BAB II PROSES ATAU TAHAPAN TERJADINYA PENERIMA FIDUSIA DENGAN JAMINAN GIRO YANG TIDAK DI DAFTARKAN OLEH DEBITUR YANG WANPRESTASI - Kajian Penerima Fidusia Dengan Jaminan Giro Yang Tidak Didaftarkan Oleh Debitur Yang Wanprestasi

BAB II PROSES ATAU TAHAPAN TERJADINYA PENERIMA FIDUSIA DENGAN JAMINAN GIRO YANG TIDAK DI DAFTARKAN OLEH DEBITUR YANG WANPRESTASI A. TINJAUAN UMUM TENTANG BANK

  1. Pengertian Bank Istilah Bank sebenarnya berasal dari bahasa Italia “banco” yang berarti bangku yang merupakan tempat melakukan transaksi pinjam- meminjam uang. Sedang orang yang melakukan transaksi disebut brachery .

  Menurut G.M. Veryn Stuart, “Bank diartikan sebagai suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat-alat pembayarannya sendiri atau dengan uang yang diperolehnya dari orang lain maupun dengan jalan memperedarkan alat-alat penukaran baru

  27

  berupa uang-uang giral.”

  Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Perbankan mendefinisikan bank sebagai berikut: ”Bank adalah badan usaha yang menghimpun dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat

27 Melayu Hasibuan, Dasar-Dasar Perbankan, Penerbit Bumi Aksara, Bandung, 2001, hal. 2

  23 dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.

  Pengertian bank dapat disimpulkan sebagai suatu lembaga keuangan berbentuk badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang kemudian simpanan tersebut disalurkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkan dalam bentuk kredit.

  Pada mulanya bank-bank tersebut hanyalah bersifat bank giro dimana mereka yang menyetor emas atau perak pada bank kreditor dalam rekening koran dan dapat memindahkan kekayaan pada penyimpanan lain, bank-bank giro itu disebabkan desakan perkembangan urusan penukaran uang, lalu membuat uang dengan membuka kredit buku, yang orang dapat mempergunakannya dengan memakai cek atau surat giro.

  Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

  2 Asas-Asas Hukum Perbankan Didalam melaksanakan kemitraannya antara bank dan nasabah perlu dilandasi beberapa asas hukum supaya tercipta suatu kemitraan yang baik. Beberapa asas hukum tersebut antara lain : a. Asas Demokrasi Ekonomi Asas ini secara tegas ada dalam Pasal 2 Undang-Undang

  Perbankan yang menyatakan: ”Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berdasarkan demokrasi ekonomi yang menggunakan prinsip kehati-hatian”.

  b. Asas Kepercayaan Menurut Mariam Darus Badrulzaman, asas kepercayaan merupakan kemauan untuk saling mengikatkan diri dalam suatu perjanjian, membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu dipenuhi. Asas kepercayaan ini merupakan nilai etis yang bersumber

  28 pada moral.

  Dalam penjelasan Pasal 29 Undang-Undang Perbankan menyatakan bahwa bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaaan. Menurut Sutan Remy Syahdeni :

  “bunyi pasal itu mengandung makna bahwa nasabah menyimpan dana dalam hubungan dengan bank dilandasi oleh kepercayaan bahwa bank akan berkemauan membayar kembali simpanan nasabah penyimpan dana itu pada waktu ditagih sehingga

28 Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III, Hukum Perikatan dengan penjelasan, Penerbit Alumni, Bandung, 1983, hal. 89.

  hubungan antara kreditur dan debitur bukan hanya secara kontekstual

  29 semata melainkan hubungan berdasarkan kepercayaan”.

  c. Asas Kerahasiaan (Confidential Principle) Asas Kerahasiaan adalah asas yang mengharuskan atau mewajibkan bank merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan lain-lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman bank wajib dirahasiakan.

  d. Asas Kehati-hatian (Prudental Principle) Asas Kehati-hatian adalah suatu asas yang menyatakan bahwa dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercaya.

  3 Fungsi Bank Sesuai Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Perbankan, Perbankan mempunyai fungsi pokok sebagai finansial intermediasi atau lembaga perantara keuangan serta mempunyai fungsi tambahan memberikan jasa- jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran.

29 Sutan Remy Syahdeni, Beberapa Permasalahan Undang-Undang Hak Tanggungan Bagi

  Perbankan Dalam Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan Di Lingkungan Perbankan , Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal.10.

  Menurut Iswantoro, Bank mempunyai fungsi sebagai berikut : a.“Mengumpulkan dana yang sementara disalurkan untuk dipinjamkan kepada pihak lain atau membeli surat-surat berharga

  (Financial Investment);

  b. Mempermudah di dalam lalu lintas pembayaran uang;

  c. Menjamin keuangan masyarakat yang sementara tidak gunakan;

  d. Menciptakan Kredit (Credit Money deposit) yaitu dengan cara menciptakan Demand Deposit (Deposit yang dapat diuangkan sewaktu-waktu dari kelebihan cadangan)

  30

  4 Tujuan Bank Dalam Pasal 4 Undang-Undang Perbankan diatur tentang tujuan

  Perbankan Indonesia adalah menunjang pelaksanaan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan/pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.

  5 Jenis Bank Melihat praktek operasional perbankan yang ada kita dapat membedakan jenis-jenis bank. Jenis bank secara teoritis ditentukan dari segi fungsinya, kepemilikannya, dan dari segi penciptaan uang giral. Dari

30 Iswardono, Uang Dan Bank, Edisi Ke-4, Cetakan Pertama, Penerbit BPFE, Yogyakarta, 1990, hal. 62.

  segi fungsinya serta tujuan usahanya, kita mengenal ada 2 (dua) jenis

  31

  bentuk bank, yaitu : a . Bank Sentral (Central Bank), adalah Bank Indonesia sebagai dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968;

  b. Bank Umum (Commercial Bank), yaitu bank yang dalam pengumpulan dananya menerima simpanan dalam bentuk giro dan deposito dan dalam usahanya terutama memberikan kredit jangka pendek;

B. TINJAUAN UMUM TENTANG KREDIT

  1. Pengertian Dan Unsur-Unsur Kredit Salah satu kegiatan penting dalam dunia perbankan guna menunjang perkembangan perekonomian rakyat adalah dengan memberikan kredit kepada masyarakat yang sumber dananya antara lain berasal dari dana yang dihimpun dari masyarakat dalam bentuk simpanan.

  Pengertian kredit di dalam peraturan perundang-undangan di Negara kita terdapat dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 11 yang berbunyi :

31 Thomas Suyatno, Marala, Djuhaepah, T. Abdullah, Azhar, Aponno, Johan Thomas,

  Ananda, C. Tinon Yunianti, Chalik, Kelembagaan Perbankan, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 17.

  “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan pertujuan, atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

  Kata kredit secara etimologis mempunyai arti kepercayaan. Kata kredit yang ada dalam bahasa Indonesia saat ini merupakan pengertian dari kata “credere” yang berasal dari bahasa Romawi.

  Seseorang yang memperoleh kredit berarti ia memperoleh kepercayaan. Maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa dasar kredit adalah kepercayaan. Atas dasar kepercayaan kepada seseorang yang memerlukannya maka diberikan uang, barang atau jasa dengan syarat membayar kembali atau memberikan penggantiannya dalam waktu yang telah diperjanjikan.

  Pihak yang memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa debitur akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan, baik yang menyangkut jangka waktunya maupun prestasi dan kontra prestasinya. Kondisinya dasar seperti ini diperlukan oleh bank karena dana yang ada di bank sebagian besar adalah milik pihak ketiga sehingga untuk itu diperlukan kebijaksanaan oleh bank dalam penggunaan dana tersebut didalamnya untuk menentukan pemberian kredit.

  EK. O.P. Simorangkir, menyatakan bahwa : “Kredit itu dapat pula berarti bahwa pihak kesatu memberikan prestasi baik berupa barang atau uang atau jasa kepada pihak lain, sedangkan kontra prestasi akan diterima kemudian dalam jangka waktu tertentu. Jadi disini dapat terlihat faktor waktu yang merupakan faktor utama yang

  32 memisahkan prestasi dan kontra prestasi”.

  Thomas Suyatno mengatakan bahwa : “Seseorang atau suatu badan yang memberikan kredit

  (kreditur) percaya bahwa penerima kredit (debitur) di masa mendatang akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah dijanjikan. Apa

  33 yang telah dijanjikan itu dapat berupa barang, uang atau jasa”.

  Berdasarkan uraian diatas, dalam kegiatan kredit harus

  34

  memperhatikan unsur-unsur yang terdapat dalam kredit, yaitu :

  a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang, atau jasa, akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang;

  32 EK. O.P. Simorangkir, Seluk Beluk Bank Komersial, Penerbit PT. Aksara Persada Indonesia, Jakarta, 1998, hal. 91. 33 Thomas Suyatno dkk, Dasar-Dasar Perkreditan (Edisi Keempat), Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hal. 12. 34 EK. O.P. Simorangkir, Seluk Beluk Bank Komersial, op.cit., hal. 370. b. Tenggang waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang;

  c. Degree of risk, yaitu tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima kemudian hari; d. Prestasi, atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dapat berbentuk barang atau jasa.

  Mengingat agunan menjadi salah satu unsur jaminan pemberian kredit maka berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur untuk mengembalikan hutangnya, agunan hanya dapat berupa barang proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang

  35 bersangkutan.

  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kredit adalah suatu pemberian prestasi yaitu pinjaman berupa uang, barang ataupun jasa kepada pihak lain, yang dalam hal ini pihak lain tersebut adalah debitur atau peminjam, tersebut akan mengembalikan pinjamannya dan memberikan kontra prestasi berupa bunga yang akan diberikan 35 dalam suatu waktu tertentu.

H. Budi Untung, Kredit Perbankan Di Indonesia, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2000, hal. 54.

  Pemberian kredit oleh bank mengandung risiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasan kreditnya, sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank. Oleh karena itu dalam setiap pemberian kredit, bank harus benar-benar memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat berdasarkan prinsip kehati-hatian.

  Prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit ini juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yaitu :

  Pasal 8 ayat (1) menyebutkan bahwa : - Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan

  prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

  Pasal 8 ayat (2) menyebutkan bahwa : - Bank umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman

  perkreditan dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

  Berdasarkan ketentan tersebut diatas, untuk mengetahui atau menentukan bahwa seseorang itu dapat dipercaya untuk memperoleh kredit pada umumnya dalam dunia perbankan menggunakan instrumen

  36

  analisis yang dikenal dengan 6 C, 7 P dan 3 R, yaitu sebagai berikut :

  a. “Character (Penilaian Watak), Penilaian mengenai watak disini antara lain meliputi kepribadian, moral dan perilaku calon debitur berdasarkan informasi dari pihak lain (pihak ketiga) yang mengetahui kehidupan keseharian calon debitur. Penilaian lainnya menyangkut sejauh mana kebenaran keterangan-keterangan yang diberikan oleh calon debitur mengenai diri dan perusahaannya.

  Sebagai alat untuk memperoleh gambaran tentang karakter dari calon debitur dapat ditempuh melalui upaya sebagai berikut :

  1. Meneliti riwayat hidup nasabah;

  2. Meneliti reputasi nasabah di lingkungan usahanya;

  3. Meminta informasi antar bank;

  4. Mencari informasi kepada asosiasi usaha dimana nasabah berada.

  b. Capital (Penilaian Terhadap Modal), penilaian modal dilakukan untuk melihat apakah debitur memiliki modal yang memadai untuk menjalankan dan memelihara kelangsungan usahanya.

36 Kasmir, Bank & Lembaga Keuangan Lainnya, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 104.

  c. Capacity (Penilaian Kemampuan) adalah kemampuan peminjam dalam mengelola usahanya secara sehat untuk kemudian memperoleh laba sesuai yang diperkirakan.

  d. Collateral (Penilaian Terhadap Jaminan/Agunan) Adanya waktu dalam pembayaran hutang oleh debitur kepada kreditur mengakibatkan adanya resiko yang berupa ketidak pastian apakah hutang akan terbayar atau tidak sehingga oleh karenanya

  37

  diperlukan suatu jaminan dalam pemberian kredit. Jaminan ini mempunyai sifat pelengkap dari kelayakan keterlaksanaan

  (feasibility) dari suatu proyek debitur. “Jaminan tidak akan dapat

  memperbaiki tingkat kelayakan suatu proyek, namun agar proyek yang feasible tersebut menjadi bankable (dapat dibiayai dengan

  38 kredit dari bank) harus ada jaminan (collateral) tersebut”.

  e. Condition Of Economy (Penilaian Terhadap Prospek Usaha Debitur), faktor kondisi merupakan faktor yang sangat mempengaruhi usaha calon debitur terutama dalam kondisi

  39

  persaingan bisnis yang sangat pesat. Kondisi ekonomi yang dapat mempengaruhi kemampuan pemohon kredit mengembalikan 37 hutangnya sering sulit diprediksi. Kondisi ekonomi negara yang

  Muhammad Djumara, Hukum Perbankan di Indonesia, Penerbit Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000, hal. 560. 38 Teguh Pudjo Muljono, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersil, Penerbit BPPE, Yogyakarta, 2000, hal. 16. 39 erkreditan Pada BPR_Dunia Perbankan .htm, tanggal 07 November 2014.

  buruk sudah pasti mempengaruhi usaha pemohon kredit dan pendapatan perorangan yang akibatnya berdampak pada

  40 kemampuan pemohon kredit untuk melunasi hutangnya.

  Kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko, risiko ini menyangkut dalam pengembalian kredit tersebut sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat, yakni :

  1. Bank tidak diperbolehkan memberikan kredit tanpa surat perjanjian tertulis;

  2. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham dan modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham;

  3. Bank tidak diperkenankan memberikan usaha yang sejak semula telah diperhitungkan kurang sehat;

  4. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit melampaui batas maksimum kredit (Legal lending limit). jaminan dalam hubungannya dengan pemberian kredit suatu bank merupakan salah satu syarat untuk dapat dikabulkannya permohonan kredit, yang penting bagi pihak yang meminjamkan dalam perjanjian kredit adalah tentang jaminan bahwa uang yang dipinjamkan akan diterima kembali beserta bunganya sesuai dengan 40 syarat-syarat yang telah disetujui bersama.

  Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, op.cit., hal. 94.

  Bank akan merasa aman apabila barang jaminan kredit telah dikuasai menurut hukum yang berlaku. Bank akan merasa aman, karena dengan adanya jaminan apabila nasabah wanprestasi, tidak membayar hutangnya tepat waktu, bank masih dapat menutup piutangnya atau sisa tagihan dengan mencairkan atau menjual barang jaminan yang telah diikatnya.

  f. Competence kepastian tentang siapa dari pihak calon debitur yang secara hukum mempunyai kewenangan untuk meminjam dari bank, diperlukan untuk menghindari kemungkinan debitur menolak mengembalikan kredit.

  Selanjutnya mengenai sifat daripada perjanjian jaminan adalah perjanjian yang bersifat accesoir, hal ini disebabkan timbulnya perjanjian jaminan karena adanya perjanjian kredit atau peminjaman uang atau barang. Sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian jaminan tidak akan ada bila tidak ada perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit. Jaminan sebagai perjanjian accesoir ialah sebagai pengaman bagi bank dalam pemberian kredit.

  Perjanjian kredit merupakan perjanjian antara pihak bank dengan pihak nasabah. Dengan melihat bentuk perjanjiannya maka sebenarnya perjanjian kredit merupakan perjanjian yang termasuk dalam jenis perjanjian pinjam pengganti. Meskipun demikian adanya, namun perjanjian kredit merupakan perjanjian khusus karena di dalamnya terdapat adanya kekhususan dimana pihak kreditur adalah pihak bank sedangkan objek perjanjian berupa uang.

  41 Adapun kegunaan jaminan adalah untuk :

  42

  a. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dari hasil jaminan tersebut. Apabila nasabah melakukan cidera janji yaitu tidak membayar hutangnya kembali pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian; b. Menjamin supaya nasabah berperan serta di dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga memungkinkan untuk mencegah atau memperkecil perusahaan tersebut meninggalkan usaha atau proyeknya; c. Memberi dorongan kepada debitur untuk memenuhi perjanjian kredit khusus mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat- syarat yang telah disetujui agar tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank.

  Di dalam jaminan dikenal 2 (dua) macam bentuk jaminan yaitu jaminan kebendaan, yang dapat diadakan antara kredit dengan debiturnya tetapi juga dapat diadakan antara kreditur dengan pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban debitur. Selain itu ada 41 Gatot Supramono, Perbankan Dan Masalah Kredit; Suatu Tinjauan Yuridis, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1996, hal. 62. 42 M. Bahsan, Hukum Jaminan Dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Penerbit PT.

  RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 81. jaminan perorangan yang maksudnya adalah suatu perjanjian diluar

  43 sepengetahuan si berhutang tersebut.

  Penilaian kredit dengan metode analisis 7 P yaitu sebagai

  44

  berikut :

  1. Personality (Kepribadian), adalah menilai nasabah dari segi kepribadiannya atau tingkah lakunya sehari-hari maupun masa lalunya. Personality juga mencakup sikap, emosi, tingkah laku dan tindakan nasabah dalam menghadapi suatu masalah;

  2. Party, adalah mengklarifikasikan nasabah berdasarkan golongan- golongan tertentu berdasarkan modal, karakter dan loyalitasnya dimana tiap golongan memperoleh fasilitas yang berbeda dari bank;

  3. Purpose, adalah tujuan dari penggunaan kredit oleh calon debitur, apakah untuk kegiatan produksi dan konsumtif;

  4. Prospect, adalah prospek usaha tersebut dimasa depan, apakah menguntungkan atau merugikan;

  5. Payment, adalah bagaimana pembayaran kembali akan dilakukan, asas ini dilakukan untuk mengetahui kelancaran pengambilan kredit;

  43 44 Ibid, hal. 15.

  Kasmir, Bank & Lembaga Keuangan Lainnya, op.cit., hal. 104.

  6. Profitability, adalah untuk menganalisa bagaimana usaha nasabah dalam memperoleh laba;

  7. Protection, bertujuan agar usaha dan jaminan memperoleh perlindungan.

  45 Sedangkan Prinsip 3 R yaitu sebagai berikut :

  a. Return (hasil yang dicapai), sebagai penilaian atas hasil yang akan dicapai perusahaan calon debitur setelah memperoleh kredit;

  b. Repayment (pembayaran kembali), adalah perhitungan kemampuan, jadwal dan jangka waktu pembayaran kredit oleh calon debitur, tetapi perusahaan tetap berjalan;

  c. Risk Bearing Ability (kemampuan untuk menanggung resiko) adalah memperhitungkan besarnya kemampuan perusahaan calon debitur untuk menghadapi resiko, apakah resikonya besar atau kecil.

  2. Tujuan Dan Fungsi Kredit Dalam membahas pengertian kredit adalah perlu untuk mengetahui tujuan dan fungsi dari kredit itu sendiri, karena tujuan itu merupakan sasaran yang hendak dicapai atau diwujudkan dari suatu pekerjaan atau upaya yang sedang dilaksanakan. Tujuan kredit dapat 45 digolongkan dalam dua bagian, yaitu : erbankan .htm, tanggal 07 November 2014. a. Profitability adalah bahwa di dalam menjalankan usaha selalu berpedoman memperoleh laba atau keuntungan.

  b. Safety adalah bahwa keamanan fasilitas yang diberikan benar- benar terjamin hingga tujuan profitability tercapai tanpa hambatan yang berarti.

  Dari uraian pendapat diatas, maka dapat dirumuskan tujuan kredit adalah untuk mendapatkan keuntungan dengan aman tanpa adanya gangguan atau risiko yang dapat menimbulkan suatu kesulitan atau kerugian.

  Fungsi kredit bagi bidang perekonomian dan perdagangan

  

46

  dapat diuraikan sebagai berikut :

  a. Kredit dapat meningkatkan daya guna dari modal dan uang;

  b. Kredit dapat menimbulkan kegairahan berusaha masyarakat;

  c. Kredit sebagai stabilisasi ekonomi;

  d. Kredit sebagai jembatan untuk meningkatkan pendapatan nasional; e. Kredit dapat meningkatkan daya guna sesuatu barang.

  3. Penggolongan Kredit Bank Undang-Undang Perbankan tidak menguraikan tentang macam-macam kredit. Menurut Edy Putra Tje cara aman menggolongkan kredit atas dasar : 46

  1. Penggolongan berdasarkan jangka waktu Thomas Suyatno, Dasar-Dasar Perkreditan, (Edisi Keempat), op.cit., hal. 16-17.

  Apabila jangka waktu yang digunakan sebagai kriteria, maka suatu kredit dapat dibagi : a. Kredit jangka pendek, yakni kredit yang jangka waktunya tidak melebihi 1 (satu) tahun; b. Kredit jangka menengah, yakni kredit yang mempunyai jangka waktu 1 (satu) sampai 3 (tiga) tahun; c. Kredit jangka panjang, dalam hal ini merupakan kredit yang mempunyai jangka waktu di atas 3 (tiga) tahun.

  2. Penggolongan berdasarkan dokumentasi yaitu :

  a. Kredit dengan perjanjian kredit tertulis;

  b. Kredit tanpa surat perjanjian kredit, yang dibagi ke dalam :

  1. Kredit lisan, kredit ini sangat jarang dilakukan;

  2. Kredit dengan instrument surat berharga, misalnya kredit yang hanya lewat dokumen promes (promissory note), Obligasi (bonds), kartu kredit, dan sebagainya;

  3. Kredit cerukan (overdraft); Kredit seperti ini timbul karena :

  1. Penarikan/pembebanan giro yang melampaui saldonya;

  2. Penarikan/pembebanan R/C yang melampaui plafonnya.

  3. Penggolongan berdasarkan bidang ekonomi dalam hal ini, suatu kredit dapat dibagi ke dalam : a. Kredit untuk sektor pertanian, perburuhan dan sarana pertanian; b. Kredit untuk sektor pertambangan;

  c. Kredit untuk sektor perindustrian;

  d. Kredit untuk sektor listrik, gas dan air;

  e. Kredit untuk sektor konstruksi;

  f. Kredit untuk sektor perdagangan, restoran, dan hotel;

  g. Kredit pengangkutan, perdagangan dan komunikasi;

  h. Kredit untuk sektor jasa; i. Kredit untuk sektor lain-lain.

  4. Penggolongan kredit berdasarkan tujuan penggunaannya, untuk itu kredit dibagi ke dalam : a. Kredit konsumtif, adalah fasilitas kredit yang diberikan bank kepada debitur untuk keperluan pembelian barang-barang

  47 konsumsi yang diperlukan debitur.

  b. Kredit produktif, adalah kredit yang ditujukan untuk keperluan produksi dalam arti luas. Melalui kredit produktif, utility uang dan barang akan bertambah meningkat, yang terdiri dari :

47 Lukman Denda Wijaya, Manajemen Perbankan, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 28.

  1. Kredit investasi, yang dipergunakan untuk membeli barang modal atau barang-barang tahan lama, seperti tanah, mesin, dan sebagainya. Namun demikian, sering juga kredit ini digolongkan ke dalam kredit investasi adalah apa yang disebut sebagai kredit bantuan proyek;

  2. Kredit modal kerja (working capital/kredit eksploitasi), untuk membiayai modal lancar yang habis dalam pemakaian, seperti untuk barang dagangan, bahan baku,

  overhead produksi, dan sebagainya;

  3. Kredit likuiditas, diberikan dengan tujuan untuk membantu perusahaan yang sedang kesulitan likuiditas, misalnya kredit likuiditas dari Bank Indonesia yang diberikan untuk bank-bank yang memiliki likuiditas dibawah bentuk uang.

  5. Penggolongan kredit berdasarkan objek yang ditransfer, dapat dibagi ke dalam : a. Kredit uang (money credit), dimana pemberian dan pengembalian kredit dilakukan dalam bentuk uang; b. Kredit bukan uang (non money credit, mercantile credit,

  merchant credit) , dimana diberikan dalam bentuk barang

  dan jasa dan pengembaliannya dilakukan dalam bentuk uang;

  6. Penggolongan kredit berdasarkan waktu pencairannya, dalam hal ini suatu kredit dapat dibagi lagi ke dalam : a Kredit tunai (cash credit), dimana pencairan kredit dilakukan dengan tunai atau pemindahbukuan ke dalam rekening debitur;

  b. Kredit tidak tunai (non cash credit), dimana kredit tidak dibayar pada saat pinjaman dibuat, termasuk ke dalam penggolongan ini, misalnya :

  1. Garansi bank atau stand by L/C, dalam hal ini bank akan membayar apabila terjadi perbuatan tertentu, misalnya, jika pada suatu saat pihak pemohon garansi tidak melaksanakan kewajibannya kepada pihak lain, maka dalam hal seperti ini bank lah yang akan membayarnya;

  2. Letter of credit, yang merupakan jaminan kepada penjual/pengirim barang dimana bank akan membayar sejumlah uang jika dokumen-dokumen tertentu dipenuhi oleh penjual/pengirim barang.

  7. Penggolongan kredit, menurut cara penarikannya. Apabila dilihat dari segi penarikannya, maka suatu kredit dapat dibagi ke dalam : a. Kredit sekali jadi (alfopend), yakni kredit yang pencairan dananya dilakukan sekaligus, misalnya secara tunai ataupun secara pemindahbukuan;

  b. Kredit rekening koran, dalam hal ini baik penyediaan dana maupun penarikan dana tidak dilakukan sekaligus melainkan secara tidak teratur, kapan saja dan berulang kali. Penarikan dana oleh nasabah dilakukan selama plafon kredit masih tersedia dilakukan dengan melalui pemindahbukuan, penarikan cek, bilyet, giro, atau perintah pemindahbukuan lainnya;

  c. Kredit berulang-ulang (revolving loan), kredit semacam ini biasanya diberikan terhadap debitur yang tidak memerlukan kredit sekaligus, melainkan secara berulang- ulang sesuai kebutuhan, asalkan masih dalam batas maksimum dan masih dalam jangka waktu yang diperjanjikan. Berbeda dengan kredit rekening koran, masa kredit berulang-ulang ini lebih dibatasi (tidak dalam arti seluas-luasnya), terutama dalam hal penarikan dan penyetorannya;

  d. Kredit bertahap, kredit bertahap ini merupakan kredit yang pencairan dananya dilakukan secara bertahap dalam beberapa termin, misalnya tranche I, II, III, IV; e. Kredit tiap transaksi (self liquidating atau eenmalige , merupakan kredit yang diberikan

  transactie crediet)

  untuk satu transaksi tertentu, dimana pengembalian kredit diambil dari hasil transaksi yang bersangkutan. Berbeda dengan revolving credit, maka kredit eenmalige ini tidak ditarik dananya secara berulang-ulang, melainkan sekaligus saja, yakni untuk setiap transaksi saja.

  8. Penggolongan kredit dilihat dari pihak krediturnya Apabila dilihat dari segi pihak pemberi kredit, maka suatu kredit dapat digolongkan ke dalam : a. Kredit terorganisasi (organized credit) , yakni yang diberikan oleh badan-badan yang terorganisir secara legal dan memang berwenang memberikan kredit, misalnya bank, koperasi dan sebagainya; b. Kredit tidak terorganisasi (unorganized credit), merupakan kredit yang diberikan oleh seseorang atau sekelompok orang ataupun badan yang tidak resmi untuk memberikan kredit. Kredit tidak terorganisasi ini dapat dipilah-pilah ke dalam kategori sebagai berikut :

  1. Kredit rentenir, yakni kredit yang diberikan oleh perorangan atau badan tidak resmi untuk memberikan kredit, yang sering dijuluki dengan nama lintah darat;

  2. Kredit penjual, merupakan kredit yang diberikan oleh penjual kepada pembeli dalam suatu jual beli, dimana barang segera diserahkan sementara harga barang dibayar kemudian secara kredit;

  3. Kredit pembeli, yang dimaksudkan adalah kredit yang juga terbit dari penjual dimana uang pembelian segera diserahkan sementara dan barangnya diserahkan dikemudian hari, misalnya yang sering dipraktekkan dalam pembelian bahan bangunan dan lain-lain.

C. TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN FIDUSIA

  1. Pengertian Jaminan Fidusia Fidusia mempunyai arti : pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap berada

  48 dalam penguasaan pemilik benda.

  Menurut Dr. A. Hamzah dan Senjun Manulang, mengartikan fidusia yaitu : “suatu cara pengoperan hak milik dari pemiliknya (debitur), berdasarkan adanya perjanjian pokok (perjanjian utang piutang) 48 kepada kreditur, akan tetapi yang diserahkan hanya haknya saja

  Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000, hal. 128. secara yuridis-levering dan hanya dimiliki oleh kreditur secara kepercayaan (sebagai jaminan utang debitur), sedangkan barangnya tetap dikuasai oleh debitur tetapi bukan sebagai eigenaar maupun bezitter. Melainkan hanya sebagai detentor atau

  49 houder dan atas nama kreditur eigenaar”.

  Fidusia, menurut asal katanya berasal dari kata “fides” yang berarti kepercayaan. Pranata Jaminan Fidusia sudah dikenal dan diberlakukan dalam masyarakat hukum Romawi. Ada dua bentuk

  50 jaminan fidusia, yaitu fidusia cum creditore dan fidusia cum amico.

  Keduanya timbul dari perjanjian yang disebut pactum fiduciae yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak atau in iure cesio.

  Dalam bentuk yang pertama atau lengkapnya fiducia cum creditore

  contracta yang berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditur,

  dikatakan bahwa debitur akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda kepada kreditur sebagai jaminan atas utangnya dengan kesepakatan bahwa kreditur akan mengalihkan kembali kepemilikan tersebut kepada debitur apabila utangnya sudah dibayar lunas.

  Beberapa prinsip utama dari jaminan fidusia adalah sebagai berikut :

  1. Bahwa secara riil, pemegang fidusia hanya berfungsi sebagai 49 pemegang jaminan saja, bukan sebagai pemilik yang sebenamya.

A. Hamzah dan Senjun Manullang, Lembaga Fidusia dan Penerapannya di Indonesia, Penerbit Liberty, Jakarta, 1987, hal. 20.

50 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, op.cit, hal. 119.

  2. Hak pemegang fidusia untuk mengeksekusi barang jaminan baru ada jika ada wanprestasi dari pihak debitur

  3. Apabila hutang sudah dilunasi, maka objek jaminan fidusia harus dikembalikan kepada pihak pemberi fidusia.

  4. Jika hasil penjualan (eksekusi) barang fidusia melebihi jumlah hutangnya, maka sisa hasil penjualan harus dikembalikan kepada pemberi fidusia.

  Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang dimaksud dengan Jaminan Fidusia adalah :

  ”Hak jaminan atas benda bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya”. Berdasarkan definisi diatas, dapat dikatakan bahwa dalam jaminan fidusia terjadi pengalihan hak kepemilikan. Pengalihan itu terjadi atas dasar kepercayaan dengan janji benda yang hak kepemilikannya dialihkan, tetap dalam penguasaan pemilik benda.

  Pengalihan hak kepemilikan tersebut dilakukan dengan cara

  constitutum possesorium . Ini berarti pengalihan hak kepemilikan atas

  suatu benda dengan melanjutkan penguasaan atas benda tersebut

  51 dimaksudkan untuk kepentingan penerima fidusia.

  Pengalihan hak kepemilikan tersebut dilakukan dengan cara

  constitutum possesorium diatur dalam Pasal 584 KUH Perdata yang

  menyatakan bahwa : “Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan; karena daluwarsa, karena perwarisan, baik menurut undang-undang, maupun menurut surat wasiat, dan karena penunjukan atau penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu”.

  Sedangkan menurut pasal 62 KUHPerdata mengatakan bahwa : “Penyerahan kebendaan bergerak, kecuali yang tidak bertubuh dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu berada.”

  52 51 Jaminan dibagi menjadi 2 (dua) bentuk yaitu sebagai berikut : 52 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, op.cit., hal 128.

  Gatot Supramono, Perbankan Dan Masalah Kredit, op.cit., hal. 58-60.

  1. Jaminan umum KUHPerdata memang tidak menyebutkan adanya jaminan umum dan jaminan khusus, namun dari sejumlah peraturan dapat diketahui mana jaminan yang bersifat umum dan mana yang bersifat khusus.

  Untuk jaminan umum diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata, yang berbunyi : “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”. Debitur dalam hal ini cukup pasif, tidak perlu membuat perjanjian jaminan, karena perikatannya sudah diatur oleh undang-undang. Tanpa adanya perjanjian yang diadakan para pihak lebih dulu, para kreditur konkuren semuanya secara bersama-sama memperoleh jaminan umum yang diberikan oleh undang-undang itu. semua barang- barang milik debitur merupakan jaminan bagi para kreditur tanpa memandang siapa kreditur yang membuat perikatan lebih dahulu.

  Semua kreditur mempunyai hak yang sama, namun mengenai pembayaran utang tidak dibagi rata dari hasil penjualan barang- barang tersebut.

  Menurut Pasal 1132 KUHPerdata, hasil penjualan barang- barang itu dibagi-bagikan menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing kreditur, kecuali diantara kreditur mempunyai hak untuk didahulukan.

  2. Jaminan Tertentu/khusus Pada jaminan khusus pihak debitur memperjanjikan kepada debitur atas suatu barang-barang tertentu khusus diperuntukkan sebagai jaminan utang debitur. Selain dapat berupa barang, jaminan khusus juga dapat berupa orang. Meskipun dapat berupa orang, tetapi pada akhirnya harta benda orang yang bersangkutan yang dapat disita dan dijual lelang untuk pelunasan utang.

  Sebagaimana pernah disinggung di atas bahwa untuk dapat membuat jaminan khusus, maka pada perjanjian pokoknya harus diperjanjikan tentang adanya hal itu. Baru kemudian dibuat perjanjian jaminannya yang bersifat accessoir.

  Adapun macam-macam jaminan khusus terdapat dalam KUHPerdata maupun peraturan di luar KUHPerdata. Jaminan khusus yang diatur dalam KUHPerdata adalah : hipotik, gadai, penanggungan (borgtocht).

  Penggolongan atas benda sebagai objek jaminan menurut sistem hukum perdata yang berlaku di Indonesia, atas benda bergerak dan tidak bergerak, dengan kriteria sebagai berikut :

  1. Jaminan tidak bergerak, diatur di dalam Pasal 506-508 Bagian Ketiga Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang terdiri dari : a.Tanah, dan segala sesuatu yang didirikan di atasnya;

  b. Bangunan beserta segala macam sarana dan prasarana yang peruntukannya tidak dapat dipisahkan dari bangunan tersebut, yang dianggap menyatu dengan bangunan tersebut; c. Pohon-pohon dan tanaman-tanaman serta buah-buah yang belum dipetik dari pohonnya; d. Barang-barang tambang;

  e. Pipa-pipa, saluran-saluran bawah tanah yang bersatu dengan tanah; Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

  (KUHPerdata) Pasal 314 Kapal-kapal yang berukuran lebih dari 20 meter kubik, yang terdaftar di setiap Syah Bandar di seluruh Indonesia, dianggap sebagai kebendaan yang tidak bergerak.

  2. Jaminan benda bergerak, diatur di dalam Pasal 509-518 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Bagian Ke Empat Buku II yang terdiri dari : a. Jaminan benda bertubuh, yaitu jaminan yang secara fisik terlihat bendanya, seperti : kendaraan bermotor, mesin, peralatan kantor, barang perhiasan dan lain sebagainya;

  b. Jaminan tak bertubuh, yaitu jaminan yang berupa surat- surat berharga, surat berharga adalah sebuah dokumen yang diterbitkan oleh penerbitnya sebagai pemenuhan suatu prestasi berupa pembayaran sejumlah uang sehingga berfungsi sebagai alat bayar yang di dalamnya berisikan suatu perintah untuk membayar kepada pihak- pihak yang memegang surat tersebut, baik pihak yang diberikan surat berharga oleh penerbitnya maupun pihak ketiga kepada siapa surat berharga tersebut telah

  53 dialihkan.

  Jenis-Jenis Surat Berharga di dalam KUHD Pengaturan Surat berharga terdapat dalam Kitab Undang Undang Hukum Dagang dan Peraturan Perundang-undangan lainnya yaitu sebagai berikut :

  a. Jenis Surat Berharga yang diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Dagang yaitu : 1· Wesel diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)

  Buku I Bab VI Pasal 100-173. Wesel adalah surat berharga yang 53 memuat kata “wesel” dan ditandatangani di suatu tempat dalam mana http://G/Hukum is Law Surat-surat berharga.htm, tanggal 07 November 2014. penerbit memberikan perintah tak bersyarat kepada tersangkut untuk membayar sejumlah uang pada hari bayar kepada orang yang ditunjuk oleh penerbit yang disebut penerima atau penggantinya disuatu tempat tertentu.

  2 Cek diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Buku I Bab VII Pasal 178-190b. Cek adalah surat yang memuat kata cek yang diterbitkan pada tanggal dan tempat tertentu dengan mana perintah tanpa syarat kepada bankir untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada pemegang atau pembawa di tempat tertentu. Cek juga dapat diartikan suatu surat yang membuat suruhan pembayaran sejumlah uang kepada seorang dalam waktu yang tertentu, suruhan mana umumnya ditujukan kepada suatu bank yang memberikan buku cek kepada orang yang menandatangani cek itu. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, cek adalah salah satu cara untuk melakukan penarikan terhadap simpanan dalam bentuk giro yang

  

54

dapat dilakukan setiap saat.

  3. Surat Sangup diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Buku I Bagian XIII Pasal 174-177. Surat Sanggup adalah surat yang memuat kata “sanggup”/promesse aan order, yang 54 ditandatangani pada tanggal dan tempat tertentu dengan mana

  Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Penerbit Prenada Media, Jakarta, 2005, hal. 97. penandatangan menyanggupi tanpa syarat untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada pemegang/pengganti pada tanggal dan tempat tertentu.

  4. Promes atas unjuk diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Buku I Bagian XI Pasal 229e-229k. Promes atas unjuk adalah suatu surat yang ditanggali dimana penandatangannya sendiri berjanji akan membayar sejumlah uang yang ditentukan di dalamnya kepada tertunjuk pada waktu diperlihatkan pada sewaktu waktu tertentu. Promes artinya janji untuk membayar sejumlah uang. Sifat dari surat promes atas unjuk adalah atas tunjuk (aan toonder) artinya siapa saja yang memegang surat itu dan setiap saat memperlihatkannya kepada yang bertandatangan ia akan memperoleh pembayaran.

  b. Jenis surat berharga yang diatur di Peraturan Perundang Undangan lain

  55

  di luar Kitab Undang Undang Hukum Dagang antara lain : 1. Bilyet Giro diatur di dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.

  4/670/HPPB/PbB tanggal 24 Januari 1972, ditentukan bahwa Bilyet Giro adalah surat perintah nasabah yang telah distandardisir bentuknya kepada penyimpan dana untuk memindahbukukan sejumlah uang dari rekening yang bersangkutan kepada pihak 55 penerima yang disebutkan namanya pada bank yang sama atau pada Ibid, 99. bank lainnya. Dengan demikian, pembayaran dana bilyet giro tidak dapat dilakukan dengan uang tunai dan tidak dapat dipindahtangankan melalui endosemen.

  2. Commercial Paper (CP) adalah suatu surat berharga berupa pengakuan hutang berjangka pendek 2 (dua) sampai dengan 270 (dua ratus tujuh puluh) hari, yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan (sebagai peminjam uang) kepada pihak lain (investor) yang mempunyai dana segar untuk membeli obligasi tersebut, utang tersebut tanpa memberikan suatu jaminan utang, utang mana diberikan diskon tertentu meskipun ada juga yang diberikan dengan memberikan suatu bunga tertentu (interest bearing).

  3. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) diatur di dalam Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1984 tentang penerbitan Sertifikat Bank Indonesia. Peraturan pelaksanaan dari Keputusan Presiden tersebut adalah Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.

  28/84/KEP/DIR tentang Penerbitan dan Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia serta Intervensi Rupiah tanggal 23 Juli 1998.

  Menurut surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/67/KEP/DIR, yang dimaksud dengan Sertifikat Bank Indonesia adalah surat berharga atas unjuk dalam rupiah, yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek dengan sistem diskonto. Sistem diskonto adalah dimana pihak yang memberi Sertifikat Bank Indonesia menerima pembayaran bunganya di muka/seketika itu, dengan ketentuan bunga yang telah diterimanya itu akan diperhitungkan pada saat Sertifikat Bank Indonesia dibayarkan kembali tepat pada tanggal jatuh tempo.

  Secara umum, jaminan dapat diartikan sebagai “Penyerahan kekayaan atau pernyataan kesanggupan seseorang untuk menanggung kembali pembayaran suatu utang”. Dengan demikian, jaminan mengandung suatu kekayaan (materiil) ataupun suatu pernyataan kesanggupan (imateriil) yang dapat dijadikan sebagai sumber pelunasan utang. Jaminan dapat dikelompokkan menurut kebendaannya yaitu :

  1. Jaminan perorangan (personlijk) Istilah jaminan perorangan adalah berasal dari kata borgtocht. Ada juga yang menyebutkan dengan istilah imateriil.

  56 Menurut Pasal 1820 Kitab

  Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) “Penanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ke tiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya”.

  2. Jaminan kebendaan (zakelijk) Jaminan yang bersifat kebendan yaitu adanya benda tertentu yang dijadikan jaminan (zakelijk). Jaminan yang bersifat kebendaan dilembagakan dalam bentuk hipotek, hak tanggungan, fidusia dan gadai. 56 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, op.cit., hal. 80.

Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum Penerima Waralaba Atas Wanprestasi Yang Dilakukan Oleh Pemberi Waralaba

4 41 80

Kedudukan Kreditur Selaku Penerima Jaminan Fidusia Dalam Hal Debitur Pailit Menurut UU No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan

0 71 84

Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Fidusia Yang Tidak Didaftarkan (Studi Kasus di Bank HSBC Wilayah Medan)

3 58 100

Perlindungan Hukum Penerima Waralaba Atas Wanprestasi Yang Dilakukan Oleh Pemberi Waralaba

9 66 80

AKIBAT HUKUM PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA YANG DILAKUKAN OLEH LEMBAGA LEASING BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

3 58 18

KAJIAN YURIDIS TERHADAP TERJADINYA WANPRESTASI PADA PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA BERUPA BENDA INVENTORY

0 4 16

Kajian Yuridis Terhadap Terjadinya Wanprestasi Pada Pelaksanaan Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Fidusia Berupa Benda Inventory

0 6 12

Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Atas Wanprestasi Debitur Pada Perjanjian Dengan Jaminan Fidusia Yang Tidak Didaftarkan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia

1 15 59

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR TERHADAP EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA PADA BANK A. Jaminan Fidusia - Analisis Yuridis Faktor Penghambat Eksekusi Jaminan Fidusia Dalam Melindungi Kreditur (Studi Pada Pt. Bank Mandiri (Persero), Tbk Balai Kota Medan)

0 0 30

BAB II KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM YANG MENYANGKUT JAMINAN FIDUSIA Objek Fidusia - Peranan Penyidik dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Fidusia Sesuai dengan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

0 0 14