Peristiwa dan Hilangnya Sebuah Materi (1)

PERISTIWA, DAN HILANGNYA SEBUAH MATERI
Oleh Asep Topan

Tahun lalu, Irwan Ahmett menggelar sebuah proyek seni di bilangan Jakarta Barat.
Proyek ini berisi pemaparan dan presentasi mengenai lima gagasan yang ia beri judul
Grafiiti on History, Stalking Me, Human Capital, Interpreting Outsourcing, dan Open
Ownership. Kelima karya tersebut hadir dengan gagasan yang berlainan. Pada Graffiti
on History, ia mengangkat narasi mengenai pergeseran kekuasaan yang pernah terjadi
di Indonesia yang dipengarui oleh mitos surat sakti bernama Surat Perintah Sebelas
Maret (Supersemar). Stalking Me merupakan sebuah penafsiran sejarah mengenai apa
yang dialami oleh RA Kartini melalui surat-suratnya, yang kemudian memberikan
pengaruh besar pada generasi selanjutnya. Pada Human Capital, isu mengenai
kehidupan seniman lebih dominan dengan pemaparan mengenai pencapaian seorang
seniman yang ia bandingkan dengan naik turunnya nilai mata uang atau saham.
Interpreting Outsourcing, sebuah tawaran kepada kolektor untuk memproyeksikan
visual imajiner dan menginterpretasikan abstraksi visual melalui sebuah proses
bersama beberapa seniman yang akan terlibat dan ditentukan berdasarkan kesepakatan
antara seniman dan kolektor tersebut. Terakhir ialah Open Ownership, sebuah karya
yang tidak memiliki nilai nominal karena boleh diminta apabila ada pihak yang
tertarik untuk memilikinya, tidak ada keterikatan absolut, dan si pemilik lama harus
menyerahkan karyanya kepada pemilik baru tanpa terkecuali, begitu seterusnya.


Kelima gagasan tersebut ia wujudkan dalam lembaran kertas washi yang memiliki
kerahanan mencapai 1000 tahun, sebagai sebuah dokumen. Pada bagian akhir, Irwan
Ahmett melakukan proses transaksi pertukaran nilai ekonomi terhadap dokumendokumen tersebut, kepada para tamu undangan.

*
Tulisan ini disusun sebagai gambaran umum mengenai apa yang sebelumnya terjadi
yang merupakan bagian dari proyek Spatial History, 11 Maret 2015 ini. Proyek ini
merupakan sequel dari Graffiti on History yang sebelumnya dilakukan pada 1 April
2014. Proyek seni tersebut diselenggarakan di sebuah ruang yang dimiliki oleh
Melani Setiawan, seorang pecinta seni yang selalu menyelenggarakan presentasi dan

diskusi bagi seniman maupun kolektor karya seni di tempat tersebut. Proyek tersebut
dikuratori oleh Mia Maria, dan dihadiri oleh penonton yang sangat terbatas dan
spesifik: beberapa rekan media, seniman, praktisi seni, dan khususnya kolektor seni
rupa.

Dalam proyek tersebut setidaknya ada beberapa kecenderungan yang bisa dilihat
dalam proses artistik Irwan Ahmett. Pertama, pada proyek tersebut Irwan melepaskan
peran Tita Salina, yang dalam beberapa tahun terakhir mengerjakan proyek seni

bersama di atas nama grup. Kedua, adanya pembatasan ruang dan target penonton
yang ia rencanakan, untuk memberikan kedalaman pada pencerapan proyek yang ia
kerjakan. Pada proyek tersebut, sekelompok kolektor seni rupa menjadi penonton
utama Irwan Ahmett dengan kesadaran penuh pada keterlibatan mereka secara aktif
dalam proses ketika proyek ini berjalan. Selain itu, proyek ini bisa dilihat sebagai
sebuah ‘peristiwa’ (happening) dengan batasan-batasan yang ia ciptakan mulai dari
waktu, tempat, hingga keterlibatan penonton.

Pada proyek ini, peran Melani Setiawan sebagai perantara antara Irwan Ahmett dan
para kolektor begitu jelas terlihat, bukan hanya sebagai tuan rumah pada proyek seni
ini. Posisi Melani Setiawan yang ia anggap ‘netral’ dalam dunia seni rupa Indonesia,
menempatkannya pada posisi yang berada di antara para seniman, baik yang muda
maupun seniman yang lebih senior, juga para kolektor seni rupa. Sebetulnya,
penyempitan penonton ini bukalah hal pertama yang Irwan Ahmett lakukan dalam
proyek seninya. Sebelumnya, ia telah melakukan beberapa proyek merah putih
membiru

dan

rangkaian


intervensi

terselubung

bersama

pekerja

ilegal

(undocumented) di Belanda, proyek lainnya ia lakukan bersama para Pekerja Seks
Komersial di kawasan Jakarta utara hingga para pecandu narkoba di kota Bergen,
Norwegia.

Pada Graffiti on History, keterlibatan para kolektor seni ini bisa dilihat sebagai
kolaborator. Secara tidak langsung, peran mereka menjadi begitu penting dalam
proyek ini, karena ada transaksi yang dilakukan oleh Irwan Ahmett yang dilakukan
dengan proses penjualan karya pada penawar tertinggi.


Jika memutar kembali ingatan pada karya Irwan Ahmett sebelumnya, proses ini bisa
dilihat sebagai berpidahnya target intervensi yang lain. Baginya ini merupakan
spekulasi pada wilayah yang sebelumnya tidak pernah ia masuki dengan sangat
dalam. Situasi yang mengharuskan ia bersinggungan langsung dengan sikap dan
wacana kolektor seni, dengan pengetahuan yang mereka miliki, ego, bahkan bisa jadi
selera mereka dalam melihat karya seni.

Beberapa orang tampak terlihat bingung, ragu-ragu, bahkan sikap skeptis yang terlihat
dari pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar –seperti soal wujud karya yang
biasanya terlihat, ternyata tidak ada dalam proyek ini. Beberapa kali terdengar desasdesus mengenai kemungkinan Irwan Ahmett sedang merayakan April Mop atau
April’s Fool Day di dalam ruangan, yang juga bertepatan dengan hari ketika proyek
ini dilaksakanan. Pemilihan waktu inilah yang kemudian meninmbulkan tafsiran yang
beragam bagi penonton yang mengahdiri presentasi tersebut. Keberanian Irwan
Ahmett dalam berspekulasi dengan penonton, saya pikir inilah tantangan terbesar
dalam proyek ini, berakhir dengan respon yang menunjukan proyek ini berhasil sesuai
dengan skenario yang ia rancang. Beberapa dokumen terjual, dengan beberapa syarat
dan ketentuan yang ia buat sedemikian rupa. Seperti contoh, semua dokumen ini
hanya akan ia jual jika dokumen Graffiti on History (sebagai induk dari ke 4 karya
lainnya) telah terjual, beberapa dokumen meiliki edisi lebih dari satu, dan lain
sebagainnya.


Hasil penjualan tersebut, kemudian ia hibahkan kepada tiga organisasi seni nirlaba
yang berpengaruh pada perjalanan karirnya sebagai seniman hingga saat ini. Mereka
adalah ruangrupa (Jakarta), Jatiwangi Art Factory (Jatiwangi) dan Forum Lenteng
(Jakarta). Bentuk hibah berupa materi ini ia gunakan lagi sebagai sumber untuk
proyek selanjutnya di tempat-tempat tersebut. Hingga saat ini, hanya proyek di
Jatiwangi Art Factory yang telah diselesaikan dengan nama “Panen Energi.”
Menyusul kemudian proyek lainnya bersama Forum Lenteng dan ruangrupa.

*
Hingga saat ini, seni rupa yang kita kenal dan alami telah beranjak jauh dari batasanbatasan ‘rupa’ yang melekat pada label yang ia bawa. Sejarah menuntun kita pada

saat ketika seni rupa tidak lagi mempersoalkan sesuatu yang merupa, bisa dilihat, atau
sepenuhnya mengandalkan fungsi retina mata kita. Karya-karya intangible, yang tak
berbentuk sama sekali seperti pada karya-karya seni media baru bukan hal baru dalam
seni rupa kontemporer.

Pada titik ini, Irwan Ahmett melakukan apa yang ia sebut sebagai ‘dematerialisasi’
seni sebagai upaya menghindarkan hakikat bentuk yang mungkin bisa terwujud dalam
karyanya. Gagasan ini bisa jadi membingungkan, karena pada kenyataanya meskipun

ia bersikeras dengan pemakaian istilah dematerialisasi seni, kehadiran seniman dalam
ritual presentasi atau bahan presentasi itu sendiri bisa kita lihat sebagai bentuk lain
jika dilihat dalam gagasan performance, misalnya. Pemilihan tempat, undangan,
durasi waktu presentasi, kolaborasi dengan kurator, apakah itu tidak bisa dilihat
sebagai sebuah proses yang juga membentuk gagasan tersebut? Spatial History akan
sangat berbeda dengan yang terjadi tahun lalu pada 1 April, yang masih mencoba
menampilkan material dokumen dalam lembaran kertas dengan kualitas tinggi. Tak
lupa untuk bagaimana melihat proyek ini akan diselenggarakan dengan kurator yang
berbeda, bagaimana pendekatan yang ia pilih, proses kolaborasi dan masih banyak hal
lain yang bisa ia mainkan sebagai sebuah strategi artistik.

Membaca Graffiti on History dan Spatial History tidak bisa dilepaskan dari mitos
Supersemar. Sebuah surat yang sangat kontroversial dalam sejarah politik Indonesia.
Keberadaan surat inilah, yang kemudian mengubah seluruh kehidupan masyarakat
Indonesia selama puluhan tahun. Mitos ini menjadi halusinasi kolektif masyarakat
yang tidak bisa dibuktikan dengan tuntas. Beberapa dugaan menyebutkan surat itu
sengaja dihilangkan (baca: dematerialisasi) oleh para pelaku yang tidak ingin
kebenaran terungkap, dan mengawali rezim Orde Baru selama 32 tahun lamanya.
Pada tahun ini, mitos itu berusia 49 tahun dan masih tetap menjadi cerita dengan
beragam spekulasi mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Sejak meninggalnya para

pelaku kunci seperti mantan Presiden Soeharto pada 2008 dan M. Jusuf pada 2004,
usaha mencari kejelasan mengenai surat ini menjadi semakin kabur. Pada Spatial
History ini, bersama akan kita saksikan bagaimana gagasan Irwan Ahmett mengenai
dematerialisasi seni

tersebut dibaca ulang, dipresentasikan dan disajikan dengan

kolaborator yang berbeda dari proyek pertamanya –untuk kemudian memancing

wilayah berpikir yang lebih kritis, khususnya dalam wacana sejarah nasional dan
praktik seni rupa kontemporer di Indonesia.

--

Jakarta, Maret 2015.