Perlindungan Hukum Penerima Waralaba Atas Wanprestasi Yang Dilakukan Oleh Pemberi Waralaba

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM PENERIMA WARALABA ATAS WANPRESTASI YANG DILAKUKAN

OLEH PEMBERI WARALABA

(Riset di Salon Rudi Hadi Suwarno Kota Medan)

SKRIPSI

Disusun dan diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

M. IQBAL AL RASYID NIM : 040200249

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Perdata

Prof. DR. Tan Kamello, SH.MS NIP : 19620421198803 1 004

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. DR. Tan Kamello, SH.MS Sunarto Ady Wibowo, SH, M.Hum NIP. 19620421 198803 1 004 NIP. 19520330 196701 1 001


(2)

ABSTRAKSI

Penelitian yang berjudul “Perlindungan Hukum Penerima Waralaba Atas Wanprestasi Yang Dilakukan Oleh Pemberi Waralaba” yang bertujuan antara lain: pertama untuk mengetahui bagaimana prosedur izin permohonan perolehan hak waralaba. Kedua, untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum penerima waralaba atas wanprestasi yang dilakukan pemberi waralaba.

Untuk mencapai tujuan tersebut peneliti menggunakan metode penelitian hukum pidana secara yuridis normatif dengan tahapan yakni yang pertama melakukan pendekatan masalah secara yuridis normatif terhadap data yang diperoleh, yang kedua menggunakan teknik pengumpulan data, yang ketiga analisa bahan hukum dengan metode kualitatif

Kesimpulan pertama perbedaan PP Nomor 42 Tahun 2007 dengan PP Nomor 16 tahun 1997 antara lain pada pendefisinisiannya, pada penjelasan kriteria waralaba, prinsip keterbukaan yang dianut, pihak pihak yang berhak untuk melakukan pendaftaran perjanjian waralaba, perhatian pemerintah pada usaha kecil dan menengah, Jangka waktu STPUW, serta pengaturan sanksi bagi pelanggar.

Kesimpulan Kedua yang penulis ambil dalam penelitian ini adalah: Untuk mendapatkan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW) seorang penerima waralaba harus melalui prosedur yakni : penyajian prosopektus penawaran waralaba dari pemberi waralaba yang telah didaftarkan pada instansi terkait, pembuatan perjanjian waralaba dan paling lambat lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berlakunya Perjanjian Waralaba Penerima Waralaba harus mendaftarkan permohonan untuk memperoleh Surat Tanda Perolehan Usaha Waralaba. Jika tidak ada ada kendala berarti maka dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya Daftar Isian Permohonan STPUW secara lengkap dan benar, Pejabat Penerbit STPUW menerbitkan STPUW.

Kesimpulan yang ketiga adalah untuk melindungi penerima waralaba, maka penerima waralaba dapat menuntut adanya ganti kerugian berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh KUH Perdata jika pemberi waralaba melakukan wanprestasi. Untuk penyelesaian sengketanya sendiri bisa dilakukan menggunakan cara di dalam pengadilan (pengadilan negeri atau niaga) maupun di luar pengadilan menggunakan cara arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa yang dalam prosesnya lebih mudah dibandingkan lewat jalur pengadilan.


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : “Perlindungan Hukum Penerima Waralaba Atas

Wanprestasi Yang Dilakukan Oleh Pemberi Waralaba”.

Tujuan penulis menulis skripsi ini merupakan salah satu syarat akademik untuk menyelesaikan Program Studi Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini, Penulis telah banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, sehingga proses penulisan ini dapat berjalan lancar dan dapat diselesaikan. Untuk itu, penulis dengan segala ketulusan hati mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. DR. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. DR. Suhaidi, SH, MH, selaku Pembantu Dekan I 3. Bapak Syafruddin, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II

4. Bapak M. Husni, SH, MH, selaku Pembantu Dekan III dan juga sebagai Dosen Penasehat Akademik Penulis

5. Bapak Prof. Tan Kamello, SH, MS, selaku Ketua Departemen Hukum Perdata dan juga sebagai Dosen Pembimbing I


(4)

7. Seluruh Dosen beserta Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya dan membantu penulis selama menjalani perkuliahan.

8. Bang Chino, SH, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bantuan dalam penulisan skripsi ini.

9. Instansi terkait dalam hal ini Salon Rudy Hadysuwarno Kota Medan.

10.Papa dan Mama tercinta yang selalu memberikan kasih sayang, semangat, doa dan berbagai dukungan baik moril maupun materiil yang tak henti-hentinya kepada Penulis agar lancar dalam menyelesaikan skripsi ini.

11.Mia, Ilham, Nopri, Cici, Niko selaku adik-adik penulis serta Pak Elfi dan Pak Asmin yang telah banyak memberikan semangat dan dukungannya kepada penulis.

12.Keluarga besar dari Papa dan Mama yang turut memberikan doa dan semangatnya kepada Penulis.

13.Keluarga besar Pak Samino dan mamak, Pesal, Bang Budi, Kak Ika, Tabang-Tadek, Lita dan Keluarga lainnya, terima kasih sudah menganggap Iqbal bagian dari keluarga.

14.Teman-teman seperjuangan, Roy yang selalu menemani, mengingatkan, saling mendukung dan banyak membantu Penulis dalam setiap hal terutama dalam kelancaran skripsi ini, Bang Oky yang selalu mendorong penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.


(5)

15.Dewi, yang telah menemani, mendukung, memberi semangat dan mengingatkan Penulis setiap hari untuk segera menyelesaikan skripsi ini, terima kasih sayang.

16.Bang Man, Bang Adek, Bang Madan, Joe, Firman, Indro yang telah banyak sekali membantu dan memberi semangat.

17.Keluarga Besar HMI Komisaria FH USU dan Keluarga Besar BTM Aladdinsyah, SH

18.Teman-temanku Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Stambuk 2004, Agus, Raja, Andi, Amar, Ilham, Mighdad, Chini, Ayu, Lina, Bona, Rozzy, Ajo, Darmo, Mozy, Josua, Ramon, Tanta, Wiwin, Dona, Noverd, Candra, Vio, Meli, Lia, Sarah, Bonir, Imam, Raquta dan semua yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini, Penulis ucapkan banyak terima kasih.

Tiada sesuatu di dunia ini yang sempurna termasuk pula dalam penulisan skripsi ini, maka Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dan sebelumnya Penulis memohon maaf bilamana terdapat kekurangan dan kesalahan lain yang tidak berkenan di hati.

Akhir kata, Penulis mendoakan semoga Allah Swt memberikan kelancaran dalam menjalankan hidup dikemudian hari. Harapan Penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Medan, Maret 2010 Penulis


(6)

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Tinjauan Pustaka ... 7

1. Pengertian Perlindungan Hukum ...………... ... 7

2. Definisi Waralaba ...……….. .... 9

3. Pengaturan Waralaba ... ... 11

4. Perjanjian Waralaba ... ... 13

5. Subyek dan Obyek Perjanjian Waralaba ... ... 14

6. Pengertian Wanprestasi ... ... 17

F. Metode Penelitian ……….... ... 18

G. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian ... 22

B. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian ... 25

C. Jenis-jenis Perjanjian ... 28


(7)

E. Wanprestasi ... 34 BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG WARALABA

A. Pengertian Waralaba ... 39 B. Perjanjian Franchise sebagai Perjanjian Innominaat ... 42 C. Bentuk-bentuk Waralaba ... 44 D. Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW) 46 BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM FRANCHISE ATAS

WANPRESTASI FRANCHISOR (RUDI HADI SUWARNO) A. Prosedur Perjanjian Waralaba Antara Franchise dan Franchisor 51 B. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Waralaba ... 54 C. Berakhirnya Perjanjian Waralaba antara Franchise dan

Franchisor ... 65 D. Upaya Hukum Franchisoe atas Wanprestasi Franchisor dalam

Perjanjian Waralaba ... 70

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 75 B. Saran ... 77 DAFTAR PUSTAKA


(8)

ABSTRAKSI

Penelitian yang berjudul “Perlindungan Hukum Penerima Waralaba Atas Wanprestasi Yang Dilakukan Oleh Pemberi Waralaba” yang bertujuan antara lain: pertama untuk mengetahui bagaimana prosedur izin permohonan perolehan hak waralaba. Kedua, untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum penerima waralaba atas wanprestasi yang dilakukan pemberi waralaba.

Untuk mencapai tujuan tersebut peneliti menggunakan metode penelitian hukum pidana secara yuridis normatif dengan tahapan yakni yang pertama melakukan pendekatan masalah secara yuridis normatif terhadap data yang diperoleh, yang kedua menggunakan teknik pengumpulan data, yang ketiga analisa bahan hukum dengan metode kualitatif

Kesimpulan pertama perbedaan PP Nomor 42 Tahun 2007 dengan PP Nomor 16 tahun 1997 antara lain pada pendefisinisiannya, pada penjelasan kriteria waralaba, prinsip keterbukaan yang dianut, pihak pihak yang berhak untuk melakukan pendaftaran perjanjian waralaba, perhatian pemerintah pada usaha kecil dan menengah, Jangka waktu STPUW, serta pengaturan sanksi bagi pelanggar.

Kesimpulan Kedua yang penulis ambil dalam penelitian ini adalah: Untuk mendapatkan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW) seorang penerima waralaba harus melalui prosedur yakni : penyajian prosopektus penawaran waralaba dari pemberi waralaba yang telah didaftarkan pada instansi terkait, pembuatan perjanjian waralaba dan paling lambat lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berlakunya Perjanjian Waralaba Penerima Waralaba harus mendaftarkan permohonan untuk memperoleh Surat Tanda Perolehan Usaha Waralaba. Jika tidak ada ada kendala berarti maka dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya Daftar Isian Permohonan STPUW secara lengkap dan benar, Pejabat Penerbit STPUW menerbitkan STPUW.

Kesimpulan yang ketiga adalah untuk melindungi penerima waralaba, maka penerima waralaba dapat menuntut adanya ganti kerugian berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh KUH Perdata jika pemberi waralaba melakukan wanprestasi. Untuk penyelesaian sengketanya sendiri bisa dilakukan menggunakan cara di dalam pengadilan (pengadilan negeri atau niaga) maupun di luar pengadilan menggunakan cara arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa yang dalam prosesnya lebih mudah dibandingkan lewat jalur pengadilan.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bisnis waralaba merupakan kegiatan usaha penjualan barang secara retail kepada masyarakat luas, begitu populernya kegiatan usaha ini, sehingga cepat sekali berkembang dan meliputi berbagai jenis bidang usaha. Bisnis waralaba diperkenalkan pertama kali oleh Isaac Singer seorang pencipta mesin jahit merek Singer pada tahun 1851 di Amerika Serikat. Pelopor bisnis waralaba terkenal di Amerika Serikat antara lain adalah 1:

The Coca-Cola Corporation di bidang minuman

Mc Donald's Corporation di bidang makanan

General Motor Corporation di bidang otomotif

Hilton Hotel di bidang perhotelan

Computer Centre Inc. di bidang komputer

Jony King di bidang pelayanan kebersihan

Di Indonesia, bisnis penjualan secara retail semacam waralaba mulai dikembangkan, banyak sekali bermunculan pebisnis-pebisnis lokal yang melirik penjualan barang atau jasanya secara waralaba, misalnya :

 Pertamina yang mempelopori penjualan retail bensin melalui lisensi pompa bensin.

 Ayam Goreng Wong Solo dan Tahu Tek-Tek, yang mempelopori bisnis


(10)

waralaba di bidang makanan

 Es Teler 77 yang mempelopori dalam bidang minuman

 Primagama yang mempelopori waralaba dalam bidang jasa pendidikan

Di Indonesia, sistem bisnis penjualan secara waralaba sangat diminati oleh pebisnis waralaba asing dimana mereka memberikan izin kepada pengusaha lokal untuk mengelola waralaba asing tersebut dan tentunya akan berakibat menimbulkan saingan yang berat bagi pengusaha kecil lokal yang bergerak di bidang usaha sejenis.

Begitu menarik dan menguntungkannya bisnis waralaba ini, maka pemerintah berkepentingan pula untuk mengembangkan bisnis di Indonesia guna terciptanya iklim kemitraan usaha melalui pemanfaatan lisensi sistem bisnis waralaba. Dengan bantuan International Labour Organization (ILO) da Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, kemudian didirikan Asosiasi Franchise Indonesia pada tanggal 22 Nopember 1991. Pada tahun 1995 berdiri pula Asosiasi Restoran Waralaba Indonesia (ARWI) yang mengkhususkan diri di bidang usaha restoran. Asosiasi ini bertujuan untuk mengembangkn sumber daya manusia bekualitas di bidang usaha restoran waralaba, mengembangkan informasi dan inovasi teknologi di bidang usaha restoran terutama mengenai teknologi makanan, peralatan masak, kemasan, kesehatan dan gizi, pengawetan dan manajemen pelayanan.2

Melalui sistem bisnis waralaba ini, kegiatan usaha para pengusaha kecil di Indonesia dapat berkembang secara wajar dengan menggunakan resep, teknologi,

2


(11)

kemasan, manajemen pelayanan, merek dagang / jasa pihak lain dengan membayar sejumlah royalti berdasarkan lisensi waralaba. Di samping itu pengembangan sumber daya manusia berkualitas menjadi penting melalui pelatihan keterampilan menjalankan usaha waralaba yang diselenggarakan oleh pihak pemberi lisensi waralaba. Para pengusaha kecil tidak perlu bersusah payah menciptakan sendiri sistem bisnis, sudah cukup dengan menyediakan modal kemitraan usaha, membayar royalti, dengan memanfaatkan sistem bisnis waralaba asing melalui lisensi bisnis.

Menurut Douglas J Queen, konsep bisnis waralaba yang sudah teruji kemungkinan besar mengimbangi biaya awal dan royalti selanjutnya dari waralaba tersebut. Besarnya biaya tersebut memberikan hak pada pemilik waralaba berupa penyediaan pelayanan utama berikut ini 3 :

 Pemilihan dan pengkajian lokasi

 Spesifikasi peralatan dan tempat

 Pelatihan manajemen dan staf

 Dukungan promosi dan iklan

 Manfaat pembelian dan volume

 Merek dagang yang terkenal

Berdasarkan penyediaan pelayanan tersebut oleh pemilik waralaba, maka pembeli waralaba mempertimbangkan kemungkinan memperoleh keuntungan bila membeli / meneriman izin perolehan waralaba. Dengan kata lain, pemberi waralaba melisensikan waralaba disertai penyediaan utama yang dapat

3


(12)

menguntungkan penerima waralaba.

Semakin menjamurnya bisnis waralaba saat ini, pemerintah memandang perlu untuk mengetahui legalitas dan bonafiditas usaha Pemberi Waralaba baik dari luar negeri dan dalam negeri guna menciptakan transparansi informasi usaha yang dapat dimanfaatkan secara optimal oleh usaha nasional dalam memasarkan barang dan/atau jasa dengan Waralaba. Disamping itu, Pemerintah dapat memantau dan menyusun data Waralaba baik jumlah maupun jenis usaha yang diwaralabakan. Untuk itu, Pemberi Waralaba sebelum membuat perjanjian Waralaba dengan Penerima Waralaba, harus menyampaikan prospektus penawaran Waralaba kepada Pemerintah dan calon Penerima Waralaba. Disisi lain, apabila terjadi kesepakatan perjanjian Waralaba, Penerima Waralaba harus menyampaikan perjanjian Waralaba tersebut kepada Pemerintah. Berdasarkan alasan tersebut pemerintah kemudian menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba.

Kejelian memilih waralaba sebenarnya hanyalah sebagian dari serangkaian kiat sukses di bisnis ini. Selain itu prinsip kehati-hatian juga harus dijaga. Perjanjian yang akan dibuat hendaknya benar-benar dipahami oleh para pihak agar dikemudian hari tidak terjadi sengketa yang berujung pada gugatan wanprestasi salah satu pihak. Contoh sengketa yang terjadi mengenai tindakan wanprestasi dari pemberi waralaba adalah sebagai berikut :

Setelah mulus menggeluti bisnis waralaba selama lebih dari 20 tahun, Rudy Hadisuwarno akhirnya memetik buah sengketa. Penata rambut kesohor itu harus menghadapi tuntutan dari PT. Mega Mulia Mandiri, pemilik franchise My Salon di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ini merupakan buntut dari kesepakatan bisnis antara PT. Rudy Hadisuwarno dan PT. Mega Mulia yang putus di tengah jalan. Bagi Rudy, konsep waralaba memang dipercaya bisa


(13)

memanjangkan rantai pemasaran salon Rudy Hadisuwarno ke pasar menengah-bawah. Itu sebabnya, sejak tahun 1983, pria kelahiran Pekalongan ini aktif menjalin kerja sama dengan banyak mitra usaha, termasuk menjalin kesepakatan co-branding alias penggabungan merek dengan Thomas Lie, Direktur PT. Mega Mulia Mandiri, pada awal tahun 2004. Lewat kesepakatan itu, My Salon yang saat itu telah memiliki delapan outlet berhak membubuhkan nama Rudy Hadisuwarno di belakang merek dagangnya sehingga menjadi My Salon by Rudy Hadisuwarno. Untuk penggunaan nama Rudy itu, My Salon wajib membayar franchise fee Rp 500 juta. Selain itu, ia juga harus membayar Rp 10 juta untuk tiap pembukaan outlet My Salon baru, serta pembagian revenue sharing sebesar 50% dari total pendapatan My Salon. Awalnya, kerja sama yang berlaku untuk 10 tahun itu berjalan mulus. Bisnis waralaba yang diusung My Salon pun berkembang pesat. Sayang, di tengah jalan, masalah mulai mencuat. PT. Rudy Hadisuwarno tiba-tiba menyatakan ingin menaikkan harga yang harus dibayar My Salon. Kenaikannya, sekitar dua kali lipat. Tentu saja usul itu tak diterima oleh PT Mega Mulia. Sejumlah perundingan yang dilakukan pun tak menemukan titik temu. Buntutnya, perjanjian yang diamanatkan dalam nota kesepahaman itu tak kunjung diteken oleh kedua belah pihak. Persoalan itu pun lantas menjadi rumit. Pada pertengahan Agustus 2004, Rudy melansir pengumuman di harian Kompas yang isinya menyebutkan bahwa kesepahaman co-branding antara My Salon dan Rudy Hadisuwarno hanya berlaku satu tahun dan berakhir pada 31 Desember 2004. Di koran harian itu juga disebutkan bahwa My Salon tidak boleh lagi memakai nama Rudy Hadisuwarno untuk merek salonnya. Iklan itulah rupanya yang mendorong sengketa melaju ke meja hijau. Akhir Desember 2004, PT Mega Mulia resmi mengajukan gugatan terhadap PT. Rudy Hadisuwarno di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Perusahaan milik Rudy Hadisuwarno dianggap telah wanprestasi alias ingkar janji karena memutuskan kesepakatan secara sepihak. PT. Mega Mulia menunjuk Pasal 4 Nota Kesepahaman Co-Branding yang menyebutkan bahwa jangka waktu kerja sama berlaku selama 10 tahun. Lewat gugatan itu pula, pengelola franchise My Salon menuntut ganti rugi sekitar Rp 7 miliar.4 B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar yang telah dipaparkan di atas, maka penulis membatasi pembahasan dalam Skripsi yang berjudul : “Analisis Terhadap Bisnis Waralaba Berdasarkan PP.No 42 Tahun 2007”, dengan batasan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :

4


(14)

1. Bagaimana perbedaan antara PP.No.42 Tahun 2007 jika dibandingkan dengan PP.No.16 tahun 1997 tentang waralaba?

2. Bagaimana prosedur izin permohonan perolehan hak waralaba ?

3. Bagaimana perlindungan hukum penerima waralaba atas wanprestasi yang dilakukan pemberi waralaba ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan penjabaran dalam latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana perbedaan antara PP.No.42 Tahun 2007 jika dibandingkan dengan PP.No.16 tahun 1997 tentang waralaba.

2. Untuk mengetahui bagaimana prosedur izin permohonan perolehan hak waralaba.

3. Untuk mengetahui bagaimanakah perlindungan hukum penerima waralaba atas wanprestasi yang dilakukan pemberi waralaba.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat secara khusus yaitu merupakan suatu studi dibidang hukum bisnis waralaba di mana penulis berharap penelitian ini dapat

memberikan gambaran secara jelas dan mendetail mengenai permasalahan-permasalahan yang ada dalam peraturan mengenai waralaba. Selain itu diharapkan pula dapat berguna bagi peneliti berikutnya, bagi civitas akademika Universitas Sumatera Utara, serta bagi masyarakat yang khususnya


(15)

berkecimpung di dunia hukum.

2. Manfaat secara umum yaitu sebagai syarat-syarat yang telah ditentukan dalam kurikulum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dalam mencapai gelar Sarjana Hukum.

E. Tinjauan Pustaka

Sistem bisnis waralaba yang menarik dan dapat menguntungkan pengusaha lokal maupun asing, maka pemerintah memandang perlu mengatur bisnis tersebut. Untuk menciptakan tertib usaha dengan cara waralaba serta perlindungan terhadap konsumen, dipandang perlu menetapkan ketentuan tentang waralaba dengan Peraturan Pemerintah. Pada tanggal 23 Juli 2007 diundangkanlan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dalam Lembaran Negara No. 90 Tahun 2007. Peraturan Pemerintah ini merupakan peraturan pelaksanaan dari Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijke Wetboek, Staatblads 1847 Nomor 23); Undang-undang Penyaluran Perusahaan 1934 (Bedrijfs Reglementerings Ordonantie 1934, Staatblads 1938 Nomor 86); Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 74; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3611).

Untuk meningkatkan peranan dan keikutsertaan masyarakat luas dalam usaha waralaba, perlu adanya peran serta pengusaha kecil dan menengah baik sebagai pemberi waralaba, penerima waralaba maupun sebagai pemasok barang


(16)

dan atau jasa. Usaha waralaba perlu dikembangkan dalam rangka mendorong pertumbuhan dan pengembangan pemberi waralaba nasional. Setiap pengusaha yang menjalankan usaha waralaba wajib mendaftarkan usaha waralabanya itu, sehingga dapat diketahui perkembangan waralaba secara nasional. Untuk melaksanakan pendaftaran tersebut dan bagaimana ketentuannya secara detil maka dipergunakan aturan berupa Keputusan Menteri. Hal tersebut sesuai dengan pasal 13 PP No. 42 Tahun 2007 yang berbunyi : “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran Waralaba diatur dengan Peraturan Menteri”.

Peraturan Menteri yang dimaksud dalam ayat tersebut yang berlaku saat ini adalah Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 12/M-DAG/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba.

Apabila dicermati, Keputusan Menteri tersebut merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba (LN No.49 Tahun 1997, TLN No. 3689) yang telah dicabut dengan PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Walaupun PP No. 16 Tahun 1997 telah dicabut akan tetapi peraturan pelaksanaannya berupa tidak serta merta dicabut dengan munculnya aturan baru yakni PP NO. 42 Tahun 2007, hal tersebut berdasarkan Ketentuan Penutup dalam Pasal 21 PP No 42 Tahun 2007 yang berbunyi :

Pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3690) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.


(17)

F. Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif, artinya permasalahan yang ada diteliti berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada dan literatur-literatur yang ada kaitannya dengan permasalahan.

2. Sumber Bahan Hukum

Sumber Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitian skripsi ini dibagi menjadi beberapa bahan hukum yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat, meliputi norma atau kaidah dasar, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, traktat dan bahan-bahan hukum yang masih berlaku dan menjadi hukum positif di Indonesia sampai saat ini. Adapun bahan hukum primer yang digunakan adalah :

1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata

2. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba

3. Keputusan Menteri Perdagangan (Kepmendag) Nomor 12/M-DAG/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yaitu berupa literatur-literatur.


(18)

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti rancangan undang-undang, hasil penelitian, jurnal hukum, majalah, kamus hukum, dan lain sebagainya.

d. Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum

Penulisan ini dilakukan dengan studi pustaka yaitu dengan cara membaca buku-buku dan mempelajari literatur-literatur yang selanjutnya diolah dan dirumuskan secara sistematis sesuai dengan masing-masing pokok bahasannya. e. Analisa Bahan Hukum

Analisis bahan hukum dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode analisis kualitatif, dalam hal ini mengkaji secara mendalam bahan hukum yang ada kemudian digabungkan dengan bahan hukum yang lain, lalu dipadukan dengan teori-teori yang mendukung dan selanjutnya ditarik kesimpulan.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika Penulisan ini bertujuan agar dalam menyusun skripsi susunan penulisan dapat terarah dan sistematis, sehingga dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi menjadi 5 (lima) bab yaitu sebagai berikut :

Bab I merupakan pendahuluan yang terbagi dalam 6 (enam) sub bab, yaitu latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian yang di dalamnya menguraikan tentang pendekatan masalah, sumber bahan hukum, teknik pengumpulan bahan hukum, dan analisis


(19)

bahan hukum, serta diuraikan pula mengenai sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Umum tentang Perjanjian

Bab III Tinjauan Hukum tentang Waralaba

Bab IV Merupakan pembahasan mengenai perlindungan hukum Franchise atas Wanprestasi Franchisor (Rudi Hadi Suwarno)

Bab V Mengenai penutup berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran dari penulis. Adapun isi dari kesimpulan adalah tentang jawaban dari rumusan masalah baik permasalahan yang pertama maupun permasalahan yang kedua agar lebih jelas. Dan bagian kedua adalah saran. Saran merupakan rekomendasi penulis kepada dunia ilmu pengetahuan di bidang hukum khususnya mengenai waralaba.


(20)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah “persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.”5

Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah “persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.”

Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”6.

Para sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan tersebut tidak lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap karena hanya mengenai perjanjian sepihak saja dan dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai janji kawin, yaitu perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga, tetapi, bersifat istimewa karena diatur dalam ketentuan-ketentuan tersendiri sehingga Buku III KUH Perdata secara langsung tidak berlaku terhadapnya. Juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam perbuatan melawan

5

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthasar Indonesi Edisi Ketiga, Jakarta : Balai Pustaka. 2005. hal. 458.

6


(21)

hukum ini tidak ada unsur persetujuan.7

R. Subekti mengemukakan perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”8 Menurut Salim HS, Perjanjian adalah "hubungan hukum antara subjek yang satu dengan subjek yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.”9

Dari pengertian-pengertian di atas dapat dilihat beberapa unsur-unsur yang tercantum dalam kontrak, yaitu :

1. Adanya hubungan hukum

Hubungan hukum merupakan hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum yaitu timbulnya hak dan kewajiban.

2. Adanya subjek hukum

Subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. Subyek dalam hukum perjanjian termasuk subyek hukum yang diatur dalam KUH Perdata, Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Perdata mengkualifikasikan subjek hukum terdiri dari dua bagian yaitu manusia dan badan hukum. Sehingga yang membentuk perjanjian menurut Hukum Perdata bukan hanya manusia secara individual ataupun kolektif, tetapi juga badan hukum atau rechtperson, misalnya Yayasan, Koperasi dan Perseroan Terbatas.

7

Mariam Darus, KUH Perdata Buku III Hukum Perikiitan dengan Penjelasan, PT. Alumi Bandung. 2005, hal. 89. (Selanjutnya dise-but Mariam I).

8

R. Subekti, Op.cit, hal 1. 9

Salim MS, Hukum Kontrak, Teori & Tekriik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2008. hal. 27. (Selanjutnya disebut Salim HS I)


(22)

3. Adanya prestasi

Prestasi menurut Pasal 1234 KUH Perdata terdiri atas untuk memberi sesuatu, untuk berbuat sesuatu, dan untuk tidak berbuat sesuatu.

4. Di bidang harta kekayaan

Pada umumnya kesepakatan yang telah dicapai antara dua atau lebih pelaku bisnis dituangkan dalam suatu bentuk tertulis dan kemudian ditanda tangani oleh para pihak. Dokumen tersebut disebut sebagai “Kontrak Bisnis” atau “Kontrak Dagang”.10

Perjanjian merupakan sumber terpenting dalam suatu perikatan. Menurut Subekti, Perikatan adalah “suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu”.11

Perikatan dapat pula lahir dari sumber-sumber lain yang tercakup dengan nama undang-undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari “perjanjian” dan ada perikatan yang lahir dari “undang”. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi ke dalam perikatan yang lahir karena undang-undang-undang-undang saja (Pasal 1352 KUH Perdata) dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang. Sementara itu, perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang dapat lagi dibagi kedalam suatu perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperoleh dan yang lahir dari suatu perbuatan yang berlawanan dengan Hukum (Pasal 1353 KUH Perdata).

10

Bahan Kuliah Perancangan Kontrak, M. Husni, Tinjauan Umum Mengenai Hontrak. 2009. 11


(23)

B. Syarat Sahnya Perjanjian

Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mengemukakan empat syarat,yaitu :

1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak

2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum 3. Adanya suatu hal tertentu

4. Adanya sebab yang halal.

Kedua syarat yang pertama disebut syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian sedangkan dua syarat terakhir merupakan syarat objektif karena mengenai objek dari perjanjian.

Keempat syarat tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak

Syarat pertama dari sahnya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan para pihak. Kesepakatan adalah “persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain.”12 Pernyataan dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam. Pernyataan secara diam-diam sering terjadi di dalam kehidupan sehari-hari kita. Misalnya, seorang penumpang yang naik angkutan umum, dengan membayar ongkos angkutan kepada kondektur kemudian pihak kondektur menerima uang tersebut dan berkewajiban mengantar penumpang sampai ke tempat tujuannya dengan aman. Dalam hal ini, telah terjadi perjanjian walaupun tidak dinyatakan secara tegas.

12


(24)

Persetujuan tersebut harus bebas, tidak ada paksaan. Kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk terjadinya perjanjian yang sah. Dianggap perjanjian tersebut tidak sah apabila terjadi karena paksaan, kekhilafan atau penipuan. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1321 KUH Perdata yang menyatakan jika di dalam perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan atau penipuan, maka berarti di dalam perjanjian itu terjadi cacat kehendak dan karena itu perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Cacat kehendak artinya “bahwa salah satu pihak sebenarnya tidak menghendaki isi perjanjian yang demikian. Seseorang dikatakan telah membuat kontrak secara khilaf manakala dia ketika membuat kontrak tersebut dipengaruhi oleh pandangan atau kesan yang ternyata tidak benar.13

2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum

Menurut 1329 KUH Perdata kedua belah pihak harus cakap menurut hukum. Kecakapan bertindak adalah kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Dimana perbuatan hukum ialah perbuatan yang menimbulkan akibat hukum.

Ada beberapa golongan oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap yaitu: 1. Orang yang belum dewasa

Menurut Pasal 330 KUH Perdata, belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan belum pernah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum mereka genap 21 tahun maka tidak berarti mereka kembali lagi dalam keadaan belum dewasa.

13


(25)

2. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan

Orang yang ditaruh di bawah pengampuan menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Seseorang yang berada di bawah pengawasan pengampuan, kedudukannya sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Jika seorang anak yang belum dewasa harus diwakili orang tua atau walinya maka seorang dewasa yang berada di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya. Dalam pasal 433 KUH Perdata, disebutkan bahwa setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap, harus di bawah pengampuan jika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seseorang yang telah dewasa dapat juga berada di bawah pengampuan karena keborosannya.

3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Tetapi dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum, sesuai dengan pasal 31 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 jo.SEMA No.3 Tahun 1963.

3. Adanya suatu hal tertentu

Suatu hal dapat diartikan sebagai objek dari perjanjian. Yang diperjanjikan haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Menurut Pasal 1332 KUH Perdata, hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok-pokok perjanjian. Pasal 1333 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu persetujuan itu harus mempunyai pokok suatu barang yang paling


(26)

sedikit dapat ditentukan jenisnya. Tidak menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu asal barang kemudian dapat ditentukan atau dihitung.

4. Adanya sebab yang halal

Di dalam Undang-undang tidak disebutkan pengertian mengenai sebab (orzaak,causa). Yang dimaksud dengan sebab bukanlah sesuatu yang mendorong para pihak untuk mengadakan perjanjian, karena alasan yang menyebabkan para pihak untuk membuat perjanjian itu tidak menjadi perhatian umum. Adapun sebab yang tidak diperbolehkan ialah jika isi perjanjian bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Dari uraian di atas, apabila syarat subjektif tidak terpenuhi, maka salah satu pihak dapat meminta supaya perjanjian itu dibatalkan, namun, apabila para pihak tidak ada yang keberatan, maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Sementara itu, apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.

Keempat syarat tersebut haruslah dipenuhi oleh para pihak dan apabila syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut telah terpenuhi, maka menunit Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum sama dengan kekuatan suatu Undang-undang.

C. Jenis-jenis Perjanjian

Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut :14

14

Mariam Daris, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung; Citra Aditya Bakti, 2001, hal. Mi-69 (Selanjutnya disebut Mariam II)


(27)

a. Perjanjian Timbal Balik

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajibanpokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli.

b. Perjanjian Cuma-cuma

Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah.

c. Perjanjian Atas Beban

Perjanjian Atas Beban adalah perjanjian dimana prestasi dari pihak yang satu merupakan kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

d. Perjanjian Bernama (Benoemd)

Perjanjian bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian ini diatur dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata. e. Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemd Overeenkomst)

Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemd) adalah perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalani KUH Perdata, tetapi terdapat dalam masyarakat. Perjanjian ini seperti perjanjian pemasaran, perjanjian kerja sama. Di dalam praktekmya, perjanjian ini lahir adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak mengadakan perjanjian.

f. Perjanjian Obligatoir


(28)

mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan).

g. Perjanjian Kebendaan

Perjanjian Kebendaan adalah perjanjian dengan mana seseorang menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain.

h. Perjanjian Konsensual

Perjanjian Konsensual adalah perjanjian dimana di antara kedua belah pihak tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan.

i. Perjanjian Riil

Di dalam KUH Perdata ada juga perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang. Perjanjian ini dinamakan perjanjian riil. Misalnya perjanjian penitipan barang, pinjam pakai.

j. Perjanjian Liberatoir

Perjanjian Liberatoir adalah perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada. Misalnya perjanjian pembebasan hutang.

k. Perjanjian Pembuktian

Perjanjian Pembuktian adalah perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.

l. Perjanjian Untung-untungan

Perjanjian Untung-untungan adalah perjanjian yang objeknya ditentukan kemudian. Misalnya perjanjian asuransi.


(29)

m. Perjanjian Publik

Perjanjian Publik adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah Pemerintah dan pihak lainnya adalah swasta. Misalnya perjanjian ikatan dinas dan pengadaan barang pemerintahan.

n. Perjanjian Campuran

Perjanjian Campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian. Misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa menyewa) tetapi menyajikan pula makanan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan.

Dari jenis-jenis perjanjian di atas, dapat dilihat bahwa perjanjian waralaba termasuk jenis perjanjian tidak bernama atau onbenoemde overeenkomst. Dalam Kamus Hukum, onbenoemde overeenkomst adalah “perjanjian atau persetujuan yang tidak mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama.”

D. Berakhirnya Perjanjian

Dalam Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan tentang cara berakhimya suatu perikatan, yaitu :

“Perikatan-perikatan hapus karena a. pembayaran;

b. karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;

c. karena pembaharuan hutang;

d. karena perjumpaan hutang atau kompensasi; e. karena percampuran hutang;

f. karena pembebasan hutangnya;

g. karena musnahnya barang yang terhutang; h. karena kebatalan atau pembatalan;

i. karena berlakunya suatu syarat batal, yang diatur dalam bab kesatu buku ini; j. karena lewatnya waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri".


(30)

Dalam buku Mariam Darus, hapusnya perikatan dikarenakan beberapa hal yaitu :15

a. Pembayaran

Yang dimaksud dengan pembayaran dalam Hukum Perikatan adalah setiap tindakan pemenuhan prestasi. Penyerahan barang oleh penjual, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu adalah merupakan pemenuhan dari prestasi atau tegasnya adalah “pembayaran”.

b. Subrogasi

Subrogasi adalah penggantian kedudukan kreditur oleh pihak ketiga. Penggantian itu terjadi dengan pembayaran yang diperjanjikan ataupun karena ditetapkan oleh undang-undang. Misalnya, apabila pihak ketiga melunaskan utang seorang debitur kepada krediturnya yang asli, maka lenyaplah hubungan hukum antara debitur dengan kreditur asli.

c. Tentang penawaran pembayaran tunai, diikuti oleh penyimpanan atau penitipan

Dalam hal perikatan dapat hapus dengan penawaran pembayaran yang diikuti penyimpanan atau penitipan ini di mana debitur yang akan membayar hutangnya kepada kreditur, tetapi kreditur menolak pembayaran tersebut dan oleh debitur uang atau barang yang akan dibayarkan kepada kreditur di titipkan ke pengadilan guna dibayarkan kepada kreditur.

d. Pembaharuan Hutang

Pembaharuan hutang adalah suatu perjanjian dengan mana perikatan yang sudah ada dihapuskan dan sekaligus diadakan suatu perikatan baru.

15


(31)

e. Pengoperan Hutang dan Pengoperan Kontrak

Dalam praktek selalu terjadi bahwa suatu kontrak dialihkan kepada pihak lain. Hal ini terjadi misalnya pemilik suatu perusahaan memindahkan perusahaannya kepada pihak lain dengan janji bahwa pemilik baru tersebut akan mengambil alih juga segala hak-hak dan kewajiban yang melekat pada perusahaan tersebut.

f. Kompensasi atau Perjumpaan Hutang

Kompensasi itu terjadi apabila 2 (dua) orang saling berhutang l (satu) dengan yang lain, sehingga hutang-hutang tersebut dihapuskan karena oleh Undang-undang telah ditentukan bahwa terjadi suatu perhitungan antara mereka. Misalnya, si A berhutang sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) kepada si B dan si B mempunyai hutang sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah) kepada si A, sehingga terjadi kompensasi antara mereka yang menyebabkan si A hanya berhutang Rp.5.000,- (lima ribu rupiah) kepada si B.

g. Percampuran Hutang

Dalam hal pencampuran hutang ini biasanya dalam hal pewarisan, dimana debitur menjadi ahli waris si kredirur. Apabila kreditur meninggal dunia, maka hutang-hutang debitur dibayarkan oleh ahli warisnya dan menjadi lunas. h. Pembebasan Hutang

Pembebasan Hutang adalah pernyataan kehendak dari kreditur untuk membebaskan debitur dari perikatan dan pernyataan kehendak tersebut diterima oleh debitur.


(32)

i. Musnahnya Barang yang Terhutang

Musnahnya barang yang terhutang ini adalah suatu barang tertentu yang menjadi obyek perikatan dihapus dan dilarang oleh Pemerintah yang tidak boleh diperdagangkan lagi. Dalam pasal 1553 KUH Perdata disebutkan bahwa jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka persetujuan sewa gugur demi hukum.

j. Kebatalan dan Pembatalan Perikatan

Alasan-alasan yang dapat menimbulkan kebatalan suatu perikatan adalah kalau perikatan tersebut cacat pada syarat-syarat yang objektif saja. Cacat tersebut adalah objek yang melanggar undang-undang dan ketertiban umum.

Di samping hapusnya perjanjian berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan diatas dan Pasal 1381 KUH Perdata, masih ada sebab lain berakhirnya perjanjian, yaitu :

a. Jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian tersebut telah berakhir; b. Adanya persetujuan dari para pihak untuk mengakhiri perjanjian tersebut; c. Ditentukan oleh Undang-undang misalnya perjanjian akan berakhir dengan

meninggalnya salah satu pihak peserta perjanjian tersebut; d. Adanya putusan hakim dan;

e. Tujuan yang dimaksud dalam perjanjian telah tercapai.

E. Wanprestasi


(33)

perjanjian, maka ia dikatakan ingkar janji atau wanprestasi.

Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu :16

1. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun karena kelalaian.

2. Karena keadaan memaksa (overmacht), force majeure, jadi di luar kemampuan debitur.

Mariam Darus menyebutkan wujud dari tidak memenuhi perikatan (wanprestasi) terbagi tiga yaitu :17

1. Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan, 2. Debitur terlambat memenuhi perikatan,

3. Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan.

Sama halnya dengan Mariam Darus, Abdulkadir Muhammad juga menyatakan adanya tiga keadaan wanprestasi, yaitu:

1. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali,

2. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru.

Dalam hal ini, debitur yang memenuhi prestasi tetapi keliru jika ia tidak memperbaiki kekeliruannya maka ia dianggap tidak memenuhi prestasi sama sekali.18

3. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.

Sementara itu, R. Subekti menyebutkan wanprestasi (kelalaian atau kealpaan)

16

Abdulkadir III, Op.Cit, hal. 203. 17

Mariam I, Op.Cit, hal 23. 18


(34)

seorang debitur dapat berupa empat macam :19

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;

c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perikatan itu ditentukan tenggang waktu pelaksaanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hak tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi “tidak ditentukan”, perlu memperingatkan debitur supaya ia memenuhi prestasi. Tetapi dalam hal telah ditentukan tenggang waktunya, menurut ketentuan pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam perikatan.

Kreditur dapat menuntut debitur yang telah melakukan wanprestasi hal-hal sebagai berikut :20

a. Kreditur dapat meminta pemenuhan prestasi saja dari debitur;

b. Kreditur dapat menuntut prestasi disertai ganti rugi kepada debitur (Pasal 1267 KUH Perdata);

c. Kreditur dapat menuntut dan meminta ganti rugi, hanya mungkin kerugian karena keterlambatan (HR 1 November 1918);

d. Kreditur dapat menuntut pembatalan perjanjian;

e. Kreditur dapat menuntut pembatalan disertai ganti rugi kepada debitur. Ganti

19

R. Subekti. Op.cit, hal. 45. 20


(35)

rugi itu berupa pembayaran uang denda.

Seorang debitur yang dituduh lalai dan dituntut hukuman kepadanya, ia dapat melakukan pembelaan terhadap dirinya dari hukuman yang akan diberikan dengan mengajukan beberapa alasan.

Pembelaan tersebut ada tiga macam, yaitu :21

a. Karena adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeur)

b. Mengajukan bahwa kreditur sendiri juga telah lalai (Exceptio non adimpleti contractus)

c. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (rechtvenverking)

a. Keadaan Memaksa (Overmacht atau Force majeur)

Bahwa debitur tidak dapat melaksanakan apa yang telah diperjanjikan karena adanya hal-hal yang tidak terduga, dimana ia tidak dapat berbuat sesuatu terhadap peristiwa yang terjadi di luar dugaan tersebut. Misalnya, bencana alam yang menyebabkan musnahnya objek yang diperjanjikan. Seiring dengan perkembangannya, keadaan memaksa itu tidak hanya bersifat mutlak tetapi ada juga yang bersifat tidak mutlak yaitu debitur masih dapat melaksanakan perjanjian tetapi dengan pengorbanan yang sangat besar sehingga tidak sepantasnya pihak kreditur menuntut debitur untuk melaksanakan perjanjian. Misalnya, setelah diadakannya suatu perjanjian, keluar suatu Peraturan Pemerintah yang melarang dikeluarkannya suatu jenis barang yang merupakan objek perjanjian, dari suatu daerah dengan ancaman hukuman berat bagi si pelanggar sehingga,

21


(36)

kreditur tidak dapat menuntut pemenuhan hak pelaksanaan perjanjian

b. Mengajukan bahwa kreditur sendiri juga telah lalai (Exceptio non adimpleti contractus)

Debitur yang dituduh telah lalai dan dituntut untuk membayar ganti rugi, dapat mengajukan di depan Hakim bahwa kreditur sendiri juga telah lalai dalam menepati janjinya. Misalnya, si pembeli menuduh si penjual terlambat menyerahkan barangnya padahal si pembeli sendiri terlambat membayar uang muka. Tentang Exceptio non adimpleti contractus ini tidak. diatur di dalam Undang-undang dan merupakan suatu hukum yurispundensi yaitu hukum yang diciptakan para hakim.

c. Pelepasan hak (rechstvenverking)

Alasan terakhir ini merupakan suatu sikap pihak kreditur yang membuat pihak debitur menyimpulkan bahwa kreditur tidak akan lagi menuntut ganti rugi. Misalnya, si pembeli telah membeli suatu barang dan ia mengetahui adanya suatu cacat tersembunyi atau tidak berkualitas bagus, tetapi ia tidak menegur si penjual dan tetap memakai barang tersebut sehingga dari sikapnya tersebut ia telah puas akan barang tersebut maka, dalam hal ini sudah selayaknya tuntutannya tidak diterima oleh hakim.


(37)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG WARALABA

A. Pengertian Waralaba

Franchise berasal dari bahasa Latin, yaitu francorum rex yang artinya “bebas dari ikatan”, yang mengacu pada kebebasan untuk memiliki hak usaha. Sedangkan pengertian franchise berasal dari bahasa Perancis abad pertengahan diambil dari kata “fran” (bebas) atau “francher” (membebaskan), yang secara umum diartikan sebagai pemberian hak istimewa.22

Sebagai dampak era globalisasi yang melanda di berbagai bidang, terutama dalam bidang perdagangan dan jasa, franchise masuk ke dalam tatanan hukum masyarakat Indonesia, istilah franchise selanjutnya menjadi istilah yang akrab dengan masyarakat bisnis Indonesia dan menarik perhatian banyak pihak untuk mendalaminya. Kemudian istilah franchise diistilahkan sebagai waralaba yang diperkenalkan oleh Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen (LPPM). Waralaba berasal dari kata "wara" (lebih atau istimewa) dan "laba" (untung) sehingga waralaba berarti usaha yang memberikan laba lebih atau istimewa.23

Pengertian waralaba (franchise) menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, menyebutkan bahwa :

Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.

Henry Campbell Black, dalam Black's Law Dictionary sebagaimana yang

22

Adrian Sutendi, Op.Cit, hal. 6 23


(38)

dikutip oleh Juajir Sumardi, memberikan beberapa pengertian mengenai franchise, sebagai berikut :24

1. Franchise is a special privilege to do certain things conferred by government on individual v corporation, and which does not belong citizens generally of common right; e.g, right granted to offer cable television service.

2. Franchise is a privilige or sold, such as to use a name or to sell product or service. The right given by a manufacturer or supplier to a retailer to use his products and name on terms and conditions mutually agreed upon.

3. Franchise is a lincense from owner of a trade mark or trade name permitting another to sell a product or service under that name or mark.

Dalam terjemahan bebasnya dapat diartikan sebagai :

1. Waralaba adalah hak khusus yang istimewa untuk melakukan sesuatu yang diberikan oleh Pemerintah terhadap individu atau perusahaan, yang bukan merupakan hak warga negara pada umumnya; misalnya hak untuk menawarkan layanan televisi kabel.

2. Waralaba adalah hak istimewa atau menjual, seperti untuk menggunakan nama atau menjual barang atau jasa. Hak tersebut diberikan oleh pabrikan atau pemasok barang kepada pengecer untuk menggunakan barang dan nama berdasarkan ketentuan yang telah disepakati bersama.

3. Waralaba adalah pemberian lisensi dari pemilik merck dagang atau nama dagang yang mengizinkan pihak lain untuk menjual barang atau jasa dibawah nama dan merek tersebut.

Dari beberapa pengertian di atas, Black melihat waralaba sebagai :

Suatu preferen atau suatu keistimewaan yang diberikan oleh Pemerintah terhadap individu atau perusahaan untuk melakukan sesuatu yang belum merupakan hak dari setiap warga negara. Di samping itu, waralaba juga merupakan keistimewaan dengan pemberian hak untuk menjual barang atau jasa dengan menggunakan nama pabrikan atau supplier kepada pengecer untuk menggunakan namanya sesuai lisensi dari pemilik merek dagang atau nama dagang yang diperbolehkan kepada pihak lain untuk menjual suatu produk atau pelayanaan berdasarkan merek atau nama dagang tersebut.25

Suharnoko mengemukakan bahwa waralaba pada dasarnya adalah “sebuah perjanjian mengenai metode pendistribusian barang dan jasa kepada konsumen”. Pemberi waralaba dalam jangka waktu tertentu memberikan lisensi kepada

24

Juajir Sumardi, Op.cit. hal. 13. 25


(39)

Penerima Waralaba untuk melakukan usaha pendistribusian barang dan jasa di bawah nama dan identitas Pemberi Waralaba dalam wilayah tertentu.26

Salim HS memberikan definisi waralaba yaitu:

Suatu kontrak yang dibuat antara franchisor dan franchisee, dengan ketentuan pihak franchisor memberikan lisensi kepada franchisee untuk menggunakan merek barang atau jasa dalam jangka waktu tertentu dan pembayaran sejumlah royalti tertentu kepada franchisor.27

Menurut Gunawan Widjaja,

Waralaba merupakan salah satu bentuk pemberian lisensi, hanya saja agak berbeda dengan pengertian lisensi pada umumnya, waralaba menekankan pada kewajiban untuk mempergunakan sistem, metode, tata cara. prosedur, metode pemasaran dan penjualan maupun hal-hal lain yang telah ditentukan oleh pemberi waralaba secara eksklusif, serta tidak boleh dilanggar maupun diabaikan oleh penerima lisensi. Hal ini mengakibatkan bahwa waralaba cenderung bersifat eksklusif.28

Jadi, dalam hal ini Penerima Waralaba tidak dapat menggabungkan usaha miliknya dengan usaha milik Pemberi Waralaba.

Menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek,

Perjanjian lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan Merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagaian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.

Lisensi tidak hanya menyangkut mengenai Merek tetapi juga mencakup hak-hak intelektual lainnya seperti paten, hak cipta, desain industri dan sebagainya.

Menurut Adrian Sutendi, 26

Suharnoko, Hukum Perjanjian, Jakarta: Kencana, 2004. hal 83. 27

Salim HS. Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia, Jakarta: PT. Sinar Grafika.2008. hal. 163. ( Selanjutnya disebut Salim HS II)

28


(40)

Perjanjian lisensi biasa tidak sama dengan perjanjian waralaba. Pada perjanjian lisensi biasa hanya meliputi satu bidang kegiatan saja, misalnya pemberian izin lisensi bagi penggunaan merek tertentu ataupun lisensi pembuatan satu/beberapa jenis barang tertentu sedangkan pada perjanjian waralaba, pemberian lisensi melibatkan berbagai macam hak milik intelektual, seperti nama perniagaan, merek, model, desain.”29

Waralaba dapat berkembang dengan pesat karena metode pemasaran dan juga merupakan sarana pengembangan usaha ini, digunakan oleh berbagai jenis bidang usaha, mulai restoran, bisnis retail, salon, hotel, dealer mobil, dan sebagainya. Waralaba juga mulai berkembang di berbagai negara termasuk di Indonesia, baik waralaba asing yang dijalankan oleh pengusaha Indonesia sebagai Penerima Waralaba, maupun waralaba yang dikembangkan oleh pengusaha Indonesia, yang sering disebut sebagai waralaba lokal, di antaranya Es Teller 77, Salon Rudy Hadisuwarno.

B. Perjanjian Franchise sebagai Perjanjian Innominat

Waralaba (Frasnchise) didasarkan pada suatu perjanjian yang disebut dengan perjanjian waralaba dimana perjanjian ini melibatkan dua pihak atau lebih yaitu pihak Pemberi Waralaba sebagai pemberi hak dan pihak Penerima Waralaba sebagai penerima hak waralaba.

Perjanjian Waralaba adalah pemberian hak oleh Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba untuk menggunakan kekhasan usaha atau ciri pengenal bisnis di bidang perdangangan/jasa berupa jenis produk dan bentuk yang diusahakan termasuk identitas perusahaan (logo, merek dan desain perusahaan, penggunaan rencana pemasaran serta pemberian bantuan yang luas, waktu/saat/jam operasional. pakaian dan penampilan karyawan) sehingga kekhasan usaha atau ciri pengenal bisnis dagang/jasa milik Penerima Waralaba sama dengan kekhasan usaha atau bisnis

29


(41)

dagang/jasa milik Pemberi Waralaba.30

Perjanjian waralaba merupakan landasan legal yang berlaku sebagai undang-undang dalam mengoperasionalkan hubungan yang telah disepakati oleh Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba, serta merupakan landasan untuk menjaga kepentingan Pemberi Waralaba maupun Penerima Waralaba.31 Dengan demikian, sangat penting mengatur isi perjanjian yang mengatur kepentingan kedua belah pihak agar tercipta keseimbangan hak dan kewajiban.

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, dalam Pasal 1319 KUH Perdata yang menyatakan “semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab lalu”. Dari isi pasal tersebut, disebutkan adanya perjanjian yang mempunyai nama khusus (nominaat) dan perjanjian yang tidak dikenal dengan nama khusuc (innominaat). Perjanjian nominaat adalah suatu perjanjian yang dikenal dalam KUH Perdata seperti jual beli, sewa menyewa, pinjam pakai, tukar menukar. Sedangkan, Perjanjian innominaat ialah perjanjian yang tidak terdapat di dalam KUH Perdata namun berkembang di tengah masyarakat, seperti leasing, kontrak karya, joint venture, beli sewa, waralaba dan lain-lain. Perjanjian innominaat ini berlaku terhadap peraturan yang bersifat khusus, yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dan apabila dalam undang-undang khusus tidak diatur maka kita mengacu kepada KUH Perdata sebagai peraturan yang bersifat umum. Waralaba sebagai suatu perjanjian innominaat diatur dalam PP No. 42 Tahun

30

Rooseno Hardjowidigdo. Op.Cit, hal 5. 31


(42)

2007 tentang Waralaba. Walaupun perjanjian waralaba tidak diatur secara khusus di dalam KUH Perdata, tetapi harus tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam KUH Perdata.

Perjanjian waralaba dapat diterima di dalam hukum karena di dalam KUH Perdata terdapat suatu asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian tersebut juga harus memperhatikan Pasal 1320 KUH Perdata yang berisi mengenai syarat sahnya suatu perjanjian. Singkatnya, hukum perjanjian yang memakai sistem terbuka yang mengandung asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

C. Bentuk-bentuk Waralaba

Menurut Juajir Sumardi, bentuk-bentuk waralaba terbagi dua, yaitu :32 1. Franchise sebagai Format Bisnis

Waralaba sebagai format bisnis maksudnya adalah seorang Penerima Waralaba memperoleh hak untuk memasarkan dan menjual produk atau pelayanan dalam suatu wilayah atau lokasi yang spesifik dengan menggunakan standar operasional dan pemasaran yang dari Pemberi Waralaba.

Martin Marldelsohn memberi pengertian mengenai franchise format bisnis yaitu :

32


(43)

Pemberian sebuah lisensi oleh seseorang (franchisor) kepada pihak lain (franchisee), lisensi tersebut memberi hak kepada franchisee untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang/nama dagang franhisor, dan untuk menggunakan merek dagang/nama dagang franchisor, dan untuk menggunakan keseluruhan paket, yang terdiri dari seluruh elemen yang diperlukan untuk membuat seorang yang sebelumnya belum terlatih dalam bisnis dan untuk menjalankanya dengan bantuan yang terus menerus atas dasar-dasar yang telah ditentukan sebelumnya.

Dalam bentuk ini terdapat tiga jenis format bisnis franchise, yaitu : a. Franchise pekerjaan

Dalam bentuk ini Penerima Waralaba yang menjalankan usaha waralaba pekerjaan sebenarnya membeli dukungan untuk usahanya sendiri. Misalnya, bisnis penjualan jasa penyetelan mobil dengan merek waralaba tertentu. Bentuk waralaba ini cenderung paling murah, umumnya membutuhkan modal yang kecil karena tidak menggunakan tempat dan perlengkapan yang berlebihan.

b. Franchise Usaha

Waralaba usaha merupakan bidang waralaba yang berkembang pesat, bentuknya berupa toko eceran yang menyediakan barang atau jasa. Biaya yang dibutuhkan lebih besar dari waralaba pekerjaan karena dibutuhkan tempat usaha dan peralatan khusus.

c. Franchise Investasi

Ciri utama yang membedakan jenis waralaba ini dari waralaba pekerjaan dan waralaba usaha adalah besarnya usaha, khususnya besarnya investasi yang dibutuhkan. Waralaba investasi adalah perusahaan yang sudah mapan, dan investasi awal yang dibutuhkan cukup besar. Misalnya, usaha hotel, maka dipilih cara kegiatan waralaba yang memungkinkan mereka memperoleh bimbingan dan dukungan.


(44)

2. Franchise Distibusi Produk

Dalam bentuk ini seorang Penerima Waralaba memperoleh lisensi ekslusif untuk memasarkan produk dari suatu perusahaan tunggal dalam lokasi yang spesifik. Dalam bentuk ini, Pemberi Waralaba dapat juga memberikan waralaba wilayah, dimana Penerima Waralaba wilayah atau sub-pemilik waralaba membeli hak untuk mengoperasikan atau menjual waralaba di wilayah geografis tertentu. Sub-pemilik waralaba itu bertanggungjawab atas beberapa atau seluruh pemasaran waralaba, melatih dan membantu Pemberi Waralaba baru, dan melakukan pengendalian mutu, dukungan operasi, serta program penagihan royalti.

Franchise wilayah memberi kesempatan kepada pemegang franchise induk untuk mengembangkan rantai lebih cepat daripada biasa. Keahlian manajemen dan risiko finansialnya dibagi bersama oleh pemegang franchise induk dan sub-pemegangnya. Pemegang indukpun menarik manfaat dari penambahan dalam royalti dan penjualan produk.

Hampir setiap pengaturan sub-franchise adalah untuk dalam komitmen yang dibuat oleh setiap pihak. Namun, ciri bersama dari persetujuan yang dibuat adalah petnbagian bersama dari penghasilan franchise. Biaya franchise, royalti, sumbangan pengiklanan, dan biaya transfer franchise dibayar oleli pemegang franchise (franchisee) tunggal kepada sub-pemegang franchise, dan sebagian dari itu dibayarkan kepada sub-pemegang franchise induk (franchisee induk).33

D. Subyek dan Obyek Perjanjian Waralaba

Subjek hukum adalah sesuatu yang menurut hukum dapat memiliki hak dan kewajiban, atau sebagai pendukung hak dan kewajiban, menurut Achmad Ichsan :

Manusia adalah pengertian biologis ialah gejala dalam alam, gejala biologika, yaitu makhluk hidup yang mempunyai panca indera dan mempunyai budaya. Sedangkan “orang” adalah pengertian yuridis ialah gejala dalam hidup bermasyarakat. Dalam hukum yang menjadi pusat perhatian adalah orang

33

Douglas J. Queen, Pedoman Membeli dan Menjalankan Franhise, Jakarta: PT.Elex Media Komputindo.1991. hal.7.


(45)

atau persoon34

Hukum yang berlaku di Indonesia sekarang ini, manusia di anggap atau diakui sebagai manusia pribadi, artinya diakui sebagai orang atau person. Karena itu setiap manusia diakui sebagai subyek hukum (recht persoon lijkheid) yaitu pendukung hak dan kewajiban.

Pada dasarnya seseorang dinyatakan sebagai subyek hukum ketika dilahirkan, dan berakhir ketika meninggal dunia. Namun hal ini tidak mutlak, sebab ada perkecualian seperti yang diatur dan ditetapkan dalam pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

Anak-anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah telah ada.

Sebagai pendukung hak dan kewajiban, seseorang memiliki kewenangan untuk bertindak, dan tentu kewenangan bertindak tersebut harus menurut hukum, dengan kata lain manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan hukum. Namun demikian kewenangan itu dibatasi oleh beberapa faktor dan keadaan tertentu, sehingga seseorang dapat dinyatakan wenang untuk melakukan tindakan hukum apabila dia itu dewasa dan sehat jiwanya serta tidak berada dalam pengampuan (curandus).

Sedangkan pengertian dari obyek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum dan dapat menjadi pokok suatu hubungan hukum yang dilakukan oleh para subyek hukum. Dalam bahasa hukum, obyek hukum dapat juga di sebut hak atau benda yang dapat dikuasai dan/ atau dimiliki subyek

34


(46)

hukum. Misalnya, A meminjamkan buku kepada B. di sini yang menjadi obyek hukum dalam hubungan hukum antara A dan B adalah buku. Buku menjadi obyek hukum dari hak yang dimiliki A.35

Dalam hal perjanjian waralaba, maka subyek hukumnya adalah pemberi waralaba dan penerima waralaba. Pengertian dari Pemberi waralaba dan penerima waralaba diatur dalam Pasal PP No. 42 Tahun 2007 Pasal 3 dan 4, yang berbunyi :

Pasal 3 : “Pemberi Waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimilikinya kepada Penerima Waralaba.”

Pasal 4 : Penerima Waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh Pemberi Waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimiliki Pemberi Waralaba.

Sedangkan penerima waralaba menurut Kepmendag No. 12/M-DAG/Per/3/2006 Pasal 4 dan 5 dibagi menjadi dua yakni :

Pasal 4 : ”Penerima Waralaba Utama (Master Franchisee) adalah Penerima Waralaba yang melaksanakan hak membuat Perjanjian Waralaba Lanjutan yang diperoleh dari Pemberi Waralaba dan berbentuk Perusahaan Nasional.” Pasal 5 : ”Penerima Waralaba Lanjutan adalah badan usaha atau perorangan yang menerima hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki Pemberi Waralaba melalui Penerima Waralaba Utama.

Obyek perjanjian waralaba atau klausula-klausula perjanjian waralaba sendiri menurut PP No. 42 tahun 2007 Pasal 5 yakni :

Perjanjian Waralaba memuat klausula paling sedikit : a. nama dan alamat para pihak;

b. jenis Hak Kekayaan Intelektual; c. kegiatan usaha;

d. hak dan kewajiban para pihak;

e. bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba;

35

Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, Bandung, P.T Refika Aditama, 2001, hal.33.


(47)

f. wilayah usaha;

g. jangka waktu perjanjian; h. tata cara pembayaran imbalan;

i. kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris; j. penyelesaian sengketa; dan

k. tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian.

E. Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW)

PP Nomor 42 Tahun 2007 tidak mengatur lebih detail mengenai bagaimana proses pendaftaran waralaba, sehingga dalam Pasal 13 PP Nomor 42 Tahun 2007 memberikan penjelasan bahwa ”Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran Waralaba diatur dengan Peraturan Menteri.”

Sampai saat ini peraturan menteri terbaru sebagai peraturan pelaksana dari PP Nomor 42 Tahun 2007 belum dibuat sehingga merujuk pada Ketentuan Penutup dalam Pasal 21 PP Nomor 42 Tahun 2007, maka saat ini peraturan pelaksanan yang berlaku dari PP ini adalah Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-DAG/Per/3/2006. Adapun Pasal 21 PP Nomor 42 Tahun 2007 sebagai dasar hukum pemberlakuan Kepmendag Nomor 12/M-DAG/Per/3/2006 tersebut berbunyi :

Pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3690) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.

Proses selanjutnya dalam pendaftaran waralaba lebih lanjut mengenai pendaftaran waralaba berdasarkan Kepmendag Nomor 12/M-DAG/Per/3/2006 adalah paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berlakunya Perjanjian Waralaba Penerima Waralaba harus mendaftarkan permohonan untuk


(48)

memperoleh Surat Tanda Perolehan Usaha Waralaba ke instansi yang berwenang dengan lampiran yang sesuai dengan Pasal 12 Kepmendag No. 12/M-DAG/Per/3/2006 yakni :

1) Daftar Isian Permohonan STPUW yang telah diisi dan ditandatangani oleh Penerima Waralaba atau kuasanya di atas kertas bermeterai cukup, diserahkan kepada pejabat penerbit STPUW dengan dilampirkan:

a. Copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) pemilik/pengurus perusahaan; b. Copy Izin Usaha Departemen/Instansi teknis;

c. Copy Tanda Daftar Perusahaan (TDP); d. Copy Perjanjian Waralaba;

e. Copy Keterangan tertulis (Prospektus usaha) Pemberi Waralaba; f. Copy Surat Keterangan Legalitas Usaha Pemberi Waralaba.

2) Copy dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilampirkan dokumen asli dan akan dikembalikan kepada pemohon STPUW setelah selesai pemeriksaan mengenai keabsahannya.

Adapun instansi yang berwenang dalam proses pengurusan permohonan dan penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPUW) berdasarkan Kepmendag No. 12/M-DAG/Per/3/2006 Pasal 10 yakni :

1) Menteri memiliki kewenangan pengaturan kegiatan usaha Waralaba.

2) Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan STPUW kepada Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Luar Negeri.

3) Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan STPUW kepada Gubernur DKI/Bupati/Walikota bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam Negeri, Penerima Waralaba Lanjutan yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam dan Luar Negeri.

4) Bupati/Walikota melimpahkan kewenangan penerbitan STPUW kepada Kepala Dinas yang bertanggung jawab di bidang perdagangan bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam Negeri, Penerima Waralaba Lanjutan yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam dan Luar Negeri.

5) Khusus Propinsi DKI Jakarta, Gubernur melimpahkan kewenangan penerbitan STPUW kepada Kepala Dinas yang bertanggungjawab dibidang perdagangan bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam Negeri, Penerima Waralaba Lanjutan yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam dan Luar Negeri.


(49)

Kepmendag No. 12/M-DAG/Per/3/2006 Pasal 10 diatas, akan digambarkan sebagai berikut :

1. Bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Luar Negeri :

Menteri Perdagangan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri

2. Bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam Negeri, Penerima Waralaba Lanjutan yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam dan Luar Negeri khusus untuk pengajuan permohonan di DKI Jakarta: Menteri Perdagangan Gubernur DKI Kadin Perdagangan

3. Bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam Negeri, Penerima Waralaba Lanjutan yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam dan Luar Negeri khusus untuk pengajuan di luar DKI Jakarta :

Menteri Perdagangan Bupati / Walikota Kadin Perdagangan

Setelah Permohonan STPUW yang telah diisi dan ditandatangani oleh Penerima Waralaba atau kuasanya di atas kertas bermeterai cukup, diserahkan kepada pejabat penerbit STPUW maka paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya Daftar Isian Permohonan STPUW secara lengkap dan benar, Pejabat Penerbit STPUW menerbitkan STPUW dengan menggunakan formulir STPUW Model B (lihat di lampiran). Apabila Daftar Isian Permintaan STPUW dinilai belum lengkap dan benar, paling lambat 5 (lima) hari kerja, pejabat penerbit STPUW membuat surat penolakan disertai alasan-alasan. Bagi pemohon yang ditolak dapat mengajukan permohonan STPUW kembali. Jangka waktu Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba berlaku sampai jangka waktu lima


(50)

tahun, seperti diatur dalam Pasal 12 ayat (5), (6), dan (7) PP Nomor 42 Tahun 2007 yakni :

5) Surat Tanda Pendaftaran Waralaba sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.

6) Dalam hal perjanjian Waralaba belum berakhir, Surat Tanda Pendaftaran Waralaba dapat diperpanjang untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.

7) Proses permohonan dan penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba tidak dikenakan biaya.

Jadi berdasarkan keseluruhan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa setiap perorangan maupun badan usaha bisa mewaralabakan bisnisnya asalkan bisnis tersebut mempunyai ciri khas usaha, terbukti sudah memberikan keuntungan, dan sebagainya berdasarkan pasal 3 PP No. 42 Tahun 2007. Untuk mendapatkan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW) seorang penerima waralaba harus melalui prosedur yakni : penyajian prosopektus penawaran waralaba dari pemberi waralaba yang telah didaftarkan pada instansi terkait, pembuatan perjanjian waralaba dan paling lambat lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berlakunya Perjanjian Waralaba Penerima Waralaba harus mendaftarkan permohonan untuk memperoleh Surat Tanda Perolehan Usaha Waralaba. Jika tidak ada ada kendala berarti maka dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya Daftar Isian Permohonan STPUW secara lengkap dan benar, Pejabat Penerbit STPUW menerbitkan STPUW.


(51)

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM FRANCHISE ATAS WANPRESTASI

FRANCHISOR (RUDI HADI SUWARNO)

A. Prosedur Perjanjian Waralaba antara Franchise dan Franchisor

Pada dasarnya waralaba merupakan salah satu bentuk pemberian lisensi, hanya saja agak berbeda dengan pengertian lisensi pada umumnya, waralaba menekankan pada kewajiban untuk menggunakan system, metode, tata cara, prosedur, metode pemasaran dan penjualan maupun hal-hal lain yang ditentukan oleh pemberi waralaba secara eksklusif, serta tidak boleh dilanggar maupun diabaikan oleh penerima lisensi. Hal ini mengakibatkan bahwa waralaba cenderung bersifat eksklusif. Seorang atau suatu pihak yang menerima waralaba tidaklah dimungkinkan untuk melakukan kegiatan lain yang sejenis atau yang berada dalam suatu lingkungan yang mungkin menimbulkan persaingan dengan kegiatan usaha waralaba yang diperoleh olehnya dari pemberi waralaba.

Pada dasarnya suatu waralaba adalah suatu bentuk perjanjian, yang isinya memberikan hak dan kewenangan khusus kepada pihak Penerima Waralaba, yang terwujud dalam bentuk :36

1. Hak untuk melakukan penjualan atas produk berupa barang dan atau jasa dengan mempergunakan nama dagang atau merek dagang tertentu;

2. Hak untuk melaksanakan kegiatan usaha dengan atau berdasarkan pada suatu format bisnis yang telah ditentukan oleh Pemberi Waralaba.

36


(52)

Dengan ini berarti sebagai suatu perjanjian, waralaba juga tunduk pada ketentuan umum yang berlaku bagi sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.37 Dalam PP Nomor 42 pengaturan perjanjian khususnya mengenai waralaba hanya sebatas tentang cara pembuatan perjanjian, pendaftaran perjanjian, dan sanksi administratif dari instansi yang berwenang saja. Untuk pengaturan tentang bagaimana jika terjadi wanprestasi diantara para pihak yang membuat perjanjian, dalam PP tersebut tidak mengaturnya.

Sebagai suatu perjanjian, Pasal 1320 KUH Perdata tetap mengikat sebagai syarat dasar dari sahnya perjanjian untuk waralaba yakni adanya38 :

1) Kata sepakat dari mereka yang mengikatkan diri ( Toestaming ) 2) Kecakapan untuk mengadakan perikatan ( Bekwaamheid ) 3) Mengenai suatu obyek tertentu ( Een Bepaal Onderwerp ) 4) Mengenai kausa yang diperbolehkan ( Geoorloofde Oorzaak )

Secara khusus mengenai syarat lainnya mengenai sahnya perjanjian waralaba diatur dalam Pasal 4 PP No. 42 Tahun 2007, yakni:

1) Waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia.

2) Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditulis dalam bahasa asing, perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Atas dasar pasal tersebut, maka syarat suatu perjanjian waralaba jika tidak ditulis dalam bahasa Indonesia maka perjanjian tersebut harus diterjemahkan

37 Ibid. 38


(53)

dalam bahasa Indonesia.

Dalam hal timbulnya perjanjian antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba baru terjadi jika telah ada kesepakatan berdasarkan prospektus yang ditawarkan untuk kemudian dilakukan pembuatan perjanjian. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dinyatakan Munir Fuady bahwa sebuah kesepakatan bisa terjadi pada saat pihak pemberi tawaran tersebut mengirimkan akseptasinya (penawarannya) dan pihak penerima segera melakukan offer (tawaran) sampai pada saat kedua belah pihak saling menyetujui akan penawaran tersebut yang kemudian dituangkan dalam sebuah perjanjian tertulis.39

Setelah tahapan negosiasi dan pembuatan suatu dokumen perjanjian, maka tahapan berikutnya adalah pelaksanaan dan sekaligus pengawasan dari perjanjian. Pelaksanaan dan pengawasan merupakan hal yang tidak boleh diabaikan. Tata cara pelaksanaan perjanjian (performance) serta akibat-akibat hukum dari pelaksanaan perjanjian harus secara cermat dipikirkan pada saat akan dibuatnya sebuah perjanjian, agar pada saat pelaksanaannya tidak mengalami suatu permasalahan yang mengganggu. Pelaksanaan perjanjian selain membutuhkaan adanya itikad baik juga perlu dikelola secara tepat agar tidak menimbulkan masalah. Dalam pelaksanaan perjanjian mungkin saja akan menghadapi hal-hal yang menghambat bahkan menyebabkan tidak terpenuhinya perjanjian tersebut.40

Demikian pula dalam perjanjian waralaba, sangat dimungkinkan dalam pelaksanaannya juga akan terjadi kegagalan atau hal-hal yang dapat menghambat

39

Munir Fuady 2, Op.Cit, hal. 12. 40

Muhammad Djumana, Aspek-Aspek Hukum Desain Industri di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 94.


(54)

serta mengakibatkan tidak terpenuhinya perjanjian. Seperti halnya contoh kasus yang telah diuraikan dalam Bab sebelumnya mengenai pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh Rudi Hadisuwarno terhadap My Salon dimana pihak Rudy menaikkan fee franchise sampai dua kali lipat secara sepihak dimana hal tersebut tidak disebutkan sebelumnya dalam perjanjian.

Hal seperti contoh tersebut bisa saja terjadi karena pihak pemberi waralaba yang dalam hal ini secara ekonomi memang berada pada posisi yang lebih kuat jika dibandingkan dengan pihak penerima waralaba, karenanya tidak menutup kemungkinan dengan situasi dan kondisi yang seperti tersebut akan berdampak dan berpengaruh terhadap pelaksanaan perjanjian waralaba dimana pihak pemberi waralaba akan mendominasi pihak penerima waralaba untuk memaksakan kehendaknya.

B. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Waralaba

Hubungan hukum antara pihak yang satu dengan pihak lainnya tidak dapat timbul dengan sendirinya. Hubungan ini tercipta karena adanya tindakan hukum yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga adanya satu pihak yang diberi hak oleh pihak lain untuk memperoleh prestasi, sedangkan pihak lain itu dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi.41

Pada perjanjian yang bersifat perdata, melekat prinsip pemaksaan yang apabila debitur tidak memenuhi prestasi maka kreditur berhak memaksakan pemenuhan prestasi tersebut. Kreditur diberi hak gugat atau hak aksi untuk

41


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Waralaba merupakan sistem bisnis yang berbeda dengan sistem bisnis lainnya. Karena, usaha waralaba meliputi seluruh bisnis, merek dagang, Hak Milik Intelektual, Goodwill, maupun rahasia dagang dari suatu waralaba. Selain itu, waralaba mempunyai beberapa karakteristik tersendiri antara lain berupa: unsur dasar, produk bisnis unik yang belum beredar di pasaran, adanya fee dan royalti atas penggunaan nama dagang dan sistem bisnis yang diberikan, adanya pelatihan manajemen dan keterampilan khusus untuk mengetahui bagaimana cara mengelola bisnis waralaba, adanya bantuan pendanaan Penerima Waralaba dari pihak Pemberi Waralaba, pembelian produk langsung dari Pemberi Waralaba, bantuan promosi dan periklanan dari Pemberi Waralaba, daerah pemasaran yang eksklusif yang artinya tidak diberikan untuk 2 (dua) Penerima Waralaba dalam lokasi yang sama, adanya pengendalian dan penyeragaman mutu baik dari segi produk dan pelayanan, mengandung unsur merek dan sistern bisnis. Karakteristik dari perjanjian waralaba adalah berkenaan dengan perjanjian-perjanjian lainnya yang juga diatur didalam perjanjian waralaba yang menjadikan perjanjian waralaba menjadi suatu perjanjian yang sui generis dan dianggap sebagai suatu praktek


(2)

monopoli. Namun, dalam UU Antimonopoli tersebut mengecualikan perjanjian lisensi dan perjanjian waralaba.

2. Perjanjian yang dibuat para pihak yakni Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba berlaku sebagai undang-undang bagi kedua belah pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban. Hak dan Kewajiban merupakan suatu hubungan timbal balik antara Penerima Waralaba dan Pemberi Waralaba yang artinya hak bagi Pemberi Waralaba merupakan kewajiban bagi pihak Penerima Waralaba dan begitu pula sebaliknya hak bagi Penerima Waralaba merupakan kewajiban bagi Pemberi Waralaba. Kewajiban Pemberi Waralaba salah satunya adalah menyediakan nama perusahaan/merek, logo, desain dan fasilitas yang dapat segera dikenal konsumen sekaligus memberikan pelatihan manajemen dan memberikan bantuan secara berkelanjutan sesuai dengan petunjuk yang tertera dalam kontrak kerjasama. Sementara itu, kewajiban dari Penerima Waralaba antara lain, yaitu: menjaga kerahasiaan atas Hak atas Kekayaan Intelektual yaitu penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi, melakukan pendaftaran waralaba, membayar franchisee fee dalam persentase dan penghasilan kotor kepada Pemberi Waralaba, memberi laporan secara berkala atau permintaan khusus dari Pemberi Waralaba, dan termasuk pula memelihara kinerja mutu tertentu memelihara atau menjaga paket peralatan yang dibeli dari Pemberi Waralaba.

3. Pelaksanaan perjanjian dengan baik merupakan tujuan dari kerjasama bisnis waralaba. Namun, seiring dengan pelaksanaan perjanjian itu bukan tidak


(3)

mungkin terjadi suatu perselisihan yang pada akhirnya mengakibatkan perjanjian itu tidak terlaksana dengan baik. Karena pada dasarnya, tidak seorang atau satu pihak pun yang menginginkan adanya suatu sengketa atau perselisihan tersebut. Dalam hal terjadinya suatu sengketa, pihak Pemberi Waralaba telah menetapkan suatu penyelesaian perselisihan yang tertuang di dalam suatu kontrak, yang biasanya dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat terlebih dahulu kemudian apabila penyelesaian tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah maka diserahkan kepada lembaga Peradilan dalam hal ini Pengadilan Negeri.

4. Berakhirnya suatu perjanjian waralaba adalah berdasarkan tindakan yang dilakukan oleh Penerima Waralaba yang tidak sesuai dengan perjanjian yang dapat dikatakan sebagai suatu pelanggaran kontrak. Selain itu, berakhirnya peranjian waralaba dikarenakan telah habis masa perjanjian yang telah diperjanjikan dan setelah itu dapat diperpanjang selama 10 tahun dan setelah itu tidak ada lagi perpanjangan.

B. Saran

Sehubungan dengan kesimpulan yang penulis uraikan, selanjutnya penulis mencoba mengemukakan beberapa saran yang diharapkan dapat berguna dalam perkembangan waralaba di Indonesia:

1. Hendaknya sebelum seorang pihak memutuskan untuk melakukan usaha waralaba, calon Penerima Waralaba tersebut sebaiknya menyelidiki terlebih dahulu bisnis yang akan digelutinya, dan telah benar-benar mengerti akan bisnis tersebut.


(4)

2. Apabila seseorang pihak (calon Penerima Waralaba) telah memutuskan untuk melakukan usaha waralaba, sebaiknya sebelum pihak tersebut mengerti terlebih dahulu mengenal isi perjanjian, misalnya mengenai hak dan kewajiban para pihak. Maka dari itu, diperlukan seorang ahli hukum untuk menterjemahkan isi dari perjanjian yang akan disepakati. Adapun mengenai hak dan kewajiban ini, sebaiknya diadakan dengan memperhatikan asas keseimbangan antara para pihak agar kepentingan kedua belah pihak dapat terlindungi dengan baik.

3. Waralaba di Indonesia telah ada sejak tahun 1970-an dan telah berkembang pesat dan telah banyak menggeluti berbagai bidang bisnis di tengah masyarakat. Tetapi, peraturan mengenai Waralaba atau Franchise sampai saat ini masih hanya sebatas Peraturan Pemerintah dan juga Peraturan Menteri Perdagangan. Maka dari itu, Pemerintah diharapkan segera menyusun Undang-Undang tentang Waralaba.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989.

Amirizal, Hukum Bisnis, Risalah Teori dan Praktik, Djambatan, Jakarta, 1999. Al-Rasyid Chairul, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000.

Badrulzaman Mariam D, Aneka Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994.

Cst Kansil, dkk., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2000.

Djumhana Muhammad, Aspek-Aspek Hukum Desain Industri di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, Bandung, P.T Refika Aditama, 2001

Fuady Munir, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008.

Hadisoeprapto Hartono, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty, Yogyakarta, 1984

Handowo Dipo, Sukses Usaha Memperoleh Dana, Dengan Konsentrasi Modal Ventura, Grafiti Press, Jakarta, 1993

Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.

Hukumonline, Beban Berat Bagi Pelaku Usaha, Sabtu 10 Mei 2008. Ichsan Achmad, Hukum Perdata IA, Pembimbing Masa, Jakarta, Cet. 1996 Jogiyanto, Analisis dan Disain Sistem Informasi, Andi Offset, Yogyakarta, 1990. Kurniawan Fanny, Tinjauan Yuridis Kontrak Bisnis Waralaba Domestik Dengan

Model Perjanjian Standar, Departemen Pendidikan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2003.


(6)

Mendelsohn Martin, Franchising, Petunjuk Praktis Bagi Franchisor Dan Franchisee, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 1997.

Pascadaddy, Franchise, http://pascaldaddy512.wordpress.com/franchise/, Diakses tanggal 15 Nopember 2009

Philipus M. Hadjon, Pengantar Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, 1997, Yogyakarta

Poerwadarminta, Kamus Hukum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1999. Retnowati Endang, Pelaksanaan Prinsip Keterbukaan ,Perspektif Vol.VII,

Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma, 2002

Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Azaz-Azaz Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1999.

Satrio, Hukum Perikatan; Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1999 Sembel Roy – Tedy Ferdiansyah, Tujuh Jurus Pendanaan Di Tahun Kuda Air,

USAHAWAN No. 03 Th. XXXI, Jakarta, 2002.

Trust, Salon ditebar gugatan tiba, www.majalahtrust.com, 26 Oktober 2008

Utomo Njoto, Waralaba Tahun 2008 Ramai-ramai Menjadi Lisensi, http://indocashregister.com/2008/10/14/waralaba-2008-ramai-ramai-jadi-lisensi/, 14 Oktober 2008

Widjaya Gunawan, Lisensi Atau Waralaba, Suatu Panduan Praktis, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.