Polisi dan Nilai nilai Kebangsaan

EDITORIAL

Polisi, Nasionalisme dan Nilai-nilai Kebangsaan

Polisi, Nasionalisme dan
Nilai-nilai Kebangsaan
“...kita sekalian, ya engkau, ya engkau, yang engkau, ya engkau, ya seluruh Rakyat
Indonesia yang laki, yang perempuan, yang kaya, yang miskin, yang tua, yang muda, kita
sekalian adalah Bhayangkara daripada Republik Indonesia yang kita proklamirkan 17
Agustus “45.... Mari sekarang ini, memperdalam kita punya tekad, memperteguh kita punya
tekad untuk melanjutkan Revolusi!”
(Amanat Presiden Sukarno pada Upacara Hari Angkatan Kepolisian ke-19, tanggal 1 Juli 1964)

Kutipan dari pidato Presiden Sukarno
tersebut disampaikan 47 tahun yang lalu, namun
semangatnya masih terasa sampai sekarang.
Dengan tegas Presiden Sukarno menyatakan,
bahwa tugas-tugas kepolisian tidak hanya sematamata urusan polisi, karena sebenarnya tugas
untuk memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat adalah tugas seluruh anggota bangsa
negeri ini, tugas seluruh masyarakat. Akhirakhir ini, dalam beberapa berita di media massa

kita melihat bentrokan polisi dan masyarakat
sering terjadi. Kemudian tuduhan bahwa polisi
telah melakukan pelanggaran HAM (Hak Asasi
Manusia), bahkan pelanggaran HAM berat,
seolah-olah sudah menjadi vonis bagi polisi.
Benarkah polisi melakukan pelanggaran
HAM. Pihak kepolisian tidak serta merta
membenarkan, tetapi juga tidak membantah.
Pada beberapa kasus polisi menunjukkan
sikapnya dengan telah menjatuhkan hukuman
pada anggota Polri yang dinilai telah melanggar
prosedur. Namun pada sisi lain, polisi juga
menunjuk perilaku masyarakat dalam unjuk rasa
yang anarkis. Memang serba dilematis pekerjaan
polisi. Namun inilah resiko profesi yang harus
dihadapi. Semangat melindungi, mengayomi
dan melayani harus terus bisa dijaga, walau

6


Jurnal Studi Kepolisian | Edisi 076 | Januari - April 2012

dalam pelaksanaan tugas sering kali berbenturan
dengan perilaku-perilaku anarkis yang mau tidak
mau harus dengan sabar dihadapi.
Kritik yang selama ini sering dilontarkan
adalah mengenai keberpihakan polisi. Berpihak
pada penguasa dan pada pemilik modal, kritik
inilah yang belakangan ini banyak dinyatakan
untuk memojokkan berbagai kebijakan polisi
yang tidak berpihak pada publik. Apakah benar
kritik tersebut, tentu saja sulit kalau melihat
dari aspek para pengkritik, karena seringkali
berbagai kepentingan melingkupi latar belakang
kritik tersebut. Namun bagi polisi tentu saja juga
tidak arif jika hanya selalu membela diri dengan
argumen-argumen, karena yang kemudian
terpampang di media adalah “debat kusir” di
mana masing-masing pihak mengklaim sebagai
yang paling benar, sebagai yang paling masuk

akal. Kondisi inilah yang kini harus dipahami
dengan mendalam, karena berkaitan dengan
kewibawaan institusi negara yang oleh UndangUndang diberi mandat untuk mewujudkan
keamanan dalam negeri.
Jika menyimak kritik-kritik yang berkaitan
dengan keberpihakan polisi, selalu muncul
pendapat bahwa yang dilakukan polisi saat ini
sudah over-represif, sehingga bertindak brutal

Polisi, Nasionalisme dan Nilai-nilai Kebangsaan

atas nama ketertiban. Apalagi belakangan
ini konflik aparat polisi dengan masyarakat
justru terjadi di area pertambangan maupun
perkebunan yang mayoritas sahamnya dimiliki
oleh pihak asing. Lengkaplah sudah “tuduhan”
bahwa polisi bekerja sebagai pengaman pemilik
modal, bukan pengaman kepentingan publik.
Alih-alih kritik ini dikaitkan dengan posisi polisi
yang berada sebagai bagian dari kekuasaan, yang

dalam bebagai hal juga dikritik mulai menjauh
dari kepentingan publik.
Kondisi ini tentu saja tidak boleh dibiarkan.
Kehadiran polisi adalah suatu keniscayaan.
Polisi sendiri tentu juga tidak ingin negeri ini
selalu diwarnai dengan konflik aparat dengan
masyarakat. Tentu ada yang tidak beres di tengah
situasi seperti sekarang ini. Dari mana perbaikan
akan dimulai juga harus diawali dengan kesadaran
seluruh masyarakat bahwa kehadiran polisi
bukan untuk melawan masyarakat, tetapi justru
bersama masyarakat menjaga ketertiban di negeri
ini dalam rangka mewujudkan keamanan dalam
negeri. Karena keamanan dalam negeri adalah
prasyarat untuk bisa berjalannya tata kehidupan
sosial, ekonomi, politik, maupun demokrasi di
negeri ini.
Benar kata Bung Karno seperti dinyatakan
dalam pidato saat Hari Bhayangkara tahun 1964
yang sengaja dikutip sebagai pembuka editorial

ini. Bahwa kita semua adalah Bhayangkara
republik ini. Menyimak sejarah kehadiran
Bhayangkara, Kesatuan Bhayangkara sudah ada
sejak zaman Singasari, sebelum Wisnuwardhana
memerintah (1248-1268 Masehi).
Dalam Nagarakretagama pupuh IX
pada 1 dijelaskan, bahwa sehubungan dengan
mangkatnya Tohjaya di Katang Lambang pada
tahun 1248 di daerah Pasuruan, maka di antara
barisan pengawal yang berkewajiban menjaga
keamanan kraton adalah Kesatuan Bhayangkara.
Di tangan Gajah Mada, Kesatuan Bhayangkara
menjadi kekuatan sipil yang sangat berpengaruh

EDITORIAL

pada zamannya. Sehingga keselamatan para
raja dan keluarganya berada mutlak di bawah
kewenangan dan tanggungjawab Kesatuan
Bhayangkara. Kesatuan Bhayangkara, sebagai

kekuatan sipil telah memberikan kepercayaan
yang sangat kuat di hati masyarakat, sebagai
pengayom dan pelindung rakyat. (Renny
Masmada, Kompasiana, 26 Desember 2011)
Setelah Majapahit resmi menjadi Mahapatih
dan Pasukan Bhayangkara juga ikut menjadi
pasukan paling elit kerajaan, Gajah Mada
secara signifikan melakukan perbaikan dan
pengembangan konsepsi keamanan dalam negeri
dengan memberikan porsi yang sangat besar
pada kesatuan Bhayangkara. Sumpah Amukti
Palapa yang diucapkan Gajah Mada di paseban
agung Majapahit memuat gagasan yang sangat
besar terhadap penyatuan seluruh Nusantara
di perairan Dwipantara. Dengan menjunjung
tinggi Kitab Perundangan Kutaramanawa
Dharmasastra, Majapahit terbukti mampu
menegakkan perangkat sistem hukum di seluruh
wilayah Negara besar ini. Para penegak hukum
tanpa pandang bulu memberikan concern yang

sangat besar terhadap penegakkan hukum
di setiap jengkal wilayah hukum Majapahit.
(Ngashim, 2011, dalam Kompasiana)
Bhayangkara kini sudah diadopsi oleh Polri
sebagai perwujudan citra institusi yang sesuai
Undang-Undang mempunyai tugas pokok
sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegak hukum, dan sebagai
pelindung, pengayom serta pelayan masyarakat.
Sejak kehadiran polisi Indonesia yang lahir
bersamaan dengan kemerdekaan negeri ini,
sudah disepakati semangat nasionalisme adalah
nilai dasar dari polisi Indonesia. Dengan
sendirinya nilai-nilai kebangsaan adalah jiwa dari
seluruh kinerja kepolisian. Maka kalau sekarang
ini muncul kritik mengenai krisis kebangsaan
polisi, masing-masing dari kita semua tentu saja
harus mau berinstrospeksi. Apakah benar yang
dikatakan oleh pengkritik, juga apakah benar
Jurnal Studi Kepolisian | Edisi 076 | Januari - April 2012


7

EDITORIAL

klarifikasi yang dilakukan oleh Polri, ada baiknya
masing-masing kita tidak melakukan klaim yang
sepihak dan merasa yang paling benar.
Sebagai Bhayangkara negeri ini, kesadaran
bahwa mewujudkan keamanan dalam negeri
adalah tugas kita bersama, maka sesuai dengan
kapasitas masing-masing kita berupaya untuk
mewujudkan cita-cita tersebut. Polisi dengan
kewenangan yang dipunyai tentu juga disertai
dengan tanggung jawab yang harus diemban.
Masyarakat dengan kapasitas yang dipunyai
tentu juga harus menyadari pentingnya kehadiran
polisi. Kesantunan dalam melontarkan kritik
kepada polisi tentunya juga harus menjadi potret
budaya manusia Indonesia. Kesamaan tekad

untuk menjadi Bhayangkara sejati adalah wujud
kesamaan semangat nasionalisme dan nilai-nilai
kebangsaan. Polisi siap menjadi garda depan

8

Jurnal Studi Kepolisian | Edisi 076 | Januari - April 2012

Nilai Luhur Polisi

untuk menjaga negeri ini dengan semangat
nasionalisme. Tetapi tentu saja semangat ini juga
harus didukung dengan semangat dari masyarakat
yang tidak semena-mena memperlakukan polisi
dengan selalu menunjukkan tindakan anarkis
dan menghujat. Kesadaran untuk membangun
negeri ini dengan saling melengkapi adalah
jawabannya. Saling melengkapi adalah bentuk
dari nasionalisme yang sudah sejak jaman
Patih Gajahmada ditunjukkan oleh Kesatuan

Bhayangkara, sebagai kekuatan sipil yang mampu
memberikan kepercayaan yang sangat kuat di hati
masyarakat, sebagai pengayom dan pelindung
rakyat. Bhayangkara lahir karena kebutuhan
masyarakat dan Bhayangkara bisa berperan
bagi masyarakat karena dukungan masyarakat.
Hal ini bisa terjadi karena semangat nilai-nilai
kebangsaan yang sama. (A. Wahyurudhanto)