CAROK Konflik Kekerasan dan Harga Diri O

REVIEW

CAROK
(Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura)
Disertasi Dr. A. Latief Wiyata
(Disusun Guna Memenuhi Tugas Matakuliah Pengantar Ilmu Sosial)

Oleh:
Mohammad Dhofir
130210302054

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN IPS
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015

A. IDENTITAS
Judul Buku

: Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang

Madura

Nama Penulis

: Abdul Latief Wiyata

Tempat Tanggal Lahir

: Sumenep, tahun 1958

Riwayat Pendidikan

: SD Sumenep tahun 1963
SMP di Pamekasan tahun 1966
SMA di Bangkalan tahun 1969
FISIP Universitas Jember tahun 1975
PASCASARJANA (Sosiologi) di FISIP UI tahun
1984
DOKTORAL (Antropologi) di UGM tahun 2011


Pekerjaan

: Dosen tetap di Prodi Sosiologi FISIP UNEJ

Penerbit

: LKIS Yogyakarta

Cetakan

: Cetakan 11 September 2006

Jumlah Halaman

: xxxii+266 halaman; 14,5 × 21 cm

ISBN

: 979-9492-67-X


B. PENDAHULUAN
Buku ini merupakan hasil suntingan dari diseratsi penulis berjudul Carok:
Institusionalisasi Kekerasan dalam Masyarakat Madura, yang dipertahankan di
depan senat Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada tahun 2001 untuk
memperoleh derajat Doktor dalam Ilmu Sastra, Program Studi Antropologi
Budaya.
Mempertimbangkan bahwa jumlah informasi tentang masyarakat dan
kebudayaan Madura sampai saat ini boleh dikatakan masih sedikit, maka penulis
tergerak untuk menerbitkan disertasi ini yang kemudian di bukukan dan
diterbitkan oeh LKIS Yogyakarta.

Akhirnya, penulis berharap agar di balik konflik kekerasan atau carok
yang menjadi tema utama dalam buku ini dapat dipetik hal hal positif sehingga
makna masyarakat dan kebudayaan Madura dapat dipahami secara lebih
proporsional dan kontekstual.

C. PEMBAHASAN
A. Latar belakang
Pada umumnya, orang luar Madura cenderung mengartikan setiap bentuk
kekerasan (baik yang berakhir dengan kematian atau tidak) yang dilakukan oleh

orang madura sebagai carok. Padahal dalam kenyataan tidak demikian. Penulis
(Dr. A.Latief Wiyata), sebagai seorang anak dari keluarga Madura yang dilahirkan
dan di besarkan di Madura sejak kecil telah sering mendengar tentang carok.
Menurut informasi pada waktu itu, carok selalu dilakukan oleh sesama laki laki
dalam lingkungan orang orang desa.
Setiap kali terjadi carok hampir semua orang memperbincangkannya, siapa
yang menang (se menang) dan siapa yang kalah atau terbunuh. Mereka tidak
pernah menyebut istilah pembunuh bagi pelaku carok yang berhasil membunuh
lawannya. Bahkan, mereka pun tidak pernah mengecam atau mengutuk
pelakunya.
Hal ini sanagat berbeda jika dibandingkan dengan suatu peristiwa
pembunuhan yang dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya yang terjadi di
suatu wilayah Kabupaten Sumenep sekitar pada tahun 1960 an. Semua penduduk
di desa tersebut menyebut suami itu sebagai pembunuh yang kejam dan tidak
berperikemanusiaan.
Berdasarkan uraian tersebut, jelas sekali bahwa tidak semuanya
pembunuhan yang terjadi di Madura dapat disebut Carok. Menurut De Jonge
(1995), orang madura mempunyai pengertian sendiri yang tidak sama dengan
pengertian orang luar. Karena adanya pengertian seperti itu, tindakan kekerasan
yang disebut carok selalu memberi kesan menakutkan pada orang luar. Kesan ini,

khususnya oleh banyak ilmuan sosial, cenderung dipakai sebagai salah satu alasan
tidak mau mengadakan penelitian di Madura. Pada gilirannya, studi yang secara
khusus mempelajari tentang carok masih belum banyak dilakukan, dan sampai
saat penulis (Dr. A. Latief Wiyata) memutuskan untuk meneliti carok sebagai

topik disertasi, belum pernah ada penelitian empiris secara sistematis tentang
kekerasan ini.
B. Konsep dan Teori tentang Kekerasan
Menurut Abbink (1994: 13-15), dalam beberapa dekade terakhir, teori teori
yang menekankan aspek mekanisme kausalitas mulai banyak diperhatikan dalam
kajian kajian Antropologi tentang kekerasan. Teori itu antara lain: 1)Teori Ekologi
kultural, 2)Teori materialis kultural, 3)teori politik atau ekonomi politik, 4)teori
biologi evolusi atau bio sosial, 5)teori psikologis psikoanalitis, 6)teori deskriptif
historis atau partikularis, 7) teori simbolik.
Dari sekian banyak teori tentang tindakan kekerasan, penelitian ini tidak a
priori untuk hanya memilih salah satu dari teori teori itu sebagai satu satunya
landasan analisis untuk memperoleh suatu deskripsi mendalam tentang carok.
Teori teori yang akan dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah yang
mempunyai relevansi dengan topik penelitian.
Dengan demikian, teori teori yang memberikan fokus perhatian terhadap

faktor sosio kultural misalnya teori ekologi kultural yaitu teori yang lebih
menekankan perhatian pada hubungan manusia dengan lingkungan. Keterbatasan
alam membatasi ketersediaan sumber sumber pilihan tingkah laku akan
menyebabkan konflik makna dan akses terhadapsumber sumber ini. Teori ekologi
kultural sangat berpengaruh karena menempatkan faktor lingkungan sebagai
penyebab konflik, kususnya dalam masyarakat petani dan suku suku kecil.
Kekurangan teori ini adalah reduksionis dan bias fungsionalis (Hallpike, 1973).
Dan juga setelah teori ekologi kultural yaitu teori materialistis kultural
yang dilandasi oleh aspek ekologi kultural yang menekankan pentingnya
penjelasan kausal insfrastruktur, hubungan antara kondisi material dan demografi,
organisasi kerja, interaksi dengan lingkungan; kompetensi dan seleksi antara
kelompok kelompok dalam lingkungan ini, serta motivasi motivasi manusia dalam
perang pertama kali didorong oleh sumua faktor ini, bukan oleh keyakinan dan
sikap sikap yang terpola secara budaya (Ferguson, 1984:28-30).

Kedua teori tersebut dapat diterapkan, meskipun tidak secara kaku, dalam
arti tetap disesuaikan dengan kondisi kondisi sosial budaya masyarakat Madura.
Dengan kata lain, karena tindakan kekerasan di Madura (Tak terkecuali Carok)
selalu tergantung pada lingkungan sosial budaya dari masyarakat.
C. Kondisi Sosial Budaya Madura

1. Letak dan Keadaan Alam
Pulau Madura terdiri dari 4 kabupaten yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan,
Sumenep. Terletak di antara 7 °

LS dan 112° sampai 114° BT. Iklim di

Madura terbagi 2 musim, yaitu musim penghujan dan musim
kemarau. Madura adalah wilayah kering dan gersang karena
selain faktor iklim yang panas dan kondisi tanahnya yang
berbatu kapur, juga sempitnya areal hutan, yaitu sekitar 6% dari
luas pulau. Oleh karena itu, sebagian besar lahan pertanian
berupa tegal, yang biasanya oleh penduduk ditanami jagung dan
singkong. Bahkan tidak jarang lahan pertanian ini dibiarkan
begitu saja dan hanya berfungsi sebagai tempat mengembala
hewan ternak. Lahan pertanian berupa sawah pada umumnya
masih bertadah hujan sehingga petani hanya dapat menanam
padi satu kali saat musim hujan.
2. Penduduk dan mata Pencaharian
Menurut data statistik yang dikeluarkan Kantor Statistik setempat, jumlah
penduduk seluruh madura pada tahun 1994 adalah 2.979.596 jiwa yang tersebar di

4 kabupaten dan dengan luas wilayah Madura 5.304 km2, kepadatan penduduk
Madura mencapai rata rata 561,8 per km2. Tingkat kepadatan penduduk yang
cukup tinggi serta keadaan tanah yang gersang dan tandus itu menyebabkan
kondisi kehidupan sosial ekonomi orang madura memprihatinkan. Kondisi
tersebut yang memprihatinkan tidak dapat dilepaskan dari jenis pekerjaan pokok
orang madura yang sebagian besar atau sekitar 70% - 80% bergantung pada

kegiatan agraris. Sehingga mudah dipahami jika orang madura termasuk salah
satu darah paling miskin di Indonesia.
3. Pola pemukiman
Orang madura yang bekerja di bidang pertanian pada umumnya sebagai
petani tegalan, berbeda denga orang Jawa yang pada umumnya sebagai petani
sawah karena lahan persawahan cukup luas atau dominan. Oleh karena itu,
ekosistem di Madura ditandai oleh pola pemukiman penduduk terpencar dan
mengelompok dalam skala kecil. Pola pemukiman di madura ada dua yaitu pertam
yang disebut kampong mejhi dan taneyan lanjeng.
kampong mejhi adalah kumulan kumpulan atau kelompok kelompok
pemukiman penduduk desa yang satu sama lain saling terisolasi. Jarak antara satu
pemukiman dan pemukiman lainnya sekitar 1-2 km. Keterisolasian kelompok
pemukiman ini menjadi semakin nyata oleh adanya pagar dari beberapa pagar

bambu yang sengaja di tanam di sekelilingnya. Antara kelompok pemukiman
yang satu dan lain biasanya dihubungkan oleh jalan desa atau setapak. Pada setiap
desa, khususnya di kawasan luar kota dapat ditemukan antara 5-10 kampong
mejhi. Setiap pemukiman kampong mejhi terdiri dari 4-8 yang memanjang atau
melingkar.
Konsekuensi sosial kampong mejhi adalah solidaritas internal antar masing
masing anggota/penghuninya menjadi sangat kuat. Apabila terjadi pelecehan
harga diri terhadap salah seorang anggota keluarga maka akan selalu dimaknai
sebagai pelecehan harga diri terhadap semua anggota keluarga. Lebih lebih jika
pelecehan tersebut menimpa perempuan atau istri, maka semua anggota keluarga
dalam kampong mejhi akan bereaksi. Reaksi yang muncul pada suami yang
istrinya dilecehkan atau diganggu selalu dalam bentuk tindakan kekerasan atau
carok, yang pasti akan didukung oleh semua anggota keluarga lainnya sebagai
bentuk reaksi mereka.
Kemudian pola lain adalah yang disebut taneyan lanjeng. taneyan lanjeng
hanya dibangun oleh suatu keluarga yang memiliki banyak anak perempuan.

Dalam sistem perkawinan, taneyan lanjeng mencerminkan anak perempuan
madura matrilokal yaitu, anak perempuan yang telah menikah tetap tinggal di
pekarangan


orang

tuanya.

Memperhatikan

struktur

formasi

dan

dasar

pembentukan pola pembentukan taneyan lanjeng, tampak jelas bahwa dalam
ideologi keluarga Madura, anak perempuan memperoleh perhatian dan proteksi
secara khusus dibandingkan dengan anak laki laki. Dari uraian tersebut bahwa
secara kultural sosial budaya Madura memberikan perhatian serta proteksi secara
khusus terhadap kaum perempuan.

4. Stratifikasi Sosial dan Tingkatan Bahasa
Secara garis besar stratifikasi/ pelapisan sosial masyarakat madura meliputi 3 lapis
yaitu lapisan sosial paling bawah yang disebut dengan oreng kene’ atau oreng
dume’ adalah sekelompok masyarakat biasa atau kebanyakan, orang ini biasanya
bekerja sebagai petani, nelayan, pengrajin, dan lain sebagainya. Lapisan sosial
menengah atau pongghaba meliputi para pegawai terutama yang bekerja sebagai
birokrat dan sejenisnya. Sedangkan lapisan sosial paling atas adalah para
bangsawan keturunan langsung raja raja.
Kemudian pelapisan sosial yang mengacu pada dimensi agama, yaitu
santre (santri) dan benni santre (bukan santri). Dalam konteks carok, peranan
sementara kiai cukup dominan, para calon pelaku carok mersa perlu nyabis
kepada mereka dengan tujuan memperoleh restu, juga untuk apaghar atau
meminta azimat untuk keselamatan dan kekebalan.
5. Sistem Kekerabatan
Ikatan kekerabatan dalam masyarakat Madura terbentuk melalui keturunan
keturunan, baik dari keluarga berdasarkan garis ayah maupun garis ibu. Dalam
sistem kekerabatan masyarakat Madura dikenal 3 kategori sanak keluarga, yaitu
taretan dalem (kerabat inti), taretan semma’ (kerabat dekat), dan taretan jeu
(kerabat jauh). Di luar ketiga kategori ini disebut oreng lowar atau bukan saudara.
6. Bhala dan Moso

Sebagaimana pada kebudayaa lain, dalam kehidupan masyarakat Madura
dikenal pula adanya bentuk relasi sosial yang biasa disebut sebagai teman
(kanca/bhala) dan musuh (moso). Kedua macam bentuk relasi sosial ini berada
dalam suatu rentang tingkat keakraban, yang pada dasarnya masing masing berada
pada titik ekstrim. Artinya, teman merupakan relasi sosial dengan tingkat
keakraban paling tinggi dan musuh sebaliknya. Dengan demikian, kondisi
kehidupan sosial budaya Madura tidak selalu dalam suasana yang harmonis, tetapi
diwarnai oleh suasana konflik. Kondisi kehidupan harmonis ditandai oleh
dominannya semangat pertemanan; sebaliknya kondisi kehidupan yang bernuansa
konflik ditandai oleh dominasi perasaan pemusuhan.
Dalam konteks ini, peristiwa carok pada dasarnya ,merupakan manifestasi
dari relasi sosial yang tingkat keakrabannya sangat rendah karena di dominasi
secara signifikan oleh rasa permusuhan. Dengan kata lain, peristiwa carok hanya
akan terjadi jika pelakunya berasa dalam kondisi bermusuhan.
D. Kasus Carok dan Motifnya
A. Kasus Kasus Carok bermotif gangguan terhadap istri
1. Cemburu Membawa Mati
Dalam kasus Carok ini yaitu Cemburu membawa mati adalah suatu
peristiwa Carok yang disebabkan oleh kecemburuan seorang suami yaitu yang
bernama Kamaluddin (32 tahun) terhadap istrinya yang bernama Sutiyani (25
tahun) yang di sinyalir selingkuh dengan orang lain yaitu yang bernam Mat Tiken
(45), sehingga Kamaluddin tersebut merasa sangat di lecehkan martabatnya
karena istrinya selingkuh dengan Mat Tiken. Lalu dengan bantuan Mokarram (38
tahun), Kamaluddin niat melakukan carok dengan Mat tiken dengan cara
ngongghai yaitu dengan mendatangi rumah orang atau musuh untuk melakukan
carok.
Namun karena Mat Tiken termasuk orang jagoan maka carok ini berakhir
dengan tewasnya Kamaluddin dan Mokarram di tempat kejadian dengan sejumlah
luka bacok di sekujur tubuh mereka. Selesai menewaskan kedua musuhnya, Mat
Tiken mengakui pula merasa perlu untuk menjilat sisa sisa darah korbannya yang

masih menempel pada celuritnya. Selanjutnya, Mat Tiken menuju Kantor
Kepolisian setempat untuk melaporkan peristiwa carok sekaligus menyerahkan
dirinya sebagi tersangka. Penyerahan diri secara sukarela ini di akui selain ingin
menunjukan rasa tanggung jawab atas perbuatannya, juga sebagai upaya mencari
perlindungan terhadap aparat yang berwajib untuk mengantisipasi seandainya
terjadi serangan balik dari pihak keluarga korban.
2. Cemburu dan Persaingan Bisnis
Pada suatu hari sekitar pukul 18.30 WIB, beberapa tahun sebelum kegiatan
penelitian lapangan, telah terjadi peristiwa carok antara Ikhsan (48 tahun) dan
adik kandungnya, Matmun (46), melawan Mattasan (45). Peristiwa carok ini
terjadi di suatu jalan umum Desa Mongkoneng yang ada pada saat itu suasanya
sangat sepi. Latar belakang peristiwa carok ini adalah persaingan bisnis dan
perasaan cemburu. Menurut informasi, kedua jenis permasalahan yang
melatarbelakangi carok ini tidak muncul secara bersamaan. Persaingan bisnis
yang terjadi antara Ikhsan dan Mattasan terjadi lebih dahulu muncul, baru
kemudian disusul oleh timbulnya persaan cemburu pada diri Matmuni, karena
Mattasan diketahui telah mengganggu istrinya, Haliyah (29).
Mattasan terbunuh seketika itu juga di tempat kejadian dalam keadaan
yang sangat mengenaskan karena diserang dengan cara nyelep (menyerang lewat
belakang tanpa di ketahui oleh musuhnya secara tiba tiba), sedangkan Ikhsan dan
Matmuni sama sekali tidak mengalami luka.
3. Cemburu kepada Tetangga
Pada hari Minggu pagi sekitar pukul 06.30 WIB, di suatu jalan Desa
Mandangin telah terjadi carok antara Bunawi (28) dengan Dahlan (32) yang
berakhir dengan tewasnya Dahlan di tempat kejadian. Dalam peristiwa carok ini,
Bunawi menyerang dengan cara nyelep. Latar belakang permasalahan yang
menjadi faktor pemicu terjadinya peristiwa carok ini adalah karena Bunawi
merasa cemburu dan marah kepada Dahlan. Menurut penilaian Bunawi, Dahlan
dianggap telah terbukti berselingkuh dengan istrinya, Masniyati (25).

Bunawi dan Dahlan adalah penduduk Desa Mandangin. Mereka boleh
dikatakan hidup bertetangga karena jarak rumah antara kedua keluarga ini hanya
sekitar 750 meter.
B. Kasus Kasus Carok bermotif selain Gangguan terhadap Istri
1. Mempertahankan Martabat
Tepat pada Kamis malam sekitar pukul 19.00, Aliwafa (22) terlibat carok
dengan Sumahwi (24). Kejadiannya di suatu jalan umum di suatu kota kecil bekas
kewedanan Billapora, yang masih termasuk wilayah Kabupaten Bangkalan.
Keduanya adalah pemuda lajang yang pekerjaan sehari harinya sebagai penarik
becak. Dengan cara nyelep, Aliwafa membunuh Sumahwi setelah sebelumnya
menuduh Aliwafa sebagai pencuri cincin.
Dan juga bukan itu saja penyebabnya adalah sakit hati Aliwafa terhadap
Sumahwi yang selalu menyakiti hatinya Aliwafa secara terus menerus dan pada
puncaknya ketika Aliwafa tidak kuat untuk mengalah terus menerus dan dia
dituduh mencuri cicncin oleh Sumahwi tanpa bukti. Akibat perbuatannya
membunuh Sumahwi, Aliwafa dipidana dengan hukuman penjaraselama 5 tahun,
dipotong masa tahanan sementara selama 4 bulan. Aliwafa didakwa melanggar
pasal 340 KUHP karena terbukti melakukan pembunuhan terhadap Sumahwi yang
telah direncanakan terlebih dahulu.
2. Merebut harta Warisan
Pada hari sabtu siang sekitar pukul 12.15 terjadi peristiwa carok antar
Sulaiman (40) dan Sami’an (50) di halaman sebuah pasar Kecamatan Kampar
yang berakhir dengan kematian Sami’an. Kedua pelaku Carok ini adalah satu
keluarga dan termasuk dalam kategori kerabat inti. Dalam lingkungan keluarga
mereka, sulaiman adalah keponakan dari Sami’an, sebab ibu Sulaiman, Halimah
(60) adalah kakak kandug dari Sami’an. Dengan demikian permusuhan antara
mereka termasuk moso delem, pemicu carok ini adalah masalah ketidakadilan
dalam penguasaan harta warisan.

Yaitu dimana, sami’an mengadaikan secara sepihak lahan pertanian milik
kakaknya yaitu Halimah tanpa persetujuan sehingga membuat Sulaiman tidak
terima ibunya diperlakukan seperti itu oleh pamannya. Tindakan Sami’an
dianggapnya sebagai pelecehan terhadap martabat orang tuanya. Mula mula selalu
terjadi percekcokan antar Sami’an dengan Sulaiman yang selalu bersitegang dan
pada akhirnya terjadinya Carok, dimana Sami’an berhasil dibunuh oleh Sulaiman.
Dan pada saat selesai Carok tersebut, seketika itu juga sulaiman melaporkan
peristiwa tersebut kepada aparat kepolisian dan mempertanggung jawab atas
perilakunya.

3. Membalas Dendam Kakak Kandung
Pada suatu dini hari Rabu, sekitar pukul 01.00, telah terjadi peristiwa
carok yang melibatkan Tawil (21) dan Abidin (29), keduanya sama sama
penduduk Pecorah. Akibat bacokan Celurit Tawil, Abidin menderita luka luka
parah pada kepala bagian atas kiri, leher sebelah kiri, dan masih banyak lukanya
sehingga tewas seketika itu juga. Peristiwa carok ini disaksikan sendiri oleh
Sutinah (25), istri korban yang ketika kejadian berlangsung sedang tidur bersama
suaminya dirumahnya. Latar belakangnya adalah perasaan dendam Tawil kepada
Abidin, karena Abidin telah membunuh Samanhuri (27), kakak kandungnya
sekitar 4 tahun sebelumnya.
E. Makna dan Konteks Sosial Budaya Carok
Berdasarkan data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian lapangan
berupa enam kasus Carok. Ada beberapa hal yang perlu dikemukakan yaitu semua
kasus carok di awali konflik yang beragam, namun semuanya mengacu pada akar
yang sama, yaitu perasaan malu karena pelecehan harga diri, dan untuk
memulihkan harga diri yang dilecehkan mereka melakukan carok, yang ternyata
selalu mendapat dukungan dari lingkungan sosial. Maka dapat diartikan carok
adalah suatu tindakan atau upaya pembunuhan (karena ada kalanya berupa
penganiayaan berat) mengunakan senjata tajam yaitu Clurit dan sejenisnya dan

dilakukan oleh orang laki laki terhadap laki laki lain yang dianggap telah
melakukan pelecehan terhadap harga diri (baik secara individu sebagai suami
maupun secara kolektif yang mencakup kerabat atau mencakup kerabat atau
keluarga), terutama berkaitan dengan masaah kehormatan istri sehingga membuat
malo.
Tindakan atau upaya pembunuhan untuk menebus perasaan malo atau
malu ini, selain mendapat dorongan, juga selalu mendapat dukungan dan
persetujuan sosial. Selain itu, carok merupakan media kultural bagi pelaku yang
berhasil mengalahkan musuhnya untuk memperoleh predikat sebagai oreng jago
menjadi semakin tegas, sehingga keberhasilan dalam carok selalu mendatangkan
perasaan puas, lega, dan bangga bagi pelakunya. Namun dalam konteks legalitas,
carok merupakan manifestasi keberanian pelakunya melanggar aturan aturan yang
telah ditetapkan dalam hukum formal (KUHP).
Dengan demikian, pengertian carok paling tidak harus mengandung lima
unsur, yaitu tindakan atau upaya pembunuhan antar laki laki, pelecehan harga diri,
perasaan malu, adanya dorongan atau dukungan serta persetujuan sosial, perasaan
puas dan bangga bagi pemenangnya.
F. Penerapan Teori dalam Kasus Carok
Dalam penelitian tentang carok ini, Dr. A. Latief Wiyata mengungkapkan
bahwa Dari sekian banyak teori tentang tindakan kekerasan, penelitian ini tidak a
priori untuk hanya memilih salah satu dari teori teori itu sebagai satu satunya
landasan analisis untuk memperoleh suatu deskripsi mendalam tentang carok.
Teori teori yang akan dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah yang
mempunyai relevansi dengan topik penelitian.
Dengan demikian, teori teori yang memberikan fokus perhatian terhadap
faktor sosio kultural yaitu teori ekologi kultural yaitu teori yang lebih
menekankan perhatian pada hubungan manusia dengan lingkungan dan yang
kedua adalah teori materialistis kultural yang dilandasi oleh aspek ekologi kultural
yang menekankan pentingnya penjelasan kausal insfrastruktur, hubungan antara

kondisi material dan demografi, organisasi kerja, interaksi dengan lingkungan;
kompetensi dan seleksi antara kelompok kelompok dalam lingkungan ini, serta
motivasi motivasi manusia dalam perang pertama kali didorong oleh semua faktor
ini, bukan oleh keyakinan dan sikap sikap yang terpola secara budaya (Ferguson,
1984:28-30). Kedua teori tersebut dapat diterapkan, meskipun tidak secara kaku,
dalam arti tetap disesuaikan dengan kondisi kondisi sosial budaya masyarakat
Madura. Dengan kata lain, karena tindakan kekerasan di Madura (Tak terkecuali
Carok) selalu tergantung pada lingkungan sosial budaya dari masyarakat.
Impikasi dari teori tersebut sangat dirasakan yaitu teori tentang ekologi
kultural yang lebih menekankan perhatian pada hubungan manusia dengan
lingkungan. Dimana dapat diketahui bahwa Pulau Madura adalah pulau yang
panas, tandus dan gersang sehingga sangat mempengaruhi karakter atau sifat
orang madura yaitu sangat keras dalam perilaku karena dipengaruhi oleh
lingkungan yang kurang bersahabat dalam proses interaksi di berbagai bidang
dalam kehidupan sehari harinya dan juga sangat menjunjung martabat sesama
manusia sehingga tidak jarang jka seseorang merasa martabatnya dilecehakn oleh
orang lain maka orang tersebut tidak segan untuk membalasnya dengan cara
apapaun tidak terkecuali dengan carok.
Dan menurut teori ini sangat mudah sekali orang orang madura rawan
konflik dengan sesamanya, khususnya konflik yang dilatar belakangi oleh
masalah ekonomi seperti kasus carok yang menewaskan Sami’an yang carok
dengan Sulaiman yang disebakan masalah ketidakadilan dalam penguasaan harta
warisan.
Kemudian implikasi dari teori materialistis kultural yyang dilandasi oleh
aspek ekologi kultural yang menekankan pentingnya penjelasan kausal
insfrastruktur, hubungan antara kondisi material dan demografi, organisasi kerja,
interaksi dengan lingkungan; kompetensi dan seleksi antara kelompok kelompok
dalam lingkungan ini, serta motivasi motivasi manusia dalam perang pertama kali
didorong oleh semua faktor ini, bukan oleh keyakinan dan sikap sikap yang

terpola secara budaya, yaitu yang digambarkan terjadinya peristiwa carok antara
Ikhsan (48 tahun) dan adik kandungnya, Matmun (46), melawan Mattasan (45).
Peristiwa carok ini terjadi di suatu jalan umum Desa Mongkoneng yang
ada pada saat itu suasanya sangat sepi. Latar belakang peristiwa carok ini adalah
persaingan bisnis dan perasaan cemburu. Menurut informasi, kedua jenis
permasalahan yang melatarbelakangi carok ini tidak muncul secara bersamaan.
Persaingan bisnis yang terjadi antara Ikhsan dan Mattasan terjadi lebih dahulu
muncul, baru kemudian disusul oleh timbulnya persaan cemburu pada diri
Matmuni, karena Mattasan diketahui telah mengganggu istrinya, Haliyah (29).