalui Ketetapan MPR RI No. IX/MPRRI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, sebagai berikut: (i) ketimpangan (terkonsentrasinya) penguasaan tanah dan sumber daya alam di tangan segelintir perusahaan, (ii) konflik- konflik agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang meletus di sana-sini dan tidak ada penyelesaiannya, dan (iii) kerusakan ekologis yang parah dan membuat layanan alam tidak lagi dapat 1 dinikmati rakyat. Tiga golongan masalah ini sayangnya diabaikan oleh banyak pejabat publik dan sama sekali tidak diurus secara serius oleh presiden-presiden, menteri-menteri dan para pejabat yang berhubungan dengan masalah agraria dan pengelolaan sumber daya alam, serta para pejabat pemerintahan daerah.

  Rakyat Indonesia di desa-desa selayaknya menyambut abad XXI dengan penuh kegembiraan dan optimisme, namun pada kenyataannya tidaklah demikian. Banyak kelompok rakyat miskin

  panggilan tanah air

  di banyak desa, di pinggir kota, di dataran tinggi, di pedalaman maupun di pesisir dari pulau-pulau, dilanda rasa risau dan kuatir. Rakyat pedesaan menanggung beban berat secara kolektif sehubungan dengan akses pada tanah pertanian, hutan, dan lingkungan hidupnya semakin hari menyempit, produktivitasnya semakin hari merosot, lingkungan ekosistemnya semakin hari semakin tidak mendukung kehidupan, dan secara relatif kesejahteraannya menurun.

  Konsentrasi penguasaan tanah, nilai tukar pertanian yang rendah, konversi tanah-tanah pertanian ke non-pertanian, perkembangan teknologi produksi, dan pertumbuhan penduduk miskin, telah membuat akibat yang nyata pada jumlah rumah tangga petani dan luas total pertanian rakyat. Data sensus pertanian 2013 menunjukkan rumah tangga pertanian di Indo- nesia mencapai 26,13 juta, yang berarti telah terjadi penurunan sebesar 5 juta rumah tangga pertanian, dibandingkan dengan hasil sensus pertanian 2003. Secara retorik, setiap satu menit satu rumah tangga petani hilang, berganti pekerjaan dari pertanian. Bila kita lihat lebih jauh, seperti ditunjukkan oleh Khudori (2014) laju konversi lahan pertanian rakyat mencapai angka 110.000 ha/tahun (pada rentang 1992- 2002), dan bahkan melonjak 145.000 ha/tahun pada periode 2002-2006, serta 200.000 ha/per tahun pada periode 2007-2010. Bila ambil saja rata-rata konversi 129.000 ha/tahun, maka secara retorik setiap menit, sekitar 0,25 hektar tanah pertanian rakyat berubah menjadi lahan non-pertanian.

  situasi umum tanah air kita

  Arus pengurangan jumlah petani dimulai sejak pertengahan abad 20 yang lalu, dan diperhebat dalam dekade yang lalu di Indone- sia. Secara umum, kesempatan kerja di sektor pertanian semakin sempit dari tahun ke tahun, dibanding dengan mereka yang membutuhkan pekerjaan. Minat bekerja pada bidang pertanian juga semakin menipis. Banyak sekali lapisan orang miskin di pedesaan, yang mayoritas tidak bertanah dan tidak bisa menikmati sekolah tinggi, harus mengambil risiko dengan memilih pergi ke luar desa untuk mendapatkan pekerjaan melalui kerja migran, di kota-kota provinsi, metropolitan hingga ke luar negeri. Sebagian besar rakyat pekerja migran ini sesungguhnya berhasil memperoleh upah kerja yang lebih baik, mengirimkan pendapatannya ke desa, dan kemudian menjadi daya tarik bagi pemuda-pemudi desa generasi berikutnya untuk mengikuti mereka. Di sana sini, pengalaman pahit hidup kerja sebagai migran, mulai kondisi kerja yang tidak layak, penipuan, diskriminasi hingga kekerasan, umumnya dipersepsi sebagai nasib buruk, yang tidak mampu mencegah rombongan lain untuk pergi. Dunia pertanian dan hidup di desa bukanlah masa depan yang menjanjikan bagi pemuda-pemudi, padahal masa depan pertanian rakyat bergantung pada siapa yang akan bertani (White 2011, 2012). Kaum paling miskin bekerja menjadi kelas terendah dalam sektor informal dan hidup di komunitas-

  

komunitas pondok dalam wilayah-wilayah kumuh dan marjinal

  di kota-kota (Jellinek 1977). Mereka mudah sekali berpindah- pindah menjadi sesuatu yang diistilahkan oleh Jan Breman sebagai footloose labor (Breman 1977).

  panggilan tanah air

  Semakin tinggi pendidikan orang desa, semakin kuat pula motivasi dan dorongan untuk mereka meninggalkan desanya. Desa ditinggalkan pemuda-pemudi yang pandai, termasuk untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Mereka inilah yang semakin memenuhi kota-kota kabupaten, provinsi dan metro- politan. Mereka yang berhasil menjadi kelas menengah di kota- kota tidak kembali ke desa, menjadi konsumtif, dengan membeli/ menyewa tanah dan rumah untuk tinggal di pinggiran kota, serta motor dan mobil baru untuk transportasi, yang pada gilirannya membuat infrastuktur jalan di kota-kota provinsi dan metropoli- tan tidak lagi memadai. Di kota-kota metropolitan, terjadi macet di mana-mana setiap pagi pada jam pergi menuju pusat kota dan jam pulang menuju pinggiran kota. Sejarawan terkenal, Eric Hobsbawm dalam karyanya yang terkenal, Age of Extremes, membuat deklarasi bahwa “the most

  

dramatic change in the second half of this century, and the one

which cuts us forever from the world of the past, is the death of

the peasantry”. Artinya, “perubahan paling dramatis dalam

  paruh kedua abad (kedua puluh) ini, yang untuk selamanya memisahkan kita dari dunia masa lampau, adalah kematian petani” (Hobsbawm, 1994:288-9). Istilah untuk berkurangnya jumlah orang desa yang bekerja sebagai petani, yang dibuat oleh para sarjana peneliti masalah agraria , adalah depeasantization (Araghi 1995, McMichael 2014). Ini untuk menunjukkan bagaimana berbagai kekuatan ekonomi politik bekerja pada tingkat global sehingga menghasilkan kecenderungan pengurangan jumlah kelas petani di pedesaan, dan semakin kecilnya pengaruh pedesaan pada kehidupan rakyatnya. Lebih

  situasi umum tanah air kita

  lanjut, ahli agraria lain membuat istilah deagrarianization (Bryceson 1996) untuk menunjukkan semakin kecilnya andil kerja-kerja dari dunia agraris bagi ekonomi rakyat, perubahan orientasi hidup, identifikasi sosial, dan perubahan lokasi hidup.

  Tidak dipungkiri bahwa semua itu dilakukan dalam rangka menciptakan suatu cara hidup baru dengan gaya perkotaan modern (urban modernity), yang banyak dianggap sebagai keniscayaan yang harus ditempuh. Henri Lefebrve (1970/2003) menyebutnya sebagai urban revolution, bahwa masyarakat glo- bal sekarang ini sedang mengalami proses urbanisasi dan masyarakat perkotaan sekarang ini terbentuk sebagai hasil proses urbanisasi. Ia memaksudkan bahwa ini bukan sekadar perubahan lokasi hidup di kota-kota, melainkan seluruh cara hidup, berpikir dan bertindak yang berbeda secara total. Kampung halaman rakyat di desa-desa porak-poranda untuk melayani cara hidup masyarakat perkotaan, termasuk kaum elite kaya yang hidup di kota-kota yang berjaringan satu sama lain, termasuk dengan dihubungkan oleh lapangan terbang, mobil dan jaringan jalan highway, hotel, pusat perbelanjaan dan perumahan gated-communities, hingga kantor-kantor perusahaan maupun pemerintahan di pusat kota metropolitan. Elite perkotaan kita ini hidup di metropolitan cities seperti Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar, Medan, hingga Singapura, dan bersama-sama dengan elite perkotaan di negara-negara pasca kolonial lain dalam jaringan dengan kota-kota New York, Lon- don, dan Tokyo, dan sebagainya (Sassen 2001, 2005, Roy and Ong 2011).

  panggilan tanah air

  Saya bukan akan membahas sisi modernisasi yang mentereng itu. Sisi lain dari cara perluasan sistem-sistem produksi komoditas globallah yang akan kita bahas, khususnya cara perluasan melalui konsesi-konsesi proyek pertambangan, kehutanan, perkebunan, infrastruktur, dll. Produktivitas rakyat yang hidup di lokasi-lokasi sasaran perluasan itu sesungguhnya diabaikan dan sama sekali tidak diperhitungkan, apalagi dihargai. Cerita dan berita mengenai penghancuran kehidupan yang sebelumnya melekat pada tempat sistem-sistem produksi baru itu tidak dimasukkan dan dimuat dalam naskah-naskah resmi di kantor-kantor pemerintah. Sebaliknya, pemerintah menyampaikan keharusan-keharusan bagaimana kebijakan dan fasilitas pemerintah diarahkan untuk mempermudah para perusahaan raksasa (biasa disebut: investor!) bekerja untuk memperbesar kapasitas produksi komoditas-komoditas global, mensirkulasikannya, dan menjualbelikan sedemikian rupa sehingga menghasilkan keuntungan dan penumpukan kekayaan.

  Ketika naskah ini ditulis, saya membaca berita di Koran Kompas edisi 18 April 2015 “Konflik Lahan Adat Meningkat”. Suryati, Sekretaris Pelaksana Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) yang menjadi narasumber berita itu melaporkan bahwa sejak tahun 2003 hingga 16 April 2015, terdapat setidaknya konflik lahan antara 18 komunitas adat dengan PT Toba Pulp and Paper yang beroperasi di kawasan Toba. “Setidaknya konflik itu melibatkan 3.777 keluarga atau 17.722 jiwa di lahan seluas 26.560,398 hektar di Kabupaten Humbalang Hasundutan, Tapanuli Utara, Samosir, Toba Samosir,

  situasi umum tanah air kita

  Dairi, dan Simalungun.” (Kompas “Konflik Lahan Adat Meningkat” 18 April 2015). Perlu diketahui bahwa PT TPL memperoleh lisensi izin pemanfaatan lahan untuk Hutan Tanaman Industri melalui SK Menhut nomor 58/2011 untuk lahan seluas 188.000 hektar. Izin ini merupakan pembaruan atas SK Menhut 493/1992 hektar untuk lahan seluas kurang lebih 269.000 hektar atas nama PT Inti Indorayon Utama (IIU).

  Kasus konflik lahan di wilayah ini bukan hanya 18 kasus itu. Ke-18 kasus itu adalah mereka yang bertahan hingga saat ini. Banyak komunitas yang sudah kalah dan mengalah terhadap PT TPL atau 2 PT IIU. Konflik-konflik lahan di wilayah ini sudah berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, semenjak PT IIU bekerja di sana mendapatkan lisensi pembalakan kayu (Hak Pengusahaan Hutan/HPH) dari Menteri Kehutanan seluas 100.000 hektar pada tanggal 23 Oktober 1984 dengan jangka waktu pengusahaan 20 tahun. Baru-baru ini di akhir tahun 2003, saya memiliki satu kesempatan istimewa mengunjungi salah satu dari konflik-konflik lahan itu, yakni yang terjadi di kampung Naga Hulambu, kabupaten Simalungun. Saya bertemu dan mendengar cerita bagaimana seorang ibu (inang) memimpin rakyatnya mempertahankan tanah air mereka dengan cara mengusir kontraktor-kontraktor PT TPL yang telah, sedang, dan akan menghabisi kebun-kebun mereka yang dipenuhi oleh pohon kayu, buah-buahan maupun sayur-sayuran. Secuplik cerita satu kasus konflik agraria ini dimaksudkan untuk

  panggilan tanah air

  menunjukkan masalah tanah air rakyat yang kronis. Lebih dari itu, sinyalemen mengenai sebaran konflik agraria di seantero Nusantara sudah menujukkan luasannya di seantero Nusantara 3

  (Konsorsium Pembaruan Agraria 2014). Di sini saya tidak akan memperpanjang cerita-cerita kasus semacam itu. Di naskah ini, saya akan mengarahkan penjelasan mengenai sebab utama dari porak-porandanya rakyat dan tanah airnya, yang berlangsung secara sistemik, sebagai akibat dari reorganisasi ruang untuk perluasan cara/sistem produksi kapitalisme untuk menghasilkan komoditas-komoditas global.

  Catatan Akhir 1 Satu mandat utama dari TAP MPR ini adalah penyelesaian

pertentangan, tumpang tindih dan tidak sinkronnya berbagai

perundang-undangan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang

berlaku. Ironisnya tidak ada satupun Presiden Republik Indonesia yang

menjalankan arah kebijakan dan mandat yang termuat di dalam

Ketetapan MPR itu. Semenjak dibentuknya Mahkamah Konstitusi pada

tahun 2003 melalui UU Nomor 24/2003 sudah cukup banyak undang-

undang agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang telah diuji

konstitusionalitasnya, dan sebagian telah dibatalkan karena tidak sesuai

dengan UUD 1945 yang berlaku. Yang terbanyak diuji adalah Undang-

undang No. 41/1999 tentang Kehutanan. Yang baru saja dibatalkan adalah

Undang-undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber

Daya Air. Air sebagai sumber daya yang vital tidak boleh diswastakan,

dan harus dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat. 2 Pertama kalinya saya membaca satu kasus dari wilayah ini melalui

buku Ibrahim Gidrach Zakir (1980) Dari Jenggawah ke Siria-ria: Sebuah

  

Peneguhan Sikap di Hadapan Pengadilan Mahasiswa, yang diterbitkan

  situasi umum tanah air kita

di Bandung oleh Badan kerjasama Pembelaan Mahasiswa Indonesia.

Buku ini adalah Pledoi Ibrahim Gidrach Zakir, salah seorang mahasiswa

yang dipenjarakan oleh rezim militer Orde Baru karena tuntutan mereka

agar Soeharto mundur dari jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia.

Kasus ini telah menjadi perhatian para pekerja hak asasi manusia sejak

akhir ahun 1989. Saya membacanya di YLBHI (1990), Laporan Keadaan

Hak Asasi Manusia di Indonesia 1989. Naskah akademik terbaik mengenai

perjuangan agraria di sana, termasuk yang digerakkan oleh ibu-ibu

Sugapa, adalah Simbolon, Indira Juditka 1998 Peasant Women and Access

to Land; Customary Law, State Law and Gender Based Ideology; The Case

of the Toba - Batak (North Sumatra). PhD thesis in Wageningen University.

3 Salah satunya dibuat oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

yang melaporkan bahwa sepanjang tahun 2014 sedikitnya telah terjadi

472 konflik agraria di seluruh Indonesia dengan luasan konflik mencapai

2.860.977,07 hektar. Konflik-konflik ini melibatkan sedikitnya 105.887

kepala keluarga (KK). Data KPA memperlihatkan konflik agraria tertinggi

pada tahun ini terjadi pada proyek-proyek infrastruktur, yaitu sebanyak

215 konflik agraria (45,55%) di sektor ini. Selanjutnya ekspansi perluasan

perkebunan skala besar menempati posisi kedua yaitu 185 konflik agraria

(39,19%), dilanjutkan oleh sektor kehutanan 27 (5,72%), pertanian 20

(4,24%), pertambangan 14 (2,97%), perairan dan kelautan 4 (0,85%),

lain-lain 7 konflik (1,48%). Dibandingkan tahun sebelumnya, terjadi

peningkatan jumlah konflik sebanyak 103 atau meningkat 27,9% dari

tahun 2013. Secara kumulatif selama 10 tahun masa pemerintahan SBY

(2004-2014) setidaknya telah terjadi 1.520 konflik agraria di seluruh

wilayah Republik Indonesia, dengan luasan areal konflik seluas

6.541.951,00 hektar dan melibatkan lebih dari 977.103 kepala keluarga

(KK), yang harus menghadapi ketidakadilan agraria dan konflik

berkepanjangan. Dapatlah dikatakan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun

terakhir ini rata-rata hampir dua hari sekali terjadi konflik agraria (KPA,

2014).

  .

  • - III -

Reorganisasi Ruang

  Secara gamblang saya mengajak pembaca melihat sebagian situasi rakyat dan tanah airnya yang porak-poranda itu sebagai bagian akibat dari reorganisasi ruang yang digerakkan oleh kekuatan-kekuatan yang memperluas sistem-sistem produksi kapitalis. Sebagai suatu sistem produksi yang mendasarkan pada pemisahan antara pemilik dan pekerja, serta manajer pengelola produksi, dan yang senantiasa berorientasi untuk pelipatgandaan keuntungan si pemilik, mesin-mesin industrinya harus terus bergerak memproduksi tak henti-henti untuk menghasilkan komoditi atau barang dagangan secara standar dan massal. Barang dagangan atau komoditi itu kemudian disirkulasikan sedemikian rupa sehingga bisa sampai pada konsumen. Seperti diuraikan secara padat oleh Schumpeter (1944/1976:82- 83), sebagai suatu sistem ekonomi yang khusus, kapitalisme tidak pernah statis tapi sangat dinamis. Perubahan yang dihasilkan oleh kapitalisme bukan hanya dikarenakan fakta bahwa kehidupan ekonomi berlangsung dalam suatu lingkungan sosial

  panggilan tanah air

  dan alam yang berubah. Memang penting juga melihat pengaruh kekuatan politik dan segala pergolakan yang timbul dari padanya pada perubahan industrial, akan tetapi semua itu bukanlah penggerak utamanya. Tidak pula hanya karena pengaruh yang begitu rupa dari ilmu dan jumlah modal yang diinvestasikan, atau oleh pengaruh khusus dari sistem-sistem moneter, yang semuanya memang benar berpengaruh. Dorongan pokok yang membentuk dan menggerakkan mesin kapitalis sesungguhnya berasal dari kemampuannya membuat rakyat mengkonsumsi barang-barang yang baru, yang dimungkinkan melalui cara-cara produksi baru, transportasi baru, pasar-pasar baru, dan manajemen organisasi industrial baru.

  Barang-barang dagangan selalu harus dibeli dan rakyat kita dipacu untuk terus menjadi konsumen belaka. Mekanisme- mekanisme baru untuk memperbesar konsumsi terus-menerus diperbarui: yang lama diganti dan yang baru diciptakan. Kapitalisme akan mati bila tidak ada yang membeli barang dagangan (komoditi) yang mereka hasilkan. Dari hari ke hari, sistem produksi kapitalis terus-menerus menghasilkan barang- barang baru, termasuk untuk menggantikan barang-barang dagangan yang dihasilkan oleh sistem produksi non-kapitalis. Saat ini, kita lihat kenyataan bahwa selera rakyat dibentuk melalui iklan dan gaya hidup konsumtif yang mampu membangkitkan gairah mengidamkan dan membeli barang-barang baru. Upaya pembiasaan membeli pun digencarkan melalui iklan-iklan TV, radio, billboard hingga penjualan di mall-mall, supermarket di kota-kota hingga minimarket dan toko-toko di kelurahan/desa- desa, serta situs-situs maya yang menawarkan secara online.

  reorganisasi ruang

  Demikianlah, ekspansi sistem produksi kapitalis memerlukan reorganisasi ruang (spatial reorganization) yang khusus agar cara/sistem produksi kapitalisme bisa meluas secara geografis (geographic expansion). Istilah yang dimaksudkan di sini lebih luas maknanya dari istilah yang disebut oleh pemerintah sebagai “penataan ruang”. Secara umum, yang dimaksudkan dengan istilah ruang dalam “reorganisasi ruang” di sini mencakup: (a) ruang imajinasi dan penggambaran, termasuk perancangan teknokratik yang diistilahkan master plan, grand design, dan sebagainya; (b) ruang material, tempat kita hidup; dan (c) praktik- praktik keruangan dari berbagai pihak dalam membuat ruang, memanfaatkan ruang, memodifikasi ruang, dan melenyapkan ruang, dalam rangka berbagai upaya memenuhi keperluan, termasuk mereka yang berada dalam posisi sebagai bagian 1 negara, atau korporasi, atau rakyat.

  Reorganisasi ruang dilakukan terus-menerus oleh kekuatan yang bermaksud melipatgandakan keuntungan perusahaan- perusahaan kapitalis. Keuntungan itu pada dasarnya diperoleh dari privatisasi tanah dan sumber daya alam, pemisahan antara penghasil dan pemilik barang yang dihasilkan, dan eksploitasi tenaga kerja untuk menghasilkan barang dagangan yang bernilai tambah. Komoditas atau barang dagangan yang dihasilkan oleh sistem produksi kapitalis itu ditransportasikan sedemikian rupa mulai dari tempat ia diproduksi hingga diperdagangkan dan dikonsumsi rakyat, baik untuk memenuhi kebutuhan hidup maupun melayani kebiasaan berbelanja (budaya konsumtif). Saat ini, tidak bisa tidak, kita harus membicarakan kapitalisme,

  panggilan tanah air

  dan memahami cara bekerjanya. Sebab, kapitalisme telah menjadi suatu sistem produksi yang menguasai Indonesia dan dunia sekarang ini. Fernand Braudel, sejarawan Perancis dan pemimpin dari Aliran Annales (Annales School) dalam ilmu sejarah, menulis kalimat yang dikutipkan di atas itu dalam salah th th satu karya klasiknya Civilization and Capitalism 15 – 18 Century

  

Volume II: the Wheels of Commerce: “manakala kapitalisme diusir

  keluar dari pintu, ia akan masuk kembali lewat jendela.” Ia melanjutkan, “Suka atau tidak, … terdapat suatu bentuk kegiatan ekonomi yang tak bisa dihindari memanggil ingatan kita pada kata ini dan tidak bisa tidak” (Braudel 1979:231).

  Manusia-manusia yang sepenuhnya menikmati menjadi bagian dari sirkuit produksi-konsumsi komoditas itu terus menyebarluaskan kehebatan dari sistem produksi ini, dan meyakini bahwa kita tidak bisa mengelak kecuali menjadi bagian dari pada kapitalisme. Kita sepenuhnya bisa memahami mereka yang bekerja mengabdikan dirinya secara profesional dengan andalan keahliannya, memperoleh upah, penghargaan, dan jaminan karir yang diatur secara manajemen.

  Umumnya yang tidak mereka ceritakan adalah cara bagaimana sistem-sistem produksi kapitalis ini wilayah kerjanya semakin meluas melalui operasi-operasi kekerasan, terutama merampas tanah kepunyaan rakyat, dan membatasi bahkan membuat rakyat tidak bisa lagi memanfaatkan tanah dan sumber daya alamnya, mengubah secara drastis dan dramatis tata guna tanah . yang ada, dan menciptakan kelompok-kelompok pekerja yang terpaksa maupun siap sedia untuk didisiplinkan menjadi

  reorganisasi ruang

  penggerak sistem produksi kapitalis itu. Saya mengajak kita melihat bagaimana nasib sebagian besar rakyat Indonesia yang melanjutkan hidup di desa-desa dengan cara menguasai dan memanfaatkan tanah dan wilayahnya melalui sistem pertanian keluarga, perladangan suku, wana-tani, penggembalaan suku, kebun-hutan bersama, hingga pengelolaan pesisir dan laut. Ekspansi sistem-sistem produksi kapitalis akan memaksa kehidupan mereka berubah. Keadaan kampung, ladang, sawah, hutan, sungai, dan pantai mereka telah, sedang dan akan terus diubah oleh industri pengerukan (batu bara, timah, nikel, pasir besi, bauksit, emas, semen, marmer, dsb), industri pulp and paper, industri perkebunan kelapa sawit, industri perumahan dan turisme, industri manufaktur, dan lain sebagainya.

  Semua sistem produksi baru ini perlu dipahami sebagai bagian dalam jaringan produksi internasional/global yang ekspansif. Perusahaan-perusahaan raksasa di bidang industri pertambangan, kehutanan, pekebunan, manufaktur, perumahan dan turisme, infrastruktur, dan lainnya, bekerja berdasarkan lisensi atau surat izin yang diperoleh dari pejabat publik yang berwenang, seperti Menteri Pertambangan yang membuat Kontrak Karya Pertambangan, Menteri Kehutanan yang mengeluarkan izin HPH/HPHTI, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang mengeluarkan Surat Keputusan HGU, dan lainnya. Lisensi-lisensi itu menjadi alas hukum untuk menyingkirkan dan meminggirkan rakyat agraris (petani, nelayan, masyarakat adat yang mengumpulkan hasil hutan/laut, dsb-nya)

  panggilan tanah air

  dari tanah dan wilayah hidupnya, baik oleh perusahaan- perusahaan pemegang lisensi itu, maupun aparatur keamanan/ polisi yang bekerja untuk perusahan-perusahaan pemegang lisensi itu. Konsesi-konsesi berupa taman-aman nasional dan kawasan konservasi lainnya, yang dihasilkan oleh keputusan- keputusan Menteri Kehutanan, juga menjadi dasar penyingkiran rakyat atas nama biodiversity hotspot,di mana spesies-spesies flora fauna yang langka dan ekosistemnya perlu dikonservasi.

  Saat ini yang sedang menjadi andalan pemerintah adalah pembangunan berbagai mega proyek infrastruktur, seperti pembangunan jalan, pelabuhan, lapangan terbang beserta

  

aerocity, kompleks industri pengolahan, dsb. Berbeda dengan

  yang lain, infrastruktur memiliki fungsi khusus melayani komoditas untuk bersirkulasi, khususnya dengan jalan darat atau kereta api, pelabuhan, atau bandara udara. Komoditas ditransportasikan dari satu tempat ke tempat lainnya hingga sampai ke konsumen. Proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang masif ini ikut menyumbang juga pada penyingkiran rakyat dari kampung halamannya. Sejak masa kebijakan otonomi daerah dimulai tahun 2000, pemerintah daerah lebih tertarik memburu rente yang dapat diperolehnya, baik dari pembagian keuangan pemerintah pusat, maupun dari pemberian izin-izin. Bertarung dalam pemilu kepala daerah menghabiskan biaya yang sangat mahal, dan itu membuat kepala daerah harus mempunyai cara mendapatkan kompensasi dari pengeluarannya ketika bertanding dalam pemilukada itu. Cara itu menemukan bentuk praktisnya ketika desakan desentralisasi

  reorganisasi ruang

  berujung pada kewenangan kabupaten dalam pemberian izin lokasi, izin usaha pertambangan, dan sebagainya. Alih-alih mengurus masalah porak-porandanya tanah air, kampung halaman rakyat, negara memfasilitasi pemenuhan kepentingan akumulasi kekayaan segelintir orang, sebagaimana disinyalir oleh Karl Marx (1948) dalam pamfletnya yang termasyhur The Communist Manifesto bahwa “(t)he executive

  

of the modern state is nothing but a committee for managing

the common affairs of the whole bourgeoisie. Tentu saja,

  keberadaan negara yang bersifat melulu instrumental terhadap perluasan sistem kapitalisme ini sesungguhnya bertentangan dengan maksud pembentukan Republik Indonesia, sebagaimana dicita-citakan pada masa pendiriannya. Justru sebaliknya, negara diidamkan sebagai kekuatan pembebas rakyat. Barang-barang yang diperjualbelikan dihasilkan di pabrik-pabrik yang lokasinya jauh dari tempat barang itu dijual. Semua barang itu dimungkinkan hadir melalui rantai komoditas (commodity

  

chain) yang merupakan bagian dari sirkuit produksi-sirkulasi-

  konsumsi. Tontonlah video 20 menit yang diproduksi oleh Annie Leonard, dkk. dari Story of Stuff Project. Mereka menunjukkan bagaimana daya rusak dari sistem produksi kapitalis dan pola konsumsi yang dibentuknya https://www.youtube.com/ watch?v=9GorqroigqM. Dengan menonton film ini dan film-film mereka lainnya (lihat informasinya di http://storyofstuff.org) kita akan tercengang dan terinspirasi! Indonesia menduduki posisi khusus dalam sirkuit ini. Istilahnya,

  panggilan tanah air

  terdapat pembagian kerja yang telah diatur secara internasional (international division of labour), di mana posisi dan andil Indo- nesia dalam tata perekonomian global itu sungguh penting untuk dicermati. Kebijakan industri mengatur kehadiran pabrik- pabrik yang menghasilkan barang dagangan sesuai standar dan secara massal. Semua itu diatur dalam perjalanan industrialisasi Indonesia secara nasional, yang telah melintasi beberapa kali periode. Kita telah mengalami suatu pengalaman industrialisasi substitusi impor (ISI) yang dimulai awal tahun 1970-an hingga industrialisasi orientasi ekspor (IOE) pada tengah tahun 1980- an. Muaranya adalah pembangunan kawasan-kawasan industri khusus (special economic zone), yang menjadi lokasi pabrik-pabrik, dengan sistem produksi kapitalis yang mendasarkan diri pada cara pabrik model Fordism. Istilah Fordism ini berasal dari nama industrialis Amerika Henry Ford, yang membangun pabrik mobil Ford dengan suatu sistem sosial dan ekonomi modern berbasiskan bentuk produksi massal industri yang memiliki standar. Teknik dalam manajemen industrinya disebut sebagai assembly line dengan alat “ban berjalan” dan tugas buruh yang repetitif.

  Di akhir tahun 1990-an, setelah Presiden Jenderal Soeharto turun tahta dan rezim otoritarian Orde Baru kehilangan cengkeramannya, sebagai respon manajemen industri terhadap gerakan-gerakan serikat buruh yang semakin menguat, dimulailah mekanisme sub-contracting, tidak memerlukan suatu hubungan industrial yang memberi peran bagi serikat-serikat buruh, terutama dalam kontrak kerja yang mencakup kondisi kerja dan penentuan nilai upah. Lebih dari itu, suatu model manajemen industri baru, yang disebut sebagai post-fordism,

  reorganisasi ruang