BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Perbandingan Nilai Visual Analogue Scale dan Efek Samping dari Gabapentin 900 Mg dengan Gabapentin 1200 Mg per Oral sebagai Preemptif Analgesia Pascabedah dengan Spinal Anestesi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nyeri pascabedah masih merupakan masalah utama bagi penderita karena setelah

  obat anestesi hilang efeknya, penderita akan merasakan sakit. Saat ini nyeri masih menjadi masalah pascabedah. Nyeri yang tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan nyeri kronik yang justru nyeri ini akan sulit ditangani. Nyeri bersifat subjektif, derajat dan kualitas nyeri yang ditimbulkan oleh suatu rangsang yang sama akan berbeda antara satu penderita dengan penderita lainnya. Kurangnya perhatian, pengetahuan dan keterampilan tenaga medik merupakan hambatan utama pengelolaan nyeri pascabedah yang tepat, dosis analgesik sering tidak tepat dan masih ditambah rasa ketakutan terjadinya depresi pernafasan pada pemberian analgesik opioid. Di Amerika lebih dari 73 juta pasien telah dioperasi setiap tahunnya dan lebih dari 75% pasien tersebut mengalami nyeri pascabedah. Dari data tersebut terlihat bahwa nyeri

  1,2 masih menjadi masalah bahkan dinegara maju sekalipun seperti Amerika.

  Nyeri adalah suatu rasa yang tidak menyenangkan yang melibatkan emosional yang berhubungan dengan kerusakan jaringan. Nyeri akut dapat merupakan bagian dari kerusakan jaringan atau inflamasi yang dapat disebabkan oleh operasi, luka

  1 bakar, ataupun trauma. Penanganan nyeri pascabedah yang efektif sangatlah penting.

  Penanganan nyeri yang efektif dengan sedikit efek samping akan mempercepat pemulihan dan kepulangan pasien dari rumah sakit. Pemberian analgesik pascabedah yang adekuat menjadi prioritas, dan masih menjadi tantangan besar bagi dokter

  3 anestesiologi.

  Terdapat beberapa golongan obat yang sering digunakan untuk mengatasi nyeri pascabedah seperti Non Steroid Anti Inflamation Drugs (NSAID), opioid (morfin, pethidin, tramadol), dan adjuvant (ketamin dan klonidin). Analgesik setelah pembedahan dapat dicapai dengan menggunakan beragam opioid. Efektifitas pemakaian opioid sebagai analgesik pascabedah sudah diakui namun memiliki efek samping. Efek samping yang ditimbulkan oleh opioid seperti depresi pernafasan,

  3 sedasi, mual muntah, dan pruritus.

  Saat ini banyak digunakan obat-obatan non-opioid seperti obat anti inflamasi nonsteroid sebagai pengganti opioid, karena memiliki efek analgesik yang kuat dan mempunyai efek anti inflamasi. Namun pemberian obat kelompok anti inflamasi non steroid juga harus berhati-hati karena berkaitan dengan peningkatan resiko perdarahan daerah operasi akibat waktu perdarahan yang memanjang, luka pada organ gastrointestinal, dispepsia dan menyebabkan gangguan ginjal. Sedangkan penggunaan tramadol sebagai analgesik golongan opioid mempunyai efek samping

  3 yang sering dijumpai antara lain mual dan muntah.

  Preemptif analgesia adalah pengobatan antinosiseptif yang ditargetkan untuk menghambat hipersensitifitas SSP, dan pada akhirnya mengurangi nyeri pascabedah. Preemptif analgesia mencegah kaskade neural awal yang dapat membawa keuntungan jangka panjang dengan menghilangkan hipersensitifitas yang ditimbulkan oleh rangsangan luka. Dengan cara demikian keluhan nyeri pascabedah akan sangat menurun dibandingkan dengan keluhan nyeri pascabedah tanpa memakai cara

  1,4,5 preemptif analgesia.

  Konsep dari pada preventif analgesia sebenarnya adalah mencegah terjadinya nyeri pascabedah, dimana nyeri kronik yang persisten bisa terjadi pada 10-50% kasus yang tidak mendapat adekuat analgesik pascabedah. Sehingga preventif analgesia ini berdasarkan pada asumsi bahwa satu-satunya cara untuk mencegah terjadinya sensitisasi sentral adalah dengan secara lengkap memblokade sinyal nyeri apapun dari luka operasi, mulai dari saat insisi hingga penyembuhan luka sempurna. Diharapkan melalui pemberian analgesik secara menyeluruh sebelum nyeri timbul dan sesudah operasi, maka dapat mengurangi intensitas dan durasi nyeri pada nyeri akut

  6

  pascabedah, yang pada akhirnya mencegah timbulnya nyeri persisten. Sedangkan konsep preemptif analgesia yaitu memulai pemberian analgesik sebelum timbulnya stimulus nyeri untuk mencegah sensitisasi sentral dan mengurangi pengalaman nyeri

  6,7

  berikutnya. Preemptif analgesia memiliki efek ‘pelindung’ pada jalur nosiseptif sehingga memiliki potensi untuk menjadi lebih efektif daripada analgesik serupa pada pemberian setelah pembedahan. Akibatnya, nyeri pascabedah segera dapat dikurangi

  6

  dan dapat dicegah berkembang menjadi nyeri kronis. Berdasarkan data laboratorium dan beberapa studi klinis, Wall menyebutkan pentingnya preemptif analgesia dalam sebuah editorial tahun 1988 dikarenakan, pertama, penurunan masukan rangsangan

  small-fiber

  ke dalam SSP selama operasi akan mencegah sensitisasi sentral, dan kedua, analgesik yang diberikan sebelum operasi memiliki potensi menghasilkan efek

  5 berkepanjangan.

  Banyak obat yang telah menunjukkan manfaat dari analgesia preemptif, suatu penelitian meta-analisis yang dilakukan Ong dkk tahun 2005, dengan melihat kemampuan preemptif analgesia dalam menurunkan skor nyeri pascabedah, mengurangi jumlah penggunaan analgesik, dan memperpanjang waktu permintaan analgesik pertama atau rescue analgetic pascabedah. Penilaian hasil preemptif analgesik pada teknik epidural analgesik, infiltrasi anestesi lokal, obat sistemik NSAID dan non-kompetitif N-Methyl D-Aspartat (NMDA). Ong dkk mengatakan teknik epidural analgesik paling baik sebagai preemptif analgesia dikarenakan menghambat transmisi afferen di medula spinalis dan mengurangi sensitisasi nyeri susunan saraf pusat dibandingkan teknik lain tetapi memiliki kelemahan dari segi ekonomis yaitu biaya yang lebih mahal. Infiltrasi anestesi lokal di daerah insisi dan pemberian obat NSAID sebagai preemptif analgesia hanya mampu memperlama waktu permintaan analgesia pertama paska bedah tetapi tidak dalam mengurangi skor nyeri pascaoperasi, dan penggunaan NSAID juga dapat meningkatkan kejadian

  6 perdarahan pascabedah.

  Gabapentin telah menunjukkan efek analgesia dalam uji klinis sebagai preemptif analgesia dan penatalaksanaan nyeri akut pascabedah, tetapi pengalaman

  8

  penggunaan obat ini masih terbatas. Di Indonesia sendiri masih sedikit penelitian yang menggunakan gabapentin dalam tatalaksana nyeri akut pascabedah, khususnya di RS. H. Adam Malik Medan Sumatera Utara.

  Gabapentin terbukti efektif dalam mengurangi nyeri pascabedah, mengurangi rescue analgetic dan rasa sakit, pencegahan mual dan muntah, delirium pascaoperasi, anxiolysis praoperasi dan respon hemodinamik terhadap laringoskopi dan intubasi. Sensitisasi neuron di dorsal horn juga telah dibuktikan dalam penanganan nyeri akut pascabedah dan ini menjadi pemicu

  9,10,11 timbulnya nyeri pascabedah.

  Bioavailabilitas gabapentin berbanding terbalik dengan dosis yang diberikan. Semakin besar dosis obat maka bioavailabilitas semakin kecil. Perbedaan farmakokinetik pada gabapentin tersebut dapat terjadi karena mekanisme absorbsi aktif gabapentin melalui sistem transportasi dengan kapasitas terbatas. Sistem pengangkut yang bertanggung jawab terhadap absorbsi gabapentin adalah L-α-amino

  acid transporter

  yang terdapat di mukosa intestinal. Bila transporter tersebut telah jenuh, maka transporter tersebut tidak dapat mengikat gabapentin lebih banyak lagi sehingga obat yang dapat diabsorbsi juga akan mengalami penurunan, demikian pula dengan jumlah gabapentin dalam plasma yang tidak lagi akan meningkat sesuai dengan besar dosis pemberian. Absorbsi serta bioavailabilitas gabapentin 600 mg akan menghasilkan konsentrasi maksimal di dalam plasma sebesar 21,6 µMol, sedangkan ambang terapeutik plasma gabapentin pada manusia adalah ≥12 µMol. Berdasarkan hal ini, maka pemberian gabapentin dosis 600 mg sudah cukup untuk memberikan kadar terapeutik plasma yang efektif. Tetapi penelitian yang membandingkan antara dosis gabapentin 600 mg dengan 1.200 mg, dapat dipastikan absorbsi dan juga bioavailabilitas gabapentin 1.200 mg tetap lebih besar bila dibandingkan gabapentin 600 mg, namun hasil penelitian membuktikan bahwa dosis yang lebih besar (1.200 mg) dapat menurunkan nilai VAS dengan perbedaan yang

  12 bermakna secara statistik.

  Meskipun gabapentin secara umum hanya sedikit saja memiliki interaksi dengan beberapa obat, gabapentin terkadang dapat menyebabkan sakit kepala,

  dizziness

  , mulut kering dan mengantuk yang dapat dikurangi dengan memberikan dosis yang lebih kecil dan titrasi secara perlahan-lahan. Dapat juga dijumpai efek samping berupa mulut kering, serta gangguan kognitif dan cara berjalan pada pasien-

  13 pasien usia tua. Salah satu penilaian terhadap nyeri adalah Visual Analogue Scale (VAS) yang terdiri dari skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. VAS antara 0 – 4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri yang ringan dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia. Nilai VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju berat sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan

  2,14 obat analgesik penyelamat (rescue analgetic).

  Telah banyak dilakukan penelitian mengenai efektivitas dan efek samping dari gabapentin sebagai preemptif analgesia yang dibandingkan dalam dosis yang berbeda dalam penanganan nyeri setelah tindakan operasi dan mengurangi efek samping yang dapat terjadi.

  Penelitian yang dilakukan oleh Anil Verma, dkk tahun 2008 dengan melakukan penelitian pada 50 pasien yang menjalani operasi total abdominal histerektomi dengan epidural anestesi, dibagi menjadi dua grup gabapentin 300 mg diberikan dua jam sebelum operasi (25 pasien) dan plasebo 25 pasien. Dari hasil penelitian didapati hasil VAS selama 24 jam pascabedah lebih rendah dibandingkan dengan grup plasebo dengan p value < 0,05 serta gabapentin juga mengurangi epidural bolus bupivakain 0,125% dibandingkan dengan grup plasebo dengan p value < 0,05. Kejadian efek samping di grup gabapentin dan grup plasebo (mual 5 : 4, muntah 3 : 4, kelelahan 1 : 0, pusing ringan 1 : 0 dan pusing 1 : 0) secara statistik

  15 tidak berbeda bermakna.

  Penelitian yang dilakukan oleh Harshel, dkk tahun 2010. Penelitian dilakukan 60 pasien dan dibagi menjadi dua grup yaitu grup gabapentin (30 pasien) 600 mg yang diberikan 1 jam sebelum operasi serta grup plasebo (30 pasien). Pasien akan menjalani operasi daerah abdomen dengan anestesi umum. Dari hasil penelitian didapati VAS skor grup gabapentin lebih rendah dengan p value < 0,05 selama 24 jam. Pada penelitian ini tidak mengamati efek samping yang berhubungan dengan

  16 dosis tunggal gabapentin. Penelitian Raghove P, dkk tahun 2010 melakukan penelitian pada 90 pasien ASA I dan II yang akan menjalani operasi tungkai bawah dengan spinal anestesi yang membandingkan efektifitas dari grup gabapentin 1.200 mg per oral, gabapentin 6oo mg per oral 1 jam sebelum operasi, serta grup plasebo. Dari hasil penelitian didapati

  VAS skor pada grup gabapentin 1.200 mg menurunkan skor nyeri setelah operasi dan pemberian rescue analgesia selama 24 jam dibandingkan dengan grup yang lain. Efek samping sedasi lebih besar pada grup gabapentin 1.200 mg dibanding dengan kedua grup, sedangkan efek samping yang lain dijumpai tidak berbeda bermakna

  17 secara statistik.

  Penelitian yang dilakukan oleh Panah Khahi M, dkk tahun 2011 melakukan penelitian pada 64 pasien ASA I dan II yang akan menjalani internal fiksasi tibia dengan spinal anestesi yang diberikan gabapentin 300 mg dua jam sebelum operasi. Dari hasil penelitian didapati adanya pengurangan skor nyeri pada grup gabapentin dua jam pascabedah dengan p value 0,004 tetapi untuk VAS 12 jam dan 24 jam pascabedah dijumpai perbedaan tidak bermakna secara statistik. Tidak ada

  8 pengamatan efek samping khusus dari pemberian gabapentin.

  Penelitian yang dilakukan Yavuz, dkk tahun 2013 melakukan penelitian dengan 60 pasien ASA I-III pada pasien operasi ekstremitas bawah dengan spinal- epidural anestesi. Pasien dibagi menjadi dua grup, grup P (30 pasien) levobupivakain 0,5% 10-15 mg dan fentanyl 25 µg yang diberikan melalui spinal dan morfin 3 mg melalui epidural. Grup G (30 pasien) diberikan 600 mg gabapentin satu sampai dua jam sebelum operasi. Dari hasil penelitian grup G memiliki VAS skor yang lebih rendah pada menit ke-30 dan ke-60 serta 18 dan 24 jam pascabedah dengan p value < 0,05. Efek samping dari analgesik gabapentin pada penelitian ini berupa sedasi dan

  18 dizziness yang dilaporkan 23%.

  Penelitian yang dilakukan oleh Mardani-Kivi M, dkk tahun 2013 melakukan penelitian pada 114 pasien yang menjalani operasi anterior cruciate ligament rekontruksi dengan arthroskopi dengan anestesi umum. Pasien dibagi menjadi dua grup; gabapentin 600 mg dan plasebo. Dari hasil penelitian pada jam ke-6 dan 24 nilai VAS lebih rendah dibandingkan dengan plasebo dengan p value 0,0001 serta konsumsi opioid pascabedah jauh lebih sedikit dibandingkan grup plasebo dengan p

  value

  < 0,001. Efek samping gabapentin yang tersering pada penelitian ini adalah

  19 kejadian mengantuk dan sakit kepala.

  Penelitian yang dilakukan Ardi Zulfariansyah, dkk tahun 2013 terhadap 38 orang pasien di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung yang menjalani operasi mastektomi radikal. Pasien dibagi menjadi dua kelompok yaitu gabapentin 600 mg dan gabapentin 1.200 mg. Hasil penelitian dijumpai nilai VAS saat diam dan saat mobilisasi berbeda bermakna secara statistik (p<0,05). Kelompok gabapentin 1.200 mg lebih sedikit diberikan analgesik petidin tambahan (10,5% vs 15,8%), tetapi tidak berbeda bermakna (p=0,631). Simpulan penelitian ini adalah gabapentin 1.200 mg per oral preoperatif lebih baik dibandingkan 600 mg dalam mengurangi nilai VAS pascabedah, namun tidak mengurangi kebutuhan petidin. Kelompok gabapentin 1.200

  12 mg mengalami efek samping yang lebih besar dibandingkan gabapentin 600 mg.

  Dari latar belakang diatas, peneliti berkeinginan meneliti apakah pemberian gabapentin 900 mg per oral sebagai preemptif analgesia dapat mengurangi VAS dan efek samping pascabedah dibandingkan dengan gabapentin 1.200 mg per oral.

  1.2. Rumusan masalah

  Apakah ada perbedaan pemberian gabapentin 900 mg per oral sebagai preemptif analgesia dapat mengurangi VAS dan efek samping pascabedah dibandingkan dengan gabapentin 1.200 mg per oral dengan spinal anestesi ?

  1.3. Hipotesa

  Ada perbedaan nilai Visual Aanalogue Scale dan efek samping gabapentin 900 mg dengan gabapentin 1.200 mg per oral sebagai preemptif analgesia pascabedah dengan spinal anestesi.

  1.4. Tujuan penelitian

  1.4.1. Tujuan Umum

  Dengan melakukan penelitian ini diharapkan peneliti mendapatkan obat alternatif analgesik pascabedah dengan efek samping minimal.

  1.4.2. Tujuan khusus 1.

  Untuk mengetahui efek klinis penggunaan oral gabapentin dosis 900 mg dalam mengurangi nyeri pascabedah.

  2. Untuk mengetahui efek klinis penggunaan oral gabapentin dosis 1200 mg dalam mengurangi nyeri pascabedah.

  3. Mengukur kebutuhan analgesik pascabedah antara pasien yang mendapat preemptif gabapentin dosis 900 mg per oral dan dosis 1.200 mg per oral.

  4. Untuk mendapatkan nilai perbandingan efek samping pascabedah setelah pemberian gabapentin 900 mg dengan gabapentin 1200 mg per oral sebagai analgesik pascabedah.

1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1.

  Manfaat dalam bidang akademi a.

  Sebagai sumber informasi dan bahan referensi bagi penelitian selanjutnya.

  b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan acuan untuk pemilihan obat alternatif yang bisa mengurangi nyeri pascabedah dengan spinal anestesi.

  c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan terutama ilmu anestesi.

1.5.2. Manfaat dalam bidang pelayanan masyarakat - Memberikan beberapa pilihan cara pemberian analgesik pascabedah.

  • Untuk mendapatkan keadaan pasien yang bebas nyeri setelah pembedahan.
  • Mengurangi kerugian yang ditimbulkan dari efek samping pemberian opiod dan Non Sterod Anti Inflamasi (NSAID).

  • Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat mengurangi efek samping risk

  benefit .

1.5.3. Manfaat dalam bidang penelitian Memberi data untuk penelitian selanjutnya.

Dokumen yang terkait

Perbandingan Nilai Visual Analogue Scale dan Efek Samping dari Gabapentin 900 Mg dengan Gabapentin 1200 Mg per Oral sebagai Preemptif Analgesia Pascabedah dengan Spinal Anestesi

3 144 116

Perbandingan Efek Penambahan Neostigmin Methylsulfate 25mg Dan 50mg Pada Bupivakain Hidroklorida Hiperbarik 0,5% 15 Mg Terhadap Lama Kerja Blokade Sensorik Dan Efek Samping Mual Muntah Dengan Anestesi Spinal Operasi Ekstremitas Bawah

0 52 79

Perbandingan Efek Analgesia Parecoxib Dengan Ketorolak Sebagai Preemptif Analgesia Pada Anestesi Umum

0 51 66

Perbandingan Penambahan Midazolam 1 Mg Dan Midazolam 2 Mg Pada Bupivakain 15 Mg Hiperbarik Terhadap Lama Kerja Blokade Sensorik Anestesi Spinal

1 38 69

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - BAB I PENDAHULUAN

0 3 16

Efek Ketorolak 30 Mg Intravena Sebagai Preemptive Analgesia Pada Operasi

0 0 51

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Strategi Pemasaran Kopi Bubuk Tanpak Sidikalang dengan Analisis SWOT

1 1 11

Perbandingan antara Pemberian Diet Oral Dini dan Tunda terhadap Bising Usus Pascabedah Sesar dengan Anestesi Spinal

0 0 7

Perbandingan Nilai Visual Analogue Scale dan Efek Samping dari Gabapentin 900 Mg dengan Gabapentin 1200 Mg per Oral sebagai Preemptif Analgesia Pascabedah dengan Spinal Anestesi

0 0 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. FISIOLOGI NYERI - Perbandingan Nilai Visual Analogue Scale dan Efek Samping dari Gabapentin 900 Mg dengan Gabapentin 1200 Mg per Oral sebagai Preemptif Analgesia Pascabedah dengan Spinal Anestesi

0 0 30